Minggu, 01 April 2018

Hadis dilihat dari Kuantitas Periwayat (PIPS A Semester Genap 2017/2018)



KLASIFIKASI HADIST DARI ASPEK KUANTITAS PERIWAYAT
PIPS A2016
Inti Shorunnuha Az-Zahra    (16130062)
Nur Cholilah                          (16130064)

Abstract
            Besides the Al-Quran as the main source in Islam, the Hadist which is something that is propped up against the prophet Muhammad in the from of words, deeds, statues, and things that are also sources of teachings that complement the content of Al-Quraan. Hadist also has a close connection with the Al-Quran and hadist can not be separated or can not walk alone. Besides that in the presenting of hadist is distinguished on the quantity of its transmission is hadist mutawatir and hadist ahad.
Abstrak
            Selain Al-quran sebagai sumber utama dalam Islam, hadist yang merupakan sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW, berupa perkataan, perbuatan, ketetapan,dan hal ihwalnya yang juga merupakan sumber ajaran yang banyak melengkapi kandungan Al-Quran. Hadist juga memiliki kaitan erat dengan al-Quran dan untuk memahami Al-quran dan hadist tidak bisa dipisah-pisah atau tidak bisa berjalan sendiri. Selain itu dalam pembagiannya hadist dibedakan atas kuantitas periwayatannya yaitu hadist mutawatir dan hadist ahad.

A.    PENDAHULUAN

Menurut Prof. Dr. T.M. Hasbi Ash-Shiddiqi, ilmu hadist adalah ilmu yang berkaitan dengan hadist. Definisi ini dikemukakan mengingat ilmu yang berhubungan dengan hadist sangat banyak macamnya.Hal ini disebabkan karena ulama yang membahas masalah ini juga banyak, karenannya dijumpai sejumlah istilah yang berkaitan dengan ilmu itu.Di antara ulama ada yang menggunakan istilah ilmu hadist, ilmu ushul al-hadist, atau ilmu musthalah al-hadist.Ada juga yang menyebutnya Ilmu musthalau ahl al-atsar, atau ilmu musthalah ahli al-hadist.[1]
Ulama berbeda pendapat tentang pembagian ilmu hadist ditinjau dari aspek kuantitas atau jumlah rawi yang menjadi sumber berita.Di antara mereka ada yang mengelompokkan menjadi tiga bagian, yakni hadist mutawatir, masyhur, dan ahad.Ada juga yang membaginya menjadi dua, yaitu hadist mutawatir dan ahad. Ini disponsori oleh sebagian ulama ushul seperti diantaranya , Abu Bakar al-Jashshash (305-370H). Sedangkan ulama golongan kedua diikuti oleh ulama sebagian besar ulama ushul (ushulliyun) dan ulama kalam (mutakallimun). Menurut mereka, hadist masyhur bukan merupakan hadist yang berdiri sendiri, akan tetapi hanya merupakan bagian dari hadist ahad. Mereka membagi hadist ke dalam dua bagian,yaitu hadist mutawatir dan hadist ahad.[2]

Ada perbedaan pendapat mengenai pembagian hadist yang ditinjau dari segi kuantitas.Maksud pembagian hadist ditinjau dari segi kuantitas sendiri adalah pembagian hadis ditinjau dari jumlah rawi yang menjadi sumber berita ini. Di antara para ulama ushul ada yang mengelompokkan menjadi tiga bagian, yakni hadis Mutawatir, Masyhur dan Ahad, dan ada juga yang membaginya menjadi dua saja yaitu  hadis Mutawatir dan Ahad.[3]
            Menurut Hasbi As Shiddiqi, pembagian hadis yang menjadi pegangan oleh kebanyakan ahli ushul yaitu : Mutawatir, masyhur dan Ahad. Banyak ahli hadis ,membagi hadis dari segi kemutawatiran dan dibagi menjadi dua saja yakni Mutawatir dan Ahad. Hadis Masyhur sendiri mereka golongkan ke dalam hadisAhad .[4]
            Pembagian hadis menjadi tiga yakni : Mutawatir, Masyhur dan Ahad, telah disepakati oleh kebanyakan ulama Fiqh dan ulama Ushul. Sedangkan, menurut kebanyakan ulama Hadis, cukup dibagi menjadi dua saja yaitu hadis Mutawatir dan Ahad.Hal itulah yang dikatakan oleh Syuhudi Ismail.Berdasarkan pernyataan diatas, dapat disimpulkan bahwa pada garis besarnya hadis dibagi menjadi 2 macam, yakni Mutawatir dan Ahad.Pembagian ini dianggap lebih praktis karena pada dasarnya hadis Masyhur tercakup dalam hadis Ahad.[5]
B.     HADIST MUTAWATIR

Secara etimologi, kata mutawatir berarti : mutatabi’ (beriringan tanpa jarak). Dalam terminologi ilmu hadist, ia merupakan hadist yang diriwayatkan oleh orang banyak, dari orang banyak, dan berdasarkan logika atau kebiasaan, mustahil mereka akan sepakat untuk berdusta. Periwayatan seperti itu terus-menerus berlangsung, semenjak thabaqat yang pertama sampai thabaqat yang terakhir.[6]
Ulama mutaqaddimin berbeda pendapat dengan ulama muta’akhkhirin, tentang syarat-syarat hadist mutawatir.Ulama mutaqaddimin berpendapat bahwa hadist mutawatir tidak termasuk ke dalam pembahasan ilmu isnad al-hadist, karena ilmu ini membicarakan tentang shahih tidaknya suatu khabar, diamalkan atau tidak, adil atau tidak perawinya.Sementara dalam hadist mutawatir masalah tersebut tidak dibicarakan.Jika sudah jelas statusnya sebagai hadist mutawatir, maka wajib diyakini dan diamalkan.[7]

Secara definitif, berikut pengertian hadist mutawatir :



Suatu hadis hasil tanggapan pancaindera, yang diriwayatkan oleh sejumlah besar rawi, yang menurut adat kebiasaan mustahil mereka berkumpul dan bersepakat untuk dusta.[8]
Secara bahasa, kata “mutawatir” berbentuk isim fa’il musytaq dari kata “tawatur” yang bermakna “ berturut-turut atau berurutan”, sedangkan secara istilah, hadis mutawatir adalah hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah orang yang menurut adat kebiasaan pada saat itu mustahil mereka sepakat melakukan kebohongan. [9]

Hasbi Ash-Shiddieqy mendefinisikan :




Hadis-hadis yang diriwayatkan oleh segolongan besar yang tidak terhitung jumlahnya dan tidak pula dapat difahamkan, bahwa mereka telah sepakat berdusta.Keadaan itu terus-menerus hingga sampai kepada akhirnya.[10]
Sedangkan Shubhi Shalih mendefinisikan :




Mutawatir ialah hadis shahih yang sejumlah besar orang menurut akal dan adat mustahil mereka bersepakat untuk berdusta, sejak awal sanad, tengah dan akhirnya.[11]
Manna’ al-Qaththan, mendefinisikan bahwa hadis mutawatir adalah sebuah hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah orang yang menurut adat kebiasaan mustahil sepakata untuk berdusta, dari awal sanad hingga akhir sanad (pada seluruh generasi) dan hadis yang diriwayatkan tersebut bersifat mahshus.[12]
Suatu hadis dinamakan sebagai hadis mutawatir, apabila jumlah para sahabat yang menjadi rawi pertama sangat banyak, lalu munculah rawi dalam generasi tabi’in yang menerima hadis dari rawi-rawi generasi pertama (sahabat) yang jumlahnya banyak tadi, dan tabi’it-tabi’in yang menerimanya dari tabi’in pun seimbang jumlahnya,bahkan mungkin lebih banyak, demikian seterusnya dalam kondisi yang sama, sampai kepada rawi-rawi yang mendewankan hadis.[13]
Hadis Mutawatir adalah hadis yang sumbernya benar-benar dari Nabi Muhammad SAW. Hadis Mutawatir dapat dikatakan sama dengan Al quran dilihat dari hal keutentikannya, karena keduanya qat’iul wurud (sesuatu yang pastidatangnya). Para ulama telah sepakat bahwa hadis Mutawatir wajib diamalkan dalam seluruh aspek, termasuk dalam bidang akidah.[14]
Apabila perawi itu berjumlah banyak dan secara mudah dapat diketahui bahwa sekian banyak perawi itu tidak mungkin bersepakat untuk berdusta, maka penyampaian hadis itu dapat dikatakan mutawatir.[15]

Syarat-Syarat Hadis Mutawatir :
1.    Hadis itu diriwatkan oleh rawi berdasarkan perolehannya dari Nabi dan atas dasar pancaindera yang yakin. Maksudnya, bahwa perawi dalam memperoleh hadis Nabi, haruslah benar-benar dari hasil pendengaran atau penglihatan sendiri.[16]
Apabila periwayatan suatu hadis atau berita itu merupakan hasil rangkuman peristiwa-peristiwa yang lain atau hasil istimbath dari dalil-dalil yang lain, maka hadis tersebut tidak dapat dikatakan mutawatir. Misalnya, periwayatan orang banyak tentang kebaruan alam semesta yang berpijak kepada dalil logika, bahwa setiap benda yang dapat rusak adalah benda baru (yang dicipkan oleh Sang Maha Kuasa). Oleh karena alam semesta yang diciptakan oleh Sang Pencipta bisa rusak, sudah tentu alam semesta ini adalah benda baru. Demikian juga periwayatan para ahli filsafat tentang ke-Esa-an Allah menurut teori filsafatnya bukan merupakan berita yang mutawatir.[17]
2.    Bilangan perawinya, dilihat dari segi banyaknya, telah mencapai jumlah yang menurut adat mustahil mereka bersepakat terlebih dahulu untuk berdusta.
Adapun tentang jumlah bilangan perawi, para ulama berbeda pendapat :
a.       Abu Thayyib menetapkan, minimal 4 orang, hal ini dengan alasan mengqiyaskan terhadap ketentuan bilangan saksi yang diperlukan dalam suatu perkara. Misalnya dalam penuduhan zina.[18]
b.      Sebagian golongan Syafii menetapkan, minimal 5 orang. Dengan alasan mengqiyaskan pada jumlah 5 Nabi yang bergelar “Ulul Azmi”.[19]
c.       Sebagian ulama ada yang menetapkan sekurang-kurangnya 20 orang, berdasarkan ketentuan Allah yang telah difirmankan dalam surat Al-Anfal 65, tentang sugesti Allah kepada orang-orang mukmin yang pada tahan uji, yang hanya dengan berjumlah 20 orang saja mampu mengalahkan orang kafir yang berjumlah 200 orang.






Artinya : “Wahai Nabi (Muhammad) kobarkanlah semangat para mukmin untuk berperang. Jika ada dua puluh orang yang sabar di antara kamu, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang musuh.Dan jika ada seratus orang (yang sabar) di antara kamu, niscaya mereka dapat mengalah-kan seribu orang kafir, karena orang-orang kafir itu adalah kaum yang tidak mengerti”.[20]
d.      Sebagian ulama ada yang menetapkan minimal 40 orang, ada yang menetapkan minimal 10 orang, 12 orang, 70 orang dan lain-lain.[21]
3.    Adanya keseimbangan jumlah antara rawi-rawi dalam thabaqah (lapisan) pertama dengan jumlah rawi-rawi dalam thabaqah berikutnya. Oleh karena itu, kalau suatu hadist diriwayatkan oleh sepuluh sahabat umpamanya, kemudian diterima oleh lima tabi’in dan seterusnya hanya diriwayatkan oleh dua orang tabi’it-tabi’in, bukan hadist mutawattir. Sebab jumlah rawi-rawinya tidak seimbang antara thabaqah pertama, kedua dan ketiga.[22]

Mungkinkah Terdapat Hadis Muttawatir?
            Syarat-syarat hadist muttawatir lebih ketat dibandingkan hadist-hadist lainnya.Para ulama, seperti Ibnu Hibban dan Al-Hazimy menganggap bahwa Hadis Muttawatir itu tidak ada.Ibnu as-Shalah memiliki pendapat bahwa hadis muttawatir itu memang ada, hanya jumlahnya sangat sedikit.[23]
            Namun, pendapat tersebut tidak dibenarkan oleh Ibnu Hajar, hal ini disebabkan kekurangan mereka dalam menelaah jalan-jalan hadis, kelakuan dan sifat-sifat rawi-rawinya yang dapat memustahilkan bersepakat bohong. Menurut beliau,  hadis muttawatir itu banyak kita dapati dalam kitab-kitab yang masyhur. Bahkan ada beberapa kitab yang khusus menghimpun hadis-hadis muttawatir, seperti :
a.    Al-Azharu’l-Mutanasirah Fi’l-Akhbari-Mutawatirah, karya As-Suyuthy (911 H). Kitab ini disusun menurut bab demibab dan setiap hadis diterangkan sanas-sanadnya yang dipakai oleh pentakhrijnya. Kemudian kitab tersebut diringkas dengan diberi nama.
b.    Qathful-Azhar
c.    Nadlmu’l-Mutanasir mina’l-Haditsi’l-Mutawatir, karya Muhammad Abdullah bin Ja’far Al-Kattany (1345 H).[24]

Klasifikasi Hadis Muttawatir
a.    Mutawatir Lafdzi
Hadis mutawatir lafdzi ialah hadis mutawatir yang memiliki susunan lafadz dan makna yang sama. Hadis model ini sedikit sekali jumlahnya karena sangat sulit menemukan hadis dengan perawi berjumlah banyak dalam meriwayatkan sebuah hadis dengan keseragaman redaksi.


Hadis yang sama bunyi lafazh, hukum dan maknanya.[25]
Contoh hadis mutawatir lafdzi ,sebagaimana berikut :


Artinya: “Barang siapa yang berbohong atas nama saya, maka bersiaplah untuk mengambil tempat di neraka” (HR.Bukhari).[26]
Menurut Abu Bakar Al-Bazzar,hadist tersebut diriwayatkan oleh 40 orang sahabat,  dan sebagian ulama mengatakan nahwa hadis tersebut diriwayatkan oleh 62 orang sahabat dengan susunan redaksi dan makna yang sama.[27]
b.    Mutawatir Ma’nawi
            Hadist Mutawatatir Ma’nawi adalah hadis mutawatir yang maknanya samaakan tetapi redaksinya berbeda. Perbedaan lafadz itu bisa saja terjadi karena Rasulullah sendiri menyatakan sabdanya dengan bahasa (dialek) yang berbeda-beda, bisa ditingkat sahabat karena kemampuan mereka di dalam menerima hadis dari Rasulullah, juga bisa pada perawi pada tingkat dan tabaqat setelah sahabat.[28]
Berikut ini beberapa pengertian hadis ahad:
Hadis yang berlainan bunyi dan maknanya, tetapi dapat diambil makna yang umum”[29]
            Contoh hadis mutawatir ma’nawi ialah hadis yang menyatakan tentang cara beribadah Rasulullah, terutama dalam persoalan mengangkat tangan dalam berdo’a, mengusap khuffain, isra’miraj dan lain lain.[30] Berikut sabda nabi mengenai hadis ini :



Artinya :Nabi s.a.w. tidak mengangkatkedua tangannya ketika berdoa selain dalam doa shalat Istisqa dan beliau mengangkat tangannya hingga tampak putih kedua ketiaknya”.[31]
c.    Hadis Muttawatir ‘Amali
Berikut definisi hadis muttawatir ‘amali :






Sesuatu yang diketahui dengan mudah, bahwa ia dari agama dan telah mutawatir di kalangan umat Islam, bahwa Nabi s.a.w. menga-jarkannya atau menyuruhnya atau selain dari itu. Dari hal itu dapat dikatakan soal yang telah disepakati”.

Contoh : berita-berita yang menerangkan waktu rakaat shalat, shalat jenazah, shalat ‘Ied, kadar zakat dan segala rupa yang telah menjadi kese-pakatan, ijma’. [32]

Faedah Hadis Muttawatir
Hadis muttawatir memberi faedah ilmu-dlarury, yakni keharusan untuk menerima penuh sesuatu yang diberitakan oleh hadis muttawatir, hingga membawa kepada keyakinan yang qath’y (pasti).[33]
Para rawi hadis muttawatur, sudah tidak memerlukan penyelidikan mengenai keadilan dan kedlabithannya (kuat ingatan), karena kuantitas para rawi hadis muttawatir sudah menjamin dari persepakatan dusta.Nabi Muhammad SAW telah menyabdakan atau mengerjakan sesuatu, sesuai yang diberitakan dari para rawi hadis muttawatir.[34]
Mayoritas umat islam telah bersepakat tentang hadis muttawatir yang telah disebutkan di atas. Bahkan orang yang mengingkari hadis ilmu-dlalury yang berdasarkan khabar muttawatir, sama dengan mengingkari hasil ilmu dlalury yang berdasarkan musyahadat (penglihatan panca indera).[35]
C.    HADIST AHAD
            Secara bahasa kata “ahad” merupakan bentuk plural dari kata “ahad” yang bermakna satu, sedangkan khabar “ahad”adalah khabaryang diriwayatkan oleh satu orang.
Berikut definisi hadis ahad:






Suatu hadis (khabar) yang jumlah pemberitaannya tidak mencapai jumlah pemberita hadis Mutawatir, baik pemberita itu seorang, dua orang, tiga orang, empat orang, lima orang dan seterusnya, tetapi jumlah tersebut tidak mem-beri pengertian bahwa hadis tersebut masuk ke dalam hadis Mutawatir.[36]

Hadist ahad menurut al-Thahan hadis yang tidak memenuhi syarat-syarat hadis muttawatir.[37]Hadis Ahad merupakan hadis yang tidak mencapai derajat Mutawatir, maka keterikatan orang Islam terhadap hadis Ahad ini tergantung pada kualitas periwayatnya dan kualitas persambungan sanadnya.Bila sanad hadis itu tidak dapat mengikat orang Islam untuk untuk mempergunakannya sebagai dasar beramal.Sebaliknya, bila sanadnya bersambung dan kualitas periwayatnya bagus maka menurut Jumhur, hadis itu harus dijadikan dasar.[38]

Pembagian Hadis Ahad
Jumlah rawi-rawi dalam thabaqat (lapisan) pertama, kedua atau ketiga dan seterusnya pada hadis ahad itu, mungkin terdiri dari tiga orang atau lebih, dua orang atau seorang.Para Muhadiditsin memberikan nama-nama tertentu bagi hadis Ahad mengingat banyak sedikitnya rawi-rawi yang berada pada tiap-tiap thabaqat. Berikut pembagiannya :
1.      Hadis Masyhur
     Secara bahasa, kata “masyhur” adalah isim maf’ul dari kata “syahara”.muttawatir. Secara istilah, berikut pengertian Hadis Masyhur :




Hadis yang diriwayatkan oleh tiga orang atau lebih, serta belum mencapai derajat Mutawatir.
Menurut ulama fiqhi, hadis masyhur juga disebut hadis mustafidh.Namun, sebagian ulama lain membedakannya, yaitu bahwa pada hadis mustafidh jumlah rawinya tiga orang atau lebih sejak tingkatan (thabaqah) pertama sampai terakhir. Sedangkan, hadis masyhur lebih umum dibandingkan hadis mustafid, yaitu pada jumlah rawinya untuk tiap tingkatan tidak harus sama banyaknya atau seimbang. Pada hadis masyhur, bisa terjadi jumlah rawi dalam tingkatan pertama adalah sahabat, tingkatan kedua yaitu tabi’iy, tingkatan ketiga yaitu tabi’it tabi’in, dan pada tingkatan keempat yaitu orang-orang setelah tabi’it-tabi’in hanya terdiri dari satu orang, setelah itu pada tingkatan kelima dan seterusnya banyak sekali.[39]
Contohnya ialah hadis masyhur yang ditakhrijkan oleh Bukhariy Muslim dari sahabat Ibnu Umat ra:

Hanyasanya amal-amal itu dengan niat dan hanya bagi tiap-tiap seseorang itu memperoleh apa yang ia niatkan “.[40]
Hadis tersebut pada tingkatan pertama hanya diriwayatkan oleh sahabat Umar sendiri, pada tingkatan kedua hanya diriwayatkan oleh Alqamah sendiri, pada tingkatan ketiga hanya diriwayatkan oleh Ibnu Ibrahim At-Taimy sendiri dan pada tingkatan keempat hanya diriwayatkan oleh yahya bin Sa’id sendiri. Dari Yahya bin Sa’id inilah hadis tersebut diriwayatkan oleh orang banyak. Ditinjau dari segi klasifikasi hadis ahad yang lain, maka hadis Umar tersebut dapat juga dikatakan dengan hadis-gharib pada awalnya, masyhur pada akhirnya.[41]
Macam-Macam Hadis Masyhur
Istilah masyhur yang diterapkan pada suatu hadis, terkadang bukan untuk memberikan sifat-sifat hadis berdasarkan ketetapan, yaitu banyaknya rawi yang meriwayatkan suatu hadis, tetapi juga diterapkan untuk memberikan sifat hadis yang mempunyai ketenaran di kalangan masyarakat ramai.Sehingga, ada suatu hadis yang rawinya kurang dari tiga orang, bahkan ada hadis yang tidak berasal (bersanad) dapat dikatakan dengan hadis masyhur.[42]
Dari segi ini(lingkungan, popularitas, penyebarannya, dan frekuensi) maka berikut ini pembagian hadis masyhur :
a.       Masyhur di kalangan para Muhadditsin dan lainnya (golongan ahli ilmu dan orang umum).
Contohnya :


Seorang Muslim itu adalah orang yang menyelamatkan sesama muslim lainnya dari gangguan lidah dan tangannya (H.R. BukhariMuslim)[43]
Selain kedua imam hadis, yaitu Bukhari dan Muslim, para imam hadis, seperti: Imam Abu Dawud, Imam An-Nasa’iy, Imam At-Turmudzy dan Imam Ad-Darimy juga mentakhrijkan hadis tersebut dengan sanad yang berbeda dalam kitab-kitab sunan mereka.[44]
Bukan saja para muhaditsin sebagaimana dikemukakan di atas, akan tetapi para ulama ahli tasawuf, ahli fiqih, ahli akhlaq dan bahkan orang umum sekalipun memasyhurkan hadis tersebut.[45]
b.      Masyhur di kalangan muhadditsin
“Anas ra, berkata, Rasulullah SAW berqunut selama sebulan berdo’a untuk kehancuran Ri’l dan Dzakwan”.[46]
       Apabila hadis di atas kita ambil menurut pentakhrijan Imam Bukhari, maka Imam Bukhari menerima hadis tersebut melalui sanad-sanad : Ahmad bin Yunus, Zaidah, Sulaiman At-Taimy, Abi Miljaz dan sahabat Anas bin Malik ra. Sahabat Anas bin Malik ra. Tidak hanya meriwayatkan hadis itu kepada Abi Miljaz saja. Beliau juga meriwayatkan kepada rawi-rawi tabi’iy yang lain,yaitu Musa bin Anas dan Qatadah. Sulaiman At-Taimy yang menerima hadis dari Abi Miljaz, meriwayatkan hadis itu tidak hanya kepada Zaidah sendiri, tetapijuga kepada Mu’tamir bin Sulaiman. Selanjutnya Mu’tamir meriwayatkan kepada Abu Kuraib, ‘Ubaidilah dan Ishak, yang ketiga orang ini adalah dijadikan sanad pertama oleh Imam Muslim, diantara sanad-sanad pertama beliau yang lain.[47]
       Musa bin Anas dan Qatadah yang masing-masing menerima hadis dari Anas bin Malik ra. meriwayatkan kepada Syu’bah, dan Syu’bah mengedarkan kepada Aswad bin Amir. Selanjutnya Aswad bin Amir mengedarkan kepada Amr An Naqid untuk diteruskan kepada Imam Muslim.[48]
Ulama-ulama selain hadis, tidak banyak yang memasyhurkan hadis tersebut.Oleh karena hadis itu hanya masyhur di kalangan muhadditsin saja.
c.       Masyhur di kalangan fuqaha’
“Rasulullah SAW, bersabda sesungguhnya perkara halal yang paling dibenci Allah adalah talak.”[49]
d.      Masyhur di kalangan ahli ushul fiqh
“Rasulullah SAW, bersabda, jika seorang hakim berijtihad kemudian ijtihadnya benar maka ia mendapatkan dua pahala namun jika ijtihadnya keliru maka ia mendapatkan satu pahala.”[50]
e.       Masyhur di kalangan ahli bahasa arab
“Dari Umar ra., dia berkata, sebaik-baik hamba Allah adalah suhaib.Bila ia tidak takut kepada Allah, ia tidak berbuat dosa.”[51]
f.       Masyhur di kalangan ahli pendidikan
“Tuhanku telah mendidikku maka ia menjadikan pendidikanmu menjadi baik.”[52]
g.      Masyhur di kalangan umum
“Rasulullah SAW bersabda, ketergesa-gesaan berasal dari setan”[53]
Syarat-Syarat hadis Ahad Menurut Beberapa Ulama Fiqih:
1.      Abu Hanifah , yaitu:
a.         Periwayatnya tidak menyalahi riwayatnya
b.         Riwayatnya tidak menyangkut soal yang umum
c.         Riwayatnya tidak menyalahi qiyas.[54]
2.      Imam Malik bin Anas, ulama-ulama Malikiyah tidak mengamalkannya bila bertentangan dengan amalan-amalan atau ‘urf ulama-ulama Madinah, mengingat ada pandangan yang mengatakan, amalan-amalan ulamaMadinah sama dengan riwayatnya.[55]
3.      Imam Syafi’i, yaitu :
a.         Periwayatnya adalah orang yang dipercaya
b.         Periwayatnya berakal atau memahami apa yang diriwayatkan
c.         Periwayatnya dhabith
d.        Periwayatnya benar-benar mendengar hadis itu dari orang yang meriwayatkannya
e.         Periwayatnya tidak menyalahi ahli ilmu yang juga meriwayatkan hadis yang sama[56]
4.      Ahmad bin Hanbal, hadis ahad hanya dapat digunakandalam bidang ‘amali (pengamalan) dan tidak boleh digunakant dalam bidang i’tiqadi (akidah). Akan tetapi ImamAhmad bin Hanbal menggunakan hadis ahad dalam kedua bidang tersebut, baik itu ‘amali maupun i’tiqadi.[57]

2.      Hadis Aziz
Secara bahasa, kata ‘aziz’ merupakan sifat musyabbahah dari kata “azza ya’izzu”, sedangkan menurut istilah hadis ‘aziz’ adalah hadis yang diriwayatkan oleh tidak kurang dari dua perawi pada seluruh tingkatan/genenerasi. Hadis ‘aziz’ini bisa dinilai shahih , hasan maupun dha’if, sesuai keadaan sanad dan matannya, setelah dilakukan penelitian terhadapnya. [58]


Hadis yang diriwayatkan oleh dua orang, walaupun dua orang rawi tersebut terdapat pada satu thabaqah saja, kemudian setelah itu, orang-orang pada meriwayatkan-nya (diriwayatkan orang banyak).[59]
Berdasar pengertian tersebut bah-wa hadis Azis bukan yang hanya diriwayatkan oleh dua orang rawi pada setiap thabaqah, tetapi selagi pada salah satu thabaqah saja, didapati dua orang rawi sudah bisa dikatakan hadis Azis.[60]

Ibnu Hibban Al-Busty berpendapat bahwa hadis Azis yang diriwayatkan oleh dan kepada dua orang perawi, sejak dari lapisan pertama sampai pada lapisan terakhir tidak sekali-kali terjadi.Kemungkinan terjadi memang ada, hanya saja sulit untuk dibuktikan.Oleh karena itu bisa terjadi suatu hadis yang pada mulanya tergolong sebagai hadis Azis, karena hanya diriwayatkan oleh dua rawi, tapi berubah menjadi hadis Masyhur, karena perawi pada thabaqat seterusnya berjumlah banyak.[61]
Contoh hadis aziz yaitu :



Tidaklah beriman seseorang di antara kamu, hingga aku lebih dicintai daripada dirinya, orang tuanya, anaknya, dan semua manusia (Bukhari Muslim).[62]
Sahabat Anas bin Malik memberikan hadis tersebut kepada dua orang, yaitu Qatadah dan Abdul Aziz bin Shuhaib. Setelah diterima oleh Qatadah, selanjutnya diterima oleh dua orang lagi yaitu Husain Al-Mu’alim dan Syu’bah. Dari Abdul Aziz diriwayatkan oleh dua orang, yakni Abdul Warits dan Ismail bin ‘Ulaiyah. Seterusnya diriwayatkan oleh Yahya bin Sa’id, dariSyu’bah diriwayatkan oleh Adam, Muhammad bin Ja’far dan juga oleh Yahya bin Sa’id. Dari Ismail diriwayatkan oleh Zuhair bin Harb dan dari Abdul Warits , diriwayatkan oleh Syaiban bin Abi Syaiban. Dari Yahya diriwayatkan oleh Musaddad dan dari Ja’far diriwayatkan oleh Ibnul-Mutsanna dan Ibnu Basysyar,sampai kepada Bukhari dan Muslim.[63]
Kita bisa memperhatikan jumlah rawi-rawi pada tiap-tiap thabaqah. Pada Thabaqah pertama terdiri dari seorang rawi, pada thabaqah  kedua terdiri dari dua orang, pada thabaqah ketiga terdiri dari empat orang rawi , pada thabaqah  keempat terdiri dari lima orang rawi dan seterusnya, maka hadis tersebut dapat dikatakan ‘hadis Aziz’ pada awalnya dan masyhur pada akhirnya.[64]

3.    Hadis Gharib
Secara bahasa,kata “gharib”merupakan sifat musyabbahah yang bermakna menyendiri. Secara istilah,hadis gharib ialah hadis yang diriwayatkan seorang perawi dimanapun hal itu terjadi. Ini berarti bahwa hadis gharib ini tidak disyaratkan harus satu orang perawi pada setiap tingkatan atau generasi,akan tetapi cukup pada satu tingkatan sanad dengan satu orang perawi.[65]


Hadis yang dalam sanadnya terdapat seorang yang menyendiri dalam meriwayatkan, di mana saja penyendirian dalam sanad itu terjadi.[66]

Berdasarkan letak terjadinya keghariban, hadis ini dapat dipilah menjadi tiga kelompok yaitu :
1.    Gharib matnan wa isma’adan (gharib dari segi matan dan sanadnya), ini berarti bahwa hadis tersebut tidak diriwayatkan melainkan melalui satu sanad.
2.    Gharib isnadan la matnan( gharib dari segi sanadnya dan tidak matannya), ini berarti bahawa hadis tersebut merupakan hadis yang masyhur kedatangannya melalui beberapa jalur dari seorang rawi atau seorang sahabat atau dari sejumlah perawi, lalu ada seseorang rawi meriwayatkannya dari jalur lain yang tidak masyhur. Hadis gharib dalam bentuk ini dinamakan hadis fharib mutlak disebabkan diriwayatkan oleh seorang perawi saja, melalui jalur yang tidak masyhur.
3.    Gharib matnan la isnadan, yaitu hadis yang pada mula sanadnya tunggal, akan tetapi pada tahap selanjutnya masyhur. Sebenarnya hadis gharib dalam bentuk inijika dicermati, dapat dikelompokka pada kelompok pertama.[67]
Berdasarkan letak keghariban sanadnya, ada sejumlah ulama yang membaginya menjadi dua kelompok yaitu :

1.      Hadis gharib mutlak, yaitu hadis yang keghariban sanadnya terjadi pada asal sanadnya.[68] Suatu hadis dikategorikan sebagai gharib mutlak bila penyendiriannya itu mengenai personalianya, sekalipun penyendirian tersebut hanya terdapat dalam satu thabaqat. Penyendirian hadis gharib mutlak ini harus berpangkal di tempat asli sanad, yakni Tabii, bukan sahabat, karena yang menjadi tujuan memper-bincangkan penyendirian perawi dalam hadis ini untuk menetapkan apakah ia dapat diterima atau tidak.[69]
Contohnya adalah hadis tentang niat yang diriwayatkan secara menyendiri oleh Umar, kemudia diriwayatkan oleh ‘Alaqamah, Yahya bin Sa’id dan terakhir oleh banyak perawi.
“Rasulullah SAW bersabda :sesungguhnya perbuatan itu tergantung (ditentuka) oleh niat, sesungguhnya nilai setiap perbuatan itu (sesuai dengan) apa yang diniatkan. Barang siapa yang hijrahnya karena (dimotivasi) dunia atau karena perempuan yang akan dinikahinya maka demikianlah (nilai) hijrahnya.[70]

2.    Hadis gharib nisbi, yaitu pada hadis yang keghariban sanadnya terjadi pada tengah sanad, bukan pada asal sanad sebagaimana hadis gharib mutlak. Hadis yangdikategorikan gharib nisbi adalah apabila penyendiriannya itu mengenai sifat atau keadaan tertentu dari seorang rawi. Penyendirian seorang rawi seperti ini, bisa terjadi berkaitan dengan keadilan dan kedhabitan perawi atau mengenai tempat tinggal atau kota tertentu.[71]Contohnya adalah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Malik dan al-Zuhri secara menyendiri.

“Anas bin Malik berkata, Rasulullah SAW, memasuki Makkah saat penaklukan, sementara pada kepalanya terdapat penutup sebagai pelindung. Tatkala beliau melepaskannya, ada seorang laki-laki datang kepada beliau dan berkata, wahai Rasulullah, Ibnu Khathal terikat di tirai ka’bah, Rasulullah SAW, bersabda bunuhlah, Malik berkata, Rasulullah SAW waktu itu tidak dalam keadaan ihram. Wallahu A’lam.[72]

D.    KEDUDUKAN HADIST MUTAWATIR DAN HADIST AHAD
Hadist Mutawatir sudah pasti shahih, sehingga tidak di bahas lagi dalam ilmu isnad/musthalah hadist, karena ilmu hadist membahas siapakah perawi hadist itu, seorang muslim, adil ataukah tidak, bersambung-sambung sanadnya atau tidak dan seterusnya. Hanya perlu dibahas di dalam hadist mutawatir ialah apakah jumlah perawi yang meriwayatkan itu sudah cukup banyak atau belum, mungkinkah yang sama memberitahukan itu berdusta atau tidak, baik berdusta dengan jjalan mufakat atau karena kebetulan saja. Demikian pula keadaan yang melatarbelakkangi berita itu, terutama kalau bilangan perawi itu tidak begitu banyak jumlahnya.Karena hadist mutawatir sudah pasti shahih, wajib diamalkan tanpa ragu-ragu baik dalam masalah aqidah/keimanan maupun dalam bidang amaliyah yakni baik mengenai ubudiyah maupun mua’amalah.Dan hadist mutawatir memberikan faedah qath’i (yakin), sehingga bagi orang yang mengingkari hadist mutawatir dihukumi keluar dari agama Islam dan termasuk kafir. Sedang hadist ahad, memberikan faedah dhanni (diduga keras akan kebenarannya) wajib diamalkan kalau sudah diakui akan keshahihannya. Para Muhaqqiqin menetapkan bahwa hadist ahad yang shahih diamalkan dalam bidang amaliyah, baik masalah ubudiyah, mu’amalah, tetapi tidak dalam bidang aqidah, karena aqidah harus ditegakkan atas dasar dalil-dalil yang qath’i sedangkan hadist ahad hanya memberikan faedah dhanni.Oleh karena itu, mempercayai suatu itikad yang hanya berdasarkan dalil dhanni tidak dapat dipersalahkan.Dan hadist ahad tidak dapat menghapuskan hukum dari Al-Quran, karena Al-Quran adalah mutawatir, demikian pendapat Imam Syafi’i.[73]
Bila hadist mutawatir dapat dipastikan sepenuhnya berasal dari Nabi, maka tidak demikian dengan hadist ahad.Hadist ahad tidak pasti berasal dari Nabi, tetapi diduga juga berasal dari beliau.Dengan ungkapan bahwa hadist ahad mungkin benar berasal dari beliau.[74]
Karena hadist ahad itu tidak pasti (ghairu qath’i dan ghairu maqtu’), tetapi diduga berasal dari Nabi, maka kedudukan hadist ahad sebagai sumber ajaran islam, berada dibawah kedudukan hadist mutawatir. Ini berarti bahwa bila suatu hadist, yang termasuk kelompok hadist ahad bertentangan isinya dengan hadist mutawatir, maka hadist tersebut ditolak, dan dipandang sebagai hadist yang tidak berasal dari Nabi.[75]
Bila diperinci lebih lanjut, kedudukan hadist-hadist ahad itu berbeda-beda,sejalan dengan perbedaan taraf atau taraf kemungkinannya berasal dari Rasuluallah SAW. Sebagian hadist-hadist tersebut lebih tinggi kedudukannya dari sebagian hadist yang lain, kendati semuanya sama-sama termasuk hadist ahad. Hadist ahad itu ada yang dinilai shahih, ada yang dinilai hasan, ada pula yang dinilai dhaif.Kedudukan hadist shahih lebih tinggi daripada hasan, dan kedudukan hadist hasan lebih tinggi daripada hadist dhaif.[76]

E.     PERBEDAAN HADIST MUTAWATIR DAN HADIST AHAD
a.       Dari segi jumlah rawi, hadist mutawatir diriwayatkan oleh para rawi yang jumlahnya sangat banyak pada setiap tingkatan sehingga menurut adat kebiasaan, mustahil mereka sepakat untuk berdusta, sedangkan hadist ahad diriwayatkan oleh para  rawi dalam jumlah yang menurut adat kebiasaan masih memungkinkan mereka sepakat untuk berdusta.[77]
b.      Dari segi pengetehuan yang dihasilkan, hadist mutawatir menghasilkan Ilmu qat’i (pasti) atau ilmu daruri (mendesak untuk diyakini), bahwa hadist itu sungguh-sungguh dari Rasuluallah sehingga dapat dibuktikan kebenarannya, sedangkan hadist ahad menghasilkan ilmu zanni (bersifat dugaan) bahwa hadist itu berasal dari Rasuluallah SAW, sehingga kebenaranya masih berupa dugaan pula.[78]
c.       Dari segi kedudukan, hadist mutawatir sebagai sumber ajaran agama Islam memiliki kedudukan yang lebih tinggi daripada hadist ahad. Sedangkan kedudukan hadist ahad sebagai sumber ajaran Islam berbeda dibawah kedudukan hadist mutawatir.[79]
d.      Dari segi kebenaran keterangan matan, dapat ditegaskan bahwa keterangan matan hadist mutawatir mustahil bertentangan dengan keterangan ayat dalam Al-Quran, sedangkan keterangan hadist ahad mungkin saja (tidak mustahil) bertentangan dengan Al-Quran. Bila dijumpai hadist-hadist dalam kelompok hadist ahad yang keterangan matan hadistnya bertentangan dengan ayat Al-Quran, maka hadist-hadist tersebut tidak berasal dari Rasuluallah. Mustahil Rasuluallah mengajarkan ajaran yang bertentangan dengan ajaran yang terkandung dalam Al-Quran.[80]

F.     PENUTUP
Ilmu hadist adalah segala ucapan, perkataan, perbuatan yang dilakukan oleh Nabi. Pembagian hadis menjadi tiga yakni : Mutawatir, Masyhur dan Ahad, telah disepakati oleh kebanyakan ulama Fiqh dan ulama Ushul. Sedangkan, menurut kebanyakan ulama Hadis, cukup dibagi menjadi dua saja yaitu hadis Mutawatir dan Ahad.Hal itulah yang dikatakan oleh Syuhudi Ismail.Berdasarkan pernyataan diatas, dapat disimpulkan bahwa pada garis besarnya hadis dibagi menjadi 2 macam, yakni Mutawatir dan Ahad.Pembagian ini dianggap lebih praktis karena pada dasarnya hadis Masyhur tercakup dalam hadis Ahad.

















DAFTAR PUSTAKA
As-Shiddieq, Hasbi.1993.Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis.Jakarta:Bulan Bintang.
Mufaat Ahmad, Hady.1994.Dirasah Islamiyah tentang Dasar-Dasar Ilmu Hadisdan Musthalahnya.Semarang: Sarana Aspirasi.
Al-Thahhan, Mahmud.1415 H.Tafsyir Musthalah Al-Hadits. Al-Iskandariyah : Markaz Al-Huda li al-Dirasat.
Shalih,Shubhi.1959.Ulumul Hadis wa Musthalakhuhu. Beirut :Darul Ilmi Lilmalayin.
al-Qaththan,Manna.tt. Mabahits Fi’Ulum al-Hadits. Kairo: Maktabah Wahbah.
Rahman,Fatchur. Ikhtisar Mushthalahul Hadits. Bandung :PT Al Ma’arif.
Sumbulah,Umi, dkk. 2014. Studi Al-qur’an dan Hadis.Malang : UIN Maliki Press.
Soetari,Endang.Ilmu Hadis.1997. Bandung : Amal Bakti Press.
Khazin, Mustafa dan Sa’diyah Ahmad Fuad, Attaisiir fi Ulumil Hadis.
Zuhri, Muh..1997. Hadis Nabi Telaah Historis dan Metodologis.Yogyakarta : Tiara Wacana.
Hasbi Ash-Shiddieqy,T.M. 1986.Pokok-Pokok IlmuDirayah Hadis, Jilid IV. Jakarta :Bulan Bintang.
Hasbi Ash-Shiddieqy,T.M.Pokok-PokokPegangan Imam Mazhab, Jilid II,. Jakarta:Bulan Bintang.
Suparca,Munzier dan Ucang Ranuwijaya. 1993. Ilmu Hadis. Jakarta :Rajawali Press.
Zuhri, Saifuddin.2008.Predikat Hadis dari Segi Jumlah Riwayat dan Sikap Para Ulama Terhadap Hadis Ahad". Suhuf Vol.20, No. 1.Surakarta: Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Sulaiman,Noor M, Antologi Ilmu Hadist, Gaung Persada Press Jakarta, Jakarta, 2008
Rachman, Fatchur, Mushthlahu’l Hadist, PT Al-Ma’arif, Yogyakarta, 1970
Khariri, Melerai Hadist-Hadist, STAIN Purwokerto Press, Yogyakarta, 2005
Ahmad,Muhammad, Ulumul Hadist, CV Pustka Setia, Bandung, 2000
Anwar, Ilmu Mushthalah Hadist, Al-Ikhlas, Surabaya, 1981

Catatan:
1.      Similarity 31%, lumayan besar.
2.      Abstrak perlu diperbaiki.
3.      Penulisan gelar (Prof. Dr. dll) dihilangkan dalam karya ilmiah.
4.      Penulisan yang baku: Alquran, hadis, sunah.
5.      Pendahuluan perlu dirubah. Ia berisi pengantar untuk memahami materi, bukan materinya itu sendiri.
6.      Dijelaskan pelan-pelan, agar teman-teman Anda paham.


[1]Prof.Dr.H.M.Noor Sulaiman.PL. Antologi Ilmu Hadist. Hal 76
[2]Ibid. Hal 86
[3]Saifuddin Zuhri, "Predikat Hadis dari Segi Jumlah Riwayat dan Sikap Para Ulama Terhadap Hadis Ahad". Suhuf Vol.20, No. 1, 2008, hal.54-55.
[4]Hasbi As-Shiddieq, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, (Jakarta :Bulan Bintang,1993), hal.200.
[5]Saifuddin Zuhri, Op.Cit,hal.55.
[6]Ibid. Hal 86
[7]Ibid. Hal 86-87
[8]Hady Mufaat Ahmad, Dirasah Islamiyah tentang Dasar-Dasar Ilmu Hadisdan Musthalahnya, (Semarang : Sarana Aspirasi,1994), hal.144.
[9]Mahmud Al-Thahhan, Tafsyir Musthalah Al-Hadits, (Al-Iskandariyah : Markaz Al-Huda li al-Dirasat, 1415H), hal.19.
[10]Saifuddin Zuhri, Op.Cit,hal.55.
[11]Shubhi Shalih, Ulumul Hadis wa Musthalakhuhu, (Beirut :Darul Ilmi Lilmalayin, 1959), hal.146.
[12]Manna al-Qaththan, Mabahits Fi’Ulum al-Hadits, (Kairo: Maktabah Wahbah,tt), hal.95.
[13]Fatchur Rahman, Ikhtisar Mushthalahul Hadits, (Bandung :PT Al Ma’arif, 1974), hal.78.
[14]Saifuddin Zuhri, Op.Cit,hal.56.
[15]Ibid.
[16]Ibid.
[17]Fatchur Rahman, Op.Cit,hal.79.
[18]Saifuddin Zuhri, Op.Cit,hal.56.
[19]Ibid.
[20]Ibid,hal.57.
[21]Ibid.
[22]Fatchur Rahman, Op.Cit,hal.80.
[23]Ibid,hal.58.
[24]Saifuddin Zuhri, Op.Cit,hal.56.
[25]Umi Sumbulah, dkk, Studi Al-qur’an dan Hadis, (Malang : UIN Maliki Press,2014), hal.189.
[26]Saifuddin Zuhri, Op.Cit,hal.58.
[27]Fatchur Rahman, Op.Cit,hal.82.
[28]Umi Sumbulah, dkk,Op.Cit, hal.190.
[29]Saifuddin Zuhri, Loc.Cit.
[30]Umi Sumbulah, dkk,Loc.Cit.
[31]Saifuddin Zuhri, Loc.Cit.
[32]Endang Soetari, Ilmu Hadis, (Bandung : Amal Bakti Press, 1997), hal.122.
[33]Ibid,hal.84.
[34]Ibid.
[35]Ibid.
[36]Raja Mustafa Khazin dan Sa’diyah Ahmad Fuad, Attaisiir fi Ulumil Hadis, hal.74.
[37]AlThahhan, Tafsyir Mustalah Al-Hadist, (Al-Iskandariyah:Markaz al-Huda li Al-Dirsat), hal.21.
[38]Muh.Zuhri, Hadis Nabi Telaah Historis dan Metodologis, (Yogyakarta : Tiara Wacana, 1997), hal.86.
[39]Fatchur Rahman, Op.Cit,hal.86.
[40]Saifuddin Zuhri, Op.Cit, hal.60.
[41]Fatchur Rahman, Op.Cit,hal.88.
[42]Ibid.
[43]Saifuddin Zuhri, Loc.Cit.
[44]Fatchur Rahman, Op.Cit,hal.90.
[45]Ibid.
[46]Umi Sumbulah, dkk,Op.Cit, hal.193.
[47]Fatchur Rahman, Op.Cit,hal.91.
[48]Ibid.
[49]Umi Sumbulah, dkk,Op.Cit, hal.194.
[50]Ibid.
[51]Ibid,hal.195.
[52]Ibid.
[53]Ibid, hal.195-196.
[54]T. M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Pokok-Pokok IlmuDirayah Hadis, Jilid I, (Cet. VI ; Jakarta :Bulan Bintang, 1986), hal. 103.
[55]Ibid.
[56]T. M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Pokok-PokokPegangan Imam Mazhab, Jilid II, Ibid, hal.21.
[57]Ibid, hal.54.
[58]Umi Sumbulah, dkk,Op.Cit, hal.196.
[59]Saifuddin Zuhri, Op.Cit, hal.61.
[60]Ibid.
[61]Ibid.
[62]Ibid.
[63]Fatchur Rahman, Op.Cit,hal.96.
[64]Ibid.
[65]Umi Sumbulah, dkk,Op.Cit, hal.197.
[66]Saifuddin Zuhri, Loc.Cit.
[67]Umi Sumbulah, dkk,Op.Cit, hal.198-199.
[68]Ibid, hal.199.
[69]Saifuddin Zuhri, Op.Cit, hal.61-62.
[70]Umi Sumbulah, dkk,Op.Cit,hal.199-200.
[71]Munzier Suparca dan Ucang Ranuwijaya, Ilmu Hadis, ( Jakarta :Rajawali Press,1993) hal.103.
[72]Umi Sumbulah, dkk,Op.Cit,hal.200-201.
[73]Drs. Moh Anwar .Bc.Hk. Ilmu Mushthalah Hadist. Hal 30-31
[74]Drs.H.Muhammad Ahmad. Ulumul Hadist. Hal 97
[75]Ibid. Hal 98
[76]Ibid. Hal 98
[77]Ibid. Hal 98
[78]Ibid. Hal 98
[79]Ibid. Hal 98
[80]Ibid. Hal 98

Tidak ada komentar:

Posting Komentar