Senin, 11 Februari 2019

Taqlid, Ittiba', Talfiq, dan Ijtihad (PAI B Semester Genap 2018/2019)



Abstrac

Ijtihad is a very effective means to support the upright and existence of Islamic law and make it an updated life order that is able to answer the challenges of the age problem. The difference tolerated by Islam which is declared to bring grace / spaciousness is the difference in the field of furu law / fiqh as a result of differences in ijtihad. For those who do not have the capacity to berijtihad, they must follow (taqlid) on the results of certain ijtihad. Talfiq is to take or follow a law about an event by taking it from various madhhab. Talfiq is a term for someone who in worship follows one of the opinions of the four madhhab or other popular madhhab, but he also follows the other madhhab in terms of the principal or one particular part. Ittiba 'is accepting or following the opinion of one's actions by knowing the basis of his opinion or action.
Key word: Ijtihad, Taqlid, Talfiq dan ittiba’

Abstrak

Ijtihad merupakan jalan yang efektif agar menjaga eksistensi hukum Islam serta menjadikan pondasi untuk selalu update danmampumenyelesaikan persoalan zaman. Islam memberikan toleransi dengan adanyaijtihad inidengan membawa rahmat/kelapangan di bidang hukum furu'/fiqih dari akibat munculnya perbedaan ijtihad. Bagi mereka yang tidak mempunyaikemampuan berijtihad diharuskan mengikuti (taqlid) hasil dari ijtihad. Talfiq adalah mengikuti serta mengambil sebuah hukum mengenai peristiwa dari berbagai madhhab. Talfiq merupakan sebutan cara bagi seseorang dalam beribadah dengan mengikuti salah satu pendapat dari madhhab, tetapi ia juga mengikuti pula madhhab lainya dalam hal yang pokok atau salah satu bagian tertentu. Ittiba’ merupakan suatu caradalam mengikuti pendapat seseorang dengan mengetahui dasar pendapat atau dalil perbuatan tersebut.
Kata kunci : Ijtihad, Taqlid, Talfiq dan ittiba’



















Di dalam ilmu ini dibahas juga tentang Taqlid, Talfiq, ittiba’ dan Ijtihad. Taqlid adalah orang yang mengikut orang lain dengan membuta tuli, yakni mengikuti fatwa orang lain tanpa memfahumi dasar pengambilannya. Orang yang menerima fatwa orang lain itu dinamakan  muqallid. (Dr. Abdul Karim Zaidan, 2004: 323).
Talfiq adalah beramal dalam urusan agama dengan berpedoman kepada petunjuk beberapa mazhab”. Ittiba’ adalah kewajiban kaum muslimin dalam mengikuti kebenaran wahyu yang telah Allah dan Rasul nya sampaikan. Ijtihad adalah usaha sungguh-sungguh guna menetapkan suatu perkara yang menggunakan akal sehat dan pertimbangan yang matang.
Kita semua sebagai para penuntut ilmu janganlah sampai terpecah belah karena perbedaan pendapat, marilah kita mengkaji ilmu-ilmu agama Islam dengan baik, maka dari itu dengan makalah ini marilah kita belajar bersama tanpa menyalahkan pendapat yang berbeda.
Salah satu prinsip pokok yang harus di yakini dalam beragama adalah islam itu untuk manusia yang masih hidup, bukan untuk orang yang sudah mati.[1]
Taqlid menurut makna etimologis yang disepakati oleh para ulama berasal dari kata
qallada yang bermakna “meletakkan tali/ikatan di sekitar leher.”6 Istilah ini digunakan untuk
menyiratkan kebergantungan seseorang pada orang lain. Sementara secara terminologis,
para ulamacenderung sepakat pada satu makna walaupun agak berbeda dalam
redaksionalnya.[2]
Menurut asalnya, kalung itu di gunakan untuk sesuatu yang di letakkan membelit leher seekor hewan; dan hewan yang dikalungi itu mengikuti sepenuhnya ke mana saja kalung itu di tarik orang. Apabila yang dijadikan “kalung / tali” itu adalah “perkataan” seseorang, maka berarti orang yang dikalungi itu akan mengikuti “pendapat” orang itu tanpa mempertanyakan lagi kenapa pendapat orang tersebut demikian.
Menurut pendapat yang lain  Taqlid yaitu menerima pendapat seseorang tanpa mengetahui darimana sumber pendapat tersebu.[3]
Dalam hal initaqlid ialah orang yang mengikut orang lain dengan membuta tuli, yakni mengikuti fatwa orang lain tanpa memfahumi dasar pengambilannya. Orang yang menerima fatwa orang lain itu dinamakan muqallid. (Dr. Abdul Karim Zaidan, 2004: 323).[4]
Dari uraian tersebut, maka telah jelas bahwa secara lughowi (bahasa) bila dikatakan, “si A ber-taqlid kepada si B”, berarti si A mengikuti kenapa pendapat si B begitu.
Adapun pengertian secara lughowi itu berkembang menjadi istilah hukum yang hakikatnya tidak berjauhan dari maksud lughawi itu. Diantara definisi tentang taqlid tersebut, ialah:
1.      Menurut Al-Ghazali:
Menerima ucapan hujah.
2.      Menurut Al-Asnawi dalam kitab Nuhayat al-Ushul mengemukakan definisi:
Mengambil perkataan orang lain tanpa dalil.
3.      Menurut Ibn Subki dalam kitab Jam’ul Jamawi:
4.      Taqlid ialah mengambil suatu perkataan tanpa mengetahui dalil.

Masih banyak yang merumuskan tentang definisi Taqlid, yang pada hakikatnya tidak berbeda dengan definisi yang dikemukakan diatas.
Diantara tiga definisi yang di kemukakan di atas, al-Ghazali memberikan pengertian tentang taqlid secara harfiah paling sederhana, tidak lebih dari tiga kata. Oleh karenayna, jika definisi itu ditelaah menurut apa adanya belum memberikan pengertian yang lengkap, sehingga menimbulkan pertanyaan yang belum dijelaskan.
Seperti pertanyaan: ucapan atau pendapat siapa yang diterima itu? Apakah yang diterima itu perbuatan atau tingkah laku, apakah disebut taqlid juga ? kata “tanpa hujah” dalam definisi tersebut mengandung kesamaran dari cara menerimanya dan mengenai kekuatan orang yang ucapanya diterima tersebut.
Definisi menurut al-Asnawi banyak menjelaskan kekaburan yang terdapat di dalam arti menurut al-Ghazali tersebut. Dalam artianya digunakan kata “mengambil” sebagai ganti dari kata “menerima”, tetapi keduanya sama maksudnya. Dengan kata “orang lain” jelas bahwa kata yang diambil itu adalah kata atau pendapat orang lain, bukan kata atau poendapatnya sendiri. Kata “tanpa dalil” menje;askan maksud dari “tanpa hujah” yang dikemukakan oleh al-Ghazali.
Namaun kekaburan tercipta pula dari kata “tanpa dalil itu”. Maksud tanpa dalil itu bukan berarti pendapat yang diambil itu tidak mempunyai dalil sama sekali, tetapip pihak yang diambil itu mengambil pendapat orang lain itu tidak mengetahui dalil-dalil yang dikemukakan oleh orang lain tersebut.
Mengenai pertanyaan tentang bagaimana kalau yang diambil tampaknya ketiga definisi diatas belum memberikan jawaban. Bahwa menerima atau mengambil selain ucapan, baik dalam bentuk perbuatan atau pengakuan tidak disebut taqlid.
Pasal dari ketiga definisi yang disebutkan diatas adalah kata “tanpa hujah” atau “tanpa dalil” atau “tanpa mengetahui dalil” orang yang memiliki pendapat. Pasal ini memberikan penjelasan penjelasan hujahnya atau ia mengetahui dalilnya, maka cara tersebut tidak dinamai “taqlid”, tetapi merupakan karya ijtihad yang kebetulan hasilnya bersamaan dengan yang diikutinya.
Ibn al-Humman (dari kalangan ualama hanafiyah) memberikan definisi lebih lengkap yang menjelaskan kesamaran yang terdapat dalam ketiga definisi diatas, yaitu:
Taqlid ialah beramal dengan pendapat seseorang yang pendapatnya itu bukan merupakan hujah, tanpa mengetahui hujahnya.
Penjelasan diatas dapat dirumuskan bahwa hakikat taqlid, sebagai berikut :
1.      Taqlidmerupakancara beramal dengan mengikuti ucapan atau pendapat orang lain tanpa mengetahui dalil atau alasan mengenai amalan tersebut.
2.      Pendapat atau ucapan orang lain yang diikuti tidak memiliki hujah
3.      Orang yang diikuti tidak memberikan sebab-sebab atau dalil-dalil dan hujah dari pendapat yang diikutinya itu.
Maka disimpulkan terdapat tiga kalangan umat islamberdasarkan pelaksanaan hukum islam atau syara’, yaitu:
1.      Mujtahid : orang yang memiliki pendapat dari ijtihadnya sendiri, beramal dengan hasil ijtihadnya dan tidak mengikuti hasil ijtihad lainnya. Ini yang disebut mujtahid mutlaq.
2.       Muqallid: orang yang tidak mampu menghasilkan pendapatnya sendiri, karena itu ia mengikuti pendapat orang lain tanpa mengetahui kekuatan dan dalil dari pendapat yang diikutinya itu.
3.      Muttabi’: orang yang mampu manghasilkan pendapat, namun melalui cara mengikuti metode dari ulama sebelumnya. Mujtahid dari kedudukan mujahidmuntasib, mujahid mazhab, mujahid murajjih, dan mujtahid-mujtahid muwazin termasuk golongan ketiga ini.
Pada dasarnya muqallid dan muttabi’ itu adalah dua term dengan fungsi yang sama yaitu beramal dengan mengikuti pendapat orang lain karena ketidak mampuanya menghasilkan pendapat sendiri. Kaduanya boleh mengikuti pendapat orang lain dalam beramal berdasarkan firman Allah dalam surat al-Nahl ayat 43: Bertanyalah kepada para ahli ilmu jika kamu telah mengetahui.
Dua term tersebut mempunyai arti yang berlawanan dengan mujtahid yang beramal dar hasil pendapatnya sendiri yang dihasilkanya melalui ijtihadnya. Kalau begitu tidak salah pula kalau umat islam itu dari segi beramal dalam agama hanya dibagi menjadi duakelompok yaitu mujtahid dan muttabi’. Muqallid dibedakan dari muttabi’dari sikapnya waktu melakukan fungsi sebagai muttabi’ itu. Seseorang dapat saja mengikuti pendapat orang lain bila dia yakin akan kebenaran pendapat orang lain. Kebenaran pendapat itu disebabkan oleh dua hal yaitu pada diri yang berpendapat dan pada pendapat itu sendiri. Kebenaran pendapat pada dirinya adalah karena dia adalah orang yang ma’sum adalah (terpelihara dari dosa atau kesalahan). Orang ma’sum adalah nabi sendiri atau umat islam dalam bentuk ijma’, untuk dua hal ini diperlukan minta kejelasan tentang pendapat yang diberikan oleh mufti itu, karena dia sudah menduduki fungsi hujjah syari’ah. Kalau pendapat tentang hukum bukan berasal dari dua sumber itu harus mencari kejelasan tentang kekuatan dalil dari pendapat itu waktu mengamalkanya. Kalau tidak begitu berarti beramal dengan pendapatorang lain tanpa dalil. Yang demikian disebut ittiba’ yang tercela. Itulah dinamai taklid. Kalau ulama kelompok Zhahiri mengharamkan taklid itu adalah karena muqalid itu menempatkan seseorang yang tempat dia bertanya yang bukan nabi itu dalam posisi sebuah nabi. Hal demikian hukumnya adalah haram.[5]
Dalam AlQur’an terdapat ayat-ayat yang mengisyaratkan melarang orang islam ikut-ikutan dalam menjalankan agama, di antaranya firman Allah dalam surat Luqman (31): 21:
“Dan apabila dikatakan kepada mereka:` Ikutilah apa yang diturunkan Allah `. Mereka menjawab:` (Tidak), tapi kami (hanya) mengikuti apa yang kami dapati bapak-bapak kami mengerjakannya `. Dan apakah mereka (akan mengikuti bapak-bapak mereka) walaupun syaitan itu menyeru mereka ke dalam siksa api yang menyala-nyala (neraka)?”(QS. 31:21)

Di samping itu ada pula ayat yang mengisyaratkan tidak perlu semua mendalami pengetahuan agama, tapi cukup sebagian orang saja, sebagaimana diterangkan dalam firman Allah pada surat at-Taubah (9): 122:

‘Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang).
Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.”

            Karena sebagian yang tahu pengetahuan agama dan banyak yang tidak tahu, maka yang tidak tahu itu disuruh bertanya kepada yang tahu, sebagaimana di firmankan Allah dalam surat an-nahl (16):43:

“bertanyalah kepada para ahli ilmu, jika kamu tidak mengetahui.”


Kalangan ulama Syafi’iyah berpendapatbahwa harus mengetahui keilmuanya dengan cara bertanya kepada orang yang faqih untuk beramal. Pendapat lainya mengatakan, bahwa untuk mengetahui keilmuan seorang mufti cukup dari dengan melihat kabar tentang kapasitas kemampuan ilmunya. Adapun mengetahui keadilanya perlu melalui suatu pembahasan tersendiri.
Diantara ulama ada yang mensyaratkan untuk menguji seseorang setelah minta fatwa kepadanya. Namun hal ini ditolak oleh Imam Haramain yang mengatakan bahwa tidak ada ketentuan yang demikian, bahkan bila telah ada yang mengatakan bahwa ia seorang mujtahid, maka harus di pegang dan di ikuti. Untuk mengetahui keilmuanya cukup dengan berita tersebut.
Bila dua persyaratan tersebut (berilmu dan ‘adil) tidak terdapat pada seseorang, maka tidak boleh ber-taqlid kepadanya. Pendapat lainya mengatakan bila yang tidak diketahui dari orang itu adalah tentang keilmuanya, maka tidak boleh minta fatwa dan ber-taqlid kepadanya.
Bila dalam satu wilayah hanya ada seorang mujtahid yang memenuhi persyaratan tersebut, maka pendapatnya harus diikuti, karena memang tidak ada  alternatif (pilihan) lain. Kalau di satu wilayah ada beberapa orang dalam derahat yang sama, maka boleh memilih salah satu diantaranya untuk diikuti.
Bila dalam satu wilayah terdapat beberapa orang mujtahid untuk diikuti dan berbeda tingkat keilmuanya (dalam arti ada yang lebih baik atau fadhil dan ada yang tanpa kelebihan atau mafdhul), mana yang harus diikuti pendapatnya oleh seorang awam. Bolehkah mengikuti yang mafdhul selagi ada yang fadhil? Dalam ini pendapat berbeda pendapat:
1.      Kalangan ulama yang terdiri dari kebanyakan ulama Hanbalilah seperti al-Qadhi, Abu al-Khattab dan Ibn al-Hajib berpendapat boleh mengikuti mufti dalam kualitas yang mafdhul meskipun disamping itu ada yang berkualitas fadbil. Alasanya, bahwa mengikuti yang mafdhul disamping ada yang fadhil itu ketahui orang banyak dan tidak ada yang menyanggahnya. Maka dalam hal ini kedudukannya sama dengan ijma’ sukuti.
2.      Kalangan ulama yang terdiri dari ulama hanafiyah, Malikiyah, kebanyakan ulama Syafi’iyah, Ahmad dan al-Ghazali menyatakan bahwa harus memilih yang fadhil dan tidak boleh mengikuti yang mafdhul. Alasanya adalah sebagaimana yang dikemukakan oleh  al-Mahalli, yaitu bahwa pendapat seseorang mujtahid dalam hubungannya dengan muqallid yang akan mengikutinya adalah ibarat beberapa dalil syara’ yang berbeda dalam hubungannya dengan mujtahid. Dalam keadaan demikian, mujtahid harus mengambil dalil yang terkuat diantara beberapa dalil tersebut. Demikian juga seorang awam harus mengambil yang terkuat dari pendapat beberapa orang mufti atau mujtahid (dalam hal ini dalah yang fadhil).
3.      Pendapat yang dianggap pilihan oleh Ibnu Subki adalah bolehnya orang awam mengikuti pendapat orang yang diyakininya fadhil, meskipun menurut kenyataanya bahwa orang itu adalah mafdhul. Tetapi bila ia telah meyakini ke mafdhulan nya, maka tidak boleh ia mengikutinya lagi. Pendapat ini merupakan kombinasi dari dua pendapat sebelumnya. Namun dalam hal ini tidak ada kewajiban  untuk membahas mana yang terkuat, karena dengan pembahasan itu tidak akan dapat diketahui secara jelas oleh orang-orang yang akan mengikutinya atau meminta fatwa.

Talfiq berasal dari kata lafaqo yang artinya mempertemukan menjadi satu.Dalam literatur ushul fiqih sulit ditemukan pembahasan secara jelas tentang definisi talfiq. Namun hampir setiap literatur menyinggung masalah ini dalam pembahasan tentang beralihnya orang yang meminta fatwa kepada imam mujahid lain dalam masalah yang lain. Perpindahan mazhab ini mereka namakan talfiq dalam arti “ beramal dalam urusan agama dengan berpedoman kepada petunjuk beberapa mazhab”.
Contoh, seseorang mentalak tiga terhadap isterinya. Kemudian mantan isterinya menikah dengan anak laki-laki berusia 9 tahun untuk tujuan tahlil (menghalalkan kembali pernikahan dengan suaminya yang pertama. Dalam hal ini, suami keduanya bertaklid kepada madzhab Asy Syafi’i yang mengesahkan pernikahan seperti itu, kemudian ia menggauli wanita tersebut dan lalu menceraikannya dengan bertaklid kepada madzhab Imam Ahmad yang mengesahkan jenis talak seperti itu dan tanpa melalui masa ‘iddah, sehingga suaminyayang pertama boleh menikahinya kembali.

Ada pula yang memahami talfiq itu dalam lingkup yang lebih sempit, yaitu dalam satu masalah tertentu. Seumpama talfiq dalam masalah persyaratan sahnya nikah, yaitu dengan cara: mengenai persyaratan wali nikah mengikuti satu mazliab tertentu, sedangkan mengenai persyaratan penyebutan mahar mengikuti mazhab yang lain.
Para ulama memperbincangkan masalah hukum talfiq tersebut. Masalah ini tidak menjadi bahan perbincangan bagi kalangan ulama yang tidak mengharuskan seseorang untuk mengikatnya dirinya kepada satu mazhab. Demikian juga bagi kalangan ulama yang mengharusakan bermazhab dan tidak boleh berpindah mazhab. Mereka merasa tidak perlu memperbincangkan masalah ini karena talfiq itu sendiri pada hakikatnya adalah pindah mazhab. Bagi kedua kalangan ulama tersebut, talfiq sudah jelas hukumnya. Perbincangan talfiq itu muncul di kalangan ulama yang memperbolehkan berpindah mazhab dalam masalah tertentu sebagaimana tampak dalam pendapat ketiga pada uraian diaras tentang boleh tidaknya seseorang berpindah mazhab.
Beberapa ulama melarang adanya talfiq dengan tujuan untuk mencari-cari kemudahan. Kemudian Ibnu Subki menuklikan pendapat Abu Ishaq al-Marwazi yang berbeda dengan itu (yaitumemperbolehkan) kemudian diluruskan  pengertianya oleh  al-Mahalli yang menyatakan fasik melakukanya; sedangkan Ibnu Abu Hurairah menyatakan tidak fasik.
Jika pendapat diatas kita bandingkan dengan pandangan al-Razi dalam kitab al-Mabsbul dan syaratnya yang mengutip persyaratan yang ditemukan al-Royani dan komentar Ibn ‘Abad al-Salam, dapat disimpulakan bahwa boleh tidaknya tafiq tergantung kepada motivasi dalam melakukan talfiq tersebut. Motivasi ini diukur dengan kemaslahatan yang bersifat umum. Kalau motivasinya adalah negarif, dengan arti mempermainkan agama tau mempermudah agama, maka hukumnya tidak boleh.  Umpamanya seorang laki-laki menikahi seorang perempuan tanpa wali, tanpa saksi, dan tanpa menyebutkan mahar, padahal untuk memenuhi ketiga syarat itu tidak susah.
Bila talfiq dilakukan dengan motivasi mashlahat, yaitu menghindarkan kesulitan  dalam beragama talfiqdapat dilakukan. Inilah yang dimaksud al-Razidengan ucapan , “Terbuka hatinya waktu mengikuti mazhab yang lain itu”.
Bila talfiq dilakukan oleh suatu negara dalam pembentukan suatu peraturan yang akan dijalankan umat islam, maka tidak ada alasan untuk menolaknya karena suatu negara (sultan) dalam berbuat untuk umatnya berdasarkan pada kemaslahatan umum. Umpamanya undang-undang perkawinan yang berlaku hampir disemua negara yang berpenduduk muslim, dirumuskan atas dasar talfiq.
Untuk tindakan berhati-hati dalam melakukan talfiq adalah relevan untuk mengikuti persyaratan yang dikemukakan  al-Alai yang diikuti oleh al-Tahrir serta sesuai dengan yang diriwayatkan imam Ahmad dan al-Quduri yang diikiti Ibnu Syureih dan Ibnu Hamdan. Persyaratan dalam talfiq tersebut adalah:
1.      Fatwa yang dikemukakan oleh mazhab lain itu dinilainya lebih bersikap hati-hati dalam menjelaskan agama.
2.      Dalil dari pendapat yang dikemukakan mazhab itu dinilainya kuat dan rajib.

Adapun ruang lingkup talfiqseperti halnya ruang lingkup taqlid, yaitu hanya terbatas pada permasalahan ijtihad yang bersifat dzhanniyah (yang meragukan), sedangkan segala sesuatu yang telah diketahui dan jelas menurut nash Al-Qur’an dan agama atau telah disepakati keharamannya tidak termasuk dalam ruang lingkup taqliddan talfiq.
Sebagaimana haramnya khamar, karena telah jelas paparannya dalam nash, maka di sana tidak ada ruang talfiqyang menyebabkan timbulnya kebolehan agar keluar dari keharamannya. Permasalahan talfiqantara madzhab muncul setelah abad ke-10 oleh ulama’ mutaakhirin, yaitu dengan dibolehkannya mengikuti madzhab lain, dan tidak ada perbincangan tentang talfiqsebelum abad ke-17.Adapun kebolehan talfiqberdasarkan apa yang telah ditetapkan dengan tidak adanya keharusan mengikuti madzhab tertentu dalam setiap permasalahan, dengan demikian diperbolehkan adanya talfiq. Jika tidak, maka batallah ibadah orang-orang awam, karena orang awam tidak ada madzhab baginya, walaupun sebenarnya telah bermadzhab.
Sedangkan madzhab mereka dalam suatu permasalahan adalah siapa yang telah memberi fatwa padanya. Sama halnya dibolehkannya talfiqsebagai ibarat untuk memberi kemudahan kepada manusia.[6]


Ijtihad dalam bentuk mashdar yang berarti dari kata dasar “Ijtahada”, artinya bersungguh-sungguh, berusaha keras, atau mengerjakan sesuatu dengan susah payah[7].Kata “Ijtihada” diambil dari akar kata ja ha da atau ja hi da dengan menambahkan dua huruf, yaitu “alif” diawalnya dan “ta” antara huruf “jim” dan “ha” yang mengandung maksud “mubalaghah” yaitu dalam pengertian “sangat” . Para ahli fiqh memberikan banyak definisi “ijtihad” , akan tetapi satu sama lain tidak mengandung perbedaan yang prinsip, bahkan terlihat saling menyempurnakan dan menguatkan. Diantaranya adalah sebagai berikut:
1.        Ibn Abdus-Syakur, ulama’ kalangan hanafiyah mengatakan, “Pengerahan kemampuan untuk menemukan kesimpulan hukum-hukum syara’ sampai ke tingkat zhanni (dugaan keras) sehingga mujtahid itu merasakan tidak bisa lagi berupaya lebih dari itu.”
2.        Al-Baidawi, ulama’ kalangan Syafi’iyah mengatakan, “Pengerahan seluruh kemampuan dalam upaya menemukan hukum-hukum syara’.”
3.        Abu Zahra, ulama’ awal abad 20 mengatakan: “Pengerahan seorang ahli fikih akan kemampuannya dalam upaya menemukan hukum yang berhubungan dengan amal perbuatan dari satu per satu dalilnya.”
4.        Saifuddin al-Amidi dalam bukunya Al Ihkam mengatakan, “mencurahkan segala kemampuan dalam memperoleh dugaan kuat tentang sesuatu dari hukum syara’ dalam bentuk yang dirinya merasa tidak mampu berbuat lebih dari itu”[8]

Hukum berijtihad dapat dilihat dari dua segi :
1.      Dari hasil ijtihadnya, itu adalah untuk kepentingan yang diamalkannya sendiri; seperti menetukan arah kiblat pada waktu akan melakukan shalat.
2.  Dari segi bahwa mujtahid itu adalah seorang mufti yang fatwanya akan diamalkan oleh umat atau pengikutnya.
Selanjutnya Hukum berijtihad seorang faqih dapat dilihat dari segi prinsip umum dalam menetapkan hukum, tanpa memandang kepada keadaan dan kondisi apapun, atau dengan melihat kepada keadaan dan kondisi tertentu.[9]
Secara umum, hukum dari ijtihad adalah wajib untuk seorang faqih yang sudah memahami segala aspek ilmu fiqh dari sumber hingga alat-alat atau metode untuk berijtihad. Artinya, seorang mujtahid memiliki kewajiban berijtihad untuk mendapatkan hukum syara’ yang tidak memiliki hukum secara jelas dan pasti.
Adapun dalil mengenai kewajiban untuk berijtihad dapat dipahami dari QS: al-Hasyr (59) :2 yang berbunyi, “Maka ambillah (Kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, Hai orang-orang yang mempunyai wawasan”. Dalam ayat ini Allah memerintahkan kepada orang-orang yang memiliki wawasan atau pengetahuan untuk mengambil pelajaran (i’tibar). Ayat ini menjelaskan malapetaka yang menimpa Ahli Kitab (yahudi) disebabkan perbuatan mereka. Seorang faqih dapat mengambil kesimpulan bahwa kaum manapun akan mendapati akibat yang sama jika berbuat seperti kaum Yahudi yang dijelaskan dalam ayat ini. Cara mengambil ikhtibar ini merupakan bentuk dari pada ijtihad, dimana suruhan itu pada dasarnya adalah wajib.
Dalil lainya adalah QS: an-Nisaa’ (4) : 59 yang berbunyi,” maka jika kamu berselisih paham tentang sesuatu kembalikanlah kepada Allah dan Rasul ...” , dalam ayat ini Allah memerintahkan segala sesuatu perselisihan mengenai hukum yang tidak jelas dan tegas didalam nash untuk dikembalikan kepada Allah dan Rasul-Nya. Dimana Allah dan Rasul-Nya meninggalkan qur’an dan sunnah sebagai sumber mutlak, cara ini merupakan bentuk daripada qiyas, mengambil hukum sesuatu dengan perumpamaan sesuatu lainya dan cara ini merupakan sebagian daripada ijtihad.
Adapun dalil dari as-Sunnah, sebagai berikut:
Sabda Nabi SAW:
“Apabila hakim memutuskan hukum dengan berijtihad dan ia menemukan kebenaran dalam berijtihadnya, maka ia mendapat dua pahala. Jika ia tidak memperoleh kebenaran dalam ijtihadnya, maka ia memperoleh satu pahala” (H.R.Bukhari dan Muslim) Falsafat Tasyri’.
Dan juga hadits tentang percakapan Rasulullah SAW dengan sahabat Mu’adz bin Jabal, disaat Muadz menjadi hakim di Yaman :
 “Diriwayatkan dari penduduk homs, sahabat Muadz ibn Jabal, bahwa Rasulullah saw. Ketika bermaksud untuk mengutus Muadz ke Yaman, beliau bertanya: apabila dihadapkan kepadamu satu kasus hukum, bagaimana kamu memutuskannya?, Muadz menjawab:, Saya akan memutuskan berdasarkan Al-Qur’an. Nabi bertanya lagi:, Jika kasus itu tidak kamu temukan dalam Al-Qur’an?, Muadz menjawab:,Saya akan memutuskannya berdasarkan Sunnah Rasulullah. Lebih lanjut Nabi bertanya:, Jika kasusnya tidak terdapat dalam Sunnah Rasul dan Al-Qur’an?,Muadz menjawab:, Saya akan berijtihad dengan seksama. Kemudian Rasulullah menepuk-nepuk dada Muadz dengan tangan beliau, seraya berkata:, Segala puji bagi Allah yang telah memberi petunjuk kepada utusan Rasulullah terhadap jalan yang diridloi-Nya.”(HR.Abu Dawud).[10]
Dan yang demikian juga dilakukan para sahabat setelah wafatnya Nabi. Tabi’in dan tabiut-tabi’in juga berijtihad ketika mendapati suatu persoalan agama yang baru dimana tidak terdapat dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasul.
Ijtihad berfungsi:
1.        Sebagai sumber hukum Islam yang ketiga setelah al-Qur’an dan as-Sunnah
2.        Sebagai sarana untuk menyelesaikan permasalahan agama yang semakin dinamis
3.        Sebagai solusi dalam mencurahkan pemikiran kaum muslimin dalam mencari jawaban dari persoalan-persoalan
Dr. Dawalibi membagi ijtihad dalam kitab Al-Muwafakat, sebagai berikut :
a.    Ijtihad Al-Batani, merupakan ijtihad yang menjelaskan hukum-hukum syara’ dari nash.
b.    Ijtihad Aal-qiyasi, merupakan ijtihad mengenai permasalahan yang tidak didapati dalam Al-Qur’an maupun As-Sunah dengan menggunakan metode qiyas.
c.    Ijtihad al-istislah, merupakan ijtihad mengenai permasalahan yang tidak didapati dalam Al-Qur’an maupun As-Sunah dengan menggunakan ra’yu berdasarkan kaidah istishlah.[11]
Ijtihad dilihat dari sisi jumlah pelakunya dibagi menjadi dua, yaitu:
1.      Ijtihad Fardi, al-Thayyib Khuderi al-Sayyid menjelaskan bahwa ijtihad yang dilakukan oleh perorangan atau hanya beberapa orang ijtihad. Misalnya, ijtihad yang dilakukan oleh para iman mujtahid besar: iman Abu Hanifah, Iman Malik, Iman Syafi’I, dan Ahmad bin Hanbal.
2.      Ijtihad Jama’i, adalah biasa dikenal dengan ijma’ dalam kitab-kitab Ushul Fiqh, yaitu kesepakatan para mujtahid dari umat Muhammad SAW setelah Rasulullah wafat dalam masalah tertentu. Dalam sejarah Ushul Fiqh, ijtihad jama’I dalam pengertian ini hanya melibatkan ulama-ulama dalam satu disiplin ilmu, yaitu fikih. Dalam perkembangannya, apa yang dimaksud dengan ijtihad jama’i, seperti dikemukakan al-Thayyib Khuderi al-Sayyid, disamping bukan berarti melibatkan seluruh ulama mujtahid, juga bukan dalam satu disiplin ilmu.

5.        Syarat-syarat Ijtihad
Adapun syarat menjadi Mujtahid Mutlak adalah sebagai berikut :
1.      Menguasai dan mengetahui arti ayat-ayat hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an, baik menurut bahasa maupun syari’ah. Akan tetapi, tidak disyaratkan harus menghafal, melainkan cukup mengetahui letak-letaknya saja, sehingga memudahkan baginya apabila ia membutuhkan. Aman Ghazali, Ibnu Arabian, dan Ar-Razi membatasi ayat-ayat hukum tersebut sebanyak 500 ayat.
2.      Menguasai dan mengetahui hadis-hadis tentang hukum, baik menurut bahasa maupun syari’at. Akan tetapi, tidak disyaratkan harus menghafal, melainkan cukup mengetahui letak-letaknya secara pasti, untuk memudahkannya jika ia membutuhkannya. Ibnu Arabian membatasinya sebanyak 3000 hadis. Menurut Ibnu Hanbal, dasar ilmu yang berkaitan dengan hadis Nabi berjumlah sekitar 1.200 hadis. Oleh karena itu, pembatasan tersebut dinilai tidak tepat karena hadis-hadis hukum itu tersebar dalam berbagai kitab yang berbeda-beda.[17]
3.      Mengetahui nasakh dan mansukh dari Al-Qur’an dan As-Sunah, supaya tidak salah dalam menetapkan hukum, namun tidak disyaratkan harus menghafalnya. Di antara kitab-kitab yang bisa dijadikan rujukan dalam nasakh danmansukh adalah kitab karangan Ibnu Khujaimah, Abi Ja’far An-Nuhas, Ibnu Jauzi, Ibnu Hajm, dan lain-lain.
4.      Mengetahui permasalahan yang sudah ditetapkan melalui ijma’ ulama, sehingga ijtihad-nya tidak bertentangan dengan ijma’. Kitab yang bisa dijadikan rujukan di antaranya Kitab Maratibu al-Ijma’.
5.      Mengetahui qiyas dan berbagai persyaratan serta meng-istinbatnya, karenaqiyas merupakan kaidah dalam berijtihad.
6.      Mengetahui bahasa Arab dan berbagai disiplin ilmu yang berkaitan dengan bahasa, serta berbagai problematikanya. Hal ini antara lain karena Al-Qur’an dan As-Sunnah ditulis dengan bahasa Arab. Namun, tidak disyaratkan untuk betul-betul menguasainya atau menjadi ahlinya, melainkan sekurang-kurangnya mengetahui maksud yang dikandung dari Al-Qur’an atau Al-Hadis.
7.      Mengetahui ilmu Ushul Fiqih yang merupakan fondasi dari ijtihad. Bahkan, menurut Fakhru Ar-Razi, ilmu yang paling penting dalam ber-ijtihad adalah ilmu Ushul Fiqih
8.      Mengetahui maqashidu Asy-Syari’ah (tujuan syari’at) secara umum, karena bagaimanapun juga syari’at itu berkaitan dengan maqashidu Asy-Syari’ah atau rahasia disyari’atkannya suatu hukum. Sebaiknya, mengambil rujukan pada istihsan, maslahah mursalah, urf, dan sebagainya yang menggunakan maqashidu Asy-Syari’ah sebagai standarnya.
Maksud dari maqashidu al-Syari’ah, antara lain menjaga kemaslahatan manusia dari menjauhkan dari kemadaratan. Namun, standarnya adalah syara’, bukan kehendak manusia, karena manusia tidak jarang menganggap yang hak menjadi tidak hak dan sebaliknya.[12]
Syarat-syarat tersebut diperlukan bagi mujtahid mutlak yang bermaksud mengadakan ijtihad dalam segala masalah fikih di masa lampau. Dengan perkembangan ilmu pengetahuan di masa sekarang, syarat tersebut tentu belum mencukupi. Untuk melakukan ijtihad, diperlukan pula pemahaman terhadap ilmu pengetahuan secara umum dan segala cabangnya. Akan tetapi, usaha itu bukanlah suatu hal yang mudah dan memerlukan kerja keras dan keseriusan. Ijtihad yang dilakukan secara kolektif sangat membantu untuk melakukan ijtihad yang efektif.

6.       Tingkatan Mujtahid
Dalam menbicarakan masalah tingkatan ijtihad, tidak terlepas dari perbedaan pendapat di kalangan para ulama ushul tentang telah tertutupnya pintu ijtihad.
Menurut As-Suyuthi “Umat sekarang (pada zamannya) telah terjebak pada pemikiran bahwa mujtahid mutlaqitu sudah tidak ada lagi dan yang ada sekarang hanyalah mujtahid muqayyad. Pernyataan seperti itu adalah salah besar dan tidak sesuai dengan pendapat para ulama. Mereka tidak mengetahui apa sebenarnya perbedaan antaramujtahid mutlaq, mujtahid muqayyad, dan mujtahid muntasib yang semuanya berbeda.
Dilihat dari luas atau sempitnya cakupan bidang ilmu yang diijtihadkan, tingkatan mujtahid terdiri atas mujtahid fisy syar’i, mujtahid fil masa’il, mujtahid fil mazhab, dan mujtahid muqayyad.
1.        Mujtahid Fisy Syar’i
Mujtahid fisy syar’I adalah orang-orang yang berkemampuan mengijtihadkan seluruh masalah syariat yang hasilnya diikuti dan dijadikan pedoman oleh orang-orang yang tidak sanggup berijtihad. Merekalah yang membangun mazhab-mazhab tertentu. Ijtihad yang mereka lakukan semata-mata hasil usahanya sendiri tanpa mengambil pendapat orang lain. Oleh karena itu, mereka disebut dengan mujtahid mustaqil (berdiri sendiri). Mereka yang termasuk mujtahid fisy syar’i antara lain Imam Hanafi, Iman Malik, Iman Syafi’i Iman Ahmad bin Hambal, Iman Al Auza’i dan Ja’far As Siddiq.
2.      Mujtahid Fil Masa’il
Mujtahid fil masa’i adalah mujtahid yang mengarahkan ijtihadnya kepada masalah tertentu dari suatu mazhab, bukan kepada dasar-dasar pokok yang bersifat umum. Misalnya, At Tahawi merupakan mujtahid dalammazhab Hanafi, Imam Al Gazali merupakan mujtahid dalam mazhab Syafi’i, dan Al Khiraqi merupakan mujtahid dalam mazhab Hambali.
3.      Mujtahid Fil Mazhab
Mujtahid  yang ijtihadnya tidak sampai membentuk mazhab tersendiri. Akan tetapi, mereka cukup mengikuti salah seorang imam mazhab yang telah ada dengan beberapa perbedaan, baik dalam beberapa masalah yang utama maupun dalam beberapa masalah cabang. Misalnya, Imam Abu Yusuf dan Muhammad Ubnul Hasan adalah mujtahid fil mazhab Hanafi dan Imam Al Muzanniy adalah mujtahid fil mazhab Syafi’i.
4.      Mujtahid Muqayyad
Mujtahid muqayyad adalah mujtahid yang mengikatkan diri dan menganut pendapat-pendapat  ulama salaf dengan mengetahui sumber-sumber hukum dan dalalah-dalalahnya. Mereka mampu menetapkan pendapat yang lebih utama di antara pendapat yang berbeda-beda dalam suatu mazhab dan dapat membedakan antara riwayat yang kuat dan yang lemah. Mereka adalah Al Karakhi yang merupakan mujtahid dalam mazhab Hanafi serta Ar Rafi’i dan An Nawawi yang merupakan mujtahid dalam mazhab Syafi’i.[13]     

Kemampuan manusia berbeda-beda, ada yang cerdas dan ada pula yang tidak cerdas. Sedang masalah ijtihad itu adalah masalah yang memerlukan kecerdasan dan persyaratan-persyaratan ilmiah yang sangat luas bidangnya. Oleh karena itu, Allah memberikan beban kepada manusia sesuai dengan kemampuannya, maka hukum ijtihad itu dicukupkan kepada fardlu kifayah saja. Kalau seandainya seluruh ummat manusia diwajibkan untuk berusaha menjadi seorang mujtahid, niscaya akan terbengkalai kepentingan dunia.


Kata ‘’Itibbaa’a’’ berasal dari kata kerja bahasa arab yaitu fi’il“Ittaba’a”, “Yattbiu” ”Ittiba’an”, yang berartikan mengikut atau menurut.
Ittiba’ disini memiliki arti:
“Menerima perkataan orang lain yang berkata, dan kamu mengetahui alasan perkataannya.”
Ada juga yang mengartikan:
“menerima perkataan seseorang dengan dalil yang lebih kuat.”
Maka melihat definisi diatas, ittiba’ dapat disimpulkan mengambil atau menerima perkataan seorang fakih atau mujtahid, dengan mengetahui alasannya serta tidak terikat pada salah satu mazhab dalam mengambil suatu hukum berdasarkan alasan yang dianggap lebih kuat.
Maka yang dinamakan ittiba’ bukanlah sekedar mengikuti pendapat ulama tanpa alasan agama. Adapun siapa yang mengambil atau mengikuti alasan-alasan, dinamakan “Muttabi”[14]

Hukum ittiba’ adalah Wajib bagi setiap muslim, karena ittiba’ adalah perintah oleh Allah, sebagaimana dalam QS: Al-A’raf :3 disebutkan bahwa :
Ikuti apa yang diturunkan padamu dari Tuhanmu, dan janganlah kamu ikuti selain Dia sebagai pemimpin. Sedikit sekali kamu mengambil pelajaran.” 
Ayat tersebut menjelaskan perintah mengikuti apa yang diperintahkan Allah.
Selain itu terdapat sabda Nabi:
Wajib atas kamu mengikuti sunnahku dan perjalanan/sunnah Khulafaur Rasyidin sesudahku. (HR.Abu Daud)
Ittiba' kepada Rasulullah memiliki kedudukan yang tinggi dalam Islam, bahkan salah satu cara seseorang menempuh kehidupan dunia dan akhirat. Beberapa kedudukannya adalah sebagai berikut:
1.        ttiba' kepada Rasulullah merupakan syarat amal itu diterima. Telah disepakati para ulama bahwa syarat diterimanya ibadah ada dua:
a.      Mengikhlaskan niat ibadah hanya untuk Allah swt semata.
b.      Harus mengikuti dan serupa dengan apa yang diajarkan oleh Rasulullah.
Ibnu 'Ajlan menjelaskan bahwa, tidak sah suatu amalan melainkan memenuhi tiga perkara: taqwa kepada Allah, niat yang baik (ikhlas) dan sesuai atau mengikuti al-Qur’an dan as-Sunnah. Ketika suatu amal dilakukakan dengan ikhlas karena Allah swt. semata dan serupa dengan sunnah Rasulullah saw, ,maka amal itu diterima oleh Allah swt. Tetapi ketika salah satu dari dua syarat tersebut tidak ada maka tertolaklah amalan tersebut. Hal inilah yang menjadi tolak ukur suatu amalan.
2.        Ittiba' adalah bukti cinta seseorang kepada Allah dan Rasul-Nya. Allahberfirman dalam QS:Ali Imran (3) :31 yang berbunyi, " Katakanlah: 'Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.' Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."
Ibnu Katsīr menafsirkan ayat ini dengan ucapannya: "Ayat yang mulia
ini sebagai hakim bagi setiap orang yang mengaku cinta kepada Allah swt,
akan tetapi tidak mengikuti sunnah Muhammad saw. Karena orang yang seperti ini berarti dusta dalam pengakuan cintanya kepada Allah swt. sampai
dia ittiba' kepada syari'at agama Nabi Muhammad saw. dalam segala ucapan
dan tindak tanduknya."
3.   Ittiba' adalah sifat yang utama wali-wali Allah swt. Ibnu Taimiyah dalam kitabnya menjelaskan panjang lebar perbedaan antara waliyullah dan wali syaitan, diantaranya beliau menjelaskan tentang wali Allah swt. dengan ucapannya: "Tidak boleh dikatakan wali Allah swt. kecuali orang yang beriman kepada Rasulullah saw. dan syari'at yang dibawanya serta ittiba' kepadanya baik lahir maupun batin. Barangsiapa mengaku cinta kepada Allah swt. dan mengaku sebagai wali Allah swt, tetapi dia tidak ittiba' kepada Rasul-Nya, berarti dia berdusta. Bahkan kalau dia menentang Rasul-Nya, dia termasuk musuh Allah swt. dan sebagai wali syaitan.
Kalangan ushuliyyin mengemukakan bahwa ittiba’ adalah mengikuti atau menerima semua yang diperintahkan atau dilarang atau dibenarkan oleh Rasulullah. Dalam versi lain, ittiba’ diartikan mengikuti pendapat orang lain dengan mengetahui argumentasi pendapat yang diikuti.
Ittiba’ dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu :
a.         Ittiba’ kepada Allah dan Rasul-Nya, dan
b.        Ittiba’ kepada selain Allah dan Rasul-Nya.
Ittiba’ kepada Allah dan Rasul-Nya hukumnya wajib, sesuai dengan firman Allah dalam QS: Al-A’raf (7): 3 yang berbunyi,“Ikuti apa yang diturunkan padamu dari Tuhanmu, dan janganlah kamu ikuti selain Dia sebagai pemimpin. Sedikit sekali kamu mengambil pelajaran”.
Mengenai ittiba’ kepada para ulama dan mujtahid terdapat perbedaan pendapat. Imam Ahmad bin Hanbal hanya membolehkan ittiba’ kepada Rasul. Sedangkan pendapat lain mengatakan bahwa boleh ittiba’ kepada ulama yang dikategorikan sebagai waratsatul anbiya’, dengan alasan firman Allah Surah Al-Nahl (16): 43 yang berbunyi, “Maka bertanyalah kepada orang-orang yang punya ilmu pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.”[15]
Inilah islam, dien yang diturunkan Allah untuk kehidupan manusia yang ciri cirinya adalah rabbaniyyah, sempurna, integral dan universal[16]
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa Taqlid  adalah orang yang mengikut orang lain dengan membuta tuli, yakni mengikuti fatwa orang lain tanpa memfahumi dasar pengambilannya. Talfiq adalah beramal dalam urusan agama dengan berpedoman kepada petunjuk beberapa mazhab. ittiba’ adalah kewajiban kaum muslimin dalam mengikuti kebenaran wahyu yang telah Allah dan Rasul nya sampaikan. Dan Ijtihad adalah usaha sungguh-sungguh guna menetapkan suatu perkara yang menggunakan akal sehat dan pertimbangan yang matang.






DAFTAR PUSTAKA
·         Imam, mawardi ahmad, Sisi Positif Taqlîd dalam Sejarah Perkembangan Hukum Islam https://www.researchgate.net/publication/286414725_Sisi_Positif_Taqlid_dalam_Sejarah_Perkembangan_Hukum_Islam.   Diakses pada 9 februari 2019
·         Usamah bin Mohd kamaruddin, Muhammad, ISLAM, TAKLID DAN PEMBAHARUAN FIKIRAN, https://www.academia.edu/12318326/Islam_Taklid_dan_Pembaharuan_fikiran . diakses pada 19 Februari 19
·         Arsyad, Rasida, TALFIQDALAM PELAKSANAAN IBADAHDALAM PERSPEKTIF EMPAT MADZHABhttps://media.neliti.com/media/publications/268482-talfiq-dalam-pelaksanaan-ibadah-dalam-pe-19dbd132.pdf . Diakses pada 9 Februari 2019
·         Hadi, saeful. 2009. Ushul fiqh. Yogyakarta: sabda media
·         syarifuddin, amir. 2008. Ushul fiqh jilid 2. Jakarta: kencana
·         syafe’i, rahmet. 2010. Ushul fiqh. Bandung: pustaka setia
·         tobroni, suyoto. 1992. Al-Islam. Pusat dokumentasi dan kajian islam-umm
·         ahmad, ittiba’ dalam prespektif alqur’an repositori.uin-alauddin.ac.id/4463/1/Ahmad.pdf . pada tanggal 9 Februari 2019 pukul 18:21
·         M. Ma’shum, zein. 2016. Menguasai ilmu ushul fiqh. Pustaka pesantren
·         FS PAI-JS UGM, Tim. 1993. Meniti jalan islam. UGM


Catatan:
1. Similarity 40 %. Ketahuan tidak parafrase.
2. Judul dan nama penulisnya mana?
3. Jika merujuk pada artikel jurnal, berikan keterangan lengkap artikelnya: nama, judul, nama jurnal, volume, nomor, dan halaman.  Tidak diberikan sumber (researchgate, neliti) tidak apa-apa.
4. Dalam tulisan ilmiah, penulisan gelar (Prof. Dr. Ustaz dll) dihilangkan, baik dalam tulisan inti maupun footnote.
5. Mengapa masih ada in note nya?
6. Makalah ini tidak referensial.
7. Cara menulis footnote pun banyak kesalahan, tidak paham harus menggunakan huruf kapital dan tidak, tidak paham kapan harus memiringkan kata dan tidak.
8. Makalah ini agak kacau, tidak mempunyai struktur logika yang jelas, terkesan hanya tempel sana dan tempel sini.

Secara umum, makalah pertama ini sangat jauh dari kualitas mahasiswa semester tujuh dalam menulis makalah. Atau bisa dikatakan TIDAK BAGUS. Semoga penjelasannya bisa menutupi kelemahan makalahnya.









[1] Suyoto tobroni, al-islam2 (malang: pusat dokumentasi dan kajian al-islam-umm, 1992) halm. 1

[2]Ahmad Imam Mawardi,Sisi Positif Taqlîd dalam Sejarah Perkembangan Hukum Islam”, di akses dari

[3]saeful hadi, ushul fiqh, (yogyakarta: sabda media, 2009) hal. 125
[4]MUHAMMAD USAMAH BIN MOHD KAMARUDIN, “ISLAM, TAKLID DAN PEMBAHARUAN FIKIRAN”, diakses dari https://www.academia.edu/12318326/Islam_Taklid_dan_Pembaharuan_fikiran pada tanggal 9 Februari 19 pukul 00:59
[5]Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2 (Jakarta : Kencana, 2008), hlm.464
[6]Rasyida Arsjad, “TALFIQDALAM PELAKSANAAN IBADAHDALAM PERSPEKTIF EMPAT MADZHAB”, diakses dari https://media.neliti.com/media/publications/268482-talfiq-dalam-pelaksanaan-ibadah-dalam-pe-19dbd132.pdf , pada tanggal 9 Februari 19 pukul 01:20
[7] Dr. Kh. M. Ma’shum Zein, M.A, Menguasai Ilmu Ushul Fiqh Apa dan Bagaimana Hukum Islam Disarikan dari Sumber-Sumbernya (Yogyakarta: Pustaka Pesantren,2016), hlm.191
[8] Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2 (Jakarta : Kencana, 2008), hlm.260
[9]Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2 (Jakarta : Kencana, 2008), hlm.260
[10]Prof. Dr. H. Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung :Pustaka Setia, 2010) hlm. 104-105
[11] Prof. Dr. H. Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung :Pustaka Setia, 2010) hlm. 104
[12]Prof. Dr. H. Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung :Pustaka Setia 2010) hlm. 104-106
[13]Prof. Dr. H. Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung :Pustaka Setia, 2010) hlm. 108
[14]Prof. Dr. H. Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung :Pustaka Setia,2010) hlm. 97-98
[15] Ahmad, “ittiba’ dalam prespektif alqur’an” diakses dari repositori.uin-alauddin.ac.id/4463/1/Ahmad.pdf . pada tanggal 9 Februari 2019 pukul 18:21


[16] Tim FS PAI-JS UGM, meniti jalan islam (Yogyakarta:UGM 1993) hlm. 13

Tidak ada komentar:

Posting Komentar