Minggu, 16 Februari 2020

Taqlid, Talfiq, dan Ittiba' dalam Ushul Fiqih (PAI F Semester Genap 2019/2020)



Taqlid, Talfiq, Dan Ittiba Dalam Ushul Fiqih

Khoirun Nisak (17110098)
PAI F
UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Muhammad Farihun Najah (17110104)
PAI F
UIN Maulana Malik Ibrahim Malang


Abstract.This article discusses talqid, talfiq, and itarrived. This is in the background of where there is still a layman who either follows or imitates an act, opinion or words of others that he considers honorable in society without regard for the good. So the problem with what talqids, talfiq, and itarrived was: How talqid law and how the position of itarrived. As for the purpose of this study is to know the meaning of talqid, talfiq and itarrive; To know the law of cerqid and the position of itarrived. To address problems -- problems like this, the writer USES literature and literature study methods. As for the result of this study, talqid is an attempt either to follow or mimic the opinions, behavior or words of someone considered respectable in society with no regard for law, be it for bad. Whereas it arrived is the opposite of talfiq. Talfiq is the extrotive method of combination by comparing some ideas from fuqaha 'in either a madzhab or an madzhab to form a single provision law.

Keywords.Talqid; Talfiq; and Ittiba.

Abstrak.Artikel ini membahas tentang talqid, talfiq dan ittiba. Hal ini dilatar belakangi dengan masih terdapat orang awam yang mengikuti atau meniru suatu perbuatan, pendapat maupun perkataan orang lain yang dianggapnya terhormat dalam masyarakat tanpa memperhatikan baik buruknya hal tersebut. Sehingga permasalahan yang muncul yakni apa itu talqid, talfiq dan ittiba; bagaimana hukum bertalqid dan bagaimana kedudukan dari ittiba. Adapun tujuan dari penelitian ini yakni untuk mengetahui pengertian dair talqid, talfiq dan ittiba; untuk mengetahui hukum bertalqid dan kedudukan dari ittiba. Untuk menjawab permasalahan – permasalahan diatas, penulis menggunakan metode studi literatur dan kepustakaan. Adapun hasil dari penelitian ini yakni talqid merupakan suatu upaya yang mengikuti atau meniru pendapat, perilaku maupun perkataan dari seseorang yang dianggap terhormat dalam masyarakat tanpa memperhatikan dasar hukum, baik buruknya hal tersebut. Sedangkan ittiba merupakan kebalikan dari talfiq. Talfiq yakni metode eklektif kombinatif dengan membandingkan beberapa pendapat dari fuqaha’ baik dalam satu madzhab atau antar madzhab untuk membentuk suatu hukum ketentuan yang tunggal.

Kata kunci.Talqid; Talfiq; dan Ittiba.



A.     PENDAHULUAN
Di dalam ilmu fiqih terdapat empat Imam Madzhab yang tentunya memiliki pengikut. Namun tidak semua pengikut mengikuti kegiatan, perilaku maupun perkataan dari masing – masing Imam dengan mengetahui dasar hukum mengapa hal tersebut dilakukan. Di Indonesia sendiri masih terdapat orang yang tiba – tiba mengikuti pendapat orang lain tanpa memperhatikan dasar hukumnya. Hal ini dalam ilmu ushul fiqih disebut dengan taqlid. Taqlid ini merupakan suatu upaya yang mengikuti atau meniru pendapat orang lain tanpa memperhatikan dasar hukumnya. Pasangan dari taqlid ini ada talfiq dan ittiba’. Jika masih banyak orang awam yang tiba – tiba mengikuti pendapat orang lain tanpa memperhatikan baik buruknya hal tersebut, lantas bagaimanakah hukumnya ? Oleh karena itu, dalam artikel ini akan membahas tentang talqid, talfiq dan ittiba secara rinci.
B.     HASIL DAN PEMBAHASAN
1.     Taqlid
a.       Pengertian
Taqlid secara bahasa berasal dari bahasa Arab yakni قَلَّدَ – يُقَلِّدُ yang artinya meniru, membuat tiruan atau meniru.[1]Secara terminologi ushul fiqih, secara mudah taqlid diartikan sebagai mengadopsi pendapat orang lain tanpa mengetahui dalilnya, atau menirukan orang lain dalam melakukan atau meninggalkan sesuatu.[2]Muhammad Rasyid Radha merumuskan definisi taqlid dengan kenyataaan – kenyataan yang ada dalam masyarakat Islam, yang mana dengan mengikuti pendapat orang yang dianggap terhormat dalam masyarakat dan dipercaya dalam hukum Islam tanpa memperhatikan benar atau salahnya, baik buruknya, serta manfaat mudharatnya pendapat tersebut.[3]
Dari berbagai pengertian diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa taqlid merupakan suatu upaya yang meniru pendapat orang lain yang dianggap terhormat dalam kehidupan bermasyarakat untuk melakukan atau meninggalkan sesuatu tanpa melihat benar atau salahnya, baik atau buruknya maupun manfaat atau mudharatnya hal tersebut.


b.      Hukum Bertaqlid
Dikarenakan sikap taqlid yang meniru atau mengikuti pendpaat orang lain tanpa memperhatikan dasar hukumnya maka hak ini dicela oleh Allah SWT dan tentunya dilarang oleh agama. Hal ini diibaratkan dengan menempatkan para mujtahid pada posisi yang terkuat dan sakral, dan tentunya hal ini dilarang, sebagaimana firman Allah dalam QS. At – Taubah : 31
اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ وَالْمَسِيحَ ابْنَ مَرْيَمَ وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا إِلَٰهًا وَاحِدًا ۖ لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ ۚ سُبْحَانَهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ
“Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah dan (juga mereka mempertuhankan) Al Masih putera Maryam, padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan yang Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.”[4]
Didalam Al – Qur’an terdapat banyak ayat – ayat yang melarang sikap taqlid ini, beberapa diantaranya:
1)     QS. Al – Baqarah : 170
وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ اتَّبِعُوا مَا أَنْزَلَ اللَّهُ قَالُوا بَلْ نَتَّبِعُ مَا أَلْفَيْنَا عَلَيْهِ آبَاءَنَا ۗ أَوَلَوْ كَانَ آبَاؤُهُمْ لَا يَعْقِلُونَ شَيْئًا وَلَا يَهْتَدُونَ
“Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah," mereka menjawab: "(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami". "(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?".”
2)     QS. At – Taubah : 122
۞ وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَافَّةً ۚ فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ
“Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.”
3)     QS. An – Nahl : 43
وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ إِلَّا رِجَالًا نُوحِي إِلَيْهِمْ ۚ فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
“Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang Kami beri wahyu kepada mereka; maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui,”
c.       Larangan Bertaqlid
Adapun tiga bentuk yang disepakati oleh para ulama ushul fiqih dalam melarang sikap taqlid, antara lain:
1)     Mengikuti tradisi nenek moyang yang bertentangan dengan Al – Qur’an dan Hadis. Misalnya, mengikuti tradisi nenek moyang yang melakukan tirakat di makam selama tujuh malam, agar keinginannya terkabulkan. Hal ini tentunya dilarang, sebagaimana firman Allah dalam QS. Al – Ahzab (33) : 64
إِنَّ اللَّهَ لَعَنَ الْكَافِرِينَ وَأَعَدَّ لَهُمْ سَعِيرًا
“Sesungguhnya Allah melaknati orang-orang kafir dan menyediakan bagi mereka api yang menyala-nyala (neraka),”
2)     Mengikuti seseorang atau sesuatu yang masih belum jelas kemampuan maupun keahliannya serta menyukai hal tersebut melebihi kecintaannya pada dirinya sendiri. Hal ini disindir oleh Allah dalam QS. Al – Baqarah (2): 165 – 166
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَتَّخِذُ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَنْدَادًا يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ اللَّهِ ۖ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِلَّهِ ۗ وَلَوْ يَرَى الَّذِينَ ظَلَمُوا إِذْ يَرَوْنَ الْعَذَابَ أَنَّ الْقُوَّةَ لِلَّهِ جَمِيعًا وَأَنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعَذَابِ ﴿١٦۵﴾ إِذْ تَبَرَّأَ الَّذِينَ اتُّبِعُوا مِنَ الَّذِينَ اتَّبَعُوا وَرَأَوُا الْعَذَابَ وَتَقَطَّعَتْ بِهِمُ الْأَسْبَابُ ﴿١٦٦﴾
165. Dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah. Dan jika seandainya orang-orang yang berbuat zalim itu mengetahui ketika mereka melihat siksa (pada hari kiamat), bahwa kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya, dan bahwa Allah amat berat siksaan-Nya (niscaya mereka menyesal).166.(Yaitu) ketika orang-orang yang diikuti itu berlepas diri dari orang-orang yang mengikutinya, dan mereka melihat siksa; dan (ketika) segala hubungan antara mereka terputus sama sekali.
3)     Tetap mengikuti sesoerang yang sudah jelas dan diketahui bahwa pendapat orang tersebut salah. Dalam hal ini Allah SWT berfirman dalam QS. At – Taubah (9) : 31
اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ وَالْمَسِيحَ ابْنَ مَرْيَمَ وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا إِلَٰهًا وَاحِدًا ۖ لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ ۚ سُبْحَانَهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ
“Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah dan (juga mereka mempertuhankan) Al Masih putera Maryam, padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan yang Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.”
2.     Talfiq
a.      Pengertian Talfiq
Talfiq menurut arti secara harfiah berasal dari bahasa Arab yaitu artinya merangkapkan tepi yang satu dengan yang lainnya. Seperti تلفيق الثوب artinya mempertemukan dua tepi kain kemudia menjahitnya.[5] Sedangkan menurut istilah, ada beberapa definisi menurut pendapat ulama, yaitu :
a.       Ibrahim Husain
Talfiq merupakan beramal dalam suatu masalah menurut hukum yang merupakan gabungan daru dua madzhab atau lebih.[6]
b.      Dr. Wahbah az-Zuhaili
Talfiq adalah mengamalkan suatu pendapat yang belum pernah diucapkan oleh seorang mujtahid sekalipun.[7]
c.       Drs. M. Hamdani Yusuf
Talfiq adalah mengamalkan suatu furu’ yang azmi menurut ketentuan dua madzhab atau lebih.[8]


d.      Taufiq Adnan Amal
Talfiq adalah suatu metode yang dengannya pandangan-pandangan madzhab atau fuqaha’ digabungkan untuk membentuk peraturan tunggal.[9]
e.       Said Mu’inuddin Qadri
Talfiq adalah memilih pendapat dari berbagai pendapat dari kalangan ahli fiqh.[10]
f.        Prof. Dr. Mukhtar Yahya dan Drs. Fatchur Rahman
Talfiq adalah mengambil pendapat dari seorang mujtahid, kemudian mengambil dari seorang mujtahid lainnya, baik dalam masalah yang sama maupun masalah yang berbeda. [11]
Dari beberapa pengertian dari beberapa ulama ini dapat diartikan bahwa talfiq merupakan salah satu metode ijtihad yang bisa dilakukan dengan beberapa cara atau mekanisme, antara lain yaitu :
1.      Perbandingan Madzhab
Perbandingan madzhab adalah salah satu cara talfiq yang paling banyak di lakukan oleh para pakar fiqh modern dan dianggap paling representatif dalam menanggapi isu-isu kontemporer, hal ini dimaksudkan untuk membentuk hukum yang argumentative, realistic dan rasional. Cara kerja yang mereka lakukan secara garis besar adalah dengan mencari hukum dari suatu permasalahan yang muncul dari berbagai macam pendapat madzhab dan fuqaha’, kemudia memilih yang paling kuat argumentasinya agar pendapat yang dipilih tersebut lebih dekat dengan masyarakat, hendaknya dalam study muqaranah (perbandingan) tidak hanya membandingkan pendapat antar madzhab, tetapi juga membandingkan antara pendapat madzhab dengan hukum adat yang berlaku.
2.      Memilih Pendapat Terbanyak
Dalam suatu permasalahan yang muncul, tentunya ada berbagai macam pendapat yang sama-sama mempunyai argumen yang kuat sehingga sulit bagi kita untuk memilihnya. Maka pendapat-pendapat tersebut mengikuti pendapat terbanyak merupakan lebih selamat walaupun pendapat yang memiliki suara terbanyak ini menyalahi madzhabnya. Karena yang terbanyak sudah menunjukkan terpilihnya pendapat itu. Umat nabi Muhammad SAW. yang tulus dan ikhlas tidak mampu dan tidak akan berkumpul dalam kesesatan, tetapi seandainya kita mampu memilih dan pendapat dari yang sedikit lebih kuat maka seorang peneliti wajib memakai hasil penelitian tersebut. Sebab haram bagi seseorang yang mengetahui bahwa madzhabnya lemah tetapi tetap fanatik terhadap madzhabnya.[12]
3.      Eklektif Kombinatif
Eklektif kombinatif yaitu memilih pendapat dari para madzhab atau para fuqaha’ untuk dikombinasikan menjadi satu. Dari sistem ini, memungkinkan memakai dua pendapat dalam satu qadiyyan (satu kesatuan hukum). Takaran dari kombinasi ini adalah kekuatan argumentasi dari pendapat tersebut. Apabila suatu madzhab lain juga ditemukan memiliki pendapat yang shahih dan dalam madzhab lain juga ditemuka demikian, sementara kedua yang shahih ini dalam satu hukum, maka bisa diambil keduanya dan dikombinasikan menjadi satu.
Dari deskripsi di atas, sudah jelas bahwa talfiq adalah suatu metode eklektif kombinatif dengan membandingkan beberapa pendapat dari fuqaha’ baik dalam satu madzhab atau antar madzhab untuk membentuk suatu hukum ketentuan yang tunggal.
3.     Ittiba’
a.      Pengertian Ittiba
Menurut bahasa, ittiba’ berasal dari bahasa Arab, ia adalah masdar (kata bentukan) dari kata “ittaba” yang artinya mengikuti.[13] Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata ittiba sudah menjadi bahasa Indonesia serapan, yaitu itibak yang diartikan sebagai kata kerja yang bermakna mengikuti, misalkan kita puasa, shalat dan mengeluarkan zakat, mengikuti Rasulullah.[14] Sedangkan menurut istilah, Abdul Hamid Hakim berpendapat bahwa ittiba adalah menerima perkataan orang lain dengan mengetahui sumber atau alasan perkataan tersebut.
Ittiba dalam urusan agama diperintahkan oleh Allah, hal ini sebagaimana yang difirmankan oleh-Nya dalam Surah An-Nahl ayat 43 :
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ .…
Artinya : “. . . tanyakan kepada ahli zikir (orang-orang pandai) jika kamu tidak mengetahui.” (QS. An-Nahl(16): 43)
Maksud ayat diatas adalah apabila kita tidak mengetahui aturan tentang sesuatu yang berkaitan dengan agama, tanyakanlah kepada mereka yang pandai, berdasarkan ilmu dari Alqur’an dan hadis bukan dari pendapatnya.
Ayat lain yang menjadi landasan hukum keharusan kita melakukan ittiba, adalah firman-Nya dalam QS. Al-A’raf ayat 3:
Hasil gambar untuk al araf ayat 3
Artinya : “Ikutilah apa yang diturunkan kepada kalian dari Tuhan kalian dan janganlah kalian mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya. Amat sedikitlah kalian mengambil pelajaran (darinya).” (QS. Al-A’raf (7): 3).
Mengenai ittiba kepada ulama dan mujahid (selain Allah dan Rasul-Nya) terdapat perbedaan. Imam Ahmad bin Hambal hanya membolehkan ittiba’ kepada Rasulullah. Sedangkan pendapat yang lain mengatakan bahwa boleh ittiba’ kepada ulama yang dikategorikan sebagai waratsul anbiya’ dengan alasan firman Allah dalam QS. An-Nahl ayat 43 yang artinya: maka bertanyalah kepada orang-roang yang punya ilmu pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.[15]
b.     Kedudukan Ittiba dalam Islam
a.     Ittiba Kepada Rasulullah adalah salah satu syarat diterima amal
b.    Ittiba merupakan bukti kebenaran cinta seseorang kepada Allah dan Rasul-Nya.


Sebagaimana firman Allah dalam QS. Ali Imran ayat 31 :
Hasil gambar untuk QS. Ali Imran ayat 31
Artinya : katakanlah, Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikuti aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Ali-Imran (3): 31
C.      PENUTUP
Taqlid merupakan suatu upaya yang meniru pendapat orang lain yang dianggap terhormat dalam kehidupan bermasyarakat untuk melakukan atau meninggalkan sesuatu tanpa melihat benar atau salahnya, baik atau buruknya maupun manfaat atau mudharatnya hal tersebut.Dalam hal ini Allah SWT melarang bertaqlid, sebagaimana firman Allah dalam QS. At –Taubah ayat 31.
Talfiq adalah suatu metode eklektif kombinatif dengan membandingkan beberapa pendapat dari fuqaha’ baik dalam satu madzhab atau antar madzhab untuk membentuk suatu hukum ketentuan yang tunggal.
Ittiba merupakan kebalikan dari sikap taqlid, yang mana ia meniru perbuatan, perkataan maupun pendapat seseorang dengan mengetahui dasar hukumnya. Adapun kedudukan ittiba yakni a) Ittiba Kepada Rasulullah adalah salah satu syarat diterima amal; b) Ittiba merupakan bukti kebenaran cinta seseorang kepada Allah dan Rasul-Nya.

REFERENSI
Kamus Besar Bahasa Indonesia
Hidayat, Amrullah. 2019. Ushul Fiqih: Jalan Tengah Memahami Hukum Islam. Jakarta: Amzah
Mahafudh, Sahal. 2004. Kilas Balik Teoritis Fiqih Islam. Kediri: Purna Siswa Alliyah
Ma’luf, Luis. 1975.  Al-Munjid. Bacrut.Dar al-Masyrik
Husain, Ibrahim. 1992. Memecahkan Permasalahan Hukum Baru. Bandung : Mizan
az-Zuhaili, Wahbah. Fiqh al-Islam Wa Adilatuhu. Op.Cit. I
Yusuf, M. Hamdani. 1986. Perbandingan Mazhab. Semarang : Aksara Indah
Amal, Taufiq Adnan dan Syamsu Rizal Panggabean. 1992. Tafsir Kontekstual al-Qur’an. Bandung : Mizan
Qadri, Said Mu’inuddin. 1987. Taklid wa Talfiq. Terjemah Abdul Waris Mabruk Said. Dasar Pemikiran Hukum Islam. Jakarta : Pustaka Firdaus
Yahya, Mukhtar dan Fatchur Rahman. 1986. Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqh-Islami. Bandung : Al-Ma’arif
Rosyada, Dede. 1993.Hukum Islam dan Pranata Sosial. Jakarta: Citra Niaga Rajawali Pers

Catatan:
1.      Similarity 15%
2.      Dalam tulisan ilmiah, penulisan gelar (Prof.. Dr., dll) harus dihilangkan
3.      Pembahasan taqlid dan ittiba’ masih sangat minim, kurang referensi pendapat
4.      Pembahasan talfiq minim contoh, padahal itu sangat penting
5.      Referensi yang ada di dalam buku tidak boleh ditulis kecuali bila tulsan Anda merujuk pada referensi tersebut. Tulis dari buku yang mengutip darinya.



[1] Amrullah Hidayat, Ushul Fiqih: Jalan Tengah Memahami Hukum Islam, (Jakarta: Amzah, 2019), halaman 266.
[2]Sahal Mahafudh, Kilas Balik Teoritis Fiqih Islam, (Kediri: Purna Siswa Alliyah, 2004), halaman 369.
[3]Alaidin Koto, Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2006), halaman 132.
[4]Dede Rosyada, Hukum Islam dan Pranata Sosial, (Jakarta: Citra Niaga Rajawali Pers, 1993), halaman 126.
[5]Luis Ma’luf, Al-Munjid. Bacrut.Dar al-Masyrik 1975. Hlm. 727.
[6] Ibrahim Husain. “Memecahkan Permasalahan Hukum Baru”. (Bandung : Mizan, 1992). Hlm. 36
[7] Wahbah az-Zuhaili, Fiqh al-Islam Wa Adilatuhu. Op.Cit. I, hlm. 10
[8] M. Hamdani Yusuf, Perbandingan Mazhab, (Semarang : Aksara Indah, 1986). Hlm 38
[9] Taufiq Adnan Amal dan Syamsu Rizal Panggabean, Tafsir Kontekstual al-Qur’an (Bandung : Mizan, 1992), hlm. 32
[10] Said Mu’inuddin Qadri, “Taklid wa Talfiq”. Terjemah Abdul Waris Mabruk Said. Dasar Pemikiran Hukum Islam (Jakarta : Pustaka Firdaus. 1987). Hlm. 41
[11] Mukhtar Yahya dan Fatchur Rahman. Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqh-Islami. (Bandung : Al-Ma’arif, 1986). Hlm. 409
[12] Said Mu’inuddin Qadri, Op.Cit. hlm. 26
[13]Amrullah Hayatudin, Ushul Fiqh: Jalan Tengah Memahami Hukum Islam, (Jakarta: Amzah, 2019) hlm. 262
[14]Kamus Besar Bahasa Indonesia
[15]Alaiddin Koto, Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2006) hlm. 130

Tidak ada komentar:

Posting Komentar