Selasa, 27 Maret 2018

‘Urf, Saddudzara’i, Madzhab Shahabat dan Syar’u Man Qablana (PAI C Semester Genap 2017/2018)



‘Urf, Saddudzara’i, Madzhab Shahabat dan Syar’u Man Qablana
Muhammad Rizky, Ade Sukma Fachrurodzi & Siti Ulfa Nur Afifah
Mahasiswa PAI-C Angkatan 2015
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang

Abstract
This paper to see how customs become one of the sources of Fiqh. The customs law is described in some opinions of fiqh scholars. And also about Sadd al-Dzari'ah where there are differences of opinion on the determination of the law between whether or not this law is set.  As for the mazhab shahabi and also about the syar'u Man Qablana discussed in this paper. Of these there sources to establish an Islamic law remains on the basis of the Qur’an and Hadith as the core of all Islamic law.
Abstrak
Tulisan ini untuk melihat bagaimana adat istiadat menjadi salah satu sumber hukum fiqih. Adapun hukum adat istiadat yang dijelaskan dalam beberapa pendapat ulama fiqih.  Dan juga tentang Saddu al-Dzari’ah dimana terdapat perbedaan pendapat penentuan hukum antara harus atau tidaknya ditetapakan hukum ini. Adapun tentang Mazhab Shahabi dan juga tentang Syar’u Man Qablana yang dibahas dalam tulisan ini. Dari ketiga sumber ini untuk menetapkan sebuah hukum Islam tetap pada berpijak pada Al-Qur’an dan Hadits sebagai inti dari semua hukum Islam.
Keywords : ‘Urf, Law, Fiqih, Saddu al-Dzari’ah, Mazhab Shahabi, Syar’u Man Qablana

A.      Pendahuluan
Syari’at Islam adalah sebuah  penutup semua risalah dari langit  yang membawa petunjuk dan tuntunan dari Allah SWT. Kepada umat manusia dan dalam wujudnya yang lengkap. Oleh karena itu Allah mewujudkan syari’at Islam sebagai pegangan hidup manusia.
Hal ini  dibuktikan dengan terdapatnya kaidah-kaidah hukum fiqih yang ada dalam agama Islam  yang dapat memberikan jawaban terhadap kebutuhan permasalahan maupun hajat yang berubah dari masa ke masa seiring dengan perkembangan zaman. Hal itu ditunjukkan dengan adanya dua hal penting dalam hukum Islam, yaitu yang pertama, nash-nash yang menetapkan hukum-hukum yang tidak akan berubah sepanjang zaman. Dan yang kedua, adalah  pembukaan jalan bagi para mujtahid untuk melakukan ijtihad dalam hal-hal yang tidak dijelaskan secara detail yang terdapat di dalam nash-nash tersebut. Dan jika kita berbicara tentang ijtihad, maka sisi ra’yu adalah hal yang tidak bisa lepas darinya. Karena itu dalam hal ushul fiqih sebuah ilmu ynag mengatur proses ijtihad, maka dengan itu dikenallah  beberapa landasan penetapan hukum yang berlandaskan pada penggunaan ra’yu para fuqaha. Diantaranya adalah Urf, Saddu al-Dzari’ah, Mazhab Shahabi, Saddur Dzari’ah dan juga Syar’u Man Qablana yang akan di bahas dalam makalah ini.
B.       ‘Urf
1.         Pengertian ‘Urf
Urf berasal dari kata (عرف يعرف) juga biasanya diartikan dengan (المعروف) yang berarti : “sesuatu yang dikenal”. Pengertian “dikenal” ini sendiri biasanya lebih dekat pengertiannya sebgai “diakui oleh orang lain”. Di dalam Al-Qur’an juga terdapat kata ‘urf  yang lebih dikenal dengan (معرف)  yang berarti Kebajikan, seperti yang dijelaskan di dalam Al-Qur’an surah Al-A’araf (7):

خذالاعفووامربالاعرف
“Maafkanlah dia dan suruhlah berbuat ma’ruf”.[1]

Definisi dari Urf menurut Mukhtar Yahya adalah sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan oleh masyarakat baik itu berupa perbuatan ataupun perkataan yang telah imisalnya pada saat transaksi jual beli untuk kebutuhan ringan sehari-hari misalnya seperti garam, tomat, dan sayur-sayuran, dengan hanya menerima barang dan menyerahkan uang tanpa mengucapkan ijab dan qabul.[2] Sedangkan untuk contoh urf yang berupa perbuatan perkataan sendiri misalnya seperti kebiasaan di suatu masyarakat untuk tidak menggunakan kata al-lahm (daging) kepada jenis ikan. Kebiasaan-kebiasaan seperti itu, menjadi bahan pertimbangan waktu akan menetapkan hukum dalam masalah-masalah yang tidak ada ketegasan hukumnya dalam Al-Qur’an dan sunnah.[3]
Urf ialah hal-hal yang dibiasakan oleh manusia dalam perkara kehidupan muammalah, baik berupa ucapan maupun perbuatan. Menurut banyak ulama urf juga bisa disebut sebagai adat dan beberapa ulama fiqih memberikan definisi adat sebagai perkara yang diulang-ulang, lebih umum dari urf yang dimana setiap urf disebut adat, tetapi tidak setiap adat disebut dengan urf. Maka pengertian secara umum, antara urf dan adat adalah sama. Keduanya adalah sebuah nama yang telah menjadi kebiasaan manusia yang dilakukan berulang-ulang dan menjadi acuan dalam menjalani  kehidupan.[4]
2.         Macam-macam ‘Urf
Jika ditinjau dari beberapa segi ada penggolongan macam-macam ‘urf yaitu:
1.      Dari segi materi urf ada dua macam yaitu :
a.       Urf qauli (عرف قو لاي), yaitu kebiasaan yang dilakukan dalam bentuk ucapan atau kata-kata. Contohnya yang terdapat pada kata waladun(ولد)  secara bahasa artinya adalah “anak” yang digunakan untuk anak laki-laki dan perempuan. Berlakunya kata waladun kepada perempuan karena tidak adanya kata ini khusus untuk perempuan (mu’annats). Didalam Al-Qur’an juga disebutkan kata walad berulang ulang untuk laki-laki dan perempuan seperti yang terdapat pada Q.S. an-Nisa’ ayat 11-12. Dalam kebiasaan sehari-hari (urf) orang Arab, kata walad hanya digunakan untuk anak laki-laki dan tidak untuk anak perempuan, sehingga sering digunakan urf qauli untuk memahami kata walad itu. Seperti yang terdapat pada Q.S. An-Nisa’ ayat 176 :

يَسْتَفْتُونَكَ قُلِ اللَّهُ يُفْتِيكُمْ فِي الْكَلَالَةِ ۚ إِنِ امْرُؤٌ هَلَكَ لَيْسَ لَهُ وَلَدٌ وَلَهُ أُخْتٌ فَلَهَا نِصْفُ مَا تَرَكَ ۚ وَهُوَ يَرِثُهَا إِنْ لَمْ يَكُنْ لَهَا وَلَدٌ ۚ فَإِنْ كَانَتَا اثْنَتَيْنِ فَلَهُمَا الثُّلُثَانِ مِمَّا تَرَكَ............
Katakanlah: “Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditingalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta perempuan), jika ia tidak mempunyai anak, tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal....
b.      Urf fi’li (عرف فعلي)  yaitu kebiasaan yang berlaku dalam bentuk perbuatan. Misalnya, kebiasaan untuk jual beli barang yang ringan (murah dan kurang begitu bernilai) dalam transaksi ini penjual dan pembli hanya saing menunjukan barang dan memberikan uang tanpa adanya ucapan akad.
2.      Dari segi ruang lingkup pengunaannya urf terbagi kepada :
a.       Adat atau urf umum (عرف عام), yaitu suatu kebiasaan umum yang hampir telah berlaku di mana-mana, hampir di seluruh penjuru dunia, tanpa memandang negara, bangsa dan Agama. Misalnya, menganggukan kepala sebagai tanda setuju dan menggelengkan kepala sebagai tanda penolakan atau ketidak setujuan
b.      Adat atau urf khusus (عرف خاص) yaitu, kebiasaan yang dilakukan suatu kelompok pada waktu terntentu dan tempat tertentu dan tidak dilakukan pada setiap waktu atau sembarang waktu. Misalnya, orang sunda menggunakan kata “paman” hanya untuk adik dari ayah, dan tidak digunakan untuk kakak dari ayah, sedangkan, orang jawa menggunakan kata “paman” untuk adik dari ayah dan kakak dari ayah”.[5]
3.  Ditinjau dari segi bak atau tidaknya urf dibagi menjadi dua yaitu:
a.       Urf shahih, yaitu kebiasaan yang dilakukan oleh kebanyakan masyarakat yang sudah dianggap umum karena tidak bertentangan dengan syara’, sopan santun, dan budaya yang luhur. Misalnya seperti mengadakan lamaran sebelum dilangsungkan akad nikah.
b.      Urf fasid, yaitu kebiasaan yang dilakukan oleh masyarakat yang bertentangan dengan syara’. Kebiasaan ini lebih mengarah kepada mengharamkan yang halal dan membatalkan wajib. Misalnya, seperti memberikan sesajen kepada patung, atau memberi sesajen pada tempat-tempat tertentu yang dianggap keramat.[6]
3.         Kedudukan Urf Dalam Menetapkan Hukum
Dalam literatur yang membahas kehujjahan urf atau adat dalam istinbath hukum, hampir yang selalu dibicarakan adalah tentang ‘urf  atau adat secara umum. Namun urf yang dijelaskan yaitu adat yang sudah diterima oleh dan diambil oleh syara’  ataupun yang sudah secara tegas ditolak oleh syara’ sudah tidak perlu diperbincangkan lagi tentang kehujjahannya.
Secara umum urf  itu diamalkan oleh semua ulama fiqh terutama di kalangan ulama mazhab Hanafiyah dan Malikiyah.
Ulama Hanafiyah menggunakan istishan dalam berijtihad dan salah satu bentuk istishann itu adalah istishan al urf (istishan yang menyandar pada urf). Oleh ulama hanfiyah, urf lebih didahulukan atas qiyas khafi dan juga didahulukan atas nash umum.
Ulama Malikiyah menjadikan urf atau adat yang dikalangan yang hidup ahli madinah sebagai dasar dalam menetapkan hukum dan mendahulukannya dari hadis ahad.
Ulama Syafi’iyah banyak menggunakan urf dalam hal-hal tidak menemukan ketentuan batasannya dalam syara’ maupun dalam pengunaan bahasa. Mereka menegemukakan  kaidah sebagai berikut :
كل ما ورد به اشرع مطلقا ولا ضا بط له فيه ولا في اللغة ير جع فيه الي العرف
“Setiap yang datang dengannya syara’ secara mutlak, dan tidak ada ukurannya dalam syara’ maupun dalam bahasa, maka dikembalikan kepada urf”
Para ulama dalam mengamalkan urf itu dalam memahami dan meng-istinbath-kan hukum, menetapkan beberapa persayaratan untuk menerima urf tersebut yaitu:
1.      Adat atau urf tersebut bernilai maslahat dan dapat diterma oleh akal sehat.
2.      Adat atau urf itu berlaku secara umum dan merata dikalangan orang-orang yang berada dalam limgkungan adat itu, atau dikalangan sebagian besar masyaraktnya.
3.      Urf  yang dijadikan sandaran dalam penetapan hukum itu telah ada atau telah berlaku pada waktu itu juga, bukan urf yang muncul kemudian. Hal ini menjelaskan bahwa urf  tersebut sudah ada sebelum penetapan hukum, jikakalau urf baru ada atau ditetapkan kemudian, maka urf itu tidak diperhitungkan.
4.      Adat tidak bertentangan dan melalaikan dalil syara’ yang ada atau bertentangan dengan prinsip yang pasti.[7]
Dari uraian diatas bisa dipahami bahwa urf  atau adat itu digunakan sebagai landasan dalam menetapkan hukum. Namun adat atau urf  itu sendiri bukanlah dalil yang beridir sendiri. Adat dan urf  dapat dijadikan dalil karena ada yang mendukung atau ada tempat sandarannya, baik dala bentuk ijma’ atau maslahat.
4.         Hikmah ‘Urf
Yang dimaksud dengan ‘urf yang shahih ialah ‘urf yang wajib dipelihara pada tasyri’ juga pada hukum. Karena apa yang telah diketahui orang itu dan yang telah dijalani orang itu dapat dijadikan hujjah kemaslahatan dan kesepakatan mereka selama itu semua tidak bertentangan dengan syariat dan tidak menyalahi nash maka wajib untuk memeliharanya.
Kemudian berkenaan dengan Urf fasid adalah tidak wajib untuk memeliharanya karena dalam pelaksanaan dan pemeliharaannya bertentangan dengan syariat juga bertentangan dengan nash.[8]

C.      Saddudzara’i
1.      Pengertian Dzari'ah
Dari segi bahasa kata Dzari'ah memiliki arti yaitu jalan untuk menuju sesuatu. Banyak ulama yang mengatakan bahwa Dzari'ah adalah segala sesuatu yang akan menuntun kepada perbuatan yang tidak diperbolehkan dan mengandung kemudaratan. Sebagai salah satu ulama ushul Ibnu Qayyim Aj-Jauziyah berkata bahwa tidak semua hal yang dilarang itu adalah dzari'ah, akan tetapi ada juga yang malah dianjurkan. Maka dari itu Dzari'ah dibagi menjadi dua, yaitu : Sadd Adz-Dzari'ah (sesuatu yang dilarang) dan Fath Adz-Dzari'ah (sesuatu yang dianjurkan). [9]

2.      Pengertian Sadd Adz-Dzari'ah
Secara umum Sadd Adz-Dzari'ah dapat diartikan sebagai suatu perbuatan yang mana sebelumnya perbuatan itu mengandung sebuah kemaslahatan, akan tetapi malah berakhir menjadi sebuah kemafsadatan. Pada dasarnya maksud dari Dzari'ah adalah ada suatu pekerjaan yang dimana apabila dilakukan akan mendapatkan sebuah kemaslahatan tetapi pada akhirnya malah menjadi sebuah kemafsadatan/kerusakan.
Contohnya adalah "seseorang diwajibkan untuk berzakat apabila sudah sampai pada satu nisab dan haulnya, lalu untuk menghindari membayar zakat tersebut maka dihibahkanlah sebagian hartanya kepada anaknya sehingga kewajiban untuk berzakat itu gugur". yang menjadi masalah disini adalah tujuan orang itu menghibahkan hartanya yang mana hanya untuk menghindari kewajiban berzakat yang ada pada dirinya.[10]
Ada beberapa kriteria yang membuat suatu perbuatan itu dilarang menurut Imam Asy-Syatibi, yaitu :
a.       Perbuatan yang pada mulanya diperbolehkan itu mengandung kemafsadatan
b.      kemaslahatannya tidak lebih kuat daripada kemafsadatan
c.       perbuatan yang dibolehkan syara' mengandung lebih banyak kemafsadatan[11]
Yang dimaksud dengan saad Adz-dzara’i yaitu pengharaman wasilah/ sarana yang mubah menurut hukum asal. Karena sarana atau wasilah ini biasanya mengakitbatkan atau menuntun pada perbuatan haram. Saad adz-dzara’i ini merujuk pada sabda Rasulullah SAW yang berbunyi: “Hindarilah yang syubhat...”. Di lain sisi saad adz-dzara’i juga menjadi bagian dari menarik manfaat yaitu kaidah jalbul mashalih (menarik manfaat). Perintah saad adz-dzara’i ada kalanya untuk mendatangkan kemaslahatan pribadi dan kemaslahatan umum, namun juga bisa untuk menolok mafsadah (dar’u al- mafasid) baik pribadi maupun umum, akan tetapi saad adz-dzara’i biasanya lebih masuk kepada prinsip penolakan mafsadah.[12]


3.      Pengertian Fath Adz-Dzari'ah
Memiliki arti yaitu suatu perbuatan yang bisa membawa kepada sesuatu yang diperbolehkan, bahkan diwajibkan syara'. Seperti halnya sholat jum'at, yang mana pada saat waktu sholat jum'at kita sebagai umat muslim disuruh untuk meninggalkan segala aktivitas kita dan bersegera menuju ke masjid.[13]

4.      Macam-macam Dzari'ah

Dilihat dari segi kualitas kemafsadatan :
a.       Sudah pasti perbuatan yang dilakukan itu membawa kepada kemafsadatan
b.      Ada perbuatan yang boleh dilakukan karena perbuatan itu tidak terlalu mengandung kemafsadatan
c.       Sebagian besar kegiatan/perbuatan yang dilakukan itu membawa kepada kemafsadatan. Seperti halnya, ada sesorang yang menjual senjatanya kepada musuhnya. Hal seperti ini tentu saja dilarang.
d.      Ada juga perbuatan yang pada awalnya diperbolehkan karena mengandung kemaslahatan, akan tetapi perbuatan tersebut juga bisa membawa kepada kemafsadatan.
Hasil yang disebabkan dari segi kemafsadatan :
a.       Perbuatan yang sudah sangat jelas menyebabkan kemafsatan. Seperti meminum minuman keras yang dapat menyebabkan mabuk dan jelas sekali dijelaskan bahwa mabuk itu diharamkan.
b.      Pada dasarnya perbuatan itu diperbolehkan bahkan dianjurkan, akan tetapi malah dijadikan sebagai tujuan yang haram baik itu disengaja ataupun tidak.
Ibnu Qayim membagi lagi dua hal diatas menjadi dua macam, yaitu :
a.       Kemaslahatan suatu perbuatan itu masih lebih besar dibandingkan dengan kemafsadatan.
b.      Sebaliknya, kemafsadatan kadang bisa juga lebih besar daripada kemaslahatan.[14]
Dua hal tersebut masih dibagi menjadi empat oleh Ibnu Qayim, yaitu :
a.       Sengaja melakukan suatu perbuatan yang memang mafsadat. Seperti meminum alkohol/arak.
b.      Suatu perbuatan yang pada dasarnya tidak dilarang akan tetapi malah dengan sengaja digunakan untuk melakukan suatu perbuatan yang haram.
c.       Perbuatan itu pada dasarnya boleh dan yang melakukannya pun tidak bertujuan untuk melakukan suatu kemafsadatan, akan tetapi malah berakibat menimbulkan sesuatu yang mafsadat, misalnya mencaci-maki sesembahan orang musyrik yang diduga akan berakibat munculnya cacian yang sama terhadap Allah swt. sehingga perbuatan seperti ini dilarang syara’.
d.      Perbuatan yang diperbolehkan untuk dilakukan tetapi bisa juga menimbulkan sebuah kemafsadatan, misalnya melihat wanita yang dipinang. Menurut Ibn Qayyim al-Jauziyah, dalam kasus ini kemaslahatannya lebih besar dari kemafsadatannya sehingga hal tersebut diperbolehkan sesuai dengan kebutuhan.[15]

5.      Kedudukan Saddu Al-dzara’i
Meskipun hampir semua ulama dan penulis ushu fiqih menyinggung tentang saddu’ al dzarai’ah, namun amat sedikit dalam pembahasannya khusus secara tersendiri. Ada yang yang menempatkan bahasannya dalam deretan dalil-dalil yang tidak disepakati ulama.
Masalah ini menjadi banyak perhatian ulama karena banyak di dalam ayat Al-Qur’an  yang mengisyaratkan ke arah tersebut. Misalnya ;
a.       Surat Al-An’am (6): 108 :

وَلَا تَسُبُّوا الَّذِينَ يَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ فَيَسُبُّوا اللَّهَ عَدْوًا بِغَيْرِ عِلْمٍ
“Janganlah kamu caci orang yang menyembah selain Allah, karena nanti ia akan mencaci Allah secara memusuhi tanpa pengetahuan.”

Sebenarnya mencaci dan menghina dalam hal ini boleh-boleh saja, bahkan jika perlu memeranginya. Namun karena perbutan mencaci dan menghina itu akan menyebabkan penyembah selain Allah itu akan mencaci Allah kembali, maka perbuatan mencaci itu dilarang.

b.      Surat An-Nuur (24): (31) :

وَلَا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِنْ زِينَتِهِنَّ ۚ وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَ الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Dan janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.”
Sebenarnya dalam hal ini mengentakan kaki boleh-boleh saja bagi wanita, namun karena menyebabkan perhiasannya yang tersembunyi dapat diketahui orang sehingga akan menimbulkan rangsangan bagi yang mendengar, maka mengentakan kaki itu tidak diperbolehkan.
Dalam Hal ini dasar pemikiran hukumnya bagi para ulama adalah bahwa setiap perbuatan mengandung dua sisi, dari sisi yang pertama, yaitu sisi yang mendorong kepadanya untuk berbuat, dan yang kedua, yaitu sasaran atau tujuan yang menjadi natijah (kesimpulan/akibat) dari perbuatan itu.
  1. Pandangan Ulama Tentang Saddi al Dzari’ah
Dalam pembahasan ini tidak ada dalil yang jelas dan pasti baik dalam bentuk nash maupun ijma’ ulaa tentang boleh atau tidaknya menggunakan  saddu al-dzari’ah.
Oleh karena itu dasar pengambilannya hanya semata mata dengan ijtihad, dengan berdasarkan pada tindakan hati-hati dalam beramal dan jangan sampai melakukan perbuatan yang dapat menimbulkan kerusakan. Hal ini kemudian sebagai pedoman dalam tindakan hati-hati itu merupakan faktor  manfaat manfaat dan mudarat atau baik dan buruk.
Mustafa Syalabi mengelompokan beberapa pendapat ulama tentang saddu al-dzari’ah  ke dalam tiga kelompok, yaitu :
1.      Dzari’ah yang membawa kepada kerusakan secara pasti, atau bisa memang dapat menimbulkan kerusakan, seperti pada bentuk-bentuk pembagian dzari’ah menurut syatibi.
2.      Dzari’ah yang kemungkinan mendatangkan kemudharatan atau larangan. Dalam hal ini para ulama sepakat untuk tidak melarangnya, dalam artian pintu dzari’ah tidak perlu ditutup (dilarang).
3.      Dzari’ah yang terletak ditengah-tengah antara kemungkinan membawa kerusakan dan tidak membawa kerusakan, dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat ulama. Syalabi mengemukakan bahwa Imam Malik dan Ahmad bin Hambal mengahruskan untuk melarang dzari’ah, sedang Imam Syafi’i dan Abu Hanifah menyatakan tidak perlu melarangnya.
Dasar pegan ulama dalam menggunakan saddu al-dzari’ah adalah kehati-hatian dalam beramal ketika menghadapi perbenturan antara maslahat dan mafsadat. Jika maslahat yang lebih dominan maka boleh dilakukan dzari’ah dan sebaliknya jika mafsadat yang lebih dominan maka tidak boleh dilakukan.[16]
Namun apabila sama kuat diantaranya, maka untuk menjaga kehati-hatian tersebut harus diambil prinsip yang berlaku seperti ang dirumuskan dalam kaidah :
در االمفا سد مقدم علي جلب المصا لح
Menolak kerusakan diutamakan ketimbang mengambil kemashlahatan”.

Sebagai pegangan ulama yang mengambil tindakan kehati-hatian dalam beramal, adalah dengan sabda Nabi :

د ع ما ير يبك الي ما لا ير يبك
Tinggalkan apa-apa yang meragukanmu untuk mengambil apa-apa yang tidak meragukanmu”

D.      Madzhab Shahabat
1.         Pengertian Madzhab Shahabat
Secara terminologi Madzhab shahabat (shahabi) adalah pendapat dari para sahabat Nabi Muhammad SAW. Pendapat dari para sahabat disini maksudnya yaitu pendapat dari para sahabat yang ditegaskan oleh para ulama mengenai suatu kasus atau masalah baik berupa fatwa maupun ketetapan hukum, namun di dalam Al-Qur’an maupun hadits tidak dijelaskan mengenai hukum terhadap kasus atau masalah yang sedang dihadapi oleh para sahabat tersebut.
Menurut para ulama ushul fiqh yang dimaksud dengan sahabat yaitu orang yang pernah bertemu dengan Nabi Muhammad SAW, yang mempunyai hubungan khusus dengan Nabi dan beriman kepadanya serta mengikuti apa yang dikerjakan oleh Nabi dan hidup bersama Nabi selama waktu yang panjang.[17]

2.         Keadaan Para Sahabat Setelah Rasulullah Wafat
Setelah wafatnya Rasulullah, muncul lah para sahabat yang telah mengenal dan memiliki ilmu fiqih yang sangat mendalam dan kemudian para sahabat memberikan pendapat mereka terhadap suatu masalah untuk membentuk suatu hukum tertentu yang ditujukan untuk umat islam. Itu semua dikarenakan mereka telah bersama dengan Rasulullah dalam jangka waktu yang cukup lama. Oleh sebab itu mereka telah memahami isi Al-Qur'an dan juga hukum-hukumnya. Dari para sahabat pulalah keluar fatwa dari berbagai macam peristiwa-peristiwa yang ada.
Para Ulama dari kalangan tabi'in dan tabi'it tabi'in telah memperhatikan periwayatan dan penakwilan dari fatwa-fatwa mereka. Ada beberapa diantara mereka yang menyusunnya bersama dengan sunnah-sunnah Rasul, sehingga pendapat/fatwa para sahabat dianggap sebagai sumber pembentukan hukum yang disamakan dengan nash.
Seorang mujtahid pun diharuskan untuk mengembalikkan suatu permasalahan  kepada fatwa yang mereka buat sebelum kembali kepada qiyas. Kecuali itu adalah pendapat pribadi yang bersifat ijtihadi dan tidak mengatas namakan umat islam. [18]

3.         Kehujjahan Mazhab Shahabi dan pandangan para ulama
          Hujjah orang islam berasal dari pendapat sahabat-sahabat, terlebih dalam suatu masalah yang tidak dapat diselesaikan oleh akal pikiran manusia. Karena, pendapat-pendapat yang disampaikan para sahabat berasal dari  Rasulullah SAW, seperti contoh hujjah dari Aisyah, “Tidaklah berdiam kandungan itu dalam perut ibunya lebih dari dua tahun, menurut kadar ukuran yang dapat mengubah bayangan alat tenun”.
          Keterangan pengertian hujjah tidaklah sah jika dijadikan sebagai pendapat dan ijtihad, tetapi karena sumber hujjah memang benar berasal langsung dari Rasulullah SAW. maka hujjah tersebut dianggap meliputi sebagian sunnah meskipun pada sebenrnya merupakan hanya ucapan yang dilakukan oleh sahabat.
          Jika pendapat antara satu sahabat dan sahabat yang lain tidak bertentangan maka pendapat tersebut bisa dijadikan hujjah oleh umat muslim. Karena telah terjadi kesepakatan hukum di zaman Rasulullah SAW. Rahasia-rahasia kejadian dan syariat diketahui oleh mereka yang bersumber dari dalil yang qath’i. Seperti contoh hukum kesepakatan pembagian waris seorang nenek yang mendapatkan hak waris seperenam. Dan kesepakatan hujjah tersebut wajib dilaksanakan karena tidak adanya perselisihan antara umat muslim.
          Perselisihan atau ketidak cocokan yang terjadi diantara para sahabat biasanya dikarenakan ada seorang sahabat yang berpendapat sendiri sebelum ada kesepakatan antara sahabat yang lain. Abu Hanifah setuju dengan pernyataan tersebut lalu berkata : "Apabila di dalam Al-qur'an dan sunnah tidak ada penjelasan tentang hukum yang saya cari, maka saya akan menggunakan pendapat dari para sahabat dan meninggalkan pendapat para sahabat yang tidak saya kehendaki, tidak menutup kemungkinan saya menggunakan pendapat yang masih sesuai dengan yang lainnya".[19]
          Banyak dari ulama ushul yang mengatakan bahwa mereka sepakat bahwa baik itu fatwa maupun ketetapan hukum yang dikemukakan oleh para sahabat berdasarkan hasil dari ijtihad tidak bisa dijadikan sebagai hujjah dalam menentukan suatu hukum syara'.
          Beberapa ulama seperti Imam Hanafi, Qaul Qadim Syafi'i, Ulama Hanafiyah dan Imam Ahmad bin Hanbal berpendapat bahwa fatwa dari hasil ijtihad para sahabat dapat dijadikan sebagai hujjah, pendapat para sahabat juga akan lebih di dahulukan apabila terjadi sebuah perbedaan dengan qiyas. Terdapat alasan dalam surat Ali Imron ayat 110 :
كنتم خير أمة اخرجت للناس تأمرون بالمعروف وتنهون عن المنكر.....
"Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyeru kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang mungkar...."


Jumhur Ulama dan Qaul Jadid dari Imam Syafi'i juga berpendapat, yaitu :
مذهب الصحابي ليس بحخة مطلق
"Pendapat sahabat secara mutlak tidak bisa dijadikan sebagai hujjah"

Sebagian besar Uama hanafiyah, Imam Hanafi, dan Qaul Qadim Imam Syafi'i berpendapat :
مذهب الصحبي حجة سرعية مقدمة علي القياس

"pendapat sahabat menjadi hujjah syar'iyah didahulukan daripada qiyas"

Sebagian besar ulama lain juga berpendapat bahwa :
مذهب الصحابي حخة اِذا انضم اِليه القياس

"Pendapat sahabat menjadi hujjah, apabila didudkung oleh qiyas"[20]

E.       Syar’u Man Qablana
1.    Pengertian Syar’u Man Qablana
Secara etimologi syar’u man qablana memiliki arti syariat orang-orang terdahulu. Sedangkan secara terminologi (istilah) yang dimaksud dengan syar’u man qablana adalah ajaran-ajaran dan syariat hukum yang berlaku bagi para nabi sebelum Nabi Muhammad saw. diutus menjadi seorang rasul.[21]  
Syar’u man qablana dapat juga diartikan sebagai ajaran-ajaran atau ketetapan dari nabi-nabi terdahulu sebelum adanya Islam yang berhubungan dengan hukum.[22] Contohnya : Syariat Nabi Musa as. yang diperuntukkan bagi kaum Israil, syariat Nabi Ibrahim yang diperuntukkan bagi kaumnya sendiri, syariat Nabi Isa yang diperuntukkan bagi kaumnya yaitu kaum Hawariyyin. Syariat yang diperuntukkan Allah swt. kepada para nabi yang terdahulu pada dasarnya sama dengan syariat yang diturunkan kepada Rasulullah saw. hal ini sesuai dengan firmanya yang berbunyi :

شَرَعَ لَكُمْ مِّنَ الدِّيْنِ مَاوَصَّى بِهِ نُوْحَا وَالّذِي أوْحَيْنَا أِلَيْكَ وَمَا وَصَّيْنَا بِهِ أِبْرَا هِيْمَ وَمُوْسَى وَعِيْسَى أَنْ اَقِيْمُوْا الدِّيْنَ وَلاَ تَتَفَرُّقُوْا فِيْهِ

Artinya :
“Dia telah mensyariatkan bagi kaum tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepada-mu dan apa yang telah Kami wahyukan Ibrahim, Musa dan Isa yaitu tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya .... “(QS. Asy-Syura’ : 13) [23]

2.    Pendapat Para Ulama tentang Syar’u Man Qablana
Para ulama berpendapat mengenai syar’u man qablana ( شرع من قبلنا ) atau syari’at yang sudah ada sebelum kita merupakan hukum-hukum yang dibawa oleh para Nabi dan Rasul terdahulu yang telah disyariatkan untuk umat sebelum Islam dan menjadi dasar hukum yang harus diikuti oleh umat sebelum adanya syari’at dari Rasulullah saw.[24]
Pendapat mengenai syar’u man qablana dari kebanyakan ulama seperti ulama Malikiyyah, ulama Hanafiyyah, sebagian ulama Syafi’iyyah dan sebagian ulama Hanabilah salah satunya yaitu at-Tamimi bahwasanya syar’u man qablana berlaku bagi umat Islam apabila syariat tersebut diinformasikan melalui Nabi Muhammad saw. bukan karena terdapat dalam kitab-kitab suci para nabi terdahulu yang telah mengalami perubahan dan juga tidak terdapat nash syara’ (ketetapan Al-Qur’an dan Hadits) yang membatahnya. Dasar dari pendapat para ulama tersebut adalah :

a.       Firman Allah QS. Al-An’am (6) : 90

أُوْلَئِكَ الَّذِيْنَ هَدَى اللَّهُ ۖ  فَبِهُدَهُمُ اقْتَدِهْ

Artinya : “Mereka itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah, maka ikutilah petunjuk mereka.” (QS. Al-An’am (6) : 90)
Ayat yang terdapat diatas ditunjukkan kepada Nabi Muhammad saw. yang bertujuan agar beliau mengikuti para nabi dari Bani Israil. Oleh sebab itu, syariat dari para nabi terdahulu harus diikuti, selama tidak ada nash yang me-nasakh-kannya.

b.      Firman Allah yang terdapat dalam QS. An-Nahl (16) : 123

ثُمَّ أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ أَنِ اتَّبِعْ مِلَّةَ إبْرَهِيْمَ حَنِيْفًا ۖ  وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ

Artinya : “Kemudian, Kami wahyukan kepadamu (Muhammad): “Ikutilah agama Ibrahim seorang yang hanif” dan ia tidak termasuk orang-orang yang mempersekutan Tuhan”  

Ayat diatas ditunjukkan kepada Nabi Muhammad saw. untuk mengikuti agama Nabi Ibrahim seperti mengikuti syariatnya.

Kebanyakan dari ulama Hanabilah, ulama Asya’irah, Mu’tazilah, Syi’ah dan sebagian ulama Syafi’iyyah berpendapat mengenai syar’u man qablana bahwa apabila tidak ada ketegasan pemberlakuannya dan tidak ada nash yang me-nasakh-kannya, maka ia tidak berlaku bagi Rasulullah saw. dan umatnya. Terdapat dalil yang dikemukakan oleh mereka, yaitu :
Ø  Firman Allah yang terdapat dalam dalam QS. Al-Ma’idah (5) : 48 :

لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنْكُمْ شِرْعَةً وَمِنْهَا جًا

Artinya : “Untuk tiap-tiap umat diantara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang.”

Ayat diatas menegaskan bahwa syar’u man qablana tidak berlaku bagi kita karena setiap umat sudah ada syariatnya masing-masing sehingga tidak diperintahkan untuk mengikuti syariat umat lainnya.
Dari dalil-dalil yang telah dikemukakan oleh masing-masing kelompok untuk mendukung pendapatnya, sebenarnya memiliki kelemahan tersendiri sehingga dapat dikritik. Seperti dalil yang dikemukakan oleh kelompok pertama yang berkaitan dengan perintah mengikuti para nabi yang terdahulu, yang mana perintah tersebut berkaitan dengan akidah tauhid dan prinsip-prinsip umum syariat, yang sering diistilahkan dengan kulliyyat al-khams (memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan harta), bukan yang berkaitan dengan syariat hukum secara keseluruhan.
Sebagian dari ulama kontemporer, seperti Abdul Wahhab, Khudhari Baik, Khallaf dan Zakiuddin Sya’ban) lebih cenderung kepada pendapat dari kelompok yang pertama. Artinya, syar’u man qablana berlaku bagi umat Islam namun dengan syarat, yang mana syariat tersebut terdapat di dalam Al-Qur’an dan hadits-hadits yang shahih.[25]

3.    Pengelompokkan Syar’u Man Qablana
Syariat yang sudah ada sebelum kita dalam pengertian yang terdapat di atas dibagi menjadi 3 bagian yaitu :
1)      Syariat yang terdapat dalam Al-Qur’an yang sudah ada sejak dulu atau penjelasan dari nabi yang disyariatkan bagi umat sebelum Rasulullah saw. dan telah dijelaskan pula dalam nash bahwa yang demikian telah diganti (dinasakh) dan tidak diberlakukan lagi bagi umat Nabi Muhammad saw.[26] Contoh dari syariat ini yaitu syariat yang berlaku bagi umat Nabi Musa as. Yang mana pada zaman Nabi Musa seseorang yang telah melakukan perbuatan maksiat maka ia tidak akan diampuni dosanya kecuali membunuh dirinya sendiri. Kemudian syariat tersebut di nasakh dengan ayat dibawah ini :

وَأَنِ اسْتَغْفِرُوْارَبَّكُمْ ثُمَّ تُوْبُوْا أِلَيْهِ

Artinya : “Dan kehendaklah kamu meminta ampun kepada Tuhanmu dan bertaubatlah kepadanya ...” (Q.S Huud : 3)[27]

2)      Di dalam Al-Qur’an maupun Hadits Nabi telah dijelaskan mengenai hukum-hukum yang disyariatkan bagi umat terdahulu (sebelumnya) dan dinyatakan pula bahwa berlaku juga untuk umat Nabi Muhammad saw. dan dinyatakan berlaku untuk umat selanjutnya. Sesuai dengan firman Allah dalam QS. Al-Baqarah ayat 183 :

يَأَيُّهَا  الَّذِيْنَ ءَامَنُوْاكُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَاكُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَ

Artinya : “Hai orang-orang yang beriman diwajibkan atasmu puasa sebagaimana diwajibkan atas umat sebelum kalian, mudah-mudahan kalian menjadi orang-orang yang bertaqwa.”
Di dalam ayat tersebut dijelaskan bahwa puasa disyariatkan bagi umat nabi yang terdahulu dan diwajibkan atas umat Nabi Muhammad saw.

Contoh yang terdapat di dalam hadits Nabi yaitu tentang berkurban, yang mana dijelaskan bahwa berkurban disyariatkan untuk Nabi Ibrahim as. namun juga disyariatkan untuk umat Nabi Muhammad saw. Yang ditegaskan dalam sabda Nabi :
ضَحُّوْا فَاِنَّهَا سُنَّةُ أَبِيْكُمْ إِبْرَاهِيْمَ (الحديث)

Artinya : “Berkurbanlah karena yang demikian itu adalah sunnah bapakmu, Ibrahim.”
3)       Di dalam Al-Qur’an maupun hadits Nabi telah dijelaskan bahwa hukum berlaku bagi umat terdahulu atau umat sebelum Nabi Muhammad saw. namun tidak dinyatakan secara jelas bahwa hukum tersebut berlaku untuk kita dan juga tidak terdapat penjelasan bahwa hukum tersebut telah dinasakh (diganti).

Sehingga dapat disimpulkan dari ketiga kelompok syariat sebelum kita (penjelasan diatas) bahwa dari bentuk yang pertama sudah jelas kedudukannya yaitu sudah tidak berlaku lagi untuk kita (umat Nabi Muhammad saw.) Dari bentuk yang kedua yang disepakati telah menjadi hukum Islam. Bentuk yang ketiga inilah sebenarnya yang disebut dengan “syari’at sebelum kita” yang dijadikan bahan kajian oleh ulama Ushul ketika membicarakan dalil-dalil syara’ atau metode ijtihad.

4.    Kehujjahan Syar’u Man Qablana
Terdapat perbedaan pendapat dari kalangan ulama mengenai syar’u man qablana apakah dijadikan dalil dalam menetapkan hukum bagi umat Nabi Muhammad saw. Pendapat yang mereka kemukakan yaitu:
1.      Pendapat mengenai syar’u manqablana dari Ulama’ Hanafiyah dan Hanabilah dan sebagian ulama’ Syafi’iyah, ulama’ Malikiyah serta ulama’ Asy’ariyah dan Mu’tazilah bahwasannya selama hukum tidak dijelaskan pemberlakuannya maka hukum tersebut tidak berlaku bagi umat Nabi Muhammad SAW. Hal ini dikarenakan syari’at terdahulu itu khusus berlaku bagi umat ketika itu. Sedangkan syari’at yang dibawa Nabi Muhammad sebagai rasul terakhir berlaku secara umum dan menasakh syari’at sebelumnya.
2.      Sebagian ulama Malikiyah, sebagian sahabat Abu Hanifah, sebagian sahabat Imam Syafi’i dan Imam Ahmad yang terdapat didalam salah satu riwayat mengatakan hukum-hukum yang telah dijelaskan didalam Al-Qur’an atau sunnah Nabi meskipun tidak ditunjukkan untuk umat Rasulullah saw., tetapi selama tidak ada penjelasan mengenai nasakhnya, maka berlaku hukum tersebut berlaku pula untuk umat Rasulullah saw. Alasan dari pendapat mereka merupakan beberapa petunjuk dari ayat Al-Qur’an yaitu:

شَرَعَ لَكُمْ مِّنَ الدِّيْنِ مَاوَصَّى بِهِ نُوْحَا وَالّذِي أوْحَيْنَا أِلَيْكَ وَمَا وَصَّيْنَا بِهِ أِبْرَا هِيْمَ وَمُوْسَى وَعِيْسَى أَنْ اَقِيْمُوْا الدِّيْنَ وَلاَ تَتَفَرُّقُوْا فِيْهِ


Artinya : “Dia telah mensyariatkan bagi kaum tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepada-mu dan apa yang telah Kami wahyukan Ibrahim, Musa dan Isa yaitu tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya .... “(QS. Asy-Syura’ : 13) [28]
F.       Kesimpulan
Definisi dari Urf menurut Mukhtar Yahya adalah sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan oleh masyarakat baik itu berupa perbuatan ataupun perkataan yang telah imisalnya pada saat transaksi jual beli untuk kebutuhan ringan sehari-hari misalnya seperti garam, tomat, dan sayur-sayuran, dengan hanya menerima barang dan menyerahkan uang tanpa mengucapkan ijab dan qabul.
Secara umum Sadd Adz-Dzari'ah dapat diartikan sebagai suatu perbuatan yang mana sebelumnya perbuatan itu mengandung sebuah kemaslahatan, akan tetapi malah berakhir menjadi sebuah kemafsadatan. Pada dasarnya maksud dari Dzari'ah adalah ada suatu pekerjaan yang dimana apabila dilakukan akan mendapatkan sebuah kemaslahatan tetapi pada akhirnya malah menjadi sebuah kemafsadatan/kerusakan.
Secara terminologi Madzhab shahabat (shahabi) adalah pendapat dari para sahabat Nabi Muhammad SAW. Pendapat dari para sahabat disini maksudnya yaitu pendapat dari para sahabat yang ditegaskan oleh para ulama mengenai suatu kasus atau masalah baik berupa fatwa maupun ketetapan hukum, namun di dalam Al-Qur’an maupun hadits tidak dijelaskan mengenai hukum terhadap kasus atau masalah yang sedang dihadapi oleh para sahabat tersebut. Dilihat dari segi kualitas kemafsadatan Dzari’ah dibagi menjadi 4 macam yaitu :
a.       Sudah pasti perbuatan yang dilakukan itu membawa kepada kemafsadatan
b.      Ada perbuatan yang boleh dilakukan karena perbuatan itu tidak terlalu mengandung kemafsadatan
c.       Sebagian besar kegiatan/perbuatan yang dilakukan itu membawa kepada kemafsadatan. Seperti halnya, ada sesorang yang menjual senjatanya kepada musuhnya. Hal seperti ini tentu saja dilarang.
d.      Ada juga perbuatan yang pada awalnya diperbolehkan karena mengandung kemaslahatan, akan tetapi perbuatan tersebut juga bisa membawa kepada kemafsadatan.

Yang dimaksud dengan syar’u man qablana adalah ajaran-ajaran dan syariat hukum yang berlaku bagi para nabi sebelum Nabi Muhammad saw. diutus menjadi seorang rasul. Syar’u man qablana dapat juga diartikan sebagai ajaran-ajaran atau ketetapan dari nabi-nabi terdahulu sebelum adanya Islam yang berhubungan dengan hukum. Para ulama berpendapat mengenai syar’u man qablana ( شرع من قبلنا ) atau syari’at yang sudah ada sebelum kita merupakan hukum-hukum yang dibawa oleh para Nabi dan Rasul terdahulu yang telah disyariatkan untuk umat sebelum Islam dan menjadi dasar hukum yang harus diikuti oleh umat sebelum adanya syari’at dari Rasulullah saw.



DAFTAR PUSTAKA

Dahlan, Abd. Rahman Dahlan. 2016. Ushul Fiqh. Jakarta: Amzah
Effendi, Satria Effendi. 2005. Ushul Fiqh. Jakarta: Prenada Media
Tharaba , M. Fahim. 2016. Hikmatut Tasyri’ Wa Hikmatus Syar’i (Filsafat Hukum Islam). Malang: Dream Litera Buana

Syarifuddin, Amir. 2008. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana Prenada Media Grup
Praja , Juhaya S. 1999. Ilmu Ushul Fiqih. Bandung : CV Pustaka Setia
Bakry, Nazar. 2003. Fiqh dan Ushul Fiqh. Jakarta : PT RajaGrafindo Persada
Haroen, Nasrun. 1997. Ushul Fiqh. Jakarta: Logos Wacana Ilmu
Zaidan , Abdul Karim. 2008. Pengantar Studi Syariah. Jakarta: Rabbani Press
Khallaf, Abdul Wahab. 2005. Ilmu Ushul Fikih. Jakarta: PT  Asdi Mahasatya

Sieny, Saeed Ismaeel. 2017. Ushul Fiqih Aplikatif. Malang: Darul Ukhuwah Publisher


Catatan:
1.      Similarity lumayan tinggi, 20%.
2.      Kesimpulan perlu lebih diringkas lagi
3.      Penulisan seharusnya mengikuti kaidah KBBI, seperti Alquran, hadis, sunah.



[1] Amir Syarifuddin, Ushul fiqh, (Jakarta : Kencana, 2008), hal. 410
[2] M. Fahim Tharaba, Hikmatut Tasyri’ Wa Hikmatus Syar’i, (Malang : CV. Dream Litera Buana, 2016), hal. 160
[3] Satria Efendi, Ushul Fiqih, (Jakarta : Prenada Media, 2005), hal 153
[4]Abdul Karim Zaidan, Pengantar Studi Syariah, (Jakarta: Rabbani Press, 2008) hal. 258
[5] Amir Syarifuddin, op. Cit, hal. 416
[6] M. Fahim Tharaba, op. Cit, hal 161
[7] Amir Syarifuddin, op. Cit. hal 426
[8] Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fikih, (Jakarta: PT  Asdi Mahasatya, 2005) hal. 105
[9] Juhaya S. Praja, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung : CV Pustaka Setia, 1999), hal. 132
[10] Nazar Bakry, Fiqh dan Ushul Fiqh, (Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2003),  hal. 244
[11] Juhaya S. Praja, op. Cit. hal. 132
[12]Saeed Ismaeel Sieny, Ushul Fiqih Aplikatif, (Malang: Darul Ukhuwah Publisher, 2017) hal. 101
[13] Nazar Bakry, op. Cit. hal. 244
[14] Juhaya S. Praja, op. Cit. hal. 134-135
[15] Nasrun Haroen, Ushul Fiqh, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), hal. 166                                              
[16] Amir Syarifuddin, op. Cit. hal. 456
[17] Nazar Bakry, op. Cit. hal. 242
[18] Juhaya S. Praja, op. Cit. hal. 141
[19] Juhaya S. Praja, op. Cit. hal. 141-142
[20] Nazar Bakry, op. Cit. hal. 242-243
[21] Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, (Jakarta: Amzah, 2016), hal. 230
[22] Satria Effendi, op. Cit. hal. 163
[23] M. Fahim Tharaba, op. Cit. hal. 156
[24] Amir Syarifuddin, op. Cit. hal. 391
[25] Abd. Rahman Dahlan, op. Cit. hal. 231-235
[26] Amir Syarifuddin, op. Cit. hal. 392
[27] M. Fahim Tharaba, op. Cit. hal.159
[28] Amir Syarifuddin, op. Cit. hal. 393-395

Tidak ada komentar:

Posting Komentar