Rabu, 15 Mei 2019

Nazhariyat Al-Hudud Muhammad Syahrur (PAI A Semester Genap 2018/2019)



Nazhariyat Al-Hudud Muhammad Syahrur

Firda Shofiana                      (16110037)
Mela Mariana                        (16110063)
Sisca Indah Triana                (16110197)

Abstract
              Muhammad Syahrur is one of the leading figures of Islamic thinkers in contemporary times. Much of the reconstruction of his thoughts on Islamic studies has made him discover many original new discoveries. Boundary Theory (Nazariyyyat Al-Huduud) is one form of contribution produced by Muhammad Syahrur as long as he is involved in the world of Islamic thought. The background of Syahrur's involvement in this field is that he considers that the thinking of classical Islamic literature is not something that is considered absolute or even permanent. So from that relating to contemporary issues that many require reinterpretation or need answers that are in accordance with the context is now one of the main points of attention of Muhammad Syahrur. As well as his views on women's genitals, he provides a more detailed interpretation of the boundaries of women's genitals and this is different from the interpretations carried out by earlier interpreters. In the boundary theory presented by Muhammad Syahrur this is divided into upper or maximum limits and minimum or minimum limits. Based on this theory, Muhammad Syahrur wanted to interpret and apply the verses related to law according to the current phenomenon of life in accordance with existing limitations.

Key Concept:Muhammad Syahrur, Nazariyyat Al-Huduud, Jilbab

Abstrak
Muhammad syahrur merupakan salah seorang tokoh pemikir Islam di masa kontemporer. Banyak dari rekonstruksi pemikirannya terhadap kajian keislaman yang menjadikannya banyak menemukan penemuan baru yang orisinil. Teori Batas (Nazariyyyat Al-Huduud) merupakan salah satu bentuk kontribusi yang dihasilkan oleh Muhammad Syahrur selama ia berkecimpung dalam dunia pemikiran  Islam. Hal yang melatar belakangi Syahrur untuk terjun dalam bidang ini adalah bahwa ia menganggap bahwa pemikiran dari literature-literatur Islam klasik bukanlah sesuatu yang dianggap absolut atau bahkan permanen. Maka dari itu berkaitan dengan isu-isu kontemporer yang banyak membutuhkan penafsiran ulang atau membutuhkan jawaban yang sesuai dengan konteks sekarang menjadi salah satu pokok atensi Muhammad Syahrur. Begitupun pandangan ia terhadap aurat wanita, ia memberikan penafsiran yang lebih rinci terhadap batasan aurat wanita dan ini berbeda dengan penafsiran yang dilakukan oleh para mufassir terdahulu. Dalam teori batas yang disuguhkan oleh Muhammad Syahrur ini terbagi menjadi batas atas atau maksimal dan batas bawab atau minimal. Berdasarkan teorinya ini, Muhammad Syahrur ingin menafsirkan dan mengaplikasikan ayat-ayat yang berkaitan hukum disesuaikan dengan fenomena kehidupan saat ini sesuai dengan batasan-batasan yang ada.
Kata kunci:Muhammad Syahrur, Nazariyyat Al-Huduud, Jilbab.
A.  Pendahuluan
Berkaitan dengan zaman yang terus berkembang, maka dari itu perlu adanya pembaharuan atau pemugaran kembali dalam ranah pemikiran-pemikiran Islam. Hal ini sebagaimana halnya pemikiran-emikiran kontemporer dan modern harus mampu memberikan andil yang kuat kaitannya dalam melakukan penyelesaian terhadap isu-isu yang menjamur ditengah serangan modernitas yang kian lama kian kuat.  Adapun isu yang patut diangkat dal hal ini adalah isu mengenai aurat perempuan. Seuai dengan teori yang dimiliki oleh Muhammad Syahrur, disini akan dibahasmengenai batas-batas dari aurat perempuan.
Pada dasarnya Allah SWT., menciptakan kaum perempuan  dan menjadikan ia memiliki derajat yang mulia. Selain itu, Allah menciptakan laki-laki dan perempuan dengan karakteristik yang berbeda. Karena perempuan  itu mulia, maka perempuan memiliki kedudukan yang agung. Berkaitan dengan bahasan perempuan maka isu yang sedang hangat dibicarakan adalah mengenai jilbab bagi kaum perempuan.Ia menganggap bahwa isu-isu seperti jilbab ini juga butuh jalan keluar yang mana disesuaikan dengan latar belakang zaman dan era yang terjadi sekarang ini. Maka tak heran jika dari beberapa pemikiran Muhammad Syahrur ini banyak mendapatkan pertentangan. Tak terkecuali dalam masalah batasan aurat bagi perempuan.

B.  Biografi Muhammad Syahrur
Muhammad Syahrur merupakan salah satu tokoh penting dalam khazanah pemikiran Islam di era kontemporer ini.Muhammad Syahrur lahir di Damaskus tepatnya pada tahun 1938.Ia dilahirkan dari keluarga kelas menengah, yang mana ayahnya bernama Dib bin Dib Syahrur dan ibunya bernama Siddiqah binti Salih Falyun. Muhammad Syahrur pun memiliki seorang istri bernama Azizah, dan dari buah cinta mereka dikaruniailah lima orang anak yang bernama, Lays, Basil, Thariq, Masun, dan Rima.[1]
Ia memulai pendidikan pertamanya yaitu jenjang pendidikan dasar dan menengah[2] di kota kelahirannya dan tepatnya di lembaga pendidikan Abdurrahman Al- Kawaakibi. Setelah Muhammad Syahrur menuntaskan pendidikan dasar dan menengahnya pada tahun 1957, ia kemudian melanjutkan pendidikannya di Moscow, Uni Soviet atau sekarang disebut Rusia. Disana ia belajar tentang ilmu teknik sipil (handasah madaniyah). Ia melanjutkan pendidikannya tersebut didukung oleh beasiswa yang diberikan oleh masyarakat setempat. Berawal dari sinilah Muhammad Syahrur mulai mengenal dan kagum terhadap pemikiran Marxisme, walaupun ia mengakui bahwa dirinya hanya sekedar mengagumi tanpa masuk menjadi penganut aliran tersebut.
Muhammad Syahrur mendapatkan gelar diplomanya pada tahun 1964, dan kemudian setelah itu ia kembali ke tanah kelahirannya untuk mengabdikan diri menjadi dosen di Universitas Damaskus pada Fakultas Teknik. Selain itu, di tahun yang sama yaitu 1964 Syahrur kembali melanjutkan studinya di Dublin, tepatnya di University Collage. Ia melanjutkan studinya di Dublin tersebut dengan mengambil bidang keilmuwan yang sama seperti awal ia studi di Moscow. Sekarang ini, Muhammad Syahrur masih aktif menjadi salah satu staf pengajar di Universitas Damaskus setelah ia mendapatkan gelar doktornya yaitu pada tahun 1972.
Selain menjabat sebagai salah satu dosen di Universitas Damaskus, Muhammad Syahrur juga aktif menjalani pekerjaan lain yaitu sebagai konsultan teknik.[3] Adapun pada tahun 1982-1983, Muhammad Syahrur menjadi salah satu delegasi untuk meneliti teknik sipil pada sebuah perusahaan konsulat di Saudi Arabia.[4]Pada tahun 1972 hingga 1999, Muhammad Syahrur diangkat menjadi seorang professor di Universitas Damaskus dalam bidang Teknik Sipil.[5]
Sebagaimana telah diketahui bahwa bidang keilmuwan daripada Muhammad Syahrur ini adalah dalam bidang teknik, maka tidak menutup kemungkinan bagi Syahrur untuk tetap mendalami bidang kajian lain yaitu filsafat. Hal ini terjadi setelah bertemu dengan teman seprofesinya di Universitas Damaskus yang bernama Ja’far Dek al-Bab. Dan temannya ini memberi arti dalam pemikirannya, karena dia bisa mencetak dalam karya monumentalnya, yaitu al-kitab wa al-Qur’an: Qira’ah Mu’ashirah.[6]
C.  Landasan Metodologi Pemikiran Muhammad Syahrur
Muhammad Syahrur kaitannya dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an, ia menggunakan dua teori dimana teori tersebut berupa teori linguistik (linguistical analysis) dan teori batas (the theory of limit). Adapun penjelasannya sebagai berikut:
1.    Teori Linguistik (Lingustical Analysis)
Dalam mengkonstruksikan pemikiran Islam, Muhammad Syahrur menggunakan teri linguistik, hal ini karena yang dikaji adalah berkaitan dengan teks-teks Al-Qur’an. Tipikal keilmuwannya kental diwarnai dengan pemikirannya yang bersifat rasional, empiris dan ilmiah, hal ini karena ia berlatar belakang sebagai orang yang saintis. Adapun metode yang digunakan dalam hal ini adalah menggunakan metode analisis kebahasaan (filology), yang mana didalamya mencakup kata dalam sebuah teks dan struktur bahasa[7] atau yang biasa disebut dengan metode historis ilmiah studi bahasa (al-manhaj al-tarikhy al-‘ilmi fi al-dirasah al-lughawiyyah). Dimana dalam mencari makna dari kata tersebut dilakukan dengan cara menganalisis relasi atau keterkaitan antara kata yang satu dengan kata yang lainnya yang saling berdekatan ataupun berlawanan (cross examination). Menurut Syahrur setiap kata tidak memiliki sinonim (muradif). Setiap kata memiliki makna yang khusus dan lebih dari itu, bahkan memiliki makna lebih dari satu.[8]
Sayahrur menyatakan bahwa metode yang digunakannya tersebut dipengaruhi oleh pemikiran dari Ibnu Faris dimana terlihat dari bagaimana menggunakan pedoman metodologis dalam analisis bahasa.Berkaitan dengan beberapa pemikiran Muhammad Syahrur di atas, dapat dipahami bahwa penelitian yang ia lakukan berangkat dari analisis teks kebahasaan.[9]
2.    Teori Batas (The Theory Of Limit)
Muhammad Syahrur berkaitan dengan masalah kajian keislaman, identic dengan teorinya yaitu teori batas (the theory of limit).Adapun teori yang disajikan oleh Muhammad Syahrur ini merupakan salah satu wujud dari metode dalam memahami ayat-ayat hokum (muhkamaat) yang mana disesuaikan dengan bagaimana keadaan sosio-historis dari masyarakat kontemporer. Hal ini bertujuan agar ajaran-ajaran yang terdapat dalam Al-Qur’an tetap bersifat relevan dengan perkembangan dan juga sesuai dengan permasalahan yang terjadi sekarang selama masih berada dalam koridor batas hokum yang diberikan oleh Allah SWT.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Muhammad Syahrur menghasilkan sebuah teori yang disebut dengan nadzariyyat al-huduud. Dimana dalam teori ini terdapat batasan-batasan yaitu batas atas atau maksimal dan batas bawah atau maksimal. Adapun kontribusi yang diberikan dari teori ini adalah sebagai berikut:
a.    Dengan adanya teori batas ini, ayat yang berbicara tentang hokum dan selama ini dianggap sebagai jawaban final dan permanen dari masalah-masalah hokum ternyata terdapat kemungkinan untuk ditafsirkan kembali.
b.    Dengan adanya teori batas ini, seorang mujtahid tetap bisa berkreatifitas dalam melakukan ijtihad tanpa harus mengabaikan kesakralan dari teks Al-Qur’an tersebut. Mereka dapat berijtihad dengan tetap berada dalam koridor batasan yang telah ditentukan oleh Allah SWT.
Adapun dimana hokum-hukum yang telah ditetapkan oleh Nabi bersifat temporal kondisional yang mana sesuai dengan tingkat pemahaman masyarakat, nalar zaman, dan juga peradaban pada masa itu.Maka dari itu dapat dipahami bahwa hokum yang dihasilkan pada masa dahulu tidaklah harus mengikat hingga masa saat ini.[10]
D.  Beberapa Bentuk Teori Batas Muhammad Syahrur Berkaitan Dengan Kajian Terhadap Ayat-Ayat Hukum
Adapun beberapa bentuk dari teori batas tersebut adalah sebagai berikut:
1.    Posisi Batas Minimal
Batas minimal merupakan batasan terendah atau paling bawah yang disyar’iatkan oleh Allah SWT berkaitan dengan perbuatan yang dapat dilakukan oleh umat Islam. Adapun batasan ini tidak dapat dilanggar oleh seorangpun agar  menjadi lebih rendah lagi, karena ini telah menjadi batas maksimal paling rendah.[11]Berkaitan dengan batas minimal ini dapat dicontohkan dalam masalah pihak-pihak yang haram untuk dinikahi.Hal ini sebagaimana diterangkan dalam QS. An-Nisa’:22-23 sebagai berikut:
Artinya: “Dan janganlah kamu menikahi perempuan-perempuan yang telah dinikaho oleh ayahmu, kecuali (kejadian pada masa) yang telah lampau. Sungguh, perbuatan itu sangat keji dan dibenci (oleh Allah) dan seburuk-buruk jalan (yang titempuh. 22 diharamkan atas kamu (menikahi) ibu-ibumu, anak-anakmu yang perempuan, saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-sadara ayahmu yang perempuan, audara-saudara ibumu yang perempuan, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan, ibu-ibumu yang menyusuui kamu, saudara-saudara perempuanmu sesusuan, ibu-ibu istrimu (mertua), anak-anak perempuan dari istrimu (anak tiri) yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu (menikahinya) (dan diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu (menantu), dan (diharamkan) mengumpulkan (dalam pernikahan)  dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau. Sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.”
Sebagaimana yang sudah diterangkan dalam ayat diatas, bahwa sesungguhnya Allah SWT., telah memberikan batasan minimum bagi siapapun itu berkaitan dengan pengharaman perempuan-perempuan untuk dinikahi yang mana dalam ayat tersebut terdiri dari keluarga dekat. Tidak seorangpun dan dalam kondisi apapun boleh melanggar ketentuan yang telah diberikan oleh Allah SWT., tersebut meskipun didasarkan kepada ijtihad sekalipun. Dalam hal ini, ijtihad hanya boleh dilakukan dalam masalah memperluas pihak yang haram untuk dinikahi. Adapun sebagai contohnya sebagai berikut, yaitu apabila  dalam ilmu medis telah membuktikan adanya indikasi negatif terhadap keturunan yang disebabkan karena adanya pernikahan yang dilakukan oleh seorang laki-laki dengan anak perempuan saudara bapak atau ibunya (sepupu). Maka dari itu, ijtihad ini diperbolehkan dalam bentuk penetapan peraturan yang melarang adanya pernikahan dengan kerabat dekat sebagaimana dicontohkan di atas. Akan tetapi tidak berhenti disitu, sebelum hasil ijtihad tersebut diterapkan atau diaplikasikan dalam masyarakat luas maka seorang mujtahid tersebut harus membuktikan kevalidan dari hasil ijtihadnya dengan menyuguhkan data medis seperti hasil analisis laboratorium dan studi terhadap keluarga yang mendukung dalam hal  tersebut.[12]
2.    Posisi Batas Maksimal
Batasan maksimal merupakan batasan tertinggi atau paling atas yang telah disyari’atkan oleh Allah SWT kepada hamba-Nya. Dimana batas maksimal ini tidak boleh dilampaui oleh seorangpun.Akan tetapi dalam batasan ini boleh adanya kemungkinan untuk meringankannya.
Adapun batasan maksimal dapat dicontohkan sebagai berikut, yaitu berkaitan dengan masalah had pencurian. Dimana dalam firman Allah dalam QS. Al-Maidah: 38 telah diterangkan bahwa bagi pencuri laki-laki dan perempuan diperintahkan untuk dipotong tangannya sebagai pembalasan dari perbuatan yang telah mereka lakukan dan sebagai bentuk siksaan dari Allah SWT. Maka dari itu selamanya tidak perkenankan untuk memberikan hukuman lebih berat daripada potong tangan terhadap pelau pencurian. Akan tetapi memungkinkan adanya peberian hukuman lebih ringan daripada potong tangan.
Barkaitan dengan hal ini, penting kiranya para pembaharu hokum Islam menggali dan  mendalami makna dari subjek pencurian, yaitu pencuri itu sendiri yang didasarkan kepada fakta dan latar belakang objektif yang melingkupinya. Dalam hal ini perlu diketahui bahwa pencuri selevel apakah yang berhak mendapatkan hukuman potong tangan, dan pencuri selevel apakah yang kiranya mendapatkan hukuman lebih ringan daripada potong tangan. Wajib kiranya bagi para mujtahid untuk menentukan kriteria pencurian apa yang akan mendapatkan hukuman maksimal berupa potong tangan yang didasarkan kepada latar belakang objektif pada ruang dan waktu mereka hidup.
Adapun contoh kasus yang harus ditetapkan hukumannya sesuai tingkat pencuriannya adalah sebagai berikut. Yaitu ketika pencurian yang dilakukan seseorang dengan mencuri data resmi negara untuk dijual kepada pihak asing, ataupun melakukan korupsi yang merugikan negara sehingga negara itu sampai mengalami krisis ekonomi yang mengaibatkan rakyatnya sengsara. Maka dalam hal ini apakah hokum potong tangan saja sudah cukup untuk memebrikan efek jera kepada pencuri? Tentu hal ini dapat dikatakan sebagai pencurian kelas kakap, dimana yang dirugikan tidak hanya satu atau dua orang saja tapi menyangkut kemaslahatan masyarakat di suatu Negara. Maka dari itu untuk menjawab permasalahan ini perlu melihat firman Allah SWT dalam QS. Al-Maidah ayat 33. Sebagaimana artinya sebagai berikut:
Artinya: “Hukuman bagi orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di bumi, hanyalah dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka secara silang, atau diasingkan dari tempat kediamannya.”
Sebagaimana arti ayat di atas, telah dituliskan beberapa varian hukuman yang diberikan kepada para pelaku pencurian. Maka dari itu dengan adanya varian hukuman tersebut tersedia ruang untuk melakukan ijtihad.[13]
3.    Posisi Batas Minimal Dan Batas Maksimal Bersamaan
Dalam hal ini terdapat dua batas yang terjadi secara bersamaan yaitu batas minimal dan batas maksimal.Berkaitan dengan hal ini maka dapat dicontohkan dalam kasus poligami.Dimana dalam QS.An-Nisa’ ayat 3, dijelaskan tentang batasan dari jumlah perempuan yang dapat di nikahi, yaitu batas minimalnya adalah satu sedangkan batas maksimalnya adalah empat.
Sebagaimana terdapat dalam ayat tersebut, seorang laki-laki dapat menikahi perempuan sebagaimana yang sudah dijelaskan dalam syari’at Islam, maka dari itu sudah menjadi hak bagi laki-laki untuk memilih menikah dengan berapa perempuan, baik satu maupun lebih.Akan tetapi perlu diingat bahwa dalam ayat ini juga telah dibatasi bahwa batas perempuan yang berhak untuk dinikahi itu berjumlah empat, tidak lebih.[14]
Selain masalah poligami, terdapat contoh lain yaitu dalam masalah waris, adapun hal ini sebagaimana tercantum dalam QS. An-Nisa’: 11-14. Adapun maksud batasan maksimal adalah batasan bagi laki-laki dan batasan minimal berlaku bagi perempuan. Sebagaimana dalam ayat di atas menganut prinsip 2:1, sehingga batas maksimal adalah bagi laki-laki 66,6 % dan batas minimal bagi perempuan adalah 33,3%.[15]Bagaimanapun seorang laki-laki tidak boleh lebih dalam mendapatkan warisan atau bahkan boleh malah lebih sedikit. Begitupun perempuan tidak  boleh lebih sedikit dari yang sudah ditetapkan dalam syari’at atau bahkan boleh lebih. Hal ini didasarkan pada kondisi obyektif yang melingkupinya. Dalam pembagian waris ini dapat menerapkan prinsip “mendekat”, yaitu menjadikan diantara kedua batasan tersebut menjadi titik keseimbangan antara keduanya, yakni dimana laki-laki dan perempuan sama-sama mendapatkan 50%. Akan tetapi hal ini didasarkan pada prinsip kondisi pewarisan dan perkembangan latar historis, atau bisa jadi atas pertimbangan dari kedua belah pihak.[16]
4.    Posisi Batas Minimal Dan Batas Maksimal Bersamaan Pada Satu Titik Atau Posisi Lurus Atau Posisi Penetapan Hokum Partikular.
Adapun dalam masalah ini, posisi batas ini hanya berlaku dalam masalah perzinaan. Dimana fokusnya adalah berkaitan dengan had zina. Hal ini sebagaimana dalam QS. An-Nuur ayat 2, dimana dijelaskan dalam artinya sebagai berikut: “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera.” Sebagaimana dalam ayat tersebut telah dijelaskan bahwa apabila ada laki-laki dan perempuan yang melakukan zina maka deralah 100 kali. Maka dari itu jumlah dera 100 kali ini tidak boleh dilebihkan ataupun dikurangi, karena 100 kali dera tersebut merupakan batas atas dan sekaligus menjadi batas bawah.
Allah SWT., dalam menetapkan hukuman zina yang sangat ketat ini, maka Dia tidak menyerahkan syarat-syarat yang menjadikan batas atas dan batas bawah dalam hukuman zina ini untuk di ijtihadi oleh manusia, melainkan Allah sendiri yang memberikan syarat tersebut yaitu adanya “empat orang saksi”. Adapun dalam hal ini ayat mubayyinat atau ayat pembuktian adalah ayat yang menafsirkan syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam menerapkan hukuman zina yang mana terdapat batas atas dan batas bawah. Berkaitan dengan pemberian batasan hukuman yang terdapat syarat-syarat tertentu dalam hal ini hanya terdapat pada permasalahan zina saja.[17]
5.    Posisi Batas Maksimal Dengan Satu Titik Mendekati Garis Lurus Tanpa Bersinggungan
Dalam posisi batas ini terdapat contoh dalam hal adanya batasan hubungan fisik antara laki-laki dan perempuan. Adapun hubungan fisik yang terjadi antara laki-laki dan perempuan ini diawali dengan batasan yang paling bawah, yaitu tidak adanya sentuhan sama sekali antara laki-laki dan perempuan tersebut, dan berakhir pada batasan paling atas yaitu adanya sentuhan antara laki-laki dan perempuan yaitu berupa perbuatan yang mengantarkan pada terjadinya hubungan intim atau yang disebut dengan zina.
Apabila seorang laki-laki dan perempuan dalam posisi dimana ia masih dalam kadar bersentuhan yang tidak sampai kepada zina, maka hukuman batas tidak berlaku kepadanya. Perbuatan zina merupakan perbuatan yang termasuk dalam bagian dari batasan hukum Allah SWT., yang mana manusia tidak diperkenankan untuk memasuki wilayah tersebut meskipun ia telah mendekati wilayahnya. Dimana ketika seseorang telah sampai pada wilayah zina tersebut maka ia dapat dikatakan telah melakukan perbuatan zina.[18] Dan diketahui bahwa pelaku zina dihukumi 100 kali dera.

6.    Posisi Batas Maksimal “Positif” Tidak Boleh Dilewati Dan Batas Minimal “Negatif” Boleh Dilewati

Dalam posisi batas ini, batas maksimal tidak dapat dilampaui sedangkan batasminimal dapat dilampaui.[19] Adapun batasan ini berlaku pada masalah pengalihan kekayaan antar manusia. Dalam hal ni yang termasuk dalam kategori batas atas nya adalah riba, sedangkan yang termasuk dalam kategori batas bawah adalah zakat.
Dari penjelasan tersebut apabila dipraktekkan maka yang menduduki batas maksimal positif adalah riba, posisi tengah-tengah atau netral ini adalah pinjaman tanpa adanya bunga, dan batas minimal negatif ini berupa zakat.Dalam pengaplikasiannya manusia dapat memilih antara tiga alternatif tersebut didasarkan pada latar belakang orang yang akan menerima pengalihan kekayaan tersebut. Dari tiga alternatif di atas dapat dikatakan sebagai model riba, zakat dan sedekah.[20]
E.  Pandangan Muhammad Syahrur Tentang Jilbab
1.    Makna Jilbab
Secara bahasa jilbab berasal dari kata jalaba yang memiliki arti membawa atau mendatangkan.Dan secara lugowi juga ada yang mengartikan bahwa kata jilbab berarti pakaian (baju kurung yang longgar).Bagi masyarakat umum, biasanya jilbab identik dengan pakaian perempuan yang dijadikan sebagai identitas keislaman dirinya.Menurut Quraish Shihab, yaitu seorang mufassir modern Indonesia memberikan arti bahwa jilbab adalah baju kurung yang longgar yang dilengkapi dengan kerudung penutup kepala[21]Kemudian di dalam Ensiklopedi Hukum Islam di sebutkan bahwa jilbab ialah pakaian kurung yang longgar dan dilengkapi dengan kerudung menutupi kepala, leher dan dada. Sebagaimana yang difahami oleh masysarakat muslim Indonesia bahwa jilbab dalam pengertian kerudung penutup kepala, leher dan dada, sesuai dengan firman Allah dalam surat An-Nur (24) ayat 31:  
وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَىٰ جُيُوبِهِنَّ

Artinya: “Dan hendaklah menutupkan kain kerudung ke dadanya.”Dari ayat diatas dapat dipahami bahwa kata “khimar” memiliki arti kerudung. Yang mana kerudung yang dimaksud disini harus memenuhi syarat yaitu yang dapat menutupi bagian dada perempuan. Maka dengan jilbab, tidak hanay menutupi rambut melainkan juga harus menutupi leher dan dada.[22]
2.      Defenisi Aurat (as-Saw’ah) menurut Syahrur
Secara denotatifas-saw’ah memiki arti keburukan, dan secara konotatif, berarti aurat, yakni bagian tubuh yang tidak boleh diperlihatkan[23].Menurut Syahrur bahwa konsep aurat berasal dari rasa malu, ketika seseorang memperlihatkan sesuatu yang ada pada dirinya maupun dalam bentuk perilakunya. Namun rasa malu ini bersifat relative, mengikuti adat kebiasaan setempat dan tidak bersifat mutlak. Berbeda dengan al juyub (daerah-daerah intm pada tubuh) ia bersifat tetap, dan hal yang berkaitan dengan batasan-batasan aurat dapat berubah-ubah sesuai perkembangan zaman dan tempat.[24]
Dalam Al-Quran memaparkan mengenai Hijab (penutup), jilbab dan kerudung (khimar) dalam tiga ayat saja.
a.    Pertama ialah ayat tentang hijab yang berkaitan hanya dengan istri dari para Nabi saja, tidak ada syarat yang mengaitkan ayat ini dengan istri orang-orang Islam dan beriman pada umumnya. Ayat yang dimaksud disini ialah surat Al Ahzab ayat 53.
Dalam sebuah riwayat dari Aishah (Isteri Rasulullah) yang berkaitan dengan sebab turunnya ayat ini (yang diriwayatkan oleh At-Tabrani),’Aishah berkata: “Saat itu aku makan bersama Nabi di Qa’bin,terlihat Umar sedang berjalan,lalu Nabi memanggilnya untuk ikut makan bersama,hingga jemari tangannya menyentuh jemariku, lalu Nabi berkata:“Wahai sungguh sayang seandainya mulutmu mau menurut,tentu tidak ada satu matapun yang melihatmu,” maka turunlah ayat tentang hijab ini.[25]
Dalam konteks pakaian, Kemudian Muhammad Syahrur menjelaskan bahwa hijab/ jilbab bukanlah sebuah kewajiban agama tetapi ia merupakan pakaian yang dituntut sesuai kebiasaan masyarakat yang dapat berubah sesuai perubahan masyarakat. Sebab orang-orang Arab dan sebelum kedatangan Islam serta pada masa Nabi Muhammad SAW, dan setelahnya membedakan antara pakaian wanta merdeka dengan wanita hamba sahaya.[26]

b.    Yang kedua adalah ayat mengenai Jilbab yang ditujukan kepada Rasul dan istri-istri orang-orang yang beriman, yaitu surat Al-Ahzab ayat 59.
Berdasarkan QS.Al- Ahzab ayat 59 bahwa ayat tersebut diturunkan berdasarkan kondisi-kondisi pada masa Nabi yang berfungsi sebagai ayat pengajaran bukan termasuk ayat penetapan hukum.  Dan untuk untuk konteks pada saat ini bisa diterapkan melaui cara berpakaian perempuan sesuai dengan kebiasaan setempat, dengan catatan dapat menghindarkan diri dari gangguan sosial.[27]
Dalam hal ini Muhammad Syharur mengatakan bahwasanya Al-Qur’an berbicara mengenai pakaian lengkap bagi perempuan yang dikenal dengan sebutan jilbab, yaitu al-libas al-khariji (pakaian luar) berupa gamis ataupun celana panjang, dan menyatakan bahwa perempuan tidak harus menutupkan kepalanya.Sebab fungsi dari memakai jilbab adalah untuk melindungi dari gangguan baik yang bersifat alamiah seperti suhu, cuaca panas atau dungin, maupun gangguan dari aspek sosial seperti dilecehkan atau diremehkan.Semua itu tergantung kepada sosial budaya masyarakat sehingga sifatnya relatif.[28]
Disini tampak jelas bahwa Syahrur melakukan penafsiran berbeda dengan mufassir terdahulu.Baginya jilbab dipahami sebagai pakaian luar perempuan dan bukan sebagai pakain yang menutupi seluruh bagian tubuh, kecuali bagian wajah dan telapak tangan.Bahkan ayat ini dianggap bukanlah ayat tasyri’(penetapan hukum) melainkan sebagai pengajaran (ta’lim), karena khitab yang ditujukan adalah kepada Nabi, bukan kepada Nabi Muhammad sebagai Rasul.[29]
Dalam pandangan Muhammad Syahrur istilah jilbab yang digunakan oleh perempuan dengan menutup seluruh kepala sampai mata kaki merupakan budaya atau ajaran agama-agama Persi. Awalnya jilbab merupakan pakaian khusus yang hanya boleh dipakai oleh perempuan-perempuan yang merdeka dan berkedudukan tinggi. Sedangkan perempuan budak atau perempuan pada umumnya tidak diperkenankan memakai jilbab. Secara langsung dapat dipahami bahwa konsep jilbab pada mulanya adalah untuk memedakan antara perempuan yang merdeka dan perempuan budak, antara perempuan ningrat dengan perempuan biasa[30].
c.    Ayat yang ketiga mengenai masalah tutup kepala (al-khimar) dan perhiasan yang ditujukan kepada seluruh perempuan yang beriman. Ayat yang dimaksud adalah surat An-Nur ayat 31:

وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا ۖ وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَىٰ جُيُوبِهِنَّ ۖ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آبَائِهِنَّ أَوْ آبَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ أَوِ التَّابِعِينَ غَيْرِ أُولِي الْإِرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ أَوِ الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَىٰ عَوْرَاتِ النِّسَاءِ ۖ وَلَا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِنْ زِينَتِهِنَّ ۚ وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَ الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ 
Artinya: Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.”
Dalam hal ini, Syahrur menerjemahkan dalam makna yang berbeda.Menurut Syahrur dalam ayat yang sebelumnya (An-Nur ayat 30), bahwa kaum laki-laki tidak disuruh menundukkan seluruh pandangan dengan memejamkan mata melihat perempuan melainkan jika laki-laki melihat perempuan yang terbuka aurat besarnya (farji), mestinya dia melihat dengan pandangan yang lembut atau pura-pura tidak melihatnya.[31]
Begitu pula dengan kata khumur dalam QS. An-Nur ayat 31, menurut pandangan Syahrur bermakna as-satru (tutup), tidak harus jilbab (kerudung), sedangkan al-juyubb merupakan bentuk tunggal dari kata al-jayb, berarti sesuatu yang memiliki katup atau kantong saku pada pakaian. Maka dari itu segala sesuatu yang mempunyai katup dapat disebut dengan al-jayb.Namun, jika dikaitkan dengan tubuh perempuan al-juyub memiki arti farji, dua pantat, dubur, dua payudara dan bagian bawahnya serta bagian bawah ketiak. Dan dalam hal ini dubur dan farji meski masuk dalam  kategorial-juyub, keduanya termasuk “aurat besar” yang tidak boleh dilihat oleh orang lain kecuali suaminya.[32]
Ditelusuri lebih jauh, menurut Syahrur, ia berpendapat bahwa, kata khumur ada bentuk jamak, sedangkan bentuk tunggalnya adalah khimar yang berarti penutup, tetapi bukan hanya penutup kepala saja. Maka dari itu Allah memerintahkan kepada manusia untuk menutup juyub yang tersembunyi kecuali pada delapan kelompok yaitu suami, ayah, anak suami, anak mereka, saudara laki-laki mereka dan anak-anak saudara perempuan mereka. Hal ini berarti wanita-wanita mukminah boleh saja tampil dihadapan mereka dalam keadaan telanjang bulat.Itu boleh, apabila terjadi secara tidak langsung, dan jika mereka merasa risih melihatnya, maka tu adalah rasa malu sesuai adat kebiasaan bukan sesuatu yang halal atau haram. Seorang ayah jika melihat melihat anaknya telanjang bulat, maka ia berkata ini adalah aib/tercela bukan berkata kepdanya ini adalah haram.[33]
Menurut pandangan Syahrur yang dimaksud oleh ayat diatas adalah larangan memandang perempuan yang bukan mahram ketika terbuka aurat besarnya (al-juyubnya).Dan ayat tersebut bukanlah larangan ketika perempuan dan laki-laki berkomunikasi mereka dilarang untuk saling melihat dan malu untuk saling bertatap muka.[34]
Berikutnya, Syahrur memberikan penjelasan mengenai batas maksimal (hadd al-a’la) menutup aurat bagi perempuan jika bersama laki-laki lain yang bukan mahramnya ialah seluruh anggota tubuhnya, kecuali muka dan telapak tangan.Hal ini berdasarkan hadis Nabi yang memberitahukan Asma binti Abu Bakar bahwa setelah perempuan baligh tidak boleh menampakkan tubuhnya kecuali wajah dan telapak tangan.[35]
Maka dengan demikian dapat disimpulkan bahwa menurut Syahrur batas minimal pakaian perempuan adalah satr al-juyub, yaitu menutup bagian dada (payudara), dua ketiak, dan kemaluan besarnya termasuk kedua pantat. Dan jika pendapat ini kita realisasikan dalam kehidupan masyarakat maka seoarang perepuan yang hanya memakai CD (celana dalam) dan BH (kutang) telah dianggap memenuhi batas minimal dari berpakaian. Sesangkan batasan maksimal dari berpakaian adalah menutup seluruh tubuh kecuali wajah dan kedua telapak tangannya. Ini menunjukkan bahwa perempuan dewasa yang tidak memakai jilbab atau kerudung selama ia tidak telanjang bulat maka telah sesuai dengan hukum Allah karena berada diantara posisi batas minimal dan maksimal. Namun sebaliknya jika perempuan menutupi seluruh tubuhnya dengan cadar termasuk bagian wajahnya ia dianggap teah keluar dari hududdullah.Yang pertama telanjang bulat telah keluar dari batas minimal dan menutupi wajah telah keluar dari batas maksimal.[36]
Selanjutnya jika berbicara tentang perhiasan (Zinat al-Mar’ah) menurut ayat 31 surat An-Nur, perhiasan terbagi dua:yakni: pertama perhiasan yang tampak (az-zinah az zahirah). Kedua perhiasan tersembunyi (az zinah al makhfiyah). Maka dari itu tubuh peremouan dibagi jadi dua bagian, yaitu: pertama,bagian tubuh yang terbuka secara alami dan perhiasan yang tampak ialah apa yang secara alami tampak dari tubuh perempuan seperti: perut, punggung, kepala, dua kaki dan dua tangan. Karena Allah menciptakan laki-laki dan perempuan dalam keadaan yang bertelanjang. Yang kedua, tumbuh yang tidak tampak secara alami, yang disembunyikan Allah dalam bentuk susunan tubuh, baguian ini disebut dengan al-juyub atau bagian-bagian yang berlubang atau bercelah.Bagian al juyub ini wajib ditutupi oleh perempuan yaitu bagian pantat, dubur, payudara, bawah ketiak dan kemaluan.[37]
Maka terdapat kategori mahram perempuan yang boleh berinteraksi bersamanya, tetapi dilarang menikahi mereka dantidak dibolehkan perempuan memperlihatkan perhiasan tersembunyinya (al juyub al-u’luwiyah;aurat bagian atas) di depan mereka. Yang termasuk kategori ini adalah: paman dari pihak bapak, anak sesusuan, paman dari pihak ibu, saudara sesusuan, suami anak perempuan, suami ibu, dan suami saudara perempuan.[38]
Dalam ayat an-Nur ini disebutkan bahwa suami di masukkan dalam kategori maharim az-zinah , karena al-ba’l berbeda makna dengan az-zauj. Al ba’l adalah orang-orang yang termasuk maharim nikah tetapi dilarang melihat kemaluan perempuan.Dalam malasah penampakan perhiasan kita menemukan bahwa Allah menyamakan ketentuannya antara al-ba’l, anak, saudara serta pihak-pihak lainnya yang disebutkan dalam ayat yang tidak boleh melihat kemaluannya (aurat berat) perempuan.[39]

F.   Penutup
Dari paparan materi diatas dapat disimpulkan bahwa Muhammad Syahrur merupakan salah satu tokoh penting dalam khazanah pemikiran Islam di era kontemporer ini.Muhammad Syahrur kaitannya dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an, ia menggunakan dua teori dimana teori tersebut berupa teori linguistik (linguistical analysis) dan teori batas (the theory of limit). Dalam teori hudud Muhammad Syahrur mencoba menganalisis surat an-Nur ayat 31, yang membahasa tentang aurat wanita, bahwa menurut Syahrur batas minimal pakaian perempuan adalah satr al-juyub, yaitu menutup bagian dada (payudara), dua ketiak, dan kemaluan besarnya termasuk kedua pantat. Sedangkan batasan maksimal dari berpakaian adalah menutup seluruh tubuh kecuali wajah dan kedua telapak tangannya. Ini menunjukkan bahwa perempuan dewasa yang tidak memakai jilbab atau kerudung selama ia tidak telanjang bulat maka telah sesuai dengan hukum Allah karena berada diantara posisi batas minimal dan maksimal. Namun sebaliknya jika perempuan menutupi seluruh tubuhnya dengan cadar termasuk bagian wajahnya ia dianggap telah keluar dari hududdullah. Yang pertama telanjang bulat telah keluar dari batas minimal dan menutupi wajah telah keluar dari batas maksimal.
Daftar Pustaka
Fauzi Aseri, dkk,2014.Kesinambungan Dan Perubahan Dalam Pemikiran Kontemporer Tentang Asbabu al-Nuzul, Yogyakarta, Iain Antasari Press
Jasmani, Hijab dan Jilbab Menurut Hukum Fikih, Jurnal Al-‘Adl Vol. 6 No. 2 Juli 2013,
Mulyadhi, Kartanegara.2003. Pemikiran Islam Kontemporer, Yogyakarta, Jendela
Mustaqim,Abdul. 2012. Epistemologi Tafsir Kontemporer, Yogyakarta, LKiS group
Najitama,Fikria.2014, Jilbab dalam Konstruksi Pembacaan Kontemporer Muhammad Syahrur, Jurnal Musawa, Vol. 13, No1, Januari.
Nur,Shofa Ulfiati. Pemikiran Muhammad Syahrur, Junal Et- Tijarie Volume 5, Nomor 1 2018
Qabila Salsabila, Reza Pahlevi dan Ali Masrur, Penafsiran Ayat-ayat tentang  Aurat Perempuan Menurut Muhammad Syahrur, Al-Bayan: Jurnal Studi Al-Qur‟an dan Tafsir 2, 1 (Juni 2017
Sawati, Skripsi, Konsep Jilbab Menurut Muhammad Syahrur, IAIN Jember Juni 2016
Shahrur, Muhammad 2004,Metodologi Fiqih IslamKontemporer, Yogyakarta, eLSAQ Press
Shihab, M. Quraish.2009, Jilbab Pakaian Wanita Muslimah, Tangerang, Lentera Hati
Syahrur,Muhammad.2002. Islam Dan Iman.Yogyakarta, Jendela
Syahrur, Muhammad.2007. Prinsip Dan Dasar Hermeneutika Hukum Islam Kontemporer, Yogyakarta:, ELSAQ Press
Tarlam, Alam. Analisis Dan Kritik Metode Hermeneutika Al-Qur’an Muhammad Syahrur, Empirisma Vol. 24 No. 1 Januari 2015

Catatan:
1.    Similarity 10%
2.    Penulisan footnote jurnal berbeda dengan buku

















[1]Nur Shofa Ulfiati, Pemikiran Muhammad Syahrur,Et- Tijarie Volume 5, Nomor 1 2018, hal 59.
[2] Mulyadhi Kartanegara, Pemikiran Islam Kontemporer, (Yogyakarta: 2003, Jendela), hal 296.
[3] Fauzi Aseri, dkk, Kesinambungan Dan Perubahan Dalam Pemikiran Kontemporer Tentang Asbabu al-Nuzul, ( Yogyakarta: 2014, Iain Antasari Press), hal 16-17.
[4] Muhammad Syahrur, Islam Dan Iman, (Yogyakarta: 2002, Jendela), hal  xiii.
[5]Nur Shofa Ulfiati, Pemikiran Muhammad Syahrur,Et- Tijarie Volume 5, Nomor 1 2018, hal 60.
[6] Fauzi Aseri, dkk, Kesinambungan Dan perubahan Dalam Pemikiran Kontemporer Tentang Asbabu al-Nuzul, ( Yogyakarta: 2014, Iain Antasari Press), hal 16-17.
[7] Mulyadhi Kartanegara, Pemikiran Islam Kontemporer, (Yogyakarta: 2003, Jendela), Hal. 304.
[8] Fauzi Aseri, Dkk, Kesinambungan Dan Perubahan Dalam Pemikiran Kontemporer Tentang Asbabun   Nuzul, (Yogyakarta: 2014, IAIN Antasari Press), hlm. 22.
[9] Mulyadhi Kartanegara, Pemikiran Islam Kontemporer, (Yogyakarta: 2003, Jendela), hlm. 304-305.

[10]Alam Tarlam, Analisis Dan Kritik Metode Hermeneutika Al-Qur’an Muhammad Syahrur, Empirisma Vol. 24 No. 1 Januari 2015, hlm.97-98.
[11]Sawati, Skripsi, Konsep Jilbab Menurut Muhammad Syahrur, IAIN Jember Juni 2016,hlm. 62.
[12] Muhammad Syahrur, Prinsip Dan Dasar Hermeneutika Hukum Islam Kontemporer, (Yogyakarta: 2007, ELSAQ Press), hlm. 31-32.
[13] Muhammad Syahrur, Prinsip Dan Dasar Hermeneutika Hukum Islam Kontemporer, (Yogyakarta: 2007, Elsaq Press), hlm. 34-36.

[14] Muhammad Syahrur, Prinsip Dan Dasar Hermeneutika Hukum Islam Kontemporer, (Yogyakarta: 2007, Elsaq Press), hlm. 42.
[15]Sawati, Skripsi, Konsep Jilbab Menurut Muhammad Syahrur, IAIN Jember Juni 2016, hlm. 62.
[16] Muhammad Syahrur, Prinsip Dan Dasar Hermeneutika Hukum Islam Kontemporer, (Yogyakarta: 2007, Elsaq Press), hlm. 41.

[17] Muhammad Syahrur, Prinsip Dan Dasar Hermeneutika Hukum Islam Kontemporer, (Yogyakarta: 2007, Elsaq Press), hlm. 43-44.
[18]Ibid, hlm, 44-45
[19]Sawati, Skripsi, Konsep Jilbab Menurut Muhammad Syahrur, IAIN Jember Juni 2016, Hal. 65.

[20]  Muhammad Syahrur, Prinsip Dan Dasar Hermeneutika Hukum Islam Kontemporer, (Yogyakarta: 2007, Elsaq Press), hlm. 44-50. 
[21] Fikria Najitama, Jilbab dalam Konstruksi Pembacaan Kontemporer Muhammad Syahrur, jurnal Musawa, Vol. 13, No1, Januari 2014,hlm. 10-11
[22] Jasmani, Hijab dan Jilbab Menurut Hukum Fikih, Jurnal Al-‘Adl Vol. 6 No. 2 Juli 2013, hlm. 66-68
[23]Ibid, hlm, 484
[24] Qabila Salsabila, Reza Pahlevi dan Ali Masrur, Penafsiran Ayat-ayat tentang  Aurat Perempuan Menurut Muhammad Syahrur, Al-Bayan: Jurnal Studi Al-Qur‟an dan Tafsir 2, 1 (Juni 2017): 177-198, hlm. 182
[25] Muhammad Shahrur, Metodologi Fiqih IslamKontemporer (Yogyakarta : eLSAQ Press, 2004), hlm. 487-488
[26] M. Quraish Shihab, Jilbab Pakaian Wanita Muslimah (Tangerang: Lentera Hati, 2009),  hlm.174
[27]Ibid., hlm. 490
[28] Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer (Yogyakarta : LKiS group, 2012), hlm.276
[29]Ibid., hlm. 277
[30]Ibid., hlm. 273
[31]Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer (Yogyakarta : LKiS group, 2012), hlm.274-275
[32]Ibid,hlm.275
[33] M. Quraish Shihab, Jilbab Pakaian Wanita Muslimah (Tangerang: Lentera Hati, 2009),  hlm.180-181
[34] Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer (Yogyakarta : LKiS group, 2012), hlm.276
[35] Ibid., hlm.278
[36] Ibid.,hlm.278
[37]Muhammad Shahrur, Metodologi Fiqih IslamKontemporer (Yogyakarta : eLSAQ Press, 2004), hlm.514-516
[38] Ibid.,hlm.520
[39] Ibid.,hlm517-518

Tidak ada komentar:

Posting Komentar