Selasa, 22 November 2016

al-Qawaid al-Khamsah (PAI E Semester III)




QAWA’ID KHAMSAH
Dinda Ni’amul Izzati dan Fian Tri Purnomo
PAI E UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Abstract
The principles of Fiqhiyyah the results or conclusions of law detailed fiqh (juz'iyyah)
and fragmentary as the end result of their diligence, then the parts separate, tied into a single bond or principles.
The principles set up the scholars' basically originate and have its main office to the five basic principles. These five basic principles that has led to a variety of principles that are branches. Most scholars refer to the five basic principles that the term al qawa'id al-khams (principles were five).
 
The fifth principle is very famous in the prop al-Syafi'i schools in particular and among other schools in Islam generally, though not always the same order.
The fifth principle is:
1.      Everything that depends on its purpose
الأُمُوْرُبِمِقَا صِدِهَا
2.      Confidence cannot be eliminated with trepidation
اَلْيَقِيْنُ لاَيُزَالُ بِا لشَكِ
3.      The difficulty was interesting at ease
المَشَقَةُ تَجْلِبُ التَيْسِيْرُ
4.      The danger it must be eliminated
الضَرَرُيُزَالُ
5.      Habits can be used as a law
اَلعَا دَةُ مُحَكَمَةٌ










Keywords: Qawa’id Fiqhiyyah and Qawa’id Khamsah.




PENDAHULUAN
Sebagai umat islam, kita harus mengetahui dasar-dasar hukum, prinsip-prinsip serta kaidah-kaidah yang benar,dalam menyikapi berbagai masalah. Dalam pembahasan fiqh,terdapat bermacam-macam kaidah. Adapun kaidah-kaidah yang dibentuk para ulama’ pada dasarnya berpangkal dan menginduk kepada lima kaidah pokok. Kelima kaidah pokok inilah yang melahirkan bermacam-macam kaidah yang bersifat cabang. Sebagian ulama’ menyebut kelima kaidah pokok tersebut dengan istilah al qawa’id al-khams (kaidah-kaidah yang lima).
PEMBAHASAN
Definisi Qawa’id Fiqhiyyah
Qawa’id adalah jama’ dari kata qa’idah yang menurut bahasa berarti al-Asas artinya dasar, maksudnya dasar atau fondasi dari berdirinya sesuatu atau pokok suatu perkara. Maka Qawa’id Fiqhiyyah merupakan hasil atau kesimpulan dari hukum-hukum fiqh yang terperinci (juz’iyyah) dan terpisah-pisah sebagai hasil akhir dari ijtihad mereka, lalu bagian-bagian yang terpisah-pisah tersebut diikat menjadi satu ikatan atau kaidah, sehingga hubungan antara qawa’ih fiqhiyyah dengan fiqh dalam hukum islam, dapat disejajarkan antara shorof dengan aplikatif dari suatu percakapan dalam susunan bahasa arab.[1]
T.M.Hasbi ash-shiddiieqy memberikan pengertian kaidah kulliyah fiqhiyyah dengan “Kaidah-kaidah kulliyah itu tiada lain daripada prinsip-prinsip umum yang melengkapi kebanyakan juz’iyyah-nya”.”Kaidah fiqhiyyah itu mencakup rahasia-rahasia syara’ dan hikmah-hikmahnya yang dengannya seluruh furu’ dapat diikat, dan dapat diketahui hukum-hukumnya serta dapat diselami maksudnya. Jadi, kaidah-kaidah fiqh itu mengklasifikasikan masalah-masalah furu’ (fiqh) menjadi beberapa kelompok dan tiap-tiap kelompok itu merupakan kumpulan-kumpulan dari masalah-masalah yang serupa.[2]
Pengertian kaidah semacam ini terdapat pula dalam ilmu-ilmu yang lain seperti dalam ilmu nahwu/grammer bahasa arab seperti maf’ul itu manshub dan fa’il itu marfu’. Dari sini ada unsur penting dalam kaidah yaitu hal yang bersifat kulli (menyeluruh,general) yang mencakup seluruh bagian-bagiannya. Dengan demikian maka al-Qawaidh al-Fiqhiyyah (kaidah-kaidah fikih) secara etimologis adalah dasar-dasar atau asas-asas yang bertalian dengan masalah-masalah atau jenis-jenis fikih. Para ulama’ memang berbeda dalam mendefinisikan kaidah fiqih secara istilah. Ada yang meluaskannya dan ada yang mempersempitnya. Akan tetapi substansinya tetap sama sebagai contoh, Muhammad Abu Zahrah mendefinisikan kaidah dengan[3]:
مجموعة الأحكام المتشبهات التي ترجع إلى قياس واحد يجمعها
“Kumpulan hukum-hukum yang serupa yang kembali kepada qiyas/analogi yang mengumpulkannya.”
Sedangkan AL-Jurjani mendefinisikan kaidah fikih dengan:
قضية كلية منطبقة علي جميع جزءياتها
"Ketetapan yang kulli (menyeluruh,general) yang mencakup seluruh bagian-bagiannya “
Imam Tajjudin al-subki (w.771H) mendefinisikan kaidah dengan:
الأمرالكلي الذي ينطبق عليه جزءيات كثيرة يفهم أحكامها منها
"Kaidah adalah sesuatu  yang bersifat general yang meliputi bagian yang banyak sekali, yang bisa dipahami hukum bagiantersebut dengan kaidah tadi”
Bahkan Ibnu Abidin (w.1252 H) dalam muqaddimah-nya dan Ibnu Nuzaim (w.970 H) dalam kitab al-asybah wa al-nadzair dengan singkat mengatakan bahwa kaidah itu adalah:
معرفة القواعد التي ترد إليها و فرعوا الأحكام عليها
“Sesuatu yang dikembalikan kepadanya hukum dan dirinci dari padanya hukum”  
Sedangkan menurut Imam al-Suyuti di dalam kitabnya al-asybah wa al-nazhair, mendefinisikan kaidah dengan,
حكم كلي ينطبق على جزءياته
“Hukum kulli (menyeluruh,general) yang meliputi bagian-bagiannya.”
Dari definisi-definisi tersebut diatas, jelas bahwa kaidah itu bersifat menyeluruh yang meliputi bagian-bagianya dalam arti bisa diterapkan kepada juz’iyat-nya (bagian-bagiannya).
            Objek dalam bahasan kaidah-kaidah fiqih itu adalah perbuatan mukallaf sendiri dan materi fikih itu sendiri yang dikeluarkan dari kaidah-kaidah fiqih yang sudah mapan yang tidak ditemukan nash-nya secara khusus didalam Al-Qur’an atau Sunnah atau Ijma’ (konsesus para ulama’).
Keutamaan orang yang ingin tafaqqah (mengetahui, meneladani menguasai) ilmu fiqih akan mencapainya dengan mengetahui kaidah-kaidah fikih, oleh karena itu ulama berkata:
من راعى الأصول كان حقيقا بالوصول ومن راعى القواعد كان خليقا بإدراك المقاصد
"Barangsiapa mengetahui ushul fiqih tentu dian akan sampai kepada maksudnya, dan barangsiapa yang mnguasai kaidah-kaidah fikih pasti dialah yang pantas mencapai maksudnya.”
            Kaidah fikih adalah bagian dari ilmu fikih. Ia memiliki hubungan erat dengan Al-Qur’an, Al-Hdits, Akidah dan Akhlaq. Sebab, kaidah-kaidah yang sudah mapan, sudah dikritisi oleh ulama’ dan diuji serta diukur dengan banyak ayat dan hadits nabi, terutama tentang kesesuainnya dan substansinya.apabila kaidah fikih tadi bertentangan dengan banyak ayat Al-Qur’an atau Al-Hadits yang bersifat dalil kulli (general) maka dia tidak akan menjadi kaidah yang mapan pada hakikatnya merujuk kepada Al-Qur’an dan Hadits, setidaknya kepada semangat dan kearifan Al-Qur’an dan Hadits juga.
Hukum mempelajari kaidah-kaidah fikih adalah fardhu kifayah, seperti hukum dari ilmu-ilmu yang bermanfaat bagi masyarakat. Meskipun sebagian ulama’ mewajibkan mempelajari dan menguasai kaidah-kaidah fikih bagi para pemegang keputusan dan terutama bagi para hakim pengadilan.
            Pada hakikatnya sandaran kaidah fikih seperti telah dijelaskan dimuka adalah Al-Qur’an, As-Sunnah dan sering pula dari kata-kata hikmah dan kearifan para sahabat nabi serta para ulama’-ulama’ mujtahid, yang sangat dalam ilmu fikihnya.
Tujuan dibentuknya qawaidh fiqhiyyah adalah sebagai berikut[4]:
a.       Untuk memelihara dan menghimpun berbagai masalah yang sama, juga sebagai barometer dalam mengidentifikasi berbagai hukum yang masuk dalam ruang lingkupnya.
b.      Untuk menunjukan bahwa hukum-hukum yang sama illatnya meskipun berbeda-beda merupakan satu jenis ‘illat dan maslahat.
c.       Untuk mempermudah fuqaha dalam menetapkan hukum perbuatan seorang mukallaf. Misalnya bagaimana hukum sesorang yang dipaksa meminum khamar, boleh atau tidak? Melalui pendekatan kaidah الضرر يزال  kasus ini dapat dijawab, yaitu boleh meminum khamar karena terpaksa (madarat).
Qawa’id  fiqhiyyah mempunyai beberapa kegunaan (urgensi) sebagai berikut:
a.       Dengan mendalami qawa’id fiqhiyyah ,sesorang betul-betul dapat mendalami ilmu fiqih dan mampu menganalisa berbagai masalah
b.      Qawa’id fiqhiyyah akan membantu menghafal dan menetapkan hukum berbagai masalah yang berdekatan. Disamping itu melalui qawa’id fiqhiyyah orang yang menetapkan hukum tidak merasa lelah dan tidak memerlukan waktu yang panjang.
c.       Qawa;id fiqhiyyah berguna untuk menyelesaikan berbagai masalah kehidupan yang semakin kompleks. Apalagi pada masa sekarang menghafal dan memahami qawa’id fiqhiyyah bagi para penggali hukum fiqh sangat penting.

Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah

Menurut Ali Ahmad al-Nadawi, perkembangan qawa’id fiqhiyyah dapat dibagi kedalam tiga fase berikut[5]:
1)     Fase pertumbuhan dan pembentukan
Masa kerasulan dan masa tasyri’(pembentukan hukum islam) merupakan embrio kelahiran qawa’id fiqhiyyah .Nabi Muhammad SAW menyampaikan hadits-hadits yang jawami’ ammah (singkat dan padat). Hadits-hadits tersebut dapat menampung masalah-maslah fiqh yang sangat banyak jumlahnya. Dengan demikian hadits nabi muhammad saw disamping sebagai sumber hukum juga sebagai qawa’id fiqhiyyah. Beberapa hadits nabi muhammad saw yang jami’ al kalim mendukung statement ini diantaranya sebagai berikut:
a.       الخراج بالضان (hak menerima hasil karena harus menanggung kerugian)
b.      الجماء جرحها جبار (kerusakan yang dibuat oleh kehendak binatang sendiri tidak dikenakan ganti rugi)
Peletakan batu pertama pembentukan qawa’id fiqhiyyah telah dimulai sejak tiga kurun waktu pertama (ke-1,2 dan3 H),meskipun dalam bentuk sederhana. Ini karena pada saat itu qawa’id fiqhiyyah belum begitu dibentuk menjadi sebuah disiplin ilmu tersendiri. Kaidah yang dibentuk ke-1,2 dan3 H mempunyai pengaruh kuat terhadap kitab-kitab fikih sesudahnya. Kaidah tersebut kadang-kadang dijadikan sebagai penjelasan (syarah) hadits Nabi Muhammad SAW.
2)     Fase perkembangan dan pengkodifikasian
Qawa’id fiqhiyyah menjadi satu disiplin ilmu tersendiri pada IV H,dan dimatangkan pada abad-abad sesudahnya. Ketika ruh taklid menyelimuti abad ini (IV H dan sesudahnya), ijtihad menjadi berhenti dan para ulama kurang kreatif. Hal ini ditambah dengan adanya kekayaan fiqih yang melimpah berupa pengkodifikasian hukum fiqih dan dalil-dalilnya, juga banyaknya madzhab dan hanya mentarjih yang rajih- sekarang disebut dengan istilah perbandingan madzhab. Kondisi ini mendorong para ulama’ untuk membahas hukum suatu peristiwa baru hanya dengan berpegang pada fiqh madzhab saja.
Ketika hukum furu’ dan fatwa para ulama’ semakin berkembang dengan seiring dengan banyaknya persoalan, para ulama’ mempunyai inisiatif untuk membuat kaidah dan dhabit yang dapat memelihara hukum furu’ dan fatwa para ulama’ tersebut dari kesemerawutan. Hal inilah yang dilakukan oleh Abu Hasan al-Khakhi (w.340H) dalam risalahnya (ushul al-Karkhi) dan Abu Zaid al-Dabbusi (w.430H) dalam kitabnya Ta’sis al-Nadhar dengan memakai istilah ushul. Apabila ushul tersebut mencakup berbagai masalah fiqh maka disebut kaidah, sedangkan kalau hanya mencakup satu masalah fiqh disebut dhabit.
Pada abad VII H, ilmu qawa’id fiqhiyyah berkembang pesat meskipun belum mencapai puncaknya. Hal ini ditandai dengan munculnya sejumlah tokoh ulama dalam hal ini seperti Muhammad bin Ibrahim al-Jajarmi al-Sahlaki (w.613H) yang menyusun kitab al-Qawa’id fi Furu’ al-Syafi’iyyah. Pada masa VII ilmu qawa’id fiqhiyyah mengalami masa keemasan ditandai dengan banyak bermunculannya kitab-kitab qawa’id fiqhiyyah. Dengan demikian ilmu qawa’id fiqhiyyah berkembang secara berangsur-angsur. Pada abad VIII H perkembangan ilmu qawa’id fiqhiyyah terbatas hanya pada penyempurnaan hasil karya para ulama’ sebelumna khususnya dikalangan ulama’ syafi’iyah.
Pada abad XI dan XII H, ilmu qawa’id fiqhiyyah terus berkembang. Dengan demikian, fase kedua dari ilu qawa’id fiqhiyyah adalah fase perkembangan dan pembukuan (pengkodifikasian). Fase ini ditandai dengan munculnya al-Karkhi (w.340H) dan al-Dabbusi (w.430H).Para ulama yang hidup dalam rentangan waktu ini (abad IV-XII) hampir dapat menyempurnakan ilmu qawa’id fiqhiyyah.
3)     Fase Pemantapan dan Fase Pensistematisan
Pengkodifikasian qawa’id fiqhiyyah mencapai puncaknya ketika disusun Majallat al-Ahkam al-‘Adliyyah oleh komite (lajnah) fuqaha pada masa Sultan al-Ghazi Abdul Aziz Khan al-Ustmani (1861-1876 M) pada akhir abad XIII H (1292 H).  Majallat al-Ahkam al-‘Adliyyah ini menjadi rujukan (referensi) lembaga-lembaga peradilan masa itu.
Para fuqaha memasukkan qawa’id fiqhiyyah pada majalah ini setelah terlebih dahulu mempelajari sumber-sumber fiqh dan beberapa karya tulis tentang qawa’id fiqhiyyah seperti al-asybah wa al-Nadhair karya Ibnu Nujaim (w.970H) dan Majami al-Haqaiq karya al-Khadimi (w.1176H). mereka sangat selektif dalam meilih dan memilah kaidah yang akan dimasukkan ke dalam majalah. Mereka menyusun majalah ini dengan menggunakan redaksi yang singkat padat seperti undang-undang (qanun). Eksistensi majalah dapat mengangkat kedudukan dan popularitas kaidah. Majallat al-Ahkam al-‘Adliyyah memberikan banyak kontribusi bagi perkembangan fiqh dan perundang-undangan.

QAWA’ID KHAMSAH
PENGERTIAN QAWA’ID KHAMSAH DAN PERCABANGANNYA
Kaidah-kaidah yang dibentuk para ulama’ pada dasarnya berpangkal dan menginduk kepada lima kaidah pokok. Kelima kaidah pokok inilah yang melahirkan bermacam-macam kaidah yang bersifat cabang. Sebagian ulama’ menyebut kelima kaidah pokok tersebut dengan istilah al qawa’id al-khams (kaidah-kaidah yang lima).[6]
Kelima kaidah tersebut sangat masyhur di kalang madzhab al-Syafi’i khususnya dan dikalangan madzhab-madzhab lain umumnya, meskipun urutannya tidak selalu sama.
Kelima kaidah tersebuat adalah:
1.     KAIDAH PERTAMA
A.     Teks Kaidah
Segala Sesuatu Itu Tergantung Pada Tujuannya
الأُمُوْرُبِمِقَا صِدِهَا
Maksudnya adalah niat yang terkandung dalam hati seseorang saat melakukan amaliyah, menjadi kriteria yang dapat menentukan nilai dan status hukum amal-amaliyah yang telah dilakukan, baik yang berhubungan dengan peribadahan maupun adat-kebiasaan.
Dengan demikian, setiap amaliyah pasti didasarkan pada niat, jika tidak, maka amaliyah tersebut bersifat spekulatif. Oleh karena itu, niat memiliki posisi yang sangat penting, sebab ia sebagai penentu segala gerak tingkah dan amaliyah yang dilakukan menjadi bernilai baik atau tidak.[7]
B.     Landasan Hukum[8]
·        Firman Allah SWT dalam Surah Al-Bayyinah(98) ayat 5
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ

Artinya: “ (Padahal) mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus…” (QS. al-Bayyinah [98]: 5).

·        Sabda Nabi SAW:
إِنَّمَا الْاَ عْمَا لُ بِا لنِّبَا تِ  (اخرجه البخاري و مسلم )
Artinya: “Sesungguhnya amal itu tergantung niatnya.” (HR.Bukhori dan Muslim)
C.      Tujuan disyari’atkannya niat[9]
Menurut al-Suyuti (w.911 H), yang paling penting dari disyari’atkannya niat adalah untuk membedakan antara ibadah dengan adat-kebiasaan. Selain itu, juga untuk mengurutkan tingkatan-tingkatan ibadah, seperti wudhu dan gusl (mandi) dapat diartikan sebagai membersihkan diri (tandhif), mencari kesegaran (tabarrud), dan ibadah. Begitu juga, seperti menahan diri (imsak) dari segala hal yang membatalkan puasa, dapat diartikan sebagai hamiyyah (kesehatan badan), berobat, dan karena tidak ada yang memerlukannya.Demikian juga, kata al-Suyuti (w.911 H), duduk di Masjid dapat diartikan sebagai istirahat, memberikan uang kepada orang lain dapat berarti sebagai hibah, menyambungkan tali silaturahmi, atau karena maksud-maksud duniawi, dan dapat juga berarti mendekatkan diri kepada Allah (taqarrub) seperti zakat, sadaqah, dan kifarat. Menyembelih hewan dapat bertujuan untuk makan, dan juga dapat bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah (taqarrub) karena telah mengalirkan darah (membunuh). Dalam hal ini, niat disyari’atkan untuk membedakan antara yang taqarrub dengan yang bukan.
Setiap ibadah, seperti wudhu, gusl (mandi), shalat, dan saum (puasa) kadang-kadang sebagai perbuatan fardhu, nazar, dan nafl (sunnah). Tayammum, kadang-kadang dari hadats atau janabah, padahal cara pelaksanaannya sama. Karena inilah, niat disyari’atkan untuk membedakan tingkatan-tingkatan ibadah.
            Contoh penerapannya, ketika wanita dalam keadaan haid, ketika membaca bismillah dengan[10]:
·         Diniati membaca Alqur’an, maka hukumnya haram
·         Diniati berdzikir, maka tidak haram
·         Diniati baca Alqur’an dan dzikir, maka hukumnya haram
·         Tidak diniati apa-apa, maka juga haram.

2.     KAIDAH KEDUA
A.     Teks Kaidah
Keyakinan tidak bisa dihilangkan dengan keraguan.
اَلْيَقِيْنُ لاَيُزَالُ بِا لشَكِ
Maksudnya ialah semua hukum yang sudah berlandaskan pada suatu keyakinan itu, tidak dapat dipengaruhi oleh adanya keragu-raguan yang muncul kemudian, sebab rasa ragu yang merupakan unsur eksternal dan muncul setelah keyakinan, tidak akan bisa menghilangkan hukum yakin yang telah ada sebelumnya.
Dengan demikian, maka yang dimaksud dengan kaidah kedua adalah tercapainya suatu kemantapan hati pada suatu obyek yang telah dikerjakan, baik kemantapan itu sudah mencapai pada kadar ukuran pengetahuan yang mantap atau baru sekadar dugaan kuat (asumtif/dzan). Makanya tidak dianggap suatu kemantapan hati yang disertai dengan keragu-raguan pada saat pekerjaan itu dilaksanakan, sebab keadaan ini tidak bisa dimasukkan kedalam kategori yakin. Hal-hal yang masih dalam keraguan atau masih menjadi tanda tanya, tidak dapat disejajarkan dengan suatu yang sudah diyakini.[11]
B.     Landasan Hukum[12]
·        Firman Allah SWT dalam Surat Yunus ayat 36
وَمَا يَتَّبِعُ أَكْثَرُهُمْ إِلَّا ظَنًّا ۚ إِنَّ الظَّنَّ لَا يُغْنِي مِنَ الْحَقِّ شَيْئًا
Artinya: ”Dan kebanyakan dari mereka tidak mau mengikuti kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai suatu kebenaran” (QS. Yunus : 36).

·        Sabda Nabi SAW:
اِذَاوَجَدَ أَحَدُ كُمْ فِي بَصْنِهِ شَيْئًا فَآَ شْكَلَ عَلَيْهِ اَخَرَجَ مِنْهُ شَيْ ءٌأَمْ لاَفَلاَ يَخْرُجَنَ مِنَ الْمَسْجِدِ حَتَى يَسْمَعَ صَوْتًاأَوْيَجِدْرِيْحًا (رواه مسلم عن أبى هريرة)

Artinya: “Apabila seseorang diantara kalian merasakan sesuatu dalam perutnya. Kemudian dia ragu apakah sesuatu itu telah keluar dari perutnya atau belum. Maka orang tersebut tidak boleh keluar dari mesjid sampai dia mendengar suara (kentut) atau mencium baunya”. (HR. Muslim dari Abu Hurairah).


C.      Beberapa Kaidah Minor dan Contoh Penerapannya
Beberapa kaidah minor, diantaranya:
1.      Kaidah minor pertama, kaidah kontinu
الآَصْلُ بقَاءُمَاكَانَ عَلَى مَاكَانَ
Artinya: “Pada dasarnya, asal itu meneruskan apa yang ada menurut keadaannya semula”

            Maksudnya ialah suatu perkara yang sudah berada pada satu kondisi tertentu dimasa sebelumnya, akan tetapi seperti kondisi semula, selama tidak ada dalil yang menunjukkan terhadap hukum lain, sebab dasar dari segala sesuatu adalah tidak berubahnya atau tetap seperti sedia kala (baqa’), sedang kemungkinan untuk terjadi perubahan dari kondisi semula adalah sesuatu yang baru dan sifatnya spekulatif, sehingga tidak dapat dijadikan sebagai pijakan hukum.[13]

            Contoh penerapan dalam kaidah ini adalah dalam kasus orang ragu-ragu tentang apakah ia sudah berhadas ataukah belum, maka yang dijadikan ukuran adalah kondisi yang telah ada sebelumnya, yaitu[14]:
a.       Jika kondisi sebelumnya ia belum wudlu, maka ia dianggap batal.
b.      Jika kondisi sebelumnya ia sudah pernah berwudlu, maka yang dianggap suci.

2.      Kaidah minor kedua, kaidah nihilis
من شك أفل شيأاملا فالاصل أنهلم يفعل
Artinya: “Jika ada orang ragu-ragu tentang apakah ia telah melakukan sesuatu ataukah belum? Maka hukum yang diambil adalah ia belum melakukan sesuatu”.

            Maksudnya ialah pada dasarnya hukum yang bisa dijadikan pijakan dari kasus orang ragu-ragu apakah dirinya sudah mengerjakan suatu amaliyah atau belum adalah belum mengerjakan, sebab menurut asalnya ia belum mengerjakan amaliyah tersebut, kecuali jika amaliyah tersebut benar-benar sudah terwujud dalam kenyataan, dan keberadaannya meyakinkan[15].

            Contoh penerapan dalam kaidah ini adalah dalam kasus ada seseorang yang sedang ragu-ragu perihal apakah ia sudah melakukan qunut atau belum, maka yang diambil adalah ia belum melakukan qunut. Karena ia disunnahkan melakukan sujud syahwi.

3.      Kaidah minor ketiga, kaidah minimalis
من تيقن الفعل وشك في القليل أو الكثير حمل على القليل لأنه متيقن
Artinya: ‘Siapa saja yang telah yakin bahwa ia telah melakukan sesuatu dan ia ragu-ragu dalam hal sedikit banyaknya jumlah pekerjaan yang telah dilakukannya, mak hukum yang diambil adalah yang paling sedikit, sebab ketetapan seperti ini yang lebih meyakinkan”.

Maksudnya, jika ditemukan ada seseorang yang dalam dirinya sudah yakin melakukan suatu amaliyah, tetapi ia masih ragu-ragu, apakah yang telah ia lakukan itu adalah bilangan yang lebih banyak atau sedikit, maka hendaknya ia memilih bilangan yang sedikit, sebab minimal ini sudah pasti dikerjakan[16].

            Contoh penerapan dalam kaidah ini adalah dalam kasus orang sholat yang ragu-ragu dalam rakaat yang telah ia lakukan, apakah sudah mendapat tiga rakaat atau empat rakaat? Maka yang harus diambil adalah yang tiga rakaat, sebab tiga rakaat inilah yang paling meyakinkan.


3.     KAIDAH KETIGA
A.     Teks Kaidah
Kesulitan itu menarik pada kemudahan
المَشَقَةُ تَجْلِبُ التَيْسِيْرُ
Yang dimaksud taisir ialah kelonggaran atau keringanan hukum yang disebabkan karena adanya kesukaran sebagai pengecualian dari pada kaidah umum. Dan yang dimaksud masyaqqat ialah suatu kesukaran yang didalamnya mengandung unsur-unsur terpaksa dan kepentingan, sehingga tidak termasuk didalamnya pengertian kemaslahatan yang bersifat kesempurnaan komplementer. Dengan demikian, maka semua bentuk keringanan dalam syari’ah islam itu, selalu bersumber dari kaidah komprehensip ketiga ini. Sedang yang menjadi dasar pijakan munculnya kaidah komprehensip ketiga ini adalah firman Allah surat An-Nisa’ ayat 28 sebagai berikut[17]:
يُرِيدُ اللَّهُ أَنْ يُخَفِّفَ عَنْكُمْ
Artinya: “Allah itu mencintai kemudahan bagi kamu sekalian”.
Landasan Hukum[18]
·        Firman Allah SWT dalam Surah Al-Baqarah(2) ayat 185
يُرِيْدُ اللهُ بِكُمْ الْيُسْرِوَلاَيُرِيْدُ بِكُمُ الْعُسرَ
Artinya : “Allah menghendaki kemudahan bagimu dan Allah tidak menghendaki kesukaran bagimu” (QS. Al-Baqarah [2]: 185).
·        Sabda Nabi SAW:
الدِيْنُ يُسْرٌاخُبُ الدِيْنِ إلَى اللهِ الخفِيَةَ السَمْحَةَ (رواه البخري)
Artinya : “Agama itu adalah mudah, sedang agama yang disenangi Allah adalah agama yang benar dan mudah” (HR. Bukhori).

B.     Kaidah Minor dan Contoh Penerapannya
1.      Kaidah minor pertama, kaidah longgar
إذا ضاق الأمر إتسع
Artinya: “Suatu perkara apabila sempit maka diperluas”.
            Maksudnya, jika muncul kesulitan dalam suatu perkara, maka perkara tersebut menjadi di perlonggar dan diperluas. Makanya keringanan hukum akan bisa diperoleh jika disebabkan adanya kondisi yang sulit dan sempit.[19]
            Contohnya seperti najis ma’fu (dimaafkan), jika najis yang mengenai tubuhnya itu sulit dihindari, seperti musim lalat yang dalam kebiasaannya senang dibenda-benda najis, lalu menempel tubuh.
2.      Kaidah minor kedua, kaidah sempit
إذا اتسع الأمر ضاق
Artinya: “Suatu perkara apabila luas maka dipersempit”
            Contohnya seperti dalam kondisi berperang, orang boleh melakukan shalat dengan cara apapun, sekalipun dengan cara berlari akan tetapi jika peperangan sudah selesai maka ia harus melakukannya sesuai dengan syarat dan rukunnya, dan ia tidak boleh melakukan gerakan yang banyak.
Kasus-kasus yang menjadi contoh kedua kaidah minor seperti itu, sama halnya dengan pandangan Ibnu Abi Hurairah, yang mengatakan bahwa segala sesuatu, aku telah meletakan pada landasan kaidah minor (kaidah kondisional) berikut[20]:
إذا ضاقت اتسعت وإذا اتسعت ضاقت
Artinya: “segala sesuatu jika keadaannya sempit (artinya pelaksanaanya sulit), maka ia menjadi luas dan jika luas (dan mudah pelaksanaanya), maka hukumnya menjadi sempit.
3.      Kaidah minor ketiga, kaidah kebablasan
كل ما تجاوز حده إنعكس إلى ضده
Artinya: “Semua yang melampaui batas itu, hukumnya berbalik pada kebalikannya”.
            Kaidah minor ini dibuat oleh imam al-Ghazali akibat dari adanya dua kaidah minor yang secara lahiriyah bertentangan, sehingga dengan kaidah yang dibuatnya bisa dijadikan dasar untuk mengkompromikan keduanya[21].
            Contohnya Rasa manis atau asin itu memang enak, akan tetapi jika terlalu manis atau asin, maka jadinya tidak menjadi enak. Pada saat tidak punya apa-apa, makan nasi pohong dengan lauk pauk ikan asin, sudah terasa enak, tetapi dalam kondisi banyak harta, makan nasi beras dengan lauk pauk sate kambing, gule dan sebagainya, terasa kurang enak.
4.     KAIDAH KEEMPAT
A.     Teks Kaidah
Kemadlaratan itu harus dihilangkan
الضَرَرُيُزَالُ
Seperti dikatakan oleh ‘Izzuddin Ibn Abd al-Salam bahwa tujuan syariah itu adalah untuk meraih kemaslahatan dan menolak kemafsadatan. Apabila diturunkan kepada tataran yang lebih konkret maka maslahat membaa manfaat sedangkan mafsadah mengakibatkan kemudaratan.
Kaidah tersebut di atas kembali kepada tujuan untuk merealisasikan maqashid al-syari’ah dengan menolak yang mafsadah, dengan cara menghilangkan kemudaratan atau setidaknya meringankannya.[22]
B.     Landasan Hukum[23]
·        Firman Allah SWT dalam Surah Al-A’raf ayat 55
وَلا تُفْسِدوَافِى الْاَرْضِ (الاعراف: ه ه)َ
Artinya : Dan jangan kamu sekalian membuat kerusakan dibumi”. (QS. al-A’raf: 55)
·         Sabda Nabi SAW:
لاَضَرَرَوَلاَضِرَارَ

Artinya :“Tidak boleh membuat kerusakan pada diri sendiri serta membuat kerusakan pada orang lain”. (HR. Ahmad dan Ibnu Majah dari Ibnu Abbas).
C.      Kaidah Minor dan Contoh Penerapannya
a.       Kaidah minor pertama, kaidah netralitas
الَضَرُوْرَة تُبِيْحُ الْمَحْظُوْرَاتِ
Artinya: “Kemadlaratan itu membolehkan larangan”
Maksudnya keadaan dhorurot dapat memperbolehkan seseorang melakukan perkara yang asalnya dilarang. Kiranya perlu ditegaskan disini bahwa ada tiga hal yang menjadi pengecualian kaidah ini, yakni kufur, membunuh, dan berzina. Ketiga jenis perbuatan tersebut tidak boleh dilakukan dalam kondisi apapun termasuk kondisi dlorurot. Artinya, ketiga hal tersebut dalam kondisi apapun tetap diharamkan[24].
Contohnya boleh membuka aurot didepan dokter saat proses pengobatan.
b.      Kaidah minor kedua, kaidah standar dlarurat (miqdaru al-dlarurat)
مَاأُبِيْعَ للضَرُورَاتِ يُقَدَرُبِقَدَرِهَا
Artinya: “Seseuatu yang diperbolehkan karena kondisi dlarurat, harus disesuaikan menurut batasan ukuran yang dibutuhkan dlarurat tersebut”.
            Maksudnya, sesuatu yang asalnya dilarang, lalu diperbolehkan lantaran keadaannya yang memaksa, harus disesuaikan dengan ukuran darurat yang sedang dideritanya, dan tidak boleh dinikmati sepuas-puasnya atau seenaknya saja, sebab kaidah ini memberikan batasan pada kemutlakan kaidah yang pertama tadi, dimana kebolehan yang terkandung didalamnya hanya sekedar untuk menghilangkan kemadlaratan yang sedang menimpa.
            Contoh penerapannya dalam kasus kelaparan yang kondisinya mendekati kematian (dlarurat). Orang seperti ini, mendapatkan keringanan (rukhshah), berupa kebolehan makan daging bangkai, yang asalnya berstatus haram. Sekalipun demikian, kebolehan tersebut hanya sebatas sebagai penyambung hidup, dan tidak boleh (haram) makan sepuas-puasnya, sehingga setelah merasa kenyang, maka tidak boleh lagi memakannya.
            Dengan demikian, hokum diperbolehkan makan barang haram telah hilang, lantaran sudah hilangnya alasan (‘illat) yang memperbolehkannya.[25]

c.       Kaidah minor ketiga, kaidah
اَلضَرَرُلاَيُزَالُ بِا لضَرَرِ
Artinya: Bahaya itu tidak dapat dihilangkan dengan bahaya yang lain”.
            Maksudnya ialah seseorang itu tidak boleh menghilangkan suatu bahaya yang ada pada dirinya dengan menimbulkan bahaya pada diri orang lain, sebab semua manusia memiliki kedudukan yang setara, sehingga satu jiwa tidak dapat dikorbankan hanya untuk menjaga kelangsungan hidup bagi jiwa yang lain.
            Contoh penerapannya, seperti dalam kasus tidak bolehnya orang sedang kelaparan mengambil makanan orang lain yang keadaannya juga akan mati kelaparan jika makanan yang menjadi miliknya hilang.[26]

5.     KAIDAH KELIMA
A.     Teks Kaidah
Kebiasaan dapat dijadikan suatu hukum
اَلعَا دَةُ مُحَكَمَةٌ
            Kaidah ‘Adah ini, diambil dari realita social kemasyarakatan bahwa semua cara hidup dan kehidupan itu dibentuk oleh nilai-nilai yang diyakini sebagai norma yang sudah berjalan sejak lama sehingga mereka memiliki pola hidup dan kehidupan sendiri secara khusus berdasarkan nilai-nilai yang sudah dihayati bersama. Jika ditemukan suatu masyarakat meninggalkan suatu amaliyah yang selama inisudah biasa dilakukan, maka mereka sudah dianggap telah mengalami pergeseran nilai. Nilai-nilai seperti inilah yang dikenal dengan sebutan ‘adat-istiadat, budaya, tradisi dan sebagainya. Kebudayaan itu bisa dianggap sebagai perwujudan aktivitas nilai-nilai dan hasilnya.[27]


B.     Landasan Hukum[28]
·        Firman Allah SWT dalam Surah Al-Baqarah ayat 236
وَمَتِّعُوهُنَّ عَلَى الْمُوسِعِ قَدَرُهُ وَعَلَى الْمُقْتِرِ قَدَرُهُ مَتَاعًا بِالْمَعْرُوفِ ۖ
Artinya :Dan hendaklah kamu berikan suatu mut'ah (pemberian) kepada mereka. Orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula), yaitu pemberian menurut yang patut. Yang demikian itu merupakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat kebajikan”. (QS. Al-Baqarah: 236)
·         Sabda Nabi SAW:
المكيال مكيال اهل المدينة والوزن وزن اهل مكة
Artinya:“Takaran itu pemilik penduduk madinah dan timbangan itu milik penduduk makkah”

C.      Kaidah Minor dan Contoh Penerapannya
a.       Kaidah minor pertama, kaidah Ta’yin al-‘Urf
التَعْيِيْنُ بِا لعُرْ فِ كَا لتَعْبِيْنِ بِا لنَص
Artinya: “Yang sudah tetap berdasarkan kebiasaan sama hal-nya dengan yang sudah tetap berdasarkan nash”.
            Kaidah Ta’yin al-‘Urf  ini searti dengan kaidah Tsabitu al Ma’ruf berikut:
الثابت بالمعروف كاالتابت باانص
Atinya: “Yang ditetapkan oleh ‘urf sama dengan yang ditetapkan oleh nash”
Contohnya Adat Minangkabau tentang hubungan kekerabatan, yaitu Matrilenial, artinya:keturunan itu hanya dihitung menurut garis perempuan saja bukan laki-laki, sehingga suami dan anaknya harus diam dirumah keluarga pihak perempuan (matrilokal). Sekalipun demikian pada umunya kekuasaan masih dipegang oleh suami (matriarchat). Dalam hal ini islam bisa mentolerirnya, sebab tidak bertentangan dengan nash, baik al-qur’an maupun Hadits.[29]
b.      Kaidah minor kedua, kaidah ma’rufu al-‘Urf
الْمَعْرُوْفُ عُرْ فًا كَا لَمَشْرُوْ طِ شَرْ طاً
Artinya: “Yang sudah dianggap baik itu sebagai ‘urf sebagaimana yang disyari’atkan menjadi syarat”.
Kaidah Ma’rufu al-‘urf ini searti dengan kaidah Thardil ‘adah berikut:
العادة المطردة فى ناحية تنزل عادتهم منزلة الشرط
Artinya: “’adah yang umum berlaku dimasyarakat, maka ‘adah mereka menempati posisi syarat”
            Contoh penerapannya dalam kasus menjual buah di pohon. Menurut qiyas, hukumnya tidak boleh dan tidak sah, karena jumlahnya tidak jelas (majhul), tetapi karena sudah menjadi kebiasaan yang umum dilakukan ditengah masyarakat, maka ulama’ membolehkannya.[30]
c.       Kaidah minor ketiga, kaidah penguatan budaya
كل ما ورد به الشرع مطلقا ولا ضابط له فيه ولا فى اللغة يرجع فيه الى العرف
Artinya: “Semua yang telah diatur oleh syara’ secara mutlak tanpa ada ikatan atau qayyid dan tidak ada ketentuannya secara pasti dalam agama dan tidak ada juga dalam bahasa, maka hal tersebut harus dikembalikan kepada ‘urf”.
            Contoh penerapannya dalam kasus negara yang sedang mengalami krisis moneter global, dan tidak sedikit dalam satu negara ditemukan banyak mata uang yang beredar dan bisa dipergunakan sebagai alat pembayaran. Dalam kasus fluktuatif ini, warga negara bersangkutan yang sedang melakukan transaksi, harus terlebih dahulu menjelaskan mata uang apa yang akan dipakai sebagai alat pembayaran, sebab masing-masing masyarakat akan memiliki kepentingan yang berbeda dalam memilih mata uang yang dikehendaki.[31]

KESIMPULAN

Qawa’id Fiqhiyyah merupakan hasil atau kesimpulan dari hukum-hukum fiqh yang terperinci (juz’iyyah) dan terpisah-pisah sebagai hasil akhir dari ijtihad mereka, lalu bagian-bagian yang terpisah-pisah tersebut diikat menjadi satu ikatan atau kaidah.
Kaidah-kaidah yang dibentuk para ulama’ pada dasarnya berpangkal dan menginduk kepada lima kaidah pokok. Kelima kaidah pokok inilah yang melahirkan bermacam-macam kaidah yang bersifat cabang. Sebagian ulama’ menyebut kelima kaidah pokok tersebut dengan istilah al qawa’id al-khams (kaidah-kaidah yang lima).
Kelima kaidah tersebut sangat masyhur di kalang madzhab al-Syafi’i khususnya dan dikalangan madzhab-madzhab lain umumnya, meskipun urutannya tidak selalu sama.
Kelima kaidah tersebuat adalah:
1.      Segala Sesuatu Itu Tergantung Pada Tujuannya
الأُمُوْرُبِمِقَا صِدِهَا
2.      Keyakinan tidak bisa dihilangkan dengan keraguan.
اَلْيَقِيْنُ لاَيُزَالُ بِا لشَكِ
3.      Kesulitan itu menarik pada kemudahan
المَشَقَةُ تَجْلِبُ التَيْسِيْرُ
4.      Kemadlaratan itu harus dihilangkan
الضَرَرُيُزَالُ
5.      Kebiasaan dapat dijadikan suatu hukum
اَلعَا دَةُ مُحَكَمَةٌ



DAFTAR PUSTAKA
Dahlan Tamrin, Kaidah-Kaidah Hukum Islam Kulliyah Al–Khamsah (Malang:Uin-Maliki Press, 2010),
A.Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih (Jakarta:Kencana, 2006),
Yahya Khusnan Manshur.Ulasan Nadhom Qowaid Fiqhiyyah Al Faroid Al Bahiyyah (Jombang:Pustaka Al Muhibbin,2011),
Ade Dedi Rohayana, ILMU QAWA’ID FIQHIYYAH Kaidah-Kaidah Hukum Islam (Jakarta:Gaya Media Pratama, 2008),
A.Djazuli, Ilmu Fiqh (Jakata:Kencana,2006),
Revisi:
1.      Tidak ditemukan indikasi copy-paste.
2.      Penulisan abstrak cuma satu paragraf saja.
3.      Makalahnya tidak rapi dan tolong dirapikan, sehingga sama seperti artikel yang saya jadikan acuan dalam perkuliahan ini.
4.      Penulisan footnote tolong diselaraskan.
5.      Masing-masing kaidah mayor, tolong diberikan kaidah minornya.
6.      Pendahuluan masih kurang greget.



[1] Dahlan Tamrin, Kaidah-Kaidah Hukum Islam Kulliyah Al–Khamsah (Malang:Uin-Maliki Press, 2010),hlm.4-6.
[2] A.Djazuli, Ilmu Fiqh (Jakata:Kencana,2006),hlm.11.
[3] A.Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih (Jakarta:Kencana, 2006),hlm.2-4.
[4] Ade Dedi Rohayana, ILMU QAWA’ID FIQHIYYAH Kaidah-Kaidah Hukum Islam (Jakarta:Gaya Media Pratama, 2008),hlm.38-39.
[5] Ibid.,hal:48-65.
[6] Ibid.,hlm.201.
[7] Dahlan Tamrin.op.cit.hlm.25-26.
[8] Ibid.hlm:26.
[9] Ade Dedi Rohayana, hlm.210.
[10] Yahya Khusnan Manshur.Ulasan Nadhom Qowaid Fiqhiyyah Al Faroid Al Bahiyyah (Jombang:Pustaka Al Muhibbin,2011),hlm.18.
[11] Dahlan Tamrin,op.cit,hlm.75-76
[12] Ibid,hlm:76
[13]Ibid,hlm.79.
[14] Ibid.hlm.80.
[15] Ibid. Hlm:84
[16] Ibid.hlm:86
[17] Ibid.hlm.121.
[18]Ibid,hlm: 122.
[19] Ibid,hlm: 149.
[20] Ibid,hlm: 150.
[21] Ibid,hlm: 151.
[22] A.Djazuli,op.cit.hal:67
[23] Dahlan Tamrin.op.cit,hal:157
[24] Yahya Khusnan Manshur.op.cit.hal:82.
[25] Dahlan Tamrin, op.cit.hlm.165
[26] Ibid.hal:172
[27] Ibid.hal:203.
[28] Ibid.hal:210.
[29] Ibid.hal:240
[30] Ibid.hal:241
[31] Ibid.hal:245

2 komentar:

  1. Assalamualaikum Wr. Wb

    Terima kasih atas materinya tentang Qawaidul Khamsahnya

    saya copy materinya, saya buat mengajar Ilmu Fikih Kelas XII MAN 1 Jepara

    Syukran Jazakumullah Khairan Katsira, Aaamiin

    BalasHapus