Sabtu, 24 Maret 2018

URF, SADDUDZARAI’I, MADZHAB SHAHABAT, SAR’U MAN QABLANA (PAI B Semester Genap 2017/2018)



URF, SADDUDZARAI’I, MADZHAB SHAHABAT, SAR’U MAN QABLANA
Luthfia Laili Rizmayanti, Rangga Eliyansyah, Robiatul Adawiyah
Mahasiswa PAI B angkatan 2015
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang
Email : luthfia.laili144@gmail.com
Abstract : This article describes the urf, saddudzara'i, madhhab shahabat, and sar'u manqablana as a source of law that is not agreed upon by the scholars in the establishment of Islamic law. Of these three sources to establish an Islamic law remains on the basis of the Qur'an and Hadith as the core of all Islamic law. In making this law aims to Muslims to know and apply one of the strategies on Ushul Fiqh is to mengistinbath a problem in the life of the community. Seen from the aims of Urf, Saddudzara'i, the Sahabat School, Sar'u Man Qablana where scholars conduct ijtihad to obtain a decision for the sake of the welfare of society in living a sanctity law.
Keywords : Urf, Saddudzara’i, Madzhab Shahabat, Sar’u Man Qablana
Abstrak : Artikel ini menjelaskan tentang  urf, saddudzara’i, madzhab shahabat, dan sar’u manqablana sebagai sumber hukum yang tidak disepakati oleh para ulama dalam penetapan hukum islam. Dari ketiga sumber ini utuk menetapkan sebuah hukum Islam tetap pada berpijak pada Al-Qur’an dan Hadist sebagai inti dari semua hukum Islam. Dalam pengambilan hukum ini bertujuan agar umat muslim mengetahui dan menerapkan salah satu strategi pada Ushul Fiqh ini untuk mengistinbath suatu permasalahan didalam kehidupan masyarakat. Dilihat dari tujuan dari  Urf, Saddudzara’i, Madzhab Shahabat, Sar’u Man Qablana dimana ulama melakukan ijtihad untuk memperoleh suatu keputusan demi kemaslahatan masyarakat dalam menjalani sebuah hukum kesyariatan.
Kata Kunci : Urf, Saddudzara’i, Madzhab Shahabat, Sar’u Man Qablana
A.    Pendahuluan
Agama islam adalah agama yang paling sempurna. Dalam agama islam memiliki sumber hukum yang utama yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah. Hukum islam yang berasal dari Al-Qur’an tidak bisa diragukan dan diperdebatkan lagi kebenaran yang ada pada setiap ayat dan surahnya karena Al-Qur’an itu merupakan firman Allah SWT.
Selain Al-Qur’an, sumber hukum Islam yang juga dispakati oleh semua kalangan ulama adalah hadist. Dimana hadits atau as-Sunnah ini merupakan suatu penetapan hukum yang dilakukan oleh Rasulullah saw. ketika ada kesamaran atau ketidak jelasan pada al-Quran maka bertanyalah orang-orang Islam pada zaman Nabi kepada Rasulullah.
Namun, Setelah Rasulullah SAW wafat, muncullah masalah baru dan sumber hukum baru seperti ‘Urf, Saddudzara’i, Madzhab Shahaby dan Syar’u Man Qoblana. Walaupun ada beberapa ulama yang tidak menyepakati hal ini, tapi metode penetapan hukum ini diakui keberadaan dan esksitensinya dalam Fiqih Islam.
Maka, dalam makalah ini kami akan membahas tentang ‘Urf, Saddudzara’i, Madzhab Shahaby, dan Syar’u Man Qoblana. Agar supaya kita dapat mengetahui pengertian dari masing-masing sumber hukum ini dan mengapa sumber hukum ini masuk kepada sumber hukum Islam yang tidak di sepakati.

B.     ‘URF
1.      Pengerian Urf
Urf ialah hal-hal yang dibiasakan oleh manusia dalam perkara kehidupan muammalah, baik berupa ucapan maupun perbuatan. Menurut banyak ulama urf juga bisa disebut sebagai adat dan beberapa ulama fiqih memberikan definisi adat sebagai perkara yang diulang-ulang, lebih umum dari urf yang dimana setiap urf disebut adat, tetapi tidak setiap adat disebut dengan urf. Maka pengertian secara umum, antara urf dan adat adalah sama. Keduanya adalah sebuah nama yang telah menjadi kebiasaan manusia yang dilakukan berulang-ulang dan menjadi acuan dalam menjalani  kehidupan[1].
Urf adalah sesuatu yang sudah terkenal di kalangan manusia yang selalu diikuti, baik berupa perkataan maupun perbuatan. Menurut pandangan ahli syariat Urf dan adat adalah dua kata yang berarti sama. Contoh Urf perkataan adalah kebiasaan masyarakat menggunakan kata ‘‘anak”  dimaksudkan untuk anak laki laki bukan untuk anak perempuan, contoh lain adalah kebiasaan masyarakat menggunakan kata “daging” pada selain daging ikan, padahal kata “daging” bisa berlaku untuk semua binatang. Contoh urf perbuatan adalah kebiasaan masyarakat melakukan transaksi jual beli tanpa menyebutkan lafal ijab kabul, melainkan langsung dengan saling memberikan uang dan barangnya.
Dalam beberapa aspek Urf memiliki perbedaan dengan ijma :
a.       Terbentuknya urf terjadi karena kesepakatan mayoritas manusia terhadap suatu perbuatan maupun perkataan yang didalamnya berbaur kaum elite, orang awam, yang melek dan buta huruf, para mujtahid dan bukan mujtahid. Sedangkan Ijma adalah penetapan hukum yang terbentuk oleh para mujtahid saja, yang tidak termasuk didalamnya kelompok pedagang, pegawai, dan pekerja apa saja.
b.      Terwujudnya Urf karena adanya kesepakatan semua orang dan kesepakatan sebagian besarnya, dimana pengingkaran beberapa orang tidak akan mempengaruhi kerusakan terjadinya Urf. Berbeda dengan ijma, ijma hanya akan terwujud dengan bersepakatnya seluruh mujtahid dalam menetapkan hukum, penolakan beberapa orang mujtahid akan membuat ijma itu batal dan tidak terjadi.
c.       Dijadikannya urf sebagai landasan ketentuan hukum jika berubah, ketentuan hukumnya akan ikut berubah dan tidak mempunyai ketentuan hukum seperti yang dilandaskan nash dan ijma. Sedangkan yang telah dijadikan landasan ketentuan hukum seperti ijma sharikh. yang kekuatan hukumnya berdasar pada nash dan tidak ada lagi celah untuk berijtihad pada ketentuan hukum yang telah  ditetapkan oleh ijma.

2.      Kehujjahan Urf
Para ulama yang berhujjah dengan ‘Urf memiliki beberapa argumentasi yang menjadi alasan untuk menjadikan ‘Urf sebagai sumber hukum fiqh, yaitu:[2]
a.       Al qur’an surah al a’raf ayat 199
حُذِالْعَفْوَوَأْمُرْبِاالعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِيْنَ
Artinya : “Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf (al-‘urfi), serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh.
b.      Hadis “sabda rasul kepada isteri abu sufyan (hindun) ketika ia mengadu tentang suamninya yang pelit dalam memberi nafkah, rasul bersabda (ambilah dari harta abu sufyan secukup untuk keperluanmu dan anakmu menurut Urf)”
c.       Kebiasaan yang dilakukan manusia yang menunjukan bahwa merekan akanmendapatkan maslahat dan terhindar dari mafsadat.
Ulama malikiyyah dan hanafiyyah adalah ulama yang sangat terkenal dalam berhujjah dengan menggunakan Urf dari bagian jumhur fuqaha. Disini disebutkan bahwa imam syafii dalam membina sebagian hukum madzhabnya yang baru juga menggunakan urf. Sehingga dikatakan oleh Al qarafy bahwa semua madzhab memegang Urf, barang siapa yang meneliti madzhab maka ia akan menemukan ketegasannya terhadap Urf.
3.      Macam-macam Urf
1.      Jika ditinjau dari segi hukumnya, urf terbagi menjadi dua:
a.       Urf shahih
Yaitu urf yang tidak bertentangan dengan syariat dan tidak menyalahi nash. Tidak membatalkan yang wajib dan tidak menghalalkan yang haram. Contohnya adalah seorang laki laki yang memberikan hadiah  kepada mempelai perempuan pada saat tunangan tidak dihitung sebagai mahar.
b.      Urf fasid
Yaitu kebiasaan yang ada di masyarakat namun  bertentangan dengan syariat sehingga dapat mendatangkan mafsadat dan tidak memberikan maslahat. Contohnya adalah para pedagang yag biasa melakukan riba di pasar pada saat jual beli tidak bisa dibenarkan walaupun sudah menjadi kebiasaan.[3]

2.      Jika ditinjau dari segi sifatnya, urf dibagi menjadi dua:[4]
a.       ‘Urf Perkataan (qoulu)
Adalah sebuah kebiasaan yang ada dimasyarakat yang berupa ucapan ataupun perkataan. Contohnya: penggunaan kata walad, menurut bahasa walad memiliki arti anak laki-laki dan perempuan tapi kebiasaan dimasyarakat kata walad hanya digunakan untuk anak laki-laki.
b.      ‘Urf Perbuatan (amali)
Adalah sebuah kebiasaan yang ada di masyarakat baik berupa perbuatan maupun perilaku. Contohnya: kebiasaan yang ada dimasyarakat dalam melaksanakan transaksi jual beli yang tidak mengucapkan lafad ijab melainkan langsung dengan saling memberikan uang dan barang.

3.      Jika ditinjau dari ruang lingkupnya, terbagi menjadi dua yaitu :[5]
a.       ‘Urf Umum
Yaitu kebiasaan yang ada dimasyarakat yang berlaku umum dan mencakup semua tempat, keadaan dan masa. Contohnya: orang yang mengucapkan terimakasih terhadap orang yang telah menolongnya atau seseorang yang memberikan hadiah kepada orang yang telah berjasa dalam hidupnya.
b.      ‘Urf Khusus
Adalah kebiasaan yang ada dimasyarakat namun hanya berlaku di tempat- tempat tertentu, keadaan tertentu dan masa tertentu. Contohnya : halal bihalal yang dilakukakan pasca idul fitri hanya dilakukan oleh bangsa Indonesia, sedangkan bangsa- bangsa lain tidak ikut serta dalam melakukannya.

4.      Hikmah ‘Urf[6]
Urf yang shahih adalah urf yang wajib dipelihara pada tasyri juga pada hukum. Karena apa yang telah diketahui orang itu dan yang telah dijalani orang itu dapat dijadikan hujjah kemaslahatan dan kesepakatan mereka selama itu semua tidak bertentangan dengan syariat dan tidak menyalahi nash maka wajib untuk memeliharanya.
Kemudian berkenaan dengan Urf fasid adalah tidak wajib untuk memeliharanya karena dalam pelaksanaan dan pemeliharaannya bertentangan dengan syariat juga bertentangan dengan nash.

C.    Saad Adz-Dzara’i
1.      Pengertian Saad Adz-Dzara’i
Saad Adz-dzara’i ialah pengharaman wasilah/ sarana yang mubah menurut hukum asal. Karena sarana atau wasilah ini biasanya mengakitbatkan atau menuntun pada perbuatan haram. Saad adz-dzara’i disandarkan pada sabda Rasulullah SAW yang berbunyi: “Hindarilah yang syubhat...”. Di lain sisi saad adz-dzara’i juga menjadi bagian dari menarik manfaat yaitu kaidah jalbul mashalih (menarik manfaat). Perintah saad adz-dzara’i ada kalanya untuk mendatangkan kemaslahatan pribadi dan kemaslahatan umum, namun juga bisa untuk menolok mafsadah (dar’u al- mafasid) baik pribadi maupun umum, akan tetapi saad adz-dzara’i biasanya lebih masuk kepada prinsip penolakan mafsadah.[7]
Menurut epistimologi zari’ah memiliki arti sarana / wasilah, sedangkan menurut pandangan ulama ushul zari’ah adalah hal yang telah menjadi jalan bagi sesuatu yang diharamkan maupun yang dihalalkan. Jalan yang menghantarkan pada sesuatu yang haram adalah haram, dan jalan yang menghantarkan pada sesuatu yang mubah adalah mubah.
Contohnya:
-          Zina haram, maka melihat aurat wanita yang bisa menghantarkan pada zina adalah haram.
-          Hukum sholat jumat adalah wajib, maka tidak melakukan dan meninggalkan kegiatan jual beli karena ingin melaksanakan sholat jumat maka hukumnya adalah wajib.[8]

2.      Kehujjahan Zari’ah
Saad adz-dzari’ah bersandar pada Alquran dan Hadis.[9]
a.       Alquran
Dalam alquran surat al-baqarah ayat 104 terdapat larangan memaki berhala.
Firman Allah:
يَأَيُّهَا  الَّذِيْنَ ءَامَنُوْالآَتَقُوْلُوْارَعِنَاوَقُوْلُوْااُنْظُرْنَاوَاسْمَعُوْاوَلِلْكَفِرِيْنَ عَذَابٌ أَلِيْمٌ
Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu katakan “Raa'inaa”, tetapi katakanlah "Unzurnaa", dan dengarkanlah. Dan orang-orang kafir akan mendapat azab yang pedih.”

Adanya larangan mengucapkan kata raa’inaa dikarenakan orang yahudi menggunakan kata raa’inaa untuk menhina Nabi, maka orang-orang dilarang untuk mengucapkan kata itu untuk menutup cela dari hinaan mereka kepada Nabi.
b.      Hadis
Nabi menahan diri untuk tidak membunuh orang- orang munafik walaupun mereka terus menyebarkan fitnah-fitnah di kalangan kaum muslimin. Nabi menahan diri untuk tidak membunuh disebabkan zari’ah, jika orang munafik itu dibunuh maka orang munafik akan memfitnah Nabi kembali dengan mengatakan Nabi Muhammad membunuh sabahatnya.

3.      Macam- macam perbuatan yang ditinjau dari akibat
a.       Perbuatan yang akibatnya sudah pasti akan memberikan bahaya.
b.       Perbuatan yang jarang mendatangkan bahaya.
c.       Perbuatan yang akan menimbulkan bahaya menurut dugaan yang sangat kuat.
d.       Perbuatan yang lebih banyak mendatangkan mafsadat namun belum mencapai tujuan kuat datangnya mafsadat itu sendiri.

D.    Madzhab Shahabi
1.      Pengertian Madzhab Shahaby
Masih ada beberapa dalil yang tidak sepakati oleh ulama tentang nilainya sebagai hujjah di antaranya “pendapat sahabat” atau yang dalam fiqh dikenal dengan Madzhab Shahaby. Yang di maksud dengan Madzhab Shahaby di sini adalah pendapat para sahabat di dalam masalah ijtihadiyah.[10] Yang di maksud dengan Madzhab Shahaby disini adalah perkataan atau pendapat atau ijtihad yang dilakukan oleh sahabat bukan termasuk Ijma’ sahabat atau kesepakatan semua sahabat dalam menetapkan hukum dalam suatu masalah.
Ushuliyun dan Muhadditsun berbeda pendapat mengenai Sahabat Rasulullah SAW. Ushuliyun berpendapat bahwa Sahabat Rasulullah adalah Orang muslim yang beriman dan taat kepada Allah dan Rasul-Nya yang bertemu dengan Rasulullah, wafat dalam keadaan beriman dan berteman dekat dengan Rasulullah dalam jangka waktu yang lama. Sedang menurut Muhadditsun, berpendapat bahwa Orang muslim yang beriman dan taat kepada Allah dan Rasul-Nya yang bertemu dengan Rasulullah, wafat dalam keadaan beriman, dekat dengan dengan Rasulullah dalam jangka waktu lama maupun sebentar. Dalam sejarah, terbukti bahwa Madzhab Shahaby adalah sandaran hukum tentang peristiwa atau permasalahan hukum yang terjadi setelah Rasulullah SAW tutup usia.
Jadi, setelah Rasulullah tutup usia, semua masalah atau kejadian yang sebelumnya ditanyakan kepada Rasululla untuk penetapan hukumnya, menjadi ditanyakan kepada sahabat, dan para sahabat dengan berusaha bersungguh-sungguh memecahlan masalah yang di tanyakan.
2.      Contoh Madzhab Shahaby
Adapun beberapa contoh mengenai Madzhab Shahaby ini antara lain :
a.       Pada musim paceklil (musim kekurangan persediaan makanan, dan bahaya kelaparan yang mengakibatkan kematian) Umar bin Khattab tidak melaksanakan hukum potong tangan pada para pencuri.
b.      Umar bin Khattab juga tidak melaksanakan potong tangan pada budak yang mencuri barang milik majikannya karena tidak diberi makan oleh majikannya. Hal ini berdasarkan kisah seorang bernama Amr bin Hamdrani dimana budaknya mencuri cermin milik istrinya kemudian mengadu kepada Umar bin Khattab dan Umar bin Khattab menyuruhnya untuk melepaskan budaknya
c.       Tambahan adzan sekali pada masa Utsman bin Affan saat sholat Jumat. Hal ini karenakan pada masa Utsman bin Affan muslim banyak sekali sehingga adzan di tambah sekali lagi supaya yang dari jauh tetap bisa mengikuti hsolat Jumat bersama-sama.
d.      Pembukuan mushaf Al-Quran yang dilakukan pada masa Utsman bin Affan.
e.       Terkait wanita yang di tinggal oleh suaminya, Umar bin Khattab da Utsman bin Affan sepakat bahwa wanita itu di wajibkan menunggu suaminya selama 4 tahun. Jika dalam waktu 4 tahun sang suami juga belum ada kabarnya, maka di perbolehkah untuk mendatangkan wali dari pihak suami dan menceraikannya. Kemudian si istri menjalani masa iddahnya selama 4 bulan 10 hari. Sedangkan menurut Ali bin Abi Thalib wanita yang di tinggal oleh suaminya, artinya Allah menguji kesabarannya maka diharapkan untuk menunggu kabarnya. Jika kabarnya suami itu meninggal atau thalak
3.      Kehujjahan Madzhab Shahaby
Jumhur ulama berpendapat bahwa pendapat sahabat tidak menjadi hujjah, karena Allah tidak mengharuskan kita untuk mengikutinya.[11] Kita sebagai umat Islam, telah diperintahkan untuk bersandar kepada Al-Quran dan Sunnah, sedangkan para sahabat bukan termasuk Ma’shum seperti Rasulullah.
Pendapat yang kedua, menetapkan bahwa madzhab shababy menjadi hujjah dan didahulukan daripada Qiyas dan pendapat yang ketiga pendapat sahabat menjadi hujjah apabila dikuatkan dengan qiyas atau tidak berlawanan dengan qiyas.[12]‘Abd al-Wahab Khallaf 12 menyimpulkan bahwa[13] : “pertama, tidak ada perbedaan pendapat bahwa pendapat sahabat adalah hujjah dalam hal yamg bersifat sam’i dan bukan ‘aqli, karena para sahabat mendasarkan pendapatnya kepada apa yang di dengar dari Rasulullah. Kedua, tidak ada perbedaan pendapat pula bahwa segala yang disepakati para sahabat adalah hujjah karena kesepakatan mereka atas sesuatu kasus sebagai bukti bahwa mereka menyandarkan pendapatnya kepada dalil yang tegas/pasti, seperti memberi hal 1/6 bagian kepada nenek/jadat”
Menurut A. Basiq Djalil tentang madzhab shahaby, terdapat hal-hal yang yang disepakati oleh para ulama dam terdapat pula yang diperselisihkan[14], yaitu :
a.       Ulama menyepakati, bahwa madzhab shahaby tidak menjadi hujjah bagi sahabat yang lainnya. Misalnya pendapat Abu Bakar tidak menjadi hujjah bagi Umar bin Khattab dan pendapat Umar bin Khattab tidak juga menjadi hujjah bagi Ibn Abbas dalam Daulah Abbasiyah.
b.      Adapun yang diperselisihkan adalah tentang boleh atau tidaknya madzhab shahaby dijadikan hujjah untuk para tabiin maupun orang yang sesudahnya. Berkaitan dengan hal ini, terdapat 2 pendapat yaitu :
1)      Para ulama berpendapat madzhab shahaby tidak dapat dijadikan hujjah dalam menetapkan hukum syariat bagi yang lainnya.
2)      Sebagian ulama yang lain berpendapat jika madzhab shahaby boleh untuk dijadikan hujjah bagi yang lainnya dengan syarat tidak bertentangan dengan qiyas
Dengan demikian, fatwa-fatwa sahabat itu tidak keluar dari enam kemungkinan berikut ini :[15]
a.       Fatwa tersebut mereka dengar langsung dari Rasulullah.
b.      Fatwa tersebut mereka dengar dari sahabat yang mendengarkan fatwa Rasulullah
c.       Fatwa tersebut mereka fahami dari ayat-ayat al-Quran yang kabur maknanya
d.      Fatwa tersebut telah di sepakati dan sampai kepada kita melalui riwayat salah seorang sahabat
e.       Fatwa tersebut merupakan pendapat sahabat secara pribadi, karena mereka sangat menguasai Bahasa Arab, sehingga mengetahui lafadz yang tidak kita ketahui. Dan juga karenakesempurnaan ilmunya tentang keadaan Nabi. Kelima hal ini adalah hujjah yang wajib diikuti.
f.       Fatwa tersebut berdasarkan pada pemahaman sahabat sendiri yang tidak datang dari Rasulullah. Maka hal ini tidak dapat dijadikan hujjah.
E.     Syar’u Man Qablana
1.      Pengertian Syar’u Man Qablana
Sar’u Man Qablana secara bahasa adalah syari’at yang dianut oleh orang- orang terdahulu. Sedangkan menurut istilah yang dimaksud sar’u man qablana ialah ketentuan hukum dan suatu ajaran yang berlaku pada masa Rasulullah SAW sebelum beliau diangkat menjadi rasul.[16] Contonya adalah syari’at Nabi Ibrahim as  yang ditujukan untuk kaumnya sendiri, syari’at Nabi Musa as yang ditujukan kepada bangsa Israil, syari’at Nabi Isa as ditunjukkan kepada kaum Hawariyyin. [17]
2.      Klasifikasi syar’u man qablana
Syar’u man qablana dibagi menjadi 3 kelompok :
a.       Syari’at yang sudah ada sejak dulu yang terdapat pada Al-Qur’an atau penjelasan nabi yang sudah disyariatkan bagi umat sebelum Rasulullah SAW yang dijelaskan pula dalam nash bahwa yang demikian itu sudah dinasakh (ganti) dan tidak diberlakukan lagi bagi umat nabi.[18] Syariat yang berlaku bagi umat Nabi Musa as adalah contoh dari syari’at ini. Dimana seseorang yang telah melakukan maksiat maka tidak diampuni dosanya kecuali membunuh dirinnya sendiri. Namun kemudian syari’at ini di nasakh dengan ayat dibawah ini :
وَأَنِ اسْتَغْفِرُوْارَبَّكُمْ ثُمَّ تُوْبُوْا أِلَيْهِ .....
Artinya : “Dan kehendaklah kamu meminta ampun kepada Tuhanmu dan bertaubatlah kepadanya ...” (Q.S Huud : 3)[19]
b.      Didalam Al-Qur’an dan hadist dijelaskan hukum-hukum yang disyari’atkan bagi umat terdahulu dan dinyatakan pula diberlakukan bagi umat nabi dan umat selanjutnya.  Adapun firman Allah yang terdapat pada surat Al-Baqarah ayat 183 :
يَأَيُّهَا  الَّذِيْنَ ءَامَنُوْاكُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَاكُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَ
Artinya : “ Hai orang-orang yang beriman diwajibkan atasmu puasa sebagaimana diwajibkan atas umat sebelum kalian, mudah-mudahan kalian menjadi orang-orang yang bertaqwa”
Q.S Al- Baqarah diatas menjelaskan bahwa puasa sudah disyariatkan sejak dahulu bagi umat terdahulu serta diwajibkan untuk umat Nabi Muhammad SAW.[20]
c.       Di dalam Al-Qur’an dan hadist sudah dijelaskan bahwa hukum berlaku bagi umat terdahulu namun tidak jelas dinyatakan berlaku untuk kita, dan tidak dijelaskan juga bahwa hukum itu telah di nasakh.
3.      Kehujjahan Sar’u Man Qablana
Terdapat banyak perbedaan dari kalangan ulama mengenai syar’u man qablana sebagai dalil dalam menetapkan hukum bagi umat Rasulullah SAW, diantaranya :
a.       Pendapat mengenai syar’u manqablana dari Ulama’ Hanafiyah dan Hanabilah dan sebagian ulama’ Syafi’iyah, ulama’ Malikiyah serta ulama’ Asy’ariyah dan Mu’tazilah bahwasannya selama hukum tidak dijelaskan pemberlakuannya maka hukum tersebut tidak berlaku bagi umat Nabi Muhammad SAW. Hal ini dikarenakan syari’at terdahulu itu khusus berlaku bagi umat ketika itu. Sedangkan syari’an yang dibawa Nabi Muhammad sebagai rasul terakhir berlaku secara umum dan menasakh syari’at sebelumnya.
b.      Sebagian sahabat Abu Hanifah, sebagian ulama Malikiyah, sebagian ulama Imam Syafi’i dan Imam Ahmad mengatakan bahwa hukum yang telah ada di dalam Al-Qur’an dan Hadist meskipun tidak ditujukan bagi umat Rasulullah, dan juga tidak ada penjelasan tentang nasakhnya, maka hukum itu juga diberlakukan juga untuk umat Rasulullah SAW. Pendapat diatas ditunjukkan dari ayat Al-Qur’an:

شَرَعَ لَكُمْ مِّنَ الدِّيْنِ مَاوَصَّى بِهِ نُوْحَا وَالّذِي أوْحَيْنَا أِلَيْكَ وَمَا وَصَّيْنَا بِهِ أِبْرَا هِيْمَ وَمُوْسَى
 وَعِيْسَى أَنْ اَقِيْمُوْا الدِّيْنَ وَلاَ تَتَفَرُّقُوْا فِيْهِ



Artinya : “Dia telah mensyariatkan bagi kaum tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepada-mu dan apa yang telah Kami wahyukan Ibrahim, Musa dan Isa yaitu tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya .... “(QS. Asy-Syura’ : 13) [21]
F.     Kesimpulan
Urf ialah hal-hal yang dibiasakan oleh manusia dalam perkara kehidupan muammalah, baik berupa ucapan maupun perbuatan. Macam-macam urf  ditinjau dari segi hukumnya (urf shahih, dan urf fasid), urf ditinjau dari segi sifatnya (urf perkataan,urf perbuatan), dan urf ditinjau dari ruang lingkupnya (urf umum, urf khusus).
Saad Adz-dzara’i ialah pengharaman wasilah/ sarana yang mubah menurut hukum asal. Menurut pandangan ulama ushul zari’ah adalah hal yang telah menjadi jalan bagi sesuatu yang diharamkan maupun yang dihalalkan.
Madzhab Shahaby adalah perkataan atau pendapat atau ijtihad yang dilakukan oleh sahabat bukan termasuk Ijma’ sahabat atau kesepakatan semua sahabat dalam menetapkan hukum dalam suatu masalah.
Sar’u man qablana ialah ketentuan hukum dan suatu ajaran yang berlaku pada masa Rasulullah SAW sebelum beliau diangkat menjadi rasul.

DAFTAR PUSTAKA
Zaidan, Abdul Karim. 2008. Pengantar Studi Syariah. Jakarta: Rabbani Press
Abdullah, Sulaiman. 1995. Sumber Hukum Islam. Jakarta: Sinar Grafika
Tharaba, M. Fahim. 2016. Hikmatut Tasyri’ wa Hikmatus Syar’i. Malang: CV Dream Litera Buana
Khallaf, Abdul Wahab. 2005. Ilmu Ushul Fikih. Jakarta: PT  Asdi Mahasatya
Saeed, Sieny Ismaeel. 2017. Ushul Fiqih Aplikatif. Malang: Darul Ukhuwah Publisher
Djazuli dan Aen, Nurol. 2000. Ushul Fiqh. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada
Djazuli. 2005. Ilmu Fiqh. Jakarta : Prenadamedia Group
Djalil , Basiq. 2010. Ilmu Ushul Fiqih. Jakarta : Prenada Media
Zahrah, Muhammad Abu. 1994. Ushul Fiqih. Jakarta : PT Pustaka Firdaus
Dahlan , Abd. Rahman. 2016. Ushul Fiqh. Jakarta: Amzah
Syarifuddin, Amir. 2008. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana

Catatan:
1.      Similarity Cuma 4%. Oke...
2.      Perujukan dalam makalah ini agak minim


[1]Abdul Karim Zaidan, Pengantar Studi Syariah, (Jakarta: Rabbani Press, 2008) hlm. 258
[2]Sulaiman Abdullah, Sumber Hukum Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 1995) hlm. 77-79
[3]Ibid,, hlm. 78
[4]M. Fahim Tharaba, Hikmatut Tasyri’ wa Hikmatus Syar’i, (Malang: CV Dream Litera Buana, 2016) hlm. 161
[5]Ibid,, hlm.162
[6]Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fikih, (Jakarta: PT  Asdi Mahasatya, 2005) hlm. 105
[7]Saeed, Ismaeel Sieny, Ushul Fiqih Aplikatif, (Malang: Darul Ukhuwah Publisher, 2017) hlm. 101
[8]Sulaiman Abdullah, op. Cit. hlm. 164-165
[9]Sulaiman Abdullah, op. Cit. hlm. 166
[10] Djazuli dan Nurol Aen, Ushul Fiqh, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2000) hlm. 211
[11] Ibid,, hlm. 211
[12] Djazuli, Ilmu Fiqh, (Jakarta : Prenadamedia Group, 2005) hlm. 97
[13] Ibid,, hlm. 97
[14] Basiq Djalil, Ilmu Ushul Fiqih, (Jakarta : Prenada Media, 2010) hlm. 164
[15] Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqih, (Jakarta : PT Pustaka Firdaus, 1994) hlm. 331
[16] Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, (Jakarta: Amzah, 2016) hlm. 230
[17] M. Fahim Tharaba, op. Cit. hlm.156
[18] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2008) hlm. 392
[19] M. Fahim Tharaba, op. Cit. hlm.159
[20] Amir Syarifuddin, op. Cit. hlm. 392
[21] Amir Syarifuddin, op. Cit. hlm. 395

Tidak ada komentar:

Posting Komentar