Senin, 18 Februari 2019

Taqlid, Talfiq, Ittiba, dan Ijtihad dalam Ushul Fiqh (PAI C Semester Genap 2018/2019)




Taqlid, Talfiq, Ittiba, dan Ijtihad dalam Ushul Fiqh

Rofiatul ilmi dan Mohammad Roofi’i
Mahasiswa Pendidikan Agama Islam Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang

Abstract

       Taqlid is charity based on the sayings of others who are not shari'ah values ​​or also the arguments of the opinions they follow. It is a criterion that is bertaklid and can be linked to the mujtahid as the implementation of shara'a law there are several layers or there are several levels, namely: Mujtahid, Muttabi ', Muqallid. Human ability itself is different in using its reason, partly in certain conditions, in the law it can change, even in the law it becomes permissible or becomes corrupt and has been explained in the letter Al Baqarah verse 170. Ittiba 'comes from the word ittaba 'a which means Following, as for the term is to follow someone's opinion whether it is the ulama' or the other, with the basis of the knowledge or theorem used by the ulama ', there are many words of Ittiba' in the Al-Qur'an including Qs. Al-Baqarah Ayat 38. Ittiba 'comes from the word ittaba'a which means Following, as for the term is to follow someone's opinion whether it is ulama' or another, with the basis of the knowledge or theorem used by the cleric, there are many words Ittiba 'in the Qur'an including in Qs.Al-Baqarah Verse 38. Ittiba' itself gets the highest position in Islam, Because Ittiba 'merup will be proof of the truth of love for Allah Almighty and His Messenger, Ittiba; to the Apostle is one of the conditions accepted by Amal, and is the main characteristic of the Guardians of God. Talfiq is an act that the person has followed a school then he uses the opinion of other schools one or more by reason of benefit. This act was permitted by the scholars because the scholars did not tie a circle or individual to take part in a single school. But this action is not permissible if the school moves only to find peace without thinking about the benefit of the people. Ijtihad is related to the source of Islamic law, and to clarify the facts, which comes from the word "jahda" which can be interpreted as "al-masyaqqah" which means difficult / difficult, difficult or can be interpreted difficult. In the Qur'anic letter An Nahl verse 38 Allah has explained that "they swear by Allah's name will not raise those who have died.

Abstrak
Taqlid adalah beramal yang berdasarkan ucapan orang lain yang bukan bernilai syari’ah atau juga dalil dari pendapat yang diikutinya. Hakikat merupakan kriteria yang bertaklid dan dapat dihubungkan dengan mujtahid sebagai pelaksanaan hukum syara’ terdapat beberapa lapis atau terdapat dalam beberapa tingkatan yaitu: Mujtahid, Muttabi’, Muqallid. Kemampuan manusia itu sendiri berbeda-beda di dalam menggunakan akalnya, sebagian di dalam kondisi tertentu, di dalam hukum dapat saja berubah, bahkan didalam hukumnya menjadi boleh atau menjadi mubah dan sudah dijelaskan di dalam surat Al Baqarah ayat 170. Ittiba’ berasal dari kata ittaba’a yang berarti mengikuti, adapun secara istilah adalah mengikuti pendapat seseorang baik itu ulama’ atau yang lain, dengan di dasar ilmu pengetahuan atau dalil yang dipakai ulama’ tersebut, terdapat banyak sekali kata Ittiba’ dalam Al-Qur’an  diantaranya di dalam Qs Al-Baqarah Ayat 38. Ittiba’ berasal dari kata ittaba’a yang berarti Mengikuti, adapun secara istilah adalah mengikuti pendapat seseorang baik itu ulama’ atau yang lain, dengan di dasar ilmu pengetahuan atau dalil yang dipakai ulama’ tersebut, terdapat banyak sekali kata Ittiba’ dalam Al-Qur’an  diantaranya dalam Qs.Al-Baqarah Ayat 38. Ittiba’ sendiri mendapat kedudukan tertinggi di dalam islam, Karena Ittiba’ merupakan bukti kebenaran cinta pada Allah swt dan Rasulnya, Ittiba; pada Rasul merupakan salah satu syarat diterima Amal, dan merupakan sifat Utama Wali-wali Allah. Talfiq  adalah suatu perbuatan yang orang tersebut telah mengikuti suatu madzhab kemudian ia menggunakan pendapat dari madzhab yang lain satu atau lebih dengan alasan kemaslahatan. Perbuatan ini diperbolehkan oleh para ulama sebab para ulama tidak mengikat suatu kalangan atau individu untuk mengikuti satu madzhab saja. Tetapi perbuatan ini tidak diperbolehkan jika berpindah nya madzhab hanya untuk mencari keringan tanpa memikirkan kemaslahatan umat. Ijtihad berkaitan dengan sumber hukum Islam, dan untuk memperjelas urainnya yaitu berasal dari kata “jahda” yang bisa diartikan “al-masyaqqah” yang artinya sulit/berat, susah ataupun bisa diartikan sukar. Di dalam Al Qur’an surat An Nahl ayat 38 Allah telah menerangkan bahwa “mereka bersumpah dengan nama Allah tidak akan membangkitkan orang yang yang telah meninggal.

Keywords: Taqlid, Ittiba’, Talfiq, Ijtihad.

A.  Pendahuluan
Manusia telah diperbolehkan untuk tinggal di bumi ini mulai dari zaman Nabi Adam sanpai zaman yang telah modern ini. Manusia diciptakan oleh Allah SWT sebagai makhluk yang mampu menggunakan akal pikirannya untuk menyikapi suatu permasalahan sebagaimana yang telah dijelaskan secara jelas dalam firmannya surah Ar-Rahman ayat 3-4. Sebagai makhluk yang mampu berfikir, manusia diperintahkan oleh Allah untuk selalu mengambil hikmah pengajaran dibalik penciptaan alam semesta ini. Manusia juga diperintahkan untuk selalu ta’at akan aturan yang telah ditetapkan oleh Allah SWT yang disampaikan oleh Rasulullah melalui perantara malaikat jibril. Perintah-perintah dan larangan-larangan tersebut termaktub  dalam kitab Al-qur’anul karim. Adanya aturan tersebut tidak lain hanya untuk menjadikan hidup manusia lebih teratur dan agar tidak terjadi perbuatan yang tidak diharapkan. Semua itu diharapkan untuk selalu taat dengan syariat yang telah menjadi hukum qath’i tersebut.
Pada zaman dahulu para sahabat jika tidak faham tentang suatu dalil maka langsung bertanya kepada Rasulullah saw. sebab sering terjadi perbedaan pemahaman di kalangan sahabat sendiri.Kemudian sahabat menyampaikan hal tersebut kepada umat agar menadi ilmu yang dapat diteruskan ke generasi selanjutnya. Namun dalam perjalanannya terjadi perbedaan pemahaman juga didalam menafsirkan ajaran sahabat. Sehingga muncullah imam madzhab yang termasyhur di dunia Islam yang menjadi kiblat untuk menentukan hukum suatu permasalahan syariah. Hal ini menjadikan kontradiksi didalam penetapan hukum dalam islam karena tidak semua imam memiliki pendapat yang sama meskipun dasar yang dipakai sama kuatnya.
            Penetapan hukum yang dilakukan oleh para mujtahid yang bersifat dhanny adalah usaha untuk menerjemahkan persoalan yang belum ditetapkan hukumnya dengan berpegang pada Al Quran dan Hadits. Para mujtahid ini mulai ada ketika zaman tabi’it tabi’in yaitu pada masa kejayaannya Bani Abbasiyah, yang pada saat itu ilmu pengetahuan berada pada puncaknya. Ketika runtuhnya Islam di Baghdad banyak kalangan muslim yang menyatakan bahwasannya ijtihad telah ditutup dan menetapkan ijtihad termasyhur yakni madzhab Maliki, Hambali, Syafi’i dan Hanafi sebagai tempat hujjah tentang berbagai persoalan yang ada. Tetapi perkembangan zaman yang terus menerus lama kelamaan akan selalu memunculkan masalah baru yang bisa jadi belum secara jelas telah ditetapkan hukumnya. Karena semakin maju kehidupan manusia akan semakin kompleks pula permasalahan yang ada. Maka kita harus melakukan upaya untuk menyelesaikan permasalahan ini agar terciptanya kemaslahatan bersama.
            Dari hal tersebut dalam menetapkan suatu hukum dengan permasalahan yang baru kita tidak boleh serta merta langsung mengambil kesimpulan dari pemikiran subjektif belaka, kita juga perlu mengikuti imam mujtahid yang telah dulu mencari sumber penetapannya sesuai dengan Al Quran dan Hadits, serta jarak masa mereka dengan Rasulullah jauh lebih dekat dari pada kita. Sehingga lebih mengetahui apa yang disampaikan oleh Rasulullah SAW daripada kita. Oleh karena itu, dengan hal ini ijtihad sebenarnya tidak sepenuhnya tertutup sebab kehidupan ini dinamis dan pastilah permasalahan juga akan terus ada. Tetapi ijtihad pun tidak serta merta kita langsung menentukan, karena terdapat ulama salaf yang lebih dulu melakukan pencarian hukum dan masa mereka lebih dekat. Maka kita sebagai manusia yang hidup di era modern ini tetap boleh mengikuti ulama yang lain serta tetap mencari dalil hukum mengapa hukum itu ditetapkan.
            Maka di dalam artikel ini penulis akan mencoba menjelaskan tentang ijtihad, taqlid, talfiq dan ittiba’, yakni berbagai istilah yang ada dalam ushul fiqh. Sehingga dalam menjalankan kehidupan yang ada kita tidak asal untuk melakukan sesuatu dalam ibadah syariah yang telah ditetapkan oleh Allah saw dan hadits Nabi Muhammad saw. untuk mencari keridhoannya, serta hukum melakukan hal-hal tersebut bagi umat Islam sebagai penerus risalah Rasulullah saw.
B. Taqlid
a.       Pengertian Taqlid
Taqlid yaitu mengikuti beberapa pendapat dari sumber mana saja tanpa mengetahui sumber serta alasannya. Taqlid juga berasal dari kata qalada, yuqalidu, taqlidan yang berarti menirukan, menyerahkan, menghiasi, serta menyimpangkan. Dari arti kata secara etimologi taklid juga memiliki arti yaitu “mengalungi” yang berarti yaitu mengikuti seseorang secara patuh dan taat (menerima dengan lapang dada ucapan orang lain tanpa hujatan).  Ibnu Al Humam berpendapat bahwa Taklid adalah seseorang yang beramal dengan pendapat seseorang yang tidak berkedudukan sebagai hujah, tanpa mengetahui hujahnya.” Taklid juga dapat diartikan sebagai beramal yang berdasarkan ucapan orang lain yang bukan bernilai syari’ah atau juga dalil dari pendapat yang diikutinya. Hakikat merupakan kriteria yang bertaklid dan dapat dihubungkan dengan mujtahid sebagai pelaksanaan hukum syara’ terdapat beberapa lapis atau terdapat dalam beberapa tingkatan yaitu:
1.      Mujtahid yang mengartikan bahwa hal tersebut berhubungan dengan hukum syara’ yang dilalui dan ditemukan melalui  ijtihadnya sendiri dan beramal di dalam agama dengan hasil ijtihadnya tersebut.
2.      Muttabi’ mengartikan bahwa orang yang bertaqlid adalah orang yang tidak mampu menghasilkan pendapatnya sendiri mengenai hukum, padahal ia mengetahui alasan dan juga dalil.
3.      Muqallid mengartikan bahwa orang yang tidak mampu menghasilkan pendapat dari dirinya sendiri tentang bagaimana hukum, dan hal tersebut merupakan sebagian dari orang-orang yang hanya mengikuti saja tanpa mengetahui dalil serta alasan dari pendapatnya.[1]

b.      Hukum Bertaqlid
Asal hukum bertaqlid menurut ulama adalah haram, karena Allah SWT menciptakan manusia semesta alam sesuai dengan akalnya. Akan tetapi, kemampuan manusia itu sendiri berbeda-beda di dalam menggunakan akalnya, sebagian di dalam kondisi tertentu, di dalam hukum dapat saja berubah, bahkan didalam hukumnya menjadi boleh atau menjadi mubah. Asal-usul dari mengharamkannya hukumbertaqlid terdapat ayah Al Qur’an di surat Al Baqarah ayat 170:
وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ اتَّبِعُوا مَا أَنْزَلَ اللَّهُ قَالُوا بَلْ نَتَّبِعُ مَا أَلْفَيْنَا عَلَيْهِ آبَاءَنَا ۗ أَوَلَوْ كَانَ آبَاؤُهُمْ لَا يَعْقِلُونَ شَيْئًا وَلَا يَهْتَدُونَ     
yang artinya: “Apabila engkau dikatakan kepada mereka, ikutilah apa yang telah diturunkan oleh Allah SWT, dan merka pun menjawabnya, “Tidak” tetapi kami hanyalah mengikuti apa yang telah kami dapati dari perbuatan nenek moyang kami. ”Dan apakah mereka akan mengikutimu juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui dari suatu apapun, dan juga tidak mendapat petunjuk?”
Menurut pendapat sebagian ulama bahwa Taqlid berhukum haram karena taqlid dilakukan jika yang diikuti adalah orang-orang yang menyesatkan, sebagaimana orang-orang jahiliah yang memegang pendapat dan perilaku dari seorang nenek moyang, kalau di kaji ulang kembali nenek moyang mereka adalah orang-orang tidak mengetahui dan bahkan mereka juga tidak memperoleh petunjuk dari siapapun.
Surat Al Baqarah Ayat 170 yang sudah dijelaskan di atas jika dapatdikaji ulang dan difahami dengan Mafhum mukhalafah dapat dikeluarkan kandungan di dalam hukumnya, dan bahwa bertaqlid kepada orang-orang yang telah memiliki pengetahuan yang sangat luas dan telah mendapat petunjuk itu sangat diperbolehkan, karena orangyang alim jika ditaqlidi, maka tidak akan membawa pada kesesatan.[2]
Untuk menentukan hukum dari bertaklid tidak dapat diambil secara sepihak saja, harus bisa melihat dari berbagai sisi dan segi:
a.       Sebagian Ulama melakukan Taklid oleh mujtahid kepada mujtahid lain ada beberapa pendapat diantaranya: kebanyakan Ulama mengatakan bahwa haram seorang mujtahid melakukan taklid tersebut secara mutlak  karena semua itu hanya mampu melakukan ijtihad dengan sendirinya. Ulama Ahmad bin Hanbal, Abu Ishaqk bin Al Rahawaih dan juga Sofyan al-Tsauri menyebutkan bahwa boleh nya mujtahid melakukan taklid kepada mujtahid lain secara mutlak. Imam Syafi’i di dalam qaul qadimnya bertaqlid terhadap mujtahid lain yang terdapat di dalam level termasuk sahabat nabi dan juga tidak boleh kepada mujtahid yang lain. Ibnu sureij boleh atau tidaknya mujtahid bertaklid bila seseorang tersebut sedang melaksanakan tugas sebagai qadhi.
b.      Hukum taqlid yang pernah dilakukan seseorang oleh al-muttabi’. Berikut pendapat yang dikemukakan oleh beberapa ulama bahwa tidak boleh seorang muttabi’ bertaklid kepada mujtahid yang beberapa seseorang tersebut mempunyai kemampuan mendapatkan hukum secara sendirinya belum mencapai kemampuan seorang mujtahid dan juga harus mempunyai beberapa syarat yang harus mengetahui kekuatan dalil yang telah digunakan oleh mujtahid yang dianutnya.[3]

c.       Alasan-alasan diperbolehkannya Taqlid
Sebagian para ulama mengartikan tentang ilmu agama. Kemalasan dan ketidakmampuan untuk mencari ilmu agama maka taqlid nya adalah haram, lain lagi jika orang tersebut jauh dari peradaban dan tidak tersentuh oleh ulama maupun da’i-da’i, dan orang tersebut di dalam keadaan bodoh, maka orang tersebut diperbolehkan untuk bertaqlid kepada siapapun yang akan dipandang dan mengerti agama. Di dalam Al Qur’an sudah dijelaskan di dalam surat An Nahl ayat 43
وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ إِلَّا رِجَالًا نُوحِي إِلَيْهِمْ ۚ فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
Artinya: “dan kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang kami beri wahyu kepada mereka, maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” Dan juga terdapat di surat Al-Isra’ ayat 36:
وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ ۚ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَٰئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا

Artinya: “Dan janganlah kamu mengikuti apayang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Dan sesungguhnya panca indera sampai ke hati semuanya akan diminta pertanggung jawabannya.” Ayat tersebut melarang untuk taqlid dan juga memerintahkan manusia untuk bertanya, jangan berdiam diri jika tidak mengetahui tentang sesuatu. Dan demikian beberapa alasan untuk memerintahkan manusia untuk bertanya. Dan jangan berdiam diri jika tidak mengetahui ilmu tentang taqlid tersebut. Syarat-syarat taqlid dibagi menjadi dua, yaitu syarat terhadap soal-soal yang ditaqlidi. Dengan demikian, alasan orang boleh ditaqlidi yaitu:[4]
1.      Orang biasa atau orang awam
2.      Orang tunarungu, orang tunawicara, orang buta
Taqlid yang diharamkan yaitu Taqlid yang tidak memperdulikan atau mengabaikan Al Qur’an dan Hadits.

C. Ittiba’
a.       Definisi Ittiba’
Ittiba’ secara Bahasa yaitu berasal dari mazdar dari fi’il “ittaba’a – yattabi’u – ittiba’an” yang memiliki arti “mengikuti” atau “menurut”. Sedangkan apabila di artikan secara istilah, ittiba’ berarti mengikuti pendapat orang lain, dalam halini adalah mujtahid atau mufti dengan mengetahui dasar serta sumber dari pendapat itu. Sedangkan dikalangan ulama’ ushul ittiba’ adalah mengikuti atau menerima semua yang diperintahkan atau dilarang atau dibenarkan oleh Rasulullah SAW. Orang yang melakukan ittiba’ disebut dengan Muttabi’.[5]
Berdasarkan penjelasan diatas dapat kita ambil bahwa pengambilan pendapat melalui jalan ittiba’ tidak semata langsung dilakukan tanpa adanya proses pemikiran yang mendalam. Terutama pendapat dari kaum mujtahid. Hal ini juga disampaikan oleh Dr. Hasbuyallah M.Ag di dalam buku “Fiqh dan Ushul Fiqh” bahwa para imam mujtahid berpesan agar tidak secara langsung menggunakan hasil dari ijtihad mereka, namun harus melalui pemikiran yang mendalam dan sangat teliti serta harus mengetahui sumber yang melandasi pemikiran para ulama’ mujtahid tersebut agar tidak terjadi kebutaan dalam mengambil hokum atas sebuah perkara. Berbeda dengan mujtahid, seorang muttabi’ tidak memiliki syarat-sarat yang dikhususkan, namun apabila seseorang menemui permasalahan dan dia tak sanggup memecahkan nya memakai wajib bertanya kepada mujtahid atau kepada orang yang benar-benar mengetahui dan paham ilmunya.[6]
b.      Hukum
Hukum dari ittiba’ sendiri yaitu wajib dan sangat diperintahkan oleh Allah SWT sebagaimana tertulis di dalam QS. An. Nahl : 43.[7]

وَمَآ أَرْسَلْنَا مِن قَبْلِكَ إِلَّا رِجَالًا نُّوحِىٓ إِلَيْهِمْ ۚ فَسْـَٔلُوٓا۟ أَهْلَ ٱلذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ

Artinya : “Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang Kami beri wahyu kepada mereka; maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui”.
Ayat lain dalam Qs Al-Baqarah 15 kali, Diantaranya pada Ayat 38:
قُلْنَا اهْبِطُواْ مِنْهَا جَمِيعاً فَإِمَّا يَأْتِيَنَّكُم مِّنِّي هُدًى فَمَن تَبِعَ هُدَايَ فَلاَ خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلاَ هُمْ يَحْزَنُونَ 
Artinya : “Kami berfirman: "Turunlah kamu semuanya dari surge itu! Kemudian jika dating petunjuk-Ku kepadamu, Maka barang siapa yang mengikuti petunjuk-Ku, niscaya tidak ada kekhawatiran atas mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati".
Berdasarkan dari ayat diatas kita dapat menyimpulkan bahwa ittiba’ sangat diperintahkan dan ittiba’ tidak hanya dilakukan kepada perintah Allah SWT dan Rasul-Nya.
c.       Jenis-jenisIttiba’
Secara garis besar ittiba’ dibagi kedalam dua hal yaitu:
1.    Ittiba’ kepada Allah dan Rasul-Nya
Dalam hal ini dikarenakan kita sebagai umat muslim harus lah mengikuti apa yang telah diperintahkan oleh Allah SWT melalui perantara Rasulullah SAW. Kita tidak boleh melakakukan apa yang tidak diperintahkan dan juga tidak boleh melakukan apa yang menjadi larangan-Nya.

2.    Ittiba’ kepada ahlul ‘ilmiatau orang yang memilikiilmu
Ittiba’ dalam jenis ini wajib dilakukan pada saat kita menjupai permasalahan yangmana kita tidak tau cara menyelesaikannya dikarenakan kita tidak mengetahui ilmunya. Maka kita wajib untuk mengikuti pendapat ulama’ yang lebih paham dan menguasai ilmu tersebut.[8]
3.    Urgensi ittiba’ dalam Islam
Ittiba’ sesuai dengan penjelasan diatas adalah sangat dianjurkan, adapun hal yang menjadikan pentingnya kita melakukan ittiba’ adalah sebagai berikut:
a.    Ittibā’ adalahsyaratditerimanyaibadah.
b.    Ittibā’ termasuk perwujudan ikhlas kepada Allah dan Rasulullah
c.    Ittibā’ adalah salah satu kunci untuk masuk surga.
d.   Ittibā’ adalah manifestasi kecintaan kepadaAllah .
e.    Ittibā’ adalah sarana paling efektif untuk dapat menumbuhkan kecintaan kepada Rasulullah.
f.     Ittibā’ adalah media paling akurat untuk dapat merealisasikan ketaatan kepadaRasulullah dan upaya optimal untuk menghindarkan diri dari ancaman akibat melalaikan ketaatan tersebut.[9]

D. Talfiq
a.       Definisi Talfiq
Kata Talfiq berasal dari bahasa Arab (At-talfiqu) yang berasal dari kata (lafaqqa-yulaffiqu-talfiiqan) yang memiliki beberapa arti yaitu menyamakan atau menggabungkan dua sisi yang berbeda seperti ungkapan (laffaqtussaub) yang atinya, saya menggabungkan antara kedua ujung baju, satu dengan yang lain. Namun, kata “talfiq” yang akan kita bahas disini adalah talfiq dalam istilah Ushul Fiqh, talfiq yang dimaksudkan adalah nama dari salah satu sikap beragama yang mengambil atau mengikuti hukum dari suatu peristiwa berdasarkan pendapat lebih dari satu madzhab.[10]
Contohnya sebagai berikut :
a.       Seorang laki-laki dan perempuan melaksanakan akad nikah tanpa wali dan saksi, dikarenakan, pertama, mengikuti pendapat madzhab Hanafiyah yang tidak mensyaratkan wali dalam pernikahan tersebut. Kedua, mengikuti pendapat madzhab Malikiyah yang tidak mewajibkan adanya saksi dalam pernikahan tersebut.
b.      Seoranglaki-laki berwudhu dengan mengusap kurang dari seperempat kepala kemudian dia menyentuh kulit wanita ajnabiyah (bukan mahram), dan seketika itu langsung mengerjakan sholat. Dikarenakan, pertama mengikuti pendapat madzhab Syafi;iyah yang hanya mewajibkan untuk mengusap sebagian kepala. Kedua, mengikuti pendapat madzhab Hanafiyah yang menyatakan bahwa menyentuh wanita ajnabiyah tidak membatalkan wudhu.
Berdasarkan apa yang telah dijelaskan di atas dapat disimpulkan bahwa dalam pemaknaan talfiq dibagi menjadi dua perkara yaitu :
1.      Menggabungkan dua pendapat mujtahid dalam perkara mu’amalah yang sama.
Misalnya, membaca basmalah pada saat membaca Al-fatihah dalam sholat karena dasar madzhab syafi’i, sedang diwaktu lain tidak membacanya karena mengikuti madzhab hanafi.
2.      Menggabungkan dua pendapat mujtahid dalam perkara mu’amalah yang berbeda.
Misalnya, berwudhu dengan menggunakan air yang musta’mal mengikuti madzhab maliki, dan shalat tidak membaca fatihah dan diganti dengan potongan ayat mengikuti madzhab hanafi.[11]

b.      Hukum Talfiq
Penetapan hukum talfiq sendiri secara garis besar dibagi kedalam dua golongan. Pertama yaitu bagi kalangan yang mewajibkan untuk mengikuti salah satu madzhab. Bagi golongan ini talfiq hukumnya adalah tidak diperbolehkan atau haram. Karena pada golongan ini talfiq sama halnya dengan pindah madzhab. Kedua yaitu golongan yang tidak mewajibkan untuk menjadi pengikut salah satu madzhab. Dalam golongan ini talfiq dibagi menjadi dua kategori, yang diperbolehkan dan tidak diperbolehkan.[12]
Dalam penetapan dari diperbolehkan atau tidaknya talfiq bagi golongan kedua akan dijelaskan sebagai berikut :
a.       Talfiq yang dihukumi boleh, yaitu mengambil hal yang paling ringan diantara pendapat para mujtahid dalam masalah yang berbeda-beda. Seperti, melaksanakan wudhu menggunakan madzhab syafi’i dan melaksanakan ibadah thawaf mengikuti madzhab hanafi.
b.      Talfiq yang dihukumi tidak boleh, yaitu mengambil yang paling ringan diantara pendapat para mujtahid dalam permasalahan yang sama. Seperti melakukan sebuah akad nikah dan mencari yang paling gampang dengan menggabungkan madzhab hanafi dan maliki dalam hal syarat akad.[13]

E. Ijtihad
a.    Pengertian Ijtihad
Kata jahda artinya dengan sekuat-kuatnya atau sungguh-sungguh, alwus’i wa al-thaqah pengerahan dari segala kesanggupan dan juga al-mubalaghah fi al yamin artinya berlebih lebihan dalam bersumpah. Ijtihad berkaitan dengan sumber hukum Islam, dan untuk memperjelas urainnya yaitu berasal dari kata “jahda” yang bisa diartikan “al-masyaqqah” yang artinya sulit/berat, susah ataupun bisa diartikan sukar. Di dalam Al Qur’an surat An Nahl ayat 38 Allah telah menerangkan bahwa “mereka bersumpah dengan nama Allah tidak akan membangkitkan oyang yang telah meninggal. Tidak juga demikian bahkan Allah pun akan membangkitkannya sebagai janji dari Allah, dan kebanyakan manusia tidak mengetahuinya.” Berikut merupakan pendapat dari beberapa ahli:
1.      At-Taftazani menyebutkan bahwa ijtihad adalah pengarahan dari semua kesanggupan dan kekuatan untuk memperoleh segala yang dituju hingga sampai kepada tujuan.
2.      Rahmat Syafi’i menyebutkan bahwa ijtihad diartikan juga sebagai kesulitan dan juga sebuah kesusahan, dan juga diartikan sebagai kemampuan dan juga kesanggupan.
3.      Abu Zahrah menyebutkan bahwa ijtihad suatu bentuk yang dapat megarahkan segala kemampuan yang dihukumi secara Islam keseluruhan dan besifat praktis yang berasal dari dalil-dalil yang terperinci.
Dari beberapa definisi pengertian Ijtihad dari beberapa ahli bisa disimpulkan bahwa:
1.      Ijtihad adalah sebuah pengarahan akal pikiran terhadap fuqaha.
2.      Ijtihad juga bisa dalam penggunaan akal karena adanya dalil-dalil yang zhanni dari Al Qur’an dan Hadits.
3.      Ijtihad berkaitan dengan hukum Syar’i yang amaliah.
4.      Ijtihad yaitu penggalian kandungan hukum Syar’i dari usaha dan pendekatan.
5.      Ijtihad juga terdapat dalili-dalil secara terperinci sehingga hilang dari kezhaniyannya.
6.      Hasil-hasil dari Ijtihad itu sendiri berbentuk Fiqih yang mudah dipelajari dan diamalkan.[14]

b.      Hukum Ijtihad
Hukum Ijtihad menurut Syaikh Muhammad Al-Khudari di dalam bukunya menyebutkan bahwa ada beberapa hukum yang melekat di dalam praktek Ijtihad, yaitu:
1.      Wajib ‘ain
Orang-orang yang bertanggung jawab atas suatu kasus hukum dan kekhawatiran kehilangan moment-moment yang berharga, ada sebagian kasus yang tertentu yang terjadi pada seseorang tersebut secara pribadi dan seseorang tersebut tidak lain hanya ingin mengetahui hukumnya.
2.      Wajib Kifayah
Orang yang memiliki tanggung jawab terhadap suatu kasus hukum yang tidak dapat menawar dan juga tidak dapat menghilangkan kekhawatiran kehilangan atas moment-moment kasus dan bagi mujtahid lainnya. Mujtahid tidak merumuskan suatu hukum, maka hal tersebut adalah perbuatan yang berdosa dan jika salah seorang diantara mereka telah berfatwa tantang beberapa kejelasan hukum tentang kasus tersebut, gugurlah suatu tuntunan berijtihad.
3.      Nadab (sunnah)
Ijtihad adalah sebuah perbuatan yang dilakukan agar dapat merumuskan suatu atas beberapa hukum yang belum terjadi, baik kasus di dalam hukum yang jelas diminta pertanggung jawaban atau tidak nya.
Menurut Isa Manun di dalam buku Usul al-Tsari al-islami menyebutkan bahwa hukum syariat terbagi menjadi tiga macam, diantaranya:
1.      Hukum mutlak yang diyakini atas kebenarannya (al ahkam al yaqiniyyah)
Hukum yang mutlak atas kebenarannya dilakukan secara turun temurun dan hukum ini memiliki karakteristik yang berbeda di antara hukum yang lainnya diantara orang-orang yang telah mengingkarinya disebut orang kafir dan menemukan hukum syar’iy. Hukum Syar’iy adalah hukum yang masih tidak diketahui serta pada dasarnya dapat mencurahkan beberapa kemampuan untuk menemukan sebuah kebenaran suatu hukum.
2.      Hukum orang muslim yang telah disetujui dan tidak ada orang satupun yang dapat melanggarnya. Pengetahuan tentang hukum ini banyak diketahui hanya beberapa orang ahli ilmu saja, bukan lagi orang awam. Mujtahid tidak boleh menyalahi atau menyalahkannya karena hal menyalahi tersebut merupakan suatu yang dihukumi kafir dan bersifat haram. Para imam tidak setuju akan hal tersebut dan mereka berpendapat bahwa pengingkarnya tidak kafir tetapi berdosa dan berbuat fasiq.
3.      Hukum syariat yang dalil nya masih belum jelas atau masih samar. Mujtahid dapat menginstalbatkan secara berbeda-beda. Perbedaan di dalam hukum-hukum semacam inilahtidak menjadi masalah, karena hal tersebut yang terjadi pada masa nabi dan sahabatnya.
Menurut Abd Al-Wahdah Khallaf berpendapat bahwa hukum-hukum syari’at yang bersifat praktis dan terbagi menjadi tiga macamyaitu:
1.      Hukum syari’at yang bersifat praktis ditunjukkan oleh beberapa ayat-ayat Al Qur’an dan hadits-hadits yang ditunjukkan secara eksplisit dan tentunya sudah pasti.
2.      Hukum syari’at yang bersifat praktis dan mengandung makna kepastian dalil.
3.      Hukum syari’at yang bersifat praktis ditunjukkan oleh beberapa ayat Al Qur’an dan hadits, serta dalil-dalil ditunjukkan oleh pembuat hukum.[15]
Hukum ijtihad dilihat dari sisi benar dan salah nya melihat dari beberapa teori yang sudah dikembangkan yaitu qath’i dan zhanni. Bagian qath’i berupa kalamiyah , ushuliyah dan fiqhiyah. Kalamiyah adalah sesuatu yang bersifat murni dan berupa akal dan suatu kebenaran. Ushuliyah adalah sama hal nya dengan keberadaan ijma’, qiyas, dan khabbar ahaad, dan juga sebagai hujjah, di dalam masalah-masalah dalil nya adalah qath’iyah dan juga untuk orang yang berbeda dengannya. Fiqhiyah adalah amalan-amalan wajib yaitu shalat lima waktu, zakat, puasa, keharaman zina, pembunuhan, pencurian, minum khamr atau arak.
Di antara mereka yang telah mengatakan dan berada di dalam kasus hukum yang tidak bernash kan yaitu mujtahid tidak dibebani untuk meneruskan suatu hukum yang berbeda  dan juga hukum yang tepat. Pendapat yang diutamakan oleh beberapa ulama adalah bahwa Allah mempunyai hukum-hukum tertentu di dalam setiap kasus yang telah dihadapi oleh umatnya dan juga telah turun dalil-dalil nya baik di dalam ayat Al Qur’an maupun di dalam hadits-hadits shahih.
Adapun sebagian dari mereka yang mengatakan bahwa semua mujtahid itu benar,  hal tersebut dimaksudkan bahwa masing-masing tidak ada yang membebani kecuali sesuatu yang telah dihasilkan oleh ijtihadnya, dan yang dimaksudkan adalah apa yang telah ditunjukkan oleh makna eksplisit (terus terang). Perbedaan tersebut merupakan perbedaan yang teoritis semata-mata karena jumhur fuqaha sepakat bahwa manusia diharuskan meneggakan hukum dengan segala tenaganya, dan sesuatu yang benar di dalam masalah-masalah yang terjadi di dalam ranah ijtihad.[16]

c.       Syarat-syarat Berijtihad
Menurut Syeikh Muhammad al Khudari di dalam bukunya yaitu Ushul Fikih seorang mujtahid diisyaratkan dua hal yaitu:
1.      Harus adil
2.      Mengusai sumber-sumber Syara’ serta mengusai sumber-sumber hukum yaitu: Al-Qur’an, Al Sunnah, Ijma’, Qiyas.
Upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk menghasilkan hukum Al-Qur’an, Al Sunnah, Ijma’, Qiyas yaitu: mengetahui penetapan dalil-dalil serta syarat-syaratnya yang bisa menjadi bukti-bukti dan dalil tersebut menjadi kesimpulan di dalam sebuah pengetahuan yang mengenai klasifikasinya, dan kemudian diketahui terhadap dalil-dalil yang kemudian terbagi menjadi tiga macam yaitu: dalil Aqliyah, dalil syar’iyah, dan dalil wadh’iyah.
Mengetahui bahasa dan tata bahasanya terdapat pada aspek-aspek yang memungkinkan di dalam memahami khitbah, membedakan kalam yang sudah jelas maksudnya, jelas lafalnya, global, harfiyah, metafora, umum dan dibatasi, tekstual, umum dan dibatasi, tekstual dan beberapa makna yang dikandungnya.Mengetahui nasikh dan mansukh nya yang ada di dalam Al Qur’an terdapat di beberapa ayat, bagi seorang mujtahid yang ingin berfatwa dengan ayat dan hadits mengenai sesuatu yang menjadi perkara, dan cukup menjadi hadits dan ayat tersebut muhkam. Mengetahui bagaimana riwayat dan juga dapat membedakan dari kebenaran dan keshahihan Al-Sunnah dari kefasidan, kemaqbulan, dan kemardudannya.
Allah telah meriwayatkan tentang dasar-dasar ilmu Faraidl. Salah satu syarat untuk menjadi seorang mufti yaitu mampu untuk menjawab semua masalah. Sesungguhnya ushul yang tidak sama sekali mengetahui komponen-komponen legislasi dan bisa merumuskannya. Dari pemahaman tersebut maka terbentuklah dasar-dasar umum (al-ushul al-ammah) yang dipandang sesuatu yang wajib bagi seseorang dan sampai di dalam kategori istinbath dan fatwa.[17]
d.      Objek Ijtihad
Objek Ijtihad ialah dari semua hukum syar’i yang tidak memiliki dalil qath’i. Dan juga apa saja yang termasuk di dalam kategori tidak bisa disebut ijtihad adalah apa-apa yang sudah disepakati ummat yaitu adanya hukum-hukum syara’ yang telah jelas seperti terhadap beberapahal yang menjadi kewajiban yaitu shalat lima waktu, zakat, dan amalan-amalan lainnya. Objek Ijtihad disini ditunjukkan kepada diperbolehkannya Ijtihad bagi Nabi SAW, diperbolehkannya Ijtihad bagi selain Rasulullah pada masa beliau.[18]

F. Penutup
Dari penjabaran di atas dapat disimpulkan bahwa di dalam ilmu ushul Fiqh beberapa istilah-istilah seperti Taqlid, Ittiba’,  Talfiq, dan juga Ijtihad dapat disimpulkan bahwa  dibuat hanya untuk menjadikan seseorang yang melakukan hal tersebut di dalam melakukan di dalam hal yang melakukan upaya pemahaman tentang beberapa dari dalil naqli dan bersifat qath’i. Taqlid yaitu mengikuti beberapa pendapat dari sumber mana saja tanpa mengetahui sumber serta alasannya.Ittiba’ secara Bahasa yaitu berasal dari mazdar dari fi’il “ittaba’a – yattabi’u – ittiba’an” yang memiliki arti “mengikuti” atau “menurut”. Sedangkan apabila di artikan secara istilah, ittiba’ berarti mengikuti pendapat orang lain, dalam halini adalah mujtahid atau mufti dengan mengetahui dasar serta sumber dari pendapat itu. Sedangkan dikalangan ulama’ ushul ittiba’ adalah mengikuti atau menerima semua yang diperintahkan atau dilarang atau dibenarkan oleh Rasulullah SAW. Orang yang melakukan ittiba’ disebut dengan Muttabi’. Kata Talfiq berasal dari bahasa Arab (At-talfiqu) yang berasal dari kata (lafaqqa-yulaffiqu-talfiiqan) yang memiliki beberapa arti yaitu menyamakan atau menggabungkan dua sisi yang berbeda seperti ungkapan (laffaqtussaub) yang atinya, saya menggabungkan antara kedua ujung baju, satu dengan yang lain. Namun, kata “talfiq” yang akan kita bahas disini adalah talfiq dalam istilah Ushul Fiqh, talfiq yang dimaksudkan adalah nama dari salah satu sikap beragama yang mengambil atau mengikuti hukum dari suatu peristiwa berdasarkan pendapat lebih dari satu madzhab. Kata jahda artinya dengan sekuat-kuatnya atau sungguh-sungguh, alwus’i wa al-thaqah pengerahan dari segala kesanggupan dan juga al-mubalaghah fi al yamin artinya berlebih lebihan dalam bersumpah. Ijtihad berkaitan dengan sumber hukum Islam, dan untuk memperjelas urainnya yaitu berasal dari kata “jahda” yang bisa diartikan “al-masyaqqah” yang artinya sulit/berat, susah ataupun bisa diartikan sukar.


DAFTAR PUSTAKA

Amir Syaifuddin, Garis-garis besar Ushul Fiqih (Jakarta:Kencana Pranada Media Group,2012).
Beni Ahmad Saebani dan Januri, Ushul Fiqih (Bandung:Pustaka Setia,2009).
Suyatno, Dasar-dasar Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih (Jogjakarta:Ar-Ruzz Media,2011).
Sudarsono, Pokok-pokok Hukum Islam (Jakarta : Rineka Cipta, 2001).

Koto, Alaidin, Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih, (Jakarta : PT. RajaGrafindo, 2004).

Hasbiyallah, Fiqh dan Ushul Fiqh, (Bandung : PT> Remaja Rosdakarya, 2014).

Maya, Rahendra,KONSEP AL-ITTIBĀ’ DALAM PERSPEKTIF AL-QUR‘AN DAN HADITS, dalam jurnal At-tadabbur : Jurnal Ilmu Al-qur’an dan tafsir.
.
Yusuf, Nasrudin, Pengantar Ilmu Ushul Fikih, (Malang : UM PRESS, 2012) hlm. 166.
Muhammad Sayyid Tantawi, Ijtihad dalam teologi keselarasan (Surabaya:JP Books,2005), hlm 8-10.

Syaikh Muhammad Al Khudhari Biek, Ushul Fiqih (Jakarta: Pustaka Amani, 2007).

Catatan:
1.      Similarity 10%.
2.      Tidak perlu dicantumkan gelar (Prof., Dr., Ustadz, dll) dalam tulisan ilmiah.
3.      Jika mengambil dari jurnal harus ada pula volume dan nomor serta halaman.
4.      Abstrak terlalu overload.
5.      Penulisan daftar pustaka berbeda dengan penulisan footnote.


[1] Amir Syaifuddin, Garis-garis besar Ushul Fiqih (Jakarta:Kencana Pranada Media Group,2012), hlm163-164
[2] Beni Ahmad Saebani dan Januri, Ushul Fiqih (Bandung:Pustaka Setia,2009), hlm 293-295
[3] Amir Syaifuddin, op.cit, hlm164-166
[4] Suyatno, Dasar-dasar Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih (Jogjakarta:Ar-Ruzz Media,2011), hlm 171-185
[5]Koto, Alaidin, Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih, (Jakarta : PT. RajaGrafindo, 2004) Hlm 129
[6]Hasbiyallah, Fiqh dan Ushul Fiqh, (Bandung : PT> Remaja Rosdakarya, 2014) Hlm. 123
[7]Sudarsono, Pokok-pokok Hukum Islam (Jakarta : Rineka Cipta, 2001) hlm. 64
[8]Koto, Op.Cit. Hlm 129
[9]Maya, Rahendra, KONSEP AL-ITTIBĀ’ DALAM PERSPEKTIF AL-QUR‘AN DAN HADITS, dalam jurnal At-tadabbur : Jurnal Ilmu Al-qur’an dan tafsir. Hlm. 28-30
[10]Koto, Op.Cit hlm. 131
[11] Yusuf, Nasrudin, Pengantar Ilmu Ushul Fikih, (Malang : UM PRESS, 2012) hlm. 166
[12]Hasbiyallah, Op.Cit. Hlm. 124
[13]Yusuf, Nasrudin, Op. Cit. Hlm 166-167
[14] Beni Ahmad Saebani dan Januri, op.cit, hlm289-291
[15] Muhammad Sayyid Tantawi, Ijtihad dalam teologi keselarasan (Surabaya:JP Books,2005), hlm 8-10
[16] Syaikh Muhammad Al Khudhari Biek, Ushul Fiqih (Jakarta: Pustaka Amani, 2007), hlm 824-830
[17] Ibid., hlm. 810-815
[18] Ibid., hlm 815-818

Tidak ada komentar:

Posting Komentar