Selasa, 18 Februari 2020

Ijtihad dalam Ushul Fiqih (PAI A Semester Genap 2019/2020)



IJTIHAD
Fathoni Wijaya                                  (17110012)
Dinar Adelia Rahayu Afandi           (17110185)

Abstract
This paper discusses a main theme in Usul Fiqh which is Ijtihad'.This ijtihad discussion is an important discussion in a person to choose which option is most relevant to the situation, conditions.The dynamics of the age, and demands of masculinity. So, islamic law will always be up to date, "or fit and relevant in every place and across the ages.
Keywords:Ijtihad
Abstrak
Makalah ini membahas tentang suatu tema pokok dalam Ushul Fiqh ialah Ijtihad.Pembahasan Ijtihad ini adalah pembahasan yang penting dalam diri seseorang untuk memilih fikih mana yang paling relevan dengan situasi, kondisi.dinamika zaman, dan tuntutan kemaslahatan. Sehingga, hukum Islam akan senantiasa up to date,” atau cocok dan relevan diterapkan di setiap tempat dan di sepanjang zaman.
Kata kunci:Ijtihad
A.     Pendahuluan
Ijtihad merupakan upaya untuk menggali suatu hukum yang sudah ada pada zaman Rasulullah SAW.Hingga dalam perkembangannya, ijtihad dilakukan oleh para sahabat, tabi’in serta masa-masa selanjutnya hingga sekarang ini. Meskipun pada periode tertentu apa yang kita kenal dengan masa taqlid, ijtihad tidak diperbolehkan, tetapi pada masa periode tertentu pula (kebangkitan atau pembaharuan), ijtihad mulai dibuka kembali. Karena tidak bisa dipungkiri, ijtihad adalah suatu keharusan, untuk menanggapi tantangan kehidupan yang semakin kompleks problematikanya.Sekarang, banyak ditemui perbedaan-perbedaan madzab dalam hukum Islam yang itu disebabkan dari ijtihad.Misalnya bisa dipetakan Islam kontemporer seperti Islam liberal, fundamental, ekstrimis, moderat, dan lain sebagainya.

Semuanya itu tidak lepas dari hasil ijtihad dan sudah tentu masing-masing mujtahid berupaya untuk menemukan hukum yang terbaik.Justru dengan ijtihad, Islam menjadi luwes, dinamis, fleksibel, cocok dalam segala lapis waktu, tempat dan kondisi.Dengan ijtihad pula, syariat Islam menjadi “tidak bisu” dalam menghadapi problematika kehidupan yang semakin kompleks.

2. Ijtihad
A.    Pengertian Ijtihad
Ijtihadالاجتهاد)  ) yang akar katanya diambil dari bahasa Arab yakni "jahada"جهد) ) Kata ini bentuk mashdarnya mempunyai dua makna yang berbeda yaitu, yang pertama, "jahdun" memiliki arti kesungguhan atau sepenuh hati atau serius.[1]Contoh penggunaan kata "jahdun" ini terdapat pada surat al-An'aam ayat 109[2] yang berbunyi: 
وَأَقۡسَمُوا۟ بِٱللَّهِ جَهۡدَ أَیۡمَـٰنِهِمۡ
Mereka bersumpah dengan nama Allah dengan sungguh-sungguh sumpah
Yang kedua, "juhdun" memiliki arti kesanggupan atau kemampuan yang mengandung arti sulit, berat, susah. Contoh penggunaan kata "juhdun" ini terdapat pada surat at-Taubah ayat 79 yang berbunyi:
(ٱلَّذِینَ یَلۡمِزُونَ ٱلۡمُطَّوِّعِینَ مِنَ ٱلۡمُؤۡمِنِینَ فِی ٱلصَّدَقَـٰتِ وَٱلَّذِینَ لَا یَجِدُونَ إِلَّا جُهۡدَهُمۡ فَیَسۡخَرُونَ مِنۡهُمۡ سَخِرَ ٱللَّهُ مِنۡهُمۡ وَلَهُمۡ عَذَابٌ أَلِیمٌ)
Orang-orang munafik yang mencela orang-orang beriman yang memberikan sedekah dengan sukarela dan yang (mencela) orang-orang yang hanya memperoleh (untuk disedekahkan) sekedar kesanggupannya, maka orang-orang munafik itu menghina mereka. Allah akan membalas penghinaan mereka, dan mereka akan mendapat azab yang pedih.
Sedangkan ijtihad secara istilah memiliki banyak definisi yang dikemukakan oleh para ulama. Definisi-definisi tersebut tidak berbeda secara prinsip akan tetapi saling melengkapi, menguatkan, dan mengenyempurnakan[3]. 
Menurut Imam Asy-Syaukani dalam kitabnya yang berjudul Irsyad al-Fuhuli memberikan definisi :
بَذْلُ الْوُسْعِ فِيْ نِيْلِ حُكْمٍ شَرْعِيٍّ عَمَلِيْ بٌطَرِيْقِ الاسْتِنْبَاطِ
Mengerahkan kemampuan dalam memperoleh hukum syara' yang bersifat amali melalui cara istinbat.
Kata "Badzlu al-was'i" menjelaskan bahwa ijtihad merupakan usaha besar yang memerlukan pengerahan kemampuan.Apabila usaha tersebut tidak dilakukan dengan bersungguh-sungguh ataupun tidak sepenuh hati maka tidak dinamakan ijtihad.Kata "Syar'i" mengandung arti bahwa hukum syar'i atau ketentuan yang menyangkut tingkah laku manusia merupakan produk yang dihasilkan dalam usaha ijtihad.
Menurut Ibnu Subki, beliau memberikan definisi sebagai berikut:
إِسْتِفْرَا غُ الْفَقِيْهِ الْوُسْعَ لِتَحْصِيْلِ ظَنِّ بِحُكْمٍ شَرْعِيٍّ
Pengerahan kemampuan seorang faqih untuk menghasilkan dugaan kuat tentang hukum syar'i.
Ibnu Subki menambahkan kata "faqih" mengandung arti bahwa yang mengerahkan kemampuan dalam ijtihad itu bukan sembarang orang melainkan orang yang telah mencapai derajat tertentu dan disebut Faqih. Kata "zhan"  mengandung arti bahwa yang dicari dan dicapai dengan usaha ijtihad itu hanya dugaan kuat tentang hukum Allah bukan hukum Allah karena hanya allah-lah yang maha mengetahui maksudnya secara pasti karena ketika ada firman Allah yang pasti dan jelas mengenai suatu hukum maka tidak perlu ada ijtihad lagi.
Menurut Al-Amidi dalam bukunya Al-Ihkam, menyempurnakan dua definisi sebelumnya yakni:
إِسْتِفْرَا غُ الْوٌسْعِ فِي طَلِبِ الظَّنِّ بِشَيْءٍ مِنَ الاحْكَامِ الشَرْعِيَّةِ بِحَيْثُ يَحْسَ مِنَ النَّفْسِ الْعَجْزِ عَنِ الْمَزِ يْدِ فِيْهِ
 Pengerahan kemampuan dalam memperoleh dugaan kuat tentang sesuatu dari hukum syara' dalam bentuk yang dirinya merasa tidak mampu berbuat lebih dari itu.
Penambahan fasal dalam definisi Al-Amidi tersebut mengandung arti bahwa pengerahan kemampuan tersebut dilakukan secara maksimal.Dengan demikian pengerahan kemampuan secara sembron, asal-asalan, atau sekedarnya saja tidak dinamakan ijtihad.
 Dari menganalisis ketiga Definisi diatas dan membandingkannya dapat diambil hakikat dari ijtihad itu sebagai berikut:
a)      Ijtihad adalah pengarahan daya Nalar secara maksimal
b)      usaha ijtihad dilakukan oleh orang yang telah mencapai derajat tertentu di bidang keilmuan yang disebut Faqih
c)      produk atau yang diperoleh dari usaha ijtihad itu adalah dugaan yang kuat tentang hukum syara yang bersifat Amaliah
d)     usaha ijtihad ditempuh melalui cara-cara istinbath

Secara harfiah, ijtihad adalah suatu ungkapan dari pengerahan daya kemampuan untuk mewujudkan sesuatu yang dituju. karenanya, kosakata ijihad hanya digunakan untuk sesuatu yang mengandung beban dan kesulitan. Sedangkan secara terminologis, terdapat beberapa pendefinisian sebagaimana yang diutarakan oleh para pakar.
Pengerahan kemampuan dalam mendapatkan pengetahuan bertmaf asumtif (zhann) atas hukum-hukum syara', dengan upaya maksimal di mana kemampuan diri tidak dapat lagi memberikan sesuatu yang lebih dari itu.Definisi ini diungkapkan oleh Al-Amudi, dan Ibu al-Eajib.Dengan pengertian ini, ijtihad hanya belum mencakup pengetahuan bertaraf zahanni, kebenaran qath 'i (pasti) belum tercakup di dalam Begitu pula, pengetahuan bertaraf kebenaran zhanni yang tidak diakui legalitasnya, masih terakomodasi dalam definisi ini.
Pengerahan kemampuan dari seorang mujtahid dalam mencapai keyakinan atas hukum-hukum syara'. Definisi yang ditmgkapkan Alf Ghazali ini berkebalikan dengan definisi pertama, yalni hanya mengkaitkan ijtihad dengan obyek hukum berdimensi kebenaran pasti, padahal, sebagian besar produk ijtihad adalah pengetahuan bertaraf zhanni
Pengerahan kemampuan dalam menemukan hukum-hukum syara'.Definisi yang dilontarkan Al-Baidlawi ini mencakup dimensi kebenaran rasio ('aqliyyah) dan doktrinal (naqliyyah), kebenaran pasti (qath '1) dan kebenaran asumtif (zhanni).
Al-Zarkasyi mendefinisikan bahwa ijtihad adalah pengerahan segenap kemampuan dalam menemukan hukum-hukum syari'at berdimensi praktik (amaliyyah) dengan jalan menggalinya dari sumber-sumbemya (istinbdth).Definisi mengecualikan aktivitas penggalian hukum-hukum syari'at berdimensi keyakinan.Aktivitas semacam ini tidak dinamakan ijtihad kendati para pakar teologi menyebutnya juga dengan ijtihad.[4]
Dari beberapa definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa Ijtihad adalah suatu pekerjaan yang mempergunakan segala kesanggupan daya rohaniah untuk mendapatkan hukum syara’ atau menyusun suatu pendapat dari suatu masalah hukum yang bersumber dari Al Qur’an dan hadis.
ijtihad para pembentuk peraturan perundang-undangan, perlu berjalan untuk memilih fikih mana yang paling relevan dengan situasi, kondisi. dinamika zaman, dan tuntutan kemaslahatan. Sehingga, hukum Islam akan senantiasa up to date,” atau cocok dan relevan diterapkan di setiap tempat dan di sepanjang zaman.[5]


B.     Dasar Hukum Ijtihad
 Landasan hukum dalam melakukan ijtihad baik melalui dalil yang jelas maupun isyarat diantaranya terdapat dalam Al-Qur'an surat an-nisa ayat 59:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ أَطِيعُواْ ٱللَّهَ وَأَطِيعُواْ ٱلرَّسُولَ وَأُوْلِي ٱلۡأَمۡرِ مِنكُمۡۖ فَإِن تَنَٰزَعۡتُمۡ فِي شَيۡءٖ فَرُدُّوهُ إِلَى ٱللَّهِ وَٱلرَّسُولِ إِن كُنتُمۡ تُؤۡمِنُونَ بِٱللَّهِ وَٱلۡيَوۡمِٱلۡأٓخِرِۚ ذَٰلِكَ خَيۡرٞ وَأَحۡسَنُ تَأۡوِيلًا
Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu.Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian.Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.
Berdasarkan ayat di atas Allah memerintahkan untuk selalu kembali kepada Alquran dan Hadits Apabila terjadi perbedaan pendapat.Berijtihad dengan memahami kandungan makna dan prinsip-prinsip hukum yang terdapat pada ayat-ayat Al-Qur'an dan hadist lalu menerapkannya.
Sementara hadist yang menjadi landasan hukum ijtihad menceritakan dialog antara Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam dan Muadz Bin Jabal. "Rasulullah bertanya " Dengan apa kamu menghukumi?" ia menjawab: "dengan apa yang ada di dalam kitab Allah". bertanya Rasulullah, " Jika kamu tidak mendapatkan dalam kitab Allah?" dia menjawab: "aku memutuskan dengan apa yang diputuskan Rasulullah". Rasul bertanya lagi, "Jika tidak mendapatkan dalam ketetapan Rasulullah?" berkata Muadz, "aku berijtihad dengan pendapatku".Rasulullah bersabda, "aku bersyukur kepada Allah yang telah menyepakati utusan dari Rasul-Nya."
Demikian juga dijelaskan dalan QS.al-Rum: 21:
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً ۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
Artinya:“Sesungguhnyapadayangdemikianitubenar-benarterdapattanda- tanda bagi kaum yang berpikir.”
Perintah untuk mengembalikan masalah kepada al-Qur’an dan sunnahketikaterjadiperselisihanhukumialahdenganpenelitiansaksama terhadap masalah yang nash-nya tidak tegas. Demikian juga sabda Nabi Saw:
Artinya: “Jika seorang hakim bergegas memutus perkara tentu ia melakukan ijtihad
dan bila benar hasil ijtihadnya akan mendapatkan dua pahala.Jika ia bergegas memutus perkara tentu ia melakukan ijtihad dan ternyata hasilnya salah , maka ia mendapat satu pahala” (HR. Asy-Syafi’i dari Amr bin ‘Ash).
Hadis ini bukan hanya memberi legalitas ijtihad, akan tetapi juga menunjukkan kepada kita bahwa perbedaan-perbedaan pendapat hasil ijtihad bisa dilakukan secara individual (ijtihad fardi) yang hasil rumusan hukumnya tentu relatif terhadap tingkat kebenaran[6]
Dengan demikian dapat kita katakan: bahwa Rasulullah sangat menganjurkan ijtihad seperti apa yang ia lakukan dan contohkan. sebagaimana mendorong ijtihad dengan sabdanya. Terkadang wahyu datang terlambat atau terlalu singkat dan bersifat umum.hal ini memaksa Nabi untuk berijtihad, dan para sahabat ikut serta dalam prosa ijtihad ini dengan bimbingan Nabi. Peristiwa seperti ini banyak terjadi dan direkam dalam Alquran dan Sunah.dan tidak perlu disebutkan.

C.    Fungsi Ijtihad
Sebagaimana yang dinukil Satria Efendi, Imam Syafi‟i ra. (150 H-204 H), penyusun pertama Ushul Fikih, dalam bukunya Ar-Risalah, ketika menggambarkan kesempurnaan Al-Qur‟an menegaskan: “Maka tidak terjadi suatu peristiwa pun pada seorang pemeluk agama Allah,kecuali dalam kitab Allah terdapat petunjuk tentang hukumnya”. Menurutnya, hukum-hukum yang dikandung oleh Al-Qur‟an yang bisa menjawab bebagai persoalan itu harus digali dengan kegiatan ijtihād.Oleh karena itu, menurutnya, Allah mewajibkan kepada hamba-Nya untuk berijtihād dalam upaya menimba hukum-hukum dari sumbernya itu. Selanjutnya ia mengatakan bahwa Allah menguji ketaatan seseorang untuk melakukan ijtihād, sama halnya seperti Allah menguji ketaatan hamba-Nya dalam hal-hal yang diwajibkan lainnya.
Pernyataan Imam Syafi‟i di atas, menggambarkan betapa pentingnya kedudukan ijtihād di samping Al-Qur‟an dan Hadits Nabi SAW. Ijtihād berfungsi baik untuk menguji kebenaran riwayat hadits yang tidak sampai ke tingkat hadits mutawwatir seperti hadits ahad, atau sebagai upaya memahami redaksi ayat atau hadits yang tidak tegas pengertiannya sehingga tidak langsung dapat dipahami kecuali dengan ijtihād, dan juga berfungsi untuk mengembalikan prinsip-prinsip hukum yang terdapat dalam Al-Qur‟an dan Sunnah seperti qiyas, istihsan, dan maslahah mursalah[7]
Jadi ijtihat sebagai upaya pembaharuan hukum Islam serta upaya menjawab tantangan situasi baru.fungsi ijtihad diatas dapat dikatakan bahwasanya nilai ijtihad yang paling tepat adalah mampu masuk pada realitas sosial budaya tanpa kehilangan nilai-nilai samawi.





D.    Pembagian dan Jenis Ijtihad
Pembagian ijtihad dikalangan ulama ahli ushul fiqh bermacam-macam, diantaranya:
1)      menurut Mahdi Fadhl ijtihad dibagi menjadi dua yakni: Pertama, ijtihad muthlaq adalah ijtihad yang meliputi semua hukum, tidak memilih dalam bagian masalahhukum tertentu. Seorang ulama yang mempunyai kemampuan ijtihad mutlak ini disebut dengan mujtahid muthlaq. Mujtahid mutlaqh mempunyai kemampuan mengistinbatkan seluruh bidang hukum dari dalil-dalilnya atau dari sumber-sumber hukum yang diakui secara syari’i dan aqli.
Kedua, ijtihad juz-i atau biasa disebut ijtihad parsial. Ijtihad ini mengkaji dalam bidang hukum tertentu tidak mendalami bidang yang lain. Mujtahid juz-i hanya mampu mengistinbatkan sebagian tertentu dari hukum syara’ dari sumbernya yang mu’tabar tanpa mampu mengitinbatkan semua hukum.
2)      Muhammad abu zahrah dalam bukunya ushul fiqih membagi ijtihad dari segi bentuk karya yakni: pertama, ijtihad istinbathi adalah kegiatan ijtihad yang berusaha menggali dan menemukan hukum dari dalil-dalil yang telah ditentukan. Ijtihad istinbathi merupakan ijtihad yang dilakukan oleh mujtahid muthlaq atau dalam arti mujtahid sebenarnya.
Kedua, ijtihad tahbiqi adalah kegiatan ijtihad yang bukan untuk menemukan dan menghasilkan hukum tetapi menerapkan hukum hasil temuan imam mujtahid terdahulu kepada kejadian terdahulu yang muncul kemudian. Ijtihad inimerujuk pada pendapat imam madzhab sebelumnya dan yang sudah dilakukan mujtahid sebelumnya yang selalu mengaitkan kepada imam madzhab tertentu yang disebut mujtahid fii al-madzhab.
Macam-macam ijtihad para ahli membagi ijtihad berdasarkan beberapa titik pandang yang berbeda
1.      Ijtihad dari segi dalil yang dijadikan pedoman terdapat tiga yaitu: pertama, ijtihad bayani merupakan ijtihad yang digunakan untuk menemukan hukum yang terkandung dalam nash namun sifatnya zhanni.  baik dari segi ketetapannya maupun dari segi penunjukannya. ijtihad ini hanya memberi penjelasan hukum yang pasti dari dalil Nash.
Kedua, ijtihad qiyasi merupakan Ijtihad yang yang digunakan untuk menggali dan menetapkan hukum terhadap suatu kejadian yang tidak ditemukan dalil secara tersurat dalam nash, qath'i maupun zhanni.  Dalam ijtihad qiyasi, mujtahid menetapkan hukum suatu kejadian berdasarkan pada kejadian yang telah ada nosnya. Ijtihad  ini dilakukan melalui metode qiyas dan istihsan.
Ketiga, ijtihad istislahi adalah karya ijtihad untuk menggali, menemukan dan merumuskan hukum syar'i dengan cara menerapkan kaidah untuk kejadian yang ketentuan hukumnya tidak terdapat dan tidak memungkinkan mencari kaitannya dengan Nas yang ada juga belum diputuskan dengan ijma'.
2.      Ijtihad dilihat dari segi pelakunya atau orang yang melaksanakannya dapat dibedakan kepada dua macam yaitu: jtihad Fardi (ﻓـﺮدياﺟـﺘـﮭـﺎد) dan ijtihad jama’iy (ﺟـﻤـﺎﻋﻰاﺟـﺘـﮭـﺎد). Bahwa yang dimaksud dengan ijtihad Fardi ialah ijtihad yang dilakukan oleh orang perorangan atau hanya beberapa orang mujtahid saja. Ijtihad ini mungkin dilakukan jika kasus bersifat sederhana dan terjadi di masyarakat yang sederhana pula. Juga mujtahid menguasai berbagai jenis ilmu sehingga dapat mengkaji masalah tersebut sendiri.ijtihad fardi ini yang biasa dilakukan oleh Imam-imam mujtahid besar,seperti Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hanbal, merupakan mujtahid-mujtahid mutlak yang melaksanakan ijtihad secara perorangannya.
 Selanjutnya, yang dimaksud dengan ijtihad jamâ’i (ﺟـﻤـﺎﻋﻰاﺟـﺘـﮭـﺎد) ialah ijtihâd yang dilakukan oleh beberapa orang secara kolektif atau bersama-sama.Ijtihâd dalam bentuk ini terjadi karena masalah yang dihadapi dan akan diselesaikan sangat kompleks dan rumit yang meliputi bidang yang luas, sehingga perlu melibatkan banyak ahli dari berbagai disiplin ilmu dan tidak mungkin dilakukan oleh orang perorangan atau oleh seseorang yang ahli dalam satu bidang tertentu saja. Ijtihad kolektif ini berbeda dengan ijma’, karena dalam ijtihad ini ulama’ yang berperan tidak meliputi persyaatan bagi suatu ijma’.

E.     Syarat-syarat Ijtihad
Menurut al-Umari syarat-syarat menadi mujtahid terdapat dua kelompok yakni syarat-syarat umum dan syarat-syarat keahlian.Syarat umum yakni baligh dan berakal. Sedangkan syara-syarat keahlian dibagi menjadi 2 yakni syarat-syarat pokok( asasiyyah) dan syarat-syarat penyempurna (takmiliyah).
  1. Syarat-syarat pokok (asasiyyah) dibagi menjadi lima yaitu:
a.       Menguasai Al-Kitab yang meliputi seluruh cabang ilmu Al-qur’an, seperti ilmu asbabul nuzul, nashk wa manshub, ayat-ayat makiyyah dan madaniyyah, amm dan khas, mutlaq dan mukhoyyad, muhkam dan mutasyabih. Lalu yang paling terpenting menguasai ilmu hukum.
b.      Menguasai sunnah nabi, mencangkup ilmu-ilmu hadits yaitu ilmu dhiroyah hadist dan riwayahnya.
c.       Menguasai bahasa Arab dan semua aspeknya seperti ilmu shorof, nahwu arti-arti lafal, ma’ani, balaghoh, bayyan, dan mampu membedakan antara makna zhahir dan khafi, hakikat dan kinayah (majaz), musytarak dan mutasyabih dan lain-lain.
d.      Menguasai ilmu ushul fiqh yakni menguasai kaidah0kaidah umum (kulliyyah) sampai menguasai hakikat hukum dan dalil-dalilnya.
e.       Mengetahui tempat-tempat ijma” karena ijma merupakan sumber hukum ketiga setelah Al-Qur’an dan hadits dan derajatnya sama dengan hadist muttawattir.
  1. Syarat-syarat penyempurna (takmiliyyah) adalah sebagai berikut
a.       Menguasai al-Baro’ah al-Ashliyyah , yakni mengetahui prinsip bahwa segala sesuatu bebas dari tanggungan kecuali jika sudah ada hukum syara’.
b.      Memahami maqosid syari’ah
c.       Menguasai kaidah-kaidah kulliyyah yang mencangkup kaidah fiqhiyah.
d.      Menguasai khilafiyat agar mengetahui tempat-tempat ikhtilaf
e.       Mengetahui kebiasaan yang berlaku di mujtahid
f.       Menguasai manthiq aau ilmu logika
g.      Adil
h.      Citra yang baik, wara’ dan memelihara diri dari perbuatan dosa
i.        Cerdas, teguh, dan teliti dalam ijtihad
j.        Mengharapkan sekali pertolongan Allah SWT
k.      Menurut orang banyak bahwa orang itu bisa dipercaya dan cakap melakukan ijtihad
l.        Konsekuen


F.     Tingkatan Mujtahid
Tingkatan menurut ulama ushul fiqh: 1) mujtahid mutlak yaitu mujtahid yang mempunyai kemampuan untuk menggali hukum syara langsung dari sumbernya yang pokok yakni (al-Qur’an da sunnah) dan mampu menerapkan metode dasar-dasar pokok yang ia susun sebagai landasan segala aktivitas ijtihad-nya, 2) mujtahid muntasib yaitu mujtahid menggabungkandirinyadanijtihad-nyadengansuatumazhab,3)mujtahid muqoyyadyaitumujtahidyangterikatkepadaimammazhabdantidakmau keluar dari mazhab dalam masalah ushul maupun furu’, dan 4) mujtahid murajih yaitu mujtahid yang membandingkan beberapa imam mujtahid dan dipilih yang lebih unggul.[8]

G.    Hukum Melakukan Ijtihad
Menurut para ulama, bagi seseorang yang sudah memenuhi persyaratan ijtihad di atas, ada lima hukum yang bisa dikenakan pada orang tersebut berkenaan dengan ijtihad, yaitu:
a.    Orang tersebut dihukumi fardu ain untuk berijtihad apabila ada permasalahan yang menimpa dirinya, dan harus mengamalkan hasil dari ijtihadnya dan tidak boleh taqlid kepada orang lain. Karena hukum ijtihad itu sama dengan hukum Allah terhadap permasalahan yang ia yakini bahwa itu termasuk hukum Allah.
b.    Juga dihukumi fardu ‘ain ditanyakan tentang suatu permasalahan yang belum ada hukumnya. Karena jika tidak segera dijawab, dikhawatirkan akan terjadi kesalahan dalam melaksanakan hukum tersebut atau habis waktunya dalam mengetahui kejadian tersebut.
c.    Dihukumi fardu kifayah, jika permasalahan yang diajukan kepadanya tidak dikhawatirkan akan habis waktunya, atau ada orang lainselain dirinya yang sama-sama memenuhi syarat sebagai seorang mujtahid.
d.   Dihukumi sunah apabila ber-ijtihad terhadap permasalahan yang baru, baik ditanya ataupun tidak.
e.    Dihukumi haram apabila ber-ijtihad terhadap permasalahan yang sudah ditetapkan secara qathi’, sehingga hasil ijtihadnya itu bertentangan dengan dalil syara’.[9]









H. Metode Ijtihad
Metode ini dimaksud sebagai thariqoh yaitu jalan atau cara yang harus dilakukan oleh seorang mujtahid dalam memahami, menemukan, dan merumuskan hukum syara’.[10]
Langkah-langkah yang harus ditempuh dalam istinbath hukum oleh mujtahid sebagai berikut:
1.      Merujuk pada Al-Qur’an yang mengandung hukum lalu mujtahid perlu memilah dan mencari penjelasan dalam bentuk lafal khas yang akan mentakhzizkan lafal muqayyad yang menjelaskankemutlakannya. Dalam meneliti ayat al qur’an yang mengandung hukum perlu dipilah antara lafalnya yang dzahir, nash, mufassar, dan muhkam. Dari pengkajian penelitian al qur’an maka mujtahid dapat menemukan hukum yang terkandung dalam al qur’an.
2.      Merujuk pada sunnah nabi apabila tidak menemukan hukum pada al qur’an. Mencari hadist yang tingkatannya mutawattir kemudian ke hadist yang tingkatannya dibawah mutawattir.mujtahid mencari lafal yang tersurat dalam hadist dan jika tidak menemukan maka mencari lafal yang tersirat dalam hadist.
3.      Mujtahid mencari jawabannya dari kesepakatan ulama’ sahabat. Jadi mujtahid menetapkan hukum menurut apa yang telah disepakati ulama’ sahabat, kesepakatan ulama’ sahabat disebut ijma’. Ijma merupakan semua apa yang disepakati para ulama dan memiliki landasan yang kuat dari Nabi wajib untuk ditaati[11]
4.      Bila tidak ada kesepakatan ulama’mengenai hukum yang dicari maka mujtahid harus menggali dan menemukan hukum allah yang ia yakini pasti ada dengan segenap kemampuan daya dan ilmu yang dimilikinya.

I.                   Sejarah perkembangan ijtihad
Ijtihad mulai ada sejak zaman rasulullah. Akan tetapi para ulama’ berbeda pendapat mengenangi ijtihad yang berlaku pada masa rasulullah masih hidup. Dikarenakan ijtihad dilakukan jika tidak menemukan petunjuk allah secara jelas mengenai suatu masalah dan tidak pula dari nabi.tetapi dalam banyak kasus ditemukan bahwa rasulullah sering menggunakan daya nalar dalam menghadapi suatu masalah.
1.      Ijtihad pada masa nabi
Ada banyak macam ijtihad pada masa rasulullah diantaranya adalah
a.       Ijtihad dalam bentuk dugaan seperti penjelasan rasulullah tentang kemurkaan allah terhadap bani israil yang kemudian dialih rupakan pada hewan dan nabi mengasumsikan bahwa pengalihrupaan sebagian mereka masih dapat mempunyai keturunan.tikus dan biawak merupakan keturunan dari mereka.
b.      Ijtihad dalam bentuk qat’i (pasti) seperti pada hadist riwayat muslim. Ketika beliau ditanya mengenai anak-anak orang musyrik yang meninggal ketika mereka masih kecil lalu apakah mereka masuk surga atau neraka lalu Rasulullah menjawab Allah lenih mengetahui apa yang mereka kerjakan.
c.       Ijtihad Nabi dalam bentuk tamanni (angan-angan) yakni seperti ijtihad beliau mengenai arah kiblat dalam melaksanakan sholat, setelah lebih kurang enam belas bulan melakukan sholat menghadap baitul maqdis.
2.      Ijtihad pada masa sahabat
Seiring berkembangnya zaman maka masalah yang muncul semakin banyak maka semakin banyak membutuhkan jawaban-jawaban atas masalah tersebut. seperti permasalahan yang muncul tepat setelah Rasul wafat yakni masalah mengenai siapakah pemimpin ummat selanjutnya yang menggantikan kedudukan beliau. Nabi sendiri tidak memberikan petunjuk apapun dan wahyu yang berkenaan dengan pergantian pemimpin. Tidak ada yang secara jelas menerangkannya sehingga terjadi perbincangan yang meluas yang menggunakan akal sebagai dalil. Hasil dari perbincangan tersebut adalah penunjukan Abu Bakar sebagai khalifah pertama yang menggantikan posisi peerintahan Rasulullah atas dasar Abu Bakar pernah menjadi imam sholat pengganti saat Rasul sedang sakit kala itu.
Ijtihad pada masa sahabat yakni menjelaskan nash yang sudah ada baik nash al-qur’an maupun sunnah Nabi. Ijtihad yang kedua yakni untuk menetapkan hukum yang baru bagi kasus yang muncul melalui cara mencari perbandingannya dengan ketetapan hukum yang telah ada penjelasannya dalam nash untuk ditetapkan bagi kasus tersebut.
3.      Ijtihad pada masa imam madzhab
Pada masa ini para mujtahid menyempurnakan karya-karya ijtihad dengan cara meletakkan dasar dan prinsip-prinsip pokok dalam berijtihad yang kemudian disebut sebagai “ushul”. Dalam berijtihad imam madzhab langsung merujuk pada hukum syara’ dan menghasilkan temuan orisinal. Pada masa tabi’in telah dilakukan usaha ijtihad akan etapi pada masa imam madzhab dikembangkan menjadi sistematis.
4.      Ijtihad pada masa sesudah imam madzhab
Pada masa ini para pengikut imam madzhab jika menemuka suatu masalah maka mereka tidak melakukan ijtihad. Akan tetapi cukup mengikuti apa yang telah ditetapkan imam madzhab sebelumnya. Kadang kala tanpa mempertanyakan relavansi dan ketepatannya. Tidak mempermasalahkan dalil yang digunakan imam madzhab pada masa kemudian yang jauh telah berubah. Masa ini biasa disebut dengan masa taqlid yang berlangsung lama.
Para ulama cenderung hanya membolak-balik kitab fiqh terdahulu atau membandingkan pendapat para imam madzhab untuk mengambil pendapat yang dianggapnya paling kuat.
Banyak hasil ijtihad imam madzhab itu yang sudah sulit dilaksanakan dikarenakan situasi dan kondisi yang telah sangat berubah dan berbeda jauh, namun ulama belakangan tidak mempunyai keinginan dan merasa tidak mampu melakukan ijtihad untuk mengembangkan hukum. Kondisi ini diperparah ketika bangsa islam mulai dijajah oleh bangsa barat. Yang mana negara barat tersebut menerapkan hukum barat sehingga hukum fiqh semakin lama tergeser eksistensinya.



DAFTAR PUSTAKA
Abd Wafi Has,  Ijtihad Sebagai Alat Pemecahan Masalah Umat Islam vol. 08, 1 juni 2013
Bahri, Samsul dkk. 2008. Metodologi Hukum Islam. Yogyakarta: Penerbit Teras
Forum Karya Ilmiah. 2004. Kilas Balik Teoritis Fiqh Islam. Kediri: Purna Siwa Aliyyah
Hayatudin, Amrullah. 2019. Ushul Fiqh. Jakarta: Sinar Grafika Offset
Mughits, Abdul. 2008. Kritik Nalar Pesantren. Jakarta:penerbit Kencana
Sukardja, ahmad dan mujar ibnu syarif. 2012. Tiga Kategori Hukum syariat, fiqh dan kanun). Jakarta: Grafika
Syarifuddin, Amir. 2008. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana
 Yulianti, Dewi. 2018. Analisis Ijtihād Hakim Dalam Menentukan Kadar Mut’ahdan Nafkah ‘Iddah

Catatan:
1. Similarity 31%, cukup tinggi
2. Abstrak dan pendahuluan tolong diperbaiki
3. Penulisan nama buku/kitab ditulis miring
4. Penulisan footnote banyak yang salah
5. Dalam tulisan ilmiah, penulisan gelar dihilangkan
6. Mana penutup.kesimpulannya?

Makalah ini masih banyak kelemahannya, sepertinya belum siap.


[1] Amir syarifudin. Ushul Fiqh. 2008. Jakarta: Kencana. Hlm 257
[2]Ibid
[3]Ibid hlm 258
[4]Forum Karya Ilmiah, Kilas Balik Teoritis Fiqih Islam. (Kediri, 2004). Hal, 314-315
[5] prof. Dr.ahmad sukardja,s.h,.ma. Tiga kategori hukum (sinar grafika,jakarta 2012) hal 34

[6]Abd Wafi Has,  Ijtihad Sebagai Alat Pemecahan Masalah Umat Islam vol. 08, 1 juni 2013


[7] Dewi Yulianti, Analisis Ijtihād Hakim Dalam Menentukan Kadar Mut’ahdan Nafkah ‘Iddah
(Lampug ,2018) hal 50

[8] Abdul mughits,m. Ag dkk, kritik nalar fiqh pesantren( fajar inter pratama offset,Jakarta 2008) hal 95
[9] Forum Karya Ilmiah, Kilas Balik Teoritis Fiqih Islam. (Kediri, 2004). Hal, 324
[10]Ibid amir syarifuddin hlm. 267       
[11]Samsul bahri, dkk. Metodologi Hukum Islam. 2008. Yogyakarta: Penerbit Teras. Hlm 36

1 komentar:

  1. If you're trying to lose fat then you have to get on this brand new personalized keto meal plan.

    To design this keto diet service, certified nutritionists, fitness couches, and top chefs have joined together to develop keto meal plans that are productive, convenient, price-efficient, and enjoyable.

    Since their launch in early 2019, 100's of people have already remodeled their figure and health with the benefits a smart keto meal plan can provide.

    Speaking of benefits: in this link, you'll discover 8 scientifically-tested ones provided by the keto meal plan.

    BalasHapus