Senin, 18 Februari 2019

Taqlid, Ittiba', Talfiq, dan Ijtihad dalam Ushul Fikih (PAI F Semester Genap 2018/2019)



TAQLID,TALFIQ DAN ITTIBA’ DALAM USHUL FIQH

Heppy Siscanty R.N (16110043) dan Himmatul Millah (16110015)
Jurusan Pendidikan Agama Islam
Fakultas Ilmu Tarbiyah Dan Keguruan
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang

Abstract
This article  discusses the notions of Tadlid, Taqlif, dan Ittiba’ dalam Ushul Fiqh. Other than as a knowlwdge of the pocess of the form in taking a law, that is also a guideline in taking law. The phenomenon in taking this law is very diverse, so in the case, we as muslims who are obedient and obedient to religious rules, must always know how to follow up the law through ushul fiqh and then apply it to worship and media lerning. So that to know everything that must be understood is the Qur’an and the Sunnah, besides Ijma’ and Qiyas also need to be known. The emergence of Ijma’ and Qiyas needed Ra’yi.  So that with this we can know the right (not original) law that can be used as a guideline for taking law. Related to this, the author will discuss and explain this article.
Abstrack
Artikel ini membahas tentang pengertian Talqid, Talfiq, dan Ittiba’ dalam Ushul Fiqh. Selain sebagai pengetahuan tentang proses jalannya bentuk dalam mengambil suatu hokum, hal ini juga sebagai pedoman dalam mengambil hukum. Fenomenanya dalam pengambilan hukum ini sangatlah beragam, sehingga dalam hal itu, kita sebagai orang muslim yang patuh dan taat terhadap aturan-aturan agama, harus senantiasa  mengetahui bagaimana tindak lanjut hukum melalui ushul fiqh dan kemudian diterapkan dalam beribadah dan media belajar. Sehingga untuk mengetahui semuanya yang harus di pahami adalah Al-Qur’an dan As-Sunnah, selain itu ijma’ dan qiyas pun juga perlu diketahui. Munculnya Ijma’ dan Qiyas di butuhkan Ra’yi. Sehingga dengan adanya hal itu kita bisa mengetahui hukum yang benar (tidak asal) yang bisa dijadikan pedoman hidup dalam pengambilan hukum. Terkait dengan hal itu penulis akan membahas dan menjelaskan diartikel ini.
Keywords: Taqlid, Taqlif, Ittiba’ dalam Ushul Fiqh
A.    Pendahuluan
Ilmu ushul fiqh untuk menetapkan hukum, dengan demikian ilmu ushul fiqh ini sangatlah penting bagi para pelajar untuk menambah wawasan tentang hukum islam. Rasulullah memberikan pengarahan kepada umat muskim sebagai jembatan untuk keteraturan dalam menjalakan hidup sesuai syariat. Rasulullah mengajarkan kepada para sahabat tentang Al-Qu’an dan hadist untuk menjalankan ketetapan yang ada, jika seandainya para sahabat belum faham tentang suatu dalil maka para sahabat bertanya kepada Rasulullah. Karena pemahaman para sahabat tentang dalil yang ada itu setiap sahabat berbeda-beda pemikiran. Kemudian para sahabat rasulullah meneruskan dakwah islam dengan mengajarkan kepada generasi selanjutnya dan kemudian terus menerus sampai saat ini.
Dalam ushul fiqh juga membahas masalah talfiq,taklid dan ittiba’. Ketiganya ini memiliki arti yang berbeda dan maksudnya pun  berbeda. Tetapi ketiga-tiganya sangat jelas diatur dalam islam. Ittiba’ ini didasarkan dalam Al-Qur’an surat An-Nahl ayat 43 yang artinya : “Dan kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang kami beri wahyu kepada mereka, maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.
Disini dalam penulisan  ini kami akan menjelaskan tentang taqlid,talfiq dan ittiba’ , yakni dengan berbagai istilah yang ada dalam ushul fiqh. Sehingga dalam menhalakan kehidupan yang ada kita tidak asal melakukan sesuatu dalam bribadah yang telah ditetapkan oleh Allah.
B.     Pengertian Taqlid
Sama halnya dengan istilah yang terdapat dalam ilmu ushul fiqh dan iu fiqih, Istilah Taqlid berasal dariahasa Arab yang artinya “mengikuti, mengulangi, meniru.” Menurut Para Ulama’ Ushul Fiqh mendefiisikan Taqlid dengan “mengikuti pendapat ulama’ tertentu atau seorang mujtahid tanpa mengetahui cara pengambilan dan sumber pendapat tersebut.” Sedangkan orang yang bertaqlid adseut mukallid. Terdapat dua unsur yang pelu dperhatikan dari definisi tersebutdalam pembicaraan taqlid, yaitu:
a.         Mengikuti atau menerima perkataan seseorang.
b.      Perkataan tersebut tiakdiketahui dasarnya, apakah ada dalam Al-Qur’an dan Hadits tersebut.[1]
Muhammad Rasyid Radha merumuskan definisi Taqlid dengan kenyataan-kenyataan yng ada dalam masyarakat islam. Taqlid menurut pandangan beliau adalah mengikuti pendapat orang yang dipercaya dalan hukum islam dan mengikuti pendapat orang yang dianggap terhormat pada masyarakat tanpa memperhatikan baik buruknya, benar atau salahnya, serta manfaat mudharatnya pendapat tersebut.
Al-Khatib Al-Baghdadi (w. 463 H) mendefinisikan taqlid yaitu menerima perkataan orang lain tanda ada dalil.Hal yang senada juga dikatakan oleh Imam Az-Zarkasyi (w.794 H) taqlid yaitu mengambil perkataan orang lain tanpa tau dalilnya. Sedangkan menurut  Ibnu Ruyd al-Qurtuby (w.595 H) mendefinisikan taqlid adalah menerima perkataan orang lain yang dianggap kejujurannya karena kepercayaan yang baik terhadap orang lain tersebut.
Abu Abdillah bin Khawaj berkata “ pengertian taqlid menurut syara’ adalah mengikuti pendapat tanpa mengetahui hujjah yang dijadikan dasar bagi pen,dapat tersebut. Taqlid tersebut dilarang oleh syariat.
Empat imam madzab ( Imam Maliki, Imam Hanafi, Imam Ahmad Ibnu Hambal, dan Imam Syafi’i) tealah melarang pengikutnya untuk bertaqlid kepada beliau, dan mengecam orang yang mengambil pendapat mereka tanpa berdasarkan dalil (hujjah) yang nyata. Imam Syafi’I berkata,” Perumpamaan orang yang menuntut ilmu pengetahuan tanpa hujjah laksana orang yang mencari kayi bakar dimalam hari, dimana ia membawa ikatan kayu bakar yang didalamnya ada ular berbisa yang akan mematuknya, dan dia tidak mengetahuinya. “ Pendapat ini diriwayatkan oleh Baihaqi.”[2]
Para Ulama’ Ushul Fiqh sepakat melarang taqlid dalam 3 hal. Yaitu:
1.    Semata-mata mengikuti tradisi nenek moyang yang bertantangan dengan Al-Qur’an dan Hadits. Contohnya, tradisi nenek moyang dimana kalau kita menjalankan tujuh hari tujuh malam tidak tidur dan berada di makam dengan keyakinan bahwa hal itu akan mengabulkan seluruh hajatnya, padahal perbuatan tersebut tidak sesuai dengan firman Allah yang ada di Surah Al-Ahzab (33): 64
2.      Mengikuti orang atau sesuatu yang tidak diketahui kemampuan dan keahliannya dan menggandrungi daerahnya itu melebihi kecintaannya kepada dirinya sendiri. Hal ini terdapat dalam Surah Al-Baqarah (2): 165-166.
3.      Mengikuti pendapat seseorang, padahal diketahui bahwa pendapat tersebut salah. Firman Allah dalam surah At-Taubah (9): 31.
C.    Hukum Taqlid
Taqlid hukumnya dicela atau dilarang, firman Allah surat Al-Baqarah ayat 170 :
وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ ٱتَّبِعُوا۟ مَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ قَالُوا۟ بَلْ نَتَّبِعُ مَآ أَلْفَيْنَا عَلَيْهِ ءَابَآءَنَآ أَوَلَوْ كَانَ ءَابَآؤُهُمْ لَا يَعْقِلُونَ شَيْـًٔا وَلَا يَهْتَدُو
Yang artinya : “Dan apabila dikatakan kepada mereka: Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah, mereka menjawab: (Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami. (Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk.
Dalam ayat tersebut firman Allah diatas tegas mencela terhadap orang-orang yang bertaqlid, yakni orang yang menerima hukum-hukum agama dengan membabi tuli,[3] selain ayat duatas juga imam yang kenamaan seperti syafi’i,maliki, ahmad bin hambali, dan hanafi yang bisa di jadikan ikutan, melarang pengikut mereka bertaqlid kepada mereka diantara ucapan mereka yaitu :
a.       Imam syafi’i
“ contohnya orang yang mencari suatu ilmu tanpa alasan seperti orang mencari kayu api diwaktu malam yang membawa dia satu ikatan kayu, sedang didalamnya seekor ular yang akan mematuknya pada hal dia sendiri tidak tahu”.
b.      Imam Malik
“ masing-masing kita menolak dan tertolak, kecuali orang yang menghuni kubur ini yaitu nabi SAW”.
c.       Imam Hambali
“ jangan engkau bertaqlid kepadaku dan jangan bertaqlid kepada imam malik, jangan kepada Tsauriy dan jangan [ula terhadap Auz’iy, ambilah daripada yang mereka ambil”.
d.      Imam Hanafi
“bila perkataanku menyalahi kitab Allh (al-Qur’an) dan Hadits Rasul-Nya, maka tinggalkanlah olehmu perkataanku”.
Jumruh ulama berpendapat, taqlid dalam bidang syar’i tidak dibenarkan secara mutlak, alasan ulama yang melarang taqlid adalah, firman Allah yang berbunyi :
وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِۦ عِلْمٌ ۚ إِنَّ ٱلسَّمْعَ وَٱلْبَصَرَ وَٱلْفُؤَادَ كُلُّ أُو۟لَٰٓئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْـُٔولً
Artinya : “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya”.(al-isra’ : 36)
Ayat tersebut melarang mengikuti pendapat tanpa mengetahui alasannya, sedangkan tiap-tiap larangan adalah haram, sebagaimana yang kita ketaui pada bab yang terdahulu yakni bab “An Nahyu” oleh karena itu kesimpulannya berarti haram bertaqlid.[4]
D.    Macam-macam taqlid
a.          Taklid yang haram
Taklid akan menjadi haram hukunya jika terjadi hal-hal yang membuat menjadi haram.
b.      Taklid yang boleh
Taqlid yang hukumnya boleh yakni taklid yang tidak mengapa untuk dilakukan , tidak merupan kewajiban , juga bukan merupakan keharaman. Dan bagi para mujtahid yang tidak sampai batas sebagai mujtahid mutlak. Dan mereka mempunyai kapasitas,syarat untuk berijtihad sendiri.
c.       Taklid yang wajib
Taklidnya kita semua sebagai orang awam kepada para mujtahid yang memenuhi syarat ijtihad.dengan keadaan sebagai orang awam seperti kita maka haramlah atas kita untuk melakukan ijtihad fiqih, yakni melakukan istimbath hukum dari sumber-sumber syariah islam secara seenaknya sendiri.
Kalau kita melakukan ijtihad hukum , al hasil tidak boleh dipakai mujtahid ataupun untuk orang awam yang lainnya.[5]
E.     Periode Taqlid
Sebab-sebab terhentinya Ijtihad, Di antara sebab-sebab yang menghentikan ijtihad dan menganjurkan taqlid, ialah:
1.    Timbulnya pertempuran satu sama lain yang disebabkan karena pecahnya  umat islam kepada beberpa pemerintahan.
2.      Pecahnya imam-imam mujtahidin kepada beberapa madzab yang masing-masing mempunyai corak sendiri, mempunyai kecenderungan sendiri dan mempunyai khittah sendiri. Murid- murid dan pengikut-pengikut mereka terus berusaha membela pendiri imamnya dengan berbagai alas an. Hal ini semuanya memalingkan mereka dari dasar-dasar tasyrf yang asasi, yaitu Qur’an dan Hadist. Mereka kembali pada Qur’an dan Hadist hanyalah sekedar untuk memperkuat pendapat imamnya, ruh istiqlal telah lenyap dari kepribadian para pengikut madzab itu.
3.      Tidak terdapat undang-undang fatwa yang teratur yang harus diikuti oleh para mufti. Oleh karena itu taka da undang-undang fatwa, dapatlah orang-orang memberi fatwanya. Karena itu terwujudlah berbagai fatwa dalam satu kejadian. Karena terjadi berbagai fatwa dalam suatu kejadian. Karena terjadiberbagai fatwa itu para ulama’ diakhir abad ke-empat mengumumkan penutupan pintu ijtihad dan mengharuskan para hakim untuk bermadzab dengan salah satu madzab yang telah ada.[6]
F.     Pengertian Talfiq
Talfiq menurut bahasa adalah menutup, menambal, tak dapat menacapai dan lain sebagainya. Adapun talfiq yang di maksudkan di ushul fiqh : “mengamalkan satu hukum yang bediri dari dua mazhab atau lebih”.[7] Yang dimaksud adalah, masalah berwudhu seorang tidak melafazkan niat , karena mengikuti mazhab hanafi. Tapi dalam mengusap kepala ketika berwudhu cukup sebagian kepala saja , karena menikuti mazhab maliki. Bertafiq ada satu masalah, para ulama berbeda pendapat tentang mana yang dibolehkan dan mana yang tidak dibolehkan.[8]
Dalam kitab al-mausu’ah al-fiqhiyah mengartikan talfiq dengan mengambil amalan yang benar dari pendapat dua madzab yang berbeda secara bersamaan sekaligus, dan ini dihukumi sebagai amalan batil pada keduanya, dalam satu kasus hokum yang menurut madzab  pertama dan madzab kedua sesame memandang batal (tidak sah).[9]
Menurut Dr. Wahbah Zuhaili, taqlifi dengan melakukan satu amalan yang tidak dikatakan mujtahd, dan beramal dengan mengambil dua pendapat madzab atau lebih dari satu amalan (qadhiyah) yang memiliki rukun-rukun dan bagian-bagiannya, sehingga sampai pada suatu hakikat amalan yang tidak dikenal oleh siapapun dari para imam madzab, tidak oleh imam yang dulu dia ikuti madzabnya maupun imam’barunya’ yang dia telah berpindah padanya. Justru masing-masing imam madzabnya ersebut menetapkan batilnya penggabungan dalam amalan ibadah tersebut.
G.    TalfIq Dalam Sejarah Fiqih Islam
Konon istilah talfiq muncul setelah abad pertama islam. Para sahabat Nabi tidak pernah mengatakannya. Mengingat sumber tasyri’ dan fiqh pada masa itu hanya sebatas Al-Qur’an dan As-Sunnah saja. Karena Setiap permasalahan yang terjadi diantara mereka dikembalikan kepada Al-Qur’an. Jika tidak ada dalam Al-Qur’an maka diserahkan kepada Rasulullah SAW dan beliau akan segera menyelesaikan permasalahan tersebut.
Begitu juga pada masa sahabat, tabi’in dan kibar ulama’ istilah talfiq belum ada. Para ulama’ mufti dan hakim pada masa tersebut menyandarkan semua permasalahan mereka pada nash-nash syar’I, jika tidak didapati dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah mereka menggunakan ra’yi mereka dalam mengeluarkan pendapat  selagi dalam lingkup ijtihad.
Sehingga, sampai hari ini tidak kita dapati para kibar ulama’ membicarakan dan membahas persoalan talfiq, padahal mereka memiliki karanganushul figh dan  fikih. Istilah talfiq muncul dan menyebar ketika berada pada masa madzab dalam fikih. Ini terjadi pada abad ke empat hingga permulaan abad ke lima hijriyah.
Kemudian, ulama’ dari setiap madzab membahas dan menjelaskan hakikat talfiq. Sebagian mereka menolak secara mutlak dan sebagaiannya menerimanya secara mutlak dan sebagian yang lain menerima dengan syarat.[10]
H.    Ruang Lingkup Talfiq
Para ulama’ fiqh bersepakat bahwa ruang lingkup talfiq ini terbatas hanya pada masalah-masalah furu’iyah ijtihadiyah dzanniyyah (cabang-cabang fikih ijtihadi yang sifatnya masih perkiraan).
Adapun masalah ushulliyah (pokok-pokok dasar agama) yang sifatnya I’tiqadi (keyakinan) seperti masalah aqidah atau iman itu bukanlah ruang lingkup talfiq. Dikarnakan para jumhur ulama’ telah mengatakan bertaklid saja dalam masalah ini tidak dibenarkan apalagi bertalfiq. Serta tidak diperbolehkan bertalfiq lagi ketika hasilnya akan menghalalkan sesuatau  yang jelas keharamannya dengan adanya nash qoth’I seperti haramnya mencuri, zina, dan minum minuman keras.[11]
I.       Hukum Talfiq
Pembagian Hukum Talfiq
a.    Wajib
b.      Sunnah
c.       Haram
d.      Makruh
e.      Mubah[12]
Dikatakan wajib apabila diperlukan berupa kepastian, Peristiwanya itu wajib jika menjlankannya itu berbentuk pasaan, tidak pasti, dan diminta untuk memperbuatnya. Jika perlakuannya tidak berbentuk paksan dan kepastia, maka dinamakan sunnah. Apabila tujuannya memperhentikan berbuat, yang merupakan kepastian, maka ini dinamakan haram. Peristiwa itdikatakan haram Jika jalannya itu tidak berbentukpakan an kepastian, maka ini dinamakan makhruh. Peristiwannya itu makhruh, apabila jalannya itu menyuruh pilih bagi mukallaf, antara meninggalkan dan memperbuat, maka ini dinamakan mubah. Peristiwa itu mubah, perbuatan yang dsuruhnya itu mubah.
a.       Wajib
Ahli Uslul Fiqh mendefinisikan wajib sebagai suatu perbuatan yang dituntut oleh Allah untu dilakukan secara pasti ang diberi ganjaran dngan pahala orang yan meakukannya, karena perbuatan itu telah sesuai dengan kehendak yang menuntut dan dianca dosa oranyang meninggalkannya, karena bertentangan dengan kehendak yang menuntut. Secara sederhana wajib berarti tuntutan secara syar’I dan pasti untuk dilaksanakan dan tidak boleh (dilarang) ditinggalkan, karena orang yang meninggalkannya dikenai hukuman.
Wajib itu dibagi menjadi empat bagian dengan I’tibar yang berbeda-beda:
1.        Wajib ditinjau dari waktu melakukannya.
2.      Wajib itu dibagi dari pihak orang yang meminta untuk membayarkan yang wajib a’inni dan kifa-i
3.      Wajib itu ditinjau dari pihak banyaknya permintaan.
4.      Wajib itu dibagi kepada wajib mu’ayan dan wajib mukhayar.[13]
b.      Sunnah
Mandub atau Sunnah adalah sesuatu yang dituntut syari’ (pembuat hokum) unuk melakukannya secara hokum syar’I tanpa ada celaan terhadap orang ang meninggalkan secara mutlak. Tidak adanya celaan bagi orang yang meninggalkan  tuntutan itu karena tuntutan itu tidak secara pasti. Bagi yang meninggalkan tidak ada sanksi. Definisi sunnah yang banyak dikemukakan ulama’ adalah sesuatu yang diberi pahala orang yang melakukannya dan tidak disiksa orang yang meninggalkannya.Istilah ini identic dengan mandub adalah as-sunnah, al-nafl, al-mustahab, dan al-mustahsan.
c.       Haram
Haram berarti sesuatu yan dituntut syar’I (pembuat hukun) untuk tidak melakukannya secara pasti. Definisi yang umumnya dikemukakan ulama’ untuk haram adalah sesuatu yang diberi pahala orang yang meninggalkannya dan dikenai dosa dan ancaman orang yang melakukannya. Contoh perbuatan mencuri, berzina, membunuh dan sebagainya.
Para Ulama’ berbeda pendapat mengenai bentuk-bentuk haram. Jumhur ulama’ berpendapat bahwa semua tuntutan yang pasti adalah haram. Dalil yang digunakan pembuat hukum untuk melarang itu ada yang bersifat zhanni da nada yang bersifat qoth;iy. Ulama’ Hanafiyah  memisahkan antara larangan yang ditetapkan  dengan dalil qath’iy dan yang ditetapkan  dengan dalil zhanni.
d.      Karahah/Makhruh
Karahah adalah sesuatu yang diauto;eh syar’I (pembuat hokum) untuk ditinggalan dalam bentuk tntutan yang tidak pasti. Pengaruh tuntutan  ini terhadap perbuatan perbuatan yang dilarng disebut karahah, dan perbuatan yang dilarang disebut makhruh. Pada prinsipnya makhruh adalah  sesuatu yang dilarang, tetapi larangan itu bukanlah haran. Definisi yang umum untuk maktuh  adalah sesuatu yang diberi pahala  orang yang meninggalkannya dan tidak diberi dosa orang yang melakukannya.
e.       Mubah
Mubah berarti sesuatu yang diberi kemunginan oleh pembat ukum bagi mukalaf untuk memilih antara melakukan dan mninggalkan. Ia boleh melakukan aatau tidak . Pada hokum mubah  ini tidak terlihat adanya tuntutan baik untuk  melakukan ataupun  meninggalkan. Karena itu, para ulama’ berbeda pendapat dalam memasukkan mubah ke dalam hokum taklifi. Ulama’ ahlusunnah memasukkan mubah  kedalam hokum taklifi, sementara ulama’ mu’tazila tidak.[14]
J.      Pengertian Ittiba’
Kata “Ittiba’” dari bahasa Arab, yaitu dari kata kerja atau fi’il “ Ittiba’a”,” Ittiba’an”, yang berarti mengikuti atau menurut. Sedangakan menurut istilah agama menerima suatu ucapan atau perkataan orang serta mengetahui alasan-alasannya (dalil) baik dalil itu Qur’an maupun Hadits yang dapat dijadikan hujjah. Ittiba’ dalam agama disuruh, sedangkan orang yang mengikuti dengan adanya dalil dinamakan muttabi’.[15]
Kalangan usuliyyin mengemukakan bahwa ittiba’ adalah mengikuti atau menerima semua yang diperintahkan atau dilarang atau dibenarkan oleh Rasulullah. Dalam versi lain, ittiba’ diartikan mengikuti pendapat orang lain dengan mengetahui argumentasi pendapat yang diikuti[16].
Firman Allah dalam surat An-Nahl ayat 43 :
فَسْـَٔلُوٓا۟ أَهْلَ ٱلذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
Yang artinya : maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.
Di dalam ayat pertama terdapat kalimat “ tanyakanlah”, yakni suatu perintah yang memfaedahkan wajib untuk melakukan . maksudnya disini kewajiban kamu bertanya lepada orang yang tau dari kitab dan sunnah tidak dari yang lain-lain. Dengan pengertian ahli Alqur’an dan sunnah, adapun sabda Rasulullah SAW :
“wajib kamu turut sunnahku (cara) dan sunnah khulafau Rasyidin sesudahku”.( HR. Daud dan lainnya).
Dari hadits ini menunjukkan wajin menurut (ittiba’). Selain itu keterangan-keterangan di atas masih banyak lagi ayat-ayat Alqur’an dan hadist nabi serta ucapan imam-imam, ulama yang mewajibkan setiap orang islam mengikuti jejak dan perjalanan mereka.[17]
K.    Hukum Ittiba’
Hukum ittiba’ adalah wajib bagi setiap muslim, karena ittiba’ yakni diperintah oleh Allah, sebagaimana firman-Nya :

اتَّبِعُوا مَا أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ مِنْ رَبِّكُمْ وَلَا تَتَّبِعُوا مِنْ دُونِهِ أَوْلِيَاءَۗ

Artinya : Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya. (al-a’raf: 3).
Di dalam ayat ini kita diperintahkan mengikuti perintah-perintah Allah. Kita telah mengikuti bahwa tiap perintah iyalah wajib, dan tidak terdapat dalil yang mengubahnya. Dan disamping juga ada sabda Nabi yang berbunyi :
“ Wajib atas kamu mengikuti sunnahku dan perjalanan /sunah khulafaur Rasyiddin sesudahku”.(HR.Abu Daud).[18]
L.     Penutup
Dari hasil penjabaran diatas tersebut dapat disimpulkan bahwa dalam ushul fiqih iatilah  taqlid,talfiq,dan ittiba’ merupakan istilah yang dibuat untuk melakukan seseorang upaya melakukan pemahan. Taqlid ialah seseorang yang mengikuti pendapatan ulama-ulama yang sudah tahu dasar hukum islam, dan orang itu angat percaya dengan ulama tersebut oleh karena itu ia merasa tidak mampu memahami hukum syariat. Hukumnya bertaqlid yaitu jumruh ulama berpendapat tidak di benarkan secara mutlak.
 Akan tetapi sebagian ulama menyatakan kalau bertaqlid itu diperbolehkan. Sedangkan Talfiq ialah suatu perbuatan yang orang tersebut suatu madzabkemudian ia menggunakan madzab yang lain. Hukum Talfiq itu sendiri terdiri dari wajib, haram, sunnahmubah,makruh.Ittiba’ ialah menurut atau menikuti ulama atau yang lainnya, dengan didasari pengetahuan dalil-dalil yang dipakai.hukum dari ittiba’ itu wajib didalam surat Al-Arf ayat 3 menjelaskan untuk mengikuti perintah-perintah Allah.
DAFTAR PUSTAKA
Djalil, Basiq. 2014. Ilmu ushul fiqih. Jakarta : Kencana Prenadamedia Grup
Amir, syarifuddin. 2012. Garis-garis Besar Ushul Fiqh. Jakarta : Kencana Prenadamedia Grup
Bakry , SN. 2003. Fiqh Dan Ushul Fiqh. Jakarta: Raja Grafindo Persada
Koto, alaiddin. 2006. Ilmu Fiqih Dan Ushul Fiqih. Jakarta : Raja Grafindo Persada
Hanif Lutfi, Bahagiakan Taqlid Dalam Beragama, (Jakarta: Rumah Fiqih Publishing, 2018)
Ibnu Qoyyim, Panduan Hukum Islam, (Jakarta:Pustaka Azzam, 2007)
Mardani, Hukum Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010)
Vivi Kurniati, Talfiq Antar Madzab, (Jakarta: Rumah Fiqih Publishing, 2008)
Abdul Wahab, Ilmu Ushul Fiqih, ( Jakarta: PT. Ranik Cipta, 2005)
Marzuki, Hukum Islam, (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2013)
Catatan:
Similarity 24%. Saya melihat makalah ini sangat jauh dari bagus (untuk tidak mengatakan jelek). Pemakalah tidak paham apa yang dibahas, mengapa ada pembahasan wajib, sunnah, mubah, makruh, dan haram dalam talfiq? Ini TALFIQ bukan TAKLIFI. Ijtihad juga tidak ada. Makalah ini kacau, sangat tidak layak ada dalam mata kuliah saya. Maaf saya harus berkata jujur. Revisi total atau nama Anda saya coret dari daftar hadir saya.


[1]Koto Aaiddin, Ilmu Fiqh Dan Ushul Fiqih, ( Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006), hlm132
[2]Al Jauziyah Ibnu Qayyim, Panduan Hukum Islam, (Jakarta: Pustaka Azzam,2007), hlm. 313
[3]Nazar Bakry, fiqh dan ushul fiqh,(Jakarta: Raja Grafindo Persada,2003), hlm.60
[4]Nazar Bakry, op. cit,(Jakarta: Raja Grafindo Persada,2003), hlm.62
[5][5]Hanafi Lutfi,bahayakah taqlid dalam beragama(jakarta, Rumah Fiqih publishing,2018) hlm 26-29
[6]Mardani, Hukum Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2010), hlm 75.
[7]Basiq Djahil, ilmu ushul fiqih(jakarta,Kencana Prenadamedia Gruop,2014), hlm210
[8]Basiq Djahil, op. Cit,(jakarta,Kencana Prenadamedia Gruop,2014), hlm211
[9]Kuniati Vivi, Talfiq Antar Mazhab, (Jkarta: Rumah FiqihPublishing,2018), hlm 7
[10]Vivi kurniawati,talfiq antar madzhab,( jakarta, Rumah Fiqih Publising,2018) hlm 10
[11]Vivi kurniawati,op. cit ,( jakarta, Rumah Fiqih Publising,2018) hlm 20
[12]Wahab Abdul, Ilmu Usul Fikih, (Jakarta: PT. Renika Cipta, 2005), hlm 125
[13]Wahab Abdul, op. cit, (Jakarta: PT. Renika Cipta, 2005), hlm 126.
[14]Marzuki, Hukum Islam, (Yogyakarta:Penerbit Ombak, 2013), hlm 219.
[15][15]Alaiddin Koto, ilmu fiqih dan ushul fiqih,(jakarta, RajaGrafindo Persada,2004) hlm
[16]Alaiddin Koto, op. cit,(jakarta, RajaGrafindo Persada,2004) hlm
[17]Nazar Bakry, fiqh dan ushul fiqh,(Jakarta: Raja Grafindo Persada,2003), hlm.60-61
[18]Basiq Djahil, ilmu ushul fiqih(jakarta,Kencana Prenadamedia Gruop,2014), hlm200

Tidak ada komentar:

Posting Komentar