Senin, 26 Maret 2018

Hadis dan Historisitasnya (PIPS D Semester Genap 2017/2018)



Nurai’ni, Putri Nur Fuadah, dan Yusril Ihza Maulana
Mahasiswa Maulana Malik Ibrahim Malang
P.IPS D Angkatan 2016
Abstract: This article discusses the Hadith and its development history. Hadith (Al-Sunnah) is one of the laws that use Muslims after the Qur'an. The hadith itself is derived from the words and deeds performed by Prophet Muhammad SAW. He is the chosen man who is given the mandate to convey the message or revelation from Allah SWT to mankind for the guidance of life in the world and the Hereafter. As a human being in ma'sum (free from mistakes) we also make him as role model or role model in behaving. Because everything he speaks and does is a good thing for his people. So in this article will discuss more about what is the hadith and how the history of the hadith from the past until now
Abstrak: Artikel ini membahas tentang Hadits dan sejarah perkembangannya.  Hadith ( Al-Sunnah) merupakan salah satu hukum yang pakai umat islam setelah Al-Qur’an. Hadits itu sendiri diambil dari perkataan dan perbuatan yang dilakukan Nabi Muhammad SAW. Beliau merupakan manusia pilihan yang diberi amanah untuk menyampaikan risalah atau wahyu dari Allah SWT kepada umat manusia untuk pedoman hidup di dunia dan di akhirat. Sebagai manusia yang di ma’sum (bebas dari kesalahan) tak salah juga kita menjadikan beliau sebagai panutan atau suri tauladan dalam berperilaku. Karena segala yang beliau ucapkan dan lakukan merupakan sebuah kebaikan bagi para umatnya. Sehingga dalam artikel ini akan membahas lebih jauh lagi tentang apa itu hadits dan bagaimana sejarah adanya hadits dari dulu hingga sampai sekarang
Kata kunci: hadist, sunnah, historisitas
A.      Pendahuluan
Islam sebagai agama Allah memiliki sumber hukum utama, yaitu Al-Quran dan As-Sunnah. As-Sunnah juga sering disebut sebagai Al-Hadits.Hadis dan sunnah, baik secara struktural maupun fungsional disepakati oleh kebanyakan orang muslim dari berbagai mazhab islam, sebagai sumber ajaran islam, karena dengan adanya hadis dan sunnah ajaran agama islam menjadi jelas rinci dan spesifik.
Hadis mengandung satu prinsip yang mendasar, yaitu bahwa usaha menerima, menyampaikan,dan memelihara suatu hadis harus dilakukan secara cermat dan teliti.
Para ulama memiliki perbedaan dalam mendefinisikan hadis dan sunnah, perbedaan ini disebabkan oleh cara pandang ulama dalam memandang Nabi dan objek tujuan ilmu yang mereka bahas.
Perkembangan hadis dimulai sejak masa rasulullah, masa khulafa al-rasyidin, masa sahabat dan tabi’in,hingga masa pengumpulan hadis merupakan suatu yang harus dipahami oleh umat muslim.
B.       Pengertian Hadis/Sunah
Menurut bahasa (etimologi) hadis (al-hadist)sama dengan jadid yaitu perkara yang baru.[1]bentuk jamak dari hadits adalah ahadits. Selain itu, hadis juga diartikan sebagai Al-khabar yang berarti berita, yaitu sesuatu yang dipercakapkan dan dipindahkan dari seseorang pada orang lain.[2] Namun, al-khabar berbeda dengan al-hadits, karena al-hdits merupakan segala sesuatu yang dinisbatkan kepada Nabi Muhammad, sedangkan al-khabar merupakansegala sesuatu yang dinisbatkan kepada selain Nabi Muhammad.[3]
Sunnah menurut etimologi berarti jalan yang ditempuh, baik yang terpuji maupun tidak, sebagaimana sabda Nabi, berikut:

barang siapa membuat inisiatif yang baik, ia akan mendapatkan pahala dan pahala orang-orang yang mengerjakannya sesudahnya tanpa sedikitpun berkurang; dan barang siapa membuat inisiatif yang jelek, ia akan mendapatkan dosa dan dosa orang-orang yang mengerjakannya sesudahnya tanpa sekititpun berkurang” (HR. Muslim).[4]

Sunnah menurut istilah (terminologi) memiliki definisi yang berbeda-beda, hal ini disebabkan para ulama memiliki sudut pandang yang berbeda dalam melihat Nabi dan perbedaan objek tujuan ilmu yang menjadi pembahasannya.
Ditinjau dari perbedaan sudut pandang dalam melihat Nabi. Ulama hadis memandang Nabi sebagai imam, pemberi petunjuk, pemberi nasihat, sebagai suri tauladan (uswah hasanah) dan panutan (qudwah).Ulama ushul fiqih memandang Nabi sebagai penetap hukum islam (al-syari’) dan peletak bagi kaidah-kaidah bagi para mujtahid dalam menetapkan hukum islam. Ulama fiqh memandang Nabi dari sisi perbuatan yang bermuatan hukum syara’. Mereka membahas hukum syara’ yang berupa wajib, haram, sunnah, mubah, atau lainnya[5].
Dari sudut pandang tersebut, sunnah menurut ulama hadis memiliki cakupan yang sangat luas, karena mencakup aspek kehidupan Nabi mulai lahir sampai wafat. Nabi dipandang sebagai pemberi nasehat, pemberi petunjuk, sebagai pemimpin, tauladan, dan panutan yang patut dicontoh baik sebelum ataupun setelah diangkat menjadi Nabi. Namun, menurut sebagian ahli hadis mengatakan, sunnah tidak hanya segala sesuatu yang dihubungkan kepada Nabi tetapi juga pada para sahabat atau tabi’in yang berupa perbuatan, taqrir, ataupun sifat-sifatnya.
Menurut pemahaman ulama Ushul Fiqh, sunnah merupakan sesuatu yang bersumber dari Nabi baik perbuatan, perkataan, atau taqrir yang bisa menjadi dalil-dalil hukum syara’, dengan demikian sunnah diartikan sebagai sumber hukum islam.
Menurut ulama Fiqh Nabi tidak hanya dipandang sebagai penyampai risalah tetapi juga yang melakukan risalah, sehingga semua yang dilakukan dan dikatakan Nabi dan bukan merupakan fardhu atau wajib disebut sunnah. Selanjutnya pengertian sunnah menurut ulama fiqh diartikan sebagai perbuatan yang apabila dilakukan akan mendapat pahala, dan jika ditinggalkan tidak mendapat siksa.
C.      Bentuk-bentuk Hadis Nabi
Ditinjau dari bentuknya, hadis Nabi dibedakan menjadi lima, yakni:
1.    Hadis Qawli
Segala perkataan Nabi yang berhubungan dengan ibadah ataupun kehidupan sehari-hari. disebut sebagai hadis qawlli, yakni segala bentuk perkataan atau ucapan yang disandarkan kepada Nabi.[6]
Saat meriwayatkan hadis qawli, Nabi melakukannya dengan lima cara, yaitu:
a.    Sabda Nabi yang disampaikan dihadapan orang banyak.
b.    Sabda Nabi yang diungkapkan di depan satu orang atau beberapa orang.
c.    Sabda Nabi yang disampaikan oleh adanya sebab yang mendorong penyampaian hadis pada peristiwa tertentu.
d.   Sabda Nabi yang tidak dikarenakan adanya sebab tertentu.
e.    Nabi memerintahkan para sahabat untuk menullis sabda yang dikatakan
2.    Hadis Fi’li
Hadis fi’li merupakan semua tindakan yang disandarkan kepada Nabi. Hadis ini disampaikan kepada sahabat dan dijadikan sebagai pedoman perbuatan sahabat dan umat islam untuk mengikutinya. Hadis fi’li ini tidak diketahui langsung dari Nabi,malainkan melalui informasi dari para sahabat yang melihat Nabi melakukan sesuatu, kemudian disampaikan kepada sahabat lain. Bentuk-bentuk hadis fi’li, diantaranya:
Pertama, hadis berupa perbuatan yang disebabkan oleh sebab tertentu. Ketika Nabi melakukan tindakan yang disaksikan oleh satu atau beberapa sahabat, yang disebabkan oleh faktor tertentu. Hal-hal yang melatarbelakangi Nabi bertindak atau bersabda bermacam-macam.
Kedua, hadis berupaperbuatan yang tidak disebabkan oleh sebab tertentu. Hadis jenis ini jumlahnya lebih banyak daripada hadis yang disebabkan faktor tertentu. Hal ini, dikarenakan Nabi berbuat setiap hari dan kebanyakan perbuatan itu terjadi tanpa didahului oleh sebab yang melatarbelakanginya. Contohnya adalah doa permohonan kehidupan yang sejahtera di dunia dan di akhirat yang dilakukan oleh Nabi secara berulang kali, maka hal ini dinilai sebagai perbuatan Nabi.
Ketiga, hadis berupa perbuatan yang dilakukan dihadapan orang banyak. Contoh dari hadis ini, saat Nabi tiga malam melakukan shalat tarawih, akan tetapi pada hari keempat Nabi tidak melakukannya karena khawatir akan diartikan sebagai shalat wajib oleh kaum muslim, hal ini disampaikan kepada banyak sahabat yang melakukan shalat dimasjid.
Keempat, hadis berupa perbuatan yang dilakuka didepan satu atau beberapa orang. Contoh hadis ini adalah saat Nabi shalat diatas kendaraan, hadis ini menjelaskan bahwa
Nabi shalat diatas tunggangannya kemana saja tungganngannya itu menghadap”.
Tindakan yang dijelaskan dalam hadis tersebut dilakukan oleh Nabi Hanya dihadapan beberapa sahabat yang kebetulan mengikuti Nabi dalam perjalanan.
3.    Hadis Taqriri
Hadis taqriri atau hadis yang berupa persetujuan merupakan hadis yang ditetapkan oleh Nabi terhadap apa yang datang atau dilakukan oleh para sahabat. Maka dapat disimpulkan bahwa hadis ini buka dari Nabi melainkan dari para sahabat yang kemudian disetujuai Nabi. Sikap Nabi ini dijadikan dasar oleh para sahabat sebagai dalil taqriri.Contoh hadis taqriri, hadis riwayat Abu Dawud ‘Dua orang laki-laki pergi melakukan perjalanan. Ketika sampai waktu shalat dan keduanya tidak mendapatkan air, mereka bertayamum dengan debu yang bersih lalu mendirikan shalat. Setelah itu, mereka menemukan air. Salah seorang diantaranya berwudhu dan mengulangi shalat, sekangkan yang lain tidak mengulanginya. Keduanya datang kepada Rasulullah dan menceritakan hal itu. Kepada yang tidak mengulang Rasulullah bersabda (Engkau mengerjakannya menurut sunnah), sedangkan kepada yang lain Nabi bersabda(engkau mendapatkan pahala ganda).[7]
4.    Hadis Ahwali
Hadis alwali adalah hadis yang berupa hal ihwal Nabi, yang menyangkut keadaan fisik, sifat-sifat, dan kepribadiannya.[8]Hadis ahwali dibedakan menjadi dua, yaitu: Pertama, hal-hal yang bersifat intrinsik berupa sifat dan kkepribadian yang tercermin dari tindakan sehari-hari. Kedua, hal-hal yang bersifat ekstrinsik berupa aspek yang terkait dengan fisik Nabi.
5.    Hadis Hammi
Hadis Hammi merupakan hadis yang berupa hasrat atau keinginan Nabi yang belum terlaksana. Sebagaimana manusia pada umumnya, Nabi memiliki ide atau keinginginan, sebagian dari keinginan itu ada yang sudah terlaksana dan masih ada yang belum terlaksana, seperti halnya keinginan Nabi untuk berpuasa pada tanggal 9 ‘Asyura, Ibn Abbas meriwayatkannya sebagai berikut:

Ketika Nabi SAW. Berpuasa pada hari ‘Asyura dan memerintahkan sahabat untuk berpuasa, mereka berkata: Ya Nabi! Hari ini merupakan hari yang diagungkan oleh orang Yahudi dan Nasrani. Nabi SAW. Bersabda: Tuhan yang akan dadang insya’allah aku akan datang pada hari yang kesembilan”. (HR.Muslim)[9]

Nabi belum sempat melaksanakan keinginannya untuk berpuasa pada tangal 9 ‘Asyura, karena Nabi wafat sebelum sampai bulan ‘Asyura. Hadis Hammi ini tidak disebutkan dalam beberapa definisi hadis baik oleh ulama hadis, ulama ushul, ataupun ulama fiqh. Namun menurut Imam Syafi’i dan pengikutnya, melaksanakan hadis hammi ini adalah sunnah, sama seperti menjalankan hadis-hadis lainnya.

D.      Perbedaan Hadist, Sunnah, Atsar, dan Khabar.
Sesungguhnya hadist dan sunnah memiliki pengertian yang sama, masing-masing (hadist atau sunnah) berkaitan dengan ucapan, perbuatan, atau penetapan nabi SAW. Namun jika dikembalikan pada asal-usul kesejarahannya, ternyata terdapat ada beberapa perbedaan antara keduanya dalam penggunaan, baik dari segi bahasa maupun istilah.
Ditiinjau dari Abdul Baqa’,  Hadist  adalah isim (kata benda) dari tahdits yang berarti pembicaraan. Lalu didefinisikan sebagai ucapan, perbuatan, atau penetapan yang dinisbatkan kepada nabi SAW.[10] Arti dari “pembicaraan” disini dikenal oleh masyarakat arab dizaman jahiliyyah sejak mereka menyatakan “hari mereka yang terkenal” dengan sebutan ahadits (buah pembicaraan).[11] Berapapun ada perbedaan arti dari “pembicaraan” tapi kita akan selalu dapat menemukan arti “pembicaraan” secara jelas didalamnya, dalam firman Allah Ta’ala: “Maka hendaklah mereka mendatangkan kalimat (perkataan/pembicaraan) semisal al-Qur’an” (surat ath-thur, 34), dan firman Allah: “Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) al-Qur’an yang serupa (mutu ayat-ayatnya)” (surah az-zumar, 23).  Ada beberapa ulama’ yang merasakan adanya arti “baru” dalam kata hadist tapi mereka menggunakannya sebgai lawan kata qadium (lama), dengan memaksudkan qadium sebagai kitab Allah, sedangkan “yang baru” ialah apa yang disandarkan kepada nabi SAW. Dalam syarah al-Bukhori, syeikh islam ibnu Hajar berkata: “menurut syarah yang dimaksut dengan hadis ialah apa yang disandarkan kepada nabi SAW. Dan hal itu seakan-akan dimaksutkan sebagai bandingan al-qur’an adalah qadim.[12]Hal ini mengingatkan kepada kita dengan sangat jelas akan keenganan sebagian besar ulama’ menggunakan nam hadits untuk kitab Allah, atau menganti “kalam Allah” dengan “hadits Allah”
Pengertian Sunnah sendiri, menurut bahasa artinya;
Ų§Ł„Ų·Ų±Ł‰Ł‚Ų© Ł…Ų­Ł…ŁˆŲÆŲ© ŁƒŲ§Ł†ŲŖ Ų§Łˆ Ł…Ų°Ł…ŁˆŁ…Ų©
“jalan yang terpuji dan atau yang tercela.”
Sementara dalam hadist Rasulallah SAW; disebutkan:
Ł…Ł† Ų³Ł† ŁŁŠ Ų§Ł„Ų§ Ų³Ł„Ų§Ł… Ų³Ł†Ų© ŁŁ„Ł‡ Ų§Ų¬Ų±Ł‡Ų§ ŁˆŲ§Ų¬Ų± Ł…Ł† Ų¹Ł…Ł„ ŲØŁ‡Ų§ ŲØŲ¹ŲÆŁ‡ Ł…Ł† ŲŗŁŠŲ± Ų§Ł† ŁŠŁ†Ł‚Ųµ Ł…Ł† Ų§Ų¬ŁˆŲ±Ł‡Ł… Ų“ŁŠŲ” ŁˆŁ…Ł† Ų³Ł† ŁŁŠ Ų§Ł„Ų§Ų³Ł„Ų§Ł… Ų³Ł†Ų© ŁƒŲ§Ł† Ų¹Ł„ŁŠŁ‡ ŁˆŲ²Ų±Ł‡Ų§ ŁˆŁˆŲ²Ų± Ł…Ł† Ų¹Ł…Ł„ ŲØŁ‡Ų§Ł…Ł† ŲØŲ¹ŲÆŁ‡ Ł…Ł† ŲŗŁŠŲ± Ų§Ł† ŁŠŁ†Ł‚Ųµ Ł…Ł† Ų§ŁˆŲ²Ų§Ų±Ł‡Ł… Ų“ŁŠŲ”(Ų±ŁˆŲ§Ł‡ Ł…Ų³Ł„Ł…)
“barang siapa melakukan sesuatu perbuatan yang baik, ia akan mendapatkan pahala (dari perbuatannya itu dan pahala orang yang menirunya setelah dia, dengan tidak dikurangi pahalanya sedikitpun. Dan barang siapa melakukan perbuatan yang jelek, ia akan menanggung dosanya dan dosa orang-orang yang menirukannya, dengan tidak dikurangi dosanya sedikitpun.” (HR Muslim)
Dalam Qs al-Kahfi (18): 55 Allah berfirman:
ŁˆŁ…Ų§ Ł…Ł†Ų¹ Ų§Ł„Ł†Ų§Ų³ Ų§Ł† ŁŠŲ¤Ł…Ł†ŁˆŲ§Ų§Ų°Ų¬Ų§Ų”Ł‡Ł… Ų§Ł„Ł‡ŲÆŁ‰ ŁˆŁŠŲ³ŲŖŲŗŁŁŠŲ±ŁˆŲ§ Ų±ŲØŁ‡Ł… Ų§Ł„Ų§ Ų§Ł† ŲŖŲ§Ų” ŲŖŁŠŁ‡Ł… Ų³Ł†Ų© Ų§Ł„Ų§ŁˆŁ„ŁŠŁ†
“Dan tidak sesuatupun yang menghalangi manusia beriman, ketika petunjuk telah datang kepada mereka, dan memohon ampun. Kepada tuhannya, kecuali (keinginan menanti) datangnya hukum (Allah yang telah berlaku pada) umat-uamt terdahulu...  
Bila kata sunnah dikaitkan dengan pembahasan hukum syara’, maka yang dimaksut tidak lain adalah segala sesuatu yang diperintahkan, dilarang, atau dianjurkan oleh Rasulallah SAW. Baik berupa perkataan, perbuatan amupun ketetapannya. Apabila dalam dalil hukum syara’ disebutkan al-kitab dan al-sunnah yang dimaksut adalah al-Qur’an dan hadis.[13] Sedangkan menurut istilah, sunnah tedapat beberapa perbedaan dikalangan ulama, hal ini disebabkan karena perbedaan latar belakang, persepsi, dan sudut pandang masing-masing terhadap diri Rasulullah SAW. Mereka dikelompokan menjadi tiga golongan; Ahli Hadis, Ahli Usul, dan Ahli Fiqih.[14]
Khabar dan Atsar
Makna khabar menurut bahasa, yaitu segala berita yang disampaikan oleh seseorang kepada orang lain. Sedangkan menurut istilah yaitu, menurut ahli hadist berpendapat bahwa hadist dan khabar merupakan sinonim. Bahwa seorang perowi tidak cukup hanya mengutip hadist yang disandarkan kepada nabi SAW (marfu’), melainkan juga dari sumber para sahabat (mauquf ‘) atau bahkan yang hanya berhenti pada tabi’in saja (maqtu’).  Mencangkup dari segala sesuatu yang datang dari nabi saw, sahabat dan tabi’in, baik perkataan, perbuatan, maupun ketetapannya.[15] Namun ulama lain mengatakan bahwa khabar sendiri bermakna sesuatu yang datang selain dari nabi SAW  Sedangkan yang datang dari nabi SAW  Disebut Hadist. Dan ada lagi yang mengatakan bahwa Hadist lebih luas daripada khabar, sehingga tiap hadist yang dikatakan bisa disebut khabar, tapi setiap khabar yang dikatakan tidak bisa dikatakan Hadist. 
Menurut bahasa pengertian atsar memiliki kesamaan artinya dengan khabar, hadist dan sunnah. Sedangkan menurut istilah sendiri atsar memiliki arti yang terjadi perbedaan pendapat diantara pendapat para ulama’. Menurut istilah;
Ł…Ų§Ų±ŁˆŁŠ Ų¹Ł† Ų§Ł„ŲµŲ­Ų§ŲØŲ© ŁˆŁŠŲ¬ŁˆŲ² Ų§Ų·Ł„Ų§Ł‚Ł‡ Ų¹Ł„Ł‰ ŁƒŁ„Ų§Ł… Ų§Ł„Ł†ŲØŁŠ Ų§ŁŠŲ¶Ų§
“yaitu segala sesuatu yang diriwayatkan dari sahabat, dan boleh juga didasarkan pada perkataan nabi SAW.”
Jumhur ulama’ mengatakan bahwa atsar sama dengan khabar yang mana sesuatu disandarkan kepada nabi SAW. Sedangkan menurut ulama’ Khurasan atsar untuk mauquf dan khabar untuk yang marfu’.[16]
Dari keempat pengertian dari hadis, sunnah , khabar, dan atsar dapat disimpulkan bahwa dari beberapa pengertian tersebut memiliki maksut, yaitu segala sesuatu yang bersumber dari nabi SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, maupun taqrirnya.
E.       Sejarah Singkat Hadist nabi dari masa ke masa
1.    Periode Pertama: Hadist Pada Masa Rasulullah SAW
Membicarakan hadist pada masa Rasulullah SAW. berarti membicarakan hadist hadist pada awal pertumbuhannya. Maka dalam uraiannya akan terkait langsung dengan pribadi Rasulullah SAW. sebagai sumber hadist. Rasulullah SAW membina umatnya selama 23 tahun. Masa ini merupakan kurun waktu turunnya waktu dan sekaligus diwujudkan hadist. Keadaan ini sangat menuntut keseriusan dan kehati hatian para sahabat-sahabat sebagai pewaris pertama ajaran islam.
Wahyu yang diturunkan Allah SWT. kepadanya dijelaskannya melalui perkataan (aqwal), perbuatan (af’al) dan penetapan (taqrir)-nya. Sehingga apa yang didengar, dilihat dan disaksikan oleh para sahabat merupakan pedoman bagi amaliah dan ubudiah mereka. Rasulullah SAW merupakan contoh satu-satunya bagi para sahabat, karena ia memiliki sifat kesempurnaan dan keutamaan selaku Rasul Allah SWT. yang berbeda dengan manusia lainnya.
Pada masa ini dikenal dengan Ashr al wahy wa al Takwin, yaitu masa wahyu dan pembentukan karena pada masa nabi ini wahyu masih turun dan  masih banyak hadist-hadist Nabi yang datang dari-Nya. Ayat-ayat Al’Quran  dan Hadist-hadist Nabi menjadi penyejuk dan sumber kebahagiaan para sahabat nabi yang tidak pernah mereka temukan pada masa jahiliyah. Para sahabat sangat mencintai rasulullah melebihi cinta mereka kepada keluarga bahkan diri mereka sendiri. Mereka selalu berusaha menghafal ajaran-ajaran Islam melalui Al’Quran, juga selalu rindu bertemu Rasulullah untuk mendapatkan ajaran agama, termasuk hadist-hadistnya. Mereka menyadari betapa penting kedudukan hadist Nabi dalam agama islam, bahwa sunnah nabi merupakan pilar kedua setelah Al’Qur an, orang yang meremehkan dan mengingkarinya akan celaka dan orang yang mengamalkannya akan mendapat kebahagiaan.[17]
Tradisi meriwayatkan segala yang dikatakan atau dilakukan Nabi baik yang terkait dengan masyarakat umum maupun yang khusus berkenaan dengan hal – hal pribadi telah terjadi semenjak awal islam. Sebagai figur, Nabi menjadi pusat perhatian, dalam kapasitas sebagai pemimpin, teladan, dan penyampai syariat Allah yang hampir semua perkatann dan perilakunya bermuatan hukum, kecuali sebagai yang terkait dengan urusan duniawi. Kebiasaan menghargai seala yang berasal dari nabi terlihat pada banyaknya para sahabat, di tengah – tengah kesibukan mereka memenuhi kebutuhan hidup, menghadiri majelis Nabi, sebagian tinggal beberapa saat atau dalam waktu yang lama bersamanya, mendiskusikan dan menelaaah secara kritis hadis – hadis yang mereka terima. Jika terjadi persoalan yang menyangkut kebenaran hadis yang mereka terima. Mereka dapat langsung mengecek kebenarannya kepada nabi karena beliau berada bersama, bergaul, dan bermuamalah dengan mereka, sehingga bila terjadi kesalahan penukilan, kekeliruan pengucapan, atau kekurangpahaman terhadap makna teks hadis, dapat di rujuk pada Nabi.[18]
a.     Cara Rasulullah Menyampaikan Hadist
Ada suatu keistimewaan pada masa ini yang membedakannya dengan masa lainnya. Umat islam pada masa ini dapat secara langsung memperoleh hadist dari Rasul SAW. sebagai sumber hadist. Antara Rasul SAW. dengan mereka tidak ada jarak atau hijab yang dapat menghambat atau mempersulit pertemuan.
Allah swt menurunkan Al-Qur’an dan mengutus nabi Muhammad SAW sebagai utusannya adalah sebagai paket yang tidak dapat dipisah-pisahkan, dan apa apa yang disembunyikannya juga merupakan wahyu. Allah berfirman dalam menggambarkan kondisi utusan-Nya tersebut :
ŁˆŁ…Ų§ŁŠŁ†Ų·Ł‚ Ų¹Ł† Ų§Ł„Ł‡ŁˆŁ‰,Ų§Ł† Ł‡ŁˆŲ§Ł„Ų§ŁˆŲ­ŁŠŁŠ ŁŠŲ­Ł‰                                                                   
“Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)”. ( Q.S Al Najm (53): 3-4)
Kedudukan Nabi yang demikian ini otomatis menjadikan semua perkataan, perbuatan dan taqrir Nabi sebagai referensi bagi para sahabat. Dan para sahabat tidak menyia-yiakan keberadaan Rasulullah ini. Mereka secara proaktif berguru dan bertanya kepadanya tentang segala sesuatu yang mereka tidak mengetahuinya baik dalam urusan dunia maupun akhirat. Mereka mentaati semua yang dikatakannya, bahkan menirunya. Ketaatan itu sendiri dimaksudkna agar keberagamannya dapat mencapai tingkat kesempurnaan.
Oleh karena itu, tempat-tempat pertemuan di antara kedua belah pihak sangatlah terbuka dalam bantak kesempatan. Tempat yang biasa digunakan Rasulullah SAW cukup bervariasi, seperti di masjid, rumahnya sendiri, pasar, ketika dalam perjalanan (safar) dan ketika muqim (berada dirumah).
Melalui tempat-tempat tersebut Rasulullah SAW menyampaikan hadist, yang terkadang disampaikannya melalui sabdanya yang didengar oleh para sahabat (melalui musyafahah), dan terkadang melalui perbuatan serta taqrir nya yang disampaikannya oleh mereka (melalui musyahadah).
Menurut riwayat Bukhari, ibnu Mas’ud pernah bercerita bahwa untuk tidak melahirkan rasa jenuh di kalangan sahabat, Rasul SAW menyampaikan hadisnya dengan berbagai cara, sehingga membuat para sahabat selalu ingin mengikuti pengajiannya.[19]
Ada beberapa cara rasulullah SAW menyampaikan hadis kepada para sahabatnya, yaitu:
Pertama, melalui jamaah pada pusat pembinaannya yang disebut majlis al’ ilmi. Melalui majlis ini para sahabat memperoleh banyak peluang untuk menerima hadis, sehingga mereka berusaha untuk selali engkonsentrasikan diri guna mengikuti kegiatan dan ajaran yang diberikan oleh Nabi SAW.Para sahabat begitu antusias untuk tetap bisa mengikuti kegiatan di majlis ini. Ini ditunjukkan dengan banyak upaya. Terkadang di antara mereka bergantian hadir, seperti yang dilakukan oleh umar bin Khattab. Ia sewaktu – waktu bergantian hadir dengan ibnu Zaid ( dari bani Umayyah) untuk menghadiri majlis ini, ketika ia berhalangan hadir. Ia berkata: “Kalau hari ini aku yang turun atau pergi, pada hari lainnya ia yang pergi, demikian ku melakukannya”. Terkadang kepala – kepala suku yang jauh dari Madinah mengirim utusannya ke majlis ini, untuk kemudian mengajarkannya kepada suku mereka sekembalinya dari sini.
Kedua, dalam banyak kesempatan Rasulullah SAW. juga menyampaikan hadisnya melalui para sahabat tertentu, yang kemudian disampaikannya kepada orang lain. Hal ini karena terkadang ketika ia mewurudkan hadis, para sahabat yang hadir hanya beberapa orang saja, baik disengaja oleh rasul SAW sendiri atau secara kebetulan para sahabat yang hadur hayna beberapa orang saja, bahkan hanya satu orang, seperti hadis hadis yang ditulis oelh abdullah ibn Amr ibn Al –‘Ash.Untuk hal yang sensitif, seperti yang berkaitan dengan soal keluarga dan kebutuhan biologis (terutama yang menyangkut hubungan suami istri), ia sampaikna melalui istri – istrinya. Begitu juga sikap para sahabat, jika ada hal – hal yang berkaitan dengan soal di atas, karena segan bertanya kepada Rasul SAW, sering kali ditanyakan kepada istri – istrinya.
Ketiga, cara lain yang dilakukan Rasulullah SAW. adalah melalui ceramah atau pidato di tempat terbuka, seperti ketika Haji wada’ dan futuh Makkah.[20]
b.    Perbedaan Para Sahabat dalam Menguasai Hadis
Diantara para sahabat tidak sama kadar perolehan dan penguasaan hadis. Ada yang memiliki nya lebih banyak, tetapi ada yang sedikit sekali. Hal ini tergantung kepada beberapa hal. Pertama, perbedaan mereka dalam soal kesempatan bersama rasul SAW. kedua, perbedaan meeka dalam soal kesanggupan bertanya kepada kepada sahabat lain. Ketiga, perbedaan mereka karena berbedanya waktu masuk Islam dan jarak tempat tinggal dari masjid Rasul SAW.
Ada beberapa orang sahabat yang tercatat sebagai sahabat yang banyak menerima hadis dari Rasul SAW. dengan beberapa penyebabnya. Mereka itu diantara nya :
1)        Para sahabat yang tergolong kelompok Al – Sabiqun Al – Awwalun ( yang mula mula masuk islam), seperti Abu Bakar, Umar Bin Khattab, Utsman Bin Affan, Ali Bin Abi Thalib dan Ibn Mas’ud. Mereka banyak menerima hadis dari Rasul SAW. karena lebih awal masuk Islam dari sahabat-sahabat lainnya.
2)        Ummahat Al Mukminin (Istri – Istri Rasul SAW), seperti Siti Aisyah dan Ummu Salamah. Mereka secara pribadi lebih dekat dengan Rasul SAW dari pada sahabat-sahabat lainnya. Hadis – Hadis yang diterimanya. Banyak yang berkaitan dengan soal – soal keluarga dan pergaulan suami istri.
3)        Para sahabat yang disamping dekat dengan Rasul SAW. juga menuliskan hadis hadis yang diterimanya, seperti Abdullah Amr ibn Al-‘Ash.
4)        Sahabat yang meskipun tidak lama bersama Rasulullah Saw akan tetapi banyak bertanya kepada para sahabat lainnya secara sungguh-sungguh, seperti abu Hurairah.
5)        Para sahabat yang secara sungguh-sungguh mengikuti majlis Rasulullah SAW. banyak bertanya kepada sahabat lain dari sudut usia tergolong ynag hidup lebih lama dari wafatnya Rasul SAW, seperti Abdullah ibn Umar, Anas ibn Malik dan Abdullah ibn Abbas.[21]
c.       Menghafal dan Menulis Hadist
Untuk memelihara kemurnian dan mencapai kemaslahatan Al Qur’an dan Hadis, sebagai dua sumber ajaran Islam, Rasul SAW menempuh jalan yang berbeda. Terhadap Al Qur’an ia secara resmi menginstruksikan kepada sahabat supaya ditulis disamping dihafal. Sedang terhadap hadis ia hanya menyuruh menghafal dan menulisnya secara resmi. Dalam hal ini Rasulullah SAW Bersabda :
Ł„Ų§ŲŖŁƒŲŖŲØŁˆŲ§ Ų¹Ł†ŁŠ ŁˆŁ…Ł† ŁƒŲŖŲØ Ų¹Ł†ŁŠ ŲŗŁŠŲ± Ų§Ł„Ł‚Ų±Ų§Ł† ŁŁ„ŁŠŁ…Ų­Ł‡ ŁˆŲ­ŲÆŲ«ŁˆŲ§ Ų¹Ł†ŁŠ ŁˆŁ„Ų§Ų­Ų±Ų¬ ŁˆŁ…Ł† ŁƒŲ°ŲØ Ų¹Ł„ŁŠ Ł…ŲŖŲ¹Ł…ŲÆŲ§ ŁŁ„ŁŠŲŖŲØŁˆŲ§ Ł…Ł‚Ų¹ŲÆŁ‡ Ł…Ł† Ų§Ł„Ł†Ų§Ų±  (Ų±ŁˆŲ§Ł‡ Ł…Ų³Ł„Ł… )                                                                                                              
“Jangan kalian tulis apa saja dariku selain Al-Qur’an. Barang apa telah menulis dariku selain Al-Qur’an, hendaklah dihapus. Ceritakan saja apa yang diterima dariku, ini tidak mengapa. Barang siap berdusta atas namaku dengan sengaja hendklah ia menempati tempat duduknya di Neraka”.
Maka segala hadis yang diterima dari Rasul SAW. oleh para sahabat di ingatkannya secara sungguh-sungguh dan hati hati. Mereka sangat khawatir dengan ancaman Rasul SAW. untuk tidak terjadi kekeliruan tentang apa yang diterimanya.
Ada dorongan kuat yang cukup memberikan motivasi kepada para sahabat dalam kegiatan menghafal hadis ini. Pertama, karena kegiatan menghafal merupakan budaya bangsa Arab yang telah diwarisinya sejak pra Islam dan mereka terkenal kuat hafalannya. Kedua, Rasul SAW banyak memberikan spirit melalui doa doanya. Ketiga, sering kali ia menjanjikan kebaikan akhirat kepada para sahabatnya.[22]
Demikianlah Nabi SAW telah mewurudkan hadistnya selengkap-lengkapnya sebagai interpretasi Al-Qur’an, dan telah diterima oleh para sahabat dan diterima oleh para sahabat dipelihara dalam hafalan, penulisan dan amalan mereka. Hal ini terbayang dari peristiwa Haji Wada’ pada tahun 10 Hijriyah dihadapan 140.000 sahabat, beliau berpidato yang merupakan Minhaj Hitami bagi dakwahiyah secara umum. Pada waktu itu turun ayat :
Ų§Ł„ŁŠŁˆŁ… Ų§ŁƒŁ…Ł„ŲŖ Ł„ŁƒŁ…ŲÆŁŠŁ†ŁƒŁ… ŁˆŲ§ŲŖŁ…Ł…ŲŖ Ų¹Ł„ŁŠŁƒŁ… Ł†Ų¹Ł…ŲŖŁŠ ŁˆŲ±Ų¶ŁŠŲŖ Ł„ŁƒŁ… Ų§Ł„Ų§Ų³Ł„Ų§ Ł…ŲÆŁŠŁ†Ų§                              
“Pada Hari ini aku telah sempurnakan bagimu agamamu. Aku telah sempurnakan untukmu agamamu nikmat-Ku dan Aku ridhai Islam menjadi Agamamu (QS. Al-Maidah 5:3)
2.        Periode Kedua: Perkembangan Hadist Pada Masa Khulafa Al – Rasyidin (11 H – 40 H)
Periode ini disebut “Ashr al-Tatsabbut wa al-Iqbal min al-riwayah”, yaini masa pematerian dan penyedikitan riwayat.”Nabi SAW wafat pada tahun 11 M. Kepada umatnya beliau meninggalkan dua pegangan sebagai dasar bagi pedoman hidupnya, yaitu al-Qur’an dan Hadist (al-Sunnah) yang harus dipegangi bagi peraturan seluruh aspek kehidupan umat.[23]
Periwayatan hadis pada masa sahabat terutama masa al-Khulafa’ al-Rasyidin sejak tahun 11 H sampai 40 H, yang disebut juga masa sahabat besar, belum begitu berkembang. Pada satu sisi, perhatian para sahabat masih terfokus pada pemeliharaan dan pentebaran al-Qur’an dan mereka berusaha membatasi periwayatan hadis tersebut. Masa ini disebut dengan masa pembatasan dan memperketat periwayatan.. pada sisi lain, meskipun perhatian sahabat terpusat pada pemeliharaan dan penyebaran Al-Qur’an, tidak berarti mereka tidak memegang hadis sebagaimana halnya yang mereka diterima secara utuh ketika Nabi masih hidup. Mereka sangat berhati-hati dan membatasi diri dalam meriwayatkan hadis itu.
Kehati-hatian dan usaha membatasi periwayatan yang dilakukan para sahabat, disebabkan karena mereka khawatir terjadinya kekeliruan, mereka menyadari bahwa hadis merupakan sumber ajaran islam setelah Al-Qur’an, yang juga harus tetap terpelihara dari kekeliruan sebagaimana halnya Al-Qur’an. Oleh karenanya, para sahabat khususnya al-khulafa’ al-Rasyidin dan sahabat lain seperti Zubair, Ibn Abbas, dan Abu Ubaydah berusaha memperketat periwayatannya dan penerimaan Hadis. Mereka menyampaikan dan menjaga hadis dengan hati-hati agar supaya tidak terjadi kesalahan dengan cara tidak meriwayatkannya kecuali saat-saat dibutuhkan melalui penelitian yang mendalam.[24]
Sikap hati-hati ditunjukkan oleh khalifah pertama, Abu Bakar As-Shidiq. Khalifah pertama ini menunjukkan perhatian yang serius dalam memelihara hadis. Abu bakar mengambil kebijakan memperketat periwayatan hadis dengan maksud agar hadis tidak disalah gunakan oleh kaum munafik, untuk menghindari kesalahan dan kelalaian sebagai akibat memperbanyak periwayatan hadis yang berujung pada kebohongan mengenai hadis yang mereka riwayatkan dari Nabi. Salah satu contoh kehati hatian Abu Bakar terlihat pada riwayat Ibn Syihab al-Zuhri dari qabishah ibn Zuayb bahwa seorang nenek bertanya kepada Abu Bakar sola bagian warisan untuk dirinya. Ketika ia menyatakan bahwa hal itu tidak ditemukan hukumnya, baik dalam Al-Qur’an maupun hadis, al-Mughirah menyebutkan bahwa rasulullah memberinya seperenam. Abu Bakar kemudian meminta supaya a-Mughirah mengajukan saksi lebih dahulu baru kemudian hadisnya diterima. Saksi yang diajukan di ambil Abu Bakar agar supayaberita yang disampaikan benar benar secara meyakinkan berasal dari Nabi, Sehingga dapat dijadikan sumber saksi dalam kaitannya dengan masalah waris yang tidak terdapat dalam Al-Qur’an, bukan berkenaan dengan periwayatan hadis.
Sikap serupa juga ditunjukkan oelh Umar Bin Khattab. Seperti halnya Abu Bakar, umar meinta diajukan saksi jika ada orang yang meriwayatkan hadis. Sebgian ahli hadis mengemukakan bahwa Abu Bakar dan Umar menggariskan bahwa hadis dapat diterima apabila disertai saksi atau setidak-tidaknya periwayatan berani disumpah. Pendapat ini menurut al-Siba’i, tidak benar karena Umar menerima beberapa hadis meskipun hanya diriwayatkan oleh seorang periwayat hadis. Untuk masalah tertentu sering kali umar juga menerima periwayatan tanpa saksi dari orang tertentu, seperti hadis-hadis dari Aisyah. Menurut al-Siba’i, sampai wafatnya Umar belum banyak yang tersebar dan masih dalam keadaan terjaga dalam di hati para sahabat, Baru pada masa Utsman bin Affan, periwayatan hadis diperlonggar.
Baik sikap Abu Bakar maupun Umar tersebut diikuti oleh Utsman dan Ali. Selain dengan cara-cara diatas, Ali juga terkadang mengajukan sumpah kepada sahabat yang meriwayatkan hadis. Kehati-hatian para Sahabat tidak berarti bahwa mereka selamanya mensyaratkan bahwa hadis dapat diterima bila diriwayatkan oleh dua orang atau lebih atau periwayatan hadis harus disertai dengan saksi dan bahkan sumpah, tetapi maksudnya adalah mereka berhati-hati dalam menerima dan meriwayatkan hadis.[25]
Sungguhpun demikian, tidak berarti pada masa sahabat tidak terjadi kekeliruan dalam periwayatan hadis. Sebagai manusia yang tidak ma’shum. Para sahabat meskipun secara umum memiliki jiwa yang bersih dan hafalan yang kuat, daoat saja melakukan kesalahan dalam meriwayatkan hadis. Menurut shalah al-Din Ibn Ahmad al-Adhabi, kekeliruan kadang terjadi pada hadis yang diriwayatkan oleh seorang periwayat (hadis ahad-gharib) yang diakibatkan oleh salah satu faktor berikut: Pertama, sahabat itu meriwayatkan hadis yang didengarnya langsung dari Nabi SAW. tetapi ia tidak tahu kalau hadis itu telah di nasakh. Kedua, dakam periwayatan hadis, periwayatan itu menyertakan komentar bersama dengan redaksi hadis sehingga diduga oleh para pendengarnya sebagai bagian dari hadis itu. Ketiga, periwayat mengalami kekeliruan dalam letak suatu kata dalam hadis atau antara satu hadis dengan hadis yang lain. Keempat, periwayat meriwayatkan hadis dengan radaksi sendiri yang memiliki cangkupan lebih luas dari makna yang sebenernya bersumber dari Nabi. Kelima, tidak sadar dengan pemakaian satu kata yang bukan kata asli dari nabi yang sebenarnya memiliki perbedaan konotasi. Keenam, periwayat meriwayatkan hadis bukan pada jalur yang semestinya karena telah lupa dengan latar belakang timbulnya hadis itu; dan ketujuh, periwayat meriwayatkan hadis, secara keliru, yakni yang sebenarnya tidak bersumber dai nabi, dikatakan berasal darinya.
Adapun penulisan hadis masih tetap terbatas dan belum dilakukan secara resmi, walaupun pernah Khalifah Umar Bin Khattab mempunyai gagasan membukukan hadits, namun niatan tersebut diurungkan sebelah beliau beristikharah. Para sahabat tidak melakukan penulisan Hadis secara resmi, karena pertimbangan-pertimbangan:
a.    Agar tidak memalingkan umat dari perhatian terhadap Al-Qur’an. Perhatian sahabat masa khulafa al-rasyidin adalah pada Al-Qur’an seperti tampak pada urusan pengumpulan dan pembukuannya hingga menjadi mushaf.
b.    Para sahabat sudah menyebar sehingga terdapat kesulitan dalam menulis hadis[26]

3.        Periode Ketiga: Perkembangan Hadits Pada Masa Sahabat Kecil dan Tabi’in (40H-100H)
Periode ini disebut “Ashr Intisayar al-Riwayah ila al-Amshar” Yakni masa berkembang dan meluasnya periwayatan Hadits. Pada masa ini daerah islam makin meluas, yakni ke negeri syam, Irak, Mesir, Samarkand bahkan pada tahun 93 Hijriyah sampai ke Spanyol. Hal ini dibarengi dengan keberangkatan para sahabat ke daerah-daerah tersebut terutama dalam rangka tugas memangku jabatan pemerintahan dan penyebaran agama islam.
Bagi pengalaman agama pada generasi setelah sahabat, yakni sahabat kecil dan tabi’in, yang memerlukan untuk mengetahui Hadits-hadits Nabi SAW, mereka kemudian berangkat mencari hadits, menanyakan dan belajar kepada para sahabat besar yang sudah tersebar diseluruh pelosok wilayah daulah islamiyah. Dengan demikian, pada masa ini, disamping tersebarnya periwayatan Hadits ke pelosok-pelosok daerah jazirah arab, juga tentunya perlawatan untuk mencari Hadits pun Menjadi ramai. Contoh, perlawatan yang dilakukan oleh Abu Ayub  al-Anshori yang pernah pergi ke mesir untuk menemui Uqbah ibn Amer untuk menanyakan suatu hadits tentang menutup kesukaran sesama umat Islam. Begitu pula jabir pernah pergi ke syam sebulan lamanya melawat untuk mencari Hadits kepada Abdullah ibn Unais al Anshari.
Karena meningkatnya periwayatan hadits, yakni menerima Hadits menghafal dan mengembangkan atau meriwayatkan Hadits adalah:
a.    Abu Hurairah, menurut ibn al-Jauzi, beliau meriwayatkan 5374, menurut al-Kirmany 5364
b.    Abdullah ibn Umar, meriwayatkan 2630
c.    Anas ibn Malik, meriwayatkan 2276
d.   Aisyah, istri kedua Rasul SAW, meriwayatkan 2210
e.    Abdullah ibn Abbas, meriwayatkan 1660
f.     Jabir ibn Abdullah, meriwayatkan 1540
g.    Abu Sa’ide al-Khudri, meriwayatkan 1540
h.    Abdullah ibn Mas’ud
i.      Abdullah ibn Amri ibn Ash
Hadits yang diterima oleh para tabi’in ini ada yang dalam bentuk catatan-catatan atau tulisan-tulisan dan ada pula yang harus di hafal, disamping dalam bentuk-bentuk yang sudah terpolakan dalam ibadah dan amaliah para sahabat yang mereka saksikan dan mereka ikuti. Kedua bentuk ini saling melengkapi, sehingga tidak ada satu hadits pun yang tercecer akan terlupakan. Sungguhpun demikian, pada masa pasca sahabat besar ini muncul kekeliruan periwayatan hadits ketika kecermatan dan sikap hati-hati melemah. Periwayatan tidak semata menyangkut hadits-hadits yang berasal dari nabi (marfu), tetapi hadits yang bersumber dari sahabat (mawquf) dan tabi’in (maqthu) bahkan pernyataan beberapa ahli kitab yang telah masuk islam yang mereka sadar dari pernyataan bani Israel atau shuhuf mereka sebagai bahan komparasi setelah mereka masuk islam. Dari sekian pernyataan yang memiliki beragam sumber ini, tidak mustahil menimbulkan salah kutip; perkataan sahabat dinyatakan sebagai hadits nabi, atau bahkan perkataan ahli kitab sebagai sabda nabi.[27]
Disamping kekeliruan diatas, pada masa ini sudah mulai banyak bermunculan hadits palsu. Pemalsuan hadits yang dimulai sejak masa Ali ibn Abi Thalib terus berlanjut dan semakin banyak, tidak menyangkut urusan politik tetapi masalah lain. Menghadapi terjadinya kekeliruan dan pemalsuan hadits diatas, para ulama’ melakukan beberapa langkah, yaitu : pertama, melakukan seleksi dan koreksi oleh tentang nilai hadits atau para periwayatnya. Kedua, hanya menerima riwayat hadits dari periwayat tsiqah saja. Ketiga, melakukan penyaringan terhadap hadits-hadits yang diriwayatkan oleh periwayat yang tsiqah. Keempat, masyarakat tidak adanya syadz yang berupa penyimpangan periwayat tsiqah terhadap periwayat lain yang lebih tsiqah. Kelima, untuk mengidentifikasi hadits palsu, mereka meneliti sanad dan rijal al hadits dan bertanya kepada para sahabat yang pada saat itu masih hidup.[28]
4.        Periode ke Empat: Perkembangan Hadits Pada Abad Kedua dan Ketiga Hijriyah (100H – 200H dan 200H – 300H)
Periode ke Empat disebut “Asahr Al-Kitabah Al-Tadwin”, yakni masa penulisan dan pembukuan. Madsudnya penulisan dan pembukuan secara resmi, yakni yang diselenggarakan oleh atau atas inisiatif pemerintah secara umum. Sebab kalau secara perorangan sebelum abad II H. Hadits sudah banyak ditulis baik pada masa tabi’in sahabat kecil, sahabat besar, dan bahkan sejak masa Nabi SAW. Masa pembukuan secara resmi dimulai pada awal abad II Hijriyah, yakni pada masa pemerintahan khalifah Umar ibn Abd al-Aziz tahun 101H.[29]
Pada masa ini terjadi kodifikasi hadits. Kegiatan ini dimulai pada masa pemerintahan Islam yang dipimpin oleh Khaifah Umar ibn Abd Al-Aziz (99H – 101H),(Khalifah kedelapan bani umayyah), melalui instruksinya kepada Abu Bakar bin Muhammad bin Amr bin Hazm (gubernur madinah) dan para ulama’ madinah agar memperhatikan dan mengumpulkan hadits dari para penghafalnya. Khalifah ngeinstruksikan kepada Abu Bakar bin Muhammad bin Amr bin Hazm (wafat 117 H) agar mengumpulkan hadits-hadits yang ada pada Amrah binti Abd al-Rahman al-Anshori, murid kepercayaan Aisyah, dan al-Qasim ibn Muhammad ibn Abi Bakar (Wafat 107 H). Instruksi yang sama ia tunjukkan pula kepada Muhammad bin syihab  al-Zuhri (Wafat 124 H), yang nilainya sebagai orang yang lebih banyak mengetahui hadits dari pada yang lainnya. Dari para ulama’ inilah, kodifikasi hadits secara resmi awalnya dilakukan. Ada beberapa faktor tang melatar belakangi kodifikasi hadis masa Umar ibn Abd Aziz tersebut. Menurut Muhammad Al-Zafzaf, kodifikasi hadits tersebut dilakukan karena: Pertama, para ulama hadits telah tersebar ke berbagai negeri, dikhawatirkan hadits akan hilang bersama wafatnya mereka, sementara generasi penerus diperkirakan tidak menaruh perhatian terhadap hadits. Kedua, banyak berita yang diada adakan oleh pelaku bid’ah (al-mubtadi’) seperti Khawarij, Rafidhah, Syi’ah, dan lain lain yang berupa hadits-hadits palsu. Periwayatan hadits pada masa ini , sebagaimana masa sebelumnya, banyak diwarnai dengan bid’ah dan pemalsuan hadits, yang berasal dari kalangan Khawarij, Syi’ah, dan orang orang munafik, serta orang-orang Yahudi. Oleh karena itu, para periwayat hadits sangat hati-hati dala menerima dan menyampaikan hadits.
Perintah umar tersebut di atas direspons positif oleh umat Islam, sehingga terkumpul beberapa catatan-catatan hadits. Hasil catatan dan penghimpunan hadits berbeda-beda antara ulama yang satu dengan yang lain. Abu Bakar ibn Hazm Berhasil menghimpun Hadits dalam jumlah yang menurut para ulama, kurang lengkap. Sungguhpun demikian. Kitab himpunan hadits-hadits mereka tidak ada yang sampai kepada kita. Ulama setelah al-Zuhri yang berhasil menyusun kitab tadwin yang bisa diwariskan kepada generasi sekarang, aadalah Malik ibn Anas (93 – 179 H) di Madinah, dengan hasil karyanya yang bernama al muwaththa, sebuah kitab yang selesai disusun pada tahun 143 H dan merupakan kitab hasil kodifikasi pertama. Kitab ini di samping berisi hadis marfu, yaitu hadis yang disandarkan pada nabi juga berisi pendapat para sahabat (hadits mawquf) dan pendapat para tabi’in (hadis maqthu’).[30]






































DAFTAR PUSTAKA
Alawi Al-Maliki, Muhammad. Ilmu Ushul Hadis. Yogyakarta: Pustaka Belajar. 2006
As-shalih, Subhi. membahas ilmu-ilmu hadis. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993
Ath-Tahhan, Mahmud. Dasar-dasar Ilmu Hadis. Jakarta: Ummul Qura. 2016
Idri. Studi Hadis. Jakarta: Kencana. 2010
Soetari endang, Ilmu Hadits, jakarta: Mimbar Pustaka, 2008
Suparta, Munzier.  Ilmu Hadis. Jakarta: RajaGrafindo Persada. 2003
Thahhan, Mahmud. 2007.  Intisari Ilmu Hadis. Malang: UIN Malang Press. 2007
Zuhdi, Masjfuk. Pengantar Ilmu Hadits. Surabaya: PT. Bina Ilmu. 1993

Catatan:
1.      Similarity cukup tinggi, 35%.
2.      Pendahuluan belum representatif.
3.      Daftar pustaka masih belum 10.


[1]Mahmud Thahhan, Intisari Ilmu Hadis (Malang: UIN Malang Press, 2007), hlm. 27.
[2] Munzier Suparta, Ilmu Hadis (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2003), hlm.  1.
[3] Mahmud Ath-Tahhan, Dasar-dasar Ilmu Hadis (Jakarta: Ummul Qura, 2016), hlm. 24
[4]Muhammad Alawi Al-Maliki, Ilmu Ushul Hadis (Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2006),
hlm. 3
[5]Idri, Studi Hadis (Jakarta: Kencana, 2010), hlm. 2.
[6]Ibid., hlm 8
[7]Ibid., hlm. 16
[8]Munzier Suparta, op. Cit hlm.22
[9]Ibid.
[10] Subhi As-shalih, membahas ilmu-ilmu hadis (jakarta: pustaka firdaus, 1993), hlm 15
[11]Ibid, hlm 15
[12]Ibid, hlm 16
[13] Munzier Suparta, op. Cit, hlm 7
[14]Ibid, hlm 7
[15]Ibid, hlm 15
[16]Ibid, hlm. 16
[17] Idri, op. Cit, hlm. 31
[18] Ibid., hlm. 32
[19] Suparta Munzier, op. Cit, hlm 71
[20]Ibid., hlm 73
[21]Ibid., hlm 74
[22]Ibid., hlm 75
[23] Soetari endang, Ilmu Hadits, (Mimbar Pustaka, 2008), hlm. 41
[24] Idri, op. Cit, hlm. 39
[25] Ibid., hlm 41
[26] Soetari endang, Ilmu Hadits, Mimbar Pustaka, 2008, hlm. 45
[27]Ibid., hlm.45
[28] Ibid., hlm. 46
[29] Soetari endang, Ilmu Hadits, Mimbar Pustaka, 2008, hlm.53
[30]Ibid.,hlm. 48

Tidak ada komentar:

Posting Komentar