Sabtu, 24 Maret 2018

Hadis dan Historisitasnya (PIPS A Semester Genap 2017/2018)




HADIS DAN HISTORISNYA
Moch Nur Adi A, Rizka Nurhaeda, dan Hidayatul Islam
Mahasiswa Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang
Pendidikan IPS A Agkatan 2016

Abstract
Stating as-sunnah as the second source of law after the Qur'an which has a function as a parrot is a mutual agreement among the Ulema, both as the al-ta'lid, the al-tafsir and the al-tashri. Yet not all argue so, a deviating stream from the sunnah of one, which rejects the hadith of the Prophet as hujjah as a whole. With the argument that the Qur'an is revealed by Allah SWT in good Arabic, the Qur'an can be understood without requiring the explanation of the Sunnah of the Prophet SAW.  While the defense's view of the Sunnah and the hadith assume that the argument expressed by the group's perverted view of the sunnah is weak, both from the point of view of the aqli and naqli propositions. In the paper we will discuss about the meaning of hadith or sunna according to the scholars (experts of hadith, expert ushul fiqihdan jurisprudent) and various kinds of qauli, fi'li, ta'riri, and ahwali. Then discuss the difference between hadith, atsar, and khabar. And explain in detail the brief history of the Prophet's traditions from time to time.
Keywords: sunnah, hadith, qauli, naqli
Abstrak
Menyatakan  as-sunnah sebagai sumber hukum kedua setelah alquran yang memiliki fungsi sebagai bayan, merupakan kesepakatan bersama para Ulama, baik sebagai bayan al-ta’lid, bayan al-tafsir dan bayan al-tashri. Namun tidak semua berpendapat demikian, aliran yang menyeleweng dari sunnah salah satunya, yang menolak hadist Nabi sebagai hujjah secara keseluruhan. Dengan argumentasi bahwa alquran diturunkan oleh Allah SWT dalam bahasa Arab yang baik, alquran dapat dipahami tanpa memerlukan bantuan penjelasan dari sunnah-sunnah Nabi SAW. Sementara pandangan pembela terhadap sunnah dan  hadist beranggapan bahwa argumentasi yang diutarakan pendapat kelompok  yang menyeleweng dari sunnah adalah lemah, baik dari sudut pandangan dalil aqli dan naqli. Dalam makalah kami akan dibahas mengenai pengertian hadis atau sunnah menurut para Ulama (ahli hadis, ahli ushul fiqihdan ahli fiqih) dan macam-macamnya yaitu qauli, fi’li, ta’riri, dan ahwali. Lalu membahas perbadaan antara hadis, atsar, dan khabar. Dan menerangkan secara rinci sejarah singkat hadis Nabi dari masa ke masa.
Kata kunci :sunnah, hadis, qauli, naqli
A. PENDAHULUAN
Kata al-hadîts merupakan bentuk ism dari kata al-tahdîts, yang berarti cerita (al-ikhbâr). Bentuk jamaknya adalah ahdûtsah atau ahâdîst. 2 Kata al-hadîts dan kata al-khabar secara bahasa adalah bersinonim. 3 Menurut Azami, kata hadis dalam bahasa Arab, secara bahasa mempunyai arti, komunikasi, cerita, perbincangan: religius atau sekular, historis maupun kekinian. Ketika digunakan sebagai kata sifat, “hadis” mempunyai arti “yang baru”.[1]
Hadis menurut bahasa adalah al-Jadid  yang berarti sesuatu yang baru, lawan kata dari al-Qadim  yang  berarti lama. Hadis sering disebut  dengan al-Khabar  yang berarti berita, atau sesuatu yang dipercakapkan kemudian dipindahkan dari seseorang  kepada orang lain, yang maknanya hampir sama dengan hadis.[2]
Menurut tinjauan Abdul Baqa, hadis adalah isim dari tahdith yang berarti pembicaraan, yang kemudian diartikan sebagai perkataan, perbuatan, atau penetapan yang disandarkan dari Nabi SAW. Syeikh Islam Ibnu Hajar dalam Sharah al-Bukhari berkata bahwa hadis dalam pengertian ‘shara’ adalah apa yang disandarkan kepada Nabi SAW, dan dimaksudkan sebagai bandingan dari al-Quran yang qadim.[3]
Rasulullah juga telah menggunakan kata hadis ini untuk mengungkapkan makna yang sama dengan yang digunakan di dalam al-Qur’an. Rasulullah juga menyebut dirinya sebagai hadis (sumber hadis), yang mengisyaratkan bahwa hadis adalah yang bersumber dari diri Rasulullah sendiri dan bukan dari sumber lain. Oleh karena itu, dapat dipahami bahwa Nabi sendiri adalah peletak asal mula penggunaan kata hadis yang diistilahkan secara khusus ini.[4]Contohnya antara lain:
أحسن الحــديث كتـــاب (رواه البخاري )
Artinya: Perkataan yang paling baik adalah Kitab Allah (al-Qur’an) (H.R. alBukhârî).
من استـــمع إلى حديـــث قوم و ھم له كارھــون أو يفــرون منه في أذنه انك (رواه البخــاري )
Artinya: Barangsiapa yang menyimuak pembicaraan suatu bangsa, sedang mereka membenci kalau mengetahui tindakan orang tersebut karena mereka ingin merahasiakannya, maka cairan tembaga akan disiramkan ke dalam telinganya (H.R. al-Bukhârî).
Hadis juga digunakan untuk menunjukan perkataan, perbuatan, dan taqrir seseorang yang “masum”, bahkan sebagian pendapat juga digunakan untuk menunjukan keterangan mengenai sifat dari Nabi SAW. kata hadis pada tingkat pertama berkiatan dengan kalam yang dinukil dari Nabi dan para imam “Ma’sum”, kemudian pada tingkat berikutnya dapat digunakan sebagai perbuatan dan taqrir mereka. Meskipun Khabr dan hadis mempunyai arti yang sama, akan tetapi cakupan arti Khabar lebih luas daripada hadis. Maka dapat disimpulkan bahwa hadis hanya khusus digunakan untuk perkataan, perbuatan, dan taqrir seorang ma’sum, sedangkan khabr dapat digunakan sebagai ucapan-ucapan kepada para sahabat dan Tabi’in. Jadi diantara keduanya memiliki realasi  umum dan khusu mutlaq, yakni setiap hadis adalah Khabar, akan tetapi tidak setiap khabar adalah hadis. Begitupun demikian dalam ilmu ushul fiqih, khususnya berkenaan dngan istilah-istilah seperti khabar al-wahid dan khabar al-mutawatir. Istilah khabar digunakan menggunakan makna yang sama dengan hadis.[5]




B.  PEMBAHASAN

1.        HADIS DAN HISTORINYA

A.    Pengertian Hadis
Hadis menurut bahasa adalah al-Jadid  yang berarti sesuatu yang baru, lawan kata dari al-Qadim  yang  berarti lama. Hadis sering disebut  dengan al-Khabar  yang berarti berita, atau sesuatu yang dipercakapkan kemudian dipindahkan dari seseorang  kepada orang lain, yang maknanya hampir sama dengan hadis.[6]
Sedangkan menurut istilah menurut ahli hadis ialah :
اقوال اانبى صل ا لله عليه ؤسلم وافعاله واحواله
Yang artinya: “segala perkataan Nabi, perbuatan dan hal ihwalnya
Ihwal maksudnya adalah yang diriwayatkan oleh Nabi Muhammad SAW yang berkaitan dengan himmah, sejarah kelahiran dan kebiasaan yang dilakukan Nabi SAW.
Adapun pengertian hadis menurut ahli hadis lainnya ialah:
مااضيف الى اانبى صل الله عليه وسلم
Yang artinya: “ Sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW, baik berupa perkataannya, perbuatannya dan taqrir, maupun sifat Nabi SAW.
Kemudian para ulama ushul memberikan pengertian mengenai hadis ialah:
اقواله وافعاله وتقريراته التى تثبت الاحكام وتقررها
Yang artinya: Segala perkataan Nabi SAW, perbuatan, dan Taqrirnya yang berkaitan dengan hukum sayara’ dan ketetapannya”.
Berdasarkan hadis yang diungkapkan oleh ulama ushul ini jelas bahwa hadis adalah segala sesuatu yang bersumber dari Nabi SAW, yang berkaitan dengan misi dan ajaran Allah baik dalam ucapan, perbuatan, maupun ketetapan Nabi SAW yang disyariatkan kepada manusia. [7]



2.    SEJARAH PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN HADIS

A.  Hadis Pada Masa Rasulullah Saw
Masa Rasulullah adalah masa awal perkembangan hadis dimulai, sehingga dalam uraiannya terkait dengan pribadi Rasul sebagai  sumber hadis. Selama 23 tahun Rasulullah  SAW membimbing dan memimpin umatnya, hingga kurun waktu turunnya wahyu sekaligus diwurudkannya hadis. Keadaan ini menuntut keseriusan para sahabat sebagai pewaris pertama ajaran Islam. Wahyu yang diturunkan Allah SWT kepada Rasulullah SAW adalah melalui perkataan (aqwal), perbuatan (af’al), dan penetapan (taqrir)-nya, sehingga apa yang diucapkan dan dilakukan kemudian dilihat dan didengar oleh para sahabat menjadi pedoman amaliah dan ubudiah bagi mereka.[8]
1)   Cara Rasul Menyampaikan Hadis
        Umat Islam pada masa Rasulullah SAW dapat dengan langsung memperoleh hadis, karena tidak ada jarak yang mempersulit pertemuan antara Rasulullah SAW dan umatnya. Allah menurunkan al-Quran dan mengutus Nabi Muhammad SAW sebagai utusan-Nya menjadi satu kesatuan yang utuh. Apa yang disampaikan dan diucapkan oleh Nabi merupakan wahyu dari Allah SWT. Sebagaimana Allah berfirman dalam menggambarkan kondisi utusan-Nya tersebut.
وما ينطك عن ااهو, ان هو الا وهي يوحى
Yang artinya: “Dan tiadalah yang diucapkan itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya). QS Al-Najm (53): 3-4).
Kedudukan Nabi yang telah dijelaskan di atas, menjadikan semua perkataan, perbuatan dan taqrir-Nya sebagai sumber hadis bagi para sahabat. Mereka berguru dan dan selalau menanyakan sesuatu yang mereka tidak mengetahuinya, baik dalam urusan dunia maupun akhirat, mereka mentaati bahkan mencontoh sikap dan perbuatan Nabi Muhammad SAW. Adapun tempat-tempat pertemuan antara kedua belah pihak sangat terbuka dalam banyak kesempatan, tempat yang digunakan Rasul sangat bervariasi, seperti masjid, rumah sendiri, pasar, baik  ketika Rasul dalam perjalanan (safar), maupun ketika muqim (berada di rumah).[9]
                      Beberapa cara Rasul SAW mneyampaikan hadis agar dapat diterima dan  diikuti oleh para sahabat Rasulullah SAW adaalh sebagai berikut:
a)   Rasulullah memusatkan pembinaanya dengan membentuk sebuah Majelis al-Ilmi. Melalui majlis ini, para sahabat memperoleh banyak peluang untuk menerima dan mempelajari hadis. Mereka menerima dengan antusias yang tinggi, hingga berbagai upaya dilakukan untuk lebih serius dan fokus dalam mengikuti kegiatan dan ajaran yang diberikan oleh Nabi SAW.
b)   Dalam banyak kesempatan, Rasulullah menyampaikan hadisnya melalui para sahabat tertentu, yang kemudian disampaikannya kepada orang lain.
c)   Melalui ceramah atau pidato di tempat terbuka, seperti ketika Haji Wada dan  futuh makkah.[10]

2)      Perbedaan Para Sahabat Dalam Menguasai Hadis
Di antara para sahabat, dalam menyerap apa yang diajarkan dan diucapkan Nabi dalam penguasaan hadis tidaklah sama. Hal ini karena ada beberapa faktor, diantaranya:
a)      Perbedaan mereka dalam memperoleh kesempatan bersama Rasulullah SAW.
b)      Perbedaan mereka dalam soal kesanggupan bertanya kepada sahabat lain.
c)      Perbedaan waktu mereka ketika masuk Islam dan perbedaan antara  jarak tempat tinggal dan masjid Rasulullah SAW.
Beberapa sahabat Rasulullah tercatat sebagai orang yang dapat banyak menerima hadis dari Rasulullah SAW, antara lain:
a)    Para sahabat yang tergolong kelompok al-Sabiqun Al-Awalun, yaitu orang yang mula-mula masuk Islam, seperti Abu Bakar, Uma Ibn Khatab, Utsman IbnAffan, Ali Ibn Abi Thalib dan Ibn Mas’ud.
b)   Ummahat Al-Mukminin, yaitu istri-istri Rasulullah SAW, SepertiSiti Aisyah, Dan Ummu Salamah. Mereka secara pribadi lebih dekat dengan Rasulullah SAW, dan lebih banyak menerima hadis-hdis tentang keluarga dan pergaulan suami istri.
c)    Sahabat Rasulullah yang dekat dengan-Nya, kemudian menuliskan ahdis yang diucapkan Rasulullah SAW, seperti Abdullah Amr Ibn Al-Ash.
d)   Sahabat yang meskipun tidak lama bersama Rasul, tetapi Ia selalu bertanya kepada para sahabat, seperti Abu Hurairah.
e)    Para sahabat yang sering mengikuti kegiatan Majlis dan banyak bertanya kepada para sahabat lain. Usianya tergolong hidup lebih lama dari wafatnya Rasulullah SAW, seperti Abdullah Ibn Umar, Anas Ibn Malik, dan Abdullah Ibn Abbas.[11]

3)      Menghapal dan Menulis Hadis

a)    Menghapal Hadis
Dalam memelihara keselarasan antara al-Quran dan hadis, sebagai dua sumber ajaran Islam, Rasulullah Saw menanggapinya dengan jalan berbeda. Terhadap sumber  al-Quran, Rasulullah SAW menginstrusikan kepada para sahabat agar tidak hanya menulisnya, melainkan dihapalkannya juga, sedangkan terhadap sumber hadis, Rasulullah SAW menginstruksikan kepada para sahabat untuk tidak menulisnya, dan hanya boleh menghapalkannya. Dalam hal ini Ia bersabda:
لاتكتبوا عنى ومن كتب عنى غير ااقران فليمحه وحدثوعنى ولا حرج ومن كذب علي متعمدا  فليتبوء مقعده من اانار . رواه مسلم
“Janganlah kalian tulis apa saja dariku selain al-Quran. Barang siapa telah menulis dariku selain al-Quran, hendaklah dihapus. Ceritakan saja apa yang diterima dariku, ini tidak mengapa. Barang siapa berdusta atas namaku dengan sengaja hendaklah ia menempati tempat duduknya di neraka”.
Maka hadis yang diterima dari Rasulullah SAW, diingat oleh para sahabat dengan sunguh-sungguh dan hati-hati, agar tidak terjaadi kekeliruan tentang apa yang diterimany
b)    Menulis Hadis
Rasulullah Memerintahkan untuk tidak menyelenggarakan penulisan hadis secara resmi seperti penulisan al-Quran, melainkan dengan dihafal dan dkitabligkan dengan tidak boleh sama sekali mengubahnya. Sebab penulisan hadis tidak diselenggarakan secara resmi adalah sebagai berikut:
a.       Agar tidak adanaya kesamaran terhadap al-Quran dan menjaga agar tidak tercampur antara catatan al-quran dengan catatatan hadis.
b.      Para saghabat yang pandai menulis sangat  terbatas, oleh karena itu tenaga yang ada lebih dikhususkan dalam penulisan al-Quran karena dalam al-Quran diturunkan secara berangsur-angsur dan memerlukan perhatian dan pengerahan penulis yang kontinyu.
c.       Dengan menyelenggarakan upaya menghafal hadis tanpa tulisan secara keseluruhan berarti telah memelihara budaya hafalan di kalangan umat Islam bangsa Arab yang terkenal kuat hafalannya.
d.      Secara teknis penulisan hadis yang secara utuh dari ucapan, amalan, dan muamalah Rasulullah SAW merupakan hal yang sulit untuk dilakukan. Dibutuhkan seorang penulis yang harus terus menyertai Nabi SAW dalamm segala hal.[12]
Hadis Nabi SAW yang menyatakan bahwa dilarangnya penulisan sesuatu selain al-Quran, yakni hadis yang diriwayatkan oleh Abu Sa’ide al-Khudri:

لاتكتبوا عنى غير القران ومن كتبعنى غير القران فليمحه  . رواه مسلم

Yang artinya “jangan kamu tulis sesuatu dariku, dan barang siapa yang telah menulis dariku selain al-Quran, maka hendaklah dihapusnya” (H.R Muslim).

Berdasarkan hadis tersebut, beberapa sahabat berpendapat bahwa penulisan hadis tidak diperbolehkan, namun kebanyakan para sahabat dan para tabi’in membolehkan menulisnya dengan berpegang pada hadis :

اكتبوا لابى شاةز . رواه البحارى

Yang artinya: “Tulislah olehmu untuk Abu Syah” (H.R al-Bukhari).

Sabda Nabi SAW yang diucapkan ketika Abu Syah memint Nabi untuk menuliskan pidato (hadis) Nabi SAW di suatu peristiwa pembunuhan seorang Bani Laits oleh golongan Khuza’ah di tahun futuh Makkah.

اكتب عنى فو اللذى نفسى بيده ما حرج من فمى الا حق .
 رواه ابو داود عن ابن عمر

“tulislah, demi Tuhanmu yang diriku ada dalam lindungan-Nya, tidaklah sesuatu ucapan keluar dari mulutku, kecuali haq adanya” Riwatyat Abu Dawud dan Ibn Umar.

Dibalik larangan Rasulullah SAW, ternyata ditemukan sejumlah sahabat yang memiliki catatan-catatan dan melakukan penulisan hadis, diantaranya ialah:
a.    Abdullah  Ibn Amr Al-Ash. Ia memiliki catatan hadis yang Menurut pengakuannya dibenarkan oleh Rasul Saw, sehingga diberinya nama al-sahifah al-sadiqah.
b.   Jabir Ibn Abdilah Ibn Amr Al-Anshari (w.78H). Ia memiliki catatan hadis Rasulullah Saw tentang manasik Haji. Hadis- hadisnya kemudian diriwayatkan oleh muslim. Catatannya dikenal dengan sahifah Jabir.
c.   Abu Hurairah Al-Dausi. Ia memiliki catatan hadis yang dikenal dengan Al-Sahifah Al-Sahihah, dutuh makkah.an diwariskan kepada anaknya yang bernama Hammam.
d.  Abu Syah (Umar Ibn Sa’ad Al-Anmari), Ia  meminta kepada Rasulullah SAW agar mencatatkan hadisnya yang disampaikan ketika pidato pada peristiwa futuh Mekkah[13].

4)      Mempertemukan Dua Hadis yang Bertentangan
Menurut Ibnu Hajar Al-Asqalani, larangan rasulullah SAW untuk menuliskan hadis adalah khusus ketika al-Quran turun. Hal ini karena dikhawatirkan takut tercampurnya nasakh ayat al-Quran dengan hadis. Kemudain menurutnya larangan itu dimaksudkan untuk tidak menuliskan al-Quran dalam satu suhuf. Artinya bahwa ketika wahyu tidak turun dan dituliskan bukan pada suhuf untuk mencatatat wahyu, diperbolehkan karena Al-Nawawi dan Al-Suyuthi memandang bahwa larangan tersebut dimaksudkan bagi orang yang kuat hafalannya, sehingga tidak khawatir akan terjadinya lupa. Namun bagi oran yang kurang kuat ingatannya dikhawatirkan akan lupa, maka boleh mencatatnya.[14]
Menurut Ajjaj Al-Khatib terdapat empat qaul kesimpulan pendapat para ulama, diantaranya:
a.    Menurut sebagian ulama bahwa hadis dari Abu Sa’id Al-Khudri bernilai mauquf, karenanya tidak dapat dijadikan hujjah. Menurut Ajjaj Al-Khatib, pendapat ini tidak bias diterima karena hadis Abu Sa’id Al-Khudri dan hadis yang semakna dengannya adalah sahih.
b.      Ulama lain menyebutkan bahwa larangan menulis hadis pada periode awal Islam, hal ini dikarenakan keterbatasan orang-orang Islam. Saat ini, umat Islam sudah semakin bertambah dan tenaga yang menulis hadis sudah memungkinkan sehingga penulisn hadis sudah diperbolehkan. Menurut kelompok ini hokum menulis hadis sudah menjadi mubah. Mereka hanya mengkhawatirkan jika penulisan hadis disatukan pada satu huruf dengan al-Quran.
c.      Ulama yang memandang bahwa larangan menulis hadis hanya bagi orang yang kua thafalannya. Hal ini untuk melatih dan mengasah kekuatan hafalannya. Namun diperbolehkan menulis hadis bagi orang yang hafalannya lemah seperti Abu Syah, atau yang dikhawatirkan lupa adalah Abdullah Ibn Al-Ash.
d.      Kemudian ada pula ulama yang memandang bahwa larangan tersebut adalah umum, yang sasarannya masyarakat banyak. Akan tetapi orang yang mempunyai keahlian menulis dan membaca saja yang tidak dikhawatirkan terjadi kekeliruan dalam menulisnya, adalah dibolehkan.

5)      Hadis Pada Masa Sahabat
Perkembangan hadis selanjutnya adalah pada masa sahabat Rasulullah SAW, khususnya pada masa Khulafa’ Al-Rasyidin (Abu Bakar, Umar Ibn Khatab, Utsman Ibn Affan, dan Ali Ibn Abi Thalib) yang berlangsung di tahun 11 H sampai dengan 40 H, yang pada masa ini disebut masa sahabat besar. Pada masa ini masih terfokus pada penyebaran al-quran, sehingga periwayatan hadis belum berkembang. Oleh karena itu pada masa ini oleh ulama dianggap sebagai masa yang menunjukan pembatasan periwayatan (al-tasabbut wa al-iqlal min al- riwayath).[15]
Pada masa sahabat terutama pada masa Abu Bakar dan Umar, periwayatan hadis masih sangat terbatas dan disampaikan kepada yang memerlukan saja karena belum bersifat pelajaran.
Dalam Prakteknya Cara sahabat meriwayatkan hadis antara lain:
a.   Dengan Lafazh asli yaitu menurut lafash yang diterima dari dari Nabi SAW.
b.  Dengan Maknanya, mereka meriwayatkan dengan lafazhnya karena tidak hafal lafazh yang asli dari Nabi SAW.[16]

a.    Menjaga Pesan Rasulullah Saw
Pesan dari Rasulullah sangatlah berpengaruh untuk sahabat-sahabatnya, hingga mereka begitu mencurahkan segala perhatiannya untuk melaksanakan dan mencontohkannya pesan dari Rasulullah SAW. Pesan dari Rasulullah SAW adalah agar terus berpegang teguh kepada al-Quran dan hadis serta dapat mengajarkan kepada orang lain, sebagaimana sabda RAsulullah SAW:
تركت فيكم امرين لن تضلوا ما تمسكتم بهما كتاب الله وسنة نبيه .
 رواه مالك
Yang artinya: “Telah aku tinggalkan untuk kalian dua macam yang tidak akan sesat setelah berpegang kepada keduanya, yaitu kitab Allah (al-Quran) dan Sunahku (al-Hadis)”. (HR.Maliki).

b.         Berhati-hati dalam Meriwayatkan dan Menerima Hadis.
Kehati-hatian para sahabat dalam membatasi periawyatan disebabkan karena mereka khawatir akan keliru, karena hadis merupakan sumber Tasyri’ setelah al-Quran yang harus terjaga dari kekelirannya sebagaimana al-Quran, maka para sahabat lebih khususnya Khulafa’al- rasyidin, seperti Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali, serta para sahabat lainnya seperti Al-Zubair, Ibn Abbas, dan Abu Ubaidah berusaha memperketat dan penerimaan hadis.[17]
Abu Bakar sebagai khalifah yang pertama kali menerima hadis menunjukan perhatiannya dalam menjaga dan memelihara hadis dengan hati-hati. Abu Bakar akan meminta saksi jika ada orang yang neriwayatkan hadis. Setelah wafatnya Rasulullah SAW, Abu Bakar pernah mengumpulkan para sahabat, dan kepadanya Ia berkata: “Kalian meriwayatkan hadis-hadis Rasul Saw yang diperselisihkan orang-orang setelah kalian akan lebih banyak berselisih karenanya. Maka janganlah kalian meriwayatkan ahdis tersebut.[18]
Pada masa ini perlu dipahami bahwa belum ada usaha secara resmi untuk menghimpun hadis dalam suatu kitab seperti al-Quran, agar umat Islam tidak memalingkan kekhususan dalam mempelajari al-Quran, dan para sahabat Rasul SAW sudah banyak tersebar ke berbagai daerah kekuasaan Islam dengan kesibukannya dan tanggungjawabnya mereka, sehingga sulit untuk mengumpulkan hadis-hadis mereka secara lengkap, alasan lainnya karena terjadinya perbedaan pendapat dalam pembukuan hadis soal lafadz dan kesahihannnya dikalangan para sahabat sendiri.[19]
Adapun kehati-hatian para sahabat dalam meriwayatkan hadis dilakukan dengan beberapa tindakan, antara lain:
a)    Menyedikitkan Riwayat, yakni hanya mengeluarkan hadis sesuai batas kebutuhan primer dalam pengajaran dan tuntutan pengajaran agama karena dikhawatirkan akan dipergunakan oleh orang munafik sehingga ditakutkan munculnya hadis paslu.
b)   Menepis dalam penerimaan hadis, yaitu dengan meneliti rawinya, apakah sudah adil atau malah meragukan dan marwinya, apakah sudah falid dan tidak bertentangan dengan al-Quran.[20]

c.  Periwayatan Hadis dengan Lafadz dan Makna

1)   Periwayatan Lafadz
Periwayatan Lafadz berarti meriwayatkan hadis yang matannya sama seperti yang diwurudkan Rasulullah SAW, ini hanya bisa dilakukan kepada mereka yang benar-benar hafal secara utuh apa yang disabdakan Rasulullah SAW. Para sahabat menempuh periwayatan hadis melalui jalan ini dengan berupaya agar periwayatan hadis mereka bisa sesuai dengan redaksi dari Rasulullah SAW. Sebagian dari para sahabat melarang meriwayatkan hadis hanya dengan maknanya saja, bahkan tidak boleh mengganti satu huruf atau satu katapun, tidak boleh mendahulukan susunan kata yang disebut Rasul di belakang ataupun sebaliknya, dan tidak boleh meringankan bacaan yang itsqal (berat). Adapun Ibnu Umar diantara para sahabatnya adalah yang paling keras mengharuskan periwayatan hadis dengan lafadz, bahkan Ia seringkali menegur sahabat lain yang membacakan hadis dengan berbeda walau hanya satu kata saja.[21]
2)  Periwayatan Maknawi
Para sahabat lain berpendapat, bahwa dalam keadaan darurat dan memang ketika oran tersebut tidak hafal dan tidak dapat meriwayatkan hadis sama dengan yang diwurudkan Rasulullah SAW, maka diperbolehkan meriwayatkan hadis secara maknawi, maksudnya adalah  meriwayatkan hadis yang matannya tidak secara utuh sama dengan apa yang didengarnya dari Rasulullah SAW, akan tetapi isi atau maknanya tetap terjaga secara utuh, sesuai dengan yang dimaksudkan oleh Rasulullah SAW. Namun demikian, para sahabat tetap menggunakan cara ini dengan sangat hati-hati agar tidak ada kekeliruan dalam penyampaian maknanya.
6)      Hadis Pada Masa Tabi’in
Pada masa Tabi’in, pada dasarnya periwayatan yang dilakukan sama saja dengan yang dilakukan oleh para sahabat, karena mengikuti jejak guru-guru mereka. Hanya saja persoalan yang dihadapai berbeda dengan yang dihadapi oleh para sahabat. Pada masa ini al-quran sudah dikumpulkan dalam satu mushaf, dan pada masa ini dikenal sebagai masa menyebarnya periwayatan hadis (intisyar al-riwayah ila al-anshar), karena pada saat itu semakin pesatnya wilayah kekuasaan Islam dan meningkatnya penyebaran para sahabat ke berbagai wilayah.
Meluasnya wilayah Islam, yakni ke negeri Syam, Irak, Mesir, Samarkand bahkan pada tahun 93 H sampai ke Spanyol, bertepatan dengan keberangkatan para sahabat ke berbagai wilayah dalam kewajibannya untuk  tugas memangku jabatan pemerintah dan penyebaran ilmu agama. Cara yang dilakukan orang-orang tabi’in dalam belajar dan mengetahui hadis adalah dengan belajar kepada para sahabat besar yang sudah tersebar di seluruh pelosok wilayah Daulah Islamiyah.[22]
a.          Pusat-pusat Pembinaan Hadis
Kota yang menjadi pusat pembinaan dalam periwayatan hadis untuk para tabi’in ialah Madinah Al-Munawwarah, Makkah Al-Mukarramah, Kufah, Basrah, Syam, Mesir, Maghribi dan Andalus, Yaman, dan Kurasan Abu Hurairah, Abdullah Ibn Umar, Anas Ibn Malik, Aisyah, Abdullah Ibn Abbas, Jabir Ibn Abdillah dan Abi Sa’id al-Khudri.[23]
Pusat pembinaan pertama adalah Kota Madinah, karena di tempat ini Rasululullah Saw menetap setelah hijrah, dan disinilah Rasulullah SAW membina masyarakat Islam yang di dalamnya terdiri atas Muhajirin dan Anshar dari berbagai suku. Para sahabat yang membina hadis di Makkah diantaranya adalah Mu’adz Ibn Jabal, Atab Ibn Asid, Haris Ibn Hisyam, Utsman Ibn Thalhah, dan ‘Utbah Ibn Al-Haris. Kemudian para tabiin yang tercatat nama-nama diantaranya adalah Mujtahid Ibn Jabar, Atha ‘ibn Abi Rabah, Thawus Ibn Kaisan, dan ‘Ikrimah Maula Ibn Abbas. Sementara sahabat yang membina di Kufah adalah Ali Ibn Abi Thalib, Sa;ad Ibn Abi Waqas, dan Abdullah Ibn Mas’ud, sedangkan para tabi’in di tempat ini adalah Ali Rabi’ Ibn Qasim, Kamal Ibn Zaid Al-Nakha’i, Said Ibn Zubair Al-Asadi, Amir Ibn Sarahil Al-Sya’bi, Ibrahim Al-Nakha’i dan Abu Ishaq Al-Sa’bi. Beberapa para sahabat lain menyebar membina hadis di tempat yang telah ditentukan, seperti Kota Basrah, salah satu yang membina adalah Anas Ibn Malik, Kota Syam dibina oleh Abu Ubaidah Al-Jarrah, Kota Mesir dibina oleh Amr Ibn Al-Ash, Kota Magribi dan Andalus dibina oleh Mas’ud Ibn Al-Aswad Al-Balwi, serta Kota Yaman dibina oleh Mu’adz Ibn Jabal.[24]
b.         pergolakan politik dan pemalsuan hadis
Sebenarnya pergolakan ini sudah berlangsung pada masa para sahabat, yaitu ketika kekuasaan dopegang oleh Ali bin Abi Thalib. Akibatnya cukup panjag dan berlarut-larut dengan terpecahnya umat Islam ke dalam beberapa kelompok, yaituKhawarij, Syi’ah, Mu’awiyah dan golongan mayoritas yang tidak masuk ke dalam ketiga kelompk tersebut. Pergolakan tersebut memberi pengaruh negatif terhadap perkembanan hadis berikutnya, yaitu dengan muncuknya hadis-hadis palsu(maudhu), selain itu pergolakan memberi pengaruh positif, yaitu lahirnya usaha yang mendorong diadakannya kodifikasi atau tadwin hadis, sebagai usaha penyelamatan dari permusuhan dan pemalsuan.[25]
7)      Masa Tadwin
Tadwin menurut bahasa adalah kumpulan shahifah (Mutmaja’ al-Suhuf). Seangkan dalam arti luas, tadwin dapat dartikan dengan al-Jam’u(mengumpulkan). Al-Zahrani merumuskan pengertian tadwin sebagai berikut:
تقييد المتفرق المشتت وجمعه فى ديوان اوكتاب تجمع فيه الصحف
“Mengikat yang beeserak-serakan kemudian mengumpulkannya menjadi satu diwan atau kitab yang terdiri dari lembaran-lembaran”.
Periode tadwin pada masa ini adalah pembukuan (kodifikasi) berdasarkan perintah kepala negara, dilakukan bukan ntuk perseorangan dan bukan untuk kepentinan pribadi.[26] Masa pembukuan secara resmi, yakni yang diselenggarakan atas inisiatif pemerintah secara umum, karena jika secara perorangan itu ada pada masa Tabi;in dan bahkas sejak masa Rasulullah SAW. Pembukuan secara resmi dimulai pada awal abad kedua hijriyah, yaitu pada masa pemerintah Khalifah umar ibn Abd al-Aziz tahun 101 H.[27]

a.       Latar Belakang Munculnya Pemikian Usaha Tadwin Hadis.
Latar belakag pemkiran tadwin hadis adalah karena kekhawatiran Umar Ibn Abd Aziz terhadap hilangnya hadis-hadis denga meninggalnya para ulama di medan perang, dan kekhawatirannya akan tercampurnya hadis yang sahih denga hadis palsu, dan juga saat ini semakin meluasnya kekuasaan Islam sementara kemampuan para tabi’in antara yag sati dega n yang lain berbeda, hal ini jelas sangat dibutuhkannya tadwin atau kodifikasi hadis.Umar Ibn Abd Aziz sebagai khalifah yang berakhlak mulia, adil, dan wira’i terdorong untuk mengambil tindakan ini adalah untuk menyelamatkan hadis dari pemusnahan dan pemalsuan.[28]
1)   Gerakan Menulis Hadis Para Kalangan Tabi;in dan Tabi’at Tabiin Setelah Ibn Syihah az-Zuhri.
Malik Ibn Anas wafat pada tahun 93-179 H di Madinah. Beliau adalah ulama yang telah berhasil menyusun tadwin, dan bisa diwariskan untuk generasi sekarang. Kitab hasil karyanya Al-Muwaththa’. Kitab tersebut disusun pada tahun 143 H atas perintah khalifah Al-Mansur. Al-Muwaththa adalah kitab tadwin yang pertama yang akhirnya dijadikan rujukan oleh para muhaddis selanjutnya.[29]
B.  Periode Keempat Dan Kelima: Masa Hadis Pada Abad Kedua Dan Ketiga Hijriyah (100-200 H Dan 200-300 H)
Aktivitas tadwin resmi dimulai pada masa Khalifah Umar ibn Abdul al-Aziz ( khalifa ke 8 dari Daulah Ummaliyah) yang terkenal adil dan wara serta ahli dalam berbagai ilmu, dengan pemikirannya untuk membukukan hadis, maka sejak masa beliau pembukuan hadis dimulai.[30]
1.    Tujuan dan Faedah Pentadwinan Hadis
a.    Segi Kepentingan Agama
Berpangkal pada masalah pemeliharaan Syari’at. Yaitu untuk tujuan pemeliharaan syari’at Islam. Karena agama Islam adalah agama yang terkahir dan agama bagi seluruh alam. Jadi praktek pemeliharaan haadis dapat dilihat dari masa Rasulullah SAW dan para sahabat dengan menggerakan cara penghafalan, penulisan dan pengumpulan hadis yang kemudian ditingkatkan dengan adanya pentadwinan. Itu semua adalah sunnah Ilahi atas alam dalam memelihara Hadis Nabi SAW sebagai salah satu sumber syariat Islam.
b.    Segi Kebutuhan Umat
Tujuan dan faedah hadis dari segi kebutuhan Umat antara lain:
1)   Untuk pelaksanaan agama, Umat Islam memerlukan pedoman dengan cara yang praktis dan efisien yaitu dengan disediakan catatan dan pengumpulan hadis Nabi SAW dan ditentukan dengan cara pemakaiannya, karena dengan berguru dan menghafalkan hadis di masa mutakhir ini sudah sangat sulit.
2)   Untuk istinbath hokum bagi persoalan kehidupan bermasyarakat, dan bertakhim atau berdalil untuk pemantapan amal keagamaan.
3)   Untuk menjauhkan dari kekaburan umat  Islam mengenai hadis, karena sudah banyak hadis yang tercampur dengan hadis paslu. Dengan adanya tadwin yang menyatukan hadis yang sahih dapat menhilangkan keraguan kaum Muslimin dalam mengamalkan sunnah Nabinya.[31]

2.         Fase Tadwin
a.    Fase Tadwin masa pertama
Fase tadwin ini berlangsung selama abad kedua Hijriyah. Mudawwin mengadakan tadwin dengan memasukan diwanya semua hadis, beik sabda Nabi SAW maupun fatwa sahabat dan tabi’in yang meliputi hadis marfu, mauquf dan maqhtu. Kitab yang sampai pada masa ini adalah kitab al-Muwatha. Al-Muwatha berisi 1726 Hadis yang terdiri dari 600 musnad, 228 mursal, 613 mauquf, dan 285 maqhtu. Kitab ini disusunan oleh Malik ibn Anas yang merupakan kitab terbesar pada masa itu, yang disusun dengan sistem tashnif, yaitu dengan memasukan hadis yang ada kemudian dihubungkan dengan yang lain dalam satu bab dan dikumpulkan menjadi satu mushannaf.[32]
b.    Fase Tadwin dengan Kualifikasi
Fase ini dimulai pada abad ketiga Hijriyah. Para ulama yang melakukan tadwin hadis pada masa ini yaitu dengan memisahkan antara sabda Nabi Saw dengan fatwa sahabat dan tabi’in, namun tetap mencampur antara hadis yang sahih, hasan, dan dha’if,sehingga orang yang tidak ahli dalam bidang hadis tidak mampu mengambil pengertian hukum atau mengetahui nilai dari hadis tersebut. Sistem yang dipakai daam tadwin ini adalah tasnid, yaitu dengan menyusun hadis dalam kitab dengan berdasarkan nama sahabat perawi. Kelamahan dari sitem tasnid adalah sulit dalam mencari atau mengetahui hukum Syara’ sebab hadis yang dikumpul dalam satu tempat tidak semaudhu’ atau satu tema. Kitab yang disusun dengan sistem tasnid ini dinamakan musnad, yang disusun oleh Ahmad ibn Hanbal. Musnad itu sudah melengkapi dan menghimpun kitab-kitab hadis yang lainnya yang dapat memenuhi segala yang gdiperlukan oleh muslim dalam urusan agama, sehingga hadis-hadis dalam kitab musnad dapat dijadikan. [33]
c.    Fase Tadwin dengan Seleksi
Fase ini berlangsung mengikuti corak kualifikasi antara hadi marfu  dengan hadis maukuf, dan maqtu. Pada fase ini dikenal dengan fase kualifikasi atau seleksi terhadap nilai hadis dengan memilih hadi yang sahih untuk dibukukan atau  Ashr al-Tajrid wa al-Tashhih wa al-Tanqih (masa penyaringan, pemilihandan pelengkapan).
Dilakukannya tadwin seleksi adalah karena meluasnya pemalsuan hadis. Oleh karena itu para sahabat mengintensifiaksi dalam menanggulangi pemalsuan hadis, yaitu  dengan melakukan hal antara lain:
a.    Penelitian dan pembahasan tentang  perawi hadis dari segi keadilan, kedhabitan, hal ini diambil dari biografi para perawi.
b.    Penyahihan hadis atas kaidah ilmu hadis, dengan membedakannya dantara hadis yang sahih dengan hadis yang dha’if.
Pada masa seleksi ini digunakan sistem tashif (mushannaf). Pelopor tadwin pada fase seleksi adalah Ishaq ibn Rawaih yang diikuti dan disempurnakan oleh al-Bukhari dan Muslim. Corak tadwin dengan seleksi menghasilkan dua jenis diwan hadis, antara lain:
a.    Kitab Shahih, yakni kitab yang dalam penyusunannya tidak memasukan hadis selain yang shahih.
Kitab shahih antara lain: Shahih al-Bukhari, Shahih Muslim, al-Mustadrak Hakim, Shahih ibn Hibban, Shahih ibn Khuzaimah, Shahih Abu ‘Awanah, dan Shahih ibn Jarud.
b.    Kitab Sunan, yakni kitab yang dalam penyusunannya tidak memasukan hadis munkar, sedang hadis dha’if yang tidak munkar dan tidak sangat lemah dimasukan ke dalam kitab sunan dengan diterangkan kedha’ifannya.
Kitab Sunan antara lain: Sunan Abu Dawud, Sunan Tarmidzi, Sunan al-Nash, Sunan Ibn Majah, Sunan al-Damiri, Sunan al-Dailami, Sunan Baihaqi, dan Sunan al-Daruqhuthi.[34]

Terdapat beberapa cara para ulama yang dilakukan pada Masa seleksi dan penyempurnaan serta  penyusunan kitab hadis, antara lain:

a.    Masa Penyaringan Hadis
Masa ini terjadi sekitar tahunn 201-300 H,  ketika pemerintah dipegang oleh dinasti Bani Abbas lebih tepatnya pada masa Al-Makmun sampai dengan Al-Muktadir. Latar belakang munculnya periode ini adalah karea pada periode tadwin masih belum berhasil memisahkan beberapa hadis mauquf dan maqthu dari hadis marfu’, dan masih belum bisa memisahkan beberapa hadis yang dha’if dari yan sahih. Bahkan masih ada hadis yang  maudhu’ atau tercampur pada yang sahih.
Para ulama melakukan penyaringan hadis melalui kaidah yang ditetapkannya, mereka berhasil memisahkan hadis-hadis dha’if (lemah) dari yang sahih dan hadis-hadis mauquf (periwayatan berhenti pada sahabat), dan yang maqthu’ (terputus) dari yang marfu’(sanadnya sampai Nabi SAW). Akhirnya pada masa ini munculah kitab-kiab yang hanya memuat hadis-hadis yang sahih yang dikenal dengan Kutub Al-Sittah (kitab induk yang enam)[35]
Secara lengkap kitab-kitab yang enam diturunkan sebagai berikut:
1.    Al-Jami’ Al-Shahih susunan Imam Al-Bukhari
2.    Al-Jami’ Al-Shahih susunan Imam Muslim.
3.    Al-Sunan susunan Abu Daud.
4.    Al-Sunan susunan Al-Tirmidzi.
5.    Al-Sunan susunan Al-Nasa’i dan
6.    Al-Sunan susunan Ibnu Majah.

b.      Masa Pengembangan dan Penyempurnaan Sistem  Penyusunan Kitab-kitab Hadis.
Setelah muncul kitab Al-Sittah dan Al-Muwaththa, para ulama kemudian menyusun kitab-kitab Jawami’, kitab Syarah Mukhtasar, mentakhrij, menyusun kitab Athraf, dan jawa’id, serta penyusunan kitab hadis untuk topik-topik tertentu.Penyusunan kitab pada masa ini adalah lebih mengembangkan usaha dengan beberapa variasi pentadwinan terhadap kitab-kitab yang sudah ada, salah satu usahanya yaitu dengan mengumpulkan kitabsahih Bukhari Muslim, seperti yang dilakukan oleh Muhammad In Abdillah Al-Jauzaqi dan Ibn Al-Furat.[36]
Masa ini terbentang cukup panjang, dari mulai abad ke empat hijriyah terus berlangsung beberapa abad berikutnya sampai abad kontemporer. Dengan demikian masa perkembangan ini melewati dua fase sejarah perkembangan Islam, yakni fase perkembangan dan fase modern.[37]
3.    Penyusunan Kitab-kitab Pembantu.
Para ulama Muhaditsin telah berhasil meyusun kitab pembantu, antara lain: Kitab Ulumul al-Hadis, kitab penunjuk, dan kitab Problema. Kitab Ulumul Hadis adalah kitab yang berisi tentang ilmu hadis, dalam riwayat hadis ini tidak dapat dipisahkan dari dirayahnya. Sebab ilmu dirayah memberi timbangan dan pembimbing hadis dari campuran hadis paslu. Dalam upaya memilih hadis, dalam proses pembukuan hadis harus dibarengi dengan proses pebstabihan hadisnya, dengan menyusun kaidah hadis, ushul-ushulnya, syarat-syarat menerima riwayat, syarat-syarat menolaknya, syarat-syarat shahih dan dha’if, dan kaidah tentang hadis sebagai hadis palsu. Sedangkan Kitab Problema adalah berisi uraian yang tujuannya adalah untuk menghilangkan problematika yang timbul yang dapat memberi pengaruh negative pada hadis, berupa kitab sanggahan, analisi dan tangkisan seperti yang dilakukan oleh ibn qutaibah dengan kitabnya Ta’wil Mukhtalifal al-Hadis untuk membela hadis atas serangan hadis dan kritik para ulama ahli kalam dan ahli Ra’yu.[38]

C.  Periode Ke Enam Dan Ketujuh: Perkembangan Hadis Pada Masa Mutaakhirin.

Masa ini disebut dengan “ Ashr al-Tahzib Wa al-tartib wa al-Istidrak wa al-Jami’i”, yakni masa pembersihan, penyusunan, penambahan, dan pengumpulan hadis. Masa ini Berlangsung sejak abad keempat sampai 656 H, sedangkan periode ketujuh berlangsung sejak tahun 656 H pada saat berakhirnya Daulah Bani Abbas (Abbasiyah) sampai masa-masa seterusnya. Masa ini dikenal dengan Ashr al Syarh wa al Jami’I wa al-Takhrij wa al-Bahts”, yakni masa penyebara, pengumpulan, pentakhrijan, dan pembahasan.
Para ulama yang hidup pada masa ini adalah ulama mutaakhrin, sedangkan ulama yang hidup sebelumnyah disebut ulama Mutaqaddimin. Pada masa utaakhirin, para ulama mencukupkan periwayatan dengan mengutip kitab hadis yang ditadwin oleh ulama sebelumnya di abad kedua dan ketiga Hijriyah. Dengan bertolak dari tadwin itu maka ulama di abad keenam H memperluas sistem dan corak tadwin, dengan menertibkan penyusunan, yaitu penyusunan kitab spesiaisasi dan kitab komentar serta kitab gabungan, dan lainnya. Aktivitas tadwin pada abaad keenam ini disebut sebagai Tadwin Ba’da tadwin.[39]
3.      Bentuk-bentuk Hadis

A.    Hadis Qauli

Yang dimaksud dengan hadis qauli adalah segala yang disandarkan kepada Nabi SAW yang berupa perkataan atau ucapan yang memuat berbagai maksud syara’, peristiwa, dan keadaan, baik yang berhubungan dengan aqidah, syariah, akhlak, maupun yang lainnya.[40]
Contoh hadis tentang bacaan al-fatihah dalam shalat, yang berbunyi:
لا صلاة لمن لم يقرأ بفاتحة الكتاب. رواه مسلم
“Tidak sah shalar seseorang yang membaca Fatihah Al-Kitab”. (HR. Muslim)
B.  Hadis Fi’li
           Dimaksudkan dengan Hadis Fi’li adalah segala yang disandarkan kepada Nabi SAW berupa perbuatannya yang sampai yang sampai kepada kita. Seperti hadis tentang shalat dan haji.[41]
 Contoh Hadis Fi’li tentang sholat adalah sabda Nabi SAW yang berbunyi;
صلوا كما رايتمونى اصلى. رواه البخارى
“Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat”. (HR. Bukhari)

C.  Hadis Taqriri
Yang dimaksud hadis taqriri,adalah segala hadis yang berupa ketetapan Nabi SAW terhadap apa yang datang dari sahabatnya. Nabi SAW membiarkan suatu perbuatan yang dilakukan sahabat, setelah memenuhi bebrapa syarat, baik mengenai pelakunya maupun perbuatannya.[42]
Diantara contoh Hadis Taqriri, ialah sikap Rasul SAW membiarkan para sahabatnya melaksanakan perintahnya, sesuai  dengan penafsirannya masing-masing sahabat terhadap sabdanya yang berbunyi:
  لا يصلين احد العصر الا  فى بنى قريظة ز رواه البخارى
“Janganlah seorangpun shalat Asar kecuali Bani Quraizah”. (HR. Bukhari)
D.    Hadis Ahwali

Yang dimaksud  dengan hadis Ahwali ialah Hadis yang berupa hal ihwal Nabi SAW yang menyangkut keadaan fisik, sifat-sifat dan kepribadiannya.[43]
Tentang keadaan fisik Nabi SAW, dalam beberapa hadis disebutkan, bahwa fisiknya tidak terlalu tinggi dan tidak pendek, sebagaimana yang diaktakan oleh al-Barra dalam sebuah hadis riwayat Bukhari, sebagai berikut:

كان رسول الله صل الله عليه وسلماحسن الناس وجها واحسنه حلقا ليسا بالطويل البا ءن ولا بالقصيرز رواه البخارى
“Rasul SAW adalah manusia yang sebaik-baiknya rupa dan tubuh. Keadaan fisiknya tidak tinggi dan tidak pendek”. (HR. Bukhari)

4.     Perbedaan antara Sunnah, Atsar dan Khabar
1.      Sunnah
Sunnah menrut etimologi berarti “jalan”, sedangkan menurut terminologi ialah apa-apa yang didasarkan kepada Nabi saw, baik perkataan, perbuatan, atau taqrir.
Sunnah dalam arti terminologi ini identik dengan pengertian hadis. Menurut pendapat sebagian ulama, bahwa pengertian sunnah dengan hadis itu berbeda; hadis terbatas pada perkataan dan perbuatan Nabi saw, sedang sunnah lebih luas.[44]
2.      Khabar
Khabar menurut etimologi berarti “berita”, kebalikan dari kata “Insya” yang berarti mengarang. Menurut terminologi, mengenai arti khabar terdapat tiga pendapat, yaitu:[45]
a.       Pengertian khabar identik dengan hadis.
b.      Khabar ialah apa-apa atau sesuatu yang datang selain dari Nabi, sedang hadis adalah sebaliknya. Sehingga terkenal dengan sebutan “Mutahaddis”bagi orang-orang yang menggeluti bidang ilmu hadis dan disebut “Ikhbari” bagi orang-orang yang menggeluti bidang ilmu sejarah dan yang sejenisnya.
c.       Pengertian hadis lebih khusus daripada khabar, sehingga setiap hadis pasti khabar, namun tidak setiap khabar pasti hadis.
3.      Atsar
Atsar menurut etimologi berarti “sisa-sisa perkampungan” atau yang sejenisnya. Sedangkan menurut terminologinya ada dua pendapat, yaitu:
a.       Pengertian atsar identik dengan pengertian hadis, sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Al-Nawawi, bahwasanya para ahli hadis menyebut hadis marfu’ dan hadis mauquf dengan atsar.
b.      Atsar ialah sesuatu yang datang dari sahabat (baik perbuatan maupun perkataan). Dalam hal ini atsar berarti hadis mauquf. Dan barangkali ditinjau dari segi bahasa yang berarti bekas atau peninggalan sesuatu, karena perkataan dan perbuatan merupakan sisa-sisa atau peninggalan-peninggalan dari Nabi saw. Dan oleh karena yang berasal dari Nabi saw disebut khabar, maka pantaslah kalau yang berasal dari sahabat disebut atsar.
Dengan demikian, jelaslah bahwa kata sunnah, hadis, khabar, dan atsar adalah sinonim, yaitu sesuatu yang disandarkan kepada Nabi saw, atau kepada sahabat, atau kepada tabi’in, baik berupa perkataan, perbuatan, taqriri, atau sifat-sifat. Sedangkan yang membedakan antarayang datang dari Rasulullah saw, sahabat, atau tabi’in, adalah keterangan-keterangan periwayatannya. [46]

C. PENUTUP
Hadis merupakan perkataan nabi dan juga perkataan nabi. Ada bebrapa macam-macam hadis yaitu hadis fi’li, hadis qouli, hadis taqriri dan lainnya. Para ahli banyak berbendapat bahwa macam macam hadis diatas ada melalui proses atau bisa dikatakan sejarahnya. Masa Rasulullah adalah masa awal perkembangan hadis dimulai, sehingga dalam uraiannya terkait dengan pribadi Rasul sebagai  sumber hadis. Selama 23 tahun Rasulullah  SAW membimbing dan memimpin umatnya, hingga kurun waktu turunnya wahyu sekaligus diwurudkannya hadis.   Ada bebrapa periode atau  masa yaitu contohnya Ke Enam Dan Ketujuh yang menjelaskan dan menelaah Perkembangan Hadis Pada Masa Mutaakhirin. Lalu ada beberapa perbedaan pandangan ahli antara , sunnah yaitu jalan, khabar yaitu berita, dan atsar yaitu sisa-sisa perkampungan, kata tersebut berdasarkan menurut etimologi




















DAFTAR PUSTAKA



Suparta , Munzier.2002. Ilmu Hadis. Jakarta:Pt Raja Grafindo Persada.

As-Shalih , Subhi. 2009. Membahas Ilmu-Ilmu Hadis, terj. Jakarta: Pustaka Firdaus

Ali , Ahmad.  2012. Hadis Sebagai Hujjah Dalam Perspektif Syi’ah. Refleksi, Volume 13, Nomor 3,

Soetari , Endang,. 2008. Ilmu Hadis. Bandung: CV MIMBAR PUSTAKA.

M. M. Azami. 1997. Studies in Hadith Methodology and Literature. Kuala Lumpur: Islamic Book Trust.
Alawi al-Maliki, Muhammad. 2012. Ilmu Ushul Hadis. Jakarta : Pustaka Pelajar
http://oaji.net/articles/2015/1792-1426647267.pdf dibuka pada tanggal 23 Maret 2018 pada pukul 11.19

Catatan:
1.      Similarity makalah ini cukup tinggi, yakni 31%.
2.      Sudah saya bilang, HARAM hukumnya mengutip dari blog, Mengapa masih dilanggar?
3.      Di footnote ada referensi berbahasa Inggris dan Arab, saya tunggu buktinya saat presentasi.
4.      Footnote yang diulangi ada tata caranya tersendiri.

Makalah ini perlu pembenahan banyak. Jangan hanya diperbanyak halamannya, tetapi kualitasnya juga.....




[1] M. M. Azami, Studies in Hadith Methodology and Literature (Kuala Lumpur: Islamic Book Trust, 1977), 1-2.
[2] Munzier Suparta, Ilmu Hadis, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 1.
[3]  Subhi As-Shalih, Membahas Ilmu-Ilmu Hadis, terj. (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2009),  hlm. 21-22.
[4] Hal ini didasarkan pada satu riwayat al-Bukhârî yang bertanya kepada Rasulullah mengenai orang yang akan mendapat syafa’at di hari Kiamat nanti, jawaban Rasulullah:
نه علم أن لن يسأله عن ھذا الحديث أحد قبل أبي ھريرة لحرصه على طلب الحديث
[5] Ahmad Ali, Hadis Sebagai Hujjah Dalam Perspektif Syi’ahRefleksi, Volume 13, Nomor 3, Oktober 2012, hlm. 378.

[6] Munzier Suparta, Ilmu Hadis, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 1.
[7] Munzier Suparta, Ilmu Hadis, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), hlm.1.
[8] Munzier Suparta, Ilmu Hadis, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 71.
[9] Munzier Suparta, Ilmu Hadis, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 72.
[10] Munzier Suparta, Ilmu Hadis, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 73.
[11] Muhammad Jamal Al-Din Al-Qasimi, Qawa’id Al-Tahdits min Funan Mutshlahah Al-Hadits, (Beirut: Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyah, 1997), Hlm.72-74.

[12] Endang Soetari, Ilmu Hadis, (Bandung: CV MIMBAR PUSTAKA, 2008), hlm. 35-36.
[13] Munzier Suparta, Ilmu Hadis, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 77.
[14] Munzier Suparta, Ilmu Hadis, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 78.
[15]Munzier Suparta, Ilmu Hadis, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002),  hlm.79
[16] Endang Soetari, Ilmu Hadis, (Bandung: CV MIMBAR PUSTAKA, 2008), hlm. 42
[17] Munzier Suparta, Ilmu Hadis, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), hlm 81.
[18] Munzier Suparta, Ilmu Hadis, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 81.
[19] Munzier Suparta, Ilmu Hadis, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 82.
[20] Endang Soetari, Ilmu Hadis, (Bandung: CV MIMBAR PUSTAKA, 2008), hlm. 42-43.
[21] Munzier Suparta, Ilmu Hadis, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 83.
[22] Endang Soetari, Ilmu Hadis, (Bandung: CV MIMBAR PUSTAKA, 2008), hlm. 46.
[23] Munzier Suparta, Ilmu Hadis, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 85
[24] Munzier Suparta, Ilmu Hadis, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), hlm 86-87.
[25] Munzier Suparta, Ilmu Hadis, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002),  hlm. 88.
[26] Munzier Suparta, Ilmu Hadis, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 89.
[27] Endang Soetari, Ilmu Hadis, (Bandung: CV MIMBAR PUSTAKA, 2008), hlm. 53.
[28] Munzier Suparta, Ilmu Hadis, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 90.
[29] Munzier Suparta, Ilmu Hadis, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 91.
[30] Endang Soetari, Ilmu Hadis, (Bandung: CV MIMBAR PUSTAKA, 2008), hlm. 57.
[31] Endang Soetari, Ilmu Hadis, (Bandung: CV MIMBAR PUSTAKA, 2008), hlm. 57.
[32] Endang Soetari, Ilmu Hadis, (Bandung: CV MIMBAR PUSTAKA, 2008), hlm. 66.
[33] Endang Soetari, Ilmu Hadis, (Bandung: CV MIMBAR PUSTAKA, 2008), hlm. 67.
[34] Endang Soetari, Ilmu Hadis, (Bandung: CV MIMBAR PUSTAKA, 2008), hlm. 62-63.
[35] Subhi AL-Shalh, op.cit., hlm. 48.
[36] Munzier Suparta, Ilmu Hadis, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 94.
[37] Munzier Suparta, Ilmu Hadis, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 94.




[38] Endang Soetari, Ilmu Hadis, (Bandung: CV MIMBAR PUSTAKA, 2008), hlm. 66.
[39] Endang Soetari, Ilmu Hadis, (Bandung: CV MIMBAR PUSTAKA, 2008), hlm. 67.
[40] Suparta Munzir, Ilmu Hadis, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 18.
[41] Ibid, 19.
[42] Ibid . 20.
[43] Ibid. 22.
[44] Ibid, 8
[45] Ibid, 8
[46] Ibid, 9

Tidak ada komentar:

Posting Komentar