Minggu, 11 Februari 2018

Taqlid, Ittiba', Talfiq, dan Ijtihad (PAI B Semester Genap 2017/2018)




TAQLID, ITTIBA’, TALFIQ, DAN IJTIHAD DALAM USHUL FIQH

Fadlilatul Ilmillah, Addina Islami Asnawati, Syihabbuddin Al-Anshori, Ruth Nilam Apsari
PAI B Semester VI
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim, Malang

Abstract: This article describe about Taqlid, Ittiba’, Talfiq, and Ijtihad in Ushul Fiqh. The science of Ushul Fiqh is a method of exploring and determining a law, while Taqlid, Ittiba’, Talfiq, dan Ijtihad are forms anyone’s ability to practice a law. Taqlid is accepting or following someone’s opinion without knowing the basic, Ittiba’ is accepting and following someone’s opinion with knowing the basic. Talfiq is taking some laws as the basic to practice from the different madzhabs. While Ijtihad is mobilizing all the power to produce the syar’i law and the detail argumentation.
Keywords: Law, opinion, ability

Abstrak: Artikel ini menjelaskan tentang pembahasan Taqlid, Ittiba’, Talfiq, dan Ijtihad dalam Ushul Fiqh. Ilmu Ushul Fiqh merupakan metode untuk menggali dan menetapkan suatu hukum, sedangkan Taqlid, Ittiba’, Talfiq, dan Ijtihad adalah bentuk kemampuan seseorang dalam mengamalkan suatu hukum tersebut. Taqlid adalah menerima atau mengikuti pendapat seseorang tanpa mengetahui dasarnya, Ittiba’ adalah menerima dan mengikuti pendapat seseorang dengan mengetahui dasarnya. Talfiq adalah mengambil beberapa hukum sebagai dasar beramal dari berbagai madzhab yang berbeda. Sedangkan Ijtihad adalah mengerahkan segala daya untuk menghasilkan hukum syara’ dan dalilnya secara terperinci.
Kata Kunci: Hukum, pendapat, kemampuan.


Pendahuluan
Agama Islam adalah agama yang mengatur semua kebutuhan umatnya. Dasar yang digunakan sebagai pedoman untuk menjalankan syari’at Islam yakni al-Qur’an dan Sunnah. Sebagai seorang muslim yang baik, banyak ilmu yang harus diketahui dan dipahami untuk melaksanakan syaria’at Islam dalam setiap aktivitas kehidupannya. Salah satu ilmu tersebut adalah ilmu Ushul Fiqh. Ilmu Ushul Fiqh merupakan metode untuk menggali dan menetapkan suatu hukum. Dalam hal ini tidak semua manusia mendapatkan hukum dari sumber aslinya yaitu al-Qur’an dan Sunnah. Oleh karena itu para mujtahid lah (seorang penggali hukum) yang menjadi perantaranya. Mujtahid dianggap mampu menggali suatu hukum dari sumber aslinya.
Bagi orang awam yang dirasa tidak mampu untuk menggali dan menetapkan hukum Islam sendiri atau belum sampai pada tingkatan seorang mujtahid yang sudah sanggup menggali hukum-hukum Islam, maka diperbolehkan bagi mereka untuk mengikuti pendapat-pendapat dari para mujtahid yang mu’tabar (terpercaya) atau iftita’/ meminta penjelasan kepada ahl al-dzikr,[1] seperti taqlid, ittiba’, talfiq, dan ijtihad. Sebagaimana firman Allah SWT dalam Surotun Nahl ayat 43:

وَمَا أَرْسَلْنَا مِن قَبْلِكَ إِلاَّ رِجَالاً نُّوحِي إِلَيْهِمْ فَاسْأَلُواْ أَهْلَ الذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ  (٤٣)

Artinya: “Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang Kami beri wahyu kepada mereka; maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan, jika kamu tidak mengetahui” (QS. An-Nahl ayat 43)

Taqlid, Ittiba’, Talfiq, dan Ijtihad
Berikut adalah pembahasan mengenai Taqlid, Ittiba’, Talfiq dan Ijtihad:
1.      Taqlid
a.      Pengertian Taqlid
Secara arti kata etimologi taqlid pada awalnya bearti “mengalungi” dan memakaikan kalung, kemudian berarti “mengikuti seseorang secara patuh”. Secara definisi yang sederhana menurut Al- Ghazali adalah: (menerima ucapan orang lain tanpa hujah). Definisi yang lebih lengkap adalah yang diberikan Ibnu al-Humam: “Taklid ialah beramal dengan pendapat seorang yang tidak berkedudukan sebagai hujah, tanpa mengetahui hujahnya”[2]
Dalam artii lain, definisi taqlid adalah mengikuti pendapat seseorang mujtahid atau ulama tertentu tanpa mengetahui sumber dan cara pengambilan pendapat tersebut.[3] Sedangkan orang yang bertaqlid dinamakan muqallid.[4]
Dari definisi diatas, dapat kita tarik benang merah yatu terdapat dua unsur yang perlu diperhatikan dalam pembicaraan taqlid, yaitu pertama, menerima atau mengikuti suatu perkataan seseorang. Dan kedua, perkataan tersebut tidak diketahui dasarnya, apakah ada dalam Al-qur’an dan hadits.
Dari penjelasan dan analisis tentang definisi-definisi diatas, dapat dirumuskan hakikat taqlid,[5]yaitu:
1)      Taqlid itu adalah beramal dengan mengikuti ucapan atau pendapat orang lain
2)      Pendapat atau ucapan orang lain yang diikuti itu tidak bernilai hujah
3)      Orang yang mengikuti pendapat orang lain itu tidak mengetahui sebab-sebab atau dalil-dalil dan hujah dari pendapat yang diikutinya itu.
            Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahawa taqlid adalah kebalikan dari ittiba’ yaitu mengikuti hasil ijtihad orang lain tanpa ditunjuki atau diberitahu dalil-dalilnya. Sedangkan orang yang bertaqlid dinamakan muqallid.[6] Muqallid yaitu orang tidak mampu menghasilkan pendapat senidiri tentang hukum agama, oleh karena itu ia mengikuti saja pendapat dari orang lain yang dianggap sebagai ulama atau mujtahid itu tanpa mengetahui alasan dalil dari pendapatnya tersebut.
            Menurut Kiai Muchith, setidaknya ada empat tingkatan orang yang disebut muqallid, [7]yaitu:
1)      Mengikuti pendapat tokoh tertentu dan mengerti dalil-dalil, argumentasi (hujjah) dan metode yang dipergunakan oleh tokoh yang diikuti.
2)      Mengikuti pendapat tokoh tertentu dan mengetahui dalil yang dipergunakan secara fragmentaris dan sporadis (sepotong-sepotong) saja.
3)      Mengikuti pendapat tokoh tertentu, hanya dengan kepercayaan bahwa pendapat yang diikuti itu adalah benar, sesuai dengan ajaran Islam sebagaimana disampaikan oleh Rasulullah SAW tanpa mengetahui dalil-dalil, argumentasi, metode dan lain sebagainya.
4)      Mengikuti pendapat tokoh tertentu dengan mengikuti pelajaran atau pengajuan yang diterimanya dari kiai, ulama, ustad atau gurunya di pesantren, di madrasah, di sekolah, di kursus atau ceramah atau di majalah dan sebagainya. Mereka yakin atas kemampuan dan kejujuran para pengajar itu.
b.      Hukum Taqlid
Menurut ahlisunnah wal jama’ah, hukum bertaqlid adalah wajib atas tiap orang yang tak memiliki syarat-syarat berijtihad. Yang dimaksud di sini adalah taqlid dalam urusan Fiqh/Hukum bukan dalam urusan Tauhid.[8] Karena dalam Al-Qur’an ada pula perintah bagi orang awam yang tidak mengetahui tentang hukum agama untuk bertanya kepada orang yang lebih tahu sebagaimana yang terdapat dalam QS. An-Nahl ayat 43 yang telah dijelaskan sebelumnya.
Oleh karena itu, untuk menentukan hukum bertaqlid itu tidak dapat diambil secara hitam putih, tetapi harus melihatnya dari beberapa segi.[9]
1)      Taqlid yang dilakukan oleh mujtahid kepada mujtahid lain. Dalam hal ini terdapat beragam pendapat sebagai berikut:
a)      Kebanyakan ulama sepakat mengatakan haram hukumnya seorang mujtahid melakukan taqlid secara mutlak, karena ia mampu melakukan ijtihad dengan sendirinya.
b)      Sebagian ulama seperti Ahmad bin Hambal, Abu Ishak bin al-Rahawaih dan Sofyan al-Tsauri mengatakan boleh mujtahid melakukan taqlid kepada mujtahid lain secara mutlak.
c)      Imam Syafi’iy dalam qaul qadimnya (waktu di Iraq) berpendapat boleh mujtahid bertaqlid  kepada mujtahid lain dalam level sahamabt Nabi dan tidak boeh kepada mujtahid lainnya.
d)     Muhammad bin Hasanal-Syaibani berpendapat, boleh mujtahid bertaqlid kepada mujtahid lain yang lebih alim daripadanya.
e)      Ulama lain berpendapat bahwa boleh mujtahid bertaqlid kepada mujtahid lain, tetapi hanya untuk diamalakannya sendiri dan tidak untuk difatwakan
f)       Ibnu Sureji berpendapat bolehnya mujtahid bertaqlid kepada mujtahid lain bila ia menghadapi keterbatasan waktu untuk berijtihad sendiri.
g)      Ulama lain berpendapat bolehya seseorang mujtahid bertaqlid kepada mujtahid lain bila ia seorang yang sedang bertugas sebagai qadhi.
2)      Hukum taqlid yang dilakukan oleh al-muttabi’ atau alim. Dalam hal ini ulama juga beda pendapat sebagai berikut:
a)      Sebagaian ulama berpendapat bahwa tidak boleh seorang alim bertaqlid kepada mujtahid, karena ia mempunyai kemampuan untuk mendapatkan hukum dengan sendirinya walaupun ia belum mencapai kemampuan mujtahid.
b)      Sebagian ulama berpendapat boleh seseorang alim bertaqlid kepada mujtahid lain dengan syarat ia dapat mengetahui kekuatan dalil yang digunkan mujtahid yang diikutinya itu.
3)      Hukum bertaqlid yang dilakukan orang awam kepada seorang mujtahid. Hal ini juga menjadi tempat beda pendapat sebagai berikut:
a)      Menurut al-Baidhawiy dari kalangan Syafi’iyah dan kebanyakan ulama liannya berpendapat bahwa bolehnya orang awam dan orang yang tidak mempunyai kemampuan berijtihad untuk bertaqlid . bahkan diantara golongan ini ada yang mewajibkan orang awam bertaqlid kepada mujtahid, sesuai dengan kehendak Allah dalam ayat 43 surat an-Nahl yang telah disebutkan.
b)      Segolongan ulama Mu’tazilah Baghdad berpendapat tidak bolehnya orang awam bertaqlid,tetapi ia wajib mencapai hukum melalui ijtihadnya dan untuk itu ia harus belajar. Mereka mengemukakan beberapa argumen yang diantaranya ialah terdapat dalam Firman Allah SWT QS. Luqman ayat 21 sebagai berikut:

وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ اتَّبِعُوا مَا أَنزَلَ اللَّهُ قَالُوا بَلْ نَتَّبِعُ مَا وَجَدْنَا عَلَيْهِ آبَاءنَا أَوَلَوْ كَانَ الشَّيْطَانُ يَدْعُوهُمْ إِلَى عَذَابِ السَّعِيرِ (۲١)
Artinya:
Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Ikutilah apa yang diturunkan Allah." Mereka menjawab: "(Tidak), tapi kami (hanya) mengikuti apa yang kami dapati bapak-bapak kami mengerjakannya." Dan apakah mereka (akan mengikuti bapak-bapak mereka) walaupun syaitan itu menyeru mereka ke dalam siksa api yang menyala-nyala (neraka)?(QS Luqman ayat 21)
Ayat ini mengkritik orang-orang yang ikut-ikutan mengerjakan apa-apa yang dilakukan bapaknya dan generasi sebelumnya. Ayat ini mengisyaratkan bahwa Allah tidak senang kepada orang yang ber-taqlid. Hal ini berarti bahwa berijtihad itu wajib hukumnya.[10]
c)      Al-Jubba’iy dari kalangan Mu’tazilah berpendapat bolehnya seorang awam bertaqlid dalam bidang ijtihadiyah dan tidak boleh dalam hal-hal yang ada nashnya yang jelas.
Adapaun hukum lainnya tentang bertaqlid menurut para ulama ushul fiqih sepakat melarang taqlid dalam tiga bentuk sebagai berikut ini.[11]
1)      Semata-mata mengikuti tradisi nenek moyang yang bertentangan dengan Al-qur’an dan Hadits.
2)      Mengikuto orang atau sesuatu yang tidak diketahui kemampuan dan keahliannya dan menggandrungi daerahnya itu melebihi kecintaannya kepada dirinya sendiri.
3)      Mengikuti pendapat seseorang, padahal dikethui bahwa pendapat tersebut salah.
Adapun beberapa contoh taqlid yang terjadi pada saat ini, diantaranya ialah seperti seseorang yang membaca qunut ketika sholat pada rokaat kedua sholat subuh, ketika dia hanya mengikuti pandangan guru ngajinya, tanpa pernah tau darimana dalil yang melandasinya.

2.      Ittiba’
a.      Pengertian Ittiba’
Kata ittiba’ berasal dari bahasa Arab, dari kata kerja (fi’il)
 تَبِعَ – يَتْبَعُ – تَبَعًا – وَتَبَعَةً  yang artinya mengikuti atau menyusul.[12]
Dalam bahasa Indonesia, “al-ittiba’” berarti mengikuti. Namun setelah berproses serta membentuk makna dan pengertian spesifik yang terstruktur, termasuk berdasarkan perspektif al-Qur‘an dan Hadits, yang dimaksud al ittiba’ tidak sama sekali dimaksudkan untuk mengikuti sembarangan orang atau siapa saja. Karena al-ittiba yang dimaksud adalah mengikuti Rasulullah  (ittiba’ Rasul Allah), Nabi terakhir yang diutus Allah , sebagaimana firman-Nya yang artinya:
“Katakanlah: “Jika kalian (benar-benar) mencintai Allah, maka ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosa kalian.”. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Q.S. Ali Imron)
al-ittiba’ yang dimaksud al-ittibā’ adalah mengikuti Rasulullah , maka maksudnya adalah mengikuti syariat dan agama atau Sunnahnya dalam setiap perkataan dan amal perbuatannya, serta dalam berbagai keadaan yang dialaminya.[13]
Kata ‘’Itibbaa’a’’ berasal dari bahasa Arab, yakni dari kata kerja atau fi’il yaitu Ittaba’a-Yattbiu-Ittiba’an,  yang artinya adalah mengikut atau menurut.
Ittiba’ yang dimaksud di sini adalah:
قَبُوْلُ قَوْلِ اْلقَائِلِ وَأَنْتَ تَعْلَمُ مِنْ أَيْنَ قَالَهُ
“Menerima perkataan orang lain yang berkata, dan kamu mengetahui alasan perkataannya.”
Di samping ada juga yang memberi definisi :
قَبُوْلُ قَوْلِ اْلقَائِلِ بِدَلِيْلٍ رَاجِحٍ
“menerima perkataan seseorang dengan dalil yang lebih kuat.”
Jika kita gabungkan definisi-definisi di atas, dapat kita simpulkan bahwa, ittiba’ adalah mengambil atau menerima perkataan seorang fakih atau mujtahid, dengan mengetahui alasannya serta tidak terikat pada salah satu mazhab dalam mengambil suatu hukum berdasarkan alasan yang diaagap lebih kuat dengan jalan membanding.

b.      Hukum Ittiba’
Dari pengertian tersebut di atas, jelaslah bahwa yang dinamakan ittiba’ bukanlah mengikuti pendapat ulama tanpa alasan agama. Adapun orang yang mengambil atau mengikuti alasan-alasan, dinamakan “Muttabi”.[14]
Hukum ittiba’ adalah Wajib bagi setiap muslim, karena ittiba’ adalah perintah oleh Allah, sebagaimana firmannya:
اِتَّبِعُوْا مَا أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ مِنْ رَبِّكُمْ وَلاَ تَتَّبِعُوْا مِنْ دُوْنِهِ أَوْلِيَاءَ قَلِيْلاً مَا تَذَكَّرُوْنَ . (الأعرف : ۳)
“Ikuti apa yang diturunkan padamu dari Tuhanmu, dan janganlah kamu ikuti selain Dia sebagai pemimpin. Sedikit sekali kamu mengambil pelajaran.” (QS. Al-A’raf ayat 3)
Dalam ayat tersebut kita diperintah mengikuti perintah-perintah Allah. Kita telah mengikuti bahwa tiap-tiap perintah adalah wajib, dan tidak terdapat dalil yang merubahnya.
Di samping itu juga ada sabda Nabi yang berbunyi:
عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِى وَ سُنَّةُ الْخُلَفَاءِ الرَّشِدِيْنَ مِنْ بَعْدِى ـ (رواه ابو داود)
“Wajib atas kamu mengikuti sunnahku dan perjalanan/sunnah Khulafaur Rasyidin sesudahku.” (HR.Abu Daud)
Kalangan ushuliyyin mengemukakan bahwa ittiba’ adalah mengikuti atau menerima semua yang diperintahkan atau dilarang atau dibenarkan oleh Rasulullah. Dalam versi lain, ittiba’ diartikan mengikuti pendapat orang lain dengan mengetahui argumentasi pendapat yang diikuti.
Hukum ittiba adalah wajib, kalau sekiranya kita tidak bisa berijtihad sendiri. Dan inilah tujuan kita sebagai seorang muslim agar kita bisa memahami secara baik agama kita dan semua peraturan-peraturan yang ada di dalamnya. Kita diwajibkan bertanya seandainya kita tidak mengerti dan mengetahui dalilnya adalah faktor yang penting dalam kesempurnaan amal kita.
3.      Talfiq
Talfiq berasal dari kata لفّق yang artinya mempertemukan menjadi satu.[15] Menurut sumber lain adalah menutup, menambal, tak dapat mencapai, dan lain sebagainya.[16] Adapun talfiq yang dimaksudkan dalam pembahasa n ilmu Ushul Fiqh adalah
اَلْعَمَلُ بِحُكْمٍ مُؤَلَّفٍ بَيْنَ مَذْهَبَيْنِ اَوْ اَكْثَرَ
“Mengamalkan suatu hukum yang terdiri dari dua madzhab atau lebih”
Maksud dari pernyataan diatas, talfiq adalah mengambil suatu hukum sebagai dasar beramal dalam urusan agama dengan berpedoman dari berbagai madzhab atau pendapat yang berbeda.
Sebagai contoh, seseorang yang berwudhu mengikuti pendapat Imam Syafi’I dengan hanya mengusap sebagian kepala lali mengikuti pendapat Abu Hanifah dalam permasalahan ketidakbatalan wudhu dengan bersentuhan kulit dengan lawan jenis selain mahrom. Kemudian ia melakukan sholat. Wudhu dengan semacam ini tidak dianggap sah oleh kedua imam madzhab tersebut. Imam Syafi’i menganggap wudhu tersebut batal karena bersentuhan kulit dengan lawan jenis yang bukan mahrom, sedangkan Abu Hanifah tidak memandang sah karena tidak mengusap sekedar seperempat bagian kepala. Contoh tersebut menggambarkan bahwa penggabungan pendapat sebagai dasar beramal mengakibatkan amalnya batal. Karena itu talfiq dibenarkan selama tidak batal amaliyahnya.
Setelah dilakukan penelitian, diperbolehkannya talfiq adalah dalam perselisihan para ulama, atau lebih jelasnya adalah para fuqoha muta’akhirin, dan mereka yang fanatik terhadap madzhab, berfatwa bahwa para qodhi berhak menghukum (ta’zir) terhadap orang yang berpindah madzhab.

4.      Ijtihad
a.      Pengertian Ijtihad
Kata ijtihad berasal dari kata “jahada”.[17] Perubahan kata dari jahada menjadi ijtahada mengandung beberapa arti, diantaranya ialah, lial-mubalaghah, yaitu menunjuk penekanan arti, dengan demikian dari kedua bentuk kata masdar diatas menjadi terdapat kandungan makna kesungguhanya atau kemampuan yang maksimum. Ijtihad menurut istilah ushuliyyin[18]
بِذْلُ الجهد للوصول إلى الحكم الشرعى من دليل تفصيل من الأدلة الشرعية
“pencurahan segala kemampuan untuk mendapatkan hukum syara’ melalui dalil-dalil syara’”.
Adapun kata ijtihad secara terminology, terdapat beberapa definisi yang dikemukakan oleh ulama, yang pada umumnya menunjukan pengertian yang hampir sama, dan antara satu definisi dengan definisi lainya bersifat saling melengkapi. Definisi tersebut antara lain:
1)      Menurut Imam as-Subki
Pengerahan kemampuan seorang ahli fiqh untuk menghasilkan hukum syara’ yang bersifat zhanni
2)      Menurut al Amidi
Pengerahan kemampuan secara maksimum, dalam menemukan hukum syara’ yang bersifat zhanni, sehingga merasa tidak mampu menghasilkan lebih dari temuan tersebut.
3)      Menurut asy-Syaukani
Pengerahan kemampuan dalam mencapai hukum syara’ yang bersifat amaliyyah dengan menggunakan metode istinbath.[19]
4)      Menurut Muhammad Abu Zahra
Pengerahan kemampuan seorang ahli fiqh untuk menggali hukum-hukum (syara’) yang bersifat amaliyyah dari dalil-dalil yang bersifat terperinci.
Dari empat definisi yang dikutip di atas dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan ijtihad memeliki beberapa unsur yaitu sebagai berikut.[20]
1)      Pengerahan kemampuan nalar secaara maksimum dari orang yang berpredikat sebagai mujtahid.
2)      Menggunakan metode istinbath (penggali hukum)
3)      Objek ijtihad adalah dalil-dalil syara’ yang terperinci
4)      Tujuan ijtihad adalah untuk menemukan hukum syara’ yang berkaitan dengan masalah-masalah amaliyah (bukan yang berkaitan dengan masalah akidah atau akhlak)
5)      Hukum syara’ yang ditemukan tersebut bersifat zhanni (kuat dugaan; relative), bukan yang bersifat qathi’i (pasti benar, absolute)
Sementara itu, definisi diatas juga menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan mujtahid adalah, orang yang mengerahkan kemampuan nalarnya secara maksimum untuk menemukan hukum-hukum syara’ dari dalil-dalil syara’, melalui metode penggalian hukum tertentu yang berkaitan dengan masalah-masalah amaliyyah. Dengan kata lain, fungsi mujtahid bukanlah menciptakan atau menetapkan hukum diluar hukum syara’ (mutsbit li al-hukm), tetapi mengungkapkan dan membuat terang hukum syara’ (muzhir li al hukm), yang pada hakikatnya memang telah ada tetapi masih tersembunyi. Uraian lebih terperinci tentang hal ini akan dikemukakan pada buku kedua, dalam pembahasan alhikam.[21]
b.      Dasar Hukum Ijtihad
Melakukan ijtihad diperbolehkan, dengan catatan harus mengembalikan sesuatu yang diperbedakan kepada al-Qur’an dan Sunnah. Sebagaimana firman Allah SWT dalam surotun Nisa’ ayat 59.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَطِيعُواْ اللّهَ وَأَطِيعُواْ الرَّسُولَ وَأُوْلِي الأَمْرِ مِنكُمْ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللّهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً (٥٩)
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. An-Nisa’ ayat 59)

c.       Macam-macam Ijtihad
Ijtihad dapat dibagi kepada tiga macam, yaitu sebagai berikut:
1)      Al-Ijtihad al-bayani, yaitu suatu kegiatan ijtihad yang bertujuan untuk menjelaskan hukum-hukum syara’ yang terdapat dalam nashsh al-Qur’an dan sunnah.
2)      Al-Ijtihad al-Qiyasi, yaitu kegiatan ijtihad untuk menetapkan hukum-hukum syara’ atas peristiwa-peristiwa hukum yang tidak ada nash al-Qur’an maupun sunnahnya, dengan cara mengqiyaskannya kepada hukum-hukum syara’ yang ada nash-nya
3)      Al- Ijtihad al-Istishlahi, yaitu suatu kegiatan ijtihad untuk menetapkan hukum syara’ atas peristiwa-peristiwa hukum yang tidak ada nashsh-nya, baik dari al-Qur’an maupun sunnah, melalui cara penalaran berdasarkan prinsip al-istishlah (kemaslahatan)[22]
d.      Persyaratan menjadi Mujathid
Tidak sembarang orang dapat menjadi mujtahid. Untuk menjadi mujtahid, seseorang harus memiliki beberapa persyaratan yang mengindikasikan bahwa ia memiliki kemampuan dan ahli untuk berijtihad.
Seseorang tidak mungkin disebut memiliki kemampuan dan keahlian berijtihad jika tidak memiliki pengetahuan yang mendalam tentang tujuan pensyariatan hukum Islam dari nashah-nashsh al-Qur’an dan sunnah. Dalam pada itu, untuk mengetahui tujuan pensyariatan hokum islam, seseorang harus memiliki beberapa persyariatan, baik yang bersifat umum maupun khusus, sebagaimana diuraikan di bawah ini:
1)      Persyaratan Umum
Setiap orang yang mengklaim dirinya sebagai seorang mujtahid, pertama-tama haruslah memiliki persyaratan umum, yaitu sebagai berikut:
a)      Baligh; persyaratan baligh bersifat mutlak, sebab untuk menjadi seorang mujtahid diperlukan kematangan dalam berpikir, sedangkan anak-anak belum memiliki kematangan berpikir. Itulah sebabnya, anak-anak tidak dibebani tanggung jawab hukum (tidak muallaf).
b)      Berakal; Agaknya persyaratan ini tidak memerlukan penjelasan lebih lanjut, karena berijtihad mengandalkan aktivitas akal.
c)      Memiliki bakat kemampuan nalar yang tinggi untuk memahami konsep-konsep yang pelik dan abstrak. Sebab, kegiatan ijtihad tidak dapat dilakukan oleh yang tidak memiliki kemampuan nalar yang tinggi.
d)     Memiliki keimanan yang baik, dalam arti, keimananya tidak berdasarkan taqlid, sebagaimana keimanan orang awam. Sebab, orang yang tidak memiliki persyarat ini, tidak memiliki kedalaman spiritual dan integritas moral. Akan tetapi, persyaratan yang keempat ini banyak diperdebatkan ulama, terutama jika yang dimaksudkan dengan keimanan yang baik adalah menguasai ilmu kalam secara mendalam.[23]
2)      Persyaratan Utama
Setelah memenuhi persyaratan umum di atas, seorang mujtahid haruslah pula memiliki beberapa syarat utama sebagai berikut:
a)      Memahami bahasa Arab. Mengetahui bahasa arab merupakan salah satu syarat terpenting dalam kegiatan ijtihad. Termasuk dalam pengertian memahami bahasa arab ialah, jika seseorang mengetahui ilmuan-nahwu, ash-sharf, al balaghah, ma’ani al mufrodat, dan gaya bahasa arab(al-uslub) yang berbeda-beda dalam mengungkapkan suatu pengertian.
b)      Menguasai ilmu ushul fiqh. Sebab, berijtihad melakukan pembahasan di seputar masalah memahami hukum dari dalil-dalil syara’. Betapa mungkin seseorang yang hendak menemukan hukum syara’, tetapi tidak memahami dalil-dalil syara’. Sebagaimana telah dijelaskan, meskipun pada masa imam madzab sebelum asy-syafi’i belum ditemukan kitab ushul fiqh, tidak berarti bahwa ilmu ushul fiqh berbeda. Yang belum ada adalah kitab ushul fiqh yang tulis secara sistematis. Sedangkan ilmunya sudah ada sejak masa-masa awal Islam. Tidak mungkin para mujtahid sebelum asy-syafi’i berijtihad tanpa menguasai kaidah-kaidah istinbath dan memahami tunjukan makna nashsh terhadap hukum. Pada hakikatnya kedua bidang inilah yang disebut dengan ilmu ushul fiqh.
c)      Memahami al qur’an secara mendalam, minimal yang berkaitan dengan ayat-ayat hukum (ayat al ahkam). Termasuk dalam persyaratan ini adalah memahami ilmu asbabun nuzul. Sebab, dengan mengetahui asbab nuzul, seseorang dapat dengan mudah dan cepat memahami ayat-ayat alqur’an dengan baik. Demikian juga ilmuan nasikh wa al mansukh, agar ia tidak keliru menggunakan dalil ayat yang sudah mansukh.
d)     Memahami sunnah. Dalam hal ini, minimal hadis-hadis yang berkaitan dengan hukum syara’. Persyaratan ini bersifat mutlak, karena sunnah merupakan sumber hukum kedua setelah Al Qur’an. Termasuk juga dalam persyaratan ini ialah, memahami ulumul hadis, agar seorang mujtahid dapat membedakan kualitas dan tingkatan hadis yang akan digunakan sebagai dalil.
e)      Memahami tujuan-tujuan pensyaratan hukum (maqashid asy- syari’ah). Mengingat persyaratan ini sangat penting, asy-Syatibi berpendapat bahwa pengetahuan terhadap hal ini merupakan syarat paling utama dalam berijtihad[24]
e.       Kedudukan Hasil Ijtihad
Apabila kejadian yang hendak diketahui hukum syaraknya itu telah memiliki dalil yang jelas dan petunjuk serta makna yang pasti, maka tidak ada peluang untuk ijtihad. Yang wajib adalah melaksanakan pemahaman yang telah ditunjukkan oleh nash.[25] Hukum yang dihasilkan melalui ijtihad mempunyai pengaruh terhadap kaum muslimin, orang yang bertanya, maupun orang yang berijtihad itu sendiri.
1)      Pendapat atau hukum sebagai hasil ijtihad seseorang tidak mengikat kaum muslimin dan tidak mengharuskan orang lain untuk mengamalkannya.
2)      Berijtihad dalam suatu masalah oleh seseorang tidak mengahalangi orang lain berijtihad dalam masalah yang sama walaupun hukum yang dihasilkan berbeda.
3)       Hasil ijtihad adalah pendapat yang didasarkan atas dugaan kuat (dzanni)
4)      Kedudukan ijtihad sangat penting setelah Al-Qur’an dan Sunnah, dan berfungsi untuk mengembangkan prinsip-prinsip hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an dan Sunnah seperti dengan qiyas, istihsan, maslahah mursalah, dll.[26]

Kesimpulan
            Setelah memaparkan beberapa pembahasan dalam ilmu Ushul Fiqh, kita dapat menyimpulkan bahwa urutan kemampuan seseorang dalam mengamalkan suatu hukum dari yang terendah adalah Taqlid, Ittiba’, Talfiq, dan Ijtihad. Diantara urutan tersebut yang lebih baik penggunaannya adalah tergantung dari kemampuan seseorang itu sendiri.
Daftar Rujukan
Abd. Muchith dalam Jurnal yang berjudul  Sistem Bermadzhab Paling Proporsional dan Realistis”
Ahmad ibn Taimiyyah al-Harrānī, Majmū’ah al-Fatāwā, ed. ’Āmir al-Jazzār dan Anwar al-Bāz, Riyadh: Maktabah al-’Ubaikān, 1998, vol. 1.
Alwi, M. Basori. 1974. Ahlussunnah Wal Jama’ah. Malang:
Djalil, A Basiq. 2010. Ilmu Ushul Fiqh 1 dan 2. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Effendi, Satria. 2005. Ushul Fiqh. Jakarta: Prenada Media.
Faisol, Al Hakam. 2015. Modul Fiqh wa Ushuluhu Kelas XII Jurusan Keagamaan. Jombang: MAN Denanyar.
Ibrahim Hosen dalam Artikel yang berjudul “Taqlid dan Ijtihad-Beberapa Pengertian Dasar”
Khallaf, Abdul Wahab. 2003. Ilmu Ushul Fikih Kaidah Hukum Islam. Jakarta: Pustaka Amani.
Koto, Alaiddin. 2006.  Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Minhaji, Akh. 2005.  Ijtihad dan Legislasi Muslim Kontemporer. Yogyajarta: UII Press.
Rahmandahlan, Abd. Ushul Fiqh. Jakarta: PT. Sinar Grafika
Syarifuddin, Amir. 2008. Ushul Fiqih Jilid 2. Jakarta: Kencana Prenadamedia Group.
Syarifuddin, Amir. 2012. Garis-garis Besar Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana Prenadamedia Group.

Catatan:
1.      Similarity makalah ini cukup tinggi, 25%.
2.      Jika artikel jurnal menjadi referensi, maka harus diberikan keterangan lengkap jurnalnya. Di makalah ini tidak ditemukan hal tersebut.
3.      Dalam KBBI, ditulis Alquran dan sunah. Itu penulisan yang benar menurut KBBI saat ini.
4.      Pendahuluan sudah baik, tapi masih belum bisa mengantarkan pada pembahasan secara utuh.
5.       Kesimpulan terlalu singkat.
6.      Kajian mengenai talfiq terlalu sempit, jika dibaca orang Muhammadiyah mereka akan tersinggung, sebab Muhammadiyah melakukan talfiq.







[1] Ibrahim Hosen dalam Artikel yang berjudul “Taqlid dan Ijtihad-Beberapa Pengertian Dasar”
[2] Amir Syarifuddin, Garis-garis Besar Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2012), hlm. 163
[3] Alaiddin Koto, Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006), hlm. 130
[4] Ibid, hlm. 132
[5] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqih Jilid 2, (Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2008), hlm. 462
[6]Alaiddin Koto, Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih, hlm. 132
[7] K.H Abd. Muchith, Jurnal “Sistem Bermadzhab Paling Proporsional dan Realistis”
[8] M. Basori Alwi, Ahlussunnah Wal Jama’ah, (Malang, 1974), hlm. 35
[9] Amir Syarifuddin, Garis-garis Besar Ushul Fiqh, hlm. 165-167
[10] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqih Jilid 2, hlm. 472
[11] Alaiddin Koto, Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih,), hlm. 133-134
[12] A.W. Munawir. Al-Munawir Kamus Arab-Indonesia.
[13]Ahmad ibn Taimiyyah al-Harrānī, Majmū’ah al-Fatāwā, ed. ’Āmir al-Jazzār dan Anwar al-Bāz, Riyadh: Maktabah al-’Ubaikān, 1998, vol. 1, hlm. 231.
[14] A. Basiq Djalil, Ilmu Ushul Fiqh 1 dan 2, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), hlm 196.
[15] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqih Jilid 2, hlm. 482
[16] A. Basiq Djalil, Ilmu Ushul Fiqh 1 dan 2, hlm 207.
[17] Akh. Minhaji, Ijtihad dan Legislasi Muslim Kontemporer, (Yogyajarta: UII Press, 2005), hlm 11.
[18] Al Hakam Faisol, Modul Fiqh wa Ushuluhu Kelas XII Jurusan Keagamaan, (Jombang: MAN Denanyar, 2015), hlm 61.
[19] Abd.Rahmandahlan,Ushul Fiqh, (Jakarta: PT. Sinar Grafika, ) hlm 339.
[20] Abd.Rahmandahlan,Ushul Fiqh, hlm 340
[21] Ibid
[22]Abd.Rahmandahlan,Ushul Fiqh, hlm 348
[23]Ibid, hlm 350
[24]Abd.Rahmandahlan,Ushul Fiqh, hlm 351
[25] Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fikih Kaidah Hukum Islam, (Jakarta: Pustaka Amani, 2003), hlm 317.
[26] Satria Effendi, Ushul Fiqh, (Jakarta: Prenada Media, 2-005), hlm 249.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar