Minggu, 01 April 2018

Hukum Taklifi Dan Hukum Wadh’i, Mahkum Fih Dan Mahkum Alaih (PAI A Semester Genap 2017/2018)



Hukum Taklifi Dan Hukum Wadh’i, Mahkum Fih Dan Mahkum Alaih
Oleh : Afrizal Priyo Adi, Syaifuddin, dan Moch. Salman Al Farisi
Kelas PAI A Semester 6
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang
afrizalpriyoadi@gmail.com
Abstract :
Law is a rule or system created by a group of people to limit the behavior of humans so that their behavior can be controlled. The law has a universal nature such as order, peace, peace, prosperity and prosperity in living the life of society. In Islam there are also rules that must be known to his people. The rule is commonly referred to as Islamic law. Muslims or mukallaf are encouraged to study and understand the Islamic laws that have been stipulated in the Qur'an and Al-hadith in terms of worship, social aspects, and various other life problems. Broadly speaking Islamic law is divided into 2 terms, namely the law of taklifi and wadh'i law. Taklifi law in the form of demands or choices. The law of wadh'i is a legal consideration of taklifi or is the result of a legal act of taklifi. In the proposed fiqih term mukallaf also called mahkumalaih (legal subject). While the legal object is called mahkumfih. Etymologically, mahkumalaih is a Muslim who is baligh and sensible. While mahkumfih deeds done by muslims who are baligh and sensible.
Keyword : Law, mukallaf, mahkum alaih.
Abstrak
Hukum merupakan suatu peraturan atau sistem yamg dibuat oleh sekelompok manusia untuk membatasi tingkah laku manusia agar tingkah lakunya dapat terkontrol. Hukum mempunyai sifat universal seperti ketertiban, ketentraman, kedamaian, kesejahteraan dan kemakmuran dalam menjalani kehidupan bermasyarakat. Dalam agama Islam juga terdapat aturan-aturan yang harus diketahui umatnya. Aturan itu biasa disebut dengan hukum Islam. Orang Islam atau mukallaf dianjurkan untuk mempelajari dan memahami hukum-hukum Islam yang telah ditetapkan dalam Al-qur’an dan Al-hadist baik dalam aspek ibadah, aspek sosial, serta berbagai problematika kehidupan yang lain. Secara garis besar hukum islam dibagi menjadi 2 hal, yakni hukum taklifi dan hukum wadh’i. Hukum taklifi berbentuk tuntutan atau pilihan. Hukum wadh’i bersifat sebagai pertimbangan hukum taklifi atau merupakan akibat dari perbuatan hukum taklifi. Dalam usul fiqih istilah mukallaf disebut juga mahkum alaih (subjek hukum).  Sedangkan objek hukumnya disebut mahkum fih. Secara etimologi, mahkum alaih adalah orang muslim yang sudah baligh dan berakal sehat. Sedangkan mahkum fih perbuatan yang dilakukan orang muslim yang sudah baligh dan berakal sehat.
Kata kunci : Hukum, mukallaf, mahkum alaih.



A.  Pendahuluan
Sistem berfikir dalam bidang hukum Islam berpangkal pada petunjuk Al-qur’an dan Al-hadist. Karena didalam keduanya terdapat hukum-hukum untuk mengatur kehidupan kita.[1] Al-qur’an menjadi sumber utama dan Al-hadits menjadi penjelas hukum Islam sekaligus sebagai dalil utama ilmu fiqh dan ushul fiqh, dengan demikian bahwa Al-qur’an menjadi pembimbing dan memberikan semua petunjuk terkait hukum Islam.
            Ilmu fiqh membahas tentang perbuatan mukallaf dari segi penetapan hukum-hukum syari’ah terhadapnya atau dengan kata lain ilmu fiqh meninjau dari segi hasil penggalian hukum syara’. Sedangkan ilmu ushul fiqh sendiri meninjau hukum syara’ dari segi metodologi dan sumber-sumbernya, membahas tentang metode penggalian hukum syara’. Karena ilmu ushul fiqh merupakan metodologi terpenting yang pernah ditemukan oleh dunia pemikiran Islam dan tidak dimiliki umat lain.[2] Maka, ushul fiqh menjadi hal yang sangat penting dalam penerapan ilmu fiqih di kehidupat umat Islam. Setiap pribadi umat Islam dianjurkan mempelajari metode penggalian hukum syara’ untuk memahami penerapan hassil penggalian hukum syara’.
            Dengan makalah ini kami akan mencoba membahas tentang hukum-hukum islam atau syara’ yang berhubungan dengan hukum taklifi dan hukum wadh’i, mahkum fih dan mahkum alaih. Semoga makalah yang kami tulis ini bisa membantu pembaca dalam proses memahami hukum-hukum islam demi kesejahteraan umat muslim seluruh dunia.
B.  Hukum Taklifi Dan Hukum Wadh’i
1.    Pengertian Hukum.
Hukum, Menurut bahasa, artinya: “menetapkan sesuatu atas sesuatu”sedangkan menurut istilah, ialah Khitab (titah) Allah atau sabda Nabi Muhammad SAWyang berhubungan dengan segala amal perbuatan mukallaf, baik itu mengandung perintah, larangan pilihan, atau ketetapan.[3]
Mayoritas Ulama Ushul Mendefinisikan Hukum sebagai Berikut
خِطَابُ اللهِ الْمُتَعَلِّقُ بِأَفْعَالِ الْمُكَلَّفِيْنَ أِقْتِضَاءً أَوْتَخْيِيْرًا أَوْوَضْعًا
Artinya : “Kalam Allah yang menyangkut perbuatan orang dewasa dan Berakal Sehat, Baik bersifat imperatif, fakultatif, dan menempatkan sesuatu sebagai sebab, syarat, dan penghalang”.Yang dimaksud khitab Allah dalam definisi tersebut adalah semua bentuk dalil, baik Alquran, Assunah maupun yang lainnya, seperti ijma’ dan qiyas.
Namun, Para ulama Ushul kontemporer, seperti Ali Hasaballah dan Abd. Wahab khalaf berpendapat bahwa yang dimaksud degan dalil disini hanya Al-Qur’an dan AS-Sunah. Adapun Ijma’ dan Qiyas hanya sebagai metode menyingkapkan hukum dari Alqur’an dan Assunnah tersebut. Dengan demikian, sesuatu yang disandarkan pada kedua dalil tersebut tidak semestinya disebut sebagai sumber hukum.[4]
2.    Pembagian Hukum.
Bertitik Tolak pada definisi hukum diatas, maka hukum menurut ulama’ ushul terbagi dalam dua bagian, yaitu hukum Taklifi dan hukum Wadh’i.
a.      Hukum Taklifi.
Hukum Taklifi Adalah Firman Allah yang menuntut manusia untuk melakukan atau meninggalkan sesuatu atau memilih antara berbuat dan meninggalkan. jadi, hukum Taklifi adalah segala ketentuan dari Allah yang bersifat perintah, larangan atau pilihan antara larangan dan perintah Allah.Contoh firman Allah SWT. Yang bersifat memilih (fakultatif) :
وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ۖ
Artinya :“Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar.” (QS. Al-Baqarah : 187).
1.   Bentuk-bentuk Hukum Taklifi
Terdapat dua golongan ulama dalam menjelaskan bentuk-bentuk hukum taklifi :
Pertama, Hukum Taklif menurut Jumhur Ulama Ushul Fiqh/Mutakallimin. Menurut mereka bentuk-bentuk hukum tersebut ada lima macam, yaitu ijab, nadb, ibahah, karahan, dan tahrim.Kedua, bentuk-bentuk hukum taklifi, seperti iftirad, ijab, nabd, ibahah, karahah tanzhiliyah, karahah tahrimiyah, dan tahrim.[5]
Dalam hal ini, kami hanya menjelaskanhukum Taklifi menurut Jumhur Ulama Ushul Fiqh/Mutakallimin.
a.       Ijab (wajib): mewajibkan atau khithab (firman Allah) yang meminta mengerjakan dengan tuntutan yang pasti.[6] Yaitu tuntutan syar’i yang bersifat untuk melaksanakan sesuatu dan tidak boleh ditinggalkan. Orang yang meningggalkannya dikenai sanksi.[7]Contoh : Allah SWT berfirman dalam surat Albaqoroh ayat 110.
وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ ۚ وَمَا تُقَدِّمُوا لِأَنْفُسِكُمْ مِنْ خَيْرٍ تَجِدُوهُ عِنْدَ اللَّهِ ۗ إِنَّ اللَّهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
“Dan Dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. dan kebaikan apa saja yang kamu kerjakan bagi dirimu, kamu akan mendapat pahala Nya. Sesungguhnya Allah maha melihat semua yang kamu kerjakan”.
b.      Nadab (sunnah) : menganjurkan atau khithab yang mengandung perintah yang tidak wajib dituruti. Tidak bersifat memaksa, melainkan sebagai anjuran, sehingga seseorang tidak dilarang untuk meninggalkannya. Orang yang meninggalkannya tidak dikenai hukuman. Yang dituntut untuk dikerjakan itu disebut mandub, sedangkan akibat dari tuntutan itu disebut nadb. Contoh : Allah SWT berfirman dalam surat Albaqoroh ayat 282.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَىٰ أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ ۚ
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.”
c.       Tahrim (haram) : titah/khithab yang mengandung larangan yang harus dijauhi. Yaitu tuntutan atas sebuah dengan meninggalkan perbuatan lainnya secara pasti.[8] Contoh : Allah berfirman dalam surat Almaidah ayat 90:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنْصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.”
d.      Karahah (makruh) : yaitu titah/khithab yang mengandung larangan, tetapi tidak harus dijauhi.Allah SWT berfirman dalam surat Almaidah Ayat 101:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَسْأَلُوا عَنْ أَشْيَاءَ إِنْ تُبْدَ لَكُمْ تَسُؤْكُمْ وَإِنْ تَسْأَلُوا عَنْهَا حِينَ يُنَزَّلُ الْقُرْآنُ تُبْدَ لَكُمْ عَفَا اللَّهُ عَنْهَا ۗ وَاللَّهُ غَفُورٌ حَلِيمٌ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu akan menyusahkan kamu dan jika kamu menanyakan di waktu Al Quran itu diturunkan, niscaya akan diterangkan kepadamu, Allah memaafkan (kamu) tentang hal-hal itu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun”.
e.       Ibahah (mubah) : yaitu titah/khithab yang membolehkan sesuatu untuk diperbuat atau ditinggalkan. Allah SWT berfirman dalam surat Albaqarah ayat 173 :
إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللَّهِ ۖ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَاعَادٍ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Sesungguhnya Allah Hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, Maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.
b.      Hukum Wad’i
        Hukum Wadh’i adalah firman Allah SWT yang menuntut untuk menjadikan sesuatu sebagai sebab,syarat atau penghalang ari sesuatu yang lain. Bila firman Allah menunjukkan atas sesuatu dengan hukum taklifi,baik bersifat sebagai sebab,atau syarat,atau penghalang maka ia disebut hukum wadhi . Di dalam ilmu hukum ia disebut pertimbangan hukum.[9]Contoh firman Allah yang menjadikan sesuatu sebagai sebab yang lain :
أَقِمِ ٱلصَّلَوٰةَ لِدُلُوكِ ٱلشَّمْسِ
Artinya : “Dirikanlah shalat sesudah matahari tergilincir”
                        Pada ayat tersebut,tergelincirnya matahari ijaikan sebab wajibnya shalat. Contoh firman Allah yang menjaikan sesuatu sebagai syarat :
وَٱبْتَلُوا۟ ٱلْيَتَٰمَىٰ حَتَّىٰٓ إِذَا بَلَغُوا۟ ٱلنِّكَاحَ
                        Ayat  tersebut menunjukkan kedewasaan anak yatim menjadi syarat hilangnya perwalian atas dirinya.
                        Dari pengertian wadhi tersebut ditunjukkan bahwa macam macam hukum wadh’i yaitu sebab ,syarat mani’ (penghalang).[10]
1.    Sebab
        Menurut bahasa adalah sesuatu yang dapat menyampaikan pada sesuatu yang lain berarti jalan yang dapat menyampaikan kepada sesuatu tujuan. Menurut istillah adalah suatu sifat yang dijadikan syar’i sebagai tanda adanya hukum. Pengertian ini menunjukkan bahwa sebab sama dengan illat tersebut.
        Dengan demikian,terlihat keterkaitan hukum wadh’i (dalam hal ini adalah sebab) dengan hukum taklif,sekalipun keberadaan hukum wadh’i itu tidak menyentuh esensi hukum taklifi. Hukum wadh’i hanya sebagai petunjuk untuk pelaksanaan hukum taklifi. Akan tetapi,para ulama Ushul Fiqh menetapkan bahwa sebab itu harus munculari nash,bukan buatan manusia.
Ulamamembagikansebabinikepadaduabagian :
1. Sebab yang diluarkemampuanmukalaf. Misalnya, keadaanterpaksamenjadisebabbolehnyamemakanbangkaidantergelinciratautenggelamnyamataharisebagaisebabwajibnyashalat.
2. Sebab yang beradadalamkesanggupanmukalaf. Sebabinidibagidua :
a.    Yang termasukdalamhukumtaklifi, sepertimenyaksikanbulanmenjadikansebabwajibmelaksanakanpuasa (QS. Al Baqarah (2) : 185). Begitujugakeadaansedangdalamperjalananmenjadisebabbolehtidaknyaberpuasa di bulanRamadhan (QS. Al Baqarah (2):185)
b.    Yang termasuk dalam hukum wadh'i seperti perkawinan menjadi sebabnya hak warisan antara suami, istri dan menjadi sebab haramnya mengawini mertua dan lain sebagainya.
2.    Syarat
        Yaitu sesuatu yang berada dalam hukum syara’,terapi keberadaan hukum syara’, tetapi keberadaan hukum syara’ bergantung kepadanya. Apabila syarat tidak ada, tetapi,adanya syarat tidak mengharuskan adanya hukum syara’. Oleh sebab itu,suatuhukum taklifi tidak dapat diterapkan, kecuali bila telah memenuhi syarat yang telah ditetapkan syara' . Misalnya, wudhu' adalahsalahsatusyaratsahshalat.Shalattidakdapatdilaksanakantanpawudhu' . Akan tetapi, apabilaseseorangberwudhu' ,iatidakharusmelaksanakanshalat. Contohlainadalahsaksidalampernikahan. Keberadaansaksiituadalahsalahsatusyaratsahnyanikah, sehinggapernikahantanpasaksiadalahtidaksah. Akan tetapi, kesaksianitusendiribukanlahmerupakanunsurdarinikah, karenaiaberadadiluaresensinikahitusendiri. Apabilasaksitidakadamakahukumnikah pun tidakada, tetapiadanyasaksitidakmengharuskanadanyapernikahan.
3.    Mani' (penghalang)
        Yaitu sifat yang keberadaannya menyebabkan tidak ada hukum atau tidak ada sebab. Misalnya, hubungansuamiistridanhubungankekerabatanmenyebabkantimbulnyahubungankewarisan (warismewarisi).Apabila ayah wafat, istridananakmendapatkanpembagianwarisandarihartasuamiatau ayah yang wafat, sesuaidenganpembagianmasingmasing. Akan tetapi,hakmewarisiinibisaterhalangapabilaanakatauistri yang membunuhsuamiatau ayah yang wafattersebut. (H. R. Bukharidan Muslim).Perbuatanmembunuhitumerupakanmani' (penghalang) untukmendapatkanpembagianwarisandari orang yang dibunuh. Di sisilain, adanyapembunuhanmenyebabkandilaksanakanhukumanqishashbagipelakupembunuhan. Akan tetapi, dalamhubungan ayah dananakatauistridengansuamidalamkasuspembunuhan di atas, makahubunganketurunan (perkawinan) menjadipenghalangdilaksanakannyahukumanqishash.        Keterkaitanantarasebab, syarat, danmani' sangaterat. Penghalangituadabersamaandengansebabdanterpenuhinyasyaratsyarat.Syari' menetapkanbahwasuatuhukum yang akandikerjakanadalahhukum yang adasebabnya, memenuhisyaratsyaratnyadantidakadapenghalang (mani') dalammelaksanakannya. Sebaliknya, hukumtidakada, apabilasebabdansyaratsyaratnyatidakada, atauadanyahalanganuntukmengerjakannya.Misalnya, shalatduhurwajibdikerjakanapabilatelahtergelincirmatahari (sebab) dantelahberwudhu' (syarat), tetapikarena orang yang akanmengerjakanitusedanghaid (mani'), makashalatdhuhuritutidaksahdikerjakan. Demikianjugahalnya, apabilasyaratterpenuhi (telahberwudhu'), tetapipenyebabwajibnyashalatdhuhurbelummuncul (mataharibelumtergelincir), makashalat pun belumwajib.Meskipun, telahterpenuhinyasebabdansyarat, tetapiadamani', yaituhaid, makashalatdhuhur pun tidakbisadikerjakan.
4.    Shihhah
        Adalahsuatuhukum yang sesuaidengantuntutansyara', yaituterpenuhinyasebab, syaratdantidakadamani'. Misalnya, mengerjakanshalatdhuhursetelahtergelincirmatahari (sebab) dantelahberwudhu' (syarat), dantidakadahalanganbagi orang yang mengerjakannya (tidakhaid, nifas, dansebagainya).Dalamcontohini, pekerjaan yang dilaksanakanituhukumnyasah.Olehkarenaitu, apabilasebabtidakadadansyaratnyatidakterpenuhi, makashalatitutidaksah, sekalipunmani'nyatidakada.
5.    Bathil
        Yaituterlepasnyahukumsyara' dariketentuan yang ditetapkandantidakadaakibathukum yang ditimbulkannya.Misalnya, memperjualbelikanminumankerastidakbernilaihartadalampandangansyara'.
        Disampingbatal, ulamaHanafiyyahjugamengungkapkanhukumlain yang berdekatandenganbatal, yaitufasid. Menurutmereka, fasidadalahterjadinyasuatukerusakandalamunsurunsurakad.
        JumhurulamaUshulFiqh / mutakalliminberpendirianbahwaantarabataldanfasidadalahduaistillahdenganpengertian yang sama, yaitusamasamatidaksah.
6.    AzimahdanRukhshah
        Azimahadalahhukumhukum yang disyariatkan Allah kepadaseluruhhambaNyasejaksemula.Artinya, belumadahukumsebelumhukumitudisyariatkan Allah, sehinggasejakdisyariatkannyaseluruhmukallafwajibmengikutinya.Imam Al-Baidhawi (ahliushulfiqhsyafi'iyyah), mengatakanbahwa 'azimahituadalahhukum yang ditetapkantidakberbedadengandalil yang ditetapkankarenaadaudzur."Misalnya, jumlahrakaatshalatasharadalahempatrakaat.Jumlahrakaatiniditetapkan Allah sejaksemula, sebelumnyatidakadahukum lain yang menetapkanjumlahrakaatshalatashar. Hukumtentangrakaatshalatasharadalahempatrakaatdisebutdengan 'azimah.Apabilaadadalillain yang menunjukkanbahwa orang orangtertentubolehmengerjakanshalatasharduarakaat, seperti orang musafir, makahukumitudisebutrukhsah. Dengandemikian, paraahliUshulFiqhmenjelaskanrukhsahdenganhukum yang ditetapkanberbedadengandalil yang adakarenaadaudzur.
c.       Perbedaan Hukum Taklifi Dan Wadh’i
Ada beberapa perbedaan antara hukum al-taklifi dengan hukum al-wadhi’i. Perbedaan hukum tersebut sebagai berikut :
1.    Hukum al-takhlifi terkandung tuntutan untuk melaksanakan, meninggalkan, atau memilih berbuat atau tidak berbuat. Dalam hukum al-wadh’i hal ini mengandung keterkaitan antara dua persoalan, sehingga salah satu diantara keduanya bisa dijadikan sebab, penghalang, atau syarat.
2.    Hukum at-takhlifi merupakan tuntutan langsung pada mukallaf untuk dilaksanakan, ditinggalkan, atau melakukan pilihan untuk berbuat atau tidak berbuat. Sedangkan, hukum al-wadh’i tidak langsung dilakukan mukalaf, hukum al-wadh’i ditentukan syar’i agar dapat dilaksanakan hukum al-takhlif. Misalnya, zakat itu hukumnya wajib (hukum at-takhlif), akan tetapi kewajiban ini tidak bisa dilaksanakan apabila harta tersebut tidak mencapai ukuran satu nishab dan belum haul. Ukuran satu nishab merupakan penyebab (hukum al-wadh’i), wajib zakat dan haul merupakan syarat (hukum al-wadh’i) wajib zakat.
3.    Hukum at-taklif ditunjukan kepada para mukalaf, yaitu orang yang telah baligh dan berakal, sedangkan hukum al-wadh’i ditujukan kepada manusia mana saja, baik telah mukalaf maupun belum, seperti anak kecil dan orang gila.[11]

C.  MAHKUM FIH DAN MAHKUM ALAIH
1.    Mahkum Fih
a.    Pengertian Mahkum Fih
Mahkum Fih berarti “perbuatan orang mukalaf sebagai tempat menghubungkan hukum syara”.[12] Alaidin Koto dalam bukunya Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih (Sebuah Pengantar) berpendapat secara singkat dapat dikatakan bahwa yang dimaksud dengan mahkum fih adalah perbuatan mukallaf yang berkaitan –atau dibebani- dengan hukum syar’i.[13]         
Dari dua pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa pengertian Mahkum Fih adalah suatu perbuatan yang dilakukan oleh orang mukallaf (orang yang di bebani hukum) atau sering disebut dengan obyek hukum.
Adapun yang menjadi obyek hukum adalah perbuatan mukallaf, yaitu gerak atau diamnya mukallaf.[14] Maksudnya, yang dapat dibebani hukum wajib atau sunnah, atau mubah, atau makruh, haram adalah perbuatan seseorang, bukan obyek perbuatan seseorang. Misalnya, hukum dalam melaksanakan sholat fardlu adalah wajib. Maka, yang diwajibkan adalah melaksanakan tadi, bukan sholat fardlu.
b.      Contoh Mahkum Fih
1. Perkara yang berhubungan dengan wajib disebut Ijab
Contohnya dalam surat Al-baqoroh ayat 43
وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِينَ
“Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku'lah beserta orang-orang yang ruku'.”
Ayat di atas khususnya kata “wa aqimuush sholaata” menerangkan bahwa setiap mukallaf diperintahkan untuk mendirikan (melakukan) sholat. Makna dari suatu perintah adalah kewajiban.
2. Perkara yang berhubungan dengan sunnah disebut mandub
Contohnya dalam surat Al-baqoroh ayat 282
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَىٰ أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ ۚ
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.”
Ayat di atas menerangkan bahwa dalam bermuamalah secara tunai, maka hendaklah menulisnya. Kata “hendaklah kamu menulisnya” itu menjadi contoh perbuatan mukallaf yang di anjurkan.
3. Perkara yang berhubungan dengan haram disebut tahrim
Contohnya dalam surat Al-an’am ayat 151
وَلَا تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ ۚ ذَٰلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ
“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar. Demikian itu yang diperintahkan kepadamu supaya kamu memahami(nya).”
          Ayat di atas menerangkan bahwa membunuh jiwa itu diharamkan oleh Allah kecuali dengan alasan yang benar. Perbuatan membunuh jiwa itu menjadi contoh perbuatan mukallaf yang dilarang.
4. Perkara yang berhubungan dengan makruh disebut karohah
Contohnya dalam surat Al-baqoroh ayat 267
وَلَا تَيَمَّمُوا الْخَبِيثَ مِنْهُ تُنْفِقُونَ وَلَسْتُمْ بِآخِذِيهِ إِلَّا أَنْ تُغْمِضُوا فِيهِ ۚ
“Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya.”
Ayat di atas menerangkan bahwa tidak dianjurkan memilih yang buruk untuk di nafkahkan. Kata “janganlah kalian memilih yang buruk-buruk  kemudian kalian nafkahkan” itu menjadi contoh perbuatan mukallaf yang tidak dianjurkan.
5. Perkara yang berhubungan dengan mubah disebut ibahah
Contohnya dalam surat Al-baqoroh ayat 184
أَيَّامًا مَعْدُودَاتٍ ۚ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ ۚ
“Yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.”
          Ayat di atas menerangkan bahwa ketika sedang puasa kemudian sakit atau dalam bepergian, maka boleh untuk membatalkan puasa dan menggantinya di bulan lain. Makna dari membatalkan puasa dan menggantinya merupakan contoh perbuatan mukallaf yang diperbolehkan. 
c.    Syarat-Syarat Mahkum Fih
1.    Perbuatan tersebut diketahui oleh mukallaf, sehingga mereka dapat melakukannya sesuai dengan tuntutan yang dibebankan kepada mereka.[15]
Artinya, mukallaf dapat mengerti apa yang di bebankan hukum kepadanya melalui penjelasan Alquran yang diperjelas dengan penjelasan-penjelasan Alhadits. Misalnya dalam Alquran “wa aqiimush sholaata” di perjelas dengan Alhadits “shollu kamaa roaitumuunii ushollii”. Maka, ketika suatu perintah itu masih bersifat mujmal tidak bisa mukallaf di bebani hukum untuk mematuhinya kecuali setelah ada penjelasan. 
2.    Diketahui secara pasti oleh orang mukallaf bahwa perintah itu datang dari pihak yang berwenang membuat perintah yang dalam hal ini adalah Allah dan Rasul-Nya.[16] Artinya, mukallaf harus mengetahui suatu yang dibebankan hukum kepadanya itu bersumber dari Allah dan Rasul-Nya. Oleh karena itu, dalam menerima suatu beban hukum mukallaf harus mengetahui dasar hukumnya dari Allah yang berupa Alquran dan Rasul-Nya yang berupa Alhadits.
3.    Perbuatan yang ditaklifkan tersebut dimungkinkan terjadi.[17] Artinya, mukallaf dapat melakukan apa yang dibebankan hukum kepadanya sesuai dengan batas kemampuanya. Mukallaf dapat melakukan perbuatan yang dibebankan tersebut atau dapat meninggalkan perbuatan tersebut.
4.    Mahkum Alaih
a.       Pengertian Mahkum Alaih
Mahkum Alaih : yang dikenai hukum ialah orang-orang mukallaf, artinya orang-orang muslim yang sudah dewasa dan berakal, dengan syarat ia mengerti apa yang dijadikan beban baginya.[18] Satria  Effendi dan M. Zein dalam bukunya Ushul Fiqih mengatakan mahkum alaih berarti “orang mukallaf (orang yang layak dibebani hukum taklifi)”.[19]
Dari dua pengertian diatas, dapat di tarik kesimpulan bahwa mahkum alaih adalah orang yang dibebani hukum atau lebih mudahnya dengan istilah mukallaf dan mengerti hal yang dibebankan hukum kepadanya. Misalnya orang gila, anak kecil, dan orang tidur maka, mereka tidak dapat dibebani hukum.
b.      Syarat-Syarat Mahkum Alaih
1.      Orang tersebut mampu memahami dalil-dalil taklif itu dengan sendirinya, atau dengan perantara orang lain.[20] Artinya, mukallaf dapat memahami sendiri dalil-dalil taklif atau dengan orang lain yang memberitahunya tentang dalil-dalil taklif. Dalam memahami dalil-dalil taklif diperlukan kemampuan akal. Kemampuan akal dalam diri manusia dapat di lihat ketika ia sudah baligh. Maka, ketika sudah baligh manusia sudah dapat dibebani hukum. Oleh karena itu, ketika seorang manusia tidak dapat memahami dalil-dalil taklif, kemungkinan dia juga tidak akan mematuhi apa yang dibebankan hukum kepadanya.
2.      Mampu ahliyat al-ada’, yaitu kecakapan untuk bertindak secara hukum atau memikul beban taklif.[21] Artinya, segala perbuatan yang dilakukan oleh mukallaf di bebani hukum Islam. Maka, seorang mukallaf harus cakap dalam melaksanakan apa yang di bebankan hukum kepadanya. Kecakapan tersebut dapat di temukan ketika mukallaf sudah masuk masa baligh.  Ketika baligh, ia akan dapat mempertimbangkan segala perbuatan yang akan dilakukan apakah perbuatan itu baik ataukah perbuatan itu buruk.

D.  KESIMPULAN
            Hukum Islam, menurut bahasa, artinya: “menetapkan sesuatu atas sesuatu”sedangkan menurut istilah, ialah Khitab (titah) Allah atau sabda nabi Muhammad SAWyang berhubungan dengan segala amal perbuatan mukallaf, baik itu mengandung perintah, larangan pilihan, atau ketetapan.
Hukum Islam terbagi menjadi 2, yakni : hukum taklifi dan hukum wadh’i. Hukum Taklifi adalah segala ketentuan dari Allah yang bersifat perintah, larangan atau pilihan antara larangan dan perintah Allah (ijab, naab, tahrim, karahahd, ibahah).Hukum Wadh’i adalah firman Allah SWT yang menuntut untuk menjadikan sesuatu sebagai sebab,syarat atau penghalang ari sesuatu yang lain. Bila firman Allah menunjukkan atas sesuatu dengan hukum taklifi,baik bersifat sebagai sebab,atau syarat,atau penghalang.
            Mahkum Fih berarti “perbuatan orang mukalaf sebagai tempat menghubungkan hukum syara”.Mahkum Alaih : yang dikenai hukum ialah orang-orang mukallaf, artinya orang-orang muslim yang sudah dewasa dan berakal, dengan syarat ia mengerti apa yang dijadikan beban baginya.



DAFTAR PUSTAKA

Anwar, Syahrul. 2010. lmu Fiqh dan Ushul Fiqh.Bogor : Ghalia Indonesia
Bahri, Syamsul. 2008. Metodologi Hukum Islam. Yogjakarta : TERAS
Biek, Muhammad Al Khudori. 1982. Terjemah Ushul Fiqih, alih bahasa Zaid H. Al-Hamid. Pekalongan : Raja Murah
Dahlan, Abd. Rahman. 2010. Ushul Fiqh. Jakarta : AMZAH
Effendi, Satriadan Zein, M. 2005.Ushul Fiqh.Jakarta : Prenada Media
Fanani, Muhyar. 2010. Fiqih Madani : Kontruksi Hukum Islam di Dunia Modern.
Koto, Alaiddin. 2004.Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh (sebuah pengantar). Jakarta: Raja Grafindo Persada
Koto, Alaiddin. 2012. Filsafat Hukum Islam. Jakarta : Rajawali PressYogyakarta : LkiS Yogyakarta
Rifai, Moh. 1993. Ushul Fiqih. Bandung : PT. Al-Ma’arif
Syafe’i, Rachmat. 2010. Ilmu Ushul Fiqih. Bandung : Pustaka Setia

Catatan:
1.      Similarity sangat tinggi, 36%.
2.      Dijelaskan pelan-pelan, agar teman-teman Anda paham.


[1] Syamsul Bahri, Metodologi Hukum Islam (Yogjakarta : TERAS, 2008), hal 45
[2] Muhyar Fanani, Fiqih Madani : Kontruksi Hukum Islam di Dunia Modern (Yogyakarta : LkiS Yogyakarta, 2010), hal 1
[3] Moh Rifai, Ushul Fiqih (Bandung : PT. Al-Ma’arif, 1993), hal 11
[4]Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih (Bandung : Pustaka Setia, 2010), hal 295
[5]Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih (Bandung : Pustaka Setia, 2010), hal 297
[6] Moh Rifai, Ushul Fiqih (Bandung : PT. Al-Ma’arif, 1993), hal 13
[7]Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih (Bandung : Pustaka Setia, 2010), hal 298
[8] Muhammad Al Khudori Biek, Terjemah Ushul Fiqih, alih bahasa Zaid H. Al-Hamid(Ushul Fiqih, Pekalongan : Raja Murah, 1982), hal 44
[9]Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih (Bandung : Pustaka Setia, 2010), hal 312
[10]Moh Rifai, Ushul Fiqih (Bandung : PT. Al-Ma’arif, 1993), hal 313
[11]Syahrul Anwar, lmuFiqhdanUshulFiqh(Bogor : PenerbitGhalia Indonesia,2010), cet.1, hal 117
[12]Satria Effendi, M.zein, Ushul Fiqh (Jakarta : Prenada Media, 2005),  hal 73
[13] Alaidin Koto, Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh (sebuah pengantar), (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004), hal 153
[14] Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh (Jakarta : AMZAH, 2010), hal 92
[15] Alaiddin Koto, Filsafat Hukum Islam (Jakarta : Rajawali Press, 2012), hal 130
[16]Satria Effendi, M.zein, Ushul Fiqh (Jakarta : Prenada Media, 2005),  hal 74
[17] Alaidin Koto, Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh (sebuah pengantar), (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004), hal 156
[18] Moh Rifai, Ushul Fiqih (Bandung : PT. Al-Ma’arif, 1993), hal 16
[19]Satria Effendi, M.zein, Ushul Fiqh (Jakarta : Prenada Media, 2005), hal 75
[20] Alaiddin Koto, Filsafat Hukum Islam (Jakarta : Rajawali Press, 2012), hal 132
[21]Satria Effendi, M.zein, Ushul Fiqh (Jakarta : Prenada Media, 2005), hal 75

Tidak ada komentar:

Posting Komentar