Selasa, 22 November 2016

Fiqih Indonesia: Studi Pemikiran KH. MA. Sahal Mahfudh (PAI E Semester III)




FIQH INDONESIA
(STUDI PEMIKIRAN FIQH KH. MA. SAHAL MAHFUDH)

M. farih Al- Fawaid dan Nikita Fatimatuz Zahro
Jurusan Pendidikan Agama Islam
Fakultas Ilmu Tarbiyah Dan Keguruan
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim, Malang

   Abstract:
               This paper discusses the Indonesian fiqh studies KH.Sahal thought Mahfouz.    Study    Thought someone in the background by the background conditions and social and cultural situations that exist in the society that surrounded him.       Similarly, the study  of fiqh thinking KH.Sahal. which his fiqh thinking in    background       backs by the developments and demands of more advanced age.           Where the demands on the science of fiqh in order to adapt modern life as it is today.
                   his paper discusses the study of fiqh thinking by KH.Sahal Mahfouz,                     biography, some of the products / results of KH.Sahal Mahfouz thinking about           a              problem and the solution of the problem, according to the times. And how            KH.Sahal in exploring the legal rulings. Regardless of which is derived from the            ideas     of KH.Sahal Mahfudz studying fiqh in tune with the circumstances in    accordance with the times, about the problems that exist and its solutions, to fiqh        in            globlalisasi era or the modern era.
   Keywords  : KH.Sahal Mahfouz, Fiqh, Indonesia, modern thinking

Pendahuluan
Fiqh di definisikan sebagai ilmu untuk mengetahui kumpulan-kumpulan dari berbagai aturan hukum sayara’ yang berkenaan dengan perbuatan manusia yang di peroleh dari dalil-dalinya secara  rinci. [1]
Fiqh dalam kenyataanya upaya manusiawi, ynag melibatkan proses penalaran baik dalam tatanan teoritis maupun praktis, dalam memahami, menjabarkan dan mengelaborasikan hukum-hukum agama.        
Rumusan berfiqh yang di tokohi oleh ulama-ulama NU ini merupakan sejarah baru yang cukup fantastis di tubuh NU. Dalam rumusan ini fiqh telah mengemban tugas baru sebagai perangkat hermeneutika, yang implikasinya sangat besar dalam kehidupan .[2]
Di Indonesia sendiri, materi hukum fiqh sudah jauh  berkembang kedalam hukum kebiasaan, dan dalam pendapat umum, sehingga telah mempunyai hukum yang kuat baik dalam sumber-sumber formal maupun sumber-sumber material dari hukum itu sendiri. Fiqh akan berperan jika ijtihad di terapkan secara proporsional dalam rangka keutuhan ajaran Islam.[3]
Biografi KH.MA Sahal Mahfudh
1.      Latar Belakang Kehidupan KH. Muhammad Ahmad Sahal Mahfudh
KH. Muhammad Ahmad Sahal Mahfudh lahir pada 17 Desember 1937 di Desa Kajen, Mergoyoso, Pati, Jawa Tengah. Putra K.H. Mahfudh Salam Al-Hajani. Dia anak ketiga dari enam bersaudara pasangan K.H. Mahfudh Salam (w.1944) dan Nyai Hj. Badriyah (w.1945). Ayah K.H.Sahal adalah saudara misan dari KH. Bisri Sansuri, salah seorang pendiri jam’iyah NU yang sangat di segani, wafat pada hari Sabtu, 25 April 1981[4]. Sejak kecil KH. Muhammad Ahmad Sahal Mahfudh tidak lepas dari pesantren, hidupnya memang di pesantren, lahir, besar, belajar di pesantren.
Dari ayah maupun ibu, Sahal berada di lingkungan kiai yang mendalam tradisi penguasaan khazanah klasiknya (kitab kuning), mengedepankan harmoni sosial dan sopan santun, serta jauh dai kesan menonjolkan diri.
Seperti yang telah di katakan sebelumnya saudara KH. Muhammad Ahmad Sahal Mahfudh berjumlah enam. Yaitu M. Hasyim, Hj. Muzayyanah (istri KH. Mansur, Pengasuh PP An-Nur Lasem dan cucu KH. Abdussalam Kajen), Salamah (istri KH. Mawardi, pengasuh PP Bugel-Jepara, kakak istri KH.Abdullah Salam), Hj. Fadhilah (istri KH. Rodhi Soleh Jakarta, wakil Ra’is Am PBNU sejak 1984), Hj. Khadijah (istri KH. Maddah, pengasuh PP Assuniyah – Jember yang juga cucu KH. Nawawi, adik kandung KH. Abdussalam, kakek KH. Sahal).
Kiai Mahfudh meninggal di penjara Ambarawa 1944 saat melawan tentara Jepang. KH. Mahfudh waktu itu memimpin santri Kajen membendung perlawanan Jepang bersama ayahnya (KH.Abdussalam), KH.Nawawi dan KH.AbdullahThahir Nawawi. Waktu itu usia Sahal baru 7 tahun. Kakak KH. Sahal sendiri yakni Muhammad Hasyim juga meninggal ketika melawan agresi militer Belanda tahun 1949 bersama Abdullah Sa’id (putra KH.Mustaghfirin Kajen). [5]
2.      Pendidikan KH. Muhammad Ahmad Sahal Mahfudh
Pendidikan formal Kiai Sahal di mulai sejak usia 6 tahun (1943) di Perguruan Islam Matha’ilul Falah, madrasah pimpinan bapaknya sendiri. Ia menamatkan pendidikan tingkat dasarnya pada tahun 1949. Sahal menyelesaikan studi sampai tingkat Tsanawiyah tahun 1953.
Setelah beberapa waktu di rumah, Sahal akhirnya memilih pesantren Bendo Kediri sebagai tempat mengajinya. PP asuhan KH. Muhajir beliau adalah murid Syekhana Cholil Bankalan Madura. Sahal dalam belajar selalu mempunyai target. Misalnya, harus menguasai fat ini dan itu selama sekian bulan. Oleh karenanya ia berusaha semaksimal mungkin untuk mencapainya.[6]
KH. Sahal pernah menjadi guru di Pesantren Serang (1958-1961), dosen di kuliah Tahassus Fiqh di Kajen (1966-1970), dan menjadi staf pengajar di Universitas Cokroaminoto  (Uncok) Pati (1974-1976), menjadi dosen di fakultas Syariah IAIN WaliSongo Semarang (1982-1985), dan sejak tahun 1989 mejadi Rektor Institut Islam Nahdlatul Ulama Jepara. Pada tahun 2003 memperoleh gelar Doktor Honoris Causa (DR HC) dari Universitas Islan Negeri Jakarta, karena kealimannya dalam ilmu Fiqh. Beliau di kenal sebagai ahli fiqh abad modern.[7]
3.      Menikah
Pada tahun 1968/1969 Gus Sahal menikah dengan Nafisah binti  KH.Abdul Fatah Hasyim, Pengasuh Pondok Pesantren Fathimiyah Tambak Beras Jombang. Kedua pengantin tersebut hidup apa adanya, Gus Sahal tetap dengan kesibukannya, mengajar, sibuk di NU, dan melayani umat. Waktunya habis untuk memberdayakan umat. Ibu Nafisah juga tidak mau kalah. Beliau merintis usaha, jual kain, bahkan pernah menjahit, di samping kegiatannya mengajar dan memberikan ceramah-ceramah agama, sebagai muballighah.
Kesederhanaan dan kewiraan KH. Sahal keliahatn pada saat makan dulu dan sekarang, menu makanan beliau adalah sambal, tempe dan sayur-mayur.
Kiai Sahal kini mengasuh seorang putra bernama Abdul Ghaffar Razin, M.Ed., yang nantinya di harap meneruskan estafet kepemimpinannya.[8]
4.      Pengabdian KH. Muhammad Ahmad Sahal Mahfudh
Perjalanan organisasi KH. Sahal di mulai dengan menjadi Katib Syuriah PCNU Pati (1967-1975), Ketua II PC LP Ma’arif Pati (1968-1975), Wakil Ra’is PCNU Pati (1975-1985), Wakil Ketua RMI Jawa Tengah (1977-1982), Ra’is Syuriah PWNU Jawa Tengah (1982-1985).
Sejak Mu’tamar 1984 terpilih sebagai Ra’is Syuriah PBNU. Dalam Mu’tamar NU ke-30 di Lirboyo, Kediri terpilih sebagai Ra’is Aam PBNU. Begitu juga dalam Mu’tamar NU ke-31 di Donohudan, Solo (2004), terpilih lagi sebagai Ra’is Aam PBNU berpasangan dengan K.H.A Hasyim Muzadi sebagai ketua Tanfi
dziyahnya.[9]
5.      Pengalaman Lain KH. MA.Sahal Mahfudh
Sejak 1982 sering berkunjun ke luar negeri. Kiai Sahal banyak mendapatkan kepercayaan untuk melakukan studi banding keluar negeri. Di anataranya Philiphina dan Korea Selatan (1983), Tokyo-Jepang (1983), Srilanka dan Malaysia ( 1984),Arab Saudi (1987), Kairo-Mesir (1992), Malaysia, Thailand, Beijing (1997).
Sejak 1991 sampai sekarang, kiai Sahal menjabat Ketua Umum MUI Pusat. Pengasuh Pondok Pesantren Maslakul Huda, Kajen, Mergoyoso, Pati, Jawa Tengah ini juga di kenal produktif menulis. Sejak tahun 1959 hingga 1993, ia telah menghasilkan 107 macam tulisan dalam bentuk buku maupun makalah.[10]

                                    Untuk lebih jelasnya mengenai biografi KH. Muhammad Ahmad Sahal Mahfudh:

Nama lengkap 
KH. Muhammad Ahmad Sahal Mahfudh
Tempat,  tanggal lahir
17 Desember 1937 di Desa Kajen, Mergoyoso, Pati, Jawa Tengah
Ayah
K.H. Mahfudh Salam Al-Hajani
Ibu
Nyai Hj. Badriyah
Saudara
M. Hasyim, Hj. Muzayyanah (istri KH. Mansur, Pengasuh PP An-Nur Lasem dan cucu KH. Abdussalam Kajen), Salamah (istri KH. Mawardi, pengasuh PP Bugel-Jepara, kakak istri KH.Abdullah Salam), Hj. Fadhilah (istri KH. Rodhi Soleh Jakarta, wakil Ra’is Am PBNU sejak 1984), Hj. Khadijah (istri KH. Maddah, pengasuh PP Assuniyah – Jember yang juga cucu KH. Nawawi, adik kandung KH. Abdussalam, kakek KH. Sahal).
Istri
Nafisah binti  KH.Abdul Fatah Hasyim
Anak
Abdul Ghaffar Razin, M.Ed.
pendidikan
- MI Perguruan Islam Matha’ilul Falah (sejak usia 6 tahun), 1943-1949
- Tsanawiyah Perguruan Islam Matha’ilul Falah, th 1953
-  Pesantren Bendo Kediri
Pengabdian
-Guru di Pesantren Serang (1958-1961)
 -Dosen di kuliah Tahassus Fiqh di  Kajen (1966-1970)
-menjadi staf pengajar di Universitas Cokroaminoto  (Uncok) Pati (1974-1976),   -menjadi dosen di fakultas Syariah IAIN WaliSongo Semarang (1982-1985),
-sejak tahun 1989 mejadi Rektor Institut Islam NU Jepara
-Pada tahun 2003 memperoleh gelar Doktor Honoris Causa (DR HC) dari Universitas Islam Negeri Jakarta          
Organisasi/ pengalaman
-menjadi Katib Syuriah PCNU Pati (1967-1975),
- Ketua II PC LP Ma’arif Pati (1968-1975),
-Wakil Ra’is PCNU Pati (1975-1985),
- Wakil Ketua RMI Jawa Tengah (1977-1982),
-Ra’is Syuriah PWNU Jawa Tengah (1982-1985).
-Sejak Mu’tamar 1984 terpilih sebagai Ra’is Syuriah PBNU.
-Dalam Mu’tamar NU ke-30 di Lirboyo, Kediri terpilih sebagai Ra’is Aam PBNU.
-Begitu juga dalam Mu’tamar NU ke-31 di Donohudan, Solo (2004), terpilih lagi sebagai Ra’is Aam PBNU berpasangan dengan K.H.A Hasyim Muzadi sebagai ketua Tanfidziyahnya

Produk Produk Fiqh KH. MA. Sahal Mahfudh[11]
Epistemologi fiqh sosial Kiai Sahal akhirnya menghasilkan pemikiran-pemikiran maju, dinamis, solutif dan berdimensi sosial masyrakat. Antara lain:
1.      Ahlusunnah wal jama’ah.
Ahlusunnah menurut kiai Sahal harus di kembangkan supaya tidak sempit. Sikap warga aswaja yang mencukupkan apa yang telah di ketahui dan di pelajari serta tidak mau berdialaog dengan ilmuwan dan teknorat yang lain, jelas akan merugikan pengembangan wawasannya. Aswaja harus di kembangkan secara mendalam dari sudut pandang berbagai ilmu, khusunya ilmu sosial, sehingga aswaja bisa direintrodusi secara rasional, sistematis, dan kontekstual sesuai dengan transformasi kultural yang sedang berproses.
2.      Pengembangan wawasan
Perubahan di masayarakat menghendaki perubahan wawasan. Perubahan wawasan itu menjadi amat penting karena sangat mempengaruhi perubahan sikap  dan perilaku yang dapat menumbuhkan kemauan, kepekaan dan ketrampilan melihat masalah, bahkan pada akhirnya merumuskan pemecahan masalah. Perubahan wawasan itupun akan semakin berarti jika di topang dengan penguasaan islam secara utuh. Pemgembangan dinamika keilmuwan merupakan jawaban atas tantangan – tantangan yang muncul akibat adanya arus globalisasi dalam berbagai aspek kehidupan. Pengembangan dinamika keilmuwan harus mampu menjadi sarana pemandu transformasi sosial dan sekaligus sebagai sarana kontekstualisasi ajaran islam dalam tata kehidupan masyarakat. Keterbukaan juga harus di tekankan. Sikap keterbukaan sikap akan menumbuhkan keberanian para ulama maupun intelektual untuk saling memberikan kritik konstruktif, bahkan melalui autokritik.
3.      Kesadaran Pluralisme
Pelaksanaa keadilan dan kesejahteraan merupakan keharusan bagi suatu pemerintahan yang tidak perlu berlabel islam. Sebab realitas bangsa menunjukkan adanya pluralitas dari berbagai macam etnis dan agama.
Ini sangat memerlukan kepedulian tinggi dari para politisi Islam untuk dapat menumbuhkan semangat baru yang relevan dengan perkembangan kontemporer dengan corak dan formmalitas yang tidak berlawanan dengan Islam. Sekaligus menanggalkan cara tradisional  seperti keterkaitan masa dan simbol-simbol Islam secara emosional semata.
4.      Pengentasan kemiskinan.
Mengentaskan kemiskinan harus melalui kerja terencana, terprogram, sistematis dan kontinu. Kemiskinan adalah sebab-akibat. Penyebab kemiskinan harus di tutup. Kalau penyebabnya tidak ada sumber penghasilan, maka harus di beri alat untuk medapatkan penghasilan. Tidak cukup hanya di beri hal-hal yang sifatnya konsumtif, hal ini membuat masyarakat menjadi pasif, boros dan tidak mempunyai kemauan kuat. Untuk itu perlu di motivasi agar punya keinginan dan kemauan kuat untuk berusaha, di bimbing, di arahkan, di beri ketrampilan khusus, dan di beri modal usaha dengan perencanaa dan pengawasan kontinu.
5.      Penanganan zakat.
Zakat menurut kiai Sahal harus di jadikan senjata ampuh bagi pengentasan kemiskinan. Caranya adalah dengan menggunakan harta zakat secara produktif. Lembaga yang menangani harus yang handal, profesional dan berorientasi pemberdayaan ekonomi masyarakat. Harus ada monitoring dan evaluasi agar tujuan zakat terealisir secara maksimal.


6.      Pengaturan sumber daya manusia NU
Kekayaan SDM NU harus di lakukan secara integral, tidak sporadis dan alami, di perlukan ketrampilan manajerial dan pengorganisasian yang mampu memproyeksikan suatu rintisan aktual dan kontekstual terhadap permasalahan umat dan warga NU. Di perlukan proses perencanaan dan tahapan-tahapan yang harus jelas, baik strateginya, tujuannya, metode maupun pendekatan masalahnya.
7.      Mamanjemen Dakwah
Dakwah bagi kiai Sahal parameternya adalah perubahan sikap perilaku, mental, kondisi riil ekonomi, pendidikan dan budayanya. Walau dakwah hanya di ukur dari lucunya muballigh dan pengunjungnya yang banyak, maka dakwah islam tidak banyak manfaatnya bagi peningkatan kualitas ekonommi masyarakat. Untuk itu perlu ada dakwak progresif yang mencoba melakukan proyeksi dan kontekstualisasi ajaran agama islam dalam proses proses transformasi sosial. Hal ini memerlukan kejelian dan kepekaan sosial muballigh agar mampu melakukan pendekatan kebutuhan yang di sertai sumber islam.

8.      Masalah krisis Ekologi[12]
Bagi Kiai Sahal, krisi ekologi ini di timbulkan dari pandangan manusia yang kelliru terhadap alam.  Masyarakat menganggap alam layaknya “prostitut”, tubuhnya di eksploitasi dan setelah itu di campakkan. Kerusakan alam menurut kiai Sahal akan berdampak pada kemiskinan dan sebaliknya, pelestarian alam dan lingkungan akan berimplikasi positif pada kesejahteraan hidup an peningkatan ekonomi. KH. Sahal berpendapat bahwa dalam penggunaan alam harus di dasarkan pada aspek manfaat dan mafsadat, untuk menunjang kebutuhan dan kehidupan. Dalam pandangan kiai Sahal alam tidak di pandang sebagi mesin, melainkan sebagai satu kesatuan yang harmonis yang tidak di pisah-pisahkan. Suatu jaringan relasi yang dinamis meliputi manusia dan kesadarannya secara essensial. Konsep kesatuan harmonis dari kiai Sahal itu akan mentransmisikan dunia ke dalam sebuah aliran yang padu, menjadi gerakan positif bagai perubahan ekonomi, politik, sosial, dan kultural.
Dalam amatan kiai Sahal, krisis ekologi dapat diatasi dengan cara mengubah mengubah persepsi manusia yang keliru. Persepsi tentang pandangan dunia mekanistik. Seiring dengan itu di perlukan sebuah wacana baru dalam mekanisme pengelolaan alam berupa konsep kesatuan harmonis.
9.      Masalah prostitusi dan Insustri seks [13]
Pendapat kiai Sahal tentang penganangan masalah prostitusi. Menurut beliau ada dua cara terbaik menanggulangi prostitusi. Pertama sentralisasi pelacuran. Artinya pelacuran perlu di lokalisir dalam satu tempat yang cukup jauh dadri kontak penduduk lokal. Cara ini merupakan jalan tengah dari dua rus pemmikiran, yakni kelompok yang menghendaki pelacuran dan kelompok yang bersikeras membumihanguskan lokalisasi.
Solusi yang di berikan kiai Sahal, yakni menyentralisasi lokasi pelacuran dalam rangka meminimalisir dari madlarat pelacuran. Karena bagaimanapun pelacuran tersebut tidak dapat dapat di hapuskan, yang dapat di lakukan adalah meminimalisir. Pendapat kiai Sahal itu di dasarkan pada kaidah akhafudz al-dlararain, yaitu mengambil sikap yang resikonya paling kecil dari dua macam bahaya.

Kedua, melalui pendekatan kusatif atau sosiologis. Metode ini dalam rangka mengetahuii sebab-sebab latar belakang dari para pelaku pelacuran. Kiai Sahal menyebutnya cara ini sebgai kunci utama mengatasi prostitusi. Konsekuensinya, jika pelacuran di sebabkan kemiskinan, maka perlu di upayakan peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui pembangunan ekonomi yang tepat guna dan tepat sasarn. Jika kar persoalannya karena minimnya pengetahuan agama, maka di perlukan upaya penanaman etika dan moralitas yang di landasi semangat keagamaan. Prinsip Kiai Sahal ini juga mengacu pada kaidah ushul, sad al-dzari’ah, yaitu menutup jalan yang  menuju perbbuatan terlarang.
10.  Masalah pendidikan integralistik[14]
Pendidikan dalam rumuan kiai Sahal adalah usaha sadar yang membentuk watak dan perilaku secara sistematis, terencana dan terarah. Bagi kiai Sahal pendidikan tidak sekedar memenuhi tuntutan pasar bebas, meskipun pemenuhan kebutuhan pragmatis juga penting. Kiai Sahal sering memnyebut bahwa pendidikan harus bernuansa pada terciptanya manusia yang shalih dan akram.
Konsep pendidikan kiai Sahal sebenarnya berangkat dari pandangan, bahwa manusia itu makhluk yang utuh, humanistik dan komprehensif.
Menurut kiai Sahal langkah terbaik untuk mengatasi krisi pendidikan adalah dengan menyerahkan model pendiidkan itu keppada masyarakat untuk mengelola sesuai dengan kebutuhan dan kultur masing-masng daerah. Di sinilah sebetulnya kia Sahal menawarkan pesantren sebagai alternatif. Solusi kiai Sahal kepada pesantren itu karena berangkat dari logika keberagaman tersebut. Dengan begitu pendidikan ke depan dalam pandangan kiai Sahal adalah pendidikan yang menghormati heterogenitas dan mampu menyiapkan orang yang bisa berubah di satu isi, serta pendidikan yang dapat membentuk watak, sikap dan prilaku islami yang meliputi dimensi iman (akidah), islam (syari’at), dan ikhsan (akhlak, etika, tasawuf) di pihak lain. Inilah pendidikan integralistik.

Prinsip Pengambilan Hukum Fiqh KH. MA. Sahal Mahfudh[15]
Metode pengambilan hukum (al-istinbath al-ahkam) KH.Sahal pada dasarnya di bagi dalam dua tipologi, yakni metode tekstual (madzhab qauli) , dan metode kontekstual/ metodologis (madzhab manhaji).
1.      Metode Tekstual (madzhab Qauli)
Metode ini di gunakan ketika kiai Sahal memberikan fatwa hukum terutama di harian suara merdeka. Dalam operasionalnya kiai Sahal menggunakan kitab-kitab yang di gunakan oleh ulam Syafi’iyah (buku syafi’i). Kitab-kitab yang sering di jadikan rujukan oleh kiai Sahal dalam memberikan fatwa hukum antara lain: Nihayah al-Zain, Subul al-Salam, Mizan al-Kubro, Rawa’i al- Bayan, al-Iqna, al-Banjuri, Fath al-Mu’in, dan lain-lain. Sedangkan ulama yang sering di jadikan referensi antara lain: al-Rafi’i, (w.623 H/1209 M), al-Nawawi (w. 627/1277), al-Qaffal (w. 365/976), al-Razi (w.606/1209).
Banyak kitab besar antara lain: al-Muhazzab, al-Maj-mu, al-Mukhtasar, yang di tulis masing-masing oleh Syra-zi, Nawawi, dan Muzani. Apalagi kitab karya Syafi’i sendiris seperti al-Umm, al-Risalah, Musnad, Ikhtilaf al-Hadis dan lain-lain. Ada beberapa nama ulama seperti al-Jaziri, Abu Hanifah, Yusuf Qardhawi atau Mahmud Syalthut yang di ambil pendapatnya. Misalnya ketika ketika kiai Sahal mengungkap makna sabilillah dalam QS. At-Taubabh:60, Beliau mengambil pendapatnya Syekh Mahmud Syalthut yang mengatakan bahwa sabilillah tidak semata-mata berarti orang yang berjihad secara sukarela (al-ghuzzal al-ghairu  al-murtaziqah) seperi yang di katakan ileh para fuqaha pada uumunya, akan tetapi kata tersebut mencakup segala bentuk kebaikan.
Jika di cermati dengan seksama pengambilan fatwa hukum kiai Sahal di suara merdeka sifatnya ekletik, yakni mengambil beberapa pendapat beberapa fuqaha yang mendukung atau sesuai dengan pertanyaan yang di ajukan tanpa di dukung atau sesuai dengan analisa.
Sebagai contoh, ketika kiai Sahal berpendapat tentang boleh dan tidaknya air musta’mal untuk menghilangkan hadas, dengan berpegang pada madzhab Syafi’iyyah. Kiai Sahal cenderung menerapkan pendapat umum ynag tidak membolehkan air musta’mal untuk menghilangkan hadas.
Kiai Sahal sendiri memang sebetulnya kurang sreg dengan metode tekstual ini. Namun cara madzah qauli itu harus di lakukan mengingat dua hal, pertama pertanyaan yang di ajukan bersifat praktis dan hanya berkaitan dengan masalah-masalah furu’iyah di biang ibadah. Karenna pertanyaanya bersifat praktis maka jawabannya punharus sesuai dengan kapasitas si penanya.
Di samping itu, jika di perhatikan penerapan metode tekstual dari kiai Sahal dengan mengambil pendapat (qaul) para fuqaha itu sifatnya tidak memaksa. Artinya kiai Sahal tetap memberi peluang kepada si penanya untuk memilih dari pendapat-pendapat yang di sebutkan. Ini tampak dalam setiap jawabannya, tidak pernah menyebut satu qaul saja melainkan beberapa qaul. Cara ini tidak di lakukan dalam rangka memberi kebebasan sekaligus mendidik kepada khalayak tentang tata cara memnyikapi teks-teks asgar tidak terpaku pada salah satu madzhab saja. 
2.      Metode Konteksual (madzhab manhaji)
Bermadzhab secara metodologis menurut kiai Sahal merupakan suatu keharusan. Hal ini di sebabkan karena memahami fiqh secara tekstual merupakan aktivitas yang ahistoris  dan paradoks dngan makna fiqh itu sendiri.
Metode kiai Sahal dalam mengistinbatkan hukum secara metodologis ini dengan cara menferifikasi persoalan yang tergolong ushul dan permasalahan-permasalahan ushul dan furu’, Kiai Sahal lebih dahulu melakukan klasifikasi atau mengidentifikasi sebuah kebutuhan.
KH. Sahal dalam mengistimbatkan hukum selalu mengacu pada kerangka maslahat.namun begitu ia tetap berpegang pada kaidah-kaidah ushul fiqh, tradisi kenabian, praktek-praktek sahabat dan fuqaha awal. Cara itu di tempuh agar proses penggalian hukum tidak terjerat ke dalam arus modernitas – liberal semata tetapi tetap berada dalam kerangka profetis da frame kewahyuan.

Kesimpulan
                                    Dari pemmaparan makalah di atas, maka dapat di ambil suatu kesimpulan, Fiqh dalam kenyataanya upaya manusiawi, ynag melibatkan proses penalaran baik dalam tatanan teoritis maupun praktis, dalam memahami, menjabarkan dan mengelaborasikan hukum-hukum agama. Salah satunya adalah study pemikiran KH.Sahal Mahfudz yang mana pemikiran fiqh di sesuaikan dengan perkembangan zaman sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada, serta memberikan solusi atas masalah-masalah yang ada dengan penggalian hukum secara kontekstual dan tekstual.
KH. Sahal dalam mengistimbatkan hukum selalu mengacu pada kerangka maslahat.namun begitu ia tetap berpegang pada kaidah-kaidah ushul fiqh, tradisi kenabian, praktek-praktek sahabat dan fuqaha awal. Cara itu di tempuh agar proses penggalian hukum tidak terjerat ke dalam arus modernitas – liberal semata tetapi tetap berada dalam kerangka profetis da frame kewahyuan.





Daftar Pustaka
Qurtuby, Sumanto.2000.  Era Baru Fiqh Indonesia . Yogyakarta: Cermin
Fadeli,Soeleiman, dkk. 2007 . Antalogi NU (Sejarah-Istilah-Amaliah-      Uswah) . Surabaya: Khalista
Asmani, Jamal Ma’mur. 2007 . Fiqh Sosial KH.Sahal Mahfudh Antara     Konsep dan Implementasi. Surabaya: Khalista
Tim Aswaja NU Center. 2012 . Risalah Ahlusunnah wal Jama’ah.            Surabaya: Khalista
Yafie, Alie. 1994 . Menggagas Fiqh Sosial .Bandung: Mizan
Ahmad, Noor, dkk . 2000 . Epistemologi Syara’  . Yogyakarta: Walisongo           Press

Revisi:
1.  Tidak ada indikasi copy-paste.
2.  Abstrak Cuma satu paragraf saja.
3.  Tolong lebih dielaborasi pemikiran dalam bidang fiqihnya.
4.  Pengulangan dalam penulisan footnote tolong diperbaiki.


[1] Noor Ahmad, dkk, Epistemologi Syara’, (Yogyakarta: Walisongo Press, 2000), halm viii
[2] Sumanto Al-Qurtuby, KH.MA Sahal Mahfudh Era Baru Fiqh Indonesia, (Yogyakarta: Cermin, 1999),halm  9-11
[3] Alie Yafie, Menggagas Fiqh Sosial, (Bandung: Mizan , 1994), halm 122
[4] Ibid, halm 71-72
[5] Jamal Ma’mur Asmani, Fiqh Sosial Kiai Sahal Mahfudh : Antara Konsep dan Implementasi, (Surabaya: Khalista, 2007), halm 11
[6] Ibid, hal 14-15
[7] Soeleiman Fadeli dan muhammad Subhan, Antologi NU: Sejarah- Istilah- Amaliah –Uhwah, (Surabaya: Khalista, 2007), halm 269
[8] Jamal Ma’mur Asmani, Fiqh Sosial Kiai Sahal Mahfudh : Antara Konsep dan Implementasi, (Surabaya: Khalista, 2007), halm 25-16
[9] Soeleiman Fadeli dan muhammad Subhan, Antologi NU: Sejarah- Istilah- Amaliah –Uhwah, (Surabaya: Khalista, 2007), halm 269
[10] Ibid
[11] Jamal Ma’mur Asmani, Fiqh Sosial Kiai Sahal Mahfudh : Antara Konsep dan Implementasi, (Surabaya: Khalista, 2007), halm 81-83
[12] Sumanto Al-Qurtuby, KH.MA Sahal Mahfudh Era Baru Fiqh Indonesia, (Yogyakarta: Cermin, 1999), halm  94-98
[13] Ibid, hal 98-102
[14] Ibid hal 102-106
[15] Ibid halm 110-120

Tidak ada komentar:

Posting Komentar