Minggu, 11 Februari 2018

Taqlid, Ittiba', Talfiq, dan Ijtihad dalam Ushuk Fikih (PAI Kelas C Semester Genap 2017/2018)




TAKLID, ITTIBA’ TALFIQ DAN IJTIHAD DALAM USHUL FIQIH

Mu’alifah Yuni Rahmawati, Eva Afrivina, Riza Fahma Yofi Fadila.
Mahasiswa PAI UIN Maulana Malik Ibrahim Malang
PAI C 2018
mualifahyuni@gmail.com

Abstract
Ijtihad is the attempt of a person of fuqaha or mujtahid to find solutions to problems that were not previously present in the Qur'an and Hadith, but still based on Qur'an and Hadith. Differences in the ijtihad of a jurist can give the legal difference held. For someone who does not have ijtihad ability then it is advisable to do taqlid, ittiba ', or talfiq. Taqlid is to follow or take a law without knowing the truth of the law. Ittiba 'is following a law which already knows the truth of the source of the law. And talfiq is following a law that comes from some madhhab. Talfiq is also a term for people who in following the law not only take from one of the mazhab, but from some mazhab.
Abstrak
Ijtihad merupakan usaha seseorang ahli fiqih atau mujtahid untuk menemukan solusi dalam permasalahan yang sebelumnya tidak ada di dalam Al- Qur’an dan Hadits, tetapi tetap berlandaskan Qur’an dan Hadits. Perbedaan dalam ber ijtihad seorang fuqaha dapat memberikan perbedaan hukum yang dianut. Bagi seseorang yang tidak memiliki kemampuan ber ijtihad maka dianjurkan untuk melakukan taqlid, ittiba’, atau talfiq. Taqlid adalah mengikuti atau mengambil suatu hukum tanpa mengetahui kebenaran hukum tersebut. Ittiba’ adalah mengikuti suatu hukum yang mana sudah mengetahui kebenaran sumber hukum tersebut. Dan talfiq adalah mengikuti suatu hukum yang berasal dari beberapa madzhab. Talfiq juga merupakan sebutan untuk orang yang dalam mengikuti hukum tidak hanya mengambil dari salah satu mazhab, tetapi dari beberapa mazhab. 
Keywords :Taqlid,Ittiba’, Talfiq, Ijtihad

A.      Pendahuluan
Ijtihad merupakan bidang keilmuan yang membahas tentang problematika zaman yang tidak ada dalam Al- Qur’an dan Hadits. Keilmuan ini berfungsi sebagai rekomendasi solusi problem yang tengah berkembang di masyarakat. Dan setiap ijtihad antara satu fuqaha dengan fuqaha yang lain berbeda pendapat. Sehingga banyak lahir ilmu – ilmu fiqih dalam sejarah dari zaman setelah Rasulullah saw wafat hingga pertengahan ke 4 H.
Setelah pertengahan ke 4 H, kegiatan ber ijtihad mengalami perkembangan tidak hanya untuk masalah agama tetapi digunakan juga dalam hal politik dan kekuasaan, sehingga hal tersebut menimbulkan ijtihad dilakukan hanya semata untuk perantara menyembunyikan kedok kebebasan syari’at.
Melihat kondisi inilah maka para ulama mengumumkan untuk menutup pintu ijtihad, untuk menghindari penyalahgunaan penggunaan ijtihad yang seharusnya. Dari peristiwa ini timbul stratifikasi untuk para mujtahid (orang yang boleh berijtihad), yaitu: mujtahid mutlak, mujtahid masa’il, mujtahid madzhab, dan datang muqallid (orang yang bertaqlid).
Taklid adalah perbuatan seseorang yang mengikuti sebuah hukum tanpa mengetahui kebenaran hukum tersebut. Karena timbul banyak kontroversi mengenai taqlid. Maka disepakati taqlid tidak diperbolehkan oleh generasi salaf kalangan nabi, tabi’in, para imam mujtahid, dan para tabi’it. Tetapi setelah perkembangan adanya masa mazhab-mazhab jadi diperbolehkan untuk bertaqlid. Lebih dari taqlid lebih dianjurkan untuk melakukan ittiba’ yaitu mengikuti hukum atau fatwa dengan mengetahui kebenaran dari fatwa atau hukum tersebut.
B.       Taklid
1.        Pengertian
Secara etimologi, kata "taqlid" berasal dari masdar "qallada" yang memiliki makna kalung yang dipasangkan kepada orang lain tanpa disadari orang yang bersangkutan itu sendiri.[1]
Sedangkan terjemahan secara terminologi, terdapat beberapa istilah mengenai taqlid[2], antara lain:
a)    Sebuah perilaku yang mengikuti orang lain baik dari segi lisan maupun perbuatannya tanpa keraguan sedikitpun dengan tidak adanya penelusuran lebih lanjut terhadap dalilnya terlebih dahulu.

b)   Membenarkan sebuah gagasan orang lain secara bulat tanpa disaring menggunakan dalil-dalilnya dan tidak memafhumi kapasitas dari dalil-dalil tersebut.

c)    Mengamalkan gagasan orang lain tanpa memahami dasar dalilnya.
           
            Serasi dengan beberapa pengertian taqlid yang telah dijabarkan diatas, terdapat hal-hal yang tidak dapat digolongkan ke dalam taqlid[3], antara lain:

a)    Berbuat sesuatu yang dilandaskan pada al-Qur'an dan al-Hadits.
b)   Berbuat sesuatu yang dilandaskan pada ijma'.
c)    Vonis seorang hakim atas suatu perkara dengan adanya saksi yang adil.

            Pendapat para ulama Ushul mengenai taqlid[4]adalah "menerima sebuah gagasan seseorang tanpa mengetahui darimana asal muasalnya ataupun landasan dari gagasan seseorang tersebut". Sedangkan para ulama lain seperti al-Ghazali, asy-Syaukani dan beberapa ulama lainnya mengartikan taqlid sendiri juga memiliki inti dan maksud yang tidak berbeda dengan yang disampaikan oleh para ulama Ushul tadi.
           
Muhammad Rasyid Ridla berpendapat mengenai definisi taqlid yang terdapat dalam Tafsir al-Manar[5], berikut perkataannya yaitu: "mengamalkan gagasan seseorang yang dipandang memiliki integritas tinggi mengenai hukum agama Islam tanpa menelusuri lebih dulu kebenarannya, kebaikannya serta manfaat atau tidaknya dari gagasan hukum yang disampaikan orang tersebut".
Mengenai hal ini, Allah SWT berfirman:

فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُون...َ
"...maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tidak mengetahuinya..."(Q.S Al-Anbiya':7).
           
Dari sekian banyaknya definisi dan penjelasan diatas maka dapat ditarik sebuah kesimpulan mengenai pengertian taqlid yaitu adalah suatu perbuatan atau perilaku untuk mengikuti pendapat ataupun gagasan seseorang secara mentah-mentah tanpa keraguan sedikitpun dan tidak adanya penelusuran terlebih dahulu akan kredibilitas maupun kualitas gagasan tersebut dari segi dalil-dalil landasan yang mengikutinya.

2.        Hukum Bertaqlid

Sejalan dengan pembahasan yang sebagaimana telah disinggung di awal tadi, seseorang yang belum memiliki predikat posisi mujtahid, diharuskan untuk bermakmum kepada salah satu ulama yang telah memiliki predikat sebagai mujtahid muthlaq. Para ulama yang telah menyandang predikat tersebut antara lain adalah Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafi'i dan Imam Hanbali.[6]
Sebagian dari ulama ushul fiqih berpendapat bahwa sebagian besar telah bermufakat bahwasanya tidak ada lagi seorangpun yang telah berhasil menggapai predikat sebagai mujtahid muthlaq tersebut. "Seorang yang menyandang predikat sebagai mujtahid muthlaq ataupun mujtahid mustaqil sudah tidak dapat ditemukan kembali semenjak usainya periode Imam Syafi'i”, menurut Ibnu Hajar.[7]
Terdapat firman Allah yang mengharuskan seseorang untuk bertaqlid kepada seorang mujtahid[8], berikut firman Allah dalam al-Qur'an:

وَلَوْ رَدُّوهُ إِلَى الرَّسُولِ وَإِلَىٰ أُولِي الْأَمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِينَ يَسْتَنْبِطُونَهُ...
"...dan kalaulah mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri diantara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan mampu) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri)..." (Q.S An-Nisa' : 83).
Sementara itu hanyalah seseorang yang memiliki kompetensi dalam berijtihad saja yang diperbolehkan melakukan istinbath (menetapkan kesimpulan).
3.        Tingkatan Taqlid atau Muqallid
Taqlid maupun Muqallid disini juga memiliki beberapa tingkatan[9], berikut penjabarannya antara lain :
a)    Bertaqlid keseluruhan (taqlid al-mahdli)
Sebagaimana yang mayoritas orang awam lakukan, mengenai seluruh hukum Islam, mereka bertaqlid kepada seorang atau imam mujtahid.

b)   Bertaqlid dalam beberapa bidang hukum saja
     Sebagaimana para ulama yang memiliki kompetensi untuk berijtihad dalam bidang madzhab, bidang fatwa dan bidang tarjih. Mereka didudukkan sebagai seorang mujtahid hanya dalam beberapa segi bidang saja yang dikuasainya, selain beberapa bidang tersebut para ulama tadi kembali didudukkan hanya sebagai muqallid saja.

c)    Bertaqlid dalam perkara-perkara istinbath
     Sebagaimana banyak dilakukan oleh para mujtahid muntasib.

4.        Syarat Taqlid
Seseorang yang akan bertaqlid kepada suatu madzhab, diwajibkan untuk memenuhi beberapa ketentuan sebagai berikut:[10]
a)    Diwajibkan memahami secara keseluruhan berbagai ketentuan imamnya dalam perkara yang diikuti, seperti halnya syarat dan kewajibannya.
b)   Contoh: Jika akan mengikuti madzhab Hanafi dalam perkara saling bersentuhannya kulit dengan lawan jenis yang bukan mahramnya tidak menghilangkan suatu wudhu', maka dia juga harus mengikuti berbagai ketentuan yang diwajibkan oleh Imam Hanafi dalam perkara wudhu', seperti diusapnya kepala sampai ubun-ubun dan lain sebagainya.

c)    Tidak bertaqlid seusai dilakukannya perkara yang akan ditaqlidkan tersebut.
d)   Contoh: Umar merupakan seorang muslim yang menganut madzhab Syafi'i. Pada suatu siang di bulan Ramadhan, Umar teringat bahwa pada malam hari sebelumnya ia tidak mengucapkan niat puasa, padahal dalam madzhab Syafi'i diwajibkan untuk menunaikan niat puasa pada malam harinya. Kemudian pada siang hari tersebut, Umar memutuskan untuk berpindah haluan ke madzhab Maliki yang notabene tidak mewajibkan berniat puasa pada malam harinya. Bertaqlid semacam ini memiliki hukum khilaf (boleh dilakukan apabila tidak ada suatu kesengajaan dan belum mengetahui hukum madzhab yang dianutnya).

e)    Tidak diperkenankan memilih pendapat yang mudah-mudah saja. Maksudnya, orang yang akan bertaqlid tidak diperbolehkan memilih pendapat yang mudah-mudah saja dari berbagai madzhab.

f)    Bertaqlid haruslah kepada seorang imam yang telah menyandang predikat sebagai mujtahid muthlaq, seperti Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafi'i dan Imam Hanbali. Diperolehkan juga bertaqlid kepada seorang imam yang menyandang predikat sebagai mujtahid muntasib (mujtahid yang masih bertautan dengan sebuah madzhab tertentu), seperti Imam Rafi'i, Nawawi, Ramli dan Ibnu Hajar, tetapi dikecualikan jika pendapat mereka sangatlah dhaif sekali.

g)    Tidak diperkenankan menggabungkan dua pendapat imam dalam satu persoalan hukum (qadhiyah), yang akan berujung tidak disahkannya oleh masing-masing imam.
h)   Contoh: Dalam berwudhu, Khalid hanya mengusap sebagian kepalanya saja layaknya hukum yang terdapat dalam Imam Syafii. Sejalan kemudian kulit si Khalid bersentuhan dengan seseorang lawan jenis yang bukan mahramnya tanpa syahwat, Khalid merasa wudhunya tidaklah batal karena dalam hal ini ia mengikuti Imam Maliki. Setelah itu Khalid tetap melaksanakan ibadah shalat. Taqlid semacam ini tidaklah dibenarkan, karena dalam satu persoalan hukum yang sama yaitu shalat, si Khalid telah melanggar hukum persentuhan kulit berdasarkan madzhab Imam Syafi'i, begitu juga dia juga melanggar hukum wudhu yang ditetapkan Imam Maliki yang mengharuskan menguap seluruh bagian rambut. Jadi, menurut pandangan kedua madzhab, shalat yang ditunaikan oleh Khalid tidaklah sah.

C.      ITTIBA’
1.    Pengertian Ittiba’
Dalam buku Ilmu Ushul Fiqh 1 & 2 dikatakan bahwa  “Kata “Ittiba’” berasal dari bahasa Arab, yakni dari kata kerja atau fi’il ”Ittaba’”, yang artinya adalah mengikut atau menurun.”[11]
Sedangkan Ittiba’ menurut istilah adalah :
اَلْأِ تْبَاعُ قَبُوْلُ قَوْلِ الْقَائِلِ وَأَنْتَ تَعْلَمُ حُجَّتَهُ .
Yang artinya adalah “Menerima perkataan orang lain dan (kamu) mengetahui dari mana sumber alasan tersebut.”[12]
Jadi, Ittiba’ berdasarkan definisi bahasa dan istilah adalah diterimanya fatwa atau perkataan oleh seseorang yang mana perkataan tersebut dapat dipertanggung jawabkan karena sesuai dengan sumber yang jelas yakni dari Al – Qur’an , Al Sunnah, serta hasil ijtihad ulama – ulama.[13]
Muttabi’ adalah seseorang yang menerima perkataan atau fatwa oleh seseorang Muttaba’ bersumber dari Al Qur’an, Sunnah dan Ijtihad para ulama. Sedangkan Muttaba’  adalah orang yang memberikan fatwa atau perkataan kepada Muttabi’. Dan seorang Muttabi’ harus mengetahui bahasa arab atau dalilnya tetapi tidak harus tahu mengetahui sah atau tidaknya sebuah fatwa atau hadits dikarenakan seorang Muttaba’ sudah mengatakan sah maka sah lah fatwa tersebut  dan seorang  Muttaba’ harus bertanggung jawab atas perkataan nya tersebut dikarenakan berdosalah dia jika iya tengah berdusta atau mengesahkan sesuatu hadits tanpa mengecek kebenaran hadits tersebut. Tetapi hal tersebut tidak berlaku untuk Muttabi’ maka jika seorang  Muttaba’ berdusta seorang Muttabi’ tidak berdosa.[14]
Setiap muslim wajib hukumnya ber ittiba’ karena Allah SWT sudah memerintahkan dalam firman Nya:“Ikuti apa yang dirutunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya”(Al-A’raf: 3)
Dari ayat diatas Allah SWT telah memerintahkan bahwa seorang hamba harus mengikuti perintahNya. Dan perintah – perintah tersebut merupakan wajib bagi setiap muslim.
Dimulainya munculnya Ittiba’ sejak zaman nabi, dan seterusnya hingga sekarang. Dijelaskan dalam Qs. Ali ‘Imran: 31 bahwa dalam firman Allah tersebut telah diperintahkan untuk ber ittiba’ kepada Rasulullah. Dikarenakan beliau (Rasulullah) mempunyai banyak kemuliaan yang lebih utama dari Nabi sebelum – sebelumnya, maka beliau yang dapat dijadikan suri tauladan serta diikuti dan dipegang teguh ajarannya dan mengamalkan apa yang telah diajarkan dari Allah kepadanya.[15]
Menurut Ibn Taimiyyah pilar kebahagiaan bagi setiap Muslim bagi kehidupan dunia dan akhirat kelak adalah ber ittiba’ kepada Rasulullah. Ibn Taimiyyah berkata “Bahwa pilar kebahagiaan (sa’adah) dan hidayah adalah dengan mengikuti Rasulullah. Sebaliknya, pangkal kesesatan dan kesengsaraan dikarenakan menyelisihinya. Sesungguhnya setiap kebaikan di penjuru alam semesta ini, baik yang sifatnya umum maupun khusus, sumbernya dari diutusnya Rasul. Begitu pula dengan semua keburukan yang menimpa umat manusia di alam semesta, adalah karena penyimpangan terhadap petunjuk Rasul dan tidak mengetahui ajarannya. Maka kebahagiaan dalam kehidupan duniawi dan ukhrawi adalah dikarenakan ittiba’ kepada risalahnya.”
Risalah kenabian Muhammad sangat dibutuhkan oleh seluruh makhluk bahkan mereka sangat membutuhkan Rasulullah melebihi apapunn yang dibutuhkan mereka untuk kebutuhan di dunia. Nabi Muhammad diutus dikarenakan untuk kekuatan bagi alam semesta, dan menjadi nur  bagi kehidupan.[16]
‘Abd al-Rahman ibn Nashir al-Sa’di mennggambarkan dalam Taisir al – Karim fi Tafsir Kalam al-Mannan bahwa ittiba’ merupakan sebagai:
            اتباع ما  أنزل الله على رسوله – وهو للبلغ عن الله وحيه الذي اهتدى يه الخلق, فأنه هو الهدى والرحمة – علمًا وعملا وحالا ودعوة أليهو, بالاعتقادات والأقوال والأعمال, فأن من اتبعه اتبع ما أمر يه , واجتني ما تهي عنه.
“Mengikuti syariat yang diwahyukan Allah SWT kepada RasulNya[17] – karena ia adalah penyampai (muballigh) wahyu Allah yang dengannya umat manusia mampu menggapai jalan hidayah[18], dan syariat aau wahyu tersebut merupakan sumber petunjuk dan rahmat[19] – dalam seluruh aspek ilmu , perbuatan, karakter diri dan syariat atau wahyu tersebut merupakan sumber petunjuk dan rahmat – dalam seluruh aspek ilmu, perbuatan, karakter diri dan dalam seruan dakwahnya[20], baik dalam akidah, ucapan maupun amal perbuatan[21], maka mengikutinya adalah dengan mengimplementasikan perintahnya dan meninggalkan larangannya[22].”
Jadi, menurut tafsiran dari definisi ittiba’, ittiba’ merupakan sebuah usaha dan upaya yang optimal seklaigus maksimal untuk menganut dan meniru Rasulullah sebagai suri tauladan dalam agama. Dan karena pengajaran dakwah yang dilakukan Rasulullah telah turun temurun digunakan untuk generasi berikutnya dan seterusnya, maka ittiba’  menganut apa – apa (perbuatan, ucapan, ajaran) saja yang telah disampaikan Rasul dan berdasarkan dalil-dalil yang benar yaitu Al – Qu’an dan Al- Hadits.[23]
Dan adapun komponen-komponen yang menjadi makna pokok dalam al-ittiba’ di Islam, yaitu :
1.    Usaha untuk dapat mengikuti ataupun meneladani.
2.    Adanya pihak yang diikuti untuk dijadikan panutan, yaitu Rasulullah.
3.    Hal yang diikuti merupakan perbuatan, ucapan, akidah, dan perbuatan lain yang dilakukan tetapi sudah ditinggalkan.
4.    Berdasarkan kepada sumber yang dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya, yaitu al – Qur’an, Hadits Shahih.
5.    Ketika ber ittiba’ mengikuti berdasarkan niat atau kemauan sendiri bukan karena paksaan atau kebencian dalam hati dan tetap mengamalkan apa yang telah diikuti.[24]

D.      TALFIQ
Asal kata dari talfiq adalah لفّق yang berarti mempertemukan menjadi satu.[25]Sedangkan makna talfiq dalam ilmu ushul fiqih yaitu:
اَلْعَمَلُ بِحُكْمٍ مُؤَلَّفٍ بَيْنَ مَذْهَبَيْنِ اَكْثَرَ
Mengamalkan satu hukum yang terdiri dari dua madzhab atau lebih[26]
Dari penjelasan di atas, maka bisa dikatakan jika talfiq itu memiliki arti yaitu mencampurkan pendapat dua mujahid atau lebih akan satu masalah yang sama atapun berbeda. Misalnya, dalam masalah persyaratan sahnya nikah. Kita ambil contoh hukum diucapkannya mahar dalam akad mengikuti madzhab tertentu dan untuk hukum kehadiran wali nikah mengikuti madzhab yang lainnya.[27]
Masalah talfiq hingga sekarang masih sering menjadi perbincangan terutama bagi madzhab yang memperbolehkan seseorang untuk ber-talfiq. Meskipun demikian adanya, para mujtahid menganjurkan agar kita bisa menghindari taqlid tapi menjalankan ittiba’, dan ketika seseorang sudah ber-ittiba’ tidak menutup kemungkinan dia akan ber-talfiq dan hukum yang demikian ini boleh menurut beberapa madzhab. Adapun lebih jelasnya mengenai perbedaan hukum dari pada talfiq adalah sebagai berikut:
1.    Hukum talfiq yang pertama adalah tidak boleh. Artinya seseorang itu tidak boleh berpindah madzhab dalam suatu masalah yang sama ataupun berbeda. Madzhab yang berpendapat demikian adalah madzhab Syafi’i.
2.    Sedangkan madzhab Hanafi memiliki pendapat yang lebih ringan dari Syafi’i, yaitu memperbolehkan ber-talfiq dalam masalah yang berbeda. Misal, hal-hal yang membatalkan wudlu mengikuti madzhab tertentu dan masalah tentang massa iddah wanita yang ditalak mengkuti madzhab tertentu.[28]
3.    Ada juga yang berpendapat jika ber-talfiq itu boleh jika dimaksudkan untuk menghindari kesulitan ajaran agama yang dianutnya. Atau dalam hal berjuang untuk kemaslahatan umum juga diperbolehkan untuk ber-talfiq.
4.    Dan hukum ber-talfiq juga bisa menjadi haram apabila seseorang itu melakukannya atas dasar ingin melecehkan agama.[29]
E.       IJTIHAD
1.        Pengertian
Ijtihad secara bahasa berasal dari kata “jahada” ada dua bentuk yang berbeda kata masdar-nya artinya :
a.    Jahdun (جهد) yang bermakna keseriusan dan kesunggguhan sepenuh hati.
b.    Juhdun (جهد) yang bermakna kemampuan atau kesanggupan (yang didalamnya mengandung arti sangat sulit, susah dan berat). [30]
Ijtihad menurut istilah ialah proses dan usaha yang sungguh-sungguh oleh seorang faqih atau ahli agama dalam memeriksa dan menyelidiki Al-Quran dan As-sunnah untuk memperoleh kesangkaan yang berat atau hukum hingga mencapai tingkat maksimal. [31]
2.        Syarat-syarat Mujtahid
Mujtahid adalah orang-orang yang melakukan ijtihad, harus memenuhi syarat berikut ini :
a.    Mengetahui dan memahami bahasa Arab
b.    Memahami Al-Quran dan Nasikh Mansukh
c.    Memahami tentang sunnah
d.   Mengetahui hal-hal yang di-Ijma’kan
e.    Memahami tentang qiyas
f.     Mengetahui maksut-maksut hukum
g.    Berhati bersih dan berniat lurus menurut sebagian ulama, hal ini untuk mempermudah pemecahan dalam masalah. [32]

3.        Hukum Melakukan Ijtihad
Bagi orang yang sudah memiliki kemampuan dalam berijtihad maka berijtihad itu hukumnya wajib. [33]  dikarenakan jumlahnya hukum Allah itu terbatas. Sedangkan permasalahan dalam kehidupan ini bermacam-macam dan berkembang, maka perlu yang namanya ijtihad.
Dalil yang mewajibkan ijtihad yaitu Q.S. An-Nisa’ ayat 59 :
فان تنا زعتم في شئ فردوه الى الله والرسول ان كنتم تؤمنون با الله واليوم الاخر ذلك خير و احسن تأويلا
Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Quran) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”
Q.S. Al-Hasyr ayat 2 :
فعتبروا ياألي الأبصار
“Maka Ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang  yang mempunyai pandangan.”
Hukum ijtihad untuk mujtahid tergantung keadaan tertentu, karena kedudukannya sebagai seorang faqih pendapatnya diikuti dan di amalkan orang lain.

a.    Wajib ‘Ain
Seseorang akan dihukumi wajib ain dalam melakukan ijtihad apabila ia adalah satu-satunya seorang faqih yang mampu melakukan ijtihad pada waktu itu. Dan apabila dia tidak mau melakukan dikhawatirkan suatu permasalahan itu lepas dari hukum.
b.    Wajib Kifayah
Seseorang akan dihukumi wajib kifayah dalam melakukan ijtihad apabila dilingkungan tersebut dan pada waktu itu ada beberapa orang yang mampu berijtihad.
c.    Sunnah
Seseorang akan dihukumi sunnah dalam berijtihad apabila permasalahan yang diajukan oleh masyarakat belum terjadi dan dikhawatirkan akan terjadi di kemudian hari.
d.   Haram
Seseorang akan dihukumi haram dalam berijtihad apabila hukum itu sudah ditetapkan dengan jelas dan sudah berlaku. Dan dia tidak memiliki ilmu tentang ijtihad.
e.    Mubah
Seseorang akan dihukumi mubah apabila sudah ada hukum namun sandaran hukumnya lemah.[34]


4.        Pembagian dan Macam-macam Ijtihad
Para ulama ushul fiqh telah membagi macam-macam ijtihad dari berbagai segi, berikut pembagiannya :
a.    Dilihat dari segi kerja mujtahid terbagi menjadi dua macam yaitu :
1.      Ijitihad istinbati, yaitu berusaha untuk berijtihad dengan mengeluarkan hukum dari dalilnya dengan cara menetapkan sendiri metodenya.
2.      Ijtihad tathbiqi, yaitu berusaha untuk berijtihad menggali dan menetapkan hukum dengan metode yang sudah ditetapkan oleh generasi imam sebelumnya.[35]
b.    Dilihat dari segi penerapan metode yang telah diterapkan sebelumnya terbagi menjadi dua macam yaitu:
1.      Tahkrij al-manath, yaitu menghubungkan hukum dengan hukum yang sudah ditetapkan mujtahid sebelumnya.
2.      Ijtihad Tarjih, yaitu usaha memilih yang terkuat dengan membandingkan antara beberapa pendapat ulama terdahulu kemudian menetapkan hukum.
5.        Kedudukan hasil Ijtihad
Hukum dari suatu permasalahan yang belum jelas dalilnya, baik yang ada di Al-Quran dan Sunnah itulah yang akan mejadi kajian dari ijtihad itu atau yang disebut dengan zhanny.
Selain zhanny yang menjadi bahasa dalam ijtihad adalah sesuatu yang bersifat Qaht’i yaitu sesuatu yang telah jelas dalilnya seperti kewajiban melaksanakan shalat,zakat, puasa dan lain sebagainya.
Secara logika hasil ijtihad itu tidak selalu benar, dan ketika hasilnya salah maka mujtahid itu akan berdosa. Akan tetapi hal ini dipatahkan pendapatnya Al-Anbary dan Al- Jahiz. Beliau mengatakan bahwa semua hasil ijtihad itu benar dan tidak ada dosa baginya.[36]
Di dalam ushul fiqih kedudukan ijtihad itu terbagi menjadi dua golongan, yaitu:
a.    Golongan I
Pendapat pertama mengatakan bahwa setiap hasil ijtihad itu benar karena itu hasil jawban dari Allah dan ketika terjadi suatu perbedaan itu dikarenakan tingkat keilmuan dari seorang mujtahid.
b.    Golongan II
Golongan II mengatakan   bahwa hasil ijtihad yang benar itu hanya ada satu yaitu yang bedekatan dengan ketetapan Allah. dan Allah hanya menetapkan hukum tertentu terhadap satu masalah.[37] Para jumhur ulama termasuk Asy-Syafi’i berdalil dengan hadis :

من اجتهد قاأصاب فله أجران ومن أخطأ فله أجر واحد (رواه البخرى و مسلم)

“Siapa yang berijtihad dan ternyata benar, maka mendapat dua pahala, dan (orang yang berijtihad) ternyata salah maka dapat satu pahala” (H.R. Buchari dan Muslim).

6.        Langkah-langkah dalam ijtihad
Seorang mujtahid bila menemui atau menghadapi suatu permasalahan  yang membutuhkan jawaban hukum, maka perlu memperhatikan langkah-langkah berikut ini :
Pertama, berpedoman pada Al-Quran terlebih dahulu, mencari jawabannya di dalam Al-Quran, apabila tidak ditemukan maka perlu mendalami dan mengamati dari segi umum dan khusus, mutlaq dan muqayyadnya, dari segi nasakh mansukh. Bila tidak menemukan lagi harus mencari di balik yang tersurat.
Kedua, berpedoman pada Sunnah nabi Muhammad, setelah mencari pada Al-Quran.
Ketiga, kemudia mencarinya pada ijma’. Keempat, bila tidak ditemukan jawabannya pada ijma’ maka perlu mencarinya pada qiyas. Kelima, apabila sudah  mencarinya dengan menghubungkannya pada Al-Quran, sunnah dan sudah berusaha semaksimal mungkin, maka perlu menggali dan menetapkannya dengan cara melihat keluar nash Al-Quran dan sunnah dengan dalil-dalil yang diyakini kebenarannya.[38]

F.        PENUTUP
Dari penjelasan di atas dapat kita tarik kesimpulan bahwa dalam mengatasi problematika kehidupan yang semakin berkembang maka diperlukannya ijtihad untuk menemukan solusi dalam permasalahan-permasalahan kehidupan. Dengan cara yang benar, berpedoman pada Al-Quran, sunnah Nabi, ijma, dan juga qiyas.
Di dalam pengambilan keputusan untuk menemukan jawaban permasalahan maka perlu menggunakan ilmu dan landasan yang tepat, oleh sebab itu dilarang berbuat taklid, semata-mata ingin menetapkan suatu hukum, karena taklid itu tidak diperbolehkan. Jangan pula ikut-ikutan tanpa mengetahui hukum yang pasti dan alasan hukum tersebut. Maka perlu hati-hati dalam berbuat apalagi persoalan hukum agama.
Apabila dalam menjumpai permasalahan dalam kehidupan maka bolehlah ber-ittiba’ yang kemudian tidak menutup kemungkinan akan terjadi perbuatan talfiq. Namun dalam hal ini tidak lepas dengan yang namanya mengetahui dan memahami hukum yang pasti.
DAFTAR PUSTAKA
Al – Harrani. Majmu’ah al- Fatwa.vol 10.
A. Hassan. Ijma’, Qiyas, Mazhab, Taqlid.
Al-Zuhaili, Wahbah. 2006. Syama’il al-Musthafa. Beirut: Dar al – Fikr.
Djalil,Basiq. 2010. Ilmu Ushul Fiqih (satu & dua). Jakarta: Kencana.
Mudrik Al Farizi, "Ijtihad, taqlid dan talfiq". Vol. 8 No 1, 2014, hlm 6.
Tim Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid. "Hukum Taqlid, Doa Iftitah dan Shalawat Khutbah Jum'at",Januari 2006.
Tim Penulis Buku Taklimiyah Pon.Pes Sidogiri. 2008. Fikih Kita di Masyarakat. Pasuruan: Pustaka Sidogiri Pon.Pes Sidogiri.
Rifa’i,Mohammad. 1973. Ushul Fiqih. Bandung: PT Alma’arif.
Syarifuddin, Amir. Ushul Fiqih 2. Jakarta : Kencana, 2008.
Syarifuddin, Amir. 2010. Garis-Garis Besar Ushul Fiqh. Jakarta : Kencana.

Catatan:
1.      Similarity bagus, Cuma 4%.
2.      Jika mengambil referensi jurnal, harus dicantumkan lengkap termasuk nama jurnalnya.
3.      Penulisan gelar (Prof. Dr. Ustadz, dll) dalam tulisan ilmiah harus dihilangkan, meski dalam footnote sekalipun.
4.      Ditunggu referensi Arabnya saat presentasi.
5.      Pendahuluan sudah baik, akan tetapi masih belum bisa mengantarkan pada materi pembahasan.







[1] Mudrik Al Farizi, "Ijtihad, taqlid dan talfiq". Vol. 8 No 1, 2014, hlm 6.
[2]Ibid
[3]Ibid
[4] Tim Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid, "Hukum Taqlid, Doa Iftitah dan Shalawat Khutbah Jum'at",Januari 2006, hlm 1.
[5]Tim Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid, "Hukum Taqlid, Doa Iftitah dan Shalawat Khutbah Jum'at",Januari 2006, hlm 1.
[6] Tim Penulis Buku Taklimiyah Pon.Pes Sidogiri, Fikih Kita di Masyarakat, Pasuruan: Pustaka Sidogiri Pon.Pes Sidogiri, 2008), hlm 21-22.
[7]Ibid, hlm 22.
[8]Ibid
[9] Mudrik Al Farizi, "Ijtihad, taqlid dan talfiq". Vol. 8 No 1, 2014, hlm 8.
[10] Tim Penulis Buku Taklimiyah Pon.Pes Sidogiri, Fikih Kita di Masyarakat, Pasuruan: Pustaka Sidogiri Pon.Pes Sidogiri, 2008), hlm 23-26.
[11] Basiq Djalil, Ilmu Ushul Fiqih (satu & dua), Jakarta: Kencana, 2010, hlm. 195
[12] Moh. Rifa’i, Ushul Fiqih, Bandung: PT Alma’arif, 1973, hlm. 152
[13] A. Hassan, Ijma’, Qiyas, Mazhab, Taqlid, hlm. 59
[14]A. Hassan, Ijma’, Qiyas, Mazhab, Taqlid, hlm. 59
[15] Wahbah al-Zuhaili, Syama’il al-Musthafa, Beirut: Dar al – Fikr, 2006, hlm. 33
[16] Al – Harrani, Majmu’ah al- Fatwa, vol 10, hlm. 52
[17] ‘Abd al-Rahmān ibn Nāshir al-Sa’dī, Taisīr al-Karīm al-Rahmān fī TafsīrKalām al-Mannān, ed. ’Abd al-Rahmān ibn Mu’allā al-Luwaihiq, Beirut: Mu‘assasahal-Risālah, 2000, hlm. 81.
[18] Al-Sa’di, al-Qaul al-Sadid Syarh Kitab al-Tauhid, ed. Shabri ibn Salamah Syaihin, Riyadh: Dar al-Tsabat, 2004, hlm. 148
[19] Al-Sa’di, Tafsir al Karim al – Rahman fi Tafsir Kalam al – Mannan, hlm 81
[20]Ibid, hlm. 376
[21]Ibid, hlm. 350
[22]Ibid, hlm. 515
[23] Rahendra Maya, Konsep Al – Ittiba’ dalam Perspektif Al – Qu’an dan Hadits, Al – Taddabur: Jurnal Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, hlm. 16
[24]Ibid, hlm. 18
[25]Prof.Dr. H. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqih, (Jakarta : Kencana, 2008), hal 482
[26]Drs. H. A. Basiq Djahl, Ilmu Ushul Fiqh, (Jakarta : Kencana, 2010), hal 207
[27] Prof.Dr. H. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqih, (Jakarta : Kencana, 2008), hal 482
[28] Drs. H. A. Basiq Djahl, Ilmu Ushul Fiqh, (Jakarta : Kencana, 2010), hal 208
[29] Prof.Dr. H. Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Ushul Fiqh, (Jakarta : Kencana, 2010), hal 171
[30]Prof.Dr. H. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqih, (Jakarta : Kencana, 2008), hal 257
[31]Drs. H. A. Basiq Djahl, Ilmu Ushul Fiqh, (Jakarta : Kencana, 2010), hal 178
[32]Ibid, hal 180
[33]Prof.Dr. H. Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Ushul Fiqh, (Jakarta : Kencana, 2010), hal 145
[34]Prof.Dr. H. Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Ushul Fiqh, (Jakarta : Kencana, 2010), hal 147
[35]Ibid, 148
[36] Drs. H. A. Basiq Djahl, Ilmu Ushul Fiqh, (Jakarta : Kencana, 2010), hal 181
[37] Drs. H. A. Basiq Djahl, Ilmu Ushul Fiqh, (Jakarta : Kencana, 2010), hal 182
[38]Prof.Dr. H. Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Ushul Fiqh, (Jakarta : Kencana, 2010), hal 152

3 komentar: