Minggu, 01 April 2018

Hukum Taklifi dan Hukum Wadh’i, Mahkum Fih dan Mahkum Alaih (PAI B Semester Genap 2017/2018)



Hukum Taklifi dan Hukum Wadh’i, Mahkum Fih dan Mahkum Alaih
Fhandy Aryan dan Dina Karulina Mukhlas
Mahasiswa PAI – B angkatan 2015
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang

Abstrack:
This paper discusses the law of taklifi and law wadh’i, law fih and law of alaih. Where in it is the law of a mukallaf must choose between he execute Allah’s Command or abandon the prohibition of Allah. Or establish a law with a specific cause.

Keywords : Hukum Taklifi dan Hukum Wadh’i, Mahkum Fih dan Mahkum Alaih.
Abstrak:
Tulisan ini membahas tentang Hukum Taklifi dan Hukum Wadh’i, Mahkum Fih dan Mahkum Alaih. Dimana didalamnya tentang hukum seorang mukallaf harus memilih antara ia melaksanakan perintah Allah atau meninggalkan larangan Allah. Atau menetapkan suatu hukum dengan sebab tertentu.
Kata Kunci: Hukum Taklifi dan Hukum Wadh’i, Mahkum Fih dan Mahkum Alaih.

  1. Pendahuluan
Ushul Fiqh merupakan suatu disiplin ilmu yang membahas tentang berbagai metode yang digunakan oleh para mujtahid ketika menggali suatu syariat dari sumber yang sudah ada dalam Al-Qur’an maupun As-Sunnah. Atas dasar nash syar’i inilah para mujatahid mengambil illat yang kemudian menjadi dasar penetapan hukum dalam mencapai kemaslahatan yang menjadi tujuan utama adanya syariat ini.
Dalam kajian ushul fiqh ini kemudian hukum terbagi menjad dua pokok-pokok hukum, yaitu hukum taklifi dan hukum wadh’i. Hukum taklifi yaitu hukum yang menunutut kepada mukallaf memilih antara berbuat atau tidak, sedangkan hukum wadh’i adalah hukum yang ditetapkan pada sesuatu yang menjadi sebab bagi sesuatu yang lain, maksudnya apakah hukum itu menjadi syarat atau menjadi penghalang.
Dalam hukum taklifi maupun wadh’i terdapat  istilah yang biasa disebut dengan  objek hukum/mahkum fih, karena didalam peristiwa itu ada hukum seperti hukum wajib, sunah, mubah, makruh, hingga haram. Atau lebih mudahnya yaitu perbuatan seorang mukallaf yang terkait dengan perintah syari’ itu disebut mahkum fih, sedangkan seseorang yang dikenai khitob (tuntutan) Alloh SWT  itulah yang disebut dengan mahkum alaih (mukallaf).
Dan perlu kita ketahui bahwa dalam kehidupan ini, kita sebagai umat muslim akan selalu berhubungan dan tidak pernah bisa terlepas dari hukum syar’i. Karena hukum syar’i akan terus melekat pada diri seorang muslim. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk mempelajarinya karena dengan mempelajarinya kita bisa tahu akan kewajiban- kewajiban kita sebagai umat muslim.
Pada makalah ini, akan kita bahas mengenai membahas mengenai dasar taklifi dan juga syarat-syarat taklifi hingga Mahkum Fih dan Mahkum ‘Alaihi mulai dari pengertian, syarat-syaratnya, macam-macamnya, pembagiannya.

  1. Hukum Taklifi
1.      Pengertian Taklifi
Hukum taklifi, adalah tuntutan Allah SWT yang berkaitan dengan perintah untuk berbuat atau perintah untuk meninggalkan suatu perbuatan.[1] Hukum taklifi ialah hukum yang menghendaki dilakukannya suatu perbuatan oleh mukallaf atau melarang mengerjakannya atau disuruh memilih antara melakukan atau meninggalkannya.[2] Hukum taklifi yakni perintah Allah SWT yang mendorong seseorang untuk memilih mengerjakannya atau melarangnya, atau memilih untuk mengerjakan atau meninggalkan. Menurut Jumhur Ulama’ Hukum Taklifi ada 5 yaitu :
a.       Ijab (الإيجاب)
Ijab tuntutan secara pasti dari syari’ untuk dilaksanakan dan tidak boleh (dilarang) ditinggalkan, karena orang yang meninggalkannya dikenai hukuman.[3] Ijab ini memiliki artian melaksanakan segala perintah dan meninggalkan segala larangan-NYA, jika kita menyalai salah satunya maka kita dikenai hukuman atau siksa baik didunia maupun diakhirat kelak, dan apabila kita menjalankan seluruh perintah maka pahala adalah ganjaran kita, dengan kata lain sikapnya memaksa. Ijab sendiri mempunyai makna yang sama dengan wajib namun ijab sendiri adalah penetapan hukumnya sedangkan wajib adalah hukum itu sendiri. Misalnya dalam surat Al-Baqarah ayat 110 :
وَأَقِيمُواْ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتُواْ ٱلزَّكَوٰةَۚ وَمَا تُقَدِّمُواْ لِأَنفُسِكُم مِّنۡ خَيۡرٖ تَجِدُوهُ عِندَ ٱللَّهِۗ إِنَّ ٱللَّهَ بِمَا تَعۡمَلُونَ بَصِيرٞ ١١٠
Artinya: “Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. Dan kebaikan apa saja yang kamu usahakan bagi dirimu, tentu kamu akan mendapat pahala nya pada sisi Allah. Sesungguhnya Allah Maha Melihat apa-apa yang kamu kerjakan.”
b.      Tahrim (التحريم)
Tahrim yaitu tuntutan untuk tidak mengerjakan suatu perbuatan dengan tuntutan yang pasti. [4] atau dengan kata lain tuntutan Allah sebagai Tuhan yakni kita sebagai hamba harus meninggalkan perbuatan karena sesuatu hal yang pasti. Tahrim sendiri memiliki makna dasar hukumnya dan haram produk dari hukum dari Tahrim. Semisal dalam surat Al-An’am ayat 151:
قُلۡ تَعَالَوۡاْ أَتۡلُ مَا حَرَّمَ رَبُّكُمۡ عَلَيۡكُمۡۖ أَلَّا تُشۡرِكُواْ بِهِۦ شَيۡ‍ٔٗاۖ وَبِٱلۡوَٰلِدَيۡنِ إِحۡسَٰنٗاۖ وَلَا تَقۡتُلُوٓاْ أَوۡلَٰدَكُم مِّنۡ إِمۡلَٰقٖ نَّحۡنُ نَرۡزُقُكُمۡ وَإِيَّاهُمۡۖ وَلَا تَقۡرَبُواْ ٱلۡفَوَٰحِشَ مَا ظَهَرَ مِنۡهَا وَمَا بَطَنَۖ وَلَا تَقۡتُلُواْ ٱلنَّفۡسَ ٱلَّتِي حَرَّمَ ٱللَّهُ إِلَّا بِٱلۡحَقِّۚ ذَٰلِكُمۡ وَصَّىٰكُم بِهِۦ لَعَلَّكُمۡ تَعۡقِلُونَ ١٥١
Artinya: “Katakanlah: "Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu yaitu: janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah terhadap kedua orang ibu bapa, dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan, Kami akan memberi rezeki kepadamu dan kepada mereka, dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang nampak di antaranya maupun yang tersembunyi, dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar". Demikian itu yang diperintahkan kepadamu supaya kamu memahami(nya).”
c.       Nadb (الندب)
Yaitu tuntutan untuk melaksanakan suatu perbuatan, tetapi tuntutan itu tidak secara pasti. Seseorang tidak dilarang untuk meninggalkannya, karena orang yang meninggalkannnya tidak dikenai hukuman.[5] Dengan kata lain Nadb ini perkara yang dianjurkan namun tidak memaksa karena jika dikerjakan akan mendapat pehala dan apabila ditinggalkan tidak dikenai hukuman. Seperti contoh pada ayat Allah pada surat Al-Baqarah ayat 282:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِذَا تَدَايَنتُم بِدَيۡنٍ إِلَىٰٓ أَجَلٖ مُّسَمّٗى فَٱكۡتُبُوهُۚ ...
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu´amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya...”.
Dimana jika seseorang bermuamalah secara tidak tunai (Hutang) untuk waktu yang telah disepakati mengembalikan barang/uang itu hendaknya ia menulisnya sebagai pengingat kalo ia sedang berhutang.


d.      Karahah (الكراهة)
Yaitu tuntutan meninggalkan suatu perbuatan secara tidak pasti, ketidak pastian itu juga diambil dari indikator yang mengurangi tuntutan, sehingga beralih dari pengertian haram.[6]  Seseorang yang mengerjakan perbuatan yang dituntut untuk meninggalkan itu, tidak dikenai hukuman. Akibat dari tuntutan seperti ini disebut juga karahah dan perbuatan yang dituntut ditinggalkan itu disebut dengan makruh.[7] Dengan kata lain karahah ini seseorang dituntut untuk meninggalkan namun tidak secara paksa, namun anjuran yang lebih baik.
أبغض الحلال عند اللَّه الطلاق
Artinya: “perbuatan halal yang sangat dibenci oleh Allah adalah talak.” (H.R. Abu Daud, Ibn Majah, Al-Baihaqi dan Hakim).
Disini sudah sangat jelas halal bagi manusia untuk melakukan talak, akan tetapi Allah SWT sangat membencinya, meskipun sudah dihalalkan tetapi talak sangat dibenci oleh Allah.
e.       Ibahah (الإباحة)
Yaitu khitab Allah yang mengandung pilihan untuk berbuat atau tidak berbuat. Akibat dari dari Khitab Allah ini disebut juga dengan ibahah sedangkan secara perbuatan disebut mubah.[8] Secara garis besar ibahah adalah tuntunannya sedangkan mubah adalah perilakunya. Contoh dalam surat Al-jumu’ah ayat 10:
فَإِذَا قُضِيَتِ ٱلصَّلَوٰةُ فَٱنتَشِرُواْ فِي ٱلۡأَرۡضِ وَٱبۡتَغُواْ مِن فَضۡلِ ٱللَّهِ وَٱذۡكُرُواْ ٱللَّهَ كَثِيرٗا لَّعَلَّكُمۡ تُفۡلِحُونَ ١٠
Artinya: “Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.”
Dalam penjelasan ayat diatas tidak ada tuntutan maupun larangan jadi bila dikerjakan tidak apa-apa dan jika ditinggalkan juga tidak mengapa.

  1. Hukum Wad’i
1.      Pengertian Wadh’i
Hukum wadhi ialah hukaum yang menghendaki adanya sesuatu itu sebagai sebab bagi sesuatu yang lain atau sebagai syarat atau sebagai penghalang atau sebagai sesuatu yang memperkenankan keringanan (rukhsah) atau sebagai pengganti hukum ketetapan pertama (azimah).[9] Dengan kata lain Wadh’i ini sebagai kejelasan dari penetapan hukum taklifi yang masih sebagai dasar dan dijelaskan didalam hukum Wadh’i.
Dalam hal ini hukum wadh’i dibagi menjadi empat bagian, yakni :
a.       Sebab
Terkadang syari’ menetapkan sesuatu sebagai tanda (alamat) atas adanya tuntutan  pada tanggungan mukallaf.[10] Sebab yakni sesuatu hukum yang dijadikan dasar pangkal bagi adanya sabab (hukum). Dalam hal ini dengan adanya sebab terwujudlah sabab (hukum) dan dengan tidak adanya sebab, tidak terwujud suatu sabab (hukum). sebabnya harus jelas lagi pada hal tertentu dan nantinya yang dijadikan oleh Syari' sebagai 'illat atas suatu dasar hukum. Keberadaan sebab ini juga menjadi petunjuk bagi keberadaan hukum syara’. Contoh dilaksanakannya shalat pada setelah tergelincirnya matahari.
b.      Syarat
Syarat ialah ada dan tidak adanya hukum tergantung kepada ada dan tidak adanya sesuatu itu. Artinya adanya sesuatu itu dapat menimbulkan pengaruh (atsar) kepada ada dan tidak adanya hukum.[11] Syarat yakni sesuatu hal yang tergantung pada adanya masyrut dan dengan tidak adanya, maka masyrutnya gugur. Dengan kata lain bahwa syarat  yang itu tidak masuk pada hakikat masyrut.
Dan keberadaan syarat ini menjadi “tergantung” pada hukum syara’ tapi bukan (masuk)hukum syara’. Contoh dalam mengerjakan shalat kita harus berwudlu, karena jika shalat tanpa wudlu/bersuci maka, shalatnya tidak sah. Namun wudlu bukan bagian dari shalat itu sendiri. Namun jika shalat tanpa wudlu/bersuci itu tidak sah shalatnya. Mwlakukan wudlu tidak harus dengan selalu dikaitkan dengan shalat.
c.       Mani’ (مانع)
Mani’ yaitu apa yang tidak berpisah dari adanya dan tidak adanya hukum atau batal sebab menetapkan adanya sebab syar’i, dan semua syarat-syaratnya itu mencukupi, tapi terdapat mani’ (larangan)yang melarang tertib hukumatanya.[12] Dengan katalain keeradaanya tidak ada hukum. Contohnya, shalat adalah wajib dikerjakan oleh setiap muslim namun seorang muslimah haid dilarang melaksanakan shalat maka haid ini (penghalang). Meski shalat wajib jika seorang muslimah itu haid (penghalang) itu tidak wajib untuk melaksanakan shalat.

d.      Rukhsah dan Azimah
Azimah adalah hukum-hukum yang disyariatkan oleh Allah kepada seluruh hamba-NYA sejak semula. Artinya, belum ada hukum sebelum itu disyariatkan Allah, sehingga sejak disyariatkannya seluruh mukallah wajib mengikutinya. Dengan kata lain azimah ini hukum asal yang pelaksaannya harus sesuai hukum itu sendiri. Seperti ketentuan bilangan roka’at shalat ashar yakni 4 rokaat, itu disebut Azimah. Apabila ada dalil lain yang menunjukkan bahwa orang-orang tertentu boleh mengerjakan shalat ashar dengan dua rokaat, seperti seorang Musaffir maka hukumnya ini adalah Rukhsah. Maka para ahli fiqh mendefinisikan Rukhsah dengan “hukum yang ditetapkan berbeda dengan dalil yang ada karena uzur”.[13] Jadi lebih rincinya rukhsah ini suatu hukum yang di laksanakan tidak sesuai hukum awal karena adanya dalil-dalil yang mengisyaratkan tentang uzur.
  1. Perbedaan Taklifi dan Wadh’i
1.      Hukum Taklifi ini penetepan hukumnya dan Hukum Wadh’i hukum itu sendiri.
2.      Hukum Wadh’i adalah penjabaran daru hukum Taklifi.
3.      Jika hukum taklifi menuntut untuk dikerjakan atau ditinggalkan, maka hukum wadh’i ini lebih dari penyebab kenapa hukum taklifi ini dikerjakan atau ditinggalkan.

E.     MAHKUM FIH
1.      Pengertian Mahkum Fih
Para ulama ushul fiqih menyatakan bahwa Mahkum Fih adalah objek hukum, yaitu perbuatan mukallaf yang berhubungan dengan hukum syar'i, yang bersifat tuntutan untuk mengerjakan, tuntutan untuk meninggalkan suatu pekerjaan, maupun memilih suatu pekerjaan, dan yang bersifat syarat, sebab, halangan, azimah, rukshah, sah, serta batal.[14]
Misalnya, dalam Al-Qur’an Allah berfirman mengenai sesuatu yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf, yaitu:
يأيهاالذينءامنواْأوفواْبالعقود
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu ....” (QS. Al-Maidah : 1)
Firman Alloh SWT diatas berkaitan dengan perbuatan seorang mukallaf, yaitu memenuhi janji. Kemudian memenuhi janji tersebut oleh Alloh dijadikan sebagai sesuatu yang wajib (dipenuhi). Selain itu, Alloh juga berfirman dalam Qur’an Surah Al-An’am yang berbunyi :
اْنَّفْسَ تَقْتُلُوا وَلاَ
Artinya: “Dan janganlah kamu membunuh jiwa …..”
Pengharaman yang diambil dari ayat Qur’an diatas berhubungan dengan salah satu perbuatan mukallaf, yaitu membunuh jiwa, maka kemudian Alloh menjadikan membunuh manusia sebagai sesuatu yang diharamkan.
Sedangkan contoh hukum yang menghendaki mukallaf memilih antar berbuat dan meninggalkan seperti firman Allah dalam surat al-Jumu’ah ayat 10:
 “Apabila telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung” (QS. al- Jumu’ah: 10).[15]
Dari uraian-uraian diatas, dapat kita pahami bahwa semua perbuatan manusia itu ada hubungannya dengan hukum syara’. Jadi perbuatan itulah yang disebut mahkum fih dalam hukum syara’.
a.       Syarat-syarat Mahkum Fih
Syarat Sahnya tuntunan dengan perbuatan disyaratkan dengan adanya 3 syarat[16] :
1.      Perbuatan itu benar-benar diketahui oleh mukallaf, sehingga dia dapat mengerjakan tuntutan itu sesuai yang diperintahkan. Misalnya,  firman Allah SWT :
  الصَّلوةَ اَقِيْمُوْا
Artinya : "Dirikanlah shalat"
Dalam nash Al-Qur'an belum dijelaskan rukun-rukun shalat, syarat-syaratnya, dan cara-cara menunaikannya. Sebab nash Al-Qur'an itu sifatnya masih global. Maka Rasulullah menjelaskan nash Al-Qur'an tersebut :
صلوكمارأيتموني اصلى
Artinya : "Shalatlah kamu sebagaimana kamu melihat aku sedang menunauikan shalat".
Jadi tidak sah menggunakan khitob yang global sebab hal tersebut tidak diketahui maksudnya. Kecuali setelah ada penjelasan mengenai hal itu.[17]
2.      Tuntutan itu keluar dari orang yang punya kuasa menuntut atau dari orang yang wajib diikuti hukum-hukumnya oleh mukalla. Misalnya : hakim itu mengeluarkan undang-undan atas dasar keputusan majelis kabinet dan dengan persetujuan parlemen supaya orang-orang mukallaf mengetahui bahwa undang-undang itu keluar dari orang yang punya kekuasaan membuat hukum sehingga mereka akan berupaya melaksanakannya.
3.      Perbuatan yang diperintahkan atau dilarang haruslah berupa perbuatan yang dalam batas kemampuan manusia untuk melakukan atau meninggalkannya.

b.      Macam-macam Mahkum Fih
Macam-macam Mahkum Fih atau erbuatan yang dihukumkan (Mahkum Fih) itu adalah:
1.      Wajib
Wajib merupakan suatu perbuatan yang apabila dikerjakan akan mendapat pahala dan apabila ditinggalkan akan mendapat dosa.
Contoh Wajib :
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ أَوۡفُواْ بِٱلۡعُقُودِۚ أُحِلَّتۡ لَكُم بَهِيمَةُ ٱلۡأَنۡعَٰمِ...
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu ....” (QS. Al-Maidah : 1)
Ijab yang diperoleh dari ayat tersebut berhubungan dengan perbuatan mukallaf, yaitu memenuhi aqad itu hukumnya wajib.[18]
2.      Mandub
Mandub atau sunnah merupakan suatu perkara yang apabila dikerjakan mendapat pahala dan apabila ditinggalkan tidak mendapat siksa atau dosa.[19]
Contoh Mandub:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِذَا تَدَايَنتُم بِدَيۡنٍ إِلَىٰٓ أَجَلٖ مُّسَمّٗى فَٱكۡتُبُوهُۚ ...
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. (QS. Al-Baqarah : 282).
Nadab yang diperoleh dari ayat tersebut berhubungan dengan perbuatan mukallaf, yaitu menulis hutang itu hukumnya mandub (sunat).[20]
3.   Haram
Haram merupakan suatu larangan keras untuk tidak mengerjakannya, jika dikerjakan kita akan memdapat dosa dan jika ditinggalkan akan mendapat pahala.[21]
Contoh Haram:
۞قُلۡ تَعَالَوۡاْ أَتۡلُ مَا حَرَّمَ رَبُّكُمۡ عَلَيۡكُمۡۖ أَلَّا تُشۡرِكُواْ بِهِۦ شَيۡ‍ٔٗاۖ وَبِٱلۡوَٰلِدَيۡنِ إِحۡسَٰنٗاۖ وَلَا تَقۡتُلُوٓاْ أَوۡلَٰدَكُم مِّنۡ إِمۡلَٰقٖ نَّحۡنُ نَرۡزُقُكُمۡ وَإِيَّاهُمۡۖ وَلَا تَقۡرَبُواْ ٱلۡفَوَٰحِشَ مَا ظَهَرَ مِنۡهَا وَمَا بَطَنَۖ وَلَا تَقۡتُلُواْ ٱلنَّفۡسَ ٱلَّتِي حَرَّمَ ٱللَّهُ إِلَّا بِٱلۡحَقِّۚ ذَٰلِكُمۡ وَصَّىٰكُم بِهِۦ لَعَلَّكُمۡ تَعۡقِلُونَ ١٥١
Artinya: “Katakanlah: "Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu yaitu: janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah terhadap kedua orang ibu bapa, dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan, Kami akan memberi rezeki kepadamu dan kepada mereka, dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang nampak di antaranya maupun yang tersembunyi, dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar". Demikian itu yang diperintahkan kepadamu supaya kamu memahami(nya).”
Tahrim yang didapat dari ayat tersebut berhubungan dengan perbuatan mukallaf, yaitu membunuh jiwa seseorang itu hukumnya haram.[22]
4.   Makruh
Makruh merupakan suatu larangan yang tidak keras, jadi saat kita melanggar tidak akan berdosa, tetapi kalau tidak dikerjakan justru kita mendapat pahala.[23]
Contoh Makruh:
وَلَا تَيَمَّمُواْ ٱلۡخَبِيثَ مِنۡهُ تُنفِقُونَ وَلَسۡتُم بِ‍َٔاخِذِيهِ إِلَّآ أَن تُغۡمِضُواْ فِيهِۚ ...
Artinya: Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya… (QS. Al-Baqarah : 267).
Karahah yang didapat dari ayat diatas berhubungan dengan perbuatan mukallaf, yaitu menafkahkan harta yang buruk itu hukumnya makruh.[24]

5.   Mubah
Mubah merupakan sesuatu yang boleh atau tidak untuk dikerjakan. Kalau dikerjakan tidak akan mendapat pahala dan tidak akan mendapat dosa. begitupun ketika ditinggalkan, tidak akan mendapat apa-apa.[25]
Contoh Mubah:
فَمَن كَانَ مِنكُم مَّرِيضًا أَوۡ عَلَىٰ سَفَرٖ فَعِدَّةٞ مِّنۡ أَيَّامٍ أُخَرَۚ وَعَلَى ٱلَّذِينَ يُطِيقُونَهُۥ فِدۡيَةٞ طَعَامُ مِسۡكِينٖۖ ...
Artinya : Maka Barangsiapa diantara kamu ada yang sakit saat dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain... (QS. Al-Baqarah : 184).
Ibahah yang diperoleh dari ayat ini berhubungan dengan perbuatan mukallaf, yaitu berbuka puasa dalam keadaan sakit atau dalam perjalanan, yang hukumnya mubah.[26]
2.      MAHKUM ALAIH
a.       Pengertian Mahkum Alaih
Subjek hukum atau pelaku hukum ialah orang-orang yang dituntut oleh Allah untuk berbuat, dan segala tingkah lakunya telah diperhitungkan berdasarkan tuntutan Allah itu. Dalam istilah Ushul Fiqh, subjek hukum itu disebut Mukkalaf atau orang-orang yang dibebani hukum, atau mahkum’ alaih yaitu orang yang kepadanya diperlakukan hukum.[27]
Mahkum ‘alaihi merupakan orang-orang mukallaf, artinya orang-orang muslim yang sudah dewasa dan berakal, dengan syarat ia mengerti apa yang dijadikan beban baginya.[28]
محكوم عليه هو شخص الذى تعلق خطاب و يسمى با لمكلف
Adalah seseorang yang perbuatannya dikenai titah Allah, yaitu mukallaf atau manusia yang menjadi obyek tuntutan hukum syara’.[29]
Orang gila, orang yang sedang tidur nyenyak, dan anak-anak yang belum dewasa dan orang yang terlupa tidak dikenai taklif (tuntutan), sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW:
رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلاَ ثٍ عَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ وَعَنِ الصَّبِىِّ حَتَّى يَحْتَلِمَ وَعَنِ الْمَجْنُونِ حَتَّى يُفِيْقُ. (روه ابوداود والنسائ)
“Pena itu telah diangkat (tidak dipergunakan mencatat) amal perbuatan tiga orang: (1) orang yang tidur hingga ia bangun, (2) anak-anak hingga ia dewasa, dan (3) orang gila hingga sembuh kembali”.[30]
Demikianlah orang yang terlupa disamakan dengan orang yang tidur dan yang tidak mungkin mematuhi apa yang ditaklifkan.[31]
b.   Dasar Taklif
Seorang manusia belum bisa dikenakan taklif atau (pembebanan hukum) sebelum dia mampu untuk melaksanakan hukum tersebut. Maka darii itu, para ulama’ ushul fiqh mengemukakan bahwa dasar dari pembebanan hukum ialah akal dan pemahama. Maksudnya adalah, seseorang baru bisa dibebani hukum jika ia berakal dan mampu memahami secara baik taklif yang ditujukan kepadanya. Dengan demikian, orang yang belum berakal atau tidak berakal, seperti orang gila dan anak kecil tidak bisa dikenakan taklif. Karena mereka di anggap belum bisa memahami taklif dari suatu syariat. Termasuk dalam hal ini ialah orang-orang yang dalam keadaan tidur, mabuk maupun lupa tidak dikenai taklif karena dalam keadaan tidak sadar (hilang akalnya). Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah SAW :
رُفِعَ الْقَلَمَ عَنْ ثَلاَثٍ : عَنِ الناَئِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِضَ وَعَنِ الصَّبِيِّ حَتَّى يَحْتَلِمَ وَعَنِ المَجْنُوْنِ حَتَّى يُفِيْقَ
Di angkatkan pembebanan hukum dari 3 (jenis orang) : orang tidur sampai ia bangun, anak kecil sampai ia baligh, dan orang gila sampai ia sembuh. (H.R. Al-Bukhari, Abu Daud, al-tirmidzi, al-Nasa’I, ibn majah, dan al-daraquthni dari aisyah dan ali bin abi thalib). [32]
c.    Syarat-syarat Mukallaf
Para ulama’ ushul fiqh sepakat menyatakan bahwa perbuatan seseorang baru bisa dibebankan taklif yaitu apabila orang tersebut telah memenuhi dua syarat, yaitu:
1.  Orang tersebut telah mampu memahami khithab syar’i (tuntunan syara’) yang terkandung dalam al-Qur’an dan sunnah, baik secara langsung maupun tidak langsung (melalui orang lain); karena seseorang yang melakukan suatu pekerjaan (disuruh) atau dilarang, tergantung pada pemahamanya terhadap suruhan dan larangan yang menjadi khithab syar’i. Dengan demikian, orang yang tidak punya kemampuan untuk memahami khitab syar’i tidak mungkin bisa untuk melaksanakan suatu taklif.
2.   Seseorang tersebut harus cakap bertindak hukum, yang dalam ushul fiqh disebut dengan ahliyah. Artinya, jika seseorang belum atau tidak cakap bertindak melaksanakan hukum, maka seluruh perbuatan yang ia lakukan tidak bisa di pertanggungjawabkan. Maka dari itu, anak kecil yang belum baligh dan belum cakap bertindak hukum ia tidak bisa di kenakan tuntutan syara’. Orang gila juga tidak bisa dibebani hukum, karena kecakapan bertindak hukumnya hilang.[33]

d.   Ahliyah
1. Pengertian Ahliyah
Dari segi etimologi ahliyah yaitu “kecakapan dalam menangani suatu urusan”. Maksudnya, seseorang di katakan ahli untuk menduduki suatu jabatan/posisi; berarti ia mempunyai kemampuan pribadi untuk itu.


Secara terminologi, para ahli ushul fiqh mendefinisikan ahliyah sebagai berikut :
صِفَةٌ يُقَدِّرُهاَ الشَّارِعُ فِى الشَّحْصِ تَجْعَلُهُ مَحَلاًّ صاَلِحاً لِخِطاَبٍ تَشْرِيْعِيٍّ
Suatu sifat yang dimiliki seseorang, yang di kemudian jadikan ukuran oleh syari’ untuk menentukan seseorang telah cakap dikenai tuntutan syara’.
Maksudnya, Ahliyah adalah sifat yang menunjukkan seseorang itu telah sempurna baik dari segi jasmani maupun akalnya, sehingga seluruh tindakanya dapat dinilai oleh syara’. Jika seseorang telah mempunyai sifat ini, maka dia telah dianggap sah melakukan suatu tindakan hukum, seperti transaksi yang bersifat pemindahan hak milik kepada orang lain. Maka dari itu, jual belinya sah, hibahnya sah, dan cakap untuk menerima tanggung jawab, seperti nikah, nafkah, dan menjadi saksi. Sifat kecakapan hukum ini datang kepada seseorang secara evolusi melalui tahapan-tahapan tertentu, sesuai dengan perkembangan jasmani dan akalnya, tidak sekaligus secara langsung.
2. Pembagian Ahliyah
Para ulama’ membagi ahliyah menjadi dua bagian, yaitu ahliyah al-wujud dan ahliyah al-ada’.
a.       Ahliyah ada’
Merupakan sifat kecakapan bertindak hukum seseorang telah di anggap sempurna untuk mempertanggung jawabkan semua perbuatanya, baik yang bersifat positif maupun negatif. Jika ia mengerjakan perbuatan yang di tuntut syara’ maka ia di anggap telah memenuhi kewajiban, dan untuk itu ia mendapat pahala. Dan jika ia melanggar tuntutan syara’ maka ia berdosa.
2)  Ahliyah al-wujud
Merupakan sifat kecakapan seseorang untuk menerima hak-hak yang telah menjadi haknya, tetapi belum cakap untuk dibebani seluruh kewajiban. Contohnya, jika seseorang menghibahkan hartanya pada orang yang memiliki ahliyah al-wujud, maka ia dianggap telah cakap menerima hibah tersebut. Dan jika harta bendanya di rusak orang lain, maka ia juga dianggap cakap untuk menerima ganti ruginya. Demikian juga sama halnya dalam masalah harta warisan, ia dianggap cakap untuk menerima harta waris dari keluarganya yang meninggal. Para ulama’ ushul fiqh juga membagi ahliyah al-wujud kepada dua bagian yaitu:
a.    Ahliyah al-wujud an-naqishah
Yaitu ketika seorang itu masih berada dalam kandungan ibunya (janin). Maka janin tersebut di anggap memiliki ahliyah al-wujud yang belum sempurna, karena hak-hak yang harusnya ia terima belum bisa menjadi miliknya, sebelum ia lahir ke dunia dengan selamat, walaupun hanya untuk sesaat. Jika ia telah lahir, maka hak-hak yang seharusnya ia terima, akan menjadi miliknya.
b.      Ahliyah al-wujud al-kamilah
Yaitu kecakapan menerima hak bagi seorang anak yang telah lahir ke dunia hingga ia dinyatakan baligh dan berakal, walaupun akalnya masih kurang, seperti orang gila.
Dalam status ahliyah al-wujud (sempurna atau tidak), seseorang tidak di bebani tuntutan syara’, baik yang bersifat ibadah seperti sholat dan puasa(yang bersifat rohani), maupun tindakan-tindakan hukum duniawi seperti transaksi yang bersifat pemindahan hak milik.[34]

e.   Pengertian Awaridl Ahliyah
Yang dimaksud awaridl ahliyah yaitu gangguan atau halangan yang menimpa ahliyah (manusia) baik gangguan tersebut menimpa ahliyahul wujud (orang yang berhak dan berkewajiban) maupun yang menimpa kepada ahliyatul ada’ (kepantasan seseorang untuk diperhitungkan oleh syara’).
Awaridl ahliyah dibagi menjadi dua bagian:
1)   Awaridl al-samawiyah, maksudnya ialah halangan tersebut datangnya dari Allah. Bukan disebabkan perbuatan manusia sendiri, seperti gila, dungu, perbudakan, mardh maut (sakit yang berkelanjutan hingga kematian) dan lupa.
2)   Awaridl al-mukhtasabah, maksudnya ialah halangan tersebut disebabkan oleh perbuatan manusia, seperti terpaksa, tersalah, berada di bawah pengampunan dan bodoh.[35]


DAFTAR PUSTAKA
Umam, Chaerul dkk. 2000. Ushul Fiqih I. CV. Pusaka Setia : Bandung.
Khalaf, Abdul Wahhab. 1997. Ilmu Ushul Fiqh Kaidah Hukum Islam Cet. XI. Jakarta: Pustaka Amani.
Ahmad, Zainal Abidin. 1975. Ushul Fiqih, cet. I, Jakarta: Bulan Bintang.
Jumantoro, Totok, dkk. 2005. Kamus Ilmu Ushul Fiqih. Jakarta : Amzah, 2005.
Rifa’i, Moh. 1995. Ushul Fiqih, cet. I. Bandung : PT Alma’arif.
Syarifuddin, Amir. 2011. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana.
Zuhaili, Wahbah. 1986. Ushul Al-Fiqh al-Islami, Juz:1. Damaskus : Dar al-Fikr.
Haroen, Nasroen. 1999. Ushul Fiqih 1. Bandung : logos.
Karim, A. Syafi’i. 1997. Fiqih-Ushul Fiqih. Bandung : CV. Pustaka Setia.
Biek, Syaikh Muhammad Al-Khudari. 2007. Ushul Fikih. Jakarta : Pustaka Amani
Haroen, Nasrun. 1996. Ushul Fiqh. Ciputat : PT. LOGOS Wacana Ilmu
Khallaf, Syekh Abdul Wahab. 2005. Ilmu Ushul Fikih. Jakarta : PT. Rineka Cipta
Shidik, Saifudin. 2009. Ushul Fiqh. Jakarta Timur : Intimedia

Catatan:
  1. Similarity sangat tinggi, 37%.
  2. Abstraknya tidak semestinya, tidak representatif.
  3. Penulisan footnote yang sudah disebutkan sebelumnya ada tata caranya sendiri.
  4. Penulisan kata “kita” dalam karya tulis ilmiah hendaknya dihilangkan.
  5. Dijelaskan pelan-pelan, agar teman-teman Anda paham.


[1] Nasroen Harun, Ushul Fiqh (Ciputat : LOGOS Wacana Ilmu, 1996), hlm.210
[2] Saifudin Shidik, Ushul Fiqh (Jakarta Timur: Intimedia,2009), hlm.144
[3] Nasroen Harun, Ushul Fiqh (Ciputat : LOGOS Wacana Ilmu, 1996), hlm.211
[4]  Nasroen Harun, Ushul Fiqh (Ciputat : LOGOS Wacana Ilmu, 1996), hlm.213
[5] Ibid hlm.211
[6] Syaikh Muhammad Al-Khudhari Biek, Ushul Fikih (Jakarta : Pustaka Amani,2007), hlm.62
[7] Nasroen Harun, Ushul Fiqh (Ciputat : LOGOS Wacana Ilmu, 1996), hlm.212
[8] Ibid, hlm 212
[9] Saifudin Shidik, Ushul Fiqh (Jakarta Timur: Intimedia,2009), hlm.155
[10] Syaikh Muhammad Al-Khudhari Biek, Ushul Fikih (Jakarta : Pustaka Amani,2007), hlm.109
[11] Saifudin Shidik, Ushul Fiqh (Jakarta Timur: Intimedia,2009), hlm.157
[12] Syekh Abdul Wahab Khallaf, Ilmu ‘Usul Fikih (Jakarta : Rineka Cipta, 2005), hlm.145
[13] Nasroen Harun, Ushul Fiqh (Ciputat : LOGOS Wacana Ilmu, 1996), hlm.221
[14] Chaerul Umam, dkk, Ushul Fiqih I, (CV. Pusaka Setia : Bandung, 2000), hal. 329
[15] Abdul Wahhab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh Kaidah Hukum Islam, (Jakarta: Pustaka Amani, 1977), hal. 138-139
[16] Zainal Abidin Ahmad, Ushul Fiqih, cet. I, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), hal. 40-41
[17] Totok Jumantoro,dkk, Kamus Ilmu Ushul Fiqih, (Jakarta : Amzah, 2005), hal. 186
[18] Zainal Abidin Ahmad, Ushul Fiqih, Ibid., hal 38
[19] Moh. Rifa’i, Ushul Fiqih, cet. I, (Bandung : PT Alma’arif, 1995), hal. 20
[20] Zainal Abidin Ahmad, Ushul Fiqih, Ibid., hal 38
[21] Moh. Rifa’i, Ushul Fiqih, Ibid., hal. 20
[22]  Zainal Abidin Ahmad, Ushul Fiqih, Ibid., hal 38-39
[23] Moh. Rifa’i, Ushul Fiqih, Ibid., hal. 20
[24] Zainal Abidin Ahmad, Ushul Fiqih, Ibid., hal 39
[25] Moh. Rifa’i, Ushul Fiqih, Ibid., hal. 20
[26] Zainal Abidin Ahmad, Ushul Fiqih..., h. 39.
[27] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2011), hal. 424
[28] Moh. Rifa’i, Ushul Fiqih, Ibid., hal. 16
[29] Wahbah Zuhaili, Ushul Al-Fiqh al-Islami, Juz:1, (Damaskus : Dar al-Fikr, 1986), hal. 158
[30] Moh. Rifa’i, Ushul Fiqih, Ibid., hal. 16-17
[31] Moh. Rifa’i, Ushul Fiqih, Ibid., hal. 17
[32] Nasroen Haroen, Ushul Fiqih 1, (Bandung : logos, 1999), hal. 305
[33] A. Syafi’i Karim, Fiqih-Ushul Fiqih, (Bandung : CV. Pustaka Setia, 1997), hal. 134.
[34] Nasroen Haroen, Ushul Fiqih 1, Ibid. , hal. 308
[35] A. Syafi’i Karim, Fiqih-Ushul Fiqih., Ibid., hal. 136

Tidak ada komentar:

Posting Komentar