Minggu, 01 April 2018

Hadis dilihat dari Aspek Kuantitas Periwayat (PIPS D Semester Genap 2017/2018)



HADIS DITINJAU DARI SEGI KUANTITASNYA

Saiful Rizal, Sulistia Ningrum Ayu W dan Zuhriyatul Insan
Mahasiswa Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang
 P.IPS D Angkatan 2016

Abstract
This article will explain a little about the understading and some examples of hadith mutawatir and hadith ahad and the quantity of the rawi, which if we look to the hadith ink we will discuss how the hadith proceeded or even become a benchmark in real life, hadited mutawatir have terms and the provision if his narration, which in which this hadith will speak of quantity or quantity of each level between the mutawatir hadith and the ahadith in the narration of the fabric. In the artikel will also explain a little about the benefits as well as the distincion between hadith mutawatir and hadits ahad.
Keywords : Hadith Mutawatir, Hadits Ahad, Benefits, Different

Abstrak
Artikel ini akan sedikit menjelaskan tentang pengertian dan beberapa contoh dari Hadits Mutawatir dan Hadits Ahad serta kuantitas dari para rawi, yang dimana jika kita lihat untuk hadits ini kita akan membahas bagaimana hadits tersebut berproses atau bahkan menjadi sebuah patokan dalam kehidupan nyata, hadits mutawatir memiliki syarat dan ketentuan dalam periwayatannya, yang dimana hadits ini akan berbicara tentang kuantitas atau kuantiti (jumlah) dari masing-masing tingkatan antara hadits mutawatir dan hadits ahad dalam periwayatan rawinya. Didalam artikel ini juga akan menjelaskan sedikit tentang manfaat serta distingsi (perbedaan) antara hadits mutawatir dan hadits ahad.
Kata kunci : Hadits Mutawatir, Hadits Ahad, Manfaat, Perbedaan.

Pendahuluan
Dalam hal ini, kami akan membahas sedikit tentang hal-hal yang mengenai sebuah hadits Mutawatir dan Hadits Ahad, Hadits mutawatir sendiri adalah hadits yang tingkatannya setelah hadits Shahih dan hadits Hasan, dalam hal ini hadits mutawatir sendiri juga memiliki syarat-syarat dan ketentuan dalam hal periwayatannya, dan sedangkan hadits Ahad lebih cenderung pada periwayatannya yang bersifat sendiri atau tidak banyak orang yang terlibat didalamnya, untuk lebih jelasnya kami akan menjelaskan tentang pengertian dan beberapa contoh dari hadits mutawatir dan hadits ahad, dalam lingkup kuantitas atau kuantiti dari masing-masing hadits tersebut.
Pengertian Hadits Mutawatir
Menurut bahasa, kata mutawatir adalah isim fail berasal dari masdar “al tawatur” semakna dengan al tatabu’u yang berarti berturut turut atau beriring iringan, seperti kata tawatara al matharu yang berarti hujan turun berturut turut.[1]
Menurut istilah, hadist mutawatir adalah hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah perawi pada semua thabaqat (generasi) yang menurut akal dan kebiasaan, tidak mungkin mereka berdusta.[2]
عن مثلهم الي انتها السند وكان مستندهم الحس. الحديث المتؤاتر هوالذي رواه جمع كثير يؤمن تؤاطؤهم علي الكذب
Hadis mutawatir adalah hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah rawi yang tidak mungkin bersepakat untuk berdusta dari sejumlah rawi yang semisal mereka dan seterusnya sampai akhir sanad; semuanya bersandar panca indra.[3]
Sedangkan Definisi yang lengkap menurut Imam Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib, adalah : Sebuah Hadits yang diriwayatkan oleh beberapa periwayat yang dimana menurut adat dan kebiasaannya mustahil mereka sepakat untuk berdusta (dalam hal hadits yang telah diriwayatkan) oleh sejumlah periwayat dengan jumlah periwayat yang sama antara sanal awal sampai dengan sanad yang terakhir dalam jumlah syarat itu tidak kurang pada setiap tingkatan yang ada dalam sanadnya.[4]
Syarat-Syarat Hadits Mutawatir
1.      Pemberian hadits yang disampaikan oleh para rawi tersebut harus berdasarkan tanggapan pana indera, baik indera penglihatan maupun pendengaran. Kalau pemberitaan hasil pemikiran semata-mata, atau hasil rangkuman analisis dan satu peristiwa ke peristiwa yang lain, maka bukan lah berita (hadist) mutawatir.[5]
2.      Jumlah periwayat harus mencapai kuantitas tertentu dan mereka sepakat untuk tidak berdusta. Menurut Ashhab Asy-Syafi’I lima orang, menurut Arh-Thayib empat orang, ada juga ulama lain menyatakan dua puluh orang. Menurut  Ibn Hajar al-Asqalani tidak diisyaratkan dalam jumlah bilangan tertentu. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa diantara ulama terdapat perbedaan dalam menetapkan jumlah periwayat, ada yang menggunakan bilangan dan ada yang tidak menetapkannya dalam jumlah bilangan. Menurut ulama yang tidak menetapkan dalam jumlah bilangan, terpenting dalam jumlah itu dapat diterima melaui akal sehat dan dapat memberikan keyakinan, sedangkan bagi ulama yang menetapkan dalam jumlah bilangan tertentu antara empat sampai tiga ratusan orang.[6]
3.      Harus ada keseimbangan  antara jumlah rawi pertama dengan jumlah rawi selanjutnya.[7]
Bila suatu hadis itu dikatakan Mutawatir, maka wajib  diyakini kebenarannya, mengamalkan apa yang ada dalam kandungan maknanya dan tidak boleh ada keraguan di dalamnya.[8]

Macam-macam Hadits Mutawatir
1.      Mutawatir Lafdzi
Hadis mutawatir lafdzi adalah hadis mutawatir yang lafadz dan maknanya sama. Hadis model ini sedikit sekali jumlahnya karna sangat sulit jumlah perawi yang begitu banyak dapat meriwayatkan ebuah hadis dalam satu keseragaman redaksi. Contoh hadis mutawatir lafdzi yang populer meski menurut beberapa informasi bahwa hadis tersebut sebenarnya tidak benar-benar sama redaksinya adalah hadis tentang ancaman Rasulullah terhadap orang yang melakukan kebohongan atas nama beliau, sebagai berikut:
حد ثنا عمرو بن عون اخبر نا خالد ح و حد ثنا مسدد حد ثنا خا لد المعني – عن بيا ن بن بثر قا ل مسددابو بثر عن وبر ة بن عبد الرحمن عن عا مر بن عبد الله بن الزبير عن ابيه قا ل قلت للزبير ما يمنعك ان تحدث عن رسؤل الله – صلي الله غليه ؤسلم – كما يحدث عنه اصحا به فقال اما والله لقد كان لى منه ؤجه ومنزلت ولكني سمعته يقولو " من كذب علي متعمد ا فليتبؤا مقعده منالنار                                                                                                                    

“Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda barang siapa yang berbohong atas nama saya maka bersiaplah untuk mengambil tempat di neraka”.

2.      Mutawatir Ma’nawi
Hadis mutawatir ma’nawi adalah hadis mutawatir yang yang maknanya sama akan tetapi redaksinya berbeda. Perbedaan lafadz itu bisa saja terjadi karna Rasulullah sendiri menyatakan sabdanya dengan bahasa (dialek)yang berbeda-beda, bisa di tingkat sahabat karna kemampuan mereka beragam di dalam menerima hadis dari Rasulullah, juga bisa pada perawi pada tingkat dan tabaqat setelah sahabat. Di antara contoh hadis mutawatir ma’nawi ini adalah hadis yang menyatakan tentang cara beribadah Rasulullah, terutama dalam persoalan mengangkat tangan dalam berdo’a, mengusap khuffain, isra miraj dan lain-lain.
Tentang mengangkat tangan dalam berdoa ditemukan sabda nabi sebagai berikut:

حد ثنا محمد بن بثار حد ثنا يحي ؤابن ابي عدي عن سعيد عن قتادةعن انس بن مالك قال كان النبي – صلي الله عليه ؤسلم – لا ىرفع ىدىه في شيء من دعا اه الا في الا ستسقاء، وانه يرفع حتي ير ي بيا ض ابطي                                    
“Anas bin Malik berkata bahwa Rasullulah SAW, tidak mengatakan kedua tangannya dalam setiap doa yang beliau panjatkan kecuali dalam sholat istisqa’ hingga tampak kedua ketiaknya”.[9]

3.      Hadis Mutawatir amali
Adapun yang dimaksud hadis mutawatir amali adalah
ما علم من الدين بالضرورة وتواتر بين المسلمين أنى النبي صلى الله عليه وسلم فعله او امربه او غير ذلك وهو الذي ينطق عليه تعريف الا جماع انطباقا صحيحا.
“sesuatu yanng diketahui dengan mudah bahwa dia termasuk urusan agama dan telah mutawatir antara umat islam, bahwa Nabi SAW mengerjakannya, menyuruhnya atau selain dari itu dan pengertian ini sesuai dengan ta’rif ijma’.”
     Macam hadis amali ini banyak jumlahnya, seperti hadis yang menerangkan waktu sholat, rakaat sholat, sholat jenazah, sholat id, tata cara sholat, pelaksanaan haji, kadar zakat harta dan lain lain.[10]
Faedah Hadits Mutawatir
Hadits Mutawatir sendiri memberi sebuah faedah ilmu dharuri, yaitu sebuah keharusan untuk menerima dan mengamalkannya sesuai dengan apa yang diberitakan dari hadits mutawatir tersebut, sehingga membawa pada sebuah keyakinan yang pasti (qath’i).[11]

Pengertian Hadits Ahad
Kata ahad atau wahid menurut bahasa ialah satu, maka dapat disimpulkan ahad atau khabar wahid itu berarti hanya satu orang yang menyampaikan.[12]
Hadits ahad adalah hadits yang riwayatnya secara bahasa berarti satu, maka ahad khabar ahad ataupun khabar wahid berarti sebuah berita yang disampaikan oleh satu orang saja.[13]Hadits ahad adalah hadits yang riwayatnya secara bahasa berarti satu, maka ahad khabar ahad ataupun khabar wahid berarti sebuah berita yang disampaikan oleh satu orang saja.[14]
Terdapat definisi etimologis dan terminologis tentang hadis ahad ini, baik secara bahasa maupun istilah. Pengertian hadis ahad meurut bahasa dan istilah adalah sebagai berikut:
خبر الاحاد للغة : الا حا د جمع احد بمعني الواحد هو ما يرو يه ثخص واحدا واصطلا حا : هو مالم يجمع ثروط المتواتر.
Secara bahasa kata “ahad” merupakan plural dari kata “ahad” yang bermakna satu, sedangkan khabar yang diriwayatkan oleh satu orang. Adapun pengertian hads ahad menurut istilah adalah hadis yag tidak memenuhi syarat-syarat hadis mutawatir. Senada dengan definisi al—Thahhan tersebut menurut al-Qaththan, hadis ahad adalah hadis yang tidak memenuhi syarat mutawatir. Dengan demikian berarti bahwa semua hadis yang jumlah perawinya tidak sampai pada tingkat mutawatir dinamakan hadis ahad. Hadis ahad ini dibagi menjadi tiga bagian, masyhur, ‘aziz, dan gharib.[15]
Macam-Macam Hadis Ahad
1.      Hadis Masyhur
لغة : هو اسم مفعول من "شهر " واصطلا حا : ما رواه ثلاثة فاكشر – فى كل – مالم يبلغ حدالتواتر.
Secara bahasa, kata “masyhur” adalah isim maf’ul dari kata “syahara”. Sedangkan secara istilah, hadis masyhur adalah hadis yang diriwayatkan oleh tiga orang atau lebih dan setiap generasi, akan tetapi tidak mencapai jumlah mutawatir. Jika diteliti lebih lanjut, sebenarnya hadis masyhur ini tidak semuanya berkualitas shahih, karna jumlah perawi yang demikian belum tentu menjamin keshahiannya kecuali disertai sifat-sifat yang menjadikan sanad ataupun matannya shahih. Dengan demikian, hadis masyhur dapat dikelompokkan  kepada yang berkualitas shahih, hasan dan dha’if.
Jenis hadits masyhur berdasarkan kualitasnya :
a)      Hadits masyhur shahih
Hadits masyhur yang telah memenuhi ketentuan hadits shahih, baik pada sanad maupun matan-nya, seperti pada hadits dari Ibnu Umar :
مَنۡ أَتَى الۡجُمۡعَةَ فَلۡيَغۡتَسِل
“Bagi siapa yang hendak melaksanakan sholat jum’at hendaklah ia mandi.”
b)      Hadits masyhur hasan
Hadits masyhur yang telah memenuhi ketentuan-ketentuan hadits hasan, baik dari segi sanad maupun matan-nya, sepeti sabda Rasulullah SAW :
طَلَبُ الۡعِلۡمِ فَرِيۡضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسۡلِمٍ وَ مُسۡلِمَةٍ
“Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim.”
c)      Hadits masyhur dhaif
Hadits masyhur yang tidak memenuhi syarat hadits shahih dan hasan, baik dari segi sanad maupun matan-nya, seperti hadits :
مَنۡ عَرَفَ نَفۡسَهُ فَقَدۡ عَرَفَ رَبَّهُ
“Barang siapa yang mengenal dirinya maka sungguh dia telah mengenal Tuhannya.”[16]

Jenis hadits masyhur berdasarkan lingkungan popularitas:
a)      Masyhur dikalangan para muhadditsin dal lainnya (golongan Ulama ahli ilmu dan orang umum)
b)      Masyhur dikalangan ahli-ahli ilmu tertentu, misalnya hanya masyhur dikalangan ahli hadits saja, atau ahli fiqhi saja, atau ahli tasawuf saja, atau ahli nahwu saja, atau lain sebagainya.
c)      Masyhur dikalangan orang-orang umum saja.[17]
2.      Hadits Aziz
Secara bahasa dan istilah, hadis aziz didefinisikan sebagai berikut:
لغة : هو صفة مثبهة من "عزيز" واصطلا حا: ان لا يقل رواته عن اثنين في جميع طبقات السند
Secara bahasa, kata ‘aziz adalah hadis yang diriwayatkan oleh tidak kurang dari dua perawi pada seluruh tingkatan / generasi. Hadis ‘aziz ini bisa dinilai shahih, hasan maupun dha’if, sesuai dengan keadaan sanad dan matannya, setelah dilakukan penelitian terhadapnya.
Contoh hadis aziz:
نَحْنُ الأخَروْنَ السَّا بِقُوْنَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ .
“Kami adalah orang-orang terakhir di dunia yang terdahulu pada hari kiamat“ ( H.R . Ahmad dan An-Nasa’i )[18]
3.      Hadits Gharib
Secara bahasa, kata “gharib” merupakan sifat musyabbahah yang bermakna menyendiri. Sedangkan menurut istilah, hadis gharib adalah hadis yang diriwayatkan seseorang perawi di manapun hal itu terjadi. Artinya bahwa hadis gharib ini tidak disyaratkan harus satu orang perawi pada setiap tingkatan atau generasi, dan tetapi cukup pada satu tingkatan sanad dengan satu orang perawi. Di antara contohnya adalah hadis yang diriwayatkan dari ‘Umar ibn Khattab dari Rasulullah SAW tentang pentingnya niat sebagai berikut:
انما الاعمل با لنية وانما لامرىء ما نوى فمن كانت هجرته الى الله ورسوله فهجرته الى الله ورسوله ومن كانة هجرته لدنيا يصيبها اوامراة يتزوجها فهجرته الى ما ها جراليه                                                                            

“Rasullulah SAW bersabda, sesungguhnya perbuatan itu tergantung (ditentukan) oleh niat, sesungguhnya nilai setiap perbuatan itu (sesuai dengan) apa yang diniatkan. Barang siapa yang hijrahnya karna (dimotivasi) dunia tau karna perempuan yang akan dinikahinya maka demikianlah (nilai) hijrahnya”.

Berdasarkan letak terjadinya ke-gharib-an, hadis model ini dapat dipilih menjadi tiga kelompok, yaitu:
1.      Gharib matan wa isnadan(gharib dari segi matan dan sanadnya) artinya bahwa hadis tersebut tidak diriwayatkan melainkan melalui sanad
2.      Gharib isnadan la matnan (gharib dari segi sanadnya dan tidak matannya). Artinya hadis tersebut merupakan hadis yang masyhur keatangannya melalui beberapa jalur dari seorang rawi atau seorang sahabat atau dari sejumlah perawi, lalu ada seorang rawi meriwayatkannya dari jalur lain yang tidak masyhur. Hadis gharib dalam bentuk ini dinamakan hadis gharib mutlak disebabkan diriwayatkan oleh seorang perawi saja, melalui jalur yang tidak masyhur.
3.      Gharib matnan la isnadan, yaitu hadis yang pada mula sanadnya tunggal, akan tetapi pada tahap selanjutnya masyhur. Sebenarnya hadis gharib dalam bentuk ini, jika dicermati, dapat dikelompokan pada kelompok pertama.[19]
Dilihat dari bentuk penyendirian perawi, hadits garib dapat digolongkan menjadi dua sebagai berikut [20]
1.      Gharib Muthlak (Fard)
Dalam periwayatannya tergantung pada personalianya. Penyendirian hadits gharib muthlak berpangkal di tabiin, sebab yang menjadi tujuan memperbincangkan penyendirian perawi dalam hadits gharib disini adalah untuk menetapkan periwayatannya diterima atau ditolak.
2.      Gharib Nisbi
Dalam penyendiriannya mengenai sifat atau keadaan tertentu dari seorang perawi, biasanya berkaitan dengan keadilan dan kedhabitan perawi atau mengenai tempat tinggal atau kota tertentu.
Contoh hadits gharib nisbi berkenaan dengan kota atau tempat tinggal tertentu adalah :
اَمَرَنَا رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم اَنۡ تَقۡرَأَ بِفَاتِحَةِ الۡكِتَابِ وَمَا تَيَسَّرَ مِنۡهُ
Yang berarti “Rasulullah SAW memerintahkan kamu agar membaca Al-Fatihah dan surat yang mudah dari Al-Qur’an.
Hadits ini diriwayatkan Abu Dawud dengan sanad Abu Al-Walid Ath-Thayalisi, Hamman, Qatadah, Abu Nadrah, dan Said. Semua rawi ini berasal dari Basrah dan tidak ada yang meriwayatkannya dari kota lain.

Distingsi Pengetahuan (ilmu) dalam Hadits Mutawatir dan Hadits Ahad
Perbedaan antara hadits mutawatir dengan hadits ahad adalah jika hadits mutawatir memiliki banyak periwayat yang dimana periwayat tersebut lebih dari satu, dua, tiga bahkan lebih maka hadits tersebut dinamakan hadits mutawatir, syarat-syarat hadits mutawatir ada 3, yaitu :
a)      Diriwayatkan oleh beberapa rowi besar yang sekurang-kurangnya ada lima rowi dan sudah diyakini bahwa para rowi tersebut tidak mungkin berdusta.[21]
b)      Adanya sebuah kesinambungan antara perawi terhadap thabaqat yang pertama dengan thabaqat selanjutnya.[22]
c)      Berdasarkan dari tanggapan pancaindera, yang dimana berita yang telah di sampaikan oleh periwayat harus di terima berdasarkan pancaindera, maksudnya adalah, harus dengan bukti yang sungguh dari hasil pendengaran ataupun dari hasil penglihatan sendiri.[23]
Jika salah satu dari syarat ini tidak terpenuhi maka hadits tersebut terbilang hadits ahad, letak perbedaannya hanyalah dalam syarat-syaratnya saja.

Penutup
Dari penjelasan artikel diatas dapat disimpulkan bahwa hadits mutawatir dan hadits Ahad adalah sebuah hadits yang kuat atau tangguh jika perowi dalam hadits tersebut memiliki sanad-sanad yang jelas dan tidak menyeleweng dari periwayat sebelumnya, hadits ini adalah kriteria dari hadits mutawatir, berbeda dengan hadits ahad, hadits ahad adalah sebuah hadits yang dimana hadits tersebut tidak memenuhi syarat-syarat dari hadits mutawatir.


































DAFTAR PUSTAKA


Idris. 2010. Studi Hadis. Jakarta : Kencana.
Mudasir. 1999. Ilmu Hadis. Bandung : CV Pustaka SetiaSuyadi.
Mujiyo. 1994. Ulum Hadis. Bandung: PT. Permata Rosdakarya.
Nuruddin. 2012. Ulumul Hadis. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Rahman, Fatchur. 1987. Ikhtishar Mushthalahul Hadits. Bandung : PT Alma’arif.
Sahrani, Sohari. 2010. Ulumul Hadits. Bogor: Ghalia Indonesia.
Smeer, Zaid B. 2014. Studi Hadis Kontemporer. Yogyakarta:Aura Pustaka.
Soetari, Endang. 2008.Ilmu Hadits Kajian Riwayah & Dirayah. Bandung:CV.Mimbar
Solahudi, M. 2008. Ulumul Hadis. Bandung: CV Pustaka Setia.
Sulaiman, Noor. 2008. Antologi Ilmu Hadits. Jakarta: Gaung Persada Press.
Sumbullah, Umi, dkk. 2014. Studi Al-Qur’an dan Hadis. Malang : UIN Press.
Suparto, Munzier. 2003. Ilmu Hadis.  Jakarta : Grafindo.
Suyadi, Agus. 2008.Ulumul Hadis.Bandung : CV Pustaka Setia.

Catatan:
1.      Similarity lumayan tinggi, 27%.
2.      Pendahuluan perlu diperbaiki, sebab masih terlalu minim.
3.      Penulisan yang baku: Alquran, hadis, sunah.
4.      Dijelaskan pelan-pelan agar teman-teman Anda paham.



















[1]Idris, Studi Hadis,( Jakarta : kencana, 2010), hlm. 130.
[2]Mahmud Thahhan, Intisari Ilmu Hadis,( Malang : UIN Press,2007), hlm 31.
[3] Mujiyo, Ulum Hadis, (Bandung ,PT. Permata Rosdakarya,1994), hlm. 196.
[4] Idri, Studi Hadis, (Jakarta : Kencana, 2010),  hlm. 131.
[5] Endang soetari, ilmu Hadits kajian Riwayah & Dirayah, (Bandung, CV. Mimbar Pustaka, 2008), hlm 144-155.
[6]Fatchur Rahman, Ikhtisar Mushthalahul Hadits, (Bandung, PT. Alma’arif,1987), hlm, 60.
[7] Agus Suyadi,Ulumul Hadis, (Bandung, CV Pustaka Setia, 2008), hlm 130.
[8] Sohari Sahrani, Ulumul Hadits, (Bogor, Ghalia Indonesia, 2010),hlm 85
[9] Umi Sumbulah, Akhmad Kholil dan Nasrullah, Studi AL-Qur’an Hadis, (Malang:UIN Maliki Press,2014), hlm. 189-191
[10]Munzier Suparto, Ilmu Hadis,( Jakarta : Grafindo, 2003), hlm. 106.
[11] Mudasir, Ilmu Hadis, (Bandung, CV PUSTAKA SETIA, 1999), hlm. 123
[12] Sohari Sahrini, Ulumul Hadits, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010), hlm. 91
[13] Mudasir, Ilmu Hadis, (Bandung, CV PUSTAKA SETIA, 1999), hlm.124
[14]Ibid., hlm.124
[15]M Solahudin, Ulumul Hadis, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2008), hlm. 136.
[16]Umi Sumbulah, Akhmad Kholil dan Nasrullah, Studi AL-Qur’an Hadis, (Malang:UIN Maliki Press, 2014), hlm. 191-199.

[17]Fatchur Rahman, Ikhtisar Mushthalahul Hadits, (Bandung, PT. Alma’arif, 1987), hlm. 69.
[18] M Solahudin, Ulumul Hadis, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2008), hlm. 136
[19] Umi Sumbulah, Akhmad Kholil dan Nasrullah, Studi AL-Qur’an Hadis, (Malang:UIN Maliki Press, 2014), hlm. 191.
[20]Ibid., hlm 199.
[21] Munzier Suparta, Ilmu Hadits, (Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 1993), hlm. 97
[22] Noor Sulaiman, Antologi Hadits, (Jakarta, Gaung Persada Press, 2008), hlm. 87
[23] Ibid. hlm. 88

Tidak ada komentar:

Posting Komentar