Rabu, 16 November 2016

Klasifikasi Hadis dari Aspek Kualitas (PAI B Semester III)





Klasifikasi  Hadist dari Aspek Kualitasnya
(PAI-B Semester III)
Alya Nashar Zulfa dan Arif Rifqy Nur Pelangi
Pendidikan Agama Islam
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang
Abstract: Hadist have sections with different terms. However, all of that aim essentially back on three objects of discussion, namely in terms of honor, sanad, as well as honor and sanad together. And most of them classify overall tradition into three categories, namely legal, hasan and is weak. Hadith by simple division into three kinds is in because basically the tradition is sometimes maqbul (received) and sometimes mardud (rejected). maqbul traditions that are sometimes caused it has met the requirements to be perfectly acceptable and sometimes meet the requirements for admission but less than perfect. Hadist maqbul eligible for admission to perfect so-called hadith shahih, was not meeting the requirements for admission to perfect so-called hadist hasan, while the hadist  mardud (rejected) is a hadith Dhaif.
Keywods: Hadist, Shahih, Hasan, Dhaif.
Pendahuluan
     Allah mewahyukan al-qur’an kepada nabi Muhammad saw masih bersifat mujmal (global), sehingga untuk memahaminya secara benar diperlukan penjelasan dan penafsiran, orang yang paling mengetahui isi kandungan al-qur’an tak lain adalah nabi Muhammad saw.
    Penjelasan nabi Muhammad saw, bias berupa perkataan, perbuatan,maupun ketetapan beliau yang lebih dikenal hadist atau sunah. Dalam perkembangannya, hadist sudah melewati berbagai sejarah zaman hadist kemudian menjadi kajian khusus umat islam. Demi menjaga kemurniannya, hadist diklasifikasikan atas dua macam yaitu :
      1.      Hadist berdasarkan kuantitasnya. Yang terdiri dari hadist mutawatir dan hadist ahad.
2.      Hadist berdasarkan kualitasnya yang terbagi atas hadist sahih, hadist hasan, dan hadist dha’if.
    Dalam makalah ini kita akan membahas klasifikasi hadist berdasarkan kulitasnya yang terdiri dari tiga macam yaitu hadist sahih, hadist hasan, dan hadist dha’if, mengenai pengertian, syarat-syarat dan yang lain agar dapat diketahui apakah hadist tersebut dapat dijadikan untuk berhujjah atau tidak.

Klasifikasi Hadist Berdasarkan Kualitasnya
1.Hadist Shahih
          Shahih menurut bahsasa berarti ‘’sehat’’, kebalikan dari ‘’sakit’’.[1] Sedangkan menurut istilah Hadist Shahih adalah hadist yang dinukil atau diriwayatkan oleh rawi yang adil, sempurna ingatanya serta sanadnya bersambung, tidak ber’ilat (cacat) dan tidak janggal.[2]
          Sebuah hadist yang dikatakan shahih terkandung arti bahwa hadist tersebut telah memenuhi kriteria kesahihan suatu Hadist. Namun tidak serta merta bisa dipastiakan bahwa Hadist tersebut benar-benar merupakan sabda Nabi Muhammad Saw, Sebaliknya, jika terdapat sebuah hadis di katakan bahwa Hadist tersebut tidak shahih, maka maksud dari pernyataan itu bahwa system sanad Hadist tersebut tidak memenuhi kriteria sanad yang dibutuhkan suatu hadist shahih.[3] Dari definisi tersebut dapat dipahami bahwa hadist shahih adalah hadist yang memenuhi syarat sebagai berikut:
a.  Kebersambungan Sanad (Ittishal al-sanad)
          Kebersambungan sanad dalam periwayatan hadist, artinya bahwa seorang perawi dengan perawi hadist di atasnya atau perawi di bawahnya terdapat pertemuan lansung (liqa’) atau adanya pertautan lansung dalam bentuk relasi guru-murid, mulai dari awal hingga akhir sanad.[4]
b. Para Perawi Adil (‘ad alat al-ruwat)
          Adil adalah perangai yang senantiasa menunjukkan pribadi yang taqwa dan muru’ah (menjauhkan diri dari sifat atau tingkah laku yang tidak pantas untuk dilakukan). Yang di maksud adil di sini adalah adil dalam hal meriwatkan hadist, yaitu orang muslim yang mukallaf (cakap bertindak hukum) yang selamat dari fasiq dan sifat-sifat yang rendah. Oleh karena itu, orang kafir,fasiq,gila, dan orang yang tidak pernah dikenal, tidak termasuk orang yang adil. Sedangkan, orang perempuan, budak, dan anak yang mumayyiz bisa digolongkan orang yang adil apabila memenuhi kriteria tersebut.[5]
c.  Para Perawi Dhabit (dhawabith al-ruwat)
          Yang di maksud sempurna kedhabitanya ialah kedhabitan pada tingkatan yang tinggi. Dalam hal ini, dhabit ada dua maca, yaitu:
·    Dhabit Hati, seseorang dikatakan dhabit hati apabila dia mampu menghafal setiap hadist yang didengarnya dan sewaktu-waktu dia bisa mengutarakan atau menyampaikanya.
·    Dhabit Kitab, Seseorang dikatakan dhabit kitab apabila setiap hadist yang dia riwayatkan tertulis dalam kitabnya yang sudah di tashih (di cek kebenaranya) dan selalu dijaga.[6]
d.  Terhindar dari kerancuan/ syadz  (‘adam syudz udz)
          Yang dimaksud syadz di sini ialah hadist yang diriwayatkan oleh seorang rawi yang terpercaya itu tidak bertentangan dengan hadist yang diriwayatkan oleh rawi-rawi yang tingkat dipercayanya lebih tinggi.
e.  Terhindar dari kecacatan (‘adam’ilal)
          Kata ‘illat secara lughawi berarti sakit. Adapula yang mengartikan sebab dan kesibukan. Adapun dalam terminology ilmu hadist, ‘illat didefinisikan sebagai sebuah hadist yang di dalamnya terdapat sebab-sebab tersembunyi, yang dapat merusak kesahihan hadist yang secara lahir tampak sahih. Jadi ‘illat di sini ialah cacat yang samar yang mengakibatkan hadist tersebut tidak dapat diterima.
          Macam-macam Hadist Shahih
Hadist shahih terbagi menjadi dua, yaitu:
1.      Hadist sahih Li Dzatihi. Yaitu  hadist yang memuat semua sifat-sifat penerimaan hadist pada tingkatan tertinggi atau dengan kata lain memenuhi seluruh persyaratan ke-shahihan hadist.
2.      Hadist shahih li Ghairihi. Yaitu hadist yang tidak mengandung sifat-sifat hadist maqbul yang tinggi, yakni hadist-hadist yang asalnya tidak shahih, akan tetapi bisa meningkat mmenjadi hadist shahih karena ada sesuatu hal yang mendukung sehingga menutup kekuranganya.
Hukum-hukum Hadist Shahih
Adapun mengenai hukum-hukum hadist shahih ialah sebagai berikut:
1.       Berakibat kepastian hukum, hal ini apabila hadist tersebut terdapat pada shahih Bukhari dan Shahih Muslim. Demikian pendapat yang dipilih dan dibenarkan oleh Ibnu Al-Shalah
2.      Imperatif diamalkan, menurut Ibnu Hajar dalam kitab Syarah Al-Nuhbah, wajib mengamalkan setiap hadist shahih, meskipun hadist dimaksud tidak termasuk yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim.
3.      Imperatif untuk menerimanya. Menurut Al-Qasim dalam kitab Qawa’idu Al-Tahdits, bahwa wajib menerima hadist shahih walaupun hadist shahih itu tidak pernah diamalkan oleh seorang pun.
4.      Imperatif segera diamalkan tanpa menunggu sampai adanya dalil yang bertentangan. Menurut Syekh Al-Fallaani di dalam kitab Liqaadzu Al-Himami, bahwa mengamalkan hadist dhahih tidak usah mengetahui tidak adanya nasikh atau tidak adanya ijma’ atau dalil-dalil lain yang bertentangan dengan hadist itu. Akan tetapi, harus segera diamalkan sampai benar-benar diketahui adanya dalil-dalil yang bertentangan denganya, dan kalau toh ada maka harus diadakan penelitian terlebih dahulu.
5.      Hadist shahih tidak membahayakan. Menurut Ibnu Qayyim dalam kitab Ighaatsatu Al-Lahfan, bahwa hadist shahih walaupun hanya diriwayatkan oleh seorang sahabat saja tidak membahayakan, yakni tidak mengurangi kader keshahihanya
6.      Tidak harus diriwayatkan oleh orang banyak. Hadist yang shahih tidak pasti diriwayatkan oleh orang banyak, sebagai dasarnya ialah hadist yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Muadz.
Tingkatan-tingkatan Hadist Shahih
1.      Hadist yang disepakati keshahihanya oleh Al-Bukhari dan Muslim
2.      Hadist yang dishahihkan oleh Al-Bukhari saja.
3.      Hadist yang dishahihkan oleh Muslim saja.
4.      Hadist shahih yang diriwayatkan oleh selain Bukhari dan Muslim, tetapi mengikuti syarat-syarat shahih Al-Bukhari dan Muslim
5.      Hadist shahih menurut syarat Bukhari namun perawinya bukan beliau.
6.      Hadist shahih menurut syarat Muslim namun perawinya bukan beliau.
7.      Hadist shahih bukan menurut Bukhari dan Muslim serta atas dasar syarat bukan dari mereka berdua.[7]
2. Hadist Hasan
          Hasan menurut bahasa ialah “Sesuatu yang baik dan cantik.” Sedangkan menurut terminologi adalah hadist yang sanadnya bersambung, oleh penukil yang adil namun tidak terlalu kuat ingatanya,dan terhindar dari keganjilan serta penyakit. Untuk menghilangkan kejumbuhan ini, adalah bahwa keadilan pada Hadist Hasan disandang oleh orang yang tidak begitu kuat ingatanya, sedangkan pada hadist shahih melekat pada rawi yang benar-benar kuat ingatanya. Tetapi keduanya bebas dari krganjilan dan penyakit. Keduanya bisa digunakan sebagai hujjah dan kandunganya dapat dijadikan penguat.[8]
          Atas dasar pengertian hadist Hasan tersebut, maka syarat-syarat hadist hasan itu ada lima macam, yaitu:
1.  Muttasil Sanadnya.
2.  Rawinya adil.
3.  Rawinya dhabith.
Kedhabitan rawi di sini tingkatanya di bawah keshabitan rawi hadist shahih, yakni kurang sempurna kedhabitanya.
4.  Tidak termasuk hadist syadz.
5. Tidak terdapat illat (cacat).
          Dengan demikian, syarat-syarat hadist hasan adalah seperti syarat-syarat hadist shahih, kecuali syarat yang tersebut pada huruf ke-3, yaitu tentang dhabith, dimana di dalam hadist shahih kedhabitanya itu harus dalam tingkatan yang lebih tinggi, sedangkan dalam hadist hasan tingkat kedhabitanya ada di bawahnya[9].
          Macam-macam Hadist Hasan
Hadist Hasan terbagi menjadi dua, yaitu:
1.           Hadist Hasan li dzatih (hasan dengan sendirinya), apabila hanya disebut “Hadist Hasan”, yang dimaksudkan adalah hadist hasan lidzatih, dengan batasan seperti tersebut di atas. Dinamakan hasan lidzatih, karena sifat kehasananya muncul di luarnya. Dengan demikian, hasan lidzatih ini dengan sendirinya telah mencapai tingkatan shahih dalam berbagai persyaratanya, meskipun nilainya sedikit di bawah hadist shahih berdasarkan ingatan para perawinya.
2.          Hadist Hasan li Ghairih (hasan dengan topangan hadist lain), hadist yang di dalam isnadnya terdapat orang yang tidak diketahui keadaanya, tidak bisa dipastikan kelayakan atau ketidaklayakanya.
Hukum Hadist Hasan
          Hukum hadist hasan dalam hal fungsinya sebagai hujjah dan implementasinya adalah sama seperti hadist shahih, meskipun kualitasnya di bawah hadist shahih. Hanya saja, jika terjadi pertentangan anatara hadist shahih dengan hasan, maka hahrus mendahulukan hadis shahih, ri karena tingkatan kualitas hadist hasan berada di bawah hadist shahih. Hal ini merupakan konsekuensi logis dari dimensi kesempurnaan kedhabitan rawi-rawi hadist hasan, yang tidak seoptimal kesempurnaan kedhabithan rawi-rawi hadist shahih.[10]
3.    Hadist Dha’if
     Kata “dha’if” menurut bahasa berasal dari kata “dhu’fun” yang berarti lemah lawan kata dari “qawiy” yang berarti kuat[11], sedangkan menurut istilah adalah hadist yang tidak memenuhi salah satu syarat dari syarat hadist shahih ataupun  hasan. Satu syarat saya tidak terpenuhi maka hadist itu  termasuk hadist dha’if.[12] Hadist dha’if dapat di bagi menjadi beberapa macam sesuai dengan sudut pandangnya, yaitu:
1.      Dha’if dari sudut sandaran matanya (karena keterputusan sanad)[13]
a). Hadist mawquf, yaitu hadist yang diriwayatkan dari para sahabat berupa perkataan,perbuatan dan taqrirnya. Contohnya adalah:
حد ثنا عبيد ا لله بن موسي عن معروف بن خربوذ عن ابى الطفيل عن علي وقال حدثوا الناس بما يعرفون, اتحبون ان يكذب الله رسوله
“Ali berkata, sampaikanlah kepada manusia apa yang kamu ketahui, apakah kamu senang untuk berbohong atas nama allah dan rasulnya.”
b). Hadist Maqthu’, yaitu hadist yang diriwayatkan dari tabi’in berupa perkataan, perbuatan dan taqrirnya.
Contoh:
وقال الحسن البصرى فى الصلاة خلف المبتدع صل و عليه بد عته
“Hasan al-Bashri berkata, shalatlah di belakang pelaku bid’ah karena bagi dia sendiri (dosa) dari bid’ah yang diperbuatanya.
              Hadist riwaya al-Bukhari tersebut dinamakan sebagai hadist maqthu’ karena diriwayatkan atau berupa perkataan yang dikemukakan oleh tabi’in, yakni Hasan al-Basri. Dengan demikian hadis tersebut tidak berasal dari rasulullah swt.
c). Hadist Mursal, yaitu hadist yang gugur sanadnya setelah tabi’in. Contohnya:
حدثنى محمد بن رافع حدثنا حخين بن المثنى حدثنا الليث عن عقيل عن ابن شهاب عن سعيد بن المسيب ان رسولالله- صلى الله عليه و سلم- نهى عن بيع المزابنة
            “dari Said ibn Musayyab bahwa rasulullah saw, melarang jual beli muzabanah.”
              Said’ ibn Musayyab adalah seorang tabi’in, namun ia meriwayatkan hadist tersebut langsung dari rasulullah. Berarti ada keterputusan di tingkat sahabat, sehingga hadist ini disebut sebagai hadist mursal.
d). Hadist mu’allaq, yaitu hadist yang gugur perawinya seorang atau lebih, yang terjadi dari awal sanad. Contoh:
وقا ل ا بو موسى غطى النبى -  صلى الله عليه وسلم -  ر كبتيه حين دخل عسمان
“Abu Musa berkata, rasulullah saw, menutupi kedua lututnya pada saat usman masuk (menemuinya).
              Hadist tersebut tergolong mu’allaq kerena dihilangkan seluruh jajaran perawi yang terdapat dalam jalur sanad hadist tersebut kecuali pada tingkat sahabat , yakni Abu Musa.
e). Hadist Mudallas, yaitu hadist yang diriwayatkan menurut cara yang diperkirakan bahwa  hadist itu tida bernoda, atau hadist yang didalamnya terdapat penyembunyian cacat yang di lakukan oleh perawinya.
f).  Hadist munqathi’, yaitu hadist yang gugur seorang perawinya sebelum sahabat pada suatu tempat, atau gugur pada dua tempat yang tidak berturut-turut.
g).  Hadist Mu’dhal, yaitu hadist yang gugur dua orang perawi atau lebih jalur sanadnya secara berturut-turut.

     2. Hadist dha’if sebab lain dari keputusan sanad[14]
a). Hadist Maqlub, yaitu hadist yang menyalahi riwayat orang yang dipercaya dengan memutarbalikan suasana kata atau kalimat. Pemutarbalikan dimaksud, bisa saja terjadi baik dalam sanad atau pada matan hadistnya. Berikut adalah contoh pemutarbalikan pada sisi matan.
عن زهير بن و محمد بن المثنى كذا قالوا عن يحيى القطا ن عن عبيد الله ورجل تصد ق
“dari Ubaidillah, dan seorang yang bersedekah kemudian menyembunyikannya sehingga (seakan-akan) tangan kananya tidak tahu tentang apa yang di sedekahkan oleh tangan kirinya.”
Hadist di atas dinyatakan maqlub karena terbalik matanya.
b). Hadist Mudraj, yaitu hadist yang didalamnya terdapat sisipan atau tambahan (yang tidak berasal dari potongan hadist tersebut, tetapi berasal dari tafsiran para sahabat atau perawi sesudahnya terhadap hadist tersebut). Contoh:
اخبر نا مؤمل بن هشا م قال ثنا اسما عيل عن شعبة عن محمد بن زياد عن ابي هريرة قل قل رسو ل الله صلعم : اسبغوا الو ضوء ويل للاّ عقا ب من النار
“Rasulullah saw bersabda, sempurnakanlah wudhu’ dan terancam neraka bagi siapa yang berwudhu’ dengan tidak membasuh tumitnya.”
Pada lafadz yang di garis bahawi di atas, sebenarnya merupakan tambahan yang di berikan oleh perawi sendiri,  bukan asli teks dari Rasulullah saw. Dalam konteks ini, kalimat tambahan tersebut merupakan tafsiran atau tambahan penjelesan yang diberikan oleh para perawi hadist tersebut, dan bukan bagian dari hadist itu sendiri.
c). Hadist Mushahhaf, yaitu hadist yang mengalami perubahan pada titik atau garis pada huruf-hurufnya, sehingga terjadi keslahan makna.
d). Hadist Syadz, yaitu hadist yang diriwayatkan oleh perawi yang tsiqah tetapi bertentangan dengan hadist yang di riwayatkan oleh sejumlah perawi yang lebih tsiqah.
e). Hadist Munkar, yaitu hadist yang diriwayatkan oleh perawi yang dha’if bertentangan dengan periwayatan yang disampaikan oleh perawi yang tsiqah.
f). Hadist Matruk, yaitu hadist yang diriwayatkan oleh orang yang terdutuh berdusta, sebagaimana contoh sebagai berikut:
عن عمرو بن شمر الجعفى الكو فى الشيعى عن جابر عن ابى الطفيل عن على وعمار قالا كان رسو ل الله صلعم يقنت فى الفجر ويكبر يوم عر فة من صلاة الغداة , ويقطع صلاة العصر اخر ايام التشريقز
“Rasulullah saw, selalu membaca qunut pada shalat fajar, bertakbir pada hari arafah dari semenjak shalat shubuh dan berhenti pada waktu shalat ashar di terakhir dari hari tasyrik.”
Menurut al-Nasa’I dan al-Daruquthni,’Amr ibn Syamir dinilai sebagai perawi yang tertuduh berdusta di dalam meriwayatkan hadist (matruk al-hadist) sehingga hadist yang diriwayatkan juga dinilai matruk.
g). Hadist mawdhu’, yaitu hadist yang dibuat-buat, diadakan, didustakan dan dinisbahkan oleh seorang pendusta kepada rasulullah secara palsu baik secara sengaja maupun tidak sengaja (khatha’an). Seperti contoh adalah hadist yang berbunyi:
افة الدين ثلاثة فقيه فاجر وامام جاءر و مجتهد جاهل
“Lenyapnya agama disebabkan tiga hal, yaitu ahli fiqh yang durhaka, pemimpin yang lalim, dan mujtahid yang bodoh.
Hadist di atas adalah riwayat imam al-Dailami yang berasal dari ibnu abbas. Hadist tersebut menurut penilaian al-Hafidz Ahmad al-Ghomari adalah hadist maudhu’.
     Kesimpulan
            Pembagian hadist secara simple menjadi tiga macam ini dikarenakan pada dasarnya hadist itu adakalanya maqbul (diterima) dan adakalanya Mardud (ditolak). Hadist yang maqbul adakalanya disebabkan ia telah memenuhi syarat-syarat untuk diterima secara sempurna  dan adakalanya memenuhi syarat-syarat untuk untuk diterima tetapi kurang sempurna. Hadist-hadist maqbul yang memenuhi syarat untuk diterima dengan sempurna di sebut hadist shahih, sedangkan yang kurang memenuhi syarat-syarat untuk diterima dengan sempurna disebut hadist hasan, sedangkan hadist mardud yang (ditolak) ialah Hadist dhaif. Pembagian hadist denagan segala macam dan aneka ragamnya itu tidak bisa keluar dari tiga macam pembagian tersebut.
     Daftar Rujukan
Prof.Dr. Alawi Al-Maliki Muhammad. 2006. Ilmu Ushul Hadist. Yogyakarta: PUSTAKA PELAJAR.
Dr. As-Shalih Subhi. 2000. Membahas Ilmu-ilmu Hadist. Jakarta: Pustaka Firdaus.
Dr.Hj.  Umi Sumbulah, M.Ag; Kholil Akhmad , M.Fil.I; Dr.H. Nasrullah, M.Th.I. 2014.  Studi Al-Qur’an dan Hadis. Malang: UIN-Maliki Press.
Al-Nawawi Imam. 2001. Dasar-dasar Ilmu Hadist. Jakarta: Pustaka Firdaus.
M. Rahmat Kurnia; M. Sigit Purnawan Jati; M. Ismail Yusanto. 2002.  Prinsip-prinsip Pemahaman Qur’an dan Hadist, Jakarta selatan: Khairul Bayan.

Revisi:
1.      Tidak ada indikasi copy-paste.
2.      Penulisan footnote perlu diperbaiki lagi.
3.      Dalam tulisan ilmiah, penyebutan gelar dihilangkan.
4.      Contoh hadis shahih dan hasan kok tidak ada?
5.      Berikan contoh pada masing-masing jenis hadis, dan jelaskan secara gamblang mengapa ia dihukumi demikian.
6.      Berikan keterangan hukum mengamalkan hadis shahih, hasan, dan dhaif secara jelas.






         

         




[1] Prof.Dr. Muhammad Alawi Al-Maliki, Ilmu Ushul Hadist, hlm. 52
[2] M. Rahmat Kurnia; M. Sigit Purnawan Jati; M. Ismail Yusanto, Prinsip-prinsip Pemahaman Qur’an dan Hadist, hlm. 142
[3] Imam Al- Nawawi, Dasar-dasar Ilmu Hadist, hlm.3
[4] Dr.Hj.  Umi Sumbulah, M.Ag; Kholil Akhmad , M.Fil.I; Dr.H. Nasrullah, M.Th.I, Studi Al-qur’an dan Hadist, hlm.204
[5] Prof.Dr. Muhammad Alawi Al-Maliki, Ilmu Ushul Hadist, hlm. 52
[6] Prof.Dr. Muhammad Alawi Al-Maliki, Ilmu Ushul Hadist, hlm. 53

[7] M. Rahmat Kurnia; M. Sigit Purnawan Jati; M. Ismail Yusanto, Prinsip-prinsip Pemahaman Qur’an dan Hadist, hlm.144
[8] Dr, As-Shalih Subhi,  Membahas Ilmu-ilmu Hadis, hlm.142
[9] Dr.Muhammad Alawi Al-Maliki, Ilmu Ushul Hadis, hlm.59
[10] Dr.Muhammad Alawi Al-Maliki, Ilmu Ushul Hadis, hlm.60
[11] Dr.Muhammad Alawi Al-Maliki, Ilmu Ushul Hadis, hlm.63
[12] M. Rahmat Kurnia; M. Sigit Purnawan Jati; M. Ismail Yusanto, Prinsip-prinsip Pemahaman Qur’an dan Hadist, hlm.145
[13] Dr.Hj.  Umi Sumbulah, M.Ag; Kholil Akhmad , M.Fil.I; Dr.H. Nasrullah, M.Th.I, Studi Al-qur’an dan Hadist, hlm.210

[14] Dr.Hj.  Umi Sumbulah, M.Ag; Kholil Akhmad , M.Fil.I; Dr.H. Nasrullah, M.Th.I, Studi Al-qur’an dan Hadist, hlm.218

Tidak ada komentar:

Posting Komentar