Rabu, 15 Mei 2019

TA’WIL DAN NASAKH, MURADIF DAN MUSYTARAK (PAI A Semester Genap 2018/2019)



TA’WIL DAN NASAKH, MURADIF DAN MUSYTARAK
Arna Ulinnuha dan Mutmainnah
Mahasiswa PAI A Angkatan 2016 Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang
Abstract
This article will discuss Ta'wil and Nasakh and Muradif and Musytarak, which are rules that must be discussed in Ushul Fiqh to discuss and regulate Islamic laws. In the Ushul, Ta'wil Fiqh is "Transferring zhahir lafaz from its original use to something that is needed by the argument" in short, transferring the meaning of zahir to another meaning. Nasakh canceled and replaced the enforcement of a sharia law 'and replaced the law with a new syara' legal provision. Muradif "Some words are used for one meaning" (synonym). And the last one is Musytarak, a lafadz that has two meanings or can better distinguish different meanings.
Keywords: Ta'wil, Nasakh, Muradif, and Musytarak.
Abstrak
Artikel ini akan membahas tentang Ta’wil dan Nasakh serta Muradif dan Musytarakmurupakan kaidah yang harus diperhatikan dalam Ushul Fiqh untuk menggali dan menetapkan mengenai hukum-hukum Islam. Dalam Ushul Fiqh Ta’wil adalah “Mengalihkan zhahir lafaz dari pemakaian asalnya kepaa sesuatuyang diperlukan oleh dalil” lebih singkatnya mengalihkan makna zahir kepada makna yang lain. Nasakh membatalkan dan menghapus pemberlakuan suatu hukum syara’ dan mengganti hukum tersebut dengan suatu ketentuan hukum syara’ yang baru. Muradif Beberapa lafad terpakai untuk satu makna”(sinonim). Dan yang terahir yaitu Musytarak suatu lafadz yang mempunyai dua makna ataupun lebih dan dapat menunjukkan makna yang berbeda-beda.
Kata Kunci : Ta’wil, Nasakh, Muradif, dan Musytarak.

A.    PENDAHULUAN
Ushul Fiqhi adalah mata pelajaran pokok Ilmu Pengetahuan Agama Islam. Hal itu disebabkan karena ushul fiqh adalah baan ang tidak dapat terpisahkan dalam ilmu pengetahuan islam sebab ushul fiqh adalah usaha atau cara untuk menghasilkan perangkat ketentuan yang harus dilakukan oleh seseorang dalam usahanya mencari kebahagian didunia dan diakhirat. Perangkat tersebut dinamakan fiqh.
Al-Quran merupakan sumber hukum islam yang paling utama. Dalam memahami Al-Qur’an secara tepat, maka seharusnya sebelum memahami kaidah, sebaiknya memahami kebahasaan dari Al-Qur’an tersebut terlebih dahulu. Ulama-ulama terdahulu sering merasa tidak pantas unuk memberi penafsiran pada ayat Al-Qur’an sebelum mereka menguasai banyak ilmu-ilmu pembantu dalam memahaminya. Seringkali hanya mengambil pendapat para ulama pendahulu mereka yang mereka pandang jauh lebih alim dan bersih hati dan jiwanya.
Hal itu karena mereka menganggap bahwa Al-Qur’an dan hadis bukan hanya susunan suatu kata atau kalimat melainkan memiliki riwayat, makna dan rahasiah. Al-Qura’an merupakan kalam ilahi yang didalamnya tersusun kata-kata yang penuh dengan nilai seni. Oleh karena itu, agar seorang tidak melakukan kesalahan daalam penafsiran Al-Qur’an maka seseorang tersebut haruslah memahami makna dari lafadz-lafadz dalam Al-Qur’an. Oleh sebab itu dalam artikel ini, penulis akan menjelaskan kaidah-kaidah yang dapat digunakan dalam memahami lafadz Al-Qur’an yaitu ta’wil, nasakh, muradif dan musytarak. 
B.      Ta’wil
1.      Pengertian Ta’wil
Secara etimologi, Ta’wil berasal dari kata أول-يؤول-ال  yang berarti الرجوع atau kembali, yaitu dikembalikannya makna sebenarnya dan العاقبة (akibat atau pahala). Sedangkan isim zaman dan makannya adalah الموئل  dan موئل yang berarti المرجع  (tempat kembali).[1]
Adapun definisi ta’wil menurut para ulama, adalah:
a.Abd. Wahab Khallaf memberikan definisi, yaitu:
صرف اللفظ عن ظاهره بدليل
“Memalingkan lafaz dari arti zhahirnya berdasarkan adanya dalil”
a.       Menurut Ibn Jauzi:
نقل الكلام عن موضوعه الى مايتحتاج فى إثباته الى دليل لو لاه ما ترك ظاهر اللفظ
Mengalihkan ucapan dari maudhu’-nya kepada apa yang diperlukan untuk menetapkan kepada dalil yang kalau tidak demikian, maka zhahir lafaaz tidak akan ditinggalkan”
b.      Adapun  definisi yang diberikan oleh Ibnu Atsir:
نقل ظاهر اللفظ عن وضعه الأ صلى إلى ما يحتاج إلى دليل
Mengalihkan zhahir lafaz dari pemakaian asalnya kepaa sesuatuyang diperlukan oleh dalil”
c.       Lalu definnis dari Abu Zahrah:
أخرج اللفظ عن ظاهر معناه إلى معنى اخر يحتمله
Mengeluarkan lafaz dari lahir maknanya kepada makna lain yang ada kemungkinan untuk itu.”[2]
2.      Kriteria atau syarat-syarat ta’wil
Takwil pada dasarnya berasal dari sebuah teks bahasa dan susunan gaya bahasa (uslub-uslubnya). Takwil dilakukan agar mujtahid-mujtahid tidak salah dalam melakukan ijtihad bir-ra’yu , sehingga dalam pengamalan syari’ah tetap sesuai arti lahiriyah ayat dan dapat diamalkan. Dari faktor tersebut, syarat-syarat ta’wil dambil dari teks-teks syariat yang telah ada dan terdapat didalamnya, sehingga hasil dari pentakwilan dapat dianggap benar dan dapat diterima
Adapun syarat-syarat ta’wil adalah
a.       Lafal yang akan dita’wil harus memiliki kriteria lafal yang dapat dita’wil dan masih dalam kajiannya
b.      Ta’wil harus didasarkan pada dalil-dalil yang shahih dimana statusnya dapat menguatkan hasil pentakwilan.
c.       Lafadz ta’wil harus dapat mencakup arti yang telah dihasilkan melalui takwl bahasa.
d.      Tawil tidak dapat bertentangan dengan nash qath’iy . karena nash qath’iy termasuk dalam tata urutan syariah yang umum.
e.       Arti dar penta’wilan nash harus lebih kuat dari arti lahiriahnya dadn dkuatka dengan dalil.[3]
3.      Klasifikasi ta’wil
a.       Ta’wil qarib
Ta’wil qarib merupakan ta’wil yang dasar penta’wilannya adalah dall terendah, artinya berdasarkan pada pemahaman tekstual, kontekstual, atau logis.
Contoh:
 إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ
Pada ayat tersebut, jika diartikan secara lafal lahiriah, artinya kewajiban berwudlu setelah shalat dilakukan. Arti ini bertentangan dengan salah satu syarat sahnya shalat yang mewajibkan lebih dahulu berwudhu, sedang syarat yang harus didahulukan, baik menurut pemahaman syara’ maupun akal.
Dengan demikian, lafal  إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ harus di ta’wilkan dengan cara mengubah arti hakikatna (yakni : اذا فعلتم ) kepada arti majaziyahnya, yaitu اذا عزمتم  atau اذا اردتم .
b.      Ta’wil ba’id
Ta’wil ba’id merupakan ta’wil yang tidak terpenuhinya persyaratan dalam suatu pentakwilan berdasar pada dalil terendah. Oleh karena itu, jika ternyata didalam takwil tersebut ditemukan penyimpangan dari persyaratan tersebut, maka ta’wil itu harus di tolak.
Walaupun demikian, para ahli ushul fiqh mempunyai pendapat yang berbeda-beda dalam menanggap persoalan penetapan ta’wil ba’id.
Contoh:
فَكَفَّارَتُهُ إِطْعَامُ عَشَرَةِ مَسَاكِينَ مِنْ أَوْسَطِ مَا تُطْعِمُونَ أَهْلِيكُمْ أَوْ كِسْوَتُهُمْ 

“Maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin”
Pada ayat diatas, dzahir nash menunjukkan adanya keharusan memberi makanan dalam jumlah khusu, yakni sepuluh orang miskin, dan ‘adad adalah lafal khususyang secara ijma berkualitas qath’y.[4]

C.    Nasakh
1.      Pengertian Nasakh
Menurut Syekh Muhammad Al-Khudairi Biek, Naskh adalah menyingkirkan hukum syara; dengan adanya dalil syar’i. hal tersebut diperbolehkan secara akal dan terjadi berdasarkan pendengaran dalam syariat Islam dengan cara membatalka hukum yang datan terlebih dahulu dengan hukum yang datang setelahnya dalam satu syariat. [5]
Lalu Al Jarjani sebagaimana dikutip oleh Romli kata Nasakh ditinjau secara etimologisdalam bahasa Arab dapat diartikan sebagai التبديل  (mengganti, mengubah), الازلة  (menghilangkan) الرفع  (penghapusan) atau bisa juga disebut dengan البطال  (pembatalan).[6] Selain itu Zaidan sebagaimanayang dikutip oleh Romli juga mengartikan kata naskh dengan “النقل” yaitu mengganti atau memindahkan. [7]
Lalu, Naskh dalam istilah syara’ atau yang didefinisikan oleh ulama ulama usul fiqh terdapat beberapa pengertian, yaitu:
a.       al-Din Sya’ban dikutip dikutip oleh Romli , memberi pengertian bahwa nasakh adalah:
رفع الحكم اشرعي بدليل شرعي  متأ جر عن دليل ذلك الحكم
Penghapusan ketentuan hukum syara’ dengan suatu dalil syara’ yang (datamg) kemudian dari ketentuan hukum manusia
b.      Kemudian Zaidan dikutip oleh Romli, menjelaskan naskh seperti Zaky al-Din Sya’ban, yaitu:
رفع الحكم اشرعي بدليل شرعي  متأ جر عنه و يسمى هذا الدليل باالناسخ و يسمى الحكم الاول با لمنسوخ و يسمى الرفع با لنسخ
Penghapusan ketentuan hukum syara’ dengan suatu dalil syara’ yang (datamg) kemudian disebut dengan nasikh dengan ketentuan hukum semula disebut dengan mansukh, sementara penghapusan hukum tersebut disebut nasakh”
c.       Sementara Khalat dikutip oleh Romli, memberikan definisi tentang naskh ini sebagai berikut:
النسخ هو ابطال العمل بالحكم الشرعي يدليل مراخ عنه ،  يدل على ابطاله صراحة أو ضمنا، ابطالا كليا اوابطالا جزئيا لمصلحة اقتضته
Nasakh ialah pebatalan pengamalan penggunaan hukum syara’ dengan suatu ketentuan dalil yang datang kemudian. Pembatalan tersebut baik secara jelas atau samar –samar, secara kulli atau juziy Karena adalah kepenrtingan kemaslahatan yang menghendakinya
d.      Lalu, Muhamad bin Umar al- Kabbaziy mendefinisikan naskh sebagai:
هو بيان انتهاء الحكم الشرعي الذي في تقديره أوهامنا استمراره بطريق من صاحب الوحي متأَخِر
Nasakh adalah penjelasan berakhirnya masa berlaku ketentuan hukum syara’ yang didasarkan menurut perkiraan kita dengan jalan adanya wahyu yang datang kemudian.[8]
Dari beberapa definisi yang telah dijelaskan diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa pengertia naskh adalah membatalkan dan menghapus pemberlakuan suatu hukum syara’ dan mengganti hukum tersebut dengan suatu ketentuan hukum syara’ yang baru. Ketentuan hukum syara’ yang datang terakhir atau hukum syara’ yang baru disebut sebagai nasikh ( (ناسخ. Lalu ketentuan hukum syara’ yang dibatalkan atau dhapuskan disebabkan adanya suatu hukum yang baru disebut  (منسوخ) . [9]
Mengapa penghapusan suatu ketentuan hukum syara’ atau disebut nasakh , kemudian diganti dengan sebuah ketentuan hukum yang baru?. hakekatnya, tidak seorangpun yang tahu sebab dihapusnya sebuah hukum syara’ dan digantikannya dengan sebuah hukum syara’ yang baru adalah sebuah ketetapan  bijak yang ditetapkan oleh Allah SWT sebab Allah mengetahui yang terbaik untuk hamba-hamban-ya. [10]
2.      Cara mengetahui nasakh
a.      Nash yang secara konteksnya memperlihatkan yang satu menjadi nasikh untuk yang lain. Contohnya terdadpat dalam surah Al-Anfal ayat 66:
الْآنَ خَفَّفَ اللَّهُ عَنْكُمْ وَعَلِمَ أَنَّ فِيكُمْ ضَعْفًا ۚ فَإِنْ يَكُنْ مِنْكُمْ مِائَةٌ صَابِرَةٌ يَغْلِبُوا مِائَتَيْ…….
“Sekarang Allah telah meringankan kepadamu dan dia telah mengetahui bahwa padamu ada kelemahan. Maka jika ada diantaramu seratus orang yang sabar, niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ratus orang kafir
Ayat di atas menjadi nasikh terhadap ayat sebelumnya (anfal ayat 65) :
وَإِنْ يَكُنْ مِنْكُمْ مِائَةٌ يَغْلِبُوا أَلْفًا مِنَ الَّذِينَ كَفَرُوا
“Dan jika ada seratus orang yang sabar diantaramu, niscaya mereka akan dapat mengalahkan seribu dari pada orang kafir”
Demikian pula dalam Firman Allah dalam surat Al- Baqarah ayat 187:
الْآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ ۚ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ
“Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar”
ayat diatas men-naskh hukum terdahulu tentang tidak boleh melakukan sengama, minum serta makan pada malam hari. [11]
b.      terdapat penjelasan langsung dari Rasulullah, seperti dalam masalah berziarah:
كنت نهيتكم عن زيارة القبر فزوروها (رواه مسلم)
Dahulu aku melarang kamu berziarah kubur, tetapi sekarang berziaralah” (Hadis Riwayat Muslim)[12]
c.       Terdapat tindakan Rasulullah sendiri, ccontohnya cambuk 100 kali bagi orang yang melakukan zina, yaitu dalam Al-Qur’an surat An-Nur ayat 2 yaitu seorang pezina harus dicambuk 100 kali.
الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَةٍ
“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera”
Lalu adanya hadits yaitu: seorang bujang dan gadis yang melakukan zina dicambuk 100 kali kemudian diasingkan 1 tahun. Tambahan dari hukum tersebut adalah 1 tahun pengasingan. [13]
d.      Terdapat keterangan dari periwayat hadits yag mengatakan bahwa suatu hadis dikeluarkan pada tahun sekian dan hadis yang lain dikeluarkan tahun sekian.  Seperti sebuah ucapan : نزلت اية كذا بعد اية كذا (ayat ini turun setelah ayat ini). contoh terdapat dalam surah al-Muzammil: 20
..فَاقْرَءُوا مَا تَيَسَّرَ مِنْهُ ۚ وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ..
"                       Maka bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al Quran dan dirikanlah sembahyang"
Kemudian adanya hadis:
لا صلاة لمن لم يقرأ بسورة الفاتحة
“Tidak sah salat orang yang tidak membaca al-fatihah”[14]
3.      Syarat-syarat Naskh
Keberadaan Naskh dalam Al-Qur’an telah diakui oleh jumhur , akan tetapi ada syarat-syarat yang harus di penuhi . syarat-syarat ada yang disepakati namun ada juga yang tidak disepakati. Syarat-syarat yang disepakati diantaranya:
a.       Hukum yang dibatalkan merupakan hukum syara’
b.      Pembatalan hukum tersebut disebabkan adanya tuntutan syara’
c.       Pembatalan tersebut disebabkan karena waktu pemberlakuan hukum telah berakhir.
d.      Tuntutan baru yang mengandung naskh wajib datang kemudian. [15]
4.      Hikmah Naskh
Kemaslahatan bagi manusia adalah tujuan dari penetapan suatu hukum. Kemaslahatan manusia tentu saja megalami perubahan karena terpengaruh situasi dan kondisi yang berubah-ubah. Penetapan hukum untuk merealisasikan kemaslahatan tersebut didasarkan sebab-sebab tertentu. Bila sebab sebab hukum tersebut tidak terdapat lagi, maka hukum tersebut tidak diperlukan lagi.
Sebagai contoh pada zaman pra-Islam, masyarakat Arab adalah penyembah berhala. Setelah masuk islam, Rasulullah merasa pengaruh tersebut masih terdapat pada sebagian ummatnya. Oleh sebab itu, Rasulullah melarang umat islam untuk menziarahi kuburan karena khawatir akan kembali menyembha berhala lag dan mengganggu akidah. Setelah Rasulullah merasa akidah umat Islam telahh kuat dan sudah tidak terpengaruh oleh kebiasaaan-kebiasaan lama , Rasulullah memperbolehkan kemali menziarahi kubur yang masih diberlakukan hinggah sekarang. Sebagaimana Hadis Rasulullah:
كنت نهيتكم عن زيارة القبر فزوروها (رواه مسلم)
Dahulu aku melarang kamu berziarah kubur, tetapi sekarang berziaralah” (Hadis Riwayat Muslim). [16]
D.    Al- Muradif ((المرادف
1.      Pengertian Muradif
Dalam bahasa Muradif memiliki arti membonceng, ikut serta atau kata yang searti. Dan secara istilah Muradif adalah :
Artinya “Muaradif ialah lafal yang bentuk lafalnya banyak. Tetapi artinya sama”.[17]
Serta menurut ahli ushul fiqh mengartikan Muradif adalah :
Artinya “Beberapa lafad terpakai untuk satu makna”
Beberapa contoh Murodif  sebagai beriku :
a.       "الليث", "الأسد" : singa
b.      "البيت", "المنزل", dan, "الدار": rumah
Dari keterangan tersebut, Muradif adalah kata yang mana bentuk kata(lafal) itu banyak akan tetapi memiliki makna yang sama atau bisa disebut dengan sinonim.
2.      Hukum Muradif
Bersangkutan dengan lafalMuradif, ada beberapa persoalan yang muncul karena lafal Muradif, dalam persoalan ini ulama menanyakan bagaimana hukumnya. Ada sebuah kasus beda lafal akan tetapi memiliki makna yang sama, apakah boleh diganti ? misalnya   "الليث",diganti  "الأسد".
Secara umum para Ulama’ berpendapat bahwa tidak boleh diganti lafal Muradifnya karena Al-Qur’an bersifat Ta’abudi yang mana secara keseluruhan Al-Qur’an dan lafal-lafalnya mengandung mukjizat. Selain mempersoalkan tentang lafal Muradif para ulama juga mempersoalkan dalam beberapa hal, semisal dalam masalah dzikir. Dalam hal ini ada dua syarat yang harus dipenuhi dalam permasalahan dzikir, menurut golongan yang membenarkan Muradif, sebagai berikut :
a.       Apabila tidak ada halangan Agama baik secara jelas ataupun samar, jadi lafal Muradifnya diperbolehkan
b.      Apabila lafal Muradifnya berasal dari bahasa yang sama, semisal sama-sama menggunakan bahasa Arab. Jadi diperbolehkan juga menggunakan lafal Muradifnya.[18]
Dalam hal ini Imam Abu Hanifah dan sebagian ulama seperti Imam Malik dan Iman Syafi’i juga berpendapat tentang lafal Muradif
a.       Imam Abu Hanifah, membolehkan menempatkan lafal Muradif di tempat lainya, akan tetapi apabila tidak terdapat halangan secara syara’ dan masih dalam bahasa yang sama, misal :
Allahu akbar (الله اكبر) , lafal tersebut bisa diganti dengan beberapa lafal yang mempunyai arti sama seperti Allahu A’dham (الله الأعظم), Allahul A’la (الله لأعلى) atau Allahu Ajal (الله الاجل).
b.      Menurut pendapat ulama’ lain seperti Imam Syafi’i dan Imam Maliki menempatkan lafal Muradif  pada lafal lainya tidak boleh. Misal tidak diperbolehkan membaca Takbirselain menggunakan lafal (الله اكبر).[19]
E.     Al-Musytarak (المشترك)
1.      Pengertian Musyatarak
Musytarak secara bahasa berarti berserikat, berkumpul. Dalam ushul fiqh yang dimaksud dengan Musytarak adalah :
لَلَّفَظُ الْمَوْضُوْعُ لِحَقِيْقَتَيْنِ مُحْتَلِفَتَيْنِ اَوْاَكْثَر
lafadz yang dibentuk untuk dua arti atau lebih yang berbeda-beda”[20]
Jadi, yang dimaksud dengan lafal yang Musytarak adalah suatu lafadz yang mempunyai dua makna ataupun lebih dan dapat menunjukkan makna yang berbeda-beda. Misal, seperti lafadz al ‘ain yang artinya secara bahasa bisa berkmakna melihat, mata air atu mata-mata, sama halnya dengan lafadz al quru’ yang juga memiliki makna lebih dari satu ada yang bermakna suci ataupun haid.[21]
2.      Sebab-sebab Timbulnya Lafadz Musyatarak
a.       Dimana ada satu lafal yang digunakan dalam suatu bangsa akan tetapi muncul makna yang berbeda. Dan lafal tersebut tersebar hingga sampai kepada kita sudah mempunyai arti yang berbeda-beda tanpa menyaksikan sebab terjadinya makna yang berbeda tersebut.
b.      Sebab lainya yaitu lebih diketahui secara umum arti majaz daripada makna yang sebenaryan. Seperti halnya lafal “sayyarah” makna sebenarnya adalah suatu yang merayap sedang lafal majaz nya adalah mobil.
c.       Lafal Musytarak diciptakan bertujuan untuk satu makna kemudian diambil dan diartikan menurut syara’ misal lafal sholat yang bermakna do’a lalu diganti dengan pengertian syara’ menjadi perbuatan yang diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam.[22]
Apabila lafadz Musytarak didapati dalam nash syara’ ada beberapa makna secara bahasa, diwajibkan untuk berijtihad untuk memutuskan makna yang dimaksud. Disebabkan syar’i hanya menghendakai lafal untuk satu makna. Untuk mujtahid diharuskan mendapatkan petunjuk dan dalil untuk menentukan makna lafal dalam nash tersebut.
      Lafal al qur’u dalam Al-Qur’an :
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوْءِ (البقرة : 228)
wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali qurru”(QS : Al-Baqarah : 228) al qur’u Musyartarak dalam lafal ini haid dan suci. Al Musykil dalam pembahasanya menjelaskan bahwa alasan yang digunakan sebagai petunjuk oleh sebagain mujtahid bahawa yang dikehendaki itu adalah suci dan sebagian lainya bahwa yang dikehendaki adalah haid.
Lafal al Yad dalam Al-Qur’an :
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَقْطَعُوْا أَيدِيَهُمَا (الما ئدة : 31)
laki-laki yang mencuri dan wanita yang mencuri potonglah tangan keduanya” (QS Al-Maidah : 38)
Al Yad (tangan keduanya), Musyataraknya antara hasta (ujung jari sampai pundak) antara telapak tangan dengan lengan bawah (ujung jari samapi siku) antara telapak tangan (ujung jari sampai pergelangan tangan) dan antara tangan kanan dan kiri. Ini yang terakhri dari ujung jari sampai pergelangan tangan kanan.[23]
3.      Hukum Lafal  Musytarak
Berkaitan denga hokum lafal Musytarak disini adalah perihal boleh atau tidaknya memakai lafal Musyatarak. Dalam hal ini masih ada beda pendapat antar ulama’, ada yang memperbolehkan ada juga yang tidak memperbolehkan.
Pendapat jumhur ulama’.
اِسْتِعْمَالُ المُشْتَرَكِ فِى مَعْنَيْهِ يَجُوْزُ
menggunakan lafadz musyatarak dalam dua makna atau beberapa makna adalah boleh[24]
Dalam memutuskan hukum lafadz Musytarak harus melihat beberapa segi mulai dari segi makna musytarak, qarinah musyatarak, dan berqorinah.
a.       Makna Musyatarak
Jika lafal Musytarak mempunyai dua makna baik secara lughawi maupun secara syar’i, maka yang harus dipilih adalah makna syar’i, misal lafal sholat dan talaq, lafal sholat secara bahasa adalah do’a sedangkan secara syar’i perbuatan yang diawali takbir dan diakhiri salam, dan “talaq” secara bahasa adalah lepas dan secara syar’i adalah perceraian (melepas ikatan pernikahan).
b.      Qarinah Musyatarak
Jika dalam satu nash syar’i  terkumpul lebih dari satu makna maka harus memilih satu makna saja dari beberapa makna tersebut. Karena syar’i tidak menghendakai semua makna tersebut. Guna menentukan makna tersebut harus dicari qarinah yang menerangkan makna yang sesuai, sesuai dengan apa yang dimaksud dalam nash.
c.       Musyatarak yang tidak mempunyai qarinah
Dalam hal ini Musytarak yang tidak mempunyai qarinah banyak dipermasalahan oleh ulama’ dan banyak terjadi perselisihan dalam menentukan arti
1)      Madzab Hanafi berpendapat tidak memakai secara keseluruhan lafal Musyatarak. Seumpama yang dimaksud itu arti keseluruhan yang banyak, itu bukan lagi lafal musyatarak dan bukan juga lafal majazi akan tetapi lebih condong ke lafadz amm.
2)      Berbeda halnya dengan madzab Syafi’i dan mu’tazilah, dalam hal lafal Musyatarak yang tidak mempunyai qarinah yang menerangkan arti yang dikehendaki, maka lafal musytarak dapat diambil semuanya, dengan syarat arti-arti tersebut dapat digabungkan. Misal :
إِنَّ اللهَ وَمَلَئِكَةُ يُصَلُّوْنَ عَلَى النَّبِيِ
Sesungguhnya Allah dan Malaikat-malaiktNya bershalawat untuk nabi” (QS al Ahzab : 56)
Dalam ayat ini ada lafal “يُصَلُّوْنَ” (bersholawat) lafal ini termasuk Musyatarak yang mana dapar diartikan sebagai memberikan rahmat dan memberikan do’a. Dari arti lafal tersebut ditemukan qarinah maka kedua arti dari lafal tersebut bisa digabungkan. Arti memberi rahmat paling pantas bagi Allah Swt dam yang memberi do’a pantas bagi malaikat.[25]
F.     Kesimpulan
Dari seluruhh kaidah yang dijelaskan diatas mengenai ta’wil, nasakh, muradif dan musytarak, keseluruhan kaidah tersebut memiliki keterkaitan dengan kaidah-kaidah kebahasaaan yang terdapat dalam Al-Qur’an maupun hadis. Kaidah-kaidah tersebut diperlukan untuk penggalian dan penetapan hukum islam. 
Ta’wil adalah dikeluarkannya lafadz dari makna lahornya ke makna yang lain dimana pada makna tersebut ada kemungkinan yang diperlukan untuk dalil, sedangkan nasakh adalah pembatalan atau pengapusan pemberlakuan suatu hukum syara dan hukum tersebut diganti dengan suatu ketentuan hukum syara’ yang baru. 
Muradif adalah sebuah kata dimana lafal kata tersebut banyak tetapi memilik makna yang sama atau dapat disebut sinonim. Lalu musytarak adalah sebuah lafadz yang mempunyai dua arti atau lebih dan dapat menunjukkan makna yang berbeda-beda. 
DAFTAR PUSTAKA

Biek , Syaikh Muhammad Al-Khuadairi. 2007. Ushul Fikih. Jakarta:Pustaka Amani.
Dedi, Syahrian. 2017. “Ushul-Al-Fiqh dan Kontribusinya”. AL-Istinbath : Jurnal Hukum Islam vol. 2 (2) :103
Djalil , Basiq. 2010. Ilmu Ushul Fiqh.Jakarta : Kencana
Khallaf , Abdul Wahhab. 2003. Ilmu Ushul Fikih. Jakarta : Pustaka Amani

Padil , Moh. dan M. Fahim Tharaba. 2017.Ushul Fiqh. Malang : Madani
Praja, Juhaya S. Ilmu Ushul Fiqh Untuk IAIN, STAIN, PTAIS. Bandung:Pustaka Setia.
Romli. 2014. Studi Perbandingan Ushul Fiqh. Yogyakarta: Pustaka Belajar.
Syarifuddin, Amir. 2014. Ushul Fiqh Jilid 1. Jakarta: KENCANA
Syarifuddin, Amir. 2014. Ushul Fiqh Jilid 2. Jakarta: KENCANA
Zein, Mahsum. 2016. Menguasai Ilmu Ushul Fiqh. Yogyakarta: PUSTAKA PESANTREN

Catatan:
Makalah sudah bagus, similarity 10%.


[1] Syahrian Dedi, “Ushul Fiqh dan Kontribusinya”. Al-Istinbath: Jurnal Hukum Islam vol.2. no 2, 2017. Hlm. 102
[2] Amir Syarfuddin,Ushul Fiqh 2.(Jakarta:Kencana. 2014),Hlm. 45-46
[3] Mashum Zein,Menguasai Ilmu Ushul Fiqh. (Yogyakarta: PUSTAKA PESANTREN, 2016), Hlm. 347-349
[4] Ibid., Hlm. 350-351
[5] Syaikh Muhammad Al-Khuadairi Biek,Ushul Fikih.(Jakarta:Pustaka Amani, 2007), Hlm.550
[6]Romli, Studi Perbandingan Ushul Fiqh. (Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2014), Hlm. 333
[7] Romli, Loc. Cit
[8] Ibid., Hlm. 334-335
[9] Ibid., hlm 335
[10] Ibid., hlm. 335-336
[11] Amir Syarifuddin,Ushul Fiqh Jilid 1. (Jakarta:KENCANA,2014), Hlm. 454-455
[12] Mashum Zein,Menguasai Ilmu Ushul Fiqh. (Yogyakarta: PUSTAKA PESANTREN, 2016), Hlm. 376
[13] Ibid.,Hlm. 377
[14] ibid., Hlm. 77-388
[15] Juhaya S. Praja,Ilmu Ushul Fiqih(Bandung:PUSTAKA SETIA,1999),Hlm. 236
[16] Amir Syarifuddin,op.cit., Hlm. 457-459
[17]M.Ma’shum Zein, (Menguasai Ilmu Ushul Fiqh, Yogyakarta : Pustaka Pesantren, 2013.), hlm. 380
[18]A. Basiq Djalil, (Ilmu Ushul Fiqh, Jakarta : Kencana, 2010.), hlm, 117
[19]M.Ma’shum Zein, Op Cit., hlm, 381
[20]A. Basiq Djalil, Op Cit., hlm, 117
[21]Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fikih, (Jakarta : Pustaka Amani, 2003.), hlm. 258
[22]Moh. Padil dan M. Fahim Tharaba, Ushul Fiqh, (Malang : Madani, 2017.), hlm. 226
[23]Abdul Wahhab Khallaf, Op Cit., hlm. 260
[24]A. Basiq Djalil, Op Cit., hlm, 118
[25]Moh. Padil dan M. Fahim Tharaba, Op Cit., hlm. 229

Tidak ada komentar:

Posting Komentar