Rabu, 14 Februari 2018

Taqlid, Ittiba', Talfiq, dan Ijtihad (PAI A Semester Genap 2017/2018)




TAQLID, TALFIQ, ITTIBA`, dan IJTIHAD
dalam
USHUL FIQH
Faiqoh Hami Diyah, Shefy Badrul Lailiyah, Bela Infita Elmawati.
Mahasiswa PAI-A Angkatan 2015 UIN Maulana Malik Ibrahim Malang
e-mail: faiqohalqadrie26@gmail.com

Abstract
This article talks about the explanationof Taqlid,Talfiq, Ittiba`, and Ijtihad in UshulFiqh. The four of which have different meanings. The purpose of this article is the guidance of a Muslim in choosing the law as well as knowledge of how the legal process is established. The reality of the surrounding environment in choosing the law is very diverse, as problematic which often happened in this country concerning the wrong wayof taking the law or misused because of the lack of knowledge about Ushul Fiqh. For that it is necessary for us as Muslims to know how the process of continuity of the existing law through the science of Ushul Fiqh. Furthermore can be used as a guide in life so that we always be careful in choosing the law, as well as can be used as a medium of learning. In this Ushul Fiqhlesson we are also accompanied by arguments sourced from the Al-Qur`an andhadits.
Abstrak
Artikel ini berbicara mengenai pengertian Taqlid, Talfiq, Ittiba`, dan Ijtihad dalam Ushul Fiqh. Yang mana keempatnya memiliki arti dan maksud yang berbeda. Tujuan dibuatnya artikel ini adalah sebagai pegangan seorang umat muslim dalam memilih hukum juga sebagai pengetahuan mengenai bagaimana proses hukum ditetapkan. Kenyataan lingkungan sekitar dalam memilih hukum sangat beraneka ragam, sebagaimana problematika yang seringkali terjadi di negeri ini menyangkut cara pengambilan hukum yang salah ataupun disalah gunakan karena minimnya ilmu pengetahuan mengenai Ushul Fiqh. Untuk itu dirasa perlu bagi kita sebagai umat Muslim untuk mengetahui bagaimana proses kelangsungan hukum yang ada melalui ilmu Ushul Fiqh. Selanjutnya bisa dijadikan pedoman dalam kehidupan agar kita selalu berhati-hati dalam memilih hukum, pun dapat digunakan sebagai media pembelajaran. Dalam pembelajaran Ushul Fiqh ini juga kami sertai dengan dalil-dalil yang bersumber dari Alquran dan hadis.
Keywords: Law, Problematic, Ushul Fiqh.
A.  Pendahuluan
Ulama sependapat bahwa di dalam syari`at Islam telah terdapat segala hukum yang mengatur semua tindak tanduk manusia, baik perkataan maupun perbuatan. Hukum-hukum itu adakalanya disebutkan secara jelas, dan adakalanya hanya dikemukakan dalam bentuk dalil – dalil ataupun kaidah-kaidah secara umum. Untuk hukum yang disebutkan secara jelas, kita sebagai umat Muslim cukup menjalankan dan mengamalkan apa adanya, karena hukum tersebut telah secara tegas disebutkan oleh Allah. Tetapi untuk hal yang kedua, kita tidak bisa langsung melakukan atau mengamalkan begitu saja tanpa adanya ijtihad, maka dari itu diperlukan upaya yang sungguh-sungguh oleh para mujtahid untuk menggali hukum melalui pengkajian dan pemahaman yang mendalam. Untuk itu, dalam hal ini dibutuhkan kaidah dan pembahasan – pembahasan yang bisa dijadikan sarana untuk memperoleh hukum – hukum syara` atau disebut ilmu Ushul Fiqh.
Pada artikel kali ini, akan kami paparkan sedikit mengenai Taqlid, Talfiq, Ittiba` dan juga Ijtihad yang mana keempatnya termasuk dalam komponen ilmu Ushul Fiqh. Dalam hal ini, kita dapat berpegangan pada kalam Allah yang terdapat pada surah An-Nahl ayat 43 yang artinya: Maka bertanyalah kepada orang yang memiliki pengetahuan jika kamu tidak mengetahui. Dari ayat tersebut dengan jelas diterangkan bahwa kita tidak diperkenankan mengambil hukum sesuka hati, jika kita tidak mengetahui akan suatu hukum, hendaknya kita bertanya kepada ahli dzikir atau kepada orang yang berilmu.
Agar kita sesama umat Muslim tidak saling bercerai berai karena adanya suatu perbedaan pendapat, maka dirasa penting untuk memahami dan mempelajari tentang Taqlid, Talfiq, Ittiba`, dan juga Ijtihad guna memperkokoh benteng agama Islam. Dalam artikel yang jauh dari sempurna ini, kami akan mencoba memaparkan mengenai Taqlid, Talfiq, Ittiba`, dan juga Ijtihad.


B.  Taqlid
1.      Pengertian Taqlid
Definisi taqlid menurut para ahli adalah sebagai berikut :[1]
a.       Ibn Subki dalam kitab Jam’ul Jawami
اَحْدُ قَوْلِ الْغَيْرِ مِنْ غَيْرِ مَعْرِفَةٍ دَلِيْلِهِ

     “Mengambil pedapat orang lain tanpa mengetahui dalil hukumnya”
Penjelasan definisi :[2]
·      Maksud kata “mengambil” adalah menerima pendapat dengan penuh keyakinan baik diamalkan ataupun tidak.
·      “Mengambil pendapat orang lain” dikecualikan mengambil pendapat yang sudah ada dalam agama secara dhoruri
·      “Tanpa mengetahui dalilnya”, dikecualikan mengambil pendapat orang lain dengan mengetahui dalilnya.

b.      Al-Ghazali[3]
قَبُوْلُ قَوْلٍ بِلَا حُجَّةٍ
“Menerima Ucapan tanpa hujjah”

c.       Al-Asnawi dalam kitab Nihayat Al-Ushul[4]

التَقْلِيْدُهُوَ الاَخْد بِقَوْلِ غَيْرٍ هِ من غَيْرِ دَلِيلٍ

“Mengambil perkataan orang lain tanpa dalil”
Banyak definisi taqlid yang pada prinsipnya itu sama dengan definisi yang dikemukakan diatas. Dalam kitab Jam’u al-jawami’ dijelaskan bahwasannya menerima atau mengambil selain ucapan baik dalam bentuk perbuatan atau pengakuan tidak disebut dengan taqlid.[5]
Meskipun sudah dijelaskan diatas, namun masih tersisa pertanyaan sebagai berikut : (1) untuk apa ucapan atau pedapat orang lain itu diambil atau diterima, dan (2) bagaimana kekuatan pendapat orang yang diambil itu
Ibn al-Humman memberikan penjelasan tentang pertanyaan diatas yaitu :[6]
“Taqlid ialah beramal dengan pendapat seseorang yang pendapatnya itu bukan merupakan hujjah, tanpa mengetahui hujjahnya”.
Menerima pendapat Nabi yang bernilai hujjah dengan sendirinya, begitu pula jika menerima pendapat yang lahir dari kesepakatan dalam ijma’ tidak disebut dengan taqlid, meskipun dalam penerimaannya tanpa hujjah atau tidak mengetahui dalilnya. Sebaliknya, pendapat mujtahid perseorangan adalah bukan hujjah, maka bila seseorang mengikuti pendapat mujtahid itu tanpa mengetahui dalilnya, bisa disebut dengan taqlid.
Dari penjelasan diatas, dapat ditarik kesimpulan tentang hakikat taqlid :[7]
a.       Taqlid itu adalah beramal dengan mengikuti ucapan atau pendapat orang lain
b.      Pendapat atau ucapan orang lain yang diikuti itu tidak bernilai hujjah
c.       Orang yang mengikuti pendapat orang lain itu tidak mengetahui sebab-sebab atau dalil-dalil dan hujjah dari pendapat yang diikutinya itu.

2. Hukum Taqlid
Dijelaskan dalam Alquran surah Luqman 31:21 yang mengisyaratkan tidak memperbolehkan taqlid :[8]
وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ اتَّبِعُوا مَا أَنْزَلَ اللَّهُ قَالُوا بَلْ نَتَّبِعُ مَا وَجَدْنَا عَلَيْهِ آبَاءَنَا
“Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Ikutilah apa yang diturunkan Allah". Mereka menjawab: "(Tidak), tapi kami (hanya) mengikuti apa yang kami dapati bapak-bapak kami mengerjakannya"” (Q.S. Luqman:21)
Namun disisi lain ada ayat Alquran yang mengisyaratkan bahwa tidak semua harus belajar agama, maka yang lain hanya akan mengikuti. Dalam surat At Taubah 9:122 :
فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا
“Kenapa tidak keluar sebagian dari setiap golongan di antara mereka untuk mendalami pengetahuan agama dan mengajari (memperingatkan) kaumnya setelah kembali” (Q.S. At-Taubah: 122)
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
“ Maka bertanyalah kepada ahli ilmu, jika kamu tidak mengetahui” (Q.S. An-Nahl: 43)
Dari ketiga ayat diatas ada yang mengisyaratkan untuk bertaqlid dan ada yang tidak, maka dari itu muncullah banyak spesifikasi yang meluas dikalangan ulama’ tentang hukum bertaqlid.
Bertaqlid dalam hal ushuluddin menurut Al Ghazali berpendapat bahwa untuk mendapatkan sebuah ilmu yang yakinkan bukan memalui bertaqlid, apalagi dalam hal ushuluddin. Dimana seseorang itu harusmengetahui allah untuk yakin dan paham.[9] Akan tetapi dijelaskan oleh Al anbari bahwasannya boleh boleh saja bertaqlid dalam bidang ushuluddin dan tidak wajib ijtihad karena dalam hal ushuluddin cukup akad atau syahadat yang kuat. Alasan dikemukakannya pendapat Al Anbari ini adalah ia mengambil sudut pandang orang awam yang tidak memiliki kemampuan dalam berijtihad maka dicukupkanlah dengan aqad yang kuat dan bertaqlid pada imam yang diyakininya diperbolehkan.
Maka dari itu disimpulkan bahwa bertaqlid dalam hal ushuluddin ia akan berdosa menurut pandangan imam Al ghozali karena meningggalkan kewajiban berijtihad dan tidak berdosa menurut pandangan Al Anbari.[10]
Taqlid dalam bidang furu’ fiqhiyyah ibnu subkhi membagi menurut empat golongan :
a. Orang yang tidak mempunyai keahlian sama sekali.
b. Orang alim namun belum sampai ke tingkat mujtahid
c. Orang yang mampu melakukan ijtihad namun baru smapai tingkat dugaan kuat.
d. Mujtahid
Kebolehan bertaqlid tergantung dalam golongan tersebut. Orang yang mampu berijtihad namun hanya pada tingkatan dugaan kuat maka kedudukannya disamakan dengna mujtahid. Nah dua golongan ini dipisahkan lagi oleh Ar-razi pada dua keadaan yakni :
1) Ia bertaqlid kepada mujtahid lain dalam masalah yang sama yang hasil ijtihadnya berbeda dengan hasil ijtihadnya sendiri.
2) Dalam masalah yang ia taqlid itu, ia belum pernah melakukan ijtihad.[11]

C.  Talfiq
Talfiq (تلفيق ) berasal dari kata  لفّقyang artinya mempertemukan menjadi satu[12]. Secara definitif, talfiq adalah mengumpulkan dua pendapat atau lebih dalam satu rangkaian hukum (qadliyah)[13]. Adapun syarat tidak adanya talfiq dalam bertaqlid adalah qaul mu`tamad (pendapat yang menjadi pegangan) kalangan Syafi`iyyah, Hanafiyyah, dan Hanabilah. Sedangkan fuqoha` madzhab Malikiyyah memperbolehkan talfiq dalam hal-hal yang bersangkutan dengan ibadah.
Seperti contoh, seseorang bertaqlid pada madzhab Syafi`i dalam hal berwudlu dengan hanya mengusap sebagian kepala, di sisi lain dia bertaqlid pada madzhab Hanafi dalam hal tidak batalnya wudlu apabila bersentuhan kulit dengan lawan jenis selain mahram, kemudian dia melaksanakan sholat. Maka, wudlu dengan menggunakan tata cara seperti ini dianggap tidak sah oleh kedua imam madzhab tersebut. Karena dalam madzhab Syafi`i menganggap wudlu tersebut menjadi batal apabila bersentuhan dengan lawan jenis, sedangkan madzhab Hanafi menganggap tidak sah apabila berwudlu hanya dengan mengusap seperempat bagian kepala.
Walaupun ulama mutaakhiriin melarang tindakan talfiq dalam bertaqlid, sebagian ulama menentang keras akan pendapat ini. Pada uraian terdahulu diterangkan bahwasannya istilah talfiq dimunculkan oleh ulama mutaakhiriin, dimana saat itu orang-orang lebih cenderung berpola pikir taqlid. Pada masa-masa sebelumnya, pun pada masa Rasulullah sama sekali tidak ada istilah talfiq, karena pada masa beliau adalah masa penyampaian wahyu, sehingga ijtihad hampir tidak pernah terjadi, karena semua solusi problematika keagamaan dan kehidupan dikembalikan kepada Rasulullah SAW. Pada masa Sahabat juga tidak pernah mempermasalahkan tentang talfiq. Mereka bisa bertanya pada siapapun tanpa harus membatasi pada satu orang atau lebih. Begitupun mengenai fatwa-fatwa mereka, tidak ada yang mengharuskan untuk mengikutinya ataupun melarang mengikuti yang lain. Begitupun pada masa imam empat tidak pernah ada penyebutan larangan talfiq[14].
Adanya fakta-fakta yang disebutkan di atas menjadikan lemahnya pendapat ulama mutaakhiriin mengenai larangan talfiq. Karena pasti akan menimbulkan sebuah pertanyaan menyangkut adanya larangan talfiq yang baru dipersoalkan pada masa-masa akhir, yang mana pada masa terdahulu tidak dipersoalkan. Selain itu, larangan talfiq bertentangan dengan sabda Rasulullah SAW.

اختلافُ أمّتي رحمةٌ  (رواه البيهقي)

Artinya:
       Perbedaan di antara ummatku adalah sebuah rahmat”. (HR. Baihaqi)

       Adanya larangan talfiq juga akan bertentangan dengan syari`at Islam, yaitu bahwa Islam adalah agama yang mudah dan murah, tidak mempersempit atau mempersulit[15]. Seperti yang tertulis dalam Alquran:

وما جعل عليكم في الدّينِ من حرجٍ ( الحج 78)

Artinya:
       “Dan Dia (Allah) sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesulitan”. (Q.S. Al-Hajj: 78).

يريدُ اللهُ بكُمُ اليُسرَ ولا يريدُ بكم العُسرَ ( البقرة 185)

Artinya:
       “Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu”. (Q.S. Al-Baqarah: 185)
      
       Al-Kamal ibn Hamman pun mengatakan, bahwa tidak ada nash Alquran maupun Sunah yang mewajibkan seseorang harus terikat dengan salah satu madzhab saja. Demikian juga tidak ada nash Alquran maupun Sunah yang secara jelas melarang seseorang untuk berpindah madzhab. Yang ada adalah nash tentang kewajiban bagi orang yang tidak mengerti untuk bertanya kepada ahli dzikir sebagaimana yang difirmankan Allah SWT dalam Q.S. An-Nahl ayat 42[16].
Setelah pemaparan di atas, tidak kemudian serta merta ulama memperbolehkan pelaksanaan talfiq, karena pada kenyataannya, statemen para ulama yang memperbolehkan talfiq tidak secara mutlak, akan tetapi pada batasan-batasa tertentu. Dalam hal ini terdapat dua hal yang melarang adanya talfiq:
Pertama, talfiq yang akan menimbulkan penghalalan atas hal-hal yang haram. Seperti berzina, minum khamr, mencuri dll.
Kedua, talfiq dilihat dari sisi negatif yang akan timbul kemudian. Maka dalam hal ini diklasifikasikan menjadi tiga hal:
a.         Talfiq yang dilakukan dengan sengaja demi hanya untuk mencari keringanan saja, dalam artian memilih pendapat setiap ulama yang ringan-ringan tanpa ada udzur atau dlarurat. Maka dalam hal ini, mengambil langkah talfiq adalah dilarang.
Al-Ghazali berkata: “Seseorang tidak boleh mengadopsi pendapat-pendapat lain dengan sesuka hati. Dan bagi orang awam tidak diperbolehkan memilih pendapat yang ringan-ringan saja dari segala madzhab, sehingga bisa berbuat seenaknya sendiri” [17].
Termasuk adalah, apabila dalam memilih pendapat yang ringan-ringan hanya karena menjadi sebuah bentuk pembelaan terhadap hawa nafsu. Sedangkan mengikuti hawa nafsu sangat dilarang oleh syara`. Sebagaimana yang dipaparkan oleh Alquran:

فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ (النسا ْ 59)

Artinya:
                        “Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Alquran) dan Rasul-Nya (Sunah), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. (Q.S. An-Nisa`: 59).

                        Dalam ayat ini sangat jelas diterangkan bahwa tidak diperbolehkan mengembalikan suatu persoalan kepada nafsunya, melainkan kepada syari`at (Allah dan Rasul-Nya).
b.        Talfiq yang akan berdampak pada pembatalan keputusan hakim, karena keputusan hakim disini berfungsi untuk meyelesaikan sebuah kontroversi pendapat ulama, agar terhindar dari terjadinya kekacauan dan juga ketidakberaturan.
c.         Talfiq yang berakibat pada tercabutnya sebuah perbuatan yang sudah terlaksana atau yang sudah dikerjakan, yang mana timbul dari taqlid pada mdzhab yang lain. Seperti contoh: seorang suami berkata kepada istrinya انت طالقٌ البتّة(kamu jelas tertalak), dan pada saat itu dia berkeyakinan bahwa talaknya jatuh sebanyak tiga kali karena mengikuti ulama yang berpendapat demikian. Kemudian setelah terjadi (dan pada saat itu ia beranggapan istrinya haram atau kata lain tidak boleh diruju`), ia berubah keyakinan bahwa talaknya hanya jatuh satu kali sehingga istrinya boleh diruju` dikarenakan mengikuti pendapat ulama yang mengatakan bahwa talaknya jatuh satu kali. Maka, dalam kasus semacam ini, ia wajib berpegangan pada hukum dengan pendapat pertama. Dalam artian bahwa status istrinya tidak boleh diruju` kembali dengan keyakinannya yang baru. Dalam contoh ini terdapat unsur pencabutan perbuatan yang pertama, karena mengikuti pendapat madzhab kedua.
Dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW bersabda:
ما نهَيتُكُم عنه فاجتنبوه وما أمرتُكُم بهِ فافعلُوا منه ما استَطعْتم (رواه البخاري و مسلم)

Artinya:
   “Apa yang telah aku larang, maka jauhilah. Dan apa yang aku peritahkan kepadamu, maka laksanakanlah semampumu”. (HR. Bukhari dan Muslim)
Pada paparan hadits di atas, dikatakan bahwa dalam pelaksanaan perintah adalah sebatas kemampuan, sementara dalam hal larangan tidak ada tawar menawar atau tidak ada pembatasan (mutlak). Karena untuk mengantisipasi dampak negatif pada hal-hal yang dilarang. Karenanya, dalam hal pelarangan juga tidak boleh dilakukan talfiq, berdasarkan prinsip kehati-hatian. Sebagaimana yang disebutkan dalam sebuah hadits:
دَعْ ما يَريبُكَ الى ما لا يريبُك (رواه الترمذي و النسائي و احمد و ابن حبّان والحاكم)
Artinya:
       “Tinggalkanlah sesuatu yang meragukanmu, menuju sesuatu yang tidak meragukanmu”. (HR. Turmudzi, Nasa`i, Ibnu Hibban, dan Al-Hakim).
       Pada intinya, dalam bertalfiq yang terpenting adalah meninggalkan maksud dalam penurutan terhadap hawa nafsu. Karena syari`at tidak terbangun atas dasar penurutan hawa nafsu, justru bertindak sebagai pengendalinya. Maka dari itu, setelah berupaya maksimal dengan segenap kemampuan, maka semuanya kembali pada hati nurani.

D.  Ittiba`
Ittiba ditinjau dari segi bahasa berarti “menurut” atau “mengikuti”, sedangkan orang yang diikuti disebut muttabi. Ushuliyyin mengatakan bahwa itiiba` adalah mengikuti atau menerima semua yang diperintahkan atau dilarang atau dibenarkan oleh Rasulullah SAW. Dalam versi lain, ittiba` diartikan mengikuti pendapat orang lain dengan mengetahui alasan atau argumentasinya mengenai pendapat yang diikuti[18]. Sedangkan ittiba` di kalangan Ahli Sunnah memiliki dua makna. Pertama, mengikuti apa-apa yang diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW melalui wahyu. Kedua, mengikuti pendapat seseorang yang disertai dengan dalil yang cukup kuat bersumber dari ayat Alquran, sunah Nabi SAW serta atsar Sahabat[19].

Ittiba` bisa dibagi menjadi dua bagian, yaitu:
a.       Ittiba` kepada Allah dan Rasul-Nya.
b.      Ittiba` kepada selain Allah dan Rasul-Nya.

Ittiba` terhadap Allah dan Rasul-Nya adalah wajib sesuai dengan Firman Allah SWT dalam Alquran surah Al-A`raf ayat 3 yang berbunyi:

اتَّبِعُوا مَا أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ مِنْ رَبِّكُمْ وَلَا تَتَّبِعُوا مِنْ دُونِهِ أَوْلِيَاءَ ۗ قَلِيلًا مَا تَذَكَّرُونَ
Artinya:
       “Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (daripadanya). (Q.S. Al-A`raf: 03).
       Mengenai ittiba` kepada para ulama ataupun mujahid (selain Allah dan Rasul-Nya) terdapat beberapa perbedaan. Menurut Imam Ahmad bin Hanbal, ittiba` hanya boleh dilakukan terhadap Rasul. Sedangkan pendapat lain mengatakan bahwa ittiba` diperbolehkan kepada ulama yang dikategorikan sebagai waratsatul anbiya` (pewaris para Nabi)[20], dengan alasan Firman Allah yang terdapat pada surah An-Nahl ayat 43 yang berbunyi:
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
Artinya:
       “Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui,” (Q.S. An-Nahl: 43).

       Yang dimaksud dari kata الذكر(orang-orang yang punya ilmu pengetahuan) dalam ayat itu adalah orang-orang yang ahli dalam ilmu Alquran dan Hadis, dan bukan orang-orang yang memiliki pengetahuan hanya berdasarkan pengalaman semata, karena orang-orang yang seperti ini dikhawatirkan akan seringkali melakukan penyimpangan-penyimpangan di dalam menafsirkan ayat-ayat Alquran dan Hadis Nabi. Maka dari itu, tidak dibenarkan untuk berittiba` dengan orang-orang semacam ini[21].
      

E.  Ijtihad
1.    Pengertian
Ijtihad berasal dari kata (jahada) yang berarti pencurahan segala kemampuan untuk memperoleh suatu dari berbagai urusan. Sedangkan secara istilah menurut salah satu ahli ushul fiqh adalah “pengerahan segenap kesanggupan oleh seorang ahli fiqh atau mujtahid untuk memperoleh pengetahuan tentang hukum-hukum syara”. Salah satu motivasi untuk melakukan ijtihad yaitu saat Umar bin Khattab berkata pada Abu Musa Al-Asy`ariy:
“Keputusan yang kamu buat hari ini, hendaknya tidak menghalangimu untuk merevisi pendapatmu agar kamu diberi petunjuk untuk melihat kembali kebenaran. Sesungguhnya kebenara itu bersifat qadim (abadi), tidak ada sesuatupun yang bisa membatalkannya. Meneliti kembali kebenaran itu lebih baik dari bersikukuh pada kebatilan[22]
2.      Dasar-dasar penetapan ijtihad sebagai dasar tasyri’. [23]
a.       Alquran
Alquran sedikitpun tidak mengalami perubahan apapun baik ditinjau dari segi isi, lafadz pun susunan redaksinya juga hukum-hukum yang terkandung di dalamnya. Hal ini sudah dijamin oleh Allah Swt dalam firman-Nya:[24]

إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ

Artinya:
Sesungguhnya Kami telah menurunkan al-Dzikr (Alquran), dan sungguh Kami selalu menjaganya”. (Q.S. Al-Hijr: 09)

Adapun dalam surat an-nisa’ ayat 59 telah dijelaskan:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ ۖ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ

Artinya:
Hai orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasululah dan orang orang yang memegang kekuasaan di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Alquran) dan Rasul (Hadis)”.[25]

Dalam ayat diatas dijelaskan bahwasannya diperintahkan untuk mengembalikan segala sesuatu permasalahan kepada Allah dan Rasululah yang telah mensyariatkan dalam nash nashnya.[26] Jadi Alquran adalah sebaik baik rujukan dalam setiap permasalahan dengan keyakinan Alquran adalah kitab yang diturunkan kepada Nabi penutup zaman yakni Muhammad saw sebagai kitab penyempurna bagi kitab-kitab sebelumnya untuk menjadi pedoman bagi penganut agama islam yang berlandaskan rahmatan lil’alamin.[27]
b.      Sunah
Berikut adalah hadist yang menjadi dasar sunnah menjadi dasar ijtihad. Hadist ini diriwayatkan oleh Al-Baghawi dari Muadz bin Jabal yang artinya :
“Pada waktu Rasulullah mengutusnya (Muadz bin Jabal) ke Yaman, Nabi bersabda untuknya : Bagaimana kalua engkau diserahi urusan peradilan? Jawabnya : Saya menetapkan perkara berdasarkan Alquran. Sabda Nabi selanjutnya : Bagaiman akalau tidak kau dapati dalam Alquran? Jawabnya : Dengan sunnah Rasul. Sabda Nabi selanjutnya: Bila dalam sunnah pun tak kau dapati? Jawabnya : saya akan mengarahkan kesanggupan saya untuk menetapkan hukum dengan pikiranku. Akhirnya Nabi menepuk dada dengan mengucap semua puji bagi Allah yang telah memberi taufik (kecocokan) pada utusan Rasulullah (Muadz)” . [28]
c.       Dalil Aqli
Allah swt menjadikan Nabi muhammad sebagai pembawa syariat agama terakhir sampai akhir zaman, sedangkan ayat dan sunah terbatas, serta zaman terus berkembang dan persoalan-persoalan semakin kompleks sesuai dengan kemajuan zaman.[29] Dengan keadaan seperti ini harus ada jalan keluar yakni :
Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Said bin Musayyab dari Ali bin Abi Tholib yang artinya :
“Saya berkata pada Nabi : Masalah yang perlu mendapatkan ketentuan yang hukumnya selalu datang. Tetapi ayat-ayat Alquran tidak turun, dan tidak juga ada penetapan darimu. Maka Sabda Nabi : Kumpulkan orang-orang pandai atau dalam satu riwayat orang-orang Ibadah (Abidin) dikalangan kaum mukmin, maka adakan musyawarah dan jangan menetapkan keputusan dengan hanya berdasarkan satu pendapat”.[30]

3.         Fungsi ijtihad
Dalam kitab pertama ushul fiqh yakni Ar-risalah karangan Imam Syafi’I, beliau menegaskan betapa sempurnanya Alquran : “Maka tidak terjadi suatu peristiwa pun pada seorang pemeluk agama Allah, kecuali dalam kitab Allah terdapat petunjuk tentang hukumnya”. Menurut Imam Syafi’I Alquran mengandung hukum-hukum yang bisa menjawab berbagai permasalahan hanya bisa digali dengan ijtihad. Nah, dari pernyataan tersebut dapat disimpulkan betapa pentingnya kedudukan Ijtihad disamping Alquran dan Sunah. Selain itu ijtihad juga berfungsi untuk mengembangkan prinsip-prinsip hukum yang ada dalam Alquran dan Sunah karena dengan ijtihad ayat dan sunah yang terbatas bisa menjawab segala permasalahan yang tidak terbatas jumlahnya.[31]

4.         Macam-macam ijtihad
Dari sudut pandang jumlah pelakunya, Ijtihad terbagi menjadi 2: [32]
a.    Ijtihad Fardhi
Yakni ijtihad yang dilakukan seorang mujtahid dalam memecahkan persoalan secara individu bukan kelompok.
b.    Ijtihad Jama’i
c.    Yakni ijtihad yang dilakukan sekelompok mujahidin untuk mengadakan analisa terhadap suatu persoalan dan mencari jawaban melalui ijtihad keputusan bersama.

Ditinjau dari segi lapangannya, ijtihad dibagi menjadi 3 :[33]
a. Ijtihad terhadap sesuatu yang dhanni atau belum jelas, yakni denganmentarjihkan pemahaman yang tepat dan sesuai dengan maksud-maksudnash.
b. Ijtihad untuk menghasilkan hukum syara’ dengan penetapan kaidahkulliyah yang bisa diterapkan tanpa adanya nash atau ijma’ didalamnya.
c. Ijtihad birro’yi yakni berijtihad dengan berpanduan pada tanda dan wasilah yang telah ditetapkan syara’ untuk menunjukan suatu hukum. Hal ini bisa diterapkan pada persoalan yang tidak ada nashnya dan tidak bisa diterpakan dengan kaidah kulliyah.

5.         Syarat-syarat menjadi mujtahid[34]
a.    Mampu memahami Alquran secara keseluruhan, yakni baik tekstual maupun kontekstual. Kemampuan ini harus dimiliki oleh mujtahid karena Alquran memiliki beberapa aspek yang harus dipertimbangkan saat mefsirkan sebuah ayat. Misalnya asbabu nuzul, dan segi bahasanya.
b.    Mampu memahami hadis-hadis hukum, Menurut sebagian ulama’ misal Ibnu ‘arabi ahli tafsir dari kalangan malikiyah dinukil oleh wahbah az zuhaili harus hafal sekitar 3000 hadis hukum, menurut ahmad hambal 1200 hadis. Namun dari kesemua itu menurut wahbah azzuhaili tidak sepakat atas pembatasan memahami hadis tersebut. Dalam artian seorang mujtahid harus mamu lebih global dari pada hal itu.
c.    Menguasai ilmu ‘ulumul Qur’an.
d.   Memahami asbabun nuzul setiap ayat Alquran dan Asbabul wurud sebuah hadist.
e.    Menguasai bahsa arab secara lengkap.
f.     Menguasai ilmu ushul fiqh.
6.         Tingkatan ijtihad berdasarkan tingkatan mujtahid[35]
a.    Mujtahid Musaqil
Tingkatan ini adalah tinggakatn paling tinggi dalam level seorang mujtahid, karena dia mampu berijtihad secara independen dan tidak taqlid kepada mujtahid lain, baik dari segi metode maupun hasil ijtihadnya. Mereka punya metode sendiri dan melakukan metode itu pula dalam berijtihad. Contoh dalam tingkatan ini adalah imam emapt madzhab. Imam Abbu Hanifah, Imam Malik, Imam syafi’I dan Imam Ahmad bin Hanbal.
b.    Mujtahid Muntasib
Mujtahid level ini seorang mujtahid berpegang pada ushul fiqh seorang mujtahid mustaqil, meskipun mereka bebad berijtihad tanpa terikat dengan seorah Mujahid Mustaqil. Contoh mujahid tingkat ini ialahMuhammad bin Al Hasan Syaibani, Qadhi Abu Yusuf, Al Muzanni dll.
c.    Mujtahid Fii Madzhab
Pada tingkat ini seorang mujtahid bertaqlid pada seorang imam, dan akan berijtihad apabilan tidak ditemukan suatu hukum dalam buku-buku imam tersebut dan tidak berijtihad hukum-hukum yang sudah ditetapkan imam mujtahid panutannya. Contoh mujtahid level ini adalah Abu hasan al karkhi, Abu Ja’far At thahawi dll.

F.   Penutup
Setelah melihat dan mempelajari hasil kajian diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa hakikatnya manusia dianugerahi oleh Allah berupa akal untuk berfikir, jiwa untuk merasa, keinginan juga nafsu untuk dapat menjalankan kewajiban yang seharusnya kita kerjakan, seperti beribadah untuk menjalankan syari`at agama Islam sesuai dengan petunjuk Alquran dan Sunah. Disamping berpedoman pada hukum Allah dan Rasulullah, manusia pun bisa melakukan ibadah lantaran patuh terhadap perintah ulama. Karena asal muasalnya perintah ulama pun bersumber dari Allah SWT. Memang dalam hukum Ushul Fiqh diperbolehkan untuk mengikuti ulama tanpa tau dalil hukumnya (taqlid), namun alangkah baiknya jika kita mengikuti ulama dengan mengetahui dalil – dalil hukumnya (ittiba`).
Dalam mengambil suatu hukum harus disertai dengan kehati – hatian dalam artian mengikuti pendapat ulama yang wara` serta bersungguh – sungguh dalam memperoleh hukum syara` (ijtihad). Kemudian, saat telah berpedoman pada satu hukum atau satu madzhab, hendaknya tidak mengikuti madzhab lain (talfiq) hanya demi untuk memenuhi hawa nafsunya saja (menyepelekan hukum dengan mencari hal-hal yang ringan saja) tanpa adanya kepentingan mendesak atau dlarurot. Sesungguhnya Islam adalah agama yang indah, agama yang mudah dan tidak mempersulit. Tetapi meskipun begitu, kita sebagai umat Muslim hendaknya semakin memperindah Islam itu sendiri dengan tidak menyepelekan hal sekecil apapun juga menghargai perbedaan, layaknya Imam Syafi`i yang tidak berqunut di rumah Imam Malik, pun Imam Malik yang berqunut di rumah imam Syafi`i. Wallahu a`lam bisshowab.
DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, Asjmuni.Pengantar kepada Ijtihad. Jakarta: Bulan Bintang,1978.
Effendi, Satria Zein, M. Ushul Fiqh.Jakarta: Prenamedia Group, 2005.
Koto, Alaiddin. Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh. Jakarta: Rajawali Pers, 2011.
Nor Najwa Ghazali-Musthafa Abdullah. Tafsiran Fiqh Syekh Abu Bakar Al-Ashaari: Satu Anjakan Paradigma. Shariah Journal. Vol. 16 No. 01, 2008.
Pokja Forum Karya Ilmiah (FKI). Kilas Balik Teoritis Fiqh Islam. Kediri: Hidayatul Mubtadi-ien Lirboyo, 2008.
Syarifudin, Amir. Ushul Fiqh 2 edisi revisi. Jakarta: Kencana, 2008.
Suyatno. Dasar-dasar Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2011.
Yusdani, Amir Mu’allim.Ijtihad dan Legislasi Muslim Kontemporer. Yogyakarta: UII Press, 2004.
Yasin, Ahmad. Ilmu Ushul Fiqh, (Paper presented at Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Ampel Surabaya. Surabaya, 10 Juli 2013).
Zaidan, Abdul Karim. Pengantar Studi Syariat.Jakarta: Robbani Press, 2008.

Catatan:
1.      Similarity 7%. Lumayan bagus...
2.      Abstrak masih belum sesuai
3.      Referensi yang diulang tidak perlu dicantumkan semua keterangan bukunya.


[1] Amir Syarifudin. Ushul Fiqh 2 edisi revisi. (Jakarta: Kencana,2008). Hlm. 459
[2] Ibid
[3] Amir Syarifudin. Ushul Fiqh 2 edisi revisi. (Jakarta: Kencana,2008). Hlm. 460
[4] Ibid
[5] Ibid. 461
[6] Ibid
[7] Ibid. 462
[8] Ibid. 464
[9] Amir Syarifudin,Ushul Fiqh 2 edisi revisi, (Jakarta: Kencana,2008), hlm. 465
[10] Ibid. 466
[11] Ibid. 467
[12] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh 2, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2008), hlm. 482
[13] Pokja Forum Karya Ilmiah (FKI), Kilas Balik Teoritis Fiqh Islam, (Kediri: Hidayatul Mubtadi-ien Lirboyo, 2008), hlm. 397
[14] Ibid
[15] Ibid
[16] Suyatno, Dasar-dasar Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), hlm. 46
[17] Pokja Forum Karya Ilmiah (FKI), Kilas Balik Teoritis Fiqh Islam, (Kediri: Hidayatul Mubtadi-ien Lirboyo, 2008), hlm. 401
[18] Alaiddin Koto, Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), hlm. 129
[19] Nor Najwa Ghazali-Musthafa Abdullah, Tafsiran Fiqh Syekh Abu Bakar Al-Ashaari: Satu Anjakan Paradigma, Shariah Journal, Vol. 16 No. 01, 2008, hlm. 53
[20] Ibid
[21] Ibid
[22] Abdul Karim Zaidan, Pengantar Studi Syariat, (Jakarta: Robbani Press, 2008), hlm. 188
[23]Amir Mu’allim, Yusdani, Ijtihad dan Legislasi Muslim Kontemporer, (Yogyakarta: UII Press, 2004). Hlm. 11-12
[24] Ahmad Yasin, Ilmu Ushul Fiqh, (Paper presented at Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Ampel Surabaya, Surabaya, 10 Juli 2013).
[25]Asjmuni Abdurrahman, Pengantar kepada Ijtihad, (Jakarta: Bulan Bintang, 1978), Hlm. 11
[26]Ibid
[27]Amir Mu’allim, Yusdani, Ijtihad dan Legislasi Muslim Kontemporer, (Yogyakarta: UII Press, 2004). Hlm. 43
[28]Asjmuni Abdurrahman,  Pengantar kepada Ijtihad, (Jakarta: Bulan Bintang, 1978), Hlm. 11
[29]Ibid. 13
[30]Ibid. 11
[31]Satria Effendi, M. Zein, Ushul Fiqh, (Jakarta: Prenamedia Group, 2005), Hlm. 249
[32]Ibid. 17
[33]Asjmuni Abdurrahman, Pengantar kepada Ijtihad, (Jakarta: Bulan Bintang, 1978), Hlm. 18
[34]Satria Effendi, M. Zein, Ushul Fiqh, (Jakarta: Prenamedia Group, 2005), Hlm. 251-255
[35]Satria Effendi, M. Zein, Ushul Fiqh, (Jakarta: Prenamedia Group, 2005), Hlm. 256-258

Tidak ada komentar:

Posting Komentar