Selasa, 11 Februari 2020

Taqlid, Talfiq, dan Ittiba' (PAI A Semester Geppa 2019-2020)



TAQLID, TALFIQ, DAN ITTIBA’ DALAM USHUL FIQH
Najdatin Jayyidah       (17110005)
Agus Ashadi              (17110187)

Abstract
This paper discusses a main theme in Usul Fiqh which is Taqlid, Talfiq, and Ittiba '. This taqlid discussion is an important discussion in a person to follow one's opinion or speech without the evidence. While the discussion of talfiq is about the merging of opinions from several opinions of schools in conducting a worship. And the discussion of ittiba 'is the antonym of the meaning of taqlid above, that is, following a statement or opinion from someone but knowing their arguments. All of these things are aimed at determining the pros and cons of performing legal sharia in one's daily life.
Keywords:Taqlid, Talfiq, Ittiba’

Abstrak
Makalah ini membahas tentang suatu tema pokok dalam Ushul Fiqh ialahTaqlid, Talfiq, dan Ittiba’. Pembahasan taqlid ini adalah pembahasan yang penting dalam diri seseorang untuk mengikuti pendapat atau ucapan seseorang tanpa hujjah. Sedangkan pembahasan talfiq yaitu mengenai penggabungan pendapat dari beberapa pendapat madzhab dalam melakukan suatu ibadah. Dan pembahasan ittiba’ ialah antonim dari makna taqlid di atas yaitu mengikuti suatu ucapan atau pendapat dari seseorang akan tetapi mengetahui dalil-dalilnya. Semua hal tersebut bertujuan dalam menentukan baik buruknya dalam melakukan syari’at hukum dalam keseharian hidup seseorang.
Kata kunci:Taqlid, Talfiq, Ittiba’
A.     Pendahuluan
Sumber hukum dalam Islam, ada yang sudah disepakati para ulama’ disebut muttafaq dan ada yang masih diperselisihkan disebut mukhtalaf. Sumber hukum Islam yang telah disepakati oleh jumhur ulama adalah Al Qur’an, Hadits, Ijma’ dan Qiyas. Serta para ulama setuju dengan urutan pengambilan keputusan tersebut sesuai dengan urutan yaitu Al-Qu’an, Hadits, Ijma;, dan Qiyas.
Sedangkan sumber hukum Islam yang sekarang masih diperselisihkan di kalangan para ulama’ selain sumber-sumber hukum yang empat di atas antara lain istihsân, maslahah mursalah, istishâb, ‘uruf, madzhab as-Shahâbi, syar’u man qablana.
Oleh karena itu, sumber hukum Islam berjumlah sepuluh, empat yang pertama sumber hukum yang telah disepakati dan enam sumber hukum yang masih diperselisihkan.
Sebagian ulama mengemukakan enam sumber hukum yang masih diperselisihkan tersebut sebagai dalil hukum bukan sumber hukum, namun ulama yang lainnya menyebutkan sebagai metode ijtihad.

B.     TAQLID
1.      Taqlid
Istilah taqlid (تقليد) merupakan asal kata dari fi’il madhi (kata dasar) تقلد dan قلد yang secara bahasa berarti “mengalungkan” atau “menjadikan kalung”. Jika dikatakan: قلد عامة مصر الشفعي, masyarakat awam di Mesir telah mengikuti pendapat Imam Syafi’i. Hal tersebut mengandung arti untuk menjadikan pendapat dari Imam al-Syafi’i sebagai kalung.[1]
Istilah taqlid mempunyai kaitan dengan kata qaladah (قلادة) yang memiliki makna kalung. Berdasarkan awal mulanya, قلادة(kalung) tersebut dipakai suatu hal yang diikatkan membelit leher seekor hewan, dan seekor hewan yang telah dikalungi tersebut mengikuti sepenuhnya ke arah mana seseorang itu  menarik kalung yang membelitnya. Jika suatu “kalung” tersebut adalah suatu “pendapat” ataupun “perkataan” seseorang, maka orang itu berpendapat dan seseorang yang dikalungi tersebut mengikuti “pendapat” orang tersebut tanpa menanyakan lagi kenapa “pendapat” itu demikian.
Dari penjelasan di atas, maka sudah pasti secara bahasa tersebut apabila diuraikan, “Si fulan ber-taqlid terhadap si A”, yakni si fulan mengikuti pendapat si A tersebut dengan setia tanpa harus mengetahui mengapa si A berpendapat seperti itu.
Dilihat dari taqlid secara bahasa ada juga beberapa paparan secara istilah hukum yang keterkaitannya tidak jauh berbeda dari hakikatnya. Diantara pengertian taqlid secara istilah, yaitu ;
1.      Al-Ghazali mendefinisikan:
قبول قول بلا حجة
“Menerima ucapan tanpa hujah.”
2.      Dalam kitab Nihayat al-Ushul Al-Asnawi mendefinisikan:
التقليد هو الأخذ بقول غيره من غير دليل
“Mengambil perkataan orang lain tanpa dalil.”
3.      Dalam kitab Jam’ul Jawami’  Ibn Subki mendefiisikan:
التقليد أخذ القول من غير معرفة دليل
“Taqlid ialah mengambil suatu perkataan tanpa mengetahui dalil.”[2]
Dan masih banyak pemaparan makna taqlid yang tidak jauh berbeda dari tiga definisi di atas.
Dari tiga pengertian secara istilah tentang taqlid di atas, Imam Al-Ghazali mengemukakan pengertian tersebut secara ringkas dan sederhana. Akan tetapi definisi tersebut jika ditelaah secara sederhana belum memiliki pengertian yang lengkap maka masih menimbulkan pertanyaan yang harus dijelaskan.
Pemaparan definisi taqlid menurut Al-Asnawi banyak menjawab kesamaran yang ada di dalam pemaparan definisi menurut Imam Al-Ghazali tersebut. Dalam pengertian yang dikemukakan itu beliau menggunakan kata “mengambil” sebagai pengganti dari kata “menerima” tapi dua kata tersebut tetap memiliki maksud yang sama. Kata “orang lain” mengandung maksud kata atau pendapat orang lain, bukan pendapat atau kata dari dirinya sendiri. Sedangkan kata “tanpa dalil” tersebut memperjelas atau menejelaskan kata “tanpa hujah” yang telah dipaparkan dari Imam AL-Ghazali.
Akan tetapi kesamaran kembali timbul dari kata “tanpa dalil” itu, maksud kata tanpa dalil tersebut bukan berarti pendapat yang diambil itu tidak berdalil atau tidak memliki dalil, akan tetapi orang yang menerima pendapat tersebut tidak mengetahui dalil-dalil yang terkandung dalam suatu pendapat itu yang telah dikemukakan oleh orang lain.
Al-Mahalli yang mensyarah kitab Jam’u al-Jawami’ mengemukakan bahwa apabila menerima atau mengambil selain ucapan, baik dalam bentuk suatu perbuatan ataupun suatu pengakuan maka hal tersebut tidak dinamakan taqlid.
Mengenai tiga definisi di atas hanya mengemukakan pasal tiga kata yakni “tanpa hujah” atau “tanpa dalil” atau “tanpa mengetahui dalil” orang yang mempunyai pendapat. Pada bagian ini memberikan penjelasan ketika seorang penerima atau pengambil pendapat tersebut ada hujahnya atau mengetahui dalilnya, maka cara tersebut bukan dinamakan taqlid, akan tetapi termasuk suatu karya ijtihad yang secara kebetulan hasilnya bersamaan dengan yang telah diikutinya.
Untuk menjawab kesamaran yang terdapat di tiga paparan definisi di atas Ibn al-Hummam (dari kalangan ulama Hanafiyah) mengemukakan definisi lebih lengkap yang mampu menjelaskan kesamaran tersebut, yakni:
التقليد هو العمل  بقول من ليس قوله إحد الحجج بلا حجة منها
“Taqlid ialah beramal dengan pendapat sesorang yang pendapatnya itu bukan merupakan hujah, tanpa mengetahui hujahnya.”[3]
Berhubungan dengan definisi tersebut, maka apabila menerima pendapat dari Nabi yang bernilai hujah dengan sendirinya, dan juga ketika menerima pendapat yang dilahirkan dari kesepakatan Ijma’, maka hal tersebut bukan taqlid, walaupun pada saat penerimaan pendapat tersebut tanpa hujah atau tidak mengetahui dalilnya. Begitu pula sebaliknya, pendapat seorang mujtahid secara perseorangan itu bukan dinamakan hujah, maka bila seseorang telah mengikuti pendapat seorang mujtahid tersebut tanpa mengetahui suatu dalilnya, maka hal tersebut dinamakan taqlid.
Maka dari beberapa paparan serta analisis diatas dapat disimpulkan hakikat dari taqlid, yakni:
a.       Taqlid itu ialah melakukan sesuatu dengan mengikuti ucapan atau pendapat dari orang lain.
b.      Ucapan atau pendapat orang lain tersebut tidak bernilai sebagai hujjah.
c.       Seseorang yang mengikuti ucapan atau pendapat orang lain tersebut tidak mengetahui sepenuhnya mengenai sebab-sebab atau dalil-dalil dan hujjah dari ucapan atau pendapat yang telah diikutinya itu.[4]
Berdasarkan uraian hakikat taqlid yang telah dipaparkan di atas serta dihubungkan dengan antara ijtihad dan mujtahid, bisa kita lihat terdapat tiga tingkatan umat Islam berdasarkan pelaksanaan suatu hukum Islam atau syara',  yakni :
1.    Mujtahid, yaitu orang yang memiliki pendapat yang telah dihasilkan melalui ijtihadnya sendiri,  melaksanakan perbuatan sesuai dengan hasil ijtihadnya sendiri serta tidak mengikuti hasil ijtihad yang lainnya. Hal tersebut Dinamakan mujtahid mutlaq.
2.    Muttabi',  yakni seseorang yang telah mampu menghasilkan suatu pendapat,  dengan proses mengikuti suatu pendapat serta cara-cara yang sudah dihasilkan oleh ulama sebelumnya.
3.    Muqallid, yakni seseorang yang telah mampu menghasilkan pendapatnya sendiri,  dan iya mengikuti pendapat dari orang lain dengan tidak mengetahui kekuatan dan dalil dari suatu pendapat yang telah diikuti tersebut.
2.      Hukum Taqlid
Di dalam Al-Qu’ran hukum bertaqlid itu ada yang mengisyaratkan untuk bertaqlid dan ada pula yang melarang melakukan bertaqlid. Sebagaimana Qur’an surat Luqman ayat 21:
وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ اتَّبِعُوا مَا أَنْزَلَ اللَّهُ قَالُوا بَلْ نَتَّبِعُ مَا وَجَدْنَا عَلَيْهِ آبَاءَنَا ۚ
“Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Ikutilah apa yang diturunkan Allah". Mereka menjawab: “(Tidak), tapi kami (hanya) mengikuti apa yang kami dapati bapak-bapak kami mengerjakannya”.”
Dan dalil hukum bertaqlid yang di anjurkan, yaidalam Qur’an surat at-Taubah ayat 122:
فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا
“Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya.”[5]
C.    TALFIQ
1.      Talfiq
Secara bahasa, kata “ talfiq “ (تلفيق) bermakna adh-dhammu (الضم) dan al-jam’u (الجمع). Dalam bahasa Indonesia keduanya dimaknai menggabungkan.Dalam penggunaan bahasa Arab, ketika menyebut kata lafqu at-tsaubi(لقف الثوب), bermakna menggabungkan dua ujung kain dengan kain yang lainya dengan jahitan. Kata at-tilfaq (التلفاق) bermakna dua pakaian yang digabungkan menjadi satu. Dan ungkapan talafuq al-qaum (تلافق القوم) bermakna bertemunya kaum.
            Sehigga istilah talfiq antar mazhab dapat kita pahami secara etimologis yaitu menggabungkan beberapa pendapat madzhab dalam melakukan ibadah tertentu.[6]
            Namun secara terminologis, kata talfiq kita tidak menemukan pada zaman ulama klasik. Bahkan kitab-kitab ushul fiqih klasik ternyata tidak mecantumkan pembahasan tentang talfiq ini. Jika kita analisa pembahasan tentang talfiq ini tidak di bahas di kita-kitab ushul fiqih ulama klasik karena fenomena talfiq ini belum terjadi.
            Setelah kita teliti fenomena talfiq ini baru kita temukan di era ulama kontemporer, dan itupun ternyata para ulama saling berbeda pendapat tentang definisi dari at-talfiq baina al-mazahib  ini.
            Maka dari itu kita akan membahas tentang definisi talfiq dari dari para ulama: 
Syaikh Muhammad Said Al-Albani menulis dalam kitabya Umdatu At-Tahqiq fi At-Taqlid mendefinisikan talfiq yaitu: 
الإتيان بكيفية لا يقول بها مجتهد
Mendatangkansuatu metode yang tidak pernah dikatakan oleh para mujtahid.
Sebagian ulama lainnya mendefinisikan talfiq tatabbu’ ar-rukhas:
تتبع الرخص عن الهوي
Mencari keringanan karena hawa nafsu.
Yang dimaksud dengan mencari kesenangan adalah mencari keringanan hukum atau fatwa dari pendapat para ulama dari sekian banyak pendapat. Namun, Ibnu Subkhi menukilkan pendapat Abu Ishaq Al-Mawarzi membolehkan, kemudian pengertinya diluruskan oleh mahalli yang mengatakan orang yang melakukan talfiq adalah fasik, sementara Ibnu Abu Hurairah menyatakan pelakunya tidak fasik. Al-Razi dalam kitab al-mahshul dan syarahnya yang mengutip persayaratan yang dikemukakann oleh Al-Rayani dan pendapat Ibn Abad Al-Salam mengatakan, boleh tidaknya melakukan talfiq tergantung pada motivasi atau niat dalam melakukan talfiq, apabila motivasinya untuk mencari kemudahan atau mempermainkan hukum agama maka jelas tidak diperbolehkan, hal tersebut tentunya akan merusak tatan ibadah itu sendiri. Contohnya dalam hal wudhu,seorang laki-laki berwudhu dengan menggunakan madzhab syafi’i akan tetapi dalam hal yang membatalkan menggunakan mazhab maliki. Praktek seperti ini jelas mempermainkan hukum syara.
Namun, apabila melakukan talfiq dengan tujuan kemaslahatan yaitu menghindari kesulitan dalam melakukan amaliah, hal itu tentu boleh-boleh saja jika tidak memungkinkan untuk konsisten menggunakan satu madzhab sebab hal itu akan menyulitkan. Hal seperti inilah yang dimaksud dengan Al-Razi dengan ucapan, “terbuka hatinya waktu mengikuti mazhab yang lain itu” dalam memahami arti yang harus ditinggalkan dalam melakukan talfiq.[7]
Imam As-Suyuthi mengatakan jumlah sahabat Nabi berjumlah 124.000 akan tetapi yang mempunyai kapasitas sebagai seorang mujtahid hanya berjumlah130 saja, itupun masih di bagi dalam tiga  tingkatan. Sehingga jika sahabat yang bukan seorang mujtahid sering berpindah-pidah dalam meminta fatwa dan tidak konsisten kepada satu sahabat saja.
Contoh Talfiq
            untuk memahami perbuatan talfiq antar mazhab secara jelas, berikut contoh-contoh perbuatan talfiq keseharian dalam menjalankan ibadah.
1. Masalah wudhu’
            Menurut mazhab Syafi’i dalam bab wudhu’ ketika mengusap kepala asalkan kulit kepala sebagian sudah terusap dan beberapa helai rambut minimal satu helai dengan menggunakan minimal satu jari hal itu sudah dianggap sah dalam mengusap kepala,[8] Sedangkan dalam mazhab Hanafi dalam mengusap seperempat bagian kepala sedangkan menurut mazhab maliki harus mengusap kepala secara keseluruhan.
            Sementara dalam urusan menyentuh wanita, dalam mazhab Syafi’i jika seorang laki-laki yang mempunyai wudhu’ menyentuh kulit perempuan ajnabiyah (bukan mahram) itu membatalkan wudhu’ kecuali tibatasi dengan kain meskipun tipis.[9] Sedangkan dalam mazhab Hanbali menyentuh kulit perempuan yang bukan mahram itu tidak membatalkan wudhu, menurut imam hanbali batalnya wudhu itu jika terjadinya jima’ (hubungan suami istri). Sementara mazhab maliki berpendapat batalnya wudhu jika bersentuhan dengan wanita jika disertai dengan syahwat.
            Bentuk talfiq dalam hal ini adalah ketika seseorang berwudhu mengambil sebagian mazhab Syafi’i dan sebagian lainya mengambil mazhab Hanbali. Misal dia mengatakan mengusap kepala cukup satu helai rambut dan menggunakan satu jari sudah sah (dalam mazhab Syafi’i), namun di sisi lain ia mengatakan bersentuhan antara kulit laki-laki  dengan perempuan  yang bukan mahram itu tidak membatalkan wudhu (menurut mazhab hanafi).[10]
            Perbuatan talfiq dalam wudhu tersebut jika di lihat dari pendapat mazhab Syafi’i dan mazhab Hanbali tentunya tidak sah karena mazhab Syafi’I mengatakan wudhunya tidak sah atau batal karena laki-laki tersebut bersentuhan dengan wanita yang bukan mahram tanpa pembatas yang menghalagi. Sementara dalam praktek mengusap kepala, mazhab Hanbali mengatakan tidak sah karena ia tidak mengusap seperempat bagian  kepala. Begitu juga dengan pendapat mazhab Maliki mengatakan wudhunya tidak sah karena ia tidak mengusap kepalanya secara keseluruhan. Jadi kesimpulanya, wudhu yang dilakukan orang tersebut tidak sah dari masing-masing dua sudut pandang mazhab, dan inilah prilaku talfiq yang tidak diperbolehkan.
Rukun Nikah
Menurut mazhab Hanbali, sebuah pernikahan tidak mensyaratkan harus ada wali, khususnya bagi wanita yang sudah pernah menikah sebelumnya.
            Menurut mazhab Maliki, pernikahan sudah di anggap sah meskipun tidak dan saksi-saksi.
            Sementara dalam pandangan mazhab Syafi’i jika istri ridha tidak diberi mahar, hukum pernikahannya sudah di anggap sah.
            Jika ketiga pendapat di atas di talfiq dalam satu pernikahan maka pernikahanya di anggap pernikahan model baru alias tidak sah. Dan sudah dipastikan ketiga mazhab tersebut mengatakan tidak sah dan menolak pernikahan yang demikian, karena dari masing-masing sudut pandang mazhab pernikahan itu tidak sah.
Hal-hal yang membatalkan Shalat
            Apabila seseorang yang melakukan shalat bertaqlid kepada Imam Malik yang mengatakan tertawa terbahak-bahak dalam shalat tidak membatalkan wudhu, tetapi disisi lain orang tersebut juga bertaklid kepada Imam Abu Hanifah yang mengatakan jika menyentuh zakar itu tidak membatalkan wudhu’ seseorang. Maka, orang tersebut telah melakukan talfiq sehingga praktek wudhu dan shalat orang tersebut tidak di anggap sah oleh kedua mazhab.[11]
Masalah Mabit di Muzdalifah
            Menurut mazhab As-Syafi’iyah, jamaah haji wajib hukumnya bermalah di muzdalifah, dalam arti turun dari unta atau kendaraan, hingga terbit fajar, sama halnya seperti wukuf di arafah kedua ibadah ini hukumnya wajib dalam ibadah haji akan tetapi bukan rukun. Sehingga jika ada jamaah haji yang meninggalkan bermalam di muzdalifah, maka ia harus membayar denda (dam), yaitu menyembelih seekor kambing.
            Sedangkan menurut  mazhab Al-Hanabilah, mabit di muzdalifah itu hukumnya sunnah, buka wajib apalagi rukun.
            Ibadah di atas ketika di talfiq ketika ia melaksanakan mabit di muzdalifah menggunakan mazhab Syafi’i yang mengatakan wajib, akan tetapi ia sendiri tidak melakukan mabit di muzdalifah kemudian ketika di perintah untuk membayar denda ia mengatakan bahwa dirinya bermazhab Hanbali agar tidak dikenai denda. Talfik semacam ini tentunya tidak diperbolehkan. [12]
Tatabbu’ Ar-Rukhash
             Secara bahasa, istilah rukhash(رخصة) adalah bentuk jama’ dari kata rukhshah, yang memiliki makna “keringanan” atau “kemudahan”. Sedangkan secara istilah, definisi menurut Ibnu Subkhi adalah:

            Hukum syar’I yang berubah menjadi lebih mudah karena adanya suatu udzur, dengan menegakkan sebab pada hukum yang asli.
            Rukhshah atau keringanan sendiri memiliki hukum yang berbeda-beda. Ada yang wajib di ikuti, ada juga yang mandubah da nada juga yang mubah.
Jika seseorang sedang melakukan tawaf, dalam mazhab syafi’i bersentuhan kulit laki-laki dan perempuan yang bukan mahram dapat membatalkan wudhu’ baik disengaja maupun tidak bersyahwat atau tidak, semua itu dapat membatalkan wudhu’. Jika kita konsisten menggunakan mazhab syafi’i pada saat tawaf maka kita akan kesulitan mempertahankan wudhu’ yang kita miliki karena pada saat tawaf terdapat berjuta-juta orang mengelilingi ka’bah baik laki-laki maupun perempuan yang mungkin saja terjadi sentuhan yang sulit dihindari dengan wanita yang bukan mahram. Maka dalam kondisi darurat ini kita boleh berpindah mazhab untuk mempermudah kita saat melakukan tawaf.
Kemudian dalam mengusap jabirah (perban) misalnya: jika ada seseorang memiliki luka yang diperban di bagian tangan, ketika wudhu dalam mazhab syafi’i jika ada luka yg di perban di bagian yang wajib di basuh ketika wudhu’ caranya adalah basuhlah bagian tangan yang bisa di basuh kemudian sisakan  (tidak dikenai air) bagian yang di perban, kemudian bagian yang di perban caranya di tayamuni seperti tayamum biasanya yaitu mengusap wajah dan tangan dengan niat membasuh bagian yang diperban dengan debu yang suci maka, basuhan tangan telah sempurna. Jika orang tersebut merasa keberatan dalam menggunakan mazhab Syafi’i ia boleh menggunakan mazhab maliki dan hanafi dengan tidak menggunakan tayamum, dan ia dibolehkan mengusap perban dengan air. Talfiq yang seperti ini diperbolehkan dengan alasan keringanan bagi orang yang sakit.[13]
            Sedangkan yang hukumnya mandubah (sunnah) misalnya keringanan untuk meng qashar shalat bagi orang yang dalam keadaan perjalanan. Tetapi secara hukum, lepas dari apakah menjalankan atau mengikuti keringanan itu wajib, mandub atau mubah, Allah SWT suka bila keringanan yang diberikannya itu dimanfaatkan oleh hamba-Nya. Disebutkan dalam satu hadits:
Sesungguhnya Allah suka bila keringananya dilakukan, sebagimana Dia benci bila maksiat kepada-Nya dilakukan. (HR. Ahmad).
Hukum Talfiq Antar Mazhab         
            Setelah kita membahas tentang pengertian talfiq secara luas kita akan membahas tentang hukum talfiq dari masing-masing ulama dan ternyata masing-masing ulama sendiri memiliki perbedaan tentang hukum talfiq antar mazhab, diantaranya ada yang mengharamkan dengan menggunakan argumenya sendiri, kemudian ada yang berpendapat membolehkan talfiq dengan memenuhi kriteria tertentu dan aja juga yang mengatakan wajib . Mari kita bahas satu-persatu.
1.Haram
Umumnya para ulama ulama mengharamkan talfiq secara tegas dengan alasan kebenaran hanya satu. Diantara nama-nama yaitu:
a.      Abdul Ghani An-Nabulsi
Abdul Ghani An-Nabulsi menulis dalam kitabnya yang berjudul Khulashatu At-Tahqiq fi Bayani Hukmi At-Taqlid wa At-Talfiq. Di dalam kitabnya, beliau melarang kebolehan melakukan talfiq.
b.      As-Saffarani
As-Saffarani menulis dalam kitabnya At-Tahqiq fi Buthlan At-talfiq, dalam kitabnya ia juga melarang kebolehan melakukan talfiq antar mazhab. Beliau memiliki nama asli yaitu Muhammad bin Ahmad bin Salim Al-Hanbali.
c.       Al-‘Alawi Asy-Syantiqi
Al-‘Alawi Asy-Syantiqi menulis dua kitab dimana dalam kitab tersebut beliau menyatakan keharaman melakukan talfiq, kitab itu berjudul Maraqi As-Su’ud dan syarahnya (penjelasan) Nasyril Bunud ‘ala Maraqi Ash-Shuud.[14]
d.      Al-Muthi’i
Al-Muthi’i menulis kitab yang berjudul Sullamu Al-Wushul li Syarhi Nihayati As-Suul dalam kitabnya ia mengharamkan melakukan talfiq antar mazhab.
e.       As-Syaikh Muhammad Amin Asy-Syantiqi
As-Syaikh Muhammad Amin Asy-Syantiqi, beliau banyak menulis kitab diantaranya Adwa’ Al-Bayan juga Mudzakkirah ushul fiqih. beliau menulis dalam kitabnya Syarah Maraqi Ash-Shu’ud dalam kitabnya Beliau  melarang secara tegas melakukan talfiq antar mazhab.
2.                   Halal
Dari sekian banyak ulama yang mengharamkan talfiq setelah kita telusuri ternyata ada juga sebagian ulama ada yang mengatakan bahwa melakukan talfiq antar mazhab boleh-boleh saja dengan syarat-syarat tertentu.
Diantara ulama yang menghalalkan melakukan talfiq dari kalangan ulama maghribi yang menganut mazhab Malikiyah seperti Ad-Dasuqi beliau menulis kitab yang berjudul Hasyiyatu Ad-Dasuki ‘ala Asy-Syarhi Al-Kabir.
3.                   Ada yang haram dan ada yang halal
Pendapat yang ketiga mengatakan hukum melakukan talfiq bisa menjadi haram bisa juga menjadi boleh bahkan ada yang mengatakan dianjurkan tentunya sesuai dengan keadaan masing-masing dan dengan syarat-syarat tertentu dengan tujuan agar seseorang tidak kesulitan menjalankan suatu amaliah. Jadi pendapat yang ketiga ini mengambil jalan tengah dalam menentukan hukum talfiq.[15]
4.                   Boleh secara mutlak
Pendapat ini mengatakan boleh melakukan secara mutlak karena tidak ada perintah baik dari Al-qur’an dan hadits nabawi yang mengharuskan mengikuti satu pendapat, bahkan para sahabatpun sering berpindah-pindah dalam meminta fatwa kepada sahabat lebih tinggi ilmunya. [16]
D.    ITTIBA’
1.         Pengertian Ittiba’
Kata ittiba’ berasal dari bahasa arab yaitu ittaba’a- yattabi’u- ittiba’an, yang memiliki arti mengikuti atau menurun. [17]
Menurut Abdul Hamid Hakim ittiba’ secara istilah adalah:

Menerima perkataan orang lain dengan mengetahui sumber atau alasan perkataan tersebut.
Menurut Ibnu Khuwaizi Mandad, ittiba’ secara istilah yaitu “ setiap orang yang engkau ikuti dengan hujjah dan dalil padanya, engkau adalah muttabi’ (orang yang mengikuti).[18]
Jika kita gabungkan definisi-definisi di atas dapat kita simpulkan pengertian ittiba’ adalah mengikuti pendapat mujtahid dengan mengetahui dalil-dalil yang digunakan untuk menyimpulkan suatu hukum berdasarkan dalil-dalil yang rinci yang dianggap lebih kuat (rajih) dengan cara membandingkan dalil-dalil yang ada.[19]
2.      Dasar hukum
Ittiba’ dalam urusan agama bukan mengikuti pendapat tanpa mengetahui dalil-dalil tetapi ittiba adalah mengikuti pendapat para ulama dengan mengetahui dalil atau hujjah, orang yang berittiba’ dinamakan Muttabi’.
Perintah untuk melakukan banyak terdapat dalam Al-qur’an, salah satunya terdapat di surah (Al-A’raf: (7): 3).

“Ikuti apa yang dirunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (daripadanya). 

Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Ali-Imran (3): 31).
          Ibnu Katsir menafsirkan ayat tersebut dengan ungkapan “ Ayat yang mulia ini sebagai hakim bagi setiap orang yang mengaku cinta kepada Allah SWT. Tetapi tidak mengikuti sunnah Muhammad SAW. Karena itu, orang seperti ini berarti dusta dalam pengakuan cintanya kepada Allah SWT sampai dia ittiba’ kepada syariat agama Muhammad SAW dalam segala ucapan dan tindak tanduknya.”[20]



Penutup
Dari pemaparan di atas dapat disimpukan, yaitu:
1.      Secara garis besar dapat dipahami taqlid adalah seseorang yang mengikuti ucapan atau pendapat orang lain tersebut tidak mengetahui sepenuhnya mengenai sebab-sebab atau dalil-dalil dan hujjah dari ucapan atau pendapat yang telah diikutinya itu.
2.      Talfiq antar mazhab dapat kita pahami secara etimologis yaitu menggabungkan beberapa pendapat madzhab dalam melakukan ibadah tertentu
3.      Ittiba’ adalah mengikuti pendapat mujtahid dengan mengetahui dalil-dalil yang digunakan untuk menyimpulkan suatu hukum berdasarkan dalil-dalil yang rinci yang dianggap lebih kuat (rajih) dengan cara membandingkan dalil-dalil yang ada.


















DAFTAR PUSTAKA
Hayatuddin, Amrullah.Ushul Fiqih jalan Tengah Memahami Hukum Islam. Jakarta: Amzah, 2019.
Hafiz Taqiyuddin, Ittiba’, Taqlid dan Talfiq
Mudrik Al farizi, Ijtihad, Taqlid dan Talfiq
Sarwat, Ahmad. Muqaddimah Seri Fiqih kehidupan. Jakarta: Rumah Fiqih Publishing, 2019.
Az-Zuhaili, Wahbah.Fiqih Islam Wa Adillatuhu.Jakarta: Gema Insani, 2010.
An-Nawawi, Imam.Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzab jilid 1. Jakarta: Pustaka Azzam, 2009.
Syafi’I,Imam. Al-Umm, Jakarta: PT Pustaka Abdi Bangsa, 2018.
Syarifuddin, Amir.USHUL FIQH 2, Jakarta: Kencana, 2008.
Bakry, Nazar. Fiqh dan Ushul Fiqh. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2003.

Catatan:
1.      Similarity 24%, cukup besar
2.      Pembahasan tentang taqlid, talfiq, dan ittiba’, mengapa pendahuluan membahasa tentang sumber hukum? Tidak nyambung



[1] Amir Syarifuddin, USHUL FIQH 2, Jakarta: Kencana. Hal 459
[2]Amrullah Hayatuddin, Ushul Fiqih jalan Tengah Memahami Hukum Islam. (Jakarta: Amzah, 2019). Hal, 267
[3]Amir Syarifuddin, USHUL FIQH 2, Jakarta: Kencana. Hal 460
[4]Amrullah Hayatuddin, Ushul Fiqih jalan Tengah Memahami Hukum Islam. (Jakarta: Amzah, 2019). Hal, 268
[5]Amir Syarifuddin, USHUL FIQH 2, Jakarta: Kencana. Hal 464
[6]Ahmad Sarwat, Muqaddimah Seri Fiqih kehidupan, ( Jakarta: Rumah Fiqih Publishing, Jilid I), hal 505-506
[7]Amrullah Hayatuddin, Ushul Fiqih jalan Tengah Memahami Hukum Islam. (Jakarta: Amzah, 2019), hal 273
[8]Imam Syafi’I, Al-Umm, (Jakarta: PT Pustaka Abdi Bangsa, 2018), hal 41
[9]Imam An-Nawawi, Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzab jilid 1. (Jakarta: Pustaka Azzam, 2009), hal 49
[10]Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, (Jakarta: Gema Insani, 2010), hal 92
[11] Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, (Jakarta: Gema Insani, 2010), hal 92
[12]Ahmad Sarwat, Muqaddimah Seri Fiqih kehidupan, ( Jakarta: Rumah Fiqih Publishing, 2019), hal 511
[13]Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, (Jakarta: Gema Insani, 2010), hal 420-421

[15]Ahmad Sarwat, Muqaddimah Seri Fiqih kehidupan, ( Jakarta: Rumah Fiqih Publishing, 2019), hal 514-515
[16]Mudrik Al farizi, Ijtihad, Taqlid dan Talfiq
[17]Hafiz Taqiyuddin, Ittiba’, Taqlid dan Talfiq
[18]Amrullah Hayatuddin, Ushul Fiqih jalan Tengah Memahami Hukum Islam. (Jakarta: Amzah, 2019), hal 263
[19]Hafiz Taqiyuddin, Ittiba’, Taqlid dan Talfiq
[20]Amrullah Hayatuddin, Ushul Fiqih jalan Tengah Memahami Hukum Islam. (Jakarta: Amzah, 2019), hal 266

Tidak ada komentar:

Posting Komentar