Rabu, 13 Februari 2019

Taqlid, Ittiba', Talfiq, dan Ijtihad dalam Ushul Fikih (PAI A Semester Genap 2018/2019)



TAQLID, TALFIQ,ITTIBA’, DAN IJTIHAD DALAM USHUL FIQH
Siti Zulaicha dan Arina Wahidah
Mahasiswa Pendidikan Agama Islam “A” 2016 Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang
Abstrak
This article explains about talqid, talfiq, ittiba 'and ijtihad which are some of the terms that exist in ushul fiqh. Ushul fiqh itself is a science that is used to find legal bases in performing a worship. In conducting Muslim worship it is recommended to follow everything that comes from the Qur'an and the Sunnah. To understand both of us as a Ummah who are far away from the times with the Messenger of Allah, we can understand it with the help of the vast scholars of knowledge. Then the term taqlid emerged, an act carried out by a Muslim who followed mujtahid scholars without knowing the legal basis taken by the mujtahid. Talfiq is someone who is a Muslim from one of the priests then he moves another school or more. Ittiba ’is an act of a Muslim who follows a school of thought by trying to find the legal basis taken by the madzhab is true. Whereas ijtihad is an effort of someone who is able to understand the Qur'an and Hadith with the breadth of their knowledge and fulfill the requirements as a mujtahid.
Abstrak
Artikel ini menjelaskan tentang talqid, talfiq, ittiba’ dan ijtihad yang merupakan beberapa istilah yang ada dalam ushul fiqh. Ushul fiqh sendiri merupakan suatu ilmu yang digunakan untuk mencari dasar-dasar hukum dalam melakukan suatu peribadahan. Dalam melakukan Ibadah umat Islam dianjurkan untuk mengikuti segala sesuatu yang bersumber dari Al Quran dan As sunnah. Untuk memahami keduanya kita sebagai umat akhiruz zaman yang jauh masanya dengan Rasulullah maka kita dapat memahaminya dengan bantuan para ulama-ulama yang luas akan ilmu pengetahuannya. Maka muncullah istilah taqlid yakni suatu perbuatan yang dilakukan oleh seorang muslim yang mengikuti ulama mujtahid tanpa mengetahui dasar hukum yang diambil oleh imam mujtahid. Talfiq yakni seseorang yang bermadzhab dari salah satu imam kemudian ia berpindah madzhab lain atau lebih. Ittiba’ adalah suatu perbuatan seorang muslim yang mengikuti suatu madzhab dengan berusaha mencari dasar hukum yang diambil oleh madzhab tersebut adalah benar. Sedangkan ijtihad adalah suatu upaya seseorang yang mampu untuk memahami Al Quran dan Hadits dengan keluasan ilmunya dan memenuhi syarat-syarat sebagai seorang mujtahid.
Kata Kunci :Taqlid,Talfiq , Ittiba’, dan Ijtihad
A.      Pendahuluan
            Kehidupan didunia ini telah dimulai sejak berabad-abad silam ketika Nabi Adam as. diturunkan dari surga ke muka bumi oleh Allah swt. disitulah kehidupan awal manusia dimulai. Manusia diciptakan oleh Allah swt. bertugas sebagai khalifah fiil ‘ard dan sebagai hamba Allah yang telah dijelaskan secara jelas dalam firmannya surah Al Baqarah ayat 30 dan surah adz Zariyat ayat 56. Sebagai khalifah dimuka bumi ini manusia bertanggung jawab untuk menjaga segala hal yang ada dimuka bumi ini dengan baik. Peraturan-peraturan ditetapkan oleh Allah swt. dalam kalamnya yang diturunkan kepada para rasul-Nya mulai dari Nabi Adam a.s hingga Nabi akhiruz zaman Rasulullah Muhammad saw. yang menerima wahyu dari oleh melalui malaikat Jibril a.s yakni Al Qur’an Al Karim sebagai penyempurna kitab-kitab terdahulu. Ketetapan yang diwahyukan oleh Allah berupa perintah-perintah dan larangan-larangan yang ditujukan kepada umat manusia sebagai peraturan yang wajib untuk ditaati oleh umat manusia terutama bagi orang Islam. Karena sejatinya Nabi Muhammad saw. diutus oleh Allah swt sebagai rahmatan lil ‘alamin maka segala ketetapan yang memang telah ada dalam Al Quran ataupun ketetapan yang berasal dari segala sesuatu Nabi Muhammad saw. berhak untuk ditaati.
            Rasulullah saw. memberikan pengarahan kepada umat muslim sebagai jembatan untuk keteraturan dalam menjalankan hidup sesuai dengan syariat yang telah ditetapkan dengan maksud untuk mencari ridho Allah swt. Rasulullah mengajarkan kepada para sahabatnya tentang Al Quran dan Hadits untuk menjalankan syariat Islam sesuai dengan ketetapan yang ada. Jika seandainya para sahabat tidak faham tentang suatu dalil maka para sahabat langsung bertanya kepada Rasulullah saw. sebab pemahaman para sahabat tentang dalil yang ada itu tiap sahabat berbeda pemikiran. Kemudian sahabat Rasulullah meneruskan dakwah Islam dengan mengajarkan kepada generasi selanjutnya yang kemudian terus menerus diajarkan hingga saat ini. Dalam menangkap suatu pengajaran yang berasal dari dalil yang qath’i  tiap individu (ulama) memilki pemahaman yang berbeda dalam menangkap penjelasan dari ulama-ulama lainnya. Sehingga munculnya madzhab yang termasyhur di dunia Islam pun memilki karakteristik yang berbeda, sebab para mujtahid pun memilki pemehaman yang berbeda dalam memahami dalil naqli yang sifatnya qath’i.
            Penetapan hukum yang dibuat oleh para mujtahid yang sifatnya dzhanni ini adalah sebuah usaha untuk mencari dalil tentang persoalan-persoalan yang ada pada waktu itu dengan berpegang pada Al Quran dan Hadits. Para mujtahid ini ada ketika zaman tabi’it tabi’in yakni pada masa kejayaannya Bani Abbasiyah, yang pada saat itu ilmu pengetahuan berada pada puncaknya. Ketika runtuhnya Islam di Baghdad banyak kalangan muslim yang menyatakan bahwasannya ijtihad telah ditutup dan menetapkan ijtihad termasyhur yakni madzhab Maliki, Hambali, Syafi’i dan Hanafi sebagai tempat hujjah tentang berbagai persoalan yang ada.[1] Tetapi sejatinya kehidupan didunia ini selama manusia masih ada maka kehidupan akan terus berjalan dengan berbagai perkembangan yang ada dari teknologi, ekonomi, sosial dan lain sebagainya. Banyak sekali permasalahan yang timbul dengan bertambahnya zaman maka penetapan hukumpun tidak bisa serta merta hanya mengambil pada pendapat yang telah ada, akan tetapi permasalah yang timbul itu adalah permasalahan baru yang harus diselesaikan untuk menjalani kehidupan dan mencari kemaslahatan umat.
            Dari hal tersebut dalam menetapkan suatu hukum dengan permasalahan yang baru kita juga perlu mengikuti imam mujtahid yang telah dulu mencari sumber penetapannya sesuai dengan Al Quran dan Hadits, serta jarak masa mereka dengan Rasulullah lebih dekat dari pada kita sekarang ini. Akan tetapi dengan hal ini ijtihad sebenarnya tidak tertutup sebab kehidupan ini dinamis dan pastilah permasalahan juga akan terus ada. Tetapi ijtihad pun tidak serta merta kita menentukan karena terdapat ulama salaf yang lebih dulu melukan pencarian hukum dan masa mereka lebih dekat. Maka kita sebagai manusia akhiruz zaman tetap boleh mengikuti ulama yang lain serta tetap mencari dalil hukum mengapa hukum itu ditetapkan.
            Maka dalam penulisan ini kami akan menjelaskan tentang ijtihad, taqlid, talfiq dan ittiba’, yakni berbagai istilah yang ada dalam ushul fiqh. Sehingga dalam menjalankan kehidupan yang ada kita tidak asal untuk melakukan sesuatu dalam ibadah syariah yang telah ditetapkan oleh Allah saw dan hadits Nabi Muhammad saw. untuk mencari keridhoannya, serta hukum melakukan hal-hal tersebut bagi umat Islam sebagai penerus risalah Rasulullah saw.
B.       Taqlid
1.      Pengertian
Menurut kamus bahasa arab al munawwir kata taqlidyang berasal dari kata qalada diartikan mengikuti, tradisi, pemberian kekuasaan, tiruan (imitasi), palsu.[2]Sedangkan ada pendapat yang lain bahwasannya taqlid berasal dari kata qalaadah yang artinya kalung. Berdasarkan asal kata qalaadah itu yang artinya kalung, hal ini berarti sesuatu yang melilit leher seekor hewan dan hewan itu akan terus mengikuti orang yang memegang talinya sesuai dengan kehendak orang tersebut kemanapun orang tersebut menariknya. Searah dengan hal ini ada beberapa ulama yang sependapat yakni Wahbah al Zuhaili yang mengartikan taqlid menurut bahasa dengan “mengalungkan tali pada tengkuk, sebagaimana mengalungkan tali pada hewan qurban pada saat ibadah haji”, selaras dengan pengertian taqlid yang diberikan oleh Sayyid Mu’inuddin Qadri bahwasannya taqlid secara bahasa berarti “rantai atau barang sejenisnya yang diikatkan pada leher”.[3] Dari penjelasan secara etimologi diatas jika seandainya manusia itu diibaratkan seperti hewan yang mengikuti majikannya atau orang yang memegang tali rantainya maka hal ini dapat berkonotasi negatif untuk perbuatan taqlid. Sesuai dengan hal tersebutpun Ibnu Hazm memandang bahwa perilaku taqlid adalah suatu perbuatan tidak terpuji.[4]
Sedangkan dalam pengertian secara terminologi banyak beberapa ulama yang berpendapat yakni, Imam Ghazali mendefiniskan taqlid adalah “menerima ucapan tanpa hujjah”, Ibnu Subki mengartikannya dengan “mengambil suatu perkataan tanpa mengetahui dalil”, dan Al Asnawi berpendapat bahwa “taqlid ialah mengambil perkataan orang lain tanpa dalil”.[5]Sedangkan menurut kebanyakan ushul kata taqlid didefinisikan sebagai berikut:التقليدهوقبول القول القائل وانت لا تعلم من اين قاله“Taqlid ialah menerima (mengeikuti) pendapat orang lain, sedangkan engkau tidak mengetahui atas dasar apa ia berpendapat demikian”.[6] Orang yang melakukan taqlid sendiri atau orang yang mengikuti pendapat orang lain dinamakan muqallid. Hal ini didasarkan pada asal kata taqlid sendiri yakni berasal dari kata qallada-yuqallidu-taqlidan yang artinya mengikut, menurut, membuntuti, di belakang, orang yang mengikuti, menurut dan mengikuti di belakang.[7]
2.      Bentuk Taqlid
Dalam pembagian taqlid itu sendiri banyak ulama yang berpendapat sebagaimana yang dikemukakan oleh :
a.       Ibnu Hazm mengartikan bahwa taklid adalah perbuatan yang tidak baik yakni mengikuti pendapat orang lain tanpa menganalisis pendapat tersebut.
b.      Wahbah az Zuhaili, beliau berpendapat bahwa taqlid terbagi menjadi dua kategori besar yakni taqlid madzmumahdan taqlid mahmudah, dalam taqlid tercela (taqlid madzmumah) ini terbagi menjadi tiga macam, pertama, taqlid yang dilakukan seseorang mengenai hal-hal yang bertentangan dengan syariat Islam. Kedua, bertaqlid kepada seseorang yang belum diketahui keilmuannya dalam bidang hukum Islam dan kedalamannya tentang syariat Islam. Ketiga, taqlid kepada seorang muqallidlain sedangkan orang tersebut telah mengetahui hujjah dari orang lain bahwa yang diikutinya itu bertentangan dengan syariat yang ada. Sedangkan taqlid terpuji (taqlid mahmudah) adalah taqlid yang dilakukan oleh seseorang yang tidak mempunyai kesanggupan untuk berijtihad walaupun ia telah berusaha untuk menggali hukum syara’ ia tetap belum mampu, hal ini perbolehkan sebab jika ia tidak bertaqlid kepada orang lain yang lebih ahli maka iapun tidak akan melakukan ibadah yang telah disyariatkan Allah swt.
c.       Qadri, dalam pengkategorian bentuk-bentuk taqlid, beliau membaginya kedalam empat macam secara praktis dan mudah untuk diterapkan oleh seseorang yang bertaqlid, yaitu :
1)        Taqlid Syakhshi, adalah taqlid kepada Rasulullah saw. yang mana hal ini merupakan suatu keharusan bagi setaip umat sebab apapun yang berasal dari nabi perintah maupun larangan harus kita ikuti sebagai suatu sumber hukum Islam yang kedua.
2)        Taqlid Muthlaq, adalah taqlid kepada seorang mujtahid tanpa terikat kepada salah satu madzhab. Orang yang bertaqlid ini secara tekstual memang ia tidak mengikuti suatu madzhab namun ia berhak menerima fatwa dari seorang faqih yang mengikuti suatu madzhab tertentu tetapi jika seandainya ia dalam kondisi tertentu ia mengikuti madzhab lain tanpa menanggalkan madzhab yang diikuti sebelumnya dengan alasan yang jelas dan dibenarkan sesuai dengan pemikirannya.
3)        Taqlid Mahdli, taqlidnya seseorang kepada salah satu madzhab tertentu sepanjang hidupnya dalam segala hal muamalahnya.
4)        Taqlid Jamid, adalah taqlidnya seseorang kepada suatu madzhab yang dianggapnya paling benar dan merasa bahwa dirinya sama halnya dengan bertaqlid kepada Rasulullah saw. Seseorang yang bertaqlid ini menafikkan tentang suatu pemahaman bahwa madzhab itu hanya sekedar pemikiran kelompok yang terkumpul melalui proses interpretasi terhadap Al Quran dan Al Hadits yang dilakukan untuk memecahkan suatu persoalan yang ada pada kondisi dan situasi lingkungan tempat mujtahid berada.
Beradasarkan klasifikasi diatas taqlid pertama (1) merupakan suatu keharusan, taqlid kedua (2) merupakan suatu kebolehan terhadap para faqih, hanya saja seorang faqih harus memilih ketetapan/ ijtihad yang paling mendekati dengan Rasulullah saw. Dalam hal ini talfiq ini berposisi sama dengan ijtihad tarjih atau dapat ditempatkan seperti hal tersebut. Taqlid (3) tidak diperbolehkan bagi orang-orang yang mengerti tentang suatu hukum Islam, karena taqlid semacam ini tidak memilki landasan kuat. Sebab sebagai seorang yang memilki akal pikiran kita harus berupaya untuk bisa menggali asal muasal hukum yang ada pada madzhab yang dianutnya sebagai cara memastikan kebenaran hukum yang ada. Seharusnya ia mengambil kerangka metodologi pengambilan hukum madzhab tersebut bukan hanya menggunakan prodaknya. Sedangkan taqlid keempat (4) tidak dibenarkan kecuali bagi mereka yang tidak tahu tentang hukum syariat. Dari penjabaran tersebut maka taqlid dapat ditarik benang merah terbagi menjadi dua macam yakni taqlid qawli yakni bertaqlid kepada ijtihad yang dikemukakan oleh seorang mujtahid, dan taqlid manhaji yakni bertaqlid kepada suatu metode pengambilan hukum yang digunakan oleh seorang mujtahid dalam menetapkan suatu hukum dari suatu persoalan yang ada.[8]
3.      Hukum Taqlid
Sesungguhnya manusia dalam kemampuannya dalam penetapan hukum itu terbagi menjadi dua kelompok yakni kelompok mujtahid dan kelompok orang awam. Kelompok mujtahid diwajibkan untuk berijtihad karena kemampuan mereka dalam menggali suatu hukum dari suatu persoalan, sedangkan orang awam itu sebaliknya, karena ketidakmampuannya itu maka mereka dianjurkan untuk bertanya kepada ulama yang lebih mengerti tentang hukum syariah.[9] Maka dari hal tersebut bertaqlid bagi orang awam itu diperbolehkan sedangkan bagi para mujtahid diharamkan/dilarang melakukannya. Hukum bertaqlid dilarang berdasarkan pada firman Allah swt dalam QS. Luqman (31) : 21
وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ ٱتَّبِعُوا۟ مَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ قَالُوا۟ بَلْ نَتَّبِعُ مَا وَجَدْنَا عَلَيْهِ ءَابَآءَنَآ ۚ أَوَلَوْ كَانَ ٱلشَّيْطَٰنُ يَدْعُوهُمْ إِلَىٰ عَذَابِ ٱلسَّعِيرِ
Bila dikatakan kepada mereka ikutilah apa-apa yang telah diturunkan Allah, mereka berkata : bahkan kami mengikuti apa-apa yang kami temukan bapak-bapak kami melakukannya”. Searah dengan pendapat sebagian kaum Mu’tazillah, Ibn Hazm dan Imam Madzhab empat, yang melarang taqlid secara mutlak. Perkataan imam madzhab empat adalah Imam Abu Hanifah “Jika pendapatku bertentangan dengan Kitab Allah dan Khabar Rasul, maka tinggalkanlah pendapatku”, Imam Malik berkata “Aku hanyalah manusia biasa yang bisa salah dan bisa benar. Oleh karena itu, telitilah pendapatku! Setiap pendapatku yang sesuai dengan Al Kitab dan Al Sunnah, maka ambillah, sebaliknya semua pendapatku yang tidak sesuai dengan al Kitab dan al Sunnah, tinggalkanlah”. Imam Syafi’i pun berkata “Perumpamaan orang yang mencari ilmu tanpa menggunakan hujjah bagaikan pencari kayu bakar pada malam hari. Ia memikul seonggok kayu di dalamnya terdapat ular yang siap menggigitnya sedang tidak mengetahuinya. Sedangkan Imam Ahmad ibn Hambal berkata “Jangan kalian bertaqlid kepadku, kepada Malik, maupun kepada Awza’i tetapi ambillah darimana mereka mengambilnya”.[10]
Terdapat pendapat lain yang membolehkan perbuatan taqlid yakni menurut Khudriy Bik, akan tetapi dengan syarat mengikuti atau memilih ulama yang tepat yakni mereka berilmu dan adil “Janganlah orang awam meminta fatwa kecuali orang tersebut ia ketahui berilmu dan adil”. Maka seseorang yang bertaqlid tanpa mempunyai pengetahuan sama sekali tentang apa dan siapa yang ia ikuti termasuk dilarang dalam agama atau biasa disebut dengan taqlid buta.[11] Menurut ulama ushul orang itu diperbolehkan untuk bertaqlid akan tetapi perbuatan tersebut merupakan perbuatan tercela menurut agama, sesuai dengan firman Allah swt. QS Al Baqarah (2): 170:
وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ اتَّبِعُوا مَا أَنزلَ اللَّهُ قَالُوا بَلْ نَتَّبِعُ مَا أَلْفَيْنَا عَلَيْهِ آبَاءَنَا أَوَلَوْ كَانَ آبَاؤُهُمْ لَا يَعْقِلُونَ شَيْئًا وَلا يَهْتَدُونَ
Dan apabila dikatakan kepada mereka :ikutilah apa yang telah diturunkan Allah, mereka menjawab : (tidak) tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapat dari (perbuatan) nenek moyang kami, walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun dan tidak mendapat petunjuk”.
C.      Talfiq
1.      Pengertian
Dalam pengertian talfiq menurut bahasa berasal dari bahasa arab yakni تلفيق yang artinya “mereka-reka atau membuat-buat.” Menurut pendapat lain talfiq menurut bahasa berarti melipat antara yang satu dengan yang lainnya. Sedangkan talfiq menurut istilah ulama’ ushul fiqh adalah “mengambil pendapat dari seorang mujtahid kemudian mengambil lagi dari seorang mujtahid lainnya, baik dalam masalah yang sama maupun dalam masalah yang berbeda”. Sebagaimana dijelasakan oleh ulama ushul “Talfiq adalah mengerjakan masalah (perbuatan hukum) menurut hukum yang terdiri atas kumpulan (gabungan) dua madzhab atau lebih”.[12] Dari pengertian tersebut dapat difahami bahwa talfiq merupakan suatu perbuatan yang dilakukan oleh seseorang dengan mengikuti madzhab tertentu dan mengambil satu masalah kemudian ia mengabungkannya dengan pendapat madzhab yang lainnya satu atau lebih sehingga suatu perbuatan tersebut tidak sama dengan kedua imam tersebut menimbulkan suatu hukum yang baru.
Konsep talfiq itu sendiri disebabkan oleh adanya keyakinan yang kuat akan dilarangnya taqlid oleh pengikut mujtahid tertentu untuk mengambil pendapat mujtahid yang lain tanpa tau dasar pengambilan hukumnya. Pada hakikatnya sendiri talfiq dilakukan oleh seseorang yang berkemungkinan melakukannya karena bertujuan untuk memilih qaul (pendapat) yang ringan dan meninggalkan qaul (pendapat) yang berat yang tidak sesuai dengan kemampuannya.[13]
2.      Ruang Lingkup
Ruang lingkup talfiq itu hanya terbatas pada persoalan ijtihad yang bersifat dzhanniyah (yang meragukan) yang dilakukan oleh para mujtahid, sedangkan segala sesuatu yang telah ditetapkan oleh Allah dalam firmannya di Al Kitab maka bukan termasuk ruang lingkup dari talfiq. Permasalahan talfiq antar madzhab muncul pada abad ke 10 oleh ulama mutaakhirin yaitu dengan dibolehkannya mengikuti madzhab lain, dan tidak ada perbincangan tentang talfiq sebelum abad ke 17.
3.      Hukum Talfiq
Dalam penetapan hukum talfiq sebenarnya para ulama tidak ada yang memperbincangkan ataupun perselisihan tentang hukum talfiq, sebab menurut para ulama talfiq hakikatnya adalah berpindah madzhab. Bagi kalangan ulama berpindah madzhab itu diperbolehkan dan tidak ada ulama yang melarang tentang perbuatan tersebut. Tetapi Al Mahalli menyatakan bahwasannya perbutan talfiq itu adalah fasiq, sedangkan Abu Hurairah menyatakannya tidak fasik. Sebab mengikuti suatu madzhab itu tidak ada pemaksaan untuk terus mengikuti madzhab yang telah dilakukan begitu lama, dengan alasan yang jelas.[14]
Dalam kitab al-Maushul pandangan Al Razi dan syarahnya yang mengutip dari al Rayani yang mengemukakan persyaratan dibolehkannya talfiq dan pendapat dari Ibn ‘Abad al Salam bahwasannya diboleh tidaknya melakukan talfiq itu tergantung dari motivasinya yang diukur dengan kemaslahatan yang bersifat umum. Jika motivasi melakukan talfiq itu mencari kemudahan dengan artian negatif, seperti mempermainkan agama atau memudah-mudahkan agama, maka hukumnya tidak dibolehkan. Sebagai contoh seorang laki-laki yang akan menikahi seorang perempuan, ketika ia akan melakukan akad nikah ia menggunakan pendapat dari Imam Abu Hanifah yakni tanpa menggunakan wali dan menggabungkannya dengan pendapat Imam Malik yang mensyaratkan nikah tanpa adanya dua orang saksi. Sedangkan jika motivasi melakukan talfiq itu dengan maksud motivasi maslahah yakni menghindari kesulitan dalam beragama maka hal ini diperbolehkan, menghindari kesulitan ini bukan maksud mencari-cari kemudahan (tattabi’ al rakhas) ini yang dimaksud oleh Al Razi dalam ungkapannya “terbuka hatinya waktu mengikuti madzhab yang lain itu”. Dalam melakukan suatu perbuatan talfiq kita haruslah bersifat hati-hati sebagaimana yang telah disabdakan oleh Rasulullah saw. dalam haditsnya دعمايربيك الى مالايربيك“Tinggalkanlah apa yang meragukan bagimu menuju apa yang tidak meragukan bagimu”yakni dengan berpegang pada beberapa syarat, yaitu:
1)      Pendapat yang dikemukakan oleh suatu madzhab dengan madzhab yang telah ia kerjakan selama ini ia lebih hati-hati dalam pengambilan hukumnya
2)      Dalil atau dasar hukum yang diambil oleh madzhab tersebut dirasa lebih kuat atau rajih maka dari itu ia melakukan talfiq.[15]
D.      Ittiba’
a.    Definisi Ittiba’
Dalam KBBI kata Ittiba’ sudah menjadi bahasa Indonesia serapan yaitu iti.bak diartikan sebagai kata kerja yang bermakna mengikuti. Dalam kamus Al-Munawwir kata” Ittiba’” berasal dari kata تبع-تبعا-واتباعا-وتباعة yang  artinya: Di ikuti-tergantung pada-dan mengikuti-dan Tbah. Sedangkan menurut istilah Ittiba’ adalah mengikuti pendapat seseorang baaik itu ulama’ atau yang lain, dengan didasari pengetahuan dalil yang dipakai oleh ulama’ tersebut. Definisi Lainya,ittiba’ lalah pengambilan hukum dengan mengikuti dalil dan alasan-alasanya dan diketahui oleh mujtahid. Ittiba’ ditetapkan berdasarkan hujjah atau nash. Ittiba’ adalah lawan tajhid.[16]
b.   Ayat-ayat Al-Qur’an Yang memuat Kata Ittiba’
Berdasarkan penelusuran dalam kitab al-Mu’jam al-Mufahras li Alfazh al-Qur’an al Karim, Karya Muhammad Fu’ad Abdul Baqi ditemukan bahwa pengungkapan kata ittiba’ dalam al-Qur’an sebanyak 124 kali yang tersebar dalam 40 surah dan 111 ayat.Antara lain dalam Qs Al-Baqarah 15 kali, Diantaranya pada Ayat 38:[17]
قُلْنَا اهْبِطُواْ مِنْهَا جَمِيعاً فَإِمَّا يَأْتِيَنَّكُم مِّنِّي هُدًى فَمَن تَبِعَ هُدَايَ فَلاَ خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلاَ هُمْ يَحْزَنُونَ 
Artinya : “Kami berfirman: "Turunlah kamu semuanya dari surga itu! kemudian jika datang petunjuk-Ku kepadamu, Maka barang siapa yang mengikuti petunjuk-Ku, niscaya tidak ada kekhawatiran atas mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati".
c.    Kedudukan Ittiba’ Dalam Islam
Ittiba’ kepada Rasulullah saw mempunyai kedudukan yang sangat tinggi dalam islam, bahkan merupakan salah satu seseorang dapat masuk islam.Berikut ini akan disebutkan beberapa kedudukan penting yang ditempati oleh ittiba’ antara lain: Pertama, Ittiba’ kepada Rasulullah saw adalah salah satu syarat diterima amal. Kedua,Ittiba’ merupakan bukti kebenaran cinta seseorang kepada Allah swt dan Rasul-Nya.Ketiga, Ittiba’ adalah sifat yang utama wali-wali Allah swt. [18]
E.       Ijtihad
1.      Pengertian Ijtihad
Ijtihad menurut bahasa berasal dari kata(جهد) Artinya: mencurahkan segala kemampuan atau bisa juga diartikan “menanggung  beban kesulitan”.Bentuk kata yang mengikuti wazan; ifti’alافتعال)(menunjukkan arti : “berlebih” (Muballaghoh) dalam perbuatan. Karena itu kata “iktasaba”(اكتسب)mempunyai arti “lebih” dari kata “kasaba”(كسب)Kata Ijtihad juga diambol dari kata Juhd, yang berarti bersungguh-sungguh dalam melakukan sesuatu tindakan apa pun”[19]Arti ijtihad menurut bahasa adalah :Mencurahkan semua kemampuan dalam segala perbuatan .Kata-kata ijtihad  tidak dipergunakan kecuali pada hal yang mengandung kesulitan dan memperlukan banyak tenaga.
Ijtihad menurut istilah ahli ushul Fiqh, para ahli usul fiqh memberikan banyak definisi yang berbeda –beda.Barangkali definisi ijtihad yang lebih dekat dengan maksud ijtihad tersebut adalah definisi yang diberikan   imam as-Syaukani dalam bukunya “irsyad al-Fuhul”.Beliau mendenifisikan ijtihad sebagai berikut:
بذل الوسع في نيل الحكم شرعي عملي بطريقة الاستنباط
"      Mencurahkan kemampunan guna mendapatkan hukum syara’ yang bersifat operasional dengan cara istimbat (mengambil kesimpulan hukum)"
Sebagian ahli ushul tidak merasa puas dengan menggunakan kata-kata                      (mencurahkan sekedar kemampuan )tetapi mendenifisikanya dengan kata-kata                   (mencurahkan semua kemampuan), Bahkan Imam al-Amidi mendenifisikan ijtihad  yang memiliki arti sebagai berikut: “Mencurahkan semua kemampuan) untuk mencari hukum syara’ yang bersifat dhonni, sampai merasa dirinya tidak mampu untuk mencari kemampuanya itu.”
Imam al-Amidi menjadikan “perasaan kurang mampu untuk mencari tambahan kemampuan” sebagai bagian dalam definisi ijtihad . sedangkan Imam al-Ghozali menjadikan batasan tersebut bagian definisi al-ijtihad attam (ijtihad sempurna).Walau demikian definisi pertama sudah dianggap cukup sebab seorang mukallaf tidaklah dibebani kewajiban kecuali hanya sekedar mencurahkan kemampuanya saja. Allah berfirman pada Surah Al-Baqarah Ayat 286, yang artinya “Tidaklah Allah membebani seseorang melainkan sesuai dengan kemampuanya."  Qs. Al-Baqarah :286
Adapun maksud mereka mensyaratkan demikian agar menutup jalan ijtihad atas orang yang tergesa-gesa mengambil hukum dan orang-orang lalai yang membuat hukum seenaknya tanpa memeras kemampuan terlebih dahulu untuk meneliti dalilnya, memperdalam pemahamanya dan mengambil konklusi dari dalil-dalil tersebut serta memperbandingkan dalil yang bertentangan dengannya.
Imam Syafi’I r.a mengatakan bahwa seorang mujtahid tidak boleh mengatakan: “tidak tahu” dalam suatu permasalahan sebelum ia berusaha dengan sungguh-sungguh untuk menelitinya dan tidak memenuhi hukumnya.Sebagaimana juga seorang mujtahid tidak boleh mengatakan “aku tahu” seraya menyebutkan hukum yang  diketahuinya itu sebelum ia mencurahkan kemampuanya dan mendapatkan hukum itu.
Konotasi yang demikian ini telah tersirat hadist tentang pengiriman Muadz ke Yaman yang mana beliau menetapkan hukum hal-hal yang tidak terdapat pada Al-Qur’an dan as-Sunnah. Sebagaimana yang beliau kata(Aku berijtihad dengan pendapatku tapi aku tidak bertindak lengah).[20]Ijtihad juga mempunyai arti mencurahkan segala kemampuan dari seorang Mujtahid dalam mendapatkan kepastian hukum bagi suatu masalah yang di maksud. Adapun Ijtihad Sendiri terbagi menjadi dua Macam  yaitu:
a         Ijtihad yang menghasilkan kebenaran
b        Ijtihad yang tidak menghasilkan kebenaran /salah Furu’ /cabang benar semua dan tidak ada yang salah
Ijtihad dalam masalah Aqidah tidak dapat dikatakan semua benar, sebab kalau semua ijtihad dalam masalah akidah benar , berarti membenarkan IIjtihadnya orang-orang ahli bidah seperti halnya:
a         Orang-orang Nasrani yang beranggapan bahwa tuhan ada tiga
b        Orang-orang kafir yang beranggapan bahwa hari kebangkitan tidak ada.
c         Golongan Mu’tazilah yang beri’tikad   bahwa orang Mukmin di Syurga tidak bisa melihat Allah
d        Orang-orang majuzi yang beranggapan bahwa alam semesta terdiri dari dua unsur pokok yaitu terang dan gelap.
Mujtahid yang benar dalam masalah cabang fiqh mendapat pahala dua yaitu pahala ijtihad dan pahala kebenaranya.Sedangkan mujtahid yang salah akan ijtihadnya mendapat pahala satu yaitu pahala  ijtihad. Demikian ini berdasarkan Hadist Nabi yaitu: "Jika sesorang hakim berjihad, jika ijtihadnya benar maka ia mendapat dua pahala, jika ijtihadnya salah, maka ia mendapat pahala satu.”[21]
2.      Dasar-Dasar Ijtihad
Dasar-dasar Ijtihad atau dasar hukum ijtihad ialah Al-Qur’an dan As-Sunnah. Di dalam ayat yang menjadi dasar dalam ber-ijtihad sebagai firman Allah Swt dalam QS. An-Nisa’:105  sebagai berikut:
إِنَّآ أَنزَلْنَآ إِلَيْكَ ٱلْكِتَٰبَ بِٱلْحَقِّ لِتَحْكُمَ بَيْنَ ٱلنَّاسِ بِمَآ أَرَىٰكَ ٱللَّهُ ۚ وَلَا تَكُن لِّلْخَآئِنِينَ خَصِيمًا ﴿١٠٥﴾
Artinya: “Sesungguhnya kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah) karena (membela) orang-orang yang khianat”.
Demikian juga dijelaskan dalam QS. Al-Rum:21:
وَمِنْ ءَايَٰتِهِۦٓ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَٰجًا لِّتَسْكُنُوٓا۟ إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُم مَّوَدَّةً وَرَحْمَةً ۚ إِنَّ فِى ذَٰلِكَ لَءَايَٰتٍ لِّقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ ﴿٢١﴾
Artinya:”Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir,”Adapun Fungsi ijtihad, antara lain
a.       Fungsi al-Ruju’ (Kembali) yakni mengembalikan ajaran-ajaran islam kepada al-Qur’an dan sunnah dari segala interprestasi yang kurang relevan,
b.      Fungsi al-ihya (kehidupan); menghidupkan kembali bagian-bagian dari nilai dan islam semangat agar mampu menjawab tantangan zaman,
c.       Fungsi  al-inabah (pembenahan) memenuhi ajaran-ajaran islam yang telah di-ijtihadi oleh ulama terdahulu dan dimungkinkan adanya kesalahan menurut konteks zaman dan kondisi yang dihadapi.
Begitu pentingnya melakukan ijtihad sehingga jumhur ulama menunjuk ijtihad menjadi  hujjah dalam menetapkan hukum berdasarkan firman Allah Swt dalam QS.An-Nisa’ 59:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ أَطِيعُوا۟ ٱللَّهَ وَأَطِيعُوا۟ ٱلرَّسُولَ وَأُو۟لِى ٱلْأَمْرِ مِنكُمْ ۖ فَإِن تَنَٰزَعْتُمْ فِى شَىْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى ٱللَّهِ وَٱلرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِٱللَّهِ وَٱلْيَوْمِ ٱلْءَاخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا ﴿٥٩﴾
Artinya: Jika kamu mempersengkatan sesuatu maka kembalikanlah sesuatu tersebut kepada Allah dan Rasul-Nya”
Perintah untuk mengembalikan masalah kepada al-Qur’an dan sunnah ketika terjadi perselisihan hukum ialah dengan penelitian seksama terhadap masalah yang nash-nya tidak tegas. Demikian juga sabda Nabi Saw:“ Jika seorang hakim berbegas memutus perkara tentu ia melakukan ijtihad dan bila benar hasil ijtihadnya akan mendapatkan dua pahala. Jika ia bergegas memutus perkara tentu ia melakukan ijtihad dan ternyata hasilnya salah, maka ia mendapat satu pahala” (HR.Asy-Syafi’I dari Amr bin Ash)[22]
3.      Macam-macam Metode Ijtihad
a.      Istihsan
Istihsan secara sederhana dapat diartikan sebagai berpaling dari dalil khusus ke dalil umum. Maksudnya adalah meninggalkan satu dalil ke dalil yang lain, meninggalkan satu dalil dengan dalil lain yang lebih kuat, membandingkan satu dalil dengan dalil yang lain untuk menetapkan hukum .
Hal ini dilakukan untuk memilih yang lebih baik demi memenuhi tuntutan kemaslahatan dan tujuan syariat.Metode ini dapat diterapkan untuk menyelesaikan masalah, antara lain masalah  konflik kepentingan antara 2 pihak yakni kepentingan yang jangkaunya sempit dan kepentingan yang bersifat luas.
b.      Marsalah-Mursalah
Maslahah berarti  kepentingan hidup manusia . Adapun mursalah adalah sesuatu yang tidak ada ketentuan nash syariat yang membatalkanya. Metode ini adalah salah satu salah satu cara dalam menetapkan hukum yang berkaitan dengan masalah-masalah yang ketetapanya dalam nash yang  membenarkan atau yang membatalkanya
Prinsipnya adalah menarik manfaat dan menghindarkan kerusakan dalam upaya  memelihara tujuan hukum yang lepas dari ketetaoan dalil syara’. Maslahah Mursalah ini dapat dijadikan dasar hukum apabila
1)      Masalah bersifat esensial atas dasar penelitian dan melalui analisis dan pembahasan yang mendalam, sehingga penetapan hukum terhadap masalah benar-benar member manfaat dan menghindarkan mudharat.
2)      Masalah bersifat umum, bukan perorangan dan bermanfaat pada orang banyak.
3)      Masalah tidak bertentangan dengan nasah dan terpenuhinya kepentingan hidup manusia dan terhindar dari kesulitan.
c.       Istishab
            Istishab Adalah menjadikan ketetapan hukum yang ada trtap berlaku seingga ada ketentuan dalil yang mengubahnya. Yang berarti mengembalikan segala sesuatu pada ketentuan semula selama tidak ada ndalil nash yang mengharamkan atau melarang nya.
            Seperti halnya hukum berbagai jenis hewan,tumbuh-tumbuhan, makanan,minuman, amal perbuatan yang tidak ada dalil syara’ yang menetapkan hukumnya, sehingga hukumnya halal atau mubah.
Seperti dijelaskan dalam Surah Al-Baqarah ayat 29:
هُو ٱلَّذِى خَلَقَ لَكُم مَّا فِى ٱلْأَرْضِ جَمِيعًا ثُمَّ ٱسْتَوَىٰٓ إِلَى ٱلسَّمَآءِ فَسَوَّىٰهُنَّ سَبْعَ سَمَٰوَٰتٍ ۚ وَهُوَ بِكُلِّ شَىْءٍ عَلِيمٌ ﴿٢٩﴾
“Dia-lah Allah, yang menjadikan  segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit, dan Dia Maha Mengetahui segala Sesuatu.”
Istishab antara lain pertama, memberlakukan ketetapanakal tentang bolehnya sesuatu jika tidak ditemukan dalil yang mengubahnya.Kedua, tetap memberlakukan hukum syara’ berdasarkan ketentuan suatu dalil.
Dengan begitu, Istishab tidak melahirkan hukum baru dalam suatu kasus , melainkan tetap berlaku hukum akal mengenai kebolehan suatu hal selama tidak bertentangan dengan syara’  dan memberlakukan hukum syara’ bagi suatu kasus atas dasar terpenuhinya sebab terjadinya hukum.
d.      Urf  atau Adat
Urf merupakan kebiasaan, yang mana di  dalam urf sendiri ada yang berpendapat tidak ada kebiasaan yang menyimpang dari nash-nash Al-quran , namun dalam urf, adapula urf yang fasid, yakni yang bertentangan dengan syariat islam yang telah ditetapkan kedudukan hukumnya oleh Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Menurut Rachmat Syafi’I, dalam hukum islam Urf adalah sebuah keadaan, atau ucapan yang telah dikenal oleh manusia dan telah menjadi tradisi untuk melaksanakannya atau meninggalkanya
Setaip urf atau adat mengalami perubahan sesuai dengan perkembangan zamanya. Hingga urf tidak berlaku universal, bukan hanya local, bahkan urf bersifat parsial, bisa berlaku di desa tertentu, akan tetapi bisa bertentangan dengan desa lainya.Dalam hukum islam,adat terbagi menjadi 2 Macam, yakni
1)      Adat Shahihah
Merupakan adat yang tidak bertentangan dengan syariat,akal sehat, serta undang-undang yang berlaku, dan apabila terlaksanakan, mendatangkan kemaslahatan bagi Masyarakat.
2)      Adat Fasidah
Merupakan adat yang  bertentangan dengan Syariat,akal sehat, serta undang-undang yang berlaku.Dzariah,Dzariah berarti, jalan menuju sesuatu, Ada pembagian, sebagai berikut:
a)      Sadd dzari’ah, adalah melaksanakan suatu pekerjaan yang semula mengandung kemaslahatan menuju pada suatu kerusakan.
b)      Fath adz-Dzari’ah, merupakan bagian dari Dzari’ah yang artinya membuka segala sesuatu yang dapat menimbulkan kerusakan atau kemudzharatan.
e.       Madzhab Shahaby
Pendapat para Shahabat, mempunyai kedudukan tertinggi setelah hukum islam tidak ditemukan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, karena didasarkan pada alasan bahwa para sahabat adalah orang yang bergaul sangat dekat dengan Rasulullah SAW.
f.       Syar’u Man Qablana
Syar’u Man Qablana artinya Syari’at sebelum kita. Semua  syariat yang telah ada sebelum  syariat islam diadopsi dan disempurnakan oleh Al-Qur’an dan As-Sunnah. [23]
4.      Macam-macam Mujtahid
a.    Mujtahid Mutlak
Mujtahid Mutlak adalah orang-orang Alim yang telah cukup memiliki syarat-syarat Mufti ,seperti Imam Syafi’I, Imam Hambali, Imam Hanafi,Imam Maliki.
b.   Mujtahid Madzhab
Mujtahid Madzhab adalah orang-orang Alim yang belum cukup memiliki syarat-syarat Mufti,akan tetapi ia dapat mengetahui kaidah-kaidah Imanya sehingga dia bisa mengeluarkan keputusan ber-dasarkan kaidah-kaidah lamanya,seperti Imam Suyuthi,Imam Yusuf dll.
c.       Mujtahid Fatwa
Mujtahid Fatwa adalah orang-orang alim yang luas ilmunya,sehingga dengan keluasan ilmunya itu dapat/bisa memiliki kemampuan untuk menimbang antara dua qaul imanya seperti Imam Nawawi,Imam Rofi’I dll. [24]
5.      Syarat-Syarat Mujtahid
Adapun syarat-syarat menjadi Ahli Hujjah atau Mujtahid antara lain seperti berikut:
a         Mengerti Ayat-Ayat yang menjadi sumber Hukum
b        Mengerti hadits-Hadits yang menjadi sumber hukum
c         Mengerti kaidah-kaidah Fiqh
d        Mengerti cabang-cabang Fiqh
e         Mengerti Ikhtilaf/Perbedaan para Imhab yang imam.
f         Mengerti Madzhab yang tetap.
g        Mengerti Ilmu Nahwu
h        Mengerti Bahasa Arab
i          Mengerti Ilmu Ushul
j          Mengerti Ilmu Ma’ani/ ilmu untuk menjaga dari kesalahan ketika berbicara
k        Mengerti Ilmu Bayan /ilmu untuk menjaga dari pembicaraan yang tidak mengarah pada tujuanya.
l          Mengerti Tafsirnya Ayat Al-Quran
m      Mengerti kepribadian para Rowi Hadits
n        Mengerti hal-hal yang menjadi ijma’dan menjadi khilaf
o        Mengerti dalil Naskh dan Mansukh
p        Mengerti Asbabun Nuzul[25]
F.       Penutup
Dari hasil penjabaran diatas maka dapat disimpulkan bahwasannya dalam ushul fiqh istilah taqlid, talfiq, ittiba’ dan ijtihad merupakan sebuah istilah yang dibuat untuk seseorang yang melakukan upaya pemahaman tentang dalil naqli yang bersifat qath’i. Taqlid sendiri adalah suatu perbuatan yang dilakukan oleh seseorang dengan jalan mengikuti pendapat ulama yang sudah ada tanpa tau dasar hukum pengambilan hukum syar’i. Orang tersebut percaya sepenuhnya kepada ulama tersebut, sebab ia merasa tidak mampu untuk memahami hukum syariat yang telah ada dengan dihubungan kekehidupan sehari-hari. Hukum melakukan taqlid jumhur ulama berpendapat bahwa perbuatan ini dilarang, sebab seseorang melakukan suatu ibadah tanpa dasar mengapa hukum itu diambil oleh ulama itu tidak dibenarkan, kecuali bagi orang awam yang memang tidak mampu untuk memahaminya walaupun telah berusaha semaksimal mungkin. Sedangkan Talfiq  adalah suatu perbuatan yang orang tersebut telah mengikuti suatu madzhab kemudian ia menggunakan pendapat dari madzhab yang lain satu atau lebih dengan alasan kemaslahatan. Perbuatan ini diperbolehkan oleh para ulama sebab para ulama tidak mengikat suatu kalangan atau individu untuk mengikuti satu madzhab saja. Tetapi perbuatan ini tidak diperbolehkan jika berpindahnya madzhab hanya untuk mencari keringan tanpa memikirkan kemaslahatan umat.
Dapat ditarik  Kesimpulan, bahwasanya Ijtihad adalah mencurahkan segala kemampuan dari seorang Mujtahid dalam mendapatkan kepastian hukum bagi suatu masalah, yang tidak dapat Al-Qur’an dan As-Sunnah.Adapun Ijtihad sendiri terbagi menjadi dua macam, yakni ijtihad yang menghasilkan kebenaran dan Ijtihad yang Ijtihad yang tidak menghasilkan kebenaran.Dasar Ijtihad atau dasar Hukum Ijtihad terdapat dalam Qs An-Nisa’ Ayat 105 dan Qs.Ar-Rum Ayat 21. Ijtihad mempunyai Fungsi sebagai Al-Ruju’ (Kembali), Al-Ihya (Kehidupan), dan Sebagi Al-Inabah (Pembenahan).Adapun Macam-macam Metode Ijtihad, terdapat beberapa macam, yakni Istihsan atau memilih yang lebih baik,Marsalah Mursalah,Istishab, Urf/Adat,Madzhab Shahaby,dan Syar’u Man Qablana.
Ittiba’ berasal dari kata تبع-تبعا-واتباعا-وتباعةyang berarti Mengikuti, adapun secara istilah adalah mengikuti pendapat seseorang baik itu ulama’ atau yang lain, dengan didasari pengetahuan atau dalil yang dipakai ulama’ tersebut, terdapat banyak sekali kata Ittiba’ dalam Al-Qur’an  diantaranya dalam Qs.Al-Baqarah Ayat 38.Ittiba’ sendiri mendapat kedudukan tinggi dalam islam, Karena Ittiba’ merupakan  bukti kebenaran cinta pada Allah swt dan Rasulnya, Ittiba; pada Rasul merupakan salah satu syarat diterima Amal, dan merupakan sifat Utama Wali-wali Allah.
DAFTAR PUSTAKA
Abd Wafi Has,Ijtihad Sebagai Alat Pemecahan Umat Islam,Vol.8,No.1,Juni 2013.
Ahmad.2012.Ittiba’ Dalam Prespektif Al Quran (Suatu Kajian Tafsir Maudhu’i).Skripsi : UIN Alauddin Makassar.
Al-Qardlawy, Yusuf. 1987. Ijtihad dalam Syariat Islam,Beberapa Pandangan Analitis tentang Ijtihad Kontemporer. Jakarta:PT BULAN BINTANG.
Hadi, Saeful. 2011.Ushul Fiqh. Yogyakarta:Sabda Media.
Hanani, Nurul.2009.Ijtihad dan Taklid Prespektif K.H.Hasyim Asy’ari.cet-2. Kediri:STAIN Kediri Press.
Hasbiyallah.2014. Fiqh dan Ushul Fiqh.cet-2. Bandung :Remaja Rosdakarya.
Muniron,dkk.2010.Studi Islam di Perguruan Tinggi. Jember : STAIN Jember Press.
Muthahhari,Murtadha.1993.Pengantar Ushul Fiqh&Ushul FiqhPerbandingan.Jakarta : Pustaka Hidayah.
Rasyida Arsjad,Talfiq Dalam Pelaksanaan Ibadah Dalam Prespektif Empat Madzhab,Cendekia : Jurnal Studi Keislaman Volume 1, Nomor 1, Juni 2015.
Saebani, Beni Ahmad. 2017.Ilmu Ushul Fiqh. Bandung:Cv Pustaka Setia.
Yusuf, Nasruddin.2012.Pengantar Ilmu Ushul Fikih. Malang:Universitas Negeri Malang.


Catatan:
1. Similarity 14%.
2. Rujukan dari jurnal, yang dimiringkan adalah nama jurnal, bukan judul artikel.

Artikel ini sudah bagus, cuma butuh beberapa perbaikan kecil saja.


[1] Nurul Hanani,Ijtihad dan Taklid Prespektif K.H.Hasyim Asy’ari.cet-2. (Kediri: STAIN Kediri Press, 2009), hlm: 2
[2]Nurul Hanani,Op.Cit., hlm : 31
[3]Hasbiyallah,Fiqh dan Ushul Fiqh.cet-2. (Bandung : Remaja Rosdakarya, 2014), hlm : 121
[4]Nurul Hanani,Op.Cit., hlm : 32
[5]Hasbiyallah, Op.Cit., hlm : 122
[6]Nasruddin Yusuf,Pengantar Ilmu Ushul Fikih. (Malang: Universitas Negeri Malang, 2012), hlm: 162
[7] Muniron,dkk, Studi Islam di Perguruan Tinggi. (Jember : STAIN Jember Press, 2010), hlm : 111
[8]Nurul Hanani,Op.Cit, hlm: 34-37
[9]Nasruddin Yusuf,Op.Cit., hlm: 162
[10]Nurul Hanani,Op.Cit, hlm :41
[11]Nasruddin Yusuf,Op.Cit., hlm: 162
[12]Nasruddin Yusuf,Op.Cit., halaman, 166 dan Rasyida Arsjad,Talfiq Dalam Pelaksanaan Ibadah Dalam Prespektif Empat Madzhab,Cendekia : Jurnal Studi Keislaman Volume 1, Nomor 1, Juni 2015, hlm : 63
[13]Ibid., hlm : 64
[14]Hasbiyallah, Op.Cit., hlm : 124
[15]Ibid.,hlm: 124-125
[16]Ahmad,Ittiba’ dalam Prespektif Al-Qur’an,(Suatu Kajian Tafsir Mau’dhui,September,hlm.15-16
[17]Ibid.,hlm.16
[18]Ahmad,Op.Cit.,hlm : 32-34
[19] Murtadha Muthahhari,Pengantar Ushul Fiqh&Ushul Fiqh Perbandingan,(Jakarta:Pustaka Hidayah,1993), hlm : 44.
[20]Yusuf Al-Qardlawy,Ijtihad dalam Syariat Islam,Beberapa Pandangan Analitis tentang Ijtihad Kontemporer,(Jakarta:PT BULAN BINTANG,1987), hlm : 1-4.
[21]Saeful Hadi,Ushul Fiqh,(Yogyakarta:Sabda Media,2011) hlm : 127-128.
[22]Abd Wafi Has,Ijtihad Sebagai Alat Pemecahan Umat Islam,Vol.8,No.1,Juni 2013,hlm :  93-94.
[23]Beni Ahmad Saebani,Ilmu Ushul Fiqh,(Bandung:Cv Pustaka Setia,2017), hlm : 187-192.
[24]Saeful Hadi,Op.Cit., hlm : 124
[25]Saeful Hadi,Op.Cit.,hlm: 124-125

Tidak ada komentar:

Posting Komentar