Minggu, 01 April 2018

SUJUD TILAWAH, SUJUD SYUKUR, DAN PUASA (PAI ICP English Semester Genap 2017/2018)



MAKALAH
SUJUD TILAWAH, SUJUD SYUKUR, DAN PUASA

Makalah ini Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Fiqh 1

Dosen Pengampu:
Benny Afwadzi, M.Hum




Disusun oleh:
1. Afi Tarim (16110081)
2. Nurrohmatul Fidhyah (16110109)

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
2016

KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan Rahmat, Hidayah, dan Inayah-Nya sehingga kami dapat merampungkan penyusunan makalah dari mata kuliah Fiqih 1 dengan judul “Sujud Tilawah, Sujud Syukur, dan Puasa” dengan Dosen Pengampu bapak Benny Afwadzi, M.Hum. tepat pada waktunya.
Penyusunan makalah semaksimal mungkin kami upayakan dan didukung bantuan berbagai pihak, sehingga dapat memperlancar dalam penyusunannya.Untuk itu tidak lupa kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu kami dalam meranmpungkan makalah ini.
Namun tidak lepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih terdapat kekurangan baik dari segi penyusunan, bahasa, dan aspek lainnya.Oleh karena itu, dengan lapang dada kami membuak selebar-lebarnya pintu bagi para pembaca yang ingin memberi saran maupun kritik demi memperbaiki makalah ini.
Akhirnya penyusun sangat mengharapkan semoga dari makalah sederhana ini dapat diambil manfaatnya dan besar kainginan kami dapat menginspirasi para pembaca untuk mengangkat permasalahan lain yang relevan pada makalah-makalah selanjutnya.

Malang, 31 Maret 2018


Penyusun















BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
Fiqih adalah suatu sistem norma atau aturan yang mengatur hubungan manusia dengan Allah, manusia dengan manusia, dan manusia dengan makhluk lainnya. Fiqih memberikan pengetahuan tentang cara melaksanakan ibadah dan muamalah yang benar dan baik. Fiqih diarahkan agar umat muslim mampu memahami pokok-pokok hukum dalam Islam serta tata cara pelaksanaan sehingga mampu diaplikasikan dalam kehidupan untuk menjadi muslim yang taat syariat Islam secara kaffah.
Dalam makalah ini akan dibahas beberapa produk fiqih, di antaranya adalah sujud tilawah, sujud syukur, dan puasa. Sujud tilawah merupakan sujud yang dilakukan ketika mendengar ayat sajdah pada Al-qur’an. Sujud syukur merupakan sujud yang dilakukan ketika hendak mengungkapkan rasa syukur manusia kepada Allah. Dan puasa merupkan ibadah menahan diri dari makan, minum, dan beberapa perbuatan yang dapat membatalkan puasa mulai dari terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari.
Maka dalam makalah ini akan penulis kupas tuntas tentang sujud tilawah, sujud syukur, dan puasa. Mulai dari hukumnya, syarat-syaratnya, rukun-rukunnya, tata cara pelaksanaanya, dan lain sebagainya, yang berhubungan dengan ketiga ibadah tersebut.

B.  Rumusan Masalah
1.      Bagaimana pengertian dari sujud tilawah, sujud syukur, dan puasa?
2.      Bagaimana hukum, syarat-syarat, dan rukun-rukun dari sujud tilawah, sujud syukur, dan puasa?
3.      Bagaimana tata cara dan ketentuan-ketentuan sujud tilawah, sujud syukur, dan puasa?

C.  Tujuan
1.      Untuk memahamipengertian dari sujud tilawah, sujud syukur, dan puasa.
2.      Untuk mengetahui hukum, syarat-syarat, dan rukun-rukun dari sujud tilawah, sujud syukur, dan puasa.
3.      Untuk memahami tata cara dan ketentuan-ketentuan sujud tilawah, sujud syukur, dan puasa.



BAB II
PEMBAHASAN
A.  SUJUD TILAWAH
Tilawah artinya bacaan atau membaca. Jadi, sujud tilawah adalah sujud yang dilakukan karena membaca atau dibacakan ayat sajdah.[1] Sujud tilawah ini hukumnya sunah, tetapi menurut ulama Hanafi hukumnya wajib. Maka -menurut pendapat pertama- sujud tilawah sunnah dikerjakan oleh yang membaca atau mendengar ayat sajdah jika syarat-syarat yang diperlukan telah terpenuhi. Adapun dalil tentang disyariatkannya sujud tilawah adalah berikut.[2]
Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَاقَرَأَابْنُآدَمَالسَّجْدَةَفَسَجَدَاعْتَزَلَالشَّيْطَانُيَبْكِىيَقُولُيَاوَيْلَهُوَفِىرِوَايَةِأَبِىكُرَيْبٍيَاوَيْلِىأُمِرَابْنُآدَمَبِالسُّجُودِفَسَجَدَفَلَهُالْجَنَّةُوَأُمِرْتُبِالسُّجُودِفَأَبَيْتُفَلِىَالنَّارُ
Jika anak Adam membaca ayat sajadah, lalu dia sujud, maka setan akan menjauhinya sambil menangis. Setan pun akan berkata-kata: “Celaka aku. Anak Adam disuruh sujud, dia pun bersujud, maka baginya surga. Sedangkan aku sendiri diperintahkan untuk sujud, namun aku enggan, sehingga aku pantas mendapatkan neraka.” (HR. Muslim no. 81)

1.    Syarat-syarat Sujud Tilawah
a.       Di Luar Sholat
1)      Bacaan tersebut disyariatkan.
2)      Bacaan tersebut disengaja
3)      Yang dibacanya adalah seluruh ayat sajdah
4)      Tidak memisahkan antara bacaan (ayat sajdah) dan sujudnya dalam jangka waktu yang lama.
5)      Bacaan ayat itu berasal dari satu orang.
6)      Disyaratkan seperti yang berlaku dalam sholat, yakni suci dari dua hadats, menghadap kiblat, menutup aurat, tidak berbicara, dan sebagainya.
b.      Di Dalam Sholat
Jika seseorang melakukan sujud tilawah di dalam sholat, maka selain syarat-syarat yang telah disebutkan di atas ditambah dengan dua syarat, yakni sebagai berikut:
1)      Tidak menyengaja membaca ayat sajdah karena untuk melakukan sujud.
2)      Yang melakukan sujud itu adalah orang yang membacanya. Namun, bagi seorang makmum wajib mengikuti imam dalam sujud tilawah.[3]

2.    Rukun Sujud Tilawah
a.       Niat
b.      Takbiratul ihram. Menurut ulama Syafi’iyah rukun, sedangkan menurut ulama lain adalah sunnah.
c.       Sujud satu kali, sebagaimana sujudnya sholat.
d.      Duduk sesudahnya denga thuma’ninah tanpa tasyahud. Rukun ini menurut ulama Hanabilah dan Syafi’iyah, sedangkan menurut ulama lainnya sunnah.
e.       Mengucap salam sembari menoleh ke kanan. Sedangkan salam sembari menoleh ke kiri adalah sunnah.[4]

3.    Sunnah-sunnah Sujud Tilawah
a.       Mengangkat kedua tangan ketika takbiratul ihram bagi ulama yang berpendapat bahwa takbiratul ihram adalah rukun.
b.      Takbir ketika bergerak menuju sujud dan ketika bangkit darinya.[5]
c.       Membaca doa ketika sujud. Adapun doanya adalah sebagai berikut:
Dari ‘Aisyah, beliau mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa membaca dalam sujud tilawah di malam hari beberapa kali bacaan:

سَجَدَوَجْهِيَلِلَّذِيخَلَقَهُوَشَقَّسَمْعَهُوَبَصَرَهُبِحَوْلِهِوَقُوَّتِهِتَبَارَكَاللَّهُأَحْسَنُلْخَالِقِينَ

“Wajahku bersujud kepada Penciptanya, yang Membentuknya, yang Membentuk pendengaran dan penglihatannya. Maha Suci Allah Sebaik-baik Pencipta” (HR. Abu Daud, Tirmidzi dan An Nasa-i)[6]
d.      Salam yang kedua.
e.       Jika ada orang yang membaca atau mendengar ayat sajdah tidak dapat melakukan sujud tilawah karena udzur syar’i, atau ia sengaja tidak ingin melakukan sujud tilawah, maka ia bisa membaca bacaan berikut sebanyak empat kali sebagai ganti dari sujud tilawah. Bacaanya sebagai berikut: [7]
سُبْحَانَاللَّهِوَالْحَمْدُلِلَّهِوَلاَاِلهَإِلاَّاللَّهُوَاللَّهُأَكْبَرُ لاَحوْلَوَلاَقُوَّةاِلاَّبِاللّهِ
4.    Ayat-ayat Sajdah
a.       (QS. Al-A’raf: 206)
b.      (QS. Ar-Ra’d: 15)
c.       (QS. An-Nahl: 49)
d.      (QS. Al-Isra’: 107)
e.       (QS. Maryam: 58)
f.       (QS. Al-Hajj: 18)
g.      (QS. Al-Hajj: 77)
h.      (QS. Al-Furqon: 60)
i.        (QS. An-Nahl: 25)
j.        (QS. As-Sajdah: 15)
k.      (QS. Shaad: 24)
l.        (QS. Fushishillat: 37)
m.    (QS. An-Najm: 62)
n.      (QS. Al-Insyiqoq: 21)
o.      (QS. Al-Alaq: 19)

B.  SUJUD SYUKUR
Syukur artinya berterima kasih. Jadi, sujud syukur adalah sujud di luar sholat yang dilakukan karena ungkapan rasa syukur atau terima kasih kepada Allah SWT. Sebab-sebab sujud syukur antara lain adalah sebagai berikut:
Ø Kedatangan nikmat.
Ø Kemenangan atas musuh.
Ø Kedatangan seorang yang diharapkan
Ø Terhindar dari musibah dan bahaya.
Ø Melihat orang yang diuji dengan musuh dunia (seperti melihat orang yang buta, pincang, gila).
Ø Melihat orang yang diuji dengan musibah akhirat seperti melihat orang-orang kafir yang durhaka).[8]
Sujud syukur ini disunnahkan, sebagaimana yang pernah dicontohkan Rasulullah. Dari Abu Bakar RA, “Bahwa Nabi SAW apabila datang kepadanya sesuatu yang menggembirakan, beliau tersungkur sujud dan bersyukur kepada Allah SWT.” (HR. Ashabus Sunan kecuali An-Nasa’i)[9]
Dari Abdurrahman bin Auf RA: Bahwa Rasulullah SAW sujud syukur kepada Allah, ketika Jibril memberinya kabar gembira: ‘Bahwa barangsiapa yang bersholawat kepada Nabi, maka Allah bersholawat kepadanya dan barangsiapa yang mendoakan keselamatan bagi Nabi, maka Allah akan menyelamatkan dia.” (HR. Ahmad, Hakim, dan ia berkata shahih atas syarat dari Asy-Syaikhani)[10]
Sementara itu, ulama berbeda pendapat tentang sujud syukur ini. Ulama Hanafiyah mengatakan bahwa sujud syukur bisa diniatkan bergabung dengan sujud atau ruku’. Sementara ulama Malikiyah mengatakan bahwa sujud syukur adalah makruh. Menurut mereka yang disunnahkan ketika mendapatkan kenikmatan atau berhasil menolak keburukan adalah mengerjakan sholat dua raka’at.[11]
1.    Syarat-syarat Sujud Syukur
Sujud syukur dapat dilakukan dengan syarat-syarat sebagai berikut:
a.       Islam
b.      Berakal
c.       Suci dari hadats
d.      Menutup aurat
e.       Menghadap kiblat[12]
2.    Rukun Sujud Syukur
Adapun rukun sujud syukur adalah sebagai berikut:
a.       Niat
b.      Takbiratul ihram
c.       Sujud satu kali sebagaimana sujudnya sholat
d.      Duduk setelah sujud
e.       Salam yang pertama[13]


C. PUASA
1.      Pengertian Puasa
Pengertian puasa pada segi bahasa adalah menahan (imsak) dan  mencegah (kaff) dari sesuatu. Sedangkan menurut syara’, puasa adalah menahan diri dari segala sesuatu yang membatalkan puasa mulai dari terbitnya fajar sampai terbenamnya matahari. Dalam pengertian lain, puasa adalah menahan diri dari segala perbuatan yang merujuk pada dua syahwat yaitu syahwat perut dan syahwat kemaluan, dan menahan diri untuk tidak memasukkan sesuatu ke dalam perut, sesuai pada waktunya yaitu mulai terbit nya fajar shodik sampai terbenamnya matahari.[14]
Sedangkan kebaikan dan kesempurnaan dalam puasa adalah: meninggalkan perkataan maupun perbuatan tercela dengan cara menahan diri dari nafsu dan menahan diri dari kebiasaannya dengan sabar, dan selalu bertakwa kepada Allah, dan selalu mengingat Allah dan percaya bahwa Allah selalu mengetahui segala apa yang kita perbuat.[15]

2.      Macam-macam Puasa
Ada beberapa macam puasa, di antaranya adalah: puasa wajib, puasa Sunnah, puasa yang diharamkan, dan puasa yang dimakruhkan.
a.       Puasa wajib
Puasa wajib sendiri dibedakan menjadi beberapa puasa: (1) puasa yang wajib dilaksanakan pada waktu-waktu tertentu seperti puasa Ramadhan, (2) puasa yang wajib dilaksanakan karena suatu sebab seperti puasa kafarat, dan (3) puasa yang wajib dilaksanakan seseorang telah berjanji untuk berpuasa seperti puasa nazar.[16]
·         Puasa Ramadhan: puasa wajib yang dilakukan pada bulan Ramadhan.
Perintah manusia untuk berpuasa telah ada pada firman Allah:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, telah diwajibkan atas kamu berpuasa, sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 183)

Firman Allah swt.pada surat al-Baqarah ayat 185
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَىٰ وَالْفُرْقَانِ ۚ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ ۖ وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ ۗ يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَىٰ مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
“(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.” (QS. Al-Baqarah: 185)

Serta dijelaskan pada hadis berikut ini:

قَدْ جَاءَكُمْ رَمَضَانُ ، شَهْرٌ مُبَارَكٌ ، افْتَرَضَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ صِيَامَهُ ، تُفْتَحُ فِيهِ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ ، وَتُغْلَقُ فِيهِ أَبْوَابُ الْجَحِيمِ ، وَتُغَلُّ فِيهِ الشَّيَاطِينُ ، فِيهِ لَيْلَةٌ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ ، مَنْ حُرِمَ خَيْرَهَا ، قَدْ حُرِمَ
“Sungguh telah datang kepada kamu bulan barokah (bulan Ramadhan), diwajibkan bagi kamu berpuasa. Di dalamnya dibuka seluruh pintu surge dan ditutup semua pintu neraka, serta dibelenggu semua setan. Ada suatu malam di dalamnya (yaitu lailatul qadar), lebih baik dari seribu bulan. Barangsiapa tidak mendapatkan kebaikan, sungguh ia telah merugi. (diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Nasai dan Baihaqi, dari Abu Hurairah)
من صام رمضان إيمانا واحتسابا غفر له ما تقدم من ذنبه
“Barang siapa berpuasa pada bulan Ramadhan, karena iman dan ihtisab (mengaharapkan ridha Allah) , diampuni dosanya yang telah lalu. (diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, dari Abu Hurairah ra)

b.      Puasa Sunnah (tathawwu’)[17]
·         Puasa daud (sehari puasa sehari tidak)
Puasa daud adalah puasa sunnah yang paling utama, seperti yang dijelaskan dalam hadits berikut ini:
أفضل الصيام صيام داود : كان يصوم يوماً ويفطر يوماً
“Puasa yang paling utama ialah puasa dawud. Dia berpuasa sehari dan berbuka sehari.”

·      Puasa tiga hari dalam setiap bulan (ayamul bidh)
Puasa ayamul bidh adalah puasa pada tanggal 13, 14, 15 setiap bulan. Pahala dari puasa ayamul bidh ini adalah sama seperti puasa dahr, yaitu pelipatgandaan. Dalam satu kebaikan dilipatgandakan menjadi sepuluh kebaikan. Dalil dari puasa ayamul bidh ini adalah:
إِذَا صُمْتَ مِنَ الشَّهْرِ ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ فَصُمْ ثَلاَثَ عَشْرَةَ وَأَرْبَعَ عَشْرَةَ وَخَمْسَ عَشْرَةَ
”Jika kamu (hendak) berpuasa tiga hari dalam sebulan, maka berpuasalah pada tanggal 13, 14, dan 15” (HR. Tirmidzi)

اَنَّ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَصُومُ ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ
“Sesungguhnya Nabi saw, berpuasa sebanyak tiga hari dalam satu bulan.”

·      Puasa senin dan kamis dalam setiap minggu
قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّكَ تَصُومُ حَتَّى لاَ تَكَادَ تُفْطِرُ وَتُفْطِرُ حَتَّى لاَ تَكَادَ أَنْ تَصُومَ إِلاَّ يَوْمَيْنِ إِنْ دَخَلاَ فِى صِيَامِكَ وَإِلاَّ صُمْتَهُمَا. قَالَ « أَىُّ يَوْمَيْنِ ». قُلْتُ يَوْمَ الاِثْنَيْنِ وَيَوْمَ الْخَمِيسِ. قَالَ ذَانِكَ يَوْمَانِ تُعْرَضُ فِيهِمَا الأَعْمَالُ عَلَى رَبِّ الْعَالَمِينَ فَأُحِبُّ أَنْ يُعْرَضَ عَمَلِى وَأَنَا صَائِمٌ
“Aku berkata pada Rasul –shallallahu ‘alaihi wa sallam-, “Wahai Rasulullah, engkau terlihat berpuasa sampai-sampai dikira tidak ada waktu bagimu untuk tidak puasa. Engkau juga terlihat tidak puasa, sampai-sampai dikira engkau tidak pernah puasa. Kecuali dua hari yang engkau bertemu dengannya dan berpuasa ketika itu.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Apa dua hari tersebut?” Usamah menjawab, “Senin dan Kamis.” Lalu beliau bersabda, “Dua hari tersebut adalah waktu dihadapkannya amalan pada Rabb semesta alam (pada Allah). Aku sangat suka ketika amalanku dihadapkan sedang aku dalam keadaan berpuasa.” (HR. An Nasai no. 2360 dan Ahmad 5: 201. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan).

·      Puasa enam hari di bulan Syawal
                        Puasa ini boleh dilakukan secara tidak berurutan, namun apabila melakukannya secara berurutan itu lebih baik (yaitu dilakukan setelah hari raya idul fitri). Seeorang akan memperoleh pahala puasa tersebut walaupun niatnya adalah untuk puasa qadha’, nazar, atau lainnya. Siapapun yang melakukan puasa setelah Ramadhan, maka seolah-olah ia telah puasa dahr. Seperti yang dijelaskan pada hadis berikut ini:
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ
“barang siapa berpuasa Ramadhan kemudian berpuasa enam hari pada bulan syawal sesudahnya, maka itulah yang disebut puasa dahr.” (diriwayatkan oleh Abu Ayyub)

Tsauban meriwayatkan hadis sebagai berikut:
صيامشهر رمضان بعشرة أشهر ، وصيام ستة أيام بشهرين ، فذلكصيام السنة
“pahala puasa sebulan Ramadhan sama dengan puasa sepuluh bulan. Dan berpuasa enam hari pahalanya sama dengan puasa dua bulan. Dengan demikian, jumlahnya adalah satu tahun”.

                        Maksudnya yaitu pahala satu kebaikan dilipatgandakan menjadi sepuluh kebaikan.Satu bulan dilipatgandakan menjadi sepuluh bulan, dan enam hari dilipatgandakan menjadi enam puluh hari, maka kalau dijumlahkan yaitu 360 hari atau satu tahun.

·      Puasa tanggal 9 Zulhijjah (puasa Arafah)
                        Puasa ini diperuntukkan bagi orang-orang yang tidak sedang dalam ibadah haji., seperti diriwayatkan dalam hadis:
صِيَامُ يَوْمِ عَرَفَةَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِي قَبْلَهُ وَالسَّنَةَ الَّتِي بَعْدَهُ
“berpuasa pada hari Arafah dipandang oleh Allah sebagai amalan yang menjadi kafarat untuk satu tahun sebelum dan sesudahnya.” (HR. Muslim)

                        Hari yang paling utama yaitu hari Arafah, sebagaimana dijelaskan dalam hadis yang artinya: “tiada satu hari pun yang di dalamnya Allah lebih banyak memerdekakan seseorang dari api neraka, selai hari Arafah.”
                        Tetapi bagi orang-orang yang sedang melakuakn ibadah haji tidak disunahkan untuk berpuasa karena takutnya akan membuatnya lemah ketika melakukan ibadah haji.

·      Puasa selama 8 hari di bulan Zulhijjah, sebelum hari Arafah.
                        Puasa ini boleh dilakukan bagi orangyang tidak sedang dalam ibadah haji maupun yang sedang dalam ibadah haji.Seperti dijelaskan dalam hadis berikut ini:
“empat hal yang tidak ditinggalkan oleh Rasulullah saw, adalah puasa Asyura, puasa sepuluh hari zulhijjah, puasa tiga hari dalam setiap bulan,dan dua rakaat sebelum subuh.” (diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud, dan Nasai)

·      Puasa hari Tasu’a’ dan ‘Asyura’ (tanggal 9 dan 10 Muharam)
                        Puasa ini disunahkan dengan cara dilakukan secara berurutan, seperti dijelaskan dalam hadis ini:
“seandainya aku masih hidup sampai masa mendatang, niscaya aku akan berpuasa pada tanggal 9 dan 10 Muharam.” (diriwayatkan oleh Ibnu Abbas)
أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِي قَبْلَهُ
“saya yakin bahwa Allah swt akan menutupi (dosa-dosa) setahun sebelumnya.” (diriwayakan oleh Al-Jama’ah, kecuali Bukhari, Tirmidzi, dan Abu Qatadah)

·      Puasa di bulan-bulan yang dimuliakan
                        Yang dimaksud bulan yang dimuliakan disini adalah bulan Zulkaidah, Zulhijjah, Muharram, dan Rajab. (hal ini menurut Imam Maliki dan Syafi’i), sedangkan menurut Imam Hambali yaitu hanya pada bulan Muharram saja.

·      Puasa di bulan Sya’ban
                        Seperti dalam hadis yang diriwayatkan oleh Ummu Salamah dijelaskan bahwa Nabi saw tidak pernah berpuasa dalam sebulan penuh kecuali pada bulan sya’ban.
لَمْ يَكُنِ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – يَصُومُ شَهْرًا أَكْثَرَ مِنْ شَعْبَانَ ، فَإِنَّهُ كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ كُلَّهُ
“Nabi saw. tidak berpuasa melebihi bulan sya’ban. Beliau berpuasa di dalamnya (bulan sya’ban) secara penuh.”
                        Namun menurut Imam Syafi’I puasa yang dilakukan pada akhir bulan Ramadhan hukumnya tidak sah. Seperti didasarkan pada hadis berikut ini:
”jika (bulan) Sya’ban telah mencapai pertengahan, maka janganlah kalian berpuasa.”[18]

c.       Puasa yang diharamkan[19]
·     Pada hari raya idul fitri dan idul adha
 اَنَّ رَسُوْلُ اﷲِ صَلَّى اﷲُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ  صِيَامِ يَوْمَيْنِ ׃ يَوْمِ الاَضْحَى ، وَ يَوْمِ الْفِطْرفَفِطْرُكُمْ مِنْ صَوْمِكُمْ وَاَمَّا يَوْمُ الاَضْحَئ فَكُلُوْا مِنْ نُسُكِكُمْ
“Sesungguhnya Rasulullah saw telah melarang kita bepuasa pada dua hari ini 9hari raya idul fitri dan idul adha). Adapun hari raya fitri, kamu berbuka dari puasamu, sedang hari raya adha, hendaklah kamu makan dari ibadah kurbanmu.

·      Pada hari tasyrik
Diharamkan melakukan puasa pada hari tasyrik, yaitu pada tanggal 11, 12, dan 13 Zulhijjah. Seperti dijelaskan pada hadis:
عَنْ نُبَيْشَةُ الْهُذَلِيُّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ” أَيَّامُ التَّشْرِيقِ أَيَّامُ أَكْلٍ وَشُرْبٍ ، وَذِكْرٍ لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ (متفق عليه)
Dari Nubaisyah Al-Hudzali ra, Rasulallah saw bersabda hari-hari tasyriq adalah hari-hari makan, minum dan berzikir kepada Allah.” (Mutafaqun ’alih)

·      Pada hari yang diragukan
Hari yang diragukan disini yang dimaksud yaitu: hari akhir pada bulan Sya’ban atau permulaan Ramadhan sebelum adanya kepastian dengan rukyah atau hisab.
لاَتُقَدِّمُوا رَمَضَانَ بِصَوْمِ يَوْمٍ اَوْيَوْمَيْنِ ׃ اِلاَّ رَجُلٌ كَانَ يَصُوْمُ صَوْمًا فَلْيَصُمْهُ
“janganlah kamu mendahului puasa Ramadhan dengan sehari, atau dua hari, kecuali jika kebetulan hari kebasaanya berpuasa, maka hendaklah berpuasa hari itu.” (diriwayatkan oleh Al-Jama’ah dari Abu Hurairah ra)

مَنْ صَامَ الْيَوْمَ الَّذِىْ يَشُكُّ فِيْهِ النَّاسُ فَقَدْ عَصَا اَبَا الْقَاسِمِ صَلَّى اﷲُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“barangsiapa berpuasa pada hari yang diragukan (hari awal Ramadhan), maka sungguh ia  teah durhaka kepada Rasulullah saw.” (diriwayatkan oleh Ashhabunssunan, dari Ammar bin Yasir ra)

·      Pada hari jum’at (yang diikhususkan)
Hari jum’at merupakan hari libur bagi umat muslim, maka  aagama Islam melarang untuk berpuasa khusus pada ari jum’at.
“janganlah kamu berpuasa pada hari jum’at, kecuali kamu berpuasa sebelumnya atau sesudahnya.” (diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, dari Jabir ra)

·      Berpuasa sepanjang masa
Dalam Islam, berpuasa seanjang masa hukumnya haram karena didalamnya terdapat hari-hari yang diharamkan untuk berpuasa.
“tidak berpuasa (menurut Islam) orang yang berpuasa sepanjang masa.” (HR. Bukhari, Ahmad, dan Muslim)

·      Berpuasa terus-menerus
Berpuasa secara terus-meneus disini yang dimaksud adalah: melakukan puasa dua hari malam, atau tiga hari malam, tidak pernah berbuka.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : ” إِيَّاكُمْ وَالْوِصَالَ ، إِيَّاكُمْ وَالْوِصَالَ ” ، قَالُوا : إِنَّكَ تُوَاصِلُ يَا رَسُولَ اللَّهِ ؟ قَالَ : ” إِنِّي لَسْتُ كَهَيْئَتِكُمْ ، أَبِيتُ يُطْعِمُنِي رَبِّي وَيَسْقِينِي (الشيخان)
“Janganlah kau berwishal (menyambung puasamu), jangalah kamu berwishal. Kemudian salah seorang sahabat bertanya: Wahai Rasulullah, bukankah Engkau sendiri melakukan puasa wishal? Beliau bersabda: Aku tidak seperti kalian. Sesungguhnya di malam hari aku diberi makan dan minum oleh Allah (HR Bukhari Muslim).

·      Puasanya perempuan tanpa izin suaminya
            Seorang perempuan dilarang untuk berpuasa (sunah) apabila tidak mendapatkan izin dari suaminya, jika suaminya ada (hadir). Akan tetapi ia boleh berpuasa tanpa izin suaminya apabila suaminya tidak ada di rumah atau sedang sakit atau  lemah untuk menggaulinya.
لا تَصُومُ الْمَرْأَةُ يَوْمًا وَاحِدًا وَزَوْجُهَا شَاهِدٌ إِلا بِإِذْنِهِ إِلا رَمَضَانَ
janganlah perempuan itu berpuasa seharipun, jika suaminya ada, kecuali dengan izinnya, selain di bulan Ramadhan.” (HR. Bukhari dan Muslim,, dari Abu Hurairah)

c. puasa yang dimakruhkan
·         Puasa yang dilakukan oleh musafir yang merasa kesulitan
·         Puasa khusus hari jum’at (menuut mazhab Syafi’i)

3.      Rukun Puasa
Ada dua rukun puasa, di antaranya adalah:[20]
a.       Niat
Rasulullah saw bersabda:
“Sesungguhnya segala amal ibadah itu, menurut niat, dan sesungguhnya bagi setiap orang apa yang diniatkannya.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Umar)
        Berdasarkan hadis di atas, diketahui bahwa puasa tidak sah apabila tidak disertai dengan niat, dan niat tersebut dilakukan sebelum terbit fajar setiap malam pada bulan Ramadhan, sesuai dengan hadis berikut ini:
مَنْ لَمْ يُجْمِعِ الصِّيَامَ قَبْلَ الْفَجْرِ فَلاَ صِيَامَ لَهُ
“Barangsiapa tidak mngukuhkan puasa (dengan niat) sebelum terbit fajar, maka tiada puasa baginya.” (diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Ashabussunan dan disahihkan oleh Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban dari Hafsah ra)
       Niat ini dilakukan mulai dari permulaan malam sampai sebelum terbit fajar, tidak harus diucapkan, karena niat merupakan pekerjaan hati. Karena pada dasarnya niat adalah sengaja untuk melakukan sesuatu, untuk melaksanakan perintah Allah swt dan mengharapkan ridha-Nya.
       Menurut Imam Malikiah, niat hanya cukup dilakukan pada awal saja, namun apabila puasanya tersebut terputus karena halangan sakit atau karena musafir, maka harus memulai niat lagi untuk meneruskan puasanya.
b.      Menahan diri dari hal-hal yang membatalkan puasa
        Ketika berpuasa seseorang harus mampu menahan diri dari segala sesuatu yang dapat membatalkan puasa mulai dari terbitnya fajar sampai terbenamnya matahari., sebagaimana dalam firman Allah swt:
وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ۖ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ ۚ
 “Dan makan minumlah, hingga terang bagimu beang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam….” (QS. Al-Baqarah:187)
       Yang dimaksud benag putih dan benang hitam pada ayat di atas adalah: terangnya siang dan gelapnya malam.

4.      Syarat wajib puasa
Berikut ini beberapa syarat wajib puasa:[21]
a.       Islam
        Menurut pendapat Imam Hanafi, Islam merupakan syarat wajib puasa, namun menurut jumhur ulama, Islam merupakan syarat sah puasa. Oleh karena itu puasa hanya diwajibkan untuk orang Islam, orang kafir tidak wajib puasa.
        Jika orang kafir masuk Islam pada bulan Ramadhan, maka seseorang itu harus puasa sebanyak sisa hari pada bulan Ramadhan tersebut.
Menurut mazhab Hanafi, apabila ada orang kafir yang masuk Islam pada pertengahan hari puasa, maka ia harus ia harus menahan diri selama hari yang masih tersisa, dan wajib mengganti puasanya, karena ia sudah berada pada sebagian waktu ibadah.
        Menurut mazhab Syafi’I, apabila ada orang kafir yang masuk Islam pada pertengahan siang di bulan puasa, ia tidak wajib mengganti / mengqadha’ puasanya hari itu, karena ia tidak berpuasa karena ada sebabnya, kedudukannya sama seperti musafir atau orang sakit.
        Menurut mazhab Syafi’I dan Hambali, sesorang yang kafir lalu ia masuk Islam, ia tidak wajib mengqadha’ puasa selama kekafirannya, sebab puasa menjadi wajib karena keislamannya.
b.      Balig dan berakal
        Puasa tidak diwajibkan atas anak-anak, orang yang gila, orang yang pingsan dan orang yang sedang mabuk. Seperti dijelaskan dalam hadis berikut ini:
رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلاَثَةٍ عَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ وَعَنِ الصَّبِىِّ حَتَّى يَحْتَلِمَ وَعَنِ الْمَجْنُونِ حَتَّى يَعْقِلَ
“pena diangkat dari tiga orang: dari anak kecil sampai dia dewasa, dari orang gila sampai dia sadar, dan dari orang tidur sampai dia terjaga.”
       Menurut mazhab Maliki, anak kecil tidak wajib puasa sampai ia mengalami mimpi basah (laki-laki) dan mengeluarkan darah haid (perempuan).
       Menurut Mazhab Syafi’i, apabila anak kecil mencapai usia baligh pada pertengahan siang di bulan puasa, ia tidak wajib mengqadha’ puasanya pada hari itu (sama kedudukannya seperti orang kafir yang masuk Islam).
       Menurut Mazhab Hanafi, apabila ada anak kecil yang mencapai usia baligh pada pertengahan siang di bulan puasa, maka ia harus menahan diri dulu, lalu baru berpuasa pada hari berikutnya, dan tidak wajib mengqadha’ puasa pada hari-hari sebelumnya.

c.       Mampu (sehat) dan bermukim
        Puasa tidak diwajibkan bagi orang yang sakit dan musafir, tetapi harus mengganti/mengqadha’ puasany sebanyak hari yang ditinggalkan. Seperti dijelaskan dalam firman Allah:
أيَّامًا مَعْدُودَاتٍ ۚ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ ۚ وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ ۖ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ ۚ وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ ۖ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
“(yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 184)
       Syarat diperbolehkannya seorang musafir untuk tidak berpuasa adalah perjalanan yang membolehkannya untuk mengqashar shalat, dan perjalanannya tersebut tidak untuk maksiat.

5.      Syarat sah puasa
Menurut mazhab Hanafi ada tiga syarat sah puasa:[22]
a.       Niat
b.      Tidak ada hal yang menghalangi untuk berbuat puasa, seperti haid dan nifas.
Jika seorang wanita mengalami haid atau nifas, maka dia tidak diwajibkan untuk puasa dan harus mengqadha’ puasanya.
c.       Tidak ada hal-hal yang membatalkan puasa.
Menurut mazhab Maliki ada empat syarat sah puasa:
a.       Niat
b.      Suci dari haid dan nifas
c.       Islam
d.      Waktu yang sesuai untuk berpuasa.
Dalam hal ini juga ada syarat lain yaitu berakal, jadi orang yang dalam keadaan gila atau tidak sadar (pingsan) tidak sah puasanya.
Menurut mazhab Syafi’i ada empat syarat sah:
a.       Islam
b.      Berakal
c.       Suci dari haid dan nifas
d.      berniat
orang yang kafir, orang yang gila, anak kecil yang belum mumayyis, wanita yang sedang haid atau nifas tidak sah puasanya.
Menurut mazhab Hambali ada tiga syarat sah puasa:
a.       islam
b.      berniat
c.       suci dari haid atau nifas.

6.      Hal-hal yang membatalkan puasa
Ada beberapa hal yang dapat membatalkan puasa, di antaranya adalah:[23]
a.       Muntah dengan sengaja
        Muntah yang disebabkan karena mabuk perjalanan, ataupun karena sakit atau sedang hamil bukan termasuk muntah yang disengaja. Seperti sabda dari Rasul: “barangsiapa yang muntah dan dia sedang berpuasa, makadia tidak wajib mengqadha’. Kecuali apabila dia muntah dengan sengaja, dia wajib mengqadha’.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi)
        Dari hadis di atas jelas bahwa seseorang muntah dengan disengaja maka puasanya batal, dan harus mengqadha’nya.Yang dimaksud dengan muntah disengaja yaitu yang dilakukan dnegan kesadaran atau keinginan misalnya dengan memasukkan jarinya ke dalam mulut agar muntah, atau lainnya.
b.      Bersetubuh (jima’)
        Jika seseorang melakukan bersetubuh (jima’) dengan istrinya di siang hari pada bulan Ramadhan, maka dia harus mebayar kafarat (denda).
Allah berfirman:”barangsiapa yang tidak mendapatkan budak, wajib atasnya berpuasa dua bulan berturut sebelum keduanya bercampur. Maka siapa yang tidak kuasa (wajiblah atasnya) memberi makan enam puluh orang miskin.Demikianlah supaya kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya.Itulah hokum-hukum Allah dan bagi orang kafir ada siksaan yang sangat pedih. (QS. Al-Mujadilah: 4)
c.       Makan dan minum dengan sengaja
        Yang dimaksud makan dan minum dengan sengaja yaitu memasukkan makanan atau minuman ke dalam mulut dengan keadaan sadar atau disengaja.Maka hal itu menyebabkan puasa seseorang menjadi batal.Namun apabila makan dan minum dengan tidak disengaja atau karena lupa.maka puasanya tidak batal. Rasulullah bersabda:"apabila seseorang lupa, lalu dia makan dan minum, hendaklah dia meneruskan puasanya. Sesungguhnya Allah telah memberinya makan dan minum." (HR. Bukhari).
d.      Haid dan nifas
Seorang wanita yang sedang haid ataupun nifas tidak diwajiblan untuk melaksanakan puasa, thawaf , dan solat.
Jika seorang wanita yang sedang berpuasa tiba-tiba ia haid . Maka puasanya menjadi batal, dan harus mengganti/mengqadha'inya di hari lain sebanyak puasa yang ditinggalkan. Rasulullah saw.bersabda:"bukankah ketika wanita sedang haid dia tidak boleh shalat dan puasa? Itulah kekurangan agamanya." (HR. Bukhari)
Ketika sedang mengalami haid, kebanyakan wanita merasakan nyeri pada perut nya dan juga mengalami anemia (lekurangan darah), hal itu pasti mengganggu kenyamanan seseorang dalam berpuasa.Untuk itu Allah memberikan keringan atau rukhsoh kepada wanita agar tidak berpuasa ketika sedang haid.

7.      Orang-orang Yang Diperbolehkan Uutuk Tidak  Berpuasa
a.       Orang yang sakit
        Orang muslim yang dalam keadaan sakit dengan situasi dan kondisinya terdapat dalam beberapa kemungkinan untuk tidak berpuasa: 1). Jika orang tersebut masih mampu untuk berpuasa maka lebih berpuasa, tetapi jika tidak kuat untuk berpuasa maka boleh untuk berbuka. 2). Jika masih ada kemungkinan untuk sembuh dari sakitnya tersebut maka ditunggu dahulu sampai sakitnya sembuh lalu ia mengqadha’ puasanya sebanyak hari yang ditinggalkan. 3). Jika tidak ada kemungkinan untuk sembuh dari penyakitnya maka diperbolehkan untuk tidak berpuasa dan harus membayar fidyah.[24]
b.      Orang musafir
        Apabila seseorang dalam keadaan perjalanan (musafir) sejauh yang diperbolehkan untuk mengqhasar sholat, maka ia diperbolehkan untuk tidak berpuasa, dan harus menggantinya di hari lain sebanyak hari yang ditinggalkan. Seperti dalam firman Allah SWT:
فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
“Maka, jika di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka) maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu, pada hari-hari yang lain”. (QS. Al-Baqarah:184)
Namun apabila musafir tersebut mampu untuk melakukan puasa, maka itu lebih baik daripada tidak berpuasa, seperti dalam firman Allah:
وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
“Dan berpuasa lebih baik bagi kamu, jika kamu mengetahui”. (QS. Al-Baqarah:184)
c.       Orang yang sangat tua
        Orang yang sudah sangat tua dan mereka tidak mampu untuk melakukan puasa, maka diperbolehkan untuk berbuka. Demiian pula bagi orang-orang yang bekerja berat seperti bekerja pada pertambangan di mana ia sulit untuk melakukan puasa, maka ia diperbolehkan tidak berpuasa dan harus mangganti hari-hari puasa yang ditinggalkan dengan membayar fidyah. Seperti dalam firman Allah SWT:
وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ
“Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa), membayar fidyah (yaitu): memberi makan orang miskin…..” (QS. Al-Baqarah: 184)
d.      Perempuan yang hamil dan menyusui
        Menurut Ibnu Umar dan Ibnu Abbas ra.: apabila ada perempuan yang hamil ataupun menyusui dan mereka khawatir atas dirinya dan juga anaknya, maka mereka diperbolehkan untuk tidak berpuasa, dan menggantinya dengan membayar fidyah, tidak wajib melakukan qadha’ puasa.
        Menurut imam Syafi’I dan Imam Ahmad, jika keduanya tersebut hanya khawatir pada anaknya saja, maka mereka wajib untuk mengqadha’ puasanya dan juga membayar fidyah. Dan apabila khawatirnya terhadap dirinya dan juga ankanya, maka hanya wajib untuk membayar fidyah, tanpa qadha’.
        Menurut Ulama Hanafiah dan Abuubai serta Abu Tsaur, seorang perempuan yang sedang hamil maupun menyusui, diperbolehkan untuk tidak puasa dan harus mengqadha’ puasanya, tanpa membayar fidyah.[25]


8.      Hal-hal Yang DisunahkanDan Dimakruhkan Dalam Puasa
Hal-hal yang disunahkan dalam puasa:[26]
a.       Mengakhirkan sahur
Sahur sunah dilakukan pada akhir malam, dan tujuan dari sahur ini adalah untuk menguatkan fisik seseorang saat berpuasa.
b.      Menyegerakan berbuka
Berbuka disunahkan sebelum shalat, dengan memulai makanan yang basah, manis, atau air.
c.       Berdo’a sebelum berbuka puasa
اَللّهُمَّ لَكَ صُمْتُ وَبِكَ آمَنْتُ وَعَلَى رِزْقِكَ أَفْطَرْتُ بِرَحْمَتِكَ يَا اَرْحَمَ الرَّحِمِيْنَ
Ya Allah keranaMu aku berpuasa, dengan Mu aku beriman, kepadaMu aku berserah dan dengan rezekiMu aku berbuka (puasa), dengan rahmat MU, Ya Allah Tuhan Maha Pengasih.”
d.      Memberi makan untuk berbuka pada orang-orang yang berpuasa.
من فطر صائما كان له مثل أجره غير أنه لا ينقص من أجر الصائم شيئا".رواه الترمذي وصححه وابن ماجه وابن خزيمة وابن حبان
"barang siapa memberi makanan untuk berbuka kepada orang yang berpuasa, maka baginya pahala seperti orang yang berpuasa, tanpa megurangi pahala orang yang berpuasa sedikitpun.” (diriwayatkan oleh Turmudzi)
e.       Menahan lidah dan anggota badan dari pembicaraan atau perbuatan yang menimbulkan dosa.
Misalnya menghindari perbuatan ghibah, adu domba, berdusta, atau perbuatan-perbuatan tercela lainnya.
f.        Menyibukkan diri dengan ilmu pengetahuan, membaca dan mengaji al-Qur’an, ,memperbanyak zikir, dan membaca salawat kepada Nabi saw.
g.      Melakukan iktikaf terutama pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan.
Iktikaf dapat menahan diri seseorang dari hal-hal yang dilarang oleh Allah, dan melaukan perbuatan yang diperintahkan. Sedangkan iktikaf pada sepuluh hari terakhir pada bulan Ramadhan itu diharapkan dapat mendapatkan lailatul qadar, karena malam lailatul qadar lebih baik dari seribu bulan. Seperti dijelaskan pada hadis dibawah ini:
h.      Melakukan shalat tarawih
من قام رمضان إيمانا واحتسابا غفر له ما تقدم من ذنبه". راه الباخاري ومسلم، رالمقصود بقيام رمضان : صلاة التراويح.

"Barang siapa yang melakukan Qiyam Ramadhan karena Iman dan penuh harap (pahala dari Allah), maka ia akan diampuni dari dosanya yang lalu".(HR. Bukhari dan Muslim)

Hal-hal yang dimakruhkan dalam puasa:
a.       Berleihan dalam berkumur atau menghirup air ketika berwudhu, karena ditakutkan terlnjur masuk ke dalam kerongkongan sehingga membatalkan puasa.
b.      Mencium istri bagi yang tidak mampu menahan nafsu syahwat, karena diitakutkan akan menimbulkan keluarnya madzi atau melakukan jima’ sehingga batal puasanya.
c.       Memandang istri dengan syahwat, termasuk juga membaca buku-buku atau gambar-gambar porno.
d.      Berbekam atau  melakukan donor darah, karena diatkutkan akan menjadi lemah ketika berpuasa.

9.      Hikmah Puasa
Ada banyak sekali hikmah-hikmah yang dapat diambil dari ibadah puasa, di antaranya adalah:
a.       Mengajarkan manusia untuk memiliki sifat khasyyah (takut) kepada Allah, baik secara sembunyi-sembunyi maupun erang-terangan. Karena ketika seseorang sedang berpuasa tidak ada yang mengawasi kecuali Allah.
b.      Melatih jiwa manusia untuk mengendalikan syahwat, sesuai dalam petunjuk agama bahwa apabila seseorang selalu menuruti hawa nafsunya maka ia akan menjadi budak dari nafsu syahwatnya.
c.       Melatih untuk bersifat kasih saying, sehingga meningkatkan sikap solidaritas pada social, seperti saling memberi bantuan kepada orang yang membutuhkan bantuan, memberi makan fakir miskin atau anak-anak yatim.
d.      Membersihkan usus atau alat pencernaan dari zat-zat yang berbahaya dalam perut, dan juga mengahncurkan lemak yang berbahaya terhadap jantung.[27]
e.       Membuat tubuh lebih segar dan sehat, saat melakukan shalat tarawih dan witir pada malam bulan Ramadhan sama halnya dengan kita berolah raga ringan sehingga membuat badan menjadi lebih sehat.
f.       Dapat mencegah stroke, berdasarkan beberapa penelitian, berpuasa dapat meningkatkan HDL (High Density Lipoprotein) dan menurunkan lemak trigliserol (pembentuk kolesterol).
g.      Tubuh akan membentuk sel-sel baru, ketika kita merasakan lapar saat berpuasa maka tubuh bereaksi untuk memakan sel-sel yang telah rusak untuk memenuhi kebutuhan makanan, dan setelah itu tubuh akan menggantinya dengan sel-sel yang baru.[28]












BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
1)      sujud tilawah adalah sujud yang dilakukan karena membaca atau dibacakan ayat sajdah, dan hukum melakukan sujud ini adalah sunah.
2)      sujud syukur adalah sujud di luar sholat yang dilakukan karena ungkapan rasa syukur atau terima kasih kepada Allah SWT, hukumnya melaksanakannya juga sunah seperti sujud tilawah.
3)      puasa adalah menahan diri dari segala perbuatan yang merujuk pada dua syahwat yaitu syahwat perut dan syahwat kemaluan, dan menahan diri untuk tidak memasukkan sesuatu ke dalam perut, sesuai pada waktunya yaitu mulai terbit nya fajar shodik sampai terbenamnya matahari.


















DAFTAR PUSTAKA
Al-Hilali, Salim bin Id dan Hamid, Ali Hasan Abdul. 2007. Puasa Bersama Nabi. Jakarta Timur: Darus Sunah Press.
Al-Zuhayly, Wahbah. 2005. Puasa dan Iktikaf Kajian Berbagai Mazhab. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Al-Qathani, Dr. Sa’id bin Ali bin Wahaf. 2008. Panduan Shalat Sunah & Shalat Khusus. Jakarta: Almahira.
An-Nawawi, Imam. 2007. Raudhatuth-Thalibin. Jakarta Selatan: PustakaAzam Anggota IKAPI DKI.
Ar-Rahbawi, Abdul Qadir. 1994. Salat Empat Mazhab. Jakarta: PT Mitra Kerjaya Indonesia.
Ar-Rahbawi, Abdul Qadir. 2007. Fikih Shalat Empat Madzhab. Jogjakarta: Hikam Pustaka.
Ar-Rahbawi, Abdul Qadir. 2007. Panduan Lengkap Shalat Menurut Empat Madzhab. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
Dyayadi. 2007. Puasa Sebagai Terapi. Bandung: PT Mizan Pustaka.

Ja’far, Muhammadiyah. 1985. Zakat Puasa dn Haji. Malang: Kalam Mulia.
Sadili, Ahmad Nawawi. 2010. Panduan Praktis dan Lengkap Shalat Fardhu dan Sunnah. Jakarta: AMZAH.

Catatan:
Similarity Cuma 4%. Oke...




[1]Ahmad Nawawi Sadili, Panduan Praktis dan Lengkap Shalat Fardhu dan Sunnah, (Jakarta: AMZAH, 2010), hlm. 212.
[2]Abdul Qadir Ar-Rahbawi, Salat Empat Mazhab, (Jakarta: PT Mitra Kerjaya Indonesia, 1994), hlm.377.
[3]Ahmad Nawawi Sadili, Panduan Praktis dan Lengkap Shalat Fardhu dan Sunnah, (Jakarta: AMZAH, 2010), hlm. 213.
[4]Ahmad Nawawi Sadili, Panduan Praktis dan Lengkap Shalat Fardhu dan Sunnah, (Jakarta: AMZAH, 2010), hlm. 214.
[5]Abdul Qadir Ar-Rahbawi, Salat Empat Mazhab, (Jakarta: PT Mitra Kerjaya Indonesia, 1994), hlm.378.
[6]Dr. Sa’id bin Ali bin Wahaf Al-Qathani, Panduan Shalat Sunah & Shalat Khusus, (Jakarta: Almahira, 2008), hlm. 157.
[7]Buku 1Ahmad Nawawi Sadili, Panduan Praktis dan Lengkap Shalat Fardhu dan Sunnah, (Jakarta: AMZAH, 2010), hlm. 216.
[8]Ibid., hlm. 221.
[9]Buku 4Abdul Qadir Ar-Rahbawi, Panduan Lengkap Shalat Menurut Empat Madzhab, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2007), hlm. 373.
[10]Ibid,. Hlm. 374.
[11]Abdul Qadir Ar-Rahbawi, Fikih Shalat Empat Madzhab, (Jogjakarta: Hikam Pustaka, 2007), hlm.347.
[12]Ahmad Nawawi Sadili, Panduan Praktis dan Lengkap Shalat Fardhu dan Sunnah, (Jakarta: AMZAH, 2010), hlm. 223.
[13]Ibid,. Hlm. 223.
[14]Wahbah Al-Zuhayly, Puasa dan Iktikaf kajian berbagai mazhab (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2005), Hlm. 84-85
[15] Muhammad Ja’far, Zakat Puasa dan Haji (Malang: Kalam Mulia, 1985), Hlm. 87
[16] Wahbah Al-Zuhayly, Puasa dan Iktikaf kajian berbagai mazhab (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2005), Hlm. 108
[17] Wahbah Al-Zuhayly, Puasa dan Iktikaf kajian berbagai mazhab (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2005), Hlm. 122-132
[18] Wahbah Al-Zuhayly, Puasa dan Iktikaf kajian berbagai mazhab (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2005), Hlm. 132
[19] Muhammad Ja’far, Zakat Puasa dan Haji (Malang: Kalam Mulia, 1985), Hlm. 144-149
[20] Muhammad Ja’far, Zakat Puasa dan Haji (Malang: Kalam Mulia, 1985), Hlm. 104-106
[21] Wahbah Al-Zuhayly, Puasa dan Iktikaf kajian berbagai mazhab (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2005), Hlm. 160-167
[22] Wahbah Al-Zuhayly, Puasa dan Iktikaf kajian berbagai mazhab (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2005), Hlm. 169-170
[23]Dyayadi, Puasa Sebagai Terapi (Bandung: Penerbit Mizania, 2007), Hlm. 67-77
[24]Muhammad Ja’far, Zakat Puasa dan Haji (Malang: Kalam Mulia, 1985), hlm. 109
[25]Syaikh Salim bin Al-Hilali dan Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid, Puasa Bersama Nabi (Jakarta: Darus Sunah Press, 2007), Hlm. 111-120
[26]Wahbah Al-Zuhayly, Puasa dan Iktikaf kajian berbagai mazhab (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2005), Hlm. 190-199
[27] Muhammad Ja’far, Zakat Puasa dan Haji (Malang: Kalam Mulia, 1985), Hlm. 92-93
[28]Dyayadi, Puasa Sebagai Terapi (Bandung: Penerbit Mizania, 2007), Hlm. 168-170

Tidak ada komentar:

Posting Komentar