Sabtu, 24 Maret 2018

Shalat Sunnah (PAI ICP English Semester Genap 2017/2018)



MAKALAH
Shalat Sunnah
Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Studi Fiqih 1




Dosen Pembimbing: Benny Afwadzi, M. Hum


Disusun oleh:

Mohammad Nadhiful Alim    (16110113)





JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
2017
KATA PENGANTAR

            Puji syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta hidayahnya sehingga makalah untuk memenuhi tugas mata kuliah Fiqih 1 dengan judul “Shalat Sunnah” dapat terselesaikan. Tidak lupa pula Sholawat serta salam selalu terlimpahkan kepada junjungan Nabi Muhammad SAW. yang telah membawa kita (dengan risalah agama Islam) dari zaman kebodohan hingga zaman yang penuh dengan Pemahaman ilmu (pengetahuan).
            Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya untuk semua pihak yang membantu guna terselesainya makalah ini, yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
            Sebagai penulis menyadari bahwa penyusunan makalah ini masih jauh dari kata kesempurnaan, namun demikian telah memberikan manfaat bagi penulis. Makalah ini diharapkan dapat bermanfaat bagi kita semua khususnya bagi teman-teman mahasiswa jurusan PAI, dan juga para pembaca. Kritik dan saran yang bersifat membangun akan kami terima dengan senang hati.



Malang, 24Maret 2018


Penulis            




DAFTAR ISI

Halaman Judul ...................................................................................................  i
Kata Pengantar ...................................................................................................  ii
Daftar Isi ............................................................................................................  iii
BAB I PENDAHULUAN................................................................................. 4
A.    Latar Belakang .............................................................................. 4
B.     Rumusan Masalah ......................................................................... 4
C.     Tujuan............................................................................................ 4
BAB II PEMBAHASAN .................................................................................. 5
A.    Shalat Sunnah (Tathawwu’)........................................................... 5
B.     ShalatSunnah yang dianjurkan Berjamaah.................................... 8
C.     Shalat Sunnah yang dianjurkan Munfarid (sendirian).................... 12
BAB III PENUTUP ..........................................................................................  17
A.    Kesimpulan ...................................................................................  17
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................  18




BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Shalat merupakan kewajiban bagi setiap umat Muslim yang mana bahwa amal yang pertama dihisab adalah shalat. Dalam syariat Islam shalat telah dibagi menjadi dua macam,yaitu shalat fardhu dan shalat sunnah. Shalat sunnah sengaja disyariatkan karena untuk menambal kekurangan yang mungkin terdapat kekurang saat kita melaksanakan shalat fardhu, maka shalat sunnah sebagai penyempurannya. Selain itu, karena shalat sunnah itu mengandung keutamaan yang tidak terdapat pada ibadah-ibadah lain, dan shalat sunnah sendiri itu banyak sekali macam-macamnya yang disyariatkan.

B.     Rumusan Masalah
1)      Apa Pengertian shalat sunnah (tathawwu’)?
2)      Bagaimana pengertian shalat sunnah berjamaah dan macam-macamnya?
3)      Bagaimana pengertian shalat sunnah Munfarid (sendiri) dan macam-macamnya?

C.    Tujuan
1)      Untuk mengetahui pengertian shalat sunnah (tathawwu’).
2)      Untuk mengetahui Macam-macam Shalat Sunnah Berjamaah.
3)      Untuk mengetahui Macam-macam Shalat Sunnah Munfarid.




BABII
PEMBAHASAN
1.      SHALAT SUNNAH (Tathawwu’)

A.    Pensyariatan
Shalat sunnah merupakan hal yang disyariatkan, dikarena shalat sunnah itu dapat menambal kekurangan-kekurangan yang mungkin terdapat pada shalat-shalat fardhu yang telah kita lakukan, dan juga shalat sunnah memiliki keutamaan yang tidak dimiliki oleh ibadah lainnya. Dari Abu Hurairah r.a. diceritakan bahwa Nabi Muhammad SAW. Bersabda;
عَنْ اَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ ص يَقُوْلُ: اِنَّ اَوَّلَ مَا يُحَاسَبُ بِهِ اْلعَبْدُ يَوْمَ اْلقِيَامَةِ الصَّلاَةُ اْلمَكْتُوْبَةُ فَاِنْ اَتَمَّهَا وَ اِلاَّ قِيْلَ. اُنْظُرُوْا، هَلْ لَهُ مِنْ تَطَوُّعٍ؟ فَاِنْ كَانَ لَهُ تَطَوُّعٌ اُكْمِلَتِ اْلفَرِيْضَةُ مِنْ تَطَوُّعِهِ، ثُمَّ يُفْعَلُ بِسَائِرِ اْلاَعْمَالِ اْلمَفْرُوْضَةِ مِثْلُ ذلِكَ. الخمسة، فى نيل الاوطار 1: 345


Dari Abu Hurairah, ia berkata: Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya pertama-tama perbuatan manusia yang dihisab pada hari kiamat, adalah shalat wajib. Maka apabila ia telah menyempurnakannya (maka selesailah persoalannya). Tetapi apabila tidak sempurna shalatnya, dikatakan (kepada malaikat), “Lihatlah dulu, apakah ia pernah mengerjakan shalat sunnah! Jika ia mengerjakan shalat sunnah, maka kekurangan dalam shalat wajib disempurnakan dengan shalat sunnahnya”. Kemudian semua amal-amal yang wajib diperlakukan seperti itu”. [HR. Khamsah, dalam Nailul Authar juz 1, hal. 345]
B.     Shalat Sunnah lebih Utama dilakukan di dalam Rumah
Bahwa beberapa hadist menjelaskan tentang keutamaan shalat sunnah di rumah daripada di Masjid. Imam Nawawi berkata; “Shalat sunnah disyariatkan supaya dilakukan dirumah itu karena kondisi lebih tersembunyi dari umum hingga terhindar dari perbuatan riya’, dan juga lebih terjaga dari apa-apa yang mungkin membatalkan amal. Lagipula supaya rumah itu banyak berkah, banyak rahmat, dan malaikat, serta setan lari”.[1] Dari Imam Ahmad dan Muslim menceritakan Jabir r.a. bahwa Nabi Muhammad SAW. Bersabda;
رَوَي اَحمَد ومسلم عن جابر ان النبي صلي الله عليه وسلم قال : إذا صلى أحد كم الصلاة في مسجده فليجعل لبيته نصيبا من صلا ته فإن الله عز وجل جاعل في بيته من صلا ته خيرا.

“Jika salah seorang darimu biasa mengerjakan shalat di masjid, hendaklah rumahnya juga diberi bagian dari shalatnya, supaya Allah meletakkan kebaikan didalam rumahnya itu karena shalatnya itu tadi”.
Menurut riwayat Imam Ahmad dari Umar r.a. bahwa Nabi Muhammad Saw. bersabda:
عند احمد عن عمرأن الرسول الله صلى الله عليه وسلم قل : صلاة الر جل في بيته تطوعا نورفمن شاء نور بيته.
“Shalat seseorang dalam rumahnya itu yakni yang berupa shalat sunnah adalah sebagai cahaya. Maka barang siapa suka, ia dapat menerangi rumahnya hingga bercahaya”.
Dari Abdullah bin Umar r.a. berkata bahwa Nabi Muhammad Saw. bersabda:
عن عبد الله بن عمر قال : قال رسول الله صلى الله وسلم : إجعلوا من صلا تكم ولا تتخذوها قبورا.
“Kerjakanlah sebagian shalatmu itu dalam rumahmu dan jangan engkau jadikan rumahmu itu sepertikuburan(untuk tempat tidur saja)”.(H.R. Ahmad dan Abu Dawud)
C.     Keutamaan Dalam BerdiriLama Ketimbang Banyak Bersujud di dalam Shalat Sunnah
Semua pakar hadist, kecuali Abu Dawud, meriwayatkan bahwa Mughirah bin Syu’bah berkata;
“sesungguhnya rasulullah saw, itu berdiri untuk mengerjakan shalat sehingga bengkak kedua betis atau kakinya, ketika ditegur, beliau menjawab, "tidakkah selayaknya aku menjadi hamba yang bersyukur”.
Abu Dawud meriwayatkan dari Abdullah bian HAbsyi al-Khatsani bahwa Nabi saw. Pernah ditanya:
“Amal perbuatan manakah yang lebih utama, “beliau menjawa, “lama berdiri dalam shalat sunnah.” Beliau ditanya lagi, “sedekah manakah yang lebih utama?” beliau menjawab, Hasil tenaga orang yang berkekurangan.” Beliau ditanya, “Hijrah manakah yang lebih utama?” beliau menjawab, “yakni orang yang hijrah, artinya meninggalkan apa-apa yang diharamkan Allah. “Beliau ditanya pula,” jihad manakah yang lebih utama?” Beliau menjawab, “orang yang berjihad melawan kaum musyrikin dengan harta dan jiwanya.” Beliau ditanya pula, “kematian manakah yang lebih utama?” Beliau menjawab, “yaitu adalah seseorang yang sampai ditumpahkan darahnya dan terbunuh pula kudanya.”

D.    Boleh Shalat Sunnah dalam Keadaan Duduk
Shalat sunnah juga di perbolehkan dalam keadaan duduk sekalipun kuat berdiri, bahkan juga di perbolehkan dengan cara sebagaian dengan duduk dan sebagaiannya lagi dengan berdiri, baik itu berdiri terlebih dahulu maupun berdiri selepas duduk. Semua cara di atas itu boleh dilakukan tanpa terdapat hukum makruh sama sekali. Dalam cara duduk tersebut di perbolehkan dengan cara apapun; hanya saja lebih di anjurkan dengan duduk tarabbu’.
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ شَقِيقٍ الْعُقَيْلِىِّ قَالَ سَأَلْتُ عَائِشَةَ عَنْ صَلاَةِ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- بِاللَّيْلِ فَقَالَتْ كَانَ يُصَلِّى لَيْلاً طَوِيلاً قَائِمًا وَلَيْلاً طَوِيلاً قَاعِدًا وَكَانَ إِذَا قَرَأَ قَائِمًا رَكَعَ قَائِمًا وَإِذَا قَرَأَ قَاعِدًا رَكَعَ قَاعِدًا.
Dari ‘Abdullah bin Syaqiq Al ‘Uqoili, ia berkata, “Aku pernah bertanya pada ‘Aisyah mengenai salat malam Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lantas ‘Aisyah menjawab, “Beliau salat malam amat lama sambil berdiri dan kadang sambil duduk. Jika beliau melaksanakan salat malam dengan berdiri ketika membaca surat, maka demikian pula ketika ruku’. Jika beliau melakukan salat malam dengan duduk ketika membaca surat, maka demikian pula ketika ruku’.“(HR. Muslim no. 730)
E.     Pembagian Shalat Sunnah
Shalat Sunnah itu terbagi kedalam dua macam, yaitu muth-laq dan muqayyad.
Untuk Sunnah Muthlaq cukuplah seorang berniat saja. Imam Nawawi berkata; “seseorang yang melakukan Shalat sunnah dan tidak menyebutkan berapa rakaat yang akan dilakukan dalam shalatnya itu, bolehlah ia melakukan satu rakaat lalu mengucapkan salam dan boleh pula menambahnya menjadi dua, tiga, serratus, seribu rakaat, dan seterusnya. Apabila seseorang mengerjakan shalat sunnah dengan bilangan rakaat yang tidak diketahuinya, lalu bersalam, maka hal itu pun sah pula tanpa perselisihan pendapat antara para ulama. Demikianlah pendapat yang telah disepakati oleh golongan kami (mazhab syafi’i) dan uraikan pula imam syafi’I dalam kitab al- Imla’.”[2]


Adapun shalat sunnah Muqayyad itu terbagi kepada dua macam, yaitu sebagai berikut.
1)      Yang disyariatkan sebagai salat-salat sunnah yang mengikuti salat fardhu yang disebut salat sunnah Rawatib. Yang termasuk dalam bagian ini ialah salat-salat sunnah fajar, zhuhur, ashar, maghrib, dan isya.
2)      Yang disyariatkan bukan sebagai shalat yang mengikuti shalat-shalat fardhu.

2.      SHALAT SUNNAHYANGDIANJURKAN BERJAMAAH

A.    Shalat ‘Idayn(Shalat dua hari raya)
Dasar dan status hukumnya. Shalat ‘Idain itu hukumnya sunnah mu’akkad menurut mahzab Maliki dan Syafi’I, dan menurut mahzab Hanafi adalah wajib, Sedangkan menurut mahzab Hambali ialah fardhu kifayah seperti setiap orang yang telah wajib melaksanakan shalat jum’ah. Karena shalat ‘Idain ini harus dilaksanakan seperti shalat jumat dengan segala syarat dan rukunnya, kecuali khutbah yang dalam salat ‘Idain hukumnya sunnah.
Waktu dan bilangan raka’atnya. Shalat hari raya itu sebanyak dua raka’at, sedang waktunya sejak matahari naik setinggi satu atau dua tombak, hingga tergelincir. Takbir pada shalat ‘Idain di sunnahkan membaca takbir dalam kedua shalat hari raya, yaitu pada rakaat pertama setelah takbiratul irham dan sebelum membaca al-fatiha sebanyak enam kali pada raka’at kedua lima kali. Menurut ulama syafi’I webanyak tujuh kali takbir pada rakaat pertama, dan lima kali pada raka’at kedua. Berikut merupakan hal-hal yang disunnahkan pada kedua hari raya;
1)      Khutbah. Khutbah ini dilakuakan oleh imam sebanyak dua kali setelah shalat.
2)      Membaca takbir pada kedua hari raya dan pada hari-hari tasyriq, yaitu 11, 12, dan 13 dzulhijjah.
3)      Mandi. Disunnahkan mandi pada hari raya.
4)      Memakai pakaian terbaik dan wangi-wangian paling harum.
5)      Menempuh jalan yang berbeda ketika pergi dan pulang.
6)      Segera pergi ke tempat shalat ‘Idayn setelah shalat subuh.
7)      Makan terlebih dahulu sebelum berangkat shalat idul fitri dan kebalikannya pada idul adha.
8)      Menampakkan senyum dan kegembiraan kepada setiap orang mukmin yang dijumpainya, serta memperbannyak amal kebajikan menurut kadar kemampuannya.
9)      Sunnah mengucapkan “selamat Hari Raya”.

B.     Shalat Istisqo
Shalat Istiqo merupakan shalat untuk meminta hujan, yang mana maksud dari Istisqo ini meminta siraman siraman air kepada Allah disaat terjadi kekeringan dan kemarau Panjang. Meka jika terjadi keadaan seperti ini dianjurkan melakukan shalat Istisqo, yang mana hukumnya ialah sunnah mu’akkadsedangkan menurut mahzab Hanafi ialah mandub, anjuran.
Dalam tata cara Shalat istisqo ialah dua raka’at yang dikerjakan seperi shalat ‘idayn dalam hal bertakbir, berjamaah, bacaan, mengeraskan suara tempat dan khutbah dua kali sesudah shalat menurut mahzab Hambali, khutbah dalam Istisqo ialah hanya satu kali.

C.     Shalat gerhana
Jika terjadi gerhana bulan maupun matahari disunnahkan mengerjakan shalat dua raka’at bagi kaum laki-laki dan perempuan. Dalam shalat istisqo ini di utamakan dikerjakan secara jama’ah, sekalipun berjamaah bukan syarat syahnya.
Shalat gerhana dilakukan dua raka’at dan setiap raka’at dilakukan dengan dua kali berdiri dan dua kali ruku’, hal ini berdasarkan hadist dari Ibn Abbas, ia berkata;
وَعَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ : { انْخَسَفَتْ الشَّمْسُ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَصَلَّى، فَقَامَ قِيَامًا طَوِيلًا ، نَحْوًا مِنْ قِرَاءَةِ سُورَةِ الْبَقَرَةِ ، ثُمَّ رَكَعَ رُكُوعًا طَوِيلًا ، ثُمَّ رَفَعَ فَقَامَ قِيَامًا طَوِيلًا ، وَهُوَ دُونَ الْقِيَامِ الْأَوَّلِ ، ثُمَّ رَكَعَ رُكُوعًا طَوِيلًا ، وَهُوَ دُونَ الرُّكُوعِ الْأَوَّلِ ، ثُمَّ سَجَدَ ، ثُمَّ قَامَ قِيَامًا طَوِيلًا ، وَهُوَ دُونَ الْقِيَام الْأَوَّلِ ، ثُمَّ رَكَعَ رُكُوعًا طَوِيلًا ، وَهُوَ دُونَ الرُّكُوعِ الْأَوَّلِ ، ثُمَّ رَفَعَ ، فَقَامَ قِيَامًا طَوِيلًا ، وَهُوَ دُونَ الْقِيَامِ الْأَوَّلِ ، ثُمَّ رَكَعَ رُكُوعًا طَوِيلًا ، وَهُوَ دُونَ الرُّكُوعِ الْأَوَّلِ ، ثُمَّ رَفَعَ رَأْسَهُ ثُمَّ سَجَدَ ، ثُمَّ انْصَرَفَ ، وَقَدْ انْجَلَتْ الشَّمْسُ فَخَطَبَ النَّاسَ }. مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ ، وَاللَّفْظُ لِلْبُخَارِيِّ
"Dari Ibnu Abbas, radhiyallalhu’anhuma, ia berkata, telah terjadi gerhana matahari pada zaman Rasulullah Saw. Beliau berdiri (shalat gerhana) begitu lama, lamanya setara dengan membaca surat al Baqarah, kemudian beliau rukuk begitu lama, kembali lagi berdiri begitu lama, yaitu berdiri bukan yang pertama (maksudnya kedua), kembali rukuk begitu lama dan bukan rukuk yang pertama, kemudian beliau sujud. Kembali beliau berdiri begitu lama dan bukan berdiri yang pertama (maksudnya rakaat kedua) kemudian beliau rukuk begitu lama, kembali lagi berdiri begitu lama, yaitu berdiri bukan yang pertama (maksudnya kedua), kembali rukuk begitu lama dan bukan rukuk yang pertama. Beliau mengangkat kepala (i’tidal) kemuadian sujud. Beliau beranjak (dari tempat shalatnya) dan gerhana matahari telah selesai lantas beliaupun khutbah terhadap orang-orang (saat itu).” (HR. Bukhari)
Waktu shalat ini dimulai sejak terjadi gerhana sampai pulih kembali seperti semula atau terbenam. Tetapi mengenai bulan nila ia terbenam sewaktu gerhana, salat gerhana tetap dilaksanakan sampai terbit matahari.
D.    Shalat tarawih
Dasar dan status hukumnyashalat Tarawih merupakan sunnah bagi laki-laki dan perempuan. Shalat ini dilakukan sesudah shalat Isya’ dan sebelum melaksanakan shalat witir, dua raka’at-dua raka’at, tetapi boleh juga setelah witir tapi kurang di utamakan. Dan pada waktunya berlangsungsesudah Isya sampai akhir malam.
Bilangan pada shalat tarawih ialah dua puluh raka’at. Ini merupakan jumlah yang ditegaskan Umar bin Khattab yang terjadi saat ia mengumpulkan orang-orang di masjid untuk melaksanakan shalat tersebut dengan seorang imam. Tindakan Umar ini disetujui oleh para sahabat dan takada seorangpun diantara mereka yang menentangnya.
Shalat ini sunnah jika dilakukan dengan berjamaah, sebagaimana juga sunnah dengan sendiri-sendiri. Dari Aisyah, ia berkata:
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ بُكَيْرٍ حَدَّثَنَا اللَّيْثُ عَنْ عُقَيْلٍ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ أَخْبَرَنِي عُرْوَةُ أَنَّ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَخْبَرَتْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَرَجَ لَيْلَةً مِنْ جَوْفِ اللَّيْلِ فَصَلَّى فِي الْمَسْجِدِ وَصَلَّى رِجَالٌ بِصَلَاتِهِ فَأَصْبَحَ النَّاسُ فَتَحَدَّثُوا فَاجْتَمَعَ أَكْثَرُ مِنْهُمْ فَصَلَّى فَصَلَّوْا مَعَهُ فَأَصْبَحَ النَّاسُ فَتَحَدَّثُوا فَكَثُرَ أَهْلُ الْمَسْجِدِ مِنْ اللَّيْلَةِ الثَّالِثَةِ فَخَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَصَلَّى فَصَلَّوْا بِصَلَاتِهِ فَلَمَّا كَانَتْ اللَّيْلَةُ الرَّابِعَةُ عَجَزَ الْمَسْجِدُ عَنْ أَهْلِهِ حَتَّى خَرَجَ لِصَلَاةِ الصُّبْحِ فَلَمَّا قَضَى الْفَجْرَ أَقْبَلَ عَلَى النَّاسِ فَتَشَهَّدَ ثُمَّ قَالَ أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّهُ لَمْ يَخْفَ عَلَيَّ مَكَانُكُمْ وَلَكِنِّي خَشِيتُ أَنْ تُفْتَرَضَ عَلَيْكُمْ فَتَعْجِزُوا عَنْهَا فَتُوُفِّيَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالْأَمْرُ عَلَى ذَلِكَ

“Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Bukair telah menceritakan kepada kami Al Laits dari 'Uqail dari Ibnu Syihab telah mengabarkan kepada saya 'Urwah bahwa 'Aisyah radliallahu 'anha mengabarkannya bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pada suatu malam keluar kamar di tengah malam untuk melaksanakan shalat di masjid. Maka orang-orang kemudian ikut shalat mengikuti shalat Beliau. Pada waktu paginya orang-orang membicarakan kejadian tersebut sehingga pada malam berikutnya orang-orang yang berkumpul bertambah banyak lalu ikut shalat dengan Beliau. Pada waktu paginya orang-orang kembali membicarakan kejadian tersebut. Kemudian pada malam yang ketiga orang-orang yang hadir di masjid semakin bertambah banyak lagi lalu Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam keluar untuk shalat dan mereka ikut shalat bersama Beliau. Kemudian pada malam yang keempat, masjid sudah penuh dengan jama'ah hingga akhirnya Beliau keluar hanya untuk shalat Shubuh. Setelah Beliau selesai shalat Fajar, Beliau menghadap kepada orang banyak kemudian Beliau membaca syahadat lalu bersabda: "Amma ba'du, sesungguhnya aku bukannya tidak tahu keberadaan kalian (semalam). Akan tetapi aku takut nanti menjadi diwajibkan atas kalian sehingga kalian menjadi keberatan karenanya". Kemudian setelah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam meninggal dunia, tradisi shalat (tarawih) secara berjamaah terus berlangsung seperti itu”. (Shahih Bukhari, Hadits no. 1873)
E.     Shalat witir
Shalat witir merupakan salah satu salat sunnah (Tathawwu’) yang muqayyad (terikat) dengan waktu. yang mana hukumnya merupakan sunnah mu’akkad.
Awal waktu shalat witir ialah bermula ketika sudahnya shalat isya sampai berlangsung fajar.Jumlah raka’at dan cara mengerjakannya. Jumlah maksimum shalat witir adalah sebelas raka’at, sedang batas minimumnya adalah satu raka’at. Cara dalam mengerjakannya boleh dua raka’at- dua raka’at dengan salam pada setiap dua raka’at. Kemudian satu raka’at di akhir salatnya; dan boleh pula dilakukan pula dilakukan seluruh raka’atnya secara bersambung dengan sekali tasyahud dan salam pada raka’at terakhir saja.
Menurut mahzab Hanafi, witir itu hanya tiga raka’at, sedang cara mengerjakannyamenurut mereka sama dengan cara shalat Maghrib, yaitu dengan dua tasyahud dan satu kali salam, sedangkan yang disunahkan membaca qunut dalam shalat witir ialahmahzab Hanafi dan Hambali.



3.      SHALAT SUNNAHYANGDIANJURKAN SENDIRI

A.    Shalat Rawatib
Di dalam shalat sunnah Rawatib ini dibagi menjadi dua;
1)      Mu’akkad (sangat dianjurkan) merupakan shalat yang sering dilakukan Rasulullah dan jarang sekali ditinggalkan
2)      Gairu Mu’akkad (tidak dianjurkan) merupakan shalat yang jarang dilakukan Rasulullah dan sering ditinggalkan.
Shalat sunnah Rawatib (Mu’akkad) itu ada sepuluh raka’at, yaitu;
1)      dua raka’at sebelum subuh,
2)      dua raka’at sebelum dan dua raka’at setelah Zuhur,
3)      dua raka’at sesudah Maghrib,
4)      dan dua rakaat sesudah Isya.
Menurut golongan mazhab Hanafi, Mu’akkad itu ada dua belas raka’at yaitu ketambahan dua raka’atsebelum Zuhur sehingga sebelum Zuhur total menjadi empat raka’at. Selain dari itu semua hukumnya mustahabbah (anjuran).
B.     Shalat tahajud
Shalat tahajud dimulai setelah isya hingga fajar. Salat ini tidak memiliki bilangan raka’at tertentu atau terbatas. Jadikesunnahan ini sudah terpenuhi hanya dengan satu raka’at witir sesudah shalat isya. Diterima dari Samurah bin Jundub, katanya:
kami diperintahkan oleh Rasulullah supaya mengerjakan Shalat Malam, sedikit atau banyak, dan sebagai penghabisannya adalah shalat witir.” (Hadits Tabarani dan Bazzar)
Waktu paling utama dalam pengerjaannya ialah sepertiga malam terakhir.
عَمْرُو بْنُ عَبَسَةَ أَنَّهُ سَمِعَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ أَقْرَبُ مَا يَكُونُ الرَّبُّ مِنْ الْعَبْدِ فِي جَوْفِ اللَّيْلِ الْآخِرِ فَإِنْ اسْتَطَعْتَ أَنْ تَكُونَ مِمَّنْ يَذْكُرُ اللَّهَ فِي تِلْكَ السَّاعَةِ فَكُنْ
Dari ‘Amr bin ‘Abasah bahwa dia mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Waktu yang paling dekat antara Rabb dengan seorang hamba adalah pada tengah malam terakhir, maka apabila kamu mampu menjadi golongan orang-orang yang berdzikir kepada Allâh (shalat) pada waktu itu, lakukanlah!”.(HR Tarmidzi 3503, shahih.)
C.     Shalat istikharah
Bilangan shalat istiharah ialah dua raka’at. Yang mana seseorang yang menghadapi suatu urusan yang mudah dan ia sadari masih bimbang manakah yag sebaiknya dilakukan, maka disunnahkan untuk melaksanakan shalat sunnah dua raka’atdan setelah membaca surah al-fatihah, ia boleh membaca surah apa saja sesuai dengan kemauannya. Dan setelah selesai hendaknya memanjatkan puji kepada Allah, membaca shalawat untuk Nabi, lalu membaca doa yang tercantum dalam hadist Jabir:
عن جابر رضي الله عنه قال : كان النبي صلى الله عليه وسلم يعلمنا الاستخارة في الأمور كلها ؛ كالسورة من القرآن : إذا هم بالأمر فليركع ركعتين، ثم يقول : اللهم إني أستخيرك بعلمك، وأستقدرك بقدرتك، وأسألك من فضلك العظيم ؛ فإنك تقدر ولا أقدر، وتعلم ولا أعلم، وأنت علام الغيوب، اللهم إن كنت تعلم أن هذا الأمر خير لي في ديني ومعاشي وعاقبة أمري – أو قال : في عاجل أمري وآجله – فاقدره لي، وإن كنت تعلم أن هذا الأمر شر لي في ديني ومعاشي وعاقبة أمري – أو قال : في عاجل أمري وآجله – فاصرفه عني، واصرفني عنه، واقدر لي الخير حيث كان، ثم رضني به. ويسمي حاجته
Dari Jabir radhiallahu’anhu, beliau berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengajari kami untuk Sholat Istikharah dalam setiap urusan, sebagaimana beliau mengajari surat dari al-Quran. Beliau bersabda, “Jika kalian ingin melakukan suatu urusan, maka kerjakanlah sholat dua rakaat selain Sholat Fardhu, kemudian hendaklah ia berdoa:
“ALLAHUMMA INNI ASTAKHIIRUKA BI ‘ILMIKA WA ASTAQDIRUKA BIQUDROTIKA WA AS ALUKA MIN FADHLIKAL ‘ADZHIIM FA-INNAKA TAQDIRU WALAA AQDIRU WA TA’LAMU WALAA A’-LAMU WA ANTA ‘ALLAAMUL GHUYUUB, ALLAAHUMMA IN KUNTA TA’LAMU ANNA HAADZAAL AMRO KHOIRUN LII FII DIINII WA MA-’AASYII WA ‘AAQIBATI AMRII (FII ‘AAJILI AMRII WA AAJILIHI) FAQDURHU LII WAYASSIRHU LII TSUMMA BAARIK LII FIIHI, WA IN KUNTA TA’LAMU ANNA HAADZAL AMRO SYARRUN LII FII DIINII WA MA-‘AASYII WA ‘AAQIBATI AMRII (FII ‘AAJILI AMRII WA AAJILIHI) FASH-RIFHU ‘AN-NII WASH-RIFNII ‘ANHU, WAQDUR LIYAL KHOIRO HAI-TSU KAANA TSUMMA RODH-DHI-NII BIHI.”
Arti Doa Istikharah tersebut:
“Ya Allah, sesungguhnya aku beristikharah pada-Mu dengan ilmu-Mu, aku memohon kepada-Mu kekuatan dengan kekuatan-Mu, aku meminta kepada-Mu dengan kemuliaan-Mu. Sesungguhnya Engkau yang menakdirkan dan aku tidaklah mampu melakukannya. Engkau yang Maha Tahu, sedangkan aku tidak tahu. Engkaulah yang mengetahui perkara yang ghaib. Ya Allah, jika Engkau mengetahui bahwa perkara ini baik bagiku dalam agamaku, kehidupanku, dan akhir urusanku (atau dalam urusanku di dunia dan di akhirat), maka takdirkanlah hal tersebut untukku, mudahkanlah untukku dan berkahilah ia untukku. Ya Allah, jika Engkau mengetahui bahwa perkara tersebut jelek bagi agama, kehidupan, dan akhir urusanku (atau dalam urusanku di dunia dan akhirat), maka palingkanlah ia dariku, dan palingkanlah aku darinya, dan takdirkanlah yang terbaik untukku apapun keadaannya dan jadikanlah aku ridha dengannya. (Kemudian hendaknya dia menyebut keinginanya.)”
(HR. al-Bukhari no. 6382)

D.    Shalat hajat
Diriwayatkan dari Abdullah bin Abdullah bin Abu Aufa: 

عن عبد الله بن أبي أوفى قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ((من كانت له إلى الله حاجة أو إلى أحد من بني آدم، فليتوضأ فليحسن الوضوء ثم ليصل ركعتين ثم ليثن على الله وليصل على النبي صلى الله عليه وسلم، ثم ليقل: لا إله إلا الله الحليم الكريم، سبحان الله رب العرش العظيم، الحمد لله رب العالمين، أسألك موجبات رحمتك، وعزائم مغفرتك، والغنيمة من كل بر، والسلامة من كل إثم، لا تدع لي ذنبا إلا غفرته، ولا هما إلا فرجته، ولا حاجة هي لك رضا إلا قضيتها يا أرحم الراحمين)) [رواه الترمذي وابن ماجه

         
“Abdullah bin Abi Aufa berkata: “Rasulullah saw bersabda: “Barang siapa yang mempunyai keperluan kepada Allah atau yang berkaitan dengan manusia, maka hendaklah ia berwudhu sebaik mungkin, lalu shalatlah dua rakaat, kemudian sanjunglah nama Allah serta bershalawat kepada Rasulullah saw, lalu membaca doa berikut ini: ‘Lâ ilâha illallâhul halîmul karîm, subhânallâh rabbil ‘arsyil ‘azhîmm, alhamdulillâhi rabbil ‘âlamîn. As’aluka mûjibâti rahmatik, wa ‘azâima maghfiratik, wal ghanîmata min kulli birr, was salâmata min kulli itsm, la tada’ lî dzanban illâ ghafartah, walâ hamman illâ farrajtah, walâ hâjatan hiya laka ridhan illâ qadhaitahâ yâ arhamar râhimîn (artinya: “Tidak ada Tuhan selain Allah yang Maha Penyayang dan Dermawan. Maha suci Allah, Tuhan Pemelihara ‘Arasy yang Agung. Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. Ya Allah, Aku memohon kepadaMu amalan-amalan yang dapat memperoleh curahan kasih sayangMu, sebab-sebab yang dapat meraih ampunanMu, keuntungan dari setiap kebaikan, keselamatan dari segala bentuk kemaksiatan. Jangan Engkau biarkan dosa-dosa ku, melainkan Engkau ampuni, segala kesulitan melainkan Engkau berikan jalan keluar dan kemudahan, segala hajat keperluan yang Engkau ridhai melainkan Engkau penuhi, ya Allah, Tuhan Sebaik-baik Penyayang”) (HR. Turmudzi dan Ibnu Majah). 
E.     Shalat dhuha
Shalat dhuha merupakan salah satu tathawwu, yang mana hukumnya sunnah, waktunya dimulai sejak matahari sudah naik kira-kira sepenggal sampai dengan tergelincir, tetapi yang lebih utama ialah dilakukan setelah lewat seperempat siang hari. Batas minimum salat dhuha ialah dua raka’at sedangkan maksimumnya ialah delapan raka’at. Diterima dari Abu Zarr, berkata:
Rasulullah berkata: Hendaklah masing-masing orang dari kamu setiap pagi bersedekah untuk setiap ruas tulang badannya. Stiap bacaan tasbih adalah sedekah, setiap tahmid adalah sedekah, setiap tahlil dalah sedekah, setiap takbir adalah sedekah, menyuruh kebaikan adalah sedekah, melarang keburukan adalah sedekkah, dan sebagai ganti dari semua ini cukuplah mengerjakan shalat dua raka’at di waktu dhuha.” (Hadis Ahmad, Musim dan Abu Daud).
F.      Shalat wudhu
Shalat wudhu atau biasa dikenal sebagai shalat sunnah Taharahdianjurkan melakukan shalat sunnah dua raka’at setelah selesai bersuci (wudhu). Dan yang lebih diutamakan ialah sebelum anggota-anggota wudhu keringkembalisaat ini tidak boleh dilakukan pada waktu-waktu yangdimakruhkan shalat padanya kecuali menurut mahzab Syafi’I, karena pada hematnya salat ini termasuk jenis salat yang mempunyai sebab.
G.    Shalat sunnah tasbih
Dianjurkan melakukan shalat Tasbih sekalipun hanya satu kali sepanjang hidup, berdasarkan hadist dari ‘Ikrimah, dari Ibn Abbas, berkata;
أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ قَالَ لِلْعَبَّاسِ بْنِ عَبْدِ الْمُطَلِّبِ: يَا عَبَّاسُ يَا عَمَّاهْ أَلاَ أُعْطِيْكَ أَلاَ أَمْنَحُكَ أَلاَ أَحْبُوْكَ أَلاَ أَفْعَلُ بِكَ عَشْرَ حِصَالٍ إِذَا أَنْتَ فَعَلْتَ ذلِكَ غَفَرَ اللهُ لَكَ ذَنْبَكَ أَوَّلَهُ وَ أخِرَهْ قَدِيْمَهُ وَحَدِيْثَهُ خَطَأَهُ وَعَمْدَهُ صَغِيْرَهُ وَ كَبِيْرَهُ سِرَّهُ وَعَلاَنِيَّتَهُ, عَشْرُ حِصَالٍ: أَنْ تُصَلِّيَ أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ تَقْرَأُ فِيْ كُلِّ رَكْعَةٍ فَاتِحَةَ الْكِتَابِ وَسُوْرَةً فَإِذَا فَرَغْتَ مِنَ الْقِرَاءَةِ فِيْ أَوَّلِ رَكْعَةٍ وَأَنْتَ قَائِمٌ قُلْتَ: سُبْحَانَ اللهِ وَ الْحَمْدُ للهِ وَلاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ خَمْسَ عَشْرَةَ مَرَّةً ثُمَّ تَرْكَعُ فَتَقُوْلُهَا وَ أَنْتَ رَاكِعٌ عَشْرًا ثُمَّ تَرْفَعُ رَأْسَكَ مِن الرُّكُوْعِ فَتَقُوْلُهَا عَشْرًا ثُمَّ تَهْوِيْ سَاجِدًا فَتَقُوْلُهَا وَ أَنْتَ سَاجِدٌ عَشْرًا ثُمَّ تَرْفَعُ رَأْسَكَ مِنَ السُّجُوْدِ فَتَقُوْلُهَا عَشْرًا ثُمَّ تَسْجُدُ فَتَقُوْلُهَا عَشْرًا ثُمَّ تَرْفَعُ رَأْسَكَ فَتَقُوْلُهَا عَشْرًا فَذلِكَ خَمْسٌ وَ سَبْعُوْنَ فِيْ كُلِّ رَكْعَةٍ تَفْعَلُ ذلِكَ فِيْ أَرْبَعِ رَكَعَاتٍ إِنِ اسْتَطَعْتَ أَنْ تُصَلِّيَهَا فِيْ كُلِّ يَوْمٍ مَرَّةً فَافْعَلْ فَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَفِيْ كُلِّ جُمُعَةٍ مَرَّةً فَإِنْ لمَْ تَفْعَلْ فَفِيْ كُلِّ شَهْرٍ مَرَّةً فَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَفِيْ كُلَّ سَنَةٍ مَرَّةً فَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَفِيْ عُمْرِكَ مَرَّةً
“Sesungguhnya Rasulullah saw. bersabda kepada Al-Abbas ibn Abdul Muthallib, ‘Wahai Abbas, wahai pamanku, maukah engkau saya beri? Maukah engkau saya anugerahi? Maukah engkau saya hadiahi? Maukah engkau saya peraktikkan sepuluh perkara, yang jika engkau melakukannya, niscaya Allah akan mengampuni dosamu baik yang pertama dan terakhir, yang lama dan baru, sengaja dan tidak, kecil dan besar, maupun tersembunyi dan terang-terangan. Sepuluh perkara itu ialah engkau salat sebanyak empat rakaat, pada setiap rakaat engkau baca Al-Fatihah dan surah, bila engkau selesai membaca pada awal rakaat, dalam keadaan berdiri engkau ucapkan ‘subhanallah, Al-hamdulillah, lailaaha illallah, dan allahu akbar 15 kali. Kemudian engkau ruku’, maka dalam keadaan ruku engkau ucapkan kalimat-kalimat itu 10 kali. Kemudian engkau bangkit dari ruku’, maka ucapkanlah kalimat-kalimat itu 10 kali. Kemudian engkau turun sujud, maka dalam keadaan sujud engkau ucapkan kalimat-kalimat itu 10 kali. Kemudian engkau bangkit dari sujud maka ucapkan kalimat-kalimat itu 10 kali. Kemudian engkau sujud lagi, maka ucapkanlah kalimat-kalimat itu 10 kali. Kemudian engkau bangkit dari sujud, maka ucapkanlah kalimat-kalimat itu 10 kali. Maka kalimat-kalimat itu sebanyak 75 kali pada setiap rakaat, yang demikian itu engkau lakukan dalam empat rakaat. Jika engkau sanggup melaksanakannya setiap hari satu kali, maka lakukanlah. Jika tidak sanggup, maka setiap minggu satu kali. Jika tidak sanggup, maka setiap bulan satu kali. Jika tidak sanggup, maka setiap tahun satu kali. Jika tidak sanggup, maka seumur hidupmu satu kali.”(Hadis Abu Daud, Ibn Majah dan Ibn Khuzaimah dalam Sunan-nya dan Tabarani).
Cara mengerjakan shalat Tasbih ini, menuruk Mahzab Syafi’i adalah seperti cara termaktub dalam hadist diatas, yakni dengan duduk istirahat, sebagaimana perbuatan sunnah.
Menurut mahzab lain, duduk istirahat itu tidak disunnahkan. Dengan demikian maka cara shalat tasbih ini menurut mereka ialah; membaca tasbih sebelum membaca fatiha 10 kali dan setelah membaca surah sebanyak 15 kali. Jadi jumlah tasbih yang dibaca ketika berdiri sebanyak 25 kali. Kemudian pada setiap rukun yang lain bacanya pula sepuluh kali-sepuluh kali. Karena itu maka di waktu duduk istirahat dan sebelum membaca tasyahud tidak perlu membaca tasbih sebagaimana menurut golongan syafi’i.
H.    Shalat sunnah taubat
Shalat sunnah taubat ini berjumlah 2 raka’at dan maksimal dikerjakan sebanyak 6 raka’at. Shalat ini merupakan seorang Muslim yang mencoba bertobat dan memohon ampunan Allah SWT. Dari perbuatan dosa besar yang sudah mereka lakukan dan setelah mereka melakukan shalat taubat mereka berjanji untuk tidak akan melakukannya perbuatan dosa lagi. Waktu yang diutamakan ialah saat malam hari walaupun siang hari itu diperbolehkan.


PENUTUP
A.      KESIMPULAN
Shalat sunnah merupakan ibadah shalat yang diajarkan oleh Rasulullah SAW. Yang di luar shalat fardhu. Shalat ini dikerjakan guna mendekatkan diri kepada Allah SWT. Dan sebagai penambal akan kekurang saat melakukan shalat fardhu. Yang mana dalam shalat sunnah ini terdapat berbagai macam yang mana setiap shalat sunnah itu memiliki keutamaan masing-masing.








DAFTAR PUSTAKA

Sabiq, Sayyid. 1996. Fikkih Sunnah 2, Bandung: PT. AL-MA’ARIF.
Nasution, Lahmuddin.  Fiqih 1, Jakarta: LOGOS.
Umar bin Salim Bazalmul, Muhammad bin. 2005. Shalat -shalat sunnah Rasulullah, Kerajaan Arab Saudi: PUSTAKAIMAM ASY-SYAFI’I.
Sabiq, Sayyid. 2004. Fiqih Sunnah jilid 1, Jakarta: PENA PUNDI AKSARA.
ar-Rahbawi, Abdul Qadir. 1983. Salat empat Mazhab, Bogor: PT. PUSPITA LITERA ANTARNUSA dan PENERBIT HALIM JAYA.

Catatan:
1.      Similaritinya cukup banyak, 27%.
2.      Mengapa referensinya Cuma 5?


[1]Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah jilid 1, (Jakarta: Penerbit Pena pundi Aksara, 2006), hlm. 261
[2]Sayyid Sabiq, Fikkih Sunnah 2, (Bandung: Al-Ma’arif, 1996), hlm. 11

Tidak ada komentar:

Posting Komentar