Sabtu, 24 Maret 2018

‘URF, SADDUDZARA'I, MAZHAB SAHABAT DAN SAR’U MAN QABLANA (PAI A Semester Genap 2017/2018)



‘URF, SADDUDZARA'I, MAZHAB SAHABAT DAN SAR’U MAN QABLANA
Kumairoh, Faiqotul Mufidah, Dan Ulum Bastomi Yahya
Mahasiswa PAI-A angkatan 2015
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang

Abstrack:
Trough everyday life muslims should be based as well as sticking on the Qur’an and Hadith. However, the death of the Prophet Muhammad, his companions begin to ijtihad so that there is consensus and nothing that has been mutually agreed by those with a fixed reference to the Qur’an and Hadith. Along the development problems that occurred in the community, then the greater the scholars effort to resolve these problems with the start using some method other than islamic law of the Qur’an Hadith, Consensus, and nothing including ‘Urf, Saddudzara’i, Mazhab Sahabat, and Sar’u man Qablana. The muslims, in any country, can not live without the customs prevailing in its territory. But these customs can be followed by the muslims for not contrary to the provisions on nash in the Qur’an and Hadith. Law of ijtihad these can then be specified as the source of Islamic law so that from here we can find out just how islamic law are extremely dynamic and extremely relevant for Muslims in the era of globalisation and multimedia this time.

Keywords:Ijtihad, Urf, Saddudzara’i, Madzhab Sahabat, Syar’u man Qablana and Islamic Law

Abstrak:Dalam menjalani kehidupan sehari-hari, umat Islam harus berpedoman serta berpegang teguh pada Al-Qur’an, dan Al-Hadist. Namun, sepeninggal Rasulullah Saw, para sahabat mulai berijtihad sehingga terdapat Ijma’ dan Qiyas yang telah disepakati bersama oleh mereka dengan tetap merujuk pada Al-Qur’an dan Al-Hadits. Seiring berkembangnya permasalahan yang terjadi di masyarakat, maka semakin besar pula usaha para ulama’ untuk menyelesaikan permasalahan tersebut dengan mulai menggunakan beberapa metode pengambilan hukum Islam selain Al-Qur’an, Hadits, Ijma’ dan Qiyas diantaranya ‘Urf, Saddudzara’i, Madzhab Sahabat dan Syar’u man Qablana. Kaum muslimin, di negara manapun, tidak bisa hidup tanpa adat istiadat yang berlaku di daerahnya. Akan tetapi adat istiadat ini dapat diikuti oleh kaum muslimin selama tidak bertentangan dengan ketentuan yang di nash dalan Al-Qur’an dan Hadits. Hukum-hukum ijtihadiyah ini kemudian dapat ditetapkan sebagai sumber hukum Islam sehingga dari sini kita dapat mengetahui betapa hukum Islam bersifat sangat dinamis dan sangat relevan bagi umat Islam pada era globalisasi dan multimedia saat ini.
Kata Kunci:Ijtihad, Urf, Saddudzara’i, Madzhab Sahabat dan Syar’u man Qablana dan hukum Islam
A.      Pendahuluan
Dewasa ini permasalahan yang terjadi di tengah masyarakat semakin kompleks. Masyarakat menuntut adanya penyelesaian yang tepat serta dapat diterima oleh semua kalangan masyarakat yang saat ini semakin berkembang ilmu pengetahuan dan kemampuan teknologinya. Penyelesaian ini diharapkan mampu menjawab kebutuhan masyarakat di era globalisasi dan multimedia ini, masyarakat juga menuntut penyelesaian yang relevan serta logis, membawa kemaslahatan bagi umat namun tetap berpegang teguh pada Al-Qur’an dan Sunnah Rasul. Dari situlah para ulama’ memandang perlu melakukan ijtihad dengan menggunakan beberapa metode penetapan hukum Islam seperti ‘Urf, Saddudz Dzara’i, madzhab Shahabat, serta Syar’u man Qablana untuk memberikan solusi terhadap problematika yang terjadi di masyarakat.
Sebagai umat Islam kita perlu memiliki pemahaman yang kuat dan pengetahuan yang mendalam mengenai hukum-hukum Islam dengan melihat adanya perbedaan para ulama’, sehingga kita lebih memahami perbedaan, menghormati orang lain, dan yang terpenting adalah agar kita terhindar dari segala fanatisme buta yang berkembang saat ini karena awamnya pengetahuan kita mengenai hukum Islam. Pada makalah ini akan membahas mengenai beberapa kajian hukum Islam yaitu ‘Urf, Saddudzara’i, madzhab Sahabat, serta Syar’u man Qablana agar kita semakin memiliki pengetahuan yang luas sehingga kita dapat menjadi umat Islam yang berakar ke bawah dan berpucuk ke atas, bukan umat yang mudah terombang-ambing terbawa arus globalisasi.

B.     ‘Urf
1.    Definisi ‘Urf
Kata ‘urf  berasal dari kata bahasa Arab yakni: ‘arafa, ya’rifu,(عر ف – يعر ف ) namun dalam artian kata Al-ma’ruf(المعر وف)  yang mempunyai makna: “ sesuatu yang dikenal”. Makna dari kata ‘dikenal’, lebih menekankan pada pengertian “di akui oleh orang”. Keterkaitan kata ma’ruf di dalam alquran yang memiliki arti (kebajikan) dalam firman Allah yang berbunyi:
خُذِالْعَفْوَا وَأْمُرْ بِالْمَعْرُوفِ .
“Maafkanlah dia dan suruhlah dia berbuat ma’ruf”. (Qs. Al-A’raf: 199)”

Pengertian ‘urf tidak memandang dari sudut berulangkalinya suatu perbuatan dilakukan, namun terlihat dari sudut perbuatan yang dilakukan secara kontinue dan di akui oleh lapisan masyarakat.[1]
Sedangkan‘urf secara harfiyah adalah suatu kondisi, perkataan, perbuatan, atau ketetapan yang dikenal dan diakui manusia tanpa menghiraukan pelaksanaanya.[2] Kendati khalayak umum mengartikan ‘urf sebagai (kebiasaan).
Dari penjelasan di atas, bahwa ‘urf adalah sesuatu yang harus dikenali, diakui, dan diterima oleh lapisan masyarakat. Dalam hal ini Musthafa Syalabi membagi antara ‘urf dan ijma’ sesuai spesifikasi perbedaannya, yakni:
1.         Dilihat dari sudut ruang lingkup, ijma’ tidak terjadi tanpa keterlibatan semua mujtahid. Sedangkan dalam ‘urf tidak harus ada sosok mujtahid yang berperan, namun orang awam juga mempunyai peran dalam proses pembentukannya.[3]
2.         Ijma’ dari segi ‘amali (praktik) terwujud karena adanya mujtahid yang melakukannya, sedang ‘urf terbentuk secara berulang-ulang (kontinue).
3.         ‘Urf bersandar pada kebiasaan pekerjaan umat Islam, namun dalam hal ini terdapat perubahan seiring dari transformasi umat tersebut. Sedangkan ijma’ dari berbagai kalangan ulama’ menyatakan tidak terdapat perubahan sekali ditetapkan, ia tetap berlaku sampai ke regenerasi selanjutnya.[4]

2.    Macam-Macam ‘Urf
Ditinjau dari berbagai sudutnya. Terdapat pengelompokkan macam-macam ‘urf di lihat dari model pembagiannya:
1.      Ditinjau dari sudut materi yang menjadi kebiasaan. Dari sudut ini ‘urf terbagi menjadi dua macam:
a.       ‘Urf Qauli
‘Urf qauli merupakan suatu ucapan yang dilakukan oleh sebuah kelompok untuk memahami makna ucapan tersebut. Sebagaimana orang Arab mendefinisikan ad-dabbah untuk menjelaskan makan hewan berkaki empat, namun dari segi makna lughowi kata tersebut merupakan sesuatu yang berhubungan dengan merangkak. Pada dasarnya ‘urf qauli terbentuk adanya transformasi dan sempitnya makna lafal dari makna lughowi. Oleh karena itu, jika lafal yang lazim dikenal makna lughowinya, maka ungkapan lafal dengan  makna ini tidak bisa disebut ‘urf qauli, namun disebut haqiqat ‘urfiyyah.
b.      ‘Urf Amali
‘Urf fi’li merupakan segala tindak-tanduk yang dilakukan oleh sekelompok manusia yang telah dikenali dan diakui sehingga menjadi sebuah kebiasaan. Misalnya; (1) Kebiasaan masyarakat dalam kehidupan sehari-hari seperti jual beli yang notabennya tidak memakai ijab qobul (mu’athoh) yang memiliki arti serah terima barang atau alat tidak mengucapkan transaksi. (2) Kebiasaan mengambil rokok antar sesama teman tanpa mengucapkan meminta. Kebiasaan ini tidak dianggap mencuri, Karena terdapat ‘urf fi’li yang mendasari.
c.    Dari sudut obyek cakupan penggunannya, ‘urf di bagi menjadi dua macam:
1). Urf amm
Urf amm merupakan tradisi yang telah umum dikenal oleh seluruh masyarakat. Misalnya; (1) Ketika seseorang menganggukkan kepala ada dua tanda yakni menyetujui dan tidak menyetujui. Sehingga ketika ada orang yang berbalik dari kebiasaan tersebut, akan dianggap aneh dan tidak lazim bagi masyarakatnya. (2) Ketika berkunjung ke pemandian umum, kebanyakan orang-orang membayar tarif sesuai yang ditentukan. Akan tetapi tidak ada batasan penggunaan air sesuai tarif yang ditentukan.
2). Urf Khash
‘Urf khash merupakan kebiasaan yang berbanding terbalik dengan ‘urf amm yang mana sebuah kebiasaan tidak dikenal dan diakui oleh kalangan masyarakat tertentu. Misalnya; (1) Kata rofa’ dalam kebiasannya banyak disebutkan dalam pakar nahwu.[5]
d.      Dari sudut penilaian baik dan buruk, ‘urf itu terbagi kepada:
1).‘Urf Shahih
‘Urf Shahih merupakan kebiasaan yang dilakukan secara berulang-ulang, diterima oleh orang banyak, tidak bertentangan dengan agama, attitude, dan budaya yang luhur. Contohnya mengadakan halal bihalal (silaturrahmi) saat hari raya, memberikan suatu reward sebagai suatu penghargaan atas suatu prestasi.
2).‘Urf Fasid
‘Urf Fasid merupakan kebiasaan yang dilakukkan di suatu tempat meskipun pelaksanaannya secara kolektif, namun bertentangan dengan agama, attitude, maupun undang-undang Negara. Contohnya merayakan suatu peristiwa secara hedonism dengan dibarengi minum-minuman keras atau sesuatu yang memabukkan.

3.    Kedudukan ‘Urf Dalam Menentapkan Hukum
Secara global (umum) ‘urf diamalkan oleh semua para elite dari kalangan ulama madzhab Hanafiyah dan Malkiyah.
a.       Ulama Hanafiyah mengambil istihsan dalam usaha ijtihadnya, salah satu bentuk dari istihsan tersebut ialah istihsan al-‘urf (istihsan yang menyandarkan kepada ‘urf). Sedang, ulama Hanafiyah, ‘urf didahulukan ‘Urf atas qiyas khafi dan juga didahulukan atas nash yangglobal, dalam artian ‘urf mentashih umum nash.
b.      Ulama Malikiyyah berargumen ‘urf yang berada dalam kehidupansekelompok ahli Madinah dijadikan dasar untukmenetapkan hukum dan menjadi pendahuluatas hadis ahad. Namun Ulama Syafi’iyah menggunakan ‘urf dalam sesuatu hal yang tidak menemukan ketentuan batas dalam syara’ maupun dalam pengguatan bahasa.
كُلُّ ماَ وَ رَ دَ بِهِ الْشَّرْعُ مُطْلَقَا  وَلاَ ظَ بِطَ  لَهُ  فِيْهِ وَلاَ فيِ الُّغَةِ يَرْ جِعُ فِيْهِ اِلىَ الْعُرْ فِ
“Setiap yang datang dengannya syara’ secara mutlak, dan tidak ada dalam syara’ maupun dalam bahasa, maka dikembalikan kepada ‘urf.”
Misalnya, menentukan arti dan batasan tentang tempat simpanan (حج ز) dalam hal pencurian, arti berpisah dalam khiyar majelis, waktu dan kadar haid, dan lain-lain. Terdapat qaul qadim (pendapat lama) Imam Syafi’I di Iraq, dan qaul jadid (pendapat baru)nya di Mesir, menunjukkan diperhatikannya ‘urf dalam istinbath hukum di kalangan Syafi’iyah.
Terbuktinya alasan yang dianut oleh para ulama mengenai penggunaan (penerimaan) mereka terhadap ‘urf yakni hadist yang berasal dari Abdullah ibn Mas’ud yang dikeluarkan oleh Imam Ahmad dalam musnadnya, yaitu:
مَا رَا هُ الْمُسْلِمُوْ نَ حِيْنَا فَهُوَعِنْدَ اللَّهِ حَسَنٌ .
“Apa-apa yang dilihat oleh umat Islam sebagai suatu yang baik, maka yang demikian di sisi Allah adalah baik.”
Dalam pertimbangan kemaslahatan, atau banyak orang yang mengalami kesulitan jika tidak menggunakan ‘urf tersebut. Bahkan para ulama menempatkannya sebagai “syarat yang diisyaratkan
الْمَعْرُوْفُ عُرْفاً كاَ الشُرُ وطِ شَرْطاً .
“Sesuatu yang berlaku secara ‘urf adalah seperti suatu yang telah diisyaratkan”
Para ulama yang mengamalkan ‘urf dalam memahami dan mengistinbathkan hukum, menetapkan beberapa persyaratan untuk menerima ‘urf, yaitu:
1)      Urf bernilai maslahat dan dapat diterima oleh akal sehat.
2)      Kemaslahatan yang ditimbulkan dalam ‘urf ini, mengacu kepada kelpastian ‘urf yang shahih, sebagai persyaratan untuk diterima secara umum.  Misalnya terbiasa memakan ular, dalam hal ini dari sudut ras, agama suatu kelompok dinilai baik, namun tidak diterima oleh akal sehat.
3)      ‘Urf berlaku global dan kolektif digolongan orang-orang yang berada didalam lingkungannya, dan dalam sebagian golongan besar warga tersebut. Al-Suyuthi mengatakan:
إِ نَّمَا تُعْتَبَرُ الْعَا دَةُ إِذَا اطُّرِ دَتْ فَإِ ن لَمْ يَطَّرِ دْ فَلاَ
Sesungguhya adat yang diperhitungkna itu adalah yang berlaku secara umum, seandainya kacau maka tidak akan diperhitungkan. Contohnya, di dalam Indonesia untuk menggunakan alat pembayaran mempunyai satu jenis mata uang yang resmi yaitu rupiah. Maka dalam suatu transaksi tidak apa-apa tidak menyebutkan jenis mata uang tersebut. Karena semua orang telah mengetahui dan tidak ada kemungkinan lain dari penggunaan mata uang selainnya. Tetapi bila terdapat beberapa alat pembayaran yang sama-sama berlaku hal ini yang menimbulkan kekacauan, untuk mengklarifikasi masalah tersebut harus disebutkan jenis mata uangnya.
4)    ‘Urfdijadikan sandaran dalam penetapan hukum yang  berlaku pada saat itu, bukan ‘urf yang kemudian muncul. Dalam hal ini ‘urf harus ada sebelum penetapanhukum. Kalupun ‘urf itu datang dikemudian, maka tidak diperhitungkan. Ada akidah yang mengatakan:
الْعُرْفُ الَّذِى تَحْمِلُ عَلَيْهِ الاَلْفاَ ظُ إِنَّماَ هُوَ الْمُقاَرِنُ الْسَّا بِقُ دُوْنَ التَّأُ خُ
“‘Urf yang diberlakukan padanya suatu lafadz (ketentuan hukum) hanyalah yang datang beriringan atau mendahului, dan bukan yang datang kemudian.”
Contohnya ketika orang melakukan akad nikah namun pada waktu itu tidak dijelaskan maharnya harus dicicil ataukah dilunasi, sedangkan ‘urf yang berlaku pada waktu itu ialah melunasi seluruh mahar. Lalu ‘urf pada waktu itu mengalami perubahan, dan orang-orang telah terbiasa mencicil mahar tersebut. Kemudian mucul suatu permasalahan yang menimbulkan perselisihan antara suami dan istri mengenai pembayaran mahar. Suami berpegang tegu pada ‘urf yang sedang berlaku (yang mucul dikemudian), sehingga ia memutuskan untuk melunasi mahar dengan mencicil, namun sang isteri bersih kukuh meminta mahar tersebut karena ia masih menyakini ‘urf yang lama (sesuai kebiasaan lama).  Maka berdasarkan kaidah dan syara’ tersebut, suami harus melunasi mahar tersebut sesuai ‘urf (kebiasaan) yang terjadi pada waktu akad berlangsung dan tidak menurut ‘urf yang muncul dikemudian.
5)      ‘Urf tidak bertentangan dan melalaikan dalil syara’ yang ada atau bertentangan dengan prinsip yang pasti. Pada dasarnya penerimaan syarat ini hanya menguatkan persyaratan penerimaan ‘urf shahih. ‘Urf yang bertentangan dengan nash atau prinsip syara’, maka termasuk ‘urffasid (tidak disepakati ulama).
Dari uraian yang dijelaskan diatas bahwa ‘urf dapat dijadikan landasan dalam menetapkan hukum. ‘Urf bukanlah dalil yang berdiri sendiri, namun ‘urf menjadi dalil karena ada yang mendukung, atau adanya sandaran yang baik dari bentuk ijma’ atau kemaslahatan[6].


4.    Kehujjahan ‘Urf
‘Urf merupakan dalil syara’ tersendiri. Secara global ‘urf diarahkan untuk menjaga atau memelihara kemaslahatan umat serta menunjang terbentuknya hukum dan penafsiran beberapa nash.[7] Dengan ‘urf yang dispesifikasikan pada global (‘amm) dan dibatasi yang mutlak. Terkadang ‘urf meninggalkan qiyas. Oleh sebab itu, sah apabila menjalin kesepakatan atau kontrak apabila ‘urf sudah dikenal ada oleh masyarakat, sekalipun tidak sah menurut qiyas, karena kontrak tersebut adalah kontrak atas perkara yang ma’dum (tiada).

B.     Sadd Adz-Dzari’ah
1.      Defiisi Sadd Adz-Dzariah
Dzariah secara etimologi mempunyai arti perantara, jalan untuk menuju kepada sesuatu yang umum. Namun secara terminology syari’at makna dari dzariah ialah sarana atau jalan untuk menuju kepada sesuatu yang dilarang oleh syariat. Sedangkan sad sendiri mempunyai arti mengunci, mencegah, menutup adanya larangan untuk melaksanakannya[8]. Maka sadd adz-dzariah dapat diartikan sebagai sebuah perilaku tindakan yang menjadi perantara larangan bagi syariat. Pernyataan ini disinyalir sama dengan pengertian yang dikemukakan oleh Imam Asy-Syatibi:[9]
اَلتَّوَ صُّلُ بِماَ هُوَا مَصْلَحَةُ اِلىَ مَفْسَدَ ة (الشا تب،198)
Melakukukan suatu perbuatan yang bermula mengandung kemaslahatan menuju suatu kemudharatan.
Misalnya, ada seorang yang telah dikenai wajib zakat, tetapi sebelum genap tahun ia memberikan semua hartanya kepada anak-anaknya. Sehingga orang tersebut terhindar dari wajibnya zakat. Hal ini berkenaan sadd adz-dzariah tidak memperbolehkan perkara tersebut di toleran, karena tujuannya mengadung kemafsadatan (rusak) supayaterhindar dari kewajiban zakat. Sedangkan hukum berzakat ialah wajib dan hukum memberi (hibbah) adalahsunnah.
2.      Macam-Macam Sadd Adz- Dzariah
Pernyataan yang dicetuskan oleh Sahal Mafduz dan Rahmat Syafe’i mengenai pembagian sadd adz- dzariah membuahkan hasil yang sama dalam mengklasifikasi macam-macam sad adz-dzariah antara lain:
a.      Kualitas Kerusakan Dzariah
Imam al-Syatibi membagikan teori dzariah berdasarkan kekuatan hasil akhirnya. Ada empat term diantaranya:
1)      Suatu tindakan yang dapat dipastikan akan menimbulkan kerusakan (mafsadah). Contohnya menggali sumur dibelakang rumah tepat di belakang pintu rumah. Hal ini menimbulkan kecelakan semacam terperosoknya seseorang kedalam sumur. Maka kecerobohan ini harus dipertanggungjawabka perbuatannya.[10]
2)      Suatu tindakan yang boleh dilakukan namun jarang menyebabkan mafsadah. Contohnya menjual makanan atau minuman yang biasanya menyebabkan kemafsadatan (kerusakan).[11]
3)      Suatu tindakan yang besar kemungkinannya mengandung mafsadah. Contohnya menjual senjata tajam kepada kepada musuh atau orang yang sering bertindak kriminal. Hal ini dikhawatirkan seseorang akan membunuh atau sebagainya.
4)      Suatu tindakan yang seyogyanya boleh dilaksanakan namun tidak menutup kemungkinan terjadinya suatu kemafsadatan (kerusakan). Contohnya, si fulan membeli mobil dari si fulana secara kredit degan harga 80 juta. Lalu si fulan menjual kembali mobil tersebut kepada si fulana dengan harga 40 juta secara tunai, sehinnga si fulan seakan-akan menjual barang fiktif, sedangkan si fulana tinggal menunggu pembayaran kredit dari mobil tersebut. Meskipun mobil tersebut sudah menjadi miliknya. Dalam hal ini jual beli tersebut mengandung unsur riba.

b.      Kerusakan yang Ditimbulkan dari Dzariah
Pandangan Ibn al-Qayyim mengenai pembagian dzariah akan dijelaskan dibawah ini[12] :
Pertama, suatu perbuatan dengan sendirinya membawa kepada kerusakan, misalnya berbuat zina yang megindikasikan percampuran sperma dan merusaknya benih-benih keturunan.
Kedua, Suatu perbuatan yang boleh dan dianjurkan namun dijadikan perantara untuk menuju kepada sesuatu yang diharamkan baik secara sengaja maupun tidak sengaja. Misalnya, seorang laki-laki yang menikah dengan seorang perempuan yang sudah ditalak tiga kali namun tujuan supaya perempuan tersebut bisa rujuk kembali dengan suami pertamanya.
Pandangan Ibn al-Qayyim mengenai perkara diatas dalam dua bagian yaitu:
1.      Bahwasannya kemaslahatan suatu tindakan lebih dominan dari kemafsadatannya.
2.      Kemafsadatannya lebih dominan dari pada kemaslahatannya. Dalam situasi ini terbagi lagi menjadi empat macam:
a.       Suatu tindakan yang dilakukan secara sengaja untuk menuju kemafsadatan, contohnya minum yang berarak atau beralkhohol atau perbuatan yang bertentangan dengan syari’at.
b.      Suatu tindakan yang sebenarnya boleh dan dianjurkan namun mempunyai tujuan mafsadah, contohhnya melakukan jual beli dengan tujuan untuk mendapatkan riba.
c.       Suatu tindakan dengan tujuan kemafsadatan dan berimbas kepada mafsadah bukan lagi maslahah, contohnya mengolok-olok berhala dihadapan orang musyrik, hal ini berakibat sebaliknya mereka akan mengolok-olok Tuhan kita.
d.      Suatu pekerjaan yang mubah namun terkadang menyebabkan kemafsadatan. Namun hal ini kemaslahatan juga mempunyai kedudukan kekuatan lebih dari pada kemafsadatan, contohnya memandang wanita yang dipinang.

3.    Kehujjahan Sadd Adz-Dzariah
Dalam pandangan dzariah, terdapat dua sisi yang menjadi hujjah para ulama ushul, antara lain[13]:
a)      Dilihat dari motivasi seseorang yang melakukan perbuatan tersebut, misalnya seorang laki-laki yang menikah dengan seorang perempuan yang sudah ditalak tiga kali namun tujuan supaya perempuan tersebut bisa rujuk kembali dengan suami pertamanya. Tindakan ini motivasinya bertentangan dengan syariat.
b)      Di lihat dari sudut dampkanya, contohnya mengolok-olok berhala dihadapan orang musyrik, hal ini berakibat sebaliknya mereka akan mengolok-olok Tuhan kita. Oleh sebab itu, tindakan tersebut dilarang.

C.      Mazhab Sahabat
1.    Definisi Mazhab Sahabat
Mazhab sahabat terbentuk dari dua kata, mazhab dan sahabat. Mazhab ( dalam bahasa arab) artinya jalan yang dilewati. Jamaknya adalah Mazahib atau sistem pemikiran.[14] Lebih jelasnya, pembentukan metode melalui sebuah pemikiran yang digunakan sebagai panutan. Sedangkan sahabat dalam hal ini sahabat Nabi merupakan orang yang semasa, seiman dan seiring dalam kurun waktu yang lama dengan Nabi Muhammad Saw.[15] Misalnya, Khulafa’ur Rasyidin, Hamzah bin Abdul Muthalib, Abdullah bin Umar, dll. Jadi, mazhab sahabat adalah sebuah pemikiran atau pendapat para sahabat Rasulullah.
Ada penamaan lain dalam ushul fikih mengenai mazhab sahabat yaitu ada yang mengatakan qaul shahabi, dan fatwa shahabi. Namun secara umum membahas mengenai perselisihan sebuah dalil syara’. Bahkan ada juga yang mengatakan penolakan akan sebuah dalil syara’disebutkan dalam kitab Syarh Minhaj al-‘Ushul oleh Asnawi.[16] Sahabatlah yang meneruskan tongkat perjuangan Nabi Seusai wafatnya, dengan memberi fatwa hukum atas persoalan yang terjadi di umat muslim.Mengenai pengertian mazhab sahabat adalah sebagai sebagai berikut:
هٌوَفَتْوَى الصّحَابَةِ بِانْفِرَادِهِ
“Adalah fatwa sahabat secara perseorangan.”
Dari pengertian diatas, dapat dijelaskan bahwa mazhab sahabat adalah penjelasan yang merupakan hasil usaha dalam berijtihad mengenai syara’oleh perseorangan sehingga tidak terikat oleh sahabat yang lainnya.
Pernah suatu ketika terdapat sebuah sengketa perdata orang yahudi dan khalifah Ali.[17] Mereka memperselisihkan baju perang, keduanya mengadukannya kepada Syuraih (hakim). Kemudian dia meminta khalifah Ali untuk menghadirkan dua orang saksi, dipilihlah Hasan (anaknya) dan mantan budaknya. Setelah itu, Syuraih ini malah menolak kesaksian dari Hasan dan menerima kesaksian dari budak tersebut. Padahal Hasan memiliki hubungan yang dekat dengan khalifah Ali dan dapat menerima kesaksian darinya. Dari sini dapat ditarik benang merah bahwa penjelasan dari sahabat satu dengan sahabat lainnya tidak adanya sebuah keterikatan.
Fatwa sahabat ini tentunya berasal dari apa yang diajarkan oleh Nabi baik itu Fikih, ilmu pengetahuan, Al quran beserta hukum didalamnya. Mereka mendengarkan langsung dari Nabi Muhammad Saw, selain itu, mereka juga mengerti rahasia-rahasia tasyri’ dan mengalami sebuah peristiwa pada waktu itu.[18] Menyampaikan apa yang sudah mereka pahami tentang ayat Al quran dengan kemampuan bahasa yang dimiliki.

2.    Mengenai Kehujahan Mazhab Sahabat
Kehujahan merupakan suatu kekuatan yang menjadi pengikat umat muslim untuk menjalankannya, sehingga apabila ia tidak melaksanakan sebagaimana perintah Rasulullah maka berdosa.[19] Dalam pembahasan ini bisa dirangkum antara lain:
1)      Kehujahan Mazhab Sahabat dengan orang lain selain sahabat
Dalam hal ini kehujahan mengenai mazhab sahabat dengan yang lain selain sahabat memiliki argumen yang bertentangan. Selain sahabat itu misalnya: generasi setelah sahabat (tabi’in), generasi setelah tabi’in (tabi’tabi’in) dan generasi setelahnya:
a.    Pendapat dari kelompok ulama’ antara lain: golongan Muktazilah dan Asy’ariyah, ulama’ Hanafiyah (al-Karakhi), dalam satu qaul-nya Imam Syafi’i dan terakhir dari satu riwayatnya Ahmad. Mereka mengemukakan tentang kehujahan mazhab sahabat bahwa tidak dijadikan hujah bagi generasi setelahnya jika berasal dari sebuah ijtihad mereka (dipilih oleh Al-Amidi).
Alasannya mereka adalah:
a)      Dalam QS. An-Nisa’ ayat 59 dijelaskan:
فَاِن تَنَازَعْتُمْ فِيْ شَيْءٍ فَرُدُّوْهُ اِلىَ اللّهِ وَالرّسُوْلِ
“Jika kamu berselisih pendapat kembalikanlah kepada Allah dan Rasul”
Dari ayat diatas dapat dipahami bahwa dalam menghadapi suatu perselisihan maka kita harus mengembalikan segalanya kepada Allah SWT dan Rasul-Nya bukan kepada mazhab sahabat.
b)      Sahabat sendiri terkadang berbeda argumen tentang suatu masalah, sehingga apabila mazhab sahabat ini dijadikan hujah maka akan terjadi saling berbenturan satu sama lainnya.
c)      Sahabat berpendapat bahwa pendapatnya itu dihasilkan dari sebuah ijtihad bukan dari taufiq, sehingga masih terdapat kekhawatiran pendapat itu tidak benar meskipun ketidakbenaran bagi ijtihad itu lebih sedikit. Lainnya, ulama’ berpendapat bahwa mengikuti Al quran dan sunah adalah wajib, sedangkan maszhab sahabat ini tidak termasuk yang disebutkan diatas.[20]

b.      Pendapat dari kelompok Ulama’ lain seperti: Malik ibn Anas, Ahmad (dalam riwayatnya), sahabat Abu Hanifah (al-Barza’i), qaul qadimnya al-Syafi’i, dll. Dalam pendapat kelompok ini, mazhab sahabat ini dijadikan sebagai hujah.
Alasan mereka adalah:
a)      Didalam QS. Ali ‘Imran ayat 110 yang artinya:
“Kamu adalah umat terbaik yang dikeluarkan kepada umat, menyuruh berbuat ma’ruf”
Dari sekelumit arti ayat diatas, bahwa umat terbaik adalah sahabat, sehingga mereka menyuruh kepada umat manusia untuk melaksanakan perbuatan dalam kehidupan sehari-hari dengan cara yang ma’ruf adalah kewajiban.
b)      Didalam Hadis Nabi Saw, dijelaskan yang artinya:
“Para sahabatku adalah laksana bintang gemintang, siapapun yang kamu ikuti kamu akan mendapat petunjuk”
Secara pemahaman kita, bahwa sahabat Nabi disini secara tidak langsung dapat menjadi hujah bagi umat muslim yang lainnya.Dalam literatur lain dijelaskan, QS. At-Taubah ayat 110 yang berisi tentang Allah yang begitu memuji sahabat-sahabat dan generasi setelahnya apabila mereka mengikutinya. Yang banyak dalam menggunakan mazhab sahabat untuk dijadikan sumber hukum setelah ijma’ dan mendahulukannya dari qiyas adalah Malik dan Ahmad.[21]

c.       Pendapat Ulama’ yang belum pasti akan menerima atau menolak mazhab sahabat dengan alasan:
a)      Mazhab sahabat tidak bisa dijadikan hujah apabila tidak bertentangan dengan qiyas. Alasan ini dikemukakan oleh al-Mahalli.
b)      Dapat menjadi hujah mazhab sahabat ini, apabila telah tersebar tidak ada yang menyanggah namun tetap menjadi pendapat pribadi atau perseorangan sahabat. Padahal sahabat lain, sangat respon perihal masalah agama karena hanya Allah yang mereka takuti.

2)      Kehujahan Mazhab Sahabat yang berasal dari ijtihad pribadi atau dengan cara lain.
Dalam hal ini banyak ulama’ yang memiliki perbedaan akan kehujahan mazhab sahabat, yaitu:
a.         Mazhab sahabat diluar dari ijtihad dapat dijadikan sebagai hujah. Begitu pula mengenai perihal yang sukar dinalar, disini tidak ada suatu perbedaan sehingga dapat dijadikan hujah karena pendapat sesuai apa yang didengar dan diriwayatkan oleh Nabi.
b.         Mazhab shahabat masih berada pada ranah ijtihad (bukan tawfiq) mengenai kehujahannya melihat sasarannya bagi siapa. Dalam hal ini para ulama berargumen bahwa, pendapat sahabat ini tidak bisa dijadikan hujah bagi sesama sahabat maupun mujahid atau lainnya karena mazhab sahabat ini tidak mengikat sahabat lainnya hal ini dinukil dari pakar ushul fiqh: al-Amidi, al-Asnawi dan Ibn Subki.[22]

D.    SAR’U MAN QABLANA
1.      Definisi Sar’u Man Qablana
Secara terminologi, sar’u man qablana adalah sebuah hukum yang diturunkan kepada Nabi dan Rasul Allah SWT untuk disebarluaskan kepada umatnya, yang mana hukum tersebut merupakan syariat pada umat terdahulu atau umat sebelum kita.[23] Misalnya, syariat Nabi Ibrahim untuk umatnya, Nabi Musa untuk bangsa Israel, dst.
Arti lain, sar’u man qablana yaitu suatu syariat Allah SWT yang turun kepada nabi sebelum Nabi Muhammad Saw, kita dapat mengambil sebuah faedahnya, namun bukan sebuah perintah untuk melaksanakannya, selama dalam sunah tidak ada yang membahas syariat tersebut lebih-lebih banyak yang memperselisihkan. Apabila syariat umat terdahulu ini terdapat pada syariat kita, berarti itu telah diperintahkan dalam Al quran dan As sunnah, bukan sebagai syar’u man qablana.[24]Pada hakikatnya, syariat yang diturunkan Allah SWT kepada Nabi terdahulu dengan Nabi Muhammad adalah sama, yaitu tentang aqidah, surga, neraka, janji dan amanah. Misalnya perintah dalam berpuasa, yang terdapat dalam QS. al-Baqarah:183:

ياَايُّهَاالَّذِيْنَ اَمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ
“Hai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.”
Apabila syariat terdahulu telah dihapus, artinya hukum tersebut tidak disyariatkan kepada kita. Misalnya seseorang yang telah melakukan dosa besar, maka cara bertobatnya adalah dengan membunuh dirinya hal ini berlaku bagi umat nabi Musa dan tidak disyariatkan untuk kita. Syariat itu dibatalkan dengan QS. Hud ayat 3 sebagai berikut[25]:
وَأَنِ السْتَغْفِرُوْا رَبَّكُمْ ثُمَّ تُو بُوْا اِلَيْهِ
Dan hendaklah kamu meminta ampun kepada Tuhanmu dan bertaubatlah kepadanya.

2.      Pengelompokan Sar’u Man Qablana
Banyak pendapat mengenai sar’u man qablana karena syariat ini bermacam-macam sehingga perlu diperjelas sebagai berikut[26]:
a.       Hukum yang dimansukh di syariat kita, dan dikhususkan kepada umat sebelum kita. Dalam hal ini maka syariatnya tidak berlaku untuk kita. Contoh dalam QS. al-An’am ayat 146 yang artinya:
“Kami haramkan atas orang-orang Yahudi setiap (binatang) yang punya kuku dan dari sapi dan kambingkami haramkan pada mereka lemaknya.”

Kemudian Al quran menjelaskan bahwa syariat itu diberlakukan bagi kita sebagaimana dalam QS. al-An’am ayat 145, artinya:
Katakanlah aku tidak menemukan dalam apa yang diwahyukan kepadaku sesuatu yang haram terhadap orang untuk dimakan kecuali bangkai, darah yang mengalir dan daging babi.”

b.      Hukum yang terdapat dalam Al quran dan Sunah dan ada dalil yang disyariatkan untuk kita seperti disyariatkan untuk umat sebelumnya. Dalam hal ini berarti syariatnya sama dengan hukum di syariat kita.Contoh syariat atas umat Nabi Ibrahim juga berlaku atas umat Nabi Muhammad, yaitu perihal kurban.
ضَحُّوْا فَاِنَّهَا سُنَّةُ اَبِيْكُمْ إِبْرَاهِيْمَ
“Berkurbanlah karena yang demikian itu adalah sunah bapakmu, Ibrahim”

Kemudian didalam QS. al-Kautsar ayat 2 dijelaskan:
فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ
“Maka shalatlah engkau karena Tuhanmu dan berkurbanlah”

Pendapat lain, jumhur ulama Hanafiyah,Syafi’iyah dan Malikiyah berargumen mengenai hukum yang berlaku atas umat terdahulu dan juga berlaku bagi kita merupakan kewajiban untuk menerapkannya sepanjang tidak ada hukum yang dinasakh.Karena hukum itu diturunkan kepada Rasul Allah SWT dan diceritakan kepada umat.[27]

c.       Hukum yang ada dalam Al quran dan Sunah, akan tetapi disana tidak ada pemaparan akan nash yang memberlakukan untuk kita atau bukan. Contohnya, sebagaimana QS. al-Maidah ayat 45 yang didalamnya tentang hukum Qishash yaitu sama, jiwa qishahsnya dengan jiwa, mata dan mata, hidung dan hidung dsb.
Dalam syariat ini, terjadi perbedaan pendapat, Ahmad bin Hambal dan lainnya mengemukakan bahwa yang seperti ini adalah syariat untuk kita. Adapun yang berpendapat ini bukan syariat kita adalah sebagian ulama.

3.      Kehujahan Sar’u Man Qablana
Pebedaan pemikiran mengenai suatu hukum sudah tentu hal yang wajar, begitupun dengan kehujahan dari sar’u man qablana.  Persoalannya apakah syariat ini ditetapkan pula atas umat Nabi Muhammad Saw?. Oleh sebab itu, terdapat berbagai argumen dari para ulama mengenai sar’u man qablana[28]:
1.      Sar’u man qablana tidak dapat diberlakukan kepada umat sekarang, apabila didalam Al quran maupun sunah tidak ada penjelasan diberlakukan untuk kita. hal ini dikemukakan oleh kalam Asy’ariyah da Muktazilah, Hanabilah, Milkiyah, Ulama Hanafiyah dan sebagian  Syafi’iyah.
2.      Sar’u man qablana berlaku untuk umat nabi Muhammad Saw. Dengan syarat hukum dalam Al quran dan sunah itu ada, meskipun tidak diarahkan untuk kita dan sepanjang tidak dijelaskan nasakhnya.
Oleh karenanya muncul sebuah kaidah sar’u man qablana dan diperkuat dengan QS. al-Syura ayat 13 yang berisi tentang Allah Swt yang telah mewahyukan dan mewasiatkan agama bagi Ibrahim, Musa, Isa dari mereka diperintahkan untuk senantiasa menegakkan agama dan larangan berpecah belah.
Adapun kaidah tersebut:
شَرْعُ مَنْ قَبْلَنَا شَرْعُ لَنَا
“Syariat untuk umat sebelum kita berlaku untuk syariat kita”



E.     Penutup
Akhir pembahasan dalam artikel diatas menyimpulkan bahwa dalam penetapan syari’at sebagai dasar fikih melalui perkembangan dari periode ke periode, mulai masa lalu, sekarang dan akan datang. Syari’at yang diturunkan oleh Allah SWT kepada para Rasul-Nya berbentuk sebuah sumber hukum yang pokok yaitu Al quran dan As sunah. Adapun disana mengandung sebuah hukum yang di-istinbath-kan melalui ijtihad yang berupa sumber sekunder termasuk ‘Urf,Saddudzara'i, Mazhab Shahabat dan Sar’u Man Qablana.
 'Urf adalah sesuatu yang harus dikenali, diakui dan diterima oleh lapisan masyarakat. Adapun macam-macam 'urf ialah 'urf qauli, 'urf amali, 'urf amm, 'urf khash, 'urf shahih, 'urf fasid. Sadd adz dzariah ialah perilaku tindakan yang menjadi perantara larangan bagi syariah. Macam-maca sadd adz dzariah dilihat dari segi kualitas dzariahnya dan kerusakan yang ditimbulkan dzariah. Adapun kehujahan yang dmiliki sadd adz dzariah terlihat dari motivasi seseorang yang melakukan perbuatan dan dilihat dari sudut dampaknya tindakan tersebut. Mazhab sahabat adalah fatwa sahabat Nabi secara perseorangan yang merupakan hasil dari ijtihadnya dalam menentukan sebuah syariat. Didalamnya tidak ada keterikatan antar sahabat satu dan lainnya, dan mengenai kehujahannya memiliki banyak perbedaan pendapat. Sedangkan sar’u man qablana adalah sebuah hukum yang dibawa Para Nabi sebelum nabi Muhammad Saw. Menurut jumhur ulama’, syari’at orang terdahulu ini dapat dijadikan sebagai pedoman hukum apabila disana tidak ada dalil yang dinasakh.

F.       Daftar Pustaka
Djalil Basiq, 2010. Ilmu Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana Pernada Group.
Ismaeel SienySaeed, 2017. Ushul Fiqih Aplikatif. Malang: Darul Ukhuwwah Publisher.
Jumantoro Totok, 2005. Kamus Ilmu Ushul Fikih. Jakarta: Amzah.
Karim ZaidanAbdul, 2008. Pengantar Studi Syari’ah. Jakarta: Robbani Press.
MahfudhSahal, 2004. Kilas Balik Teoritis Fiqh Islam. Kediri: Purna Siswa Alliyah Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien PPLirboyo.
Syafe’iRahmat,2007. Ilmu Ushul Fiqih. Bandung: CV Pustaka Setia.
SyarifuddinAmir, 2001.  Ushul Fiqh Jilid II. Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu.
TharabaFahim, 2016. Hikmatut Tasyri’ wa Hikmatus Syar’i. Malang: Dream Litera Buana.
Wahab KhallafAbdul, 2005.Ilmu ‘Ushul Fikh. Jakarta: Rineka cipta.
Zuhdi Masyfuk, 1987. Pengantar Hukum Syariah. Jakarta: Haji Masagung.
Catatan:
1.       Similarity 9%. Lumayan..
2.       Dalam penulisan karya ilmiah, hindari penggunaan kata “kita”
Makalah ini oke...



[1]Amir Syarifuddin,Ushul Fiqh,(Jakarta: Logos Wacana Ilmu,2001), hlm.365-364
[2]Rahmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung: Pustaka Setia, 2007), hlm.128
[3]Sahal Mahfudh, Kilas Balik Teoritis Fiqh Islam, (Kediri: Purna Siswa Alliyah Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien PP.Lirboyo, 2004),hlm. 216
[4]Amir Syarifuddin, hlm. 365
[5]Amir Syarifuddin, hlm. 218
[6]Amir Syarifuddin,hlm. 375-378
[7]Basiq Djalil, Ilmu Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana Pernada Group, 2010), hlm.163
[8]Sahal Mahfudh, hlm. 300
[9]Rahmat Syafe’i, hlm. 132
[10]Sahal Mahfudz, hlm. 302
[11]Rahmat Syafe’I, hlm. 133
[12]Sahal Mahfudz, hlm. 301
[13]Rahmat Syafe’I, hlm.137
[14]Totok Jumantoro, Kamus Ilmu Ushul Fikih, (Jakarta: Amzah,2005), hlm.208
[15]Abdul Karim Zaidan, Pengantar Studi Syari’ah, (Jakarta: Robbani Press, 2008), hlm.261
[16]Amir Syarifuddin, hlm.427
[17]Masyfuk Zuhdi, Pengantar Hukum Syariah, (Jakarta: Haji Masagung, 1987), hlm.94
[18]Abdul Wahab Khallaf, Ilmu ‘Ushul Fikh, (Jakarta: Rineka cipta, 2005), hlm.112
[19]Amir Syarifuddin, hlm.429
[20]Abdul Karim Zaidan, hlm.263
[21]Masyfuk Zuhdi, hlm.95
[22]Amir Syarifuddin, hlm.430
[23]Abdul Karim Zaidan, hlm.263
[24]Saeed Ismaeel Sieny, Ushul Fiqih Aplikatif, (Malang: Darul Ukhuwwah Publisher, 2017), hlm.80
[25]Fahim Tharaba, Hikmatut Tasyri’ wa Hikmatus Syar’i, (Malang: Dream Litera Buana, 2016), hlm.159
[26]Abdul Karim, hlm.264
[27]Rachmat Syafe’i, hlm.145
[28]Amir Syariffudin, hlm. 394

Tidak ada komentar:

Posting Komentar