Rabu, 15 November 2017

Ilmu al-Jarh wa al-Ta'dil (PAI B Semester Ganjil 2017/2018)




Sharvina Salsabila dan Layli Nur Azizah
Mahasiswi PAI-B Semester 3 UIN Maulana Malik Ibrahim Malang
Abstract
In a Hadith narrators has an important position, i.e. as part of a chain of Hadith rosul who came to his people. For that discussion of the Narrator is very important, which is where it is concerned with the knowledge of the degree of a Hadith. The degree of a Hadith that can be either shohih, hasan, dhoif, acceptable or whether a hadeeth.
The science of the rowi is considered complicated because it includes everything that exists on the Narrator. Because sometimes there is the narrator who has the same name, or kunyahnya the same, or Narrator known only to kunyahnya alone without knowing his real name, their lineage, or tribe, and other explanations.
Therefore it appears that examines the science of the properties of the narrators are associated with accepted or whether a Hadith. This science called jarh wa ta'dil which it describes in a note addressed to the narrators of Hadith so that they can be distinguished where the narrators who have fair, dhobit, or do not have one or both.
Abstrak
Dalam suatu hadist perawi memiliki kedudukan penting, yaitu sebagai bagian mata rantai hadits rosul yang sampai kepada umatnya. Untuk itu pembahasan tentang rawi merupakan hal yang sangat penting, yang mana hal itu berkaitan dengan pengetahuan akan derajat suatu hadits. Derajat suatu hadits itu dapat berupa shohih, hasan, dhoif, dapat diterima atau tidaknya suatu hadits.
Ilmu tentang para rowi ini dianggap rumit dikarenakan ia mencakup segala hal yang ada pada rawi. Karena terkadang ada rawi yang memiliki nama yang sama, atau kunyahnya sama, atau perawi hanya diketahui kunyahnya saja tanpa tahu nama aslinya, nasabnya, atau sukunya, dan penjelasan lainnya.
Oleh karena itu muncul ilmu yang meneliti tentang sifat-sifat perawi yang berhubungan dengan diterima atau tidaknya suatu hadist. Ilmu ini disebut jarh wa ta’dil yang mana ilmu ini menerangkan tentang catatan yang di tujukan kepada perawi hadits sehingga mereka dapat dibedakan mana perawi yang mempunyai sifat adil, dhobit, atau tidak mempunyai salah satu atau keduanya.
A.    Pendahuluan
Sumber ajaran islam setelah Al-quran adalah Hadits. Para ulama sudah tidak memperselisihkan masalah ini. Akan tetapi untuk menentukan suatu keshohihan hadits diperlukan penelitian pada perowinya karena adanya jarak waktu yang panjang antara masa kehidupan Rosullullah, penulisan hadits dan pembukuannya. Karena pada dasarnya hadits memiliki tingkatan keshohian yang dilihat dari perowinya dan sanadnya yang bersambung. Diantaranya yaitu hadits shahih, hadits hasan, dan hadits dha’if.
Didalam ilmu hadits ada dua persoalan yang berkaitan dengan sanad dan yang berkaitan dengan matan. Ilmu yang berkaitan dengan sanad membahas tentang sebuah hadits memiliki sanad yang bersambung atau tidak, selain itu untuk mengetahui para periwayat hadits yang dicantumkan dalam sanad hadits, merupakan orang yang adil dan terpercaya atau pendusta. Sedangkan ilmu yang berkaitan dengan matan akan membahas tentang kandungan atau isi suatu hadits benar-benar berasal dari nabi, dan juga untuk mengetahui bertentangan atau tidak antara satu hadits dengan yang lainnya.
Dalam upaya menjaga keautentikan hadits yang mana merupakan sumber ajaran islam yang kedua, para ulama melakukan penilaian perawi hadits. Dalam ilmu hadits ada banyak cabang, salah satunya yaitu ilmu jarh wa ta’dil. Ilmu ini membahas tentang penyeleksian tentang kecacatan atau kebersihan seorang perawi hadits sehingga suatu hadist dapat diterima atau ditolak. Penilaian semacam ini dibutuhkan untuk menjaga kemurnian hadits Nabi. Fokus kajian pada ilmu jarh wa ta’dil yaitu tentang kualitas diri seorang rawi dan juga intelektualnya.


B.     Pengertian Jarh Wa Ta’dil
Secara etimologi kata jarh merupakan isim masdar dari kata jaraha-yajrahu yang mempunyai arti melukai. Luka yang dimaksud disini dapat berkaitan dengan luka fisik, seperti luka terkena senjata tajam, atau luka nonfisik seperti luka hati akibat ucapan kasar seseorang. Jika kata jarh  dipakai dipengadilan maka hal itu tertuju pada kesaksian.Dalam kitab Ushul al-Hadits yang dimaksud dengan al-jarh adalah seorang perawi yang memiliki sifat pribadi tidak adil, atau memiliki hafalan yang kurang kuat, dan kurangnya kecermatannya, sehingga mengakibatkan riwayat yang disampaikan gurgur atau lemah. Sedangkan secara terminologi al-jarh adalah kecacatan yang disebabkan oleh semua yang dapat merusak  keadilan dan kedhabitan seorang perawi. Defnisi lain tentang al-jarh yaitu pengungkapan keadaan perawi yang mencakup sifat-sifatnya yang tercela, atau sesuatu yang menyebakan lemah sehingga riwayat yang disampaikan perawi ditolak.[1]Para ulama mendefinisikan al-jarh sebagai berikut:
الجرخ عند المحدثين الطعن فى راوى الحديث بما يسلب أو يخل بعدالته أو ضبطه
Jarhmenurutmuhadditsinadalahmenunjukkansifat-sifatcelarawisehinggamengangkatataumencacatkan 'adalahataukedhabitannya.[2]
Adapun secara etimologi kata al-‘adl merupakan masdar dari ‘adala ya’dilu yang diartikan sebagai sesuatu yang dirasakan dalam keadaan benar dan lurus.[3]Definisi lain al-‘adl secara etimologi yaitu mengungkapkan sifat adil yang dimiliki seorang perawi. [4] sedangkan secara terminologi diartikan sebagai pengungkapan sifat-sifat bersih yang ada pada diri periwayat, sehingga hal itu dapat menampakkan keadilan seorang perawi sehingga riwayatnya dapat diterima.[5] Kemudian para ulama hadits mendefinisikan at-ta’dil sebagai berikut:
والتعديل عكسه وهو تزكية الراوى والحكم عليه بأنه عدل او ضابط
Ta'diladalahkebalikandarijarh, yaitumenilaibersihterhadapseorangrawidanmenghukuminyabahwaiaadilataudhabit.[6]
Jadi pengertian jarh wa ta’dilmenurut ulama lain adalah:
علم يبحث فيه عن جرح الرواة وتعديلهم بالفاظ مخصوصة وعن مراتب تلك الالفاظ
ilmuyangmenerangkantentangcatatan-catatan yang dihadapkan para perawidantentangpenakdilannya (memangdangadil para perawi) denganmemakai kata-kata yang khususdantentangmartabat-martabat kata-kata itu."[7]
C.    Sejarah Singkat Perkembangan Jarh wa Ta’dil
Eksistensi jarh wa ta’dil dalam kritik sanad hadits memiliki fungsi sebagai tolak ukur dan timbangan bagi perowi untuk mengetahui hadits yang diriwayatkannya diterima atau ditolak. Dengan kata lain kualitas pribadi dan kapasitas intelektual perawi menjadi dasar penerimaan atau penolakan suatu hadits yang diriwayatkan perawi.[8]
Sejarah para periwayat hadits telah dimulai sejak generasi sahabat nabi sampai pada generasi mukharijj al-hadits (periwayat sekaligus penghimpun hadits) tidak lagi bisa di lihat secara fisik dikarenakan mereka telah meninggal dunia terlebih dahulu. Untuk mengetahui berbagai keadaan pribadi mereka dari sisi baik atau buruknya dibutuhkan informasi dari kitab yang ditulis ulama ahli kritik rijal (para periwayat) hadits.
Para ulama ahli kritik hadits telah mengemukakan kritik pada perawi hadits yang mana tidak hanya kritik yang berhubungan dengan hal-hal yang terpuji saja akan tetapi hal-hal yang tercela juga disampaikan. Penyampaian hal yang tercela bukan bertujuan untuk menjelek-jelekan mereka akan tetapi hal itu dijadikan pertimbangan dalam penerimaan atau penolakan riwayat hadits yang mereka sampaikan. Pada dasarnya ulama hadits tetap menyadari bahwa menyampaikan kejelekan dilarang oleh agama, akan tetapi hal ini dilakukan untuk kepentingan yang lebih besar yaitu berupa penelitian hadits yang mana hadits merupaka sumber ajaran agama islam, untuk itu kejelekan ataupun kekurangan yang ada pada periwayat sangat perlu disampaikan. Kejelekan dan kekurangan yang disampaikan hanya yang berhubungan dengan kepentingan penelitian periwayat hadits.[9]
Benih-benih praktek pada jarh wa ta’dil sudah terlihat sejak masa Rasulullah yang mana beliau memberi contoh secara langsung dengan memuji sahabat Khalid bin Walid dengan sebutan:
نعم عبدالله خالدبن الوالد سيف من سيوف الله
Sebaik-baikhambaAllahadalahkhalidbinwalid. Diaadalahpedangdarisekianbanyakpedang Allah.”
Dibawah ini perupakan pertanyaan para ulama tentang keadaan para periwayat yaitu:
a.       Imam syafi’i berkata:”kalau bukan karena Syu’bah maka Hadits tidak dikenal di Irak.”
b.      Syu’bah (82-160 H) ketika ditanya tentang Hadits nya Hakim bin Jabir ia berkata: “aku takut neraka.”
c.       Ali al-Madini ditanya oleh kaum tentang ayahnya ia berkata: “bertanyalah tentang ayahku kepada selain aku.”[10]
D.    Syarat Ulama Jarh wa Ta’dil
Sebagai seorang ulama jarh wa ta’dil haruslah memenuhi kriteria agar menjadikannya objektif dalam menyingkap karakteristik periwayat. Syarat-syarat bagi ulama jarh wa ta’dil diantaranya yaitu:
a.       Berilmu, bertaqwa, wara’ dan jujur. Apabila tidak memiliki sifat ini maka ia tidak bisa menghukumi orah lain karena jarh wa ta’dil  selalu membutuhkan keadilannya. Dalam Syarh an-Nukhbah di buku ulumul hadits Al-Hafizh berkata seharusnya jarh wa ta’dil  tidak diterima melainkan dari orang yang adil dan kuat ingatannya, yaitu orang yang mampu mengungkapkan hadits dan memiliki daya ingat yang kuat sehingga ia menjadi berhati-hati dan ingat dengan tepat terhadap hadits yang ia ucapkan.
b.      Mengetahui sebab adanya jarh wa ta’dil. Al-Hafizh ibnu hajar menjelaskan dalam syarh an-nukhbah, “diterimanya tazkiyah (pembersihan terhadap diri orang lain) jika dilakukan oleh orang yang mengetahui sebab-sebabnya, agar ia tidak memberkan tazkiyahberdasarkan apa yang dilihatnya dengan sepintas melainkan harus dengan pendalaman dan pemeriksaan.”
c.       Ia mengetahui penggunaan kaliamat-kalimat bahasa arab, sehingga dapat menggunakan kata sesuai dengan maknanya, atau men-jarh dengan lafadz yang tidak sesuai untuk men-jarh.
Selain itu ada beberapa hal yang tidak disyaratkan bagi ulama jarh wa ta’dil diantaranya yaitu:
a.       Tidak disyaratkan bagi ulama jarh wa ta’dil harus laki-laki dan merdeka, karena yang terpenting adalah seseorang itu dalam melakukan tazkiyah dan jarh haruslah bersikap adil.
b.      Ada pendapat yang menyatakan bahwa pernyataan jarh wa ta’dil dapat diterima jika dinyatakan oleh dua orang seperti dalam kasus kesaksian lainnya.
Akan tetapi ulama menganggap cukup atas penilaian seorang ulama jarh wa ta’dil yang telah memenuhi syarat sebagai ulama jarh wa ta’dil. Sebagaimana diriwayatkan oleh al-Amidi dan Ibnu al-Hajib serta yang lainnya, ibnu As-shalah berkata: itu adalah pendapat yang benar yang dipilih oleh al-Khathib dan lainnya, karena dalam penerimaan suatu riwayat hadits tidak ada syarat harus berapa periwayat. Oleh karena itu dalam penilaian jarh atau adilnya rawi tidak disyaratkan harus berjumlah beberapa orang. Karena hal ini berbeda dengan syahadah atau kesaksian.[11]
E.     Tata tertib UlamaJarh wa Ta’dil
Ada beberapa tata tertib yang harus diperhatikan oleh ulama jarh wa ta’dil. Diantaranya yaitu:
1.      Bersikap objektif dan tazkiyah, jadi ulama jarh wa ta’dil tidak boleh meninggikan martabat seorang perawi atau merendahkannya karena atas dasar tidak suka.
2.      Tidak boleh jarhmelebihi kebutuhan, karena men-jarh diperbolehkan karena adanya perihal yang darurat, meskipun demikian tetap saja ada batasnya dalam men-jarh.
3.      Tidak boleh hanya mengutip jarh, hal ini berhubungan dengan orang yang dinilai jarh  oleh sebagian kritikus tetapi dinilai adil oleh sebagian linnya. Karena sikap yang demikian dapat merampas hak rawi yang bersangkutan, para muhaddisin pun mencela sikap yang demikian.
4.      Tidak boleh jarh kepada rawi yang tidak perlu di-jarh. Karena pada dasarnya pembolehan jarh lantaran ada perihal darurat, maka jika tidak ada daruratnya jarh tidak bisa dilaksanakan.[12]
F.     Cara Melakukan Jarh wa Ta’dil
a.       Bersikap jujur dan Proporsional, maksudnyaa yaitu penyampaikan keadaan periwayat apa adanya. Muhammad Sirin seperti dikutip dalam al-Khathin mengatakan: “kita mencelakai saudaramu apabila kamu menyebutkan kejelekannya tanpa menyebutkan kebaikannya.”
b.      Cermat dalam melakukan penelitian. Ulama jarh wa ta’dil harus cermat dalam pembedaan antara dha’if nya suatu hadits karena lemahnya agama periwayat dan dha’ifnya suatu hadits karena periwayat yang hafalannya tidak kuat.
c.       Tetap menjaga batas-batas kesopanan dalam melakukan jarh wa ta’dil. Ulama harus selalu dalam ketentuan ilmiah dan memiliki tingkat sopan dan santun yang tinggi dalam mengungkapkan jarh wa ta’dil-nya. Bahkan untuk mengungkapkan kelemahan periwayat seorang ulama cukup mengatakan: “tidak adanya keteguhan dalam berbicara.”
d.      Bersifat global dalam men-ta’dil dan terperinci dalam men-tajrih. Dalam men-ta’dil mereka cukup mengatakan: “si fulan siqoh atau adil”. Dalam hal ini alasannya tidak disebutkan karena terlalu banyak. Berbeda bengan jarh, pada umumnya sifat jarh disebutkan misalnya: “fulan itu tidak bisa diterima haditsnya karena dia sering teledor, ceroboh, dan lebih banyak ragu, atau tidak dhabit atau pendusta, atau fasik, atau yang lainnya”.[13]
G.    Tingkatan Jarh wa Ta’dil
perawi yang memindahkan hadits tidak semuanya memiliki tingkat hafalan yang sama, ilmu yang sama, juga kedhabitan yang sama. Terkait tingkatan pada jarh wa ta’dil diantaranya yaitu:
1.      Tingkatan Tajrih
a.       Kata-kata yang menunjukkan mubalaghoh (intensitas maksimal) dalam hal jarh misalnya:
أكذب الناس                      Orang yang paling berdusta
ركن الكذب                    Pangkal dusta
b.      Jarh dengan kedustaan atau pemalsuan, misalnya:
وضاع                كذاب
Yang menunjukkan kata-kata mubalaghah,akan tetapi masih dibawah tingkat pertama.
c.       Kata yang menunjukan tertuduhnya perawi sebagai pendusta, pemalsu, atau sejenisnya, misalnya:
متهم بالكذب
متهم بالوضع
يسرق الحديث
Yang disamakan dengan tingkat ini adalah kata-kata yang menunjukkan adanaya peninngian suatu hadits, misalnya:
متروك
هالك
ليس بثقة
d.      Kata yang menunjukkan kedha’ifan yang sangat:
رد حديثه
ضعيف جدا
ليس بشيئ
طرح حديثه
لا يكتب حديثه
e.      Kata-kata yang menunjukkan penilaian dha’if kepada perawi karena hafalannya yang kurang kuat, misalnya:
مضطرب الحديث
 لا يحتج به
 ضعفوه
 له منا كير
 ضعيف
f.       Mensyifati perawi dengan sifat yang menunjukkan kedha’ifannya akan tetapi mendekati ta’dil, misalnya:
ليس بذلك القوي
 ليس بحجة
 فيه مقال
 فيه ضعف
 غيره أوثق منه
Hukum tingkatan jarh tersebut adalah:
-          Perawi yang jarh dengan dua tingkatan pertama maka haditsnya dapat dipakai hujjah, namun haditsnya bisa dicatat sebagai i’tibar.
-          Perawi yang di-jarh dengan tingkatan ke empat sampai tingkatan yang terakhir haditsnya tidak dapat diapakai hujjah, tidak bisa dicatat, dan dan tidak bisa digunakan sebagai i’tibar.[14]
2.      Tingkatan ta’dil
a.       Kata-kaya yang menunjukkan mubalaghahdalam hal ta’dil dengan bentuk af al at-tafdhili dan sejenisnya, misalnya:
أوثق الناس                       yang paling tsiqoh
أضبط الناس                     yang paling dhabit
ليس له نظير                     tiada bandingannya
b.      Pernyataan seperti:
فلان لا يسأل عنه               fulan tidak dipertanyakan
فلان لا يسأل عن مثله          orang seperti fulan tak perlu dipertanyakan
c.      Kata-kata yang mengukuhkan kualitas tsiqoh dengan salah satu sifat diantara sekian sifat adil dan tsiqoh baik dengan kata yang sama atau kata yang searti, misalnya:
ثقةثقة
 ثقة مأمون
 ثقة حافظ
d.     Kata yang menunjukkan sifat adil dengan kata yang menyiratkan kedhabitan, misalnya:
ثبة
 متقن
 عدل إمام حجة
 عدل ضابط
e.       Kata yang menunjukkan sifat adil,tetapi menggunakan kata yang tidak menyiratkan kedhabitannya, misalnya:
صدوق
 مأ مون
 لا بأس به
Yang disamakan dengan tingkat ini adalah kata yang menunjukkan kejujuran perawi dan kedhabitannya, misalnya:
محله الصدق
 صا لح الحديث
Akan tetapi sebagian ulama menyamakan kedua kata itu dengan tingkatan ke enam.
f.       Kata-kata yang sedikit menyiratkan makna tajrih, seperti penggunaan kata diatas, misalnya:
شيخ ليس ببعيد من الصواب
 صويلح
 صدوق إن شا ء الله[15]
Hukum pada tingkatan ta’dil adlah:
-          Perawi yang ta’dil dengan 3 tingkatan yang pertama maka haditsnya dapat dipakai hujjah, jika masing-masing saling menguatkan.
-          Perawi yang ta’dil pada tingkatan ke empat dan ke  lima haditsnya tidak dapat digunakan menjadi hujjah, akan tetap bisa di catat dan di ikhtibar (dapat pertimbangkan).
-          Perawi yang dita’dil pada tingkatan ke enam maka haditsnya tidak bisa digunakan sebagai hujjah, akan tetapi bisa dicatata dan dii’tibar (sebagai pertimbangan) tidak untuk diikhtibar, karena sudah jelas tidak menunjukkan arti dhabith.[16]
H.    Pertentangan antara Jarh wa Ta’dil
1.      Apabila terdapat pertentangan antara jarh wa ta’dil pada perawi hadits, akibat sebagian ulama menilai adil sedangkan sebagian lainnya menilai cacat, maka ada dua pendapat diantaranya:
a.       Pendapat yang dianut oleh jumhur ulama yaitu jarh harus didahulukan daripada ta’dil jika cacatnya disebutkan secara rinci.
b.      Selain pendapat diatas sebagian pendapat menyatakan bahwa jika jumlah penilai adilnya lebih banyak daripada penilai cacatnya maka yang harus di dahulukan adalah ta’dilnya. Akan tetapi pendapat ini dinilai lemah.[17]
2.      Jika ada periwayat yang pada zaman dahulu fasik akan tetapi kemudian dia bertaubat:
Orang yang mengenalnya ketika ia dalam keadaan fasik maka akan menilanya secara jarh, akan tetapi orang yang mengenalnya setelah taubat menganggapnya adil.(hal seperti ini tidak bertentangan)
3.      Jika terdapat perawi yang tidak dhabit fi al-lafzi dan dhabit fi al-kitabah
Seseorang yang pernah melihat kesalahan hadits nya karena ia meriwayatkan dari hafalannya, maka akan menilainya jarh. Sedangkan jika seseorang melihah keshahihan haditsnya karena ia meriwayatkan dari tulisannya maka akan menganggapnya adil. (hal ini tidak bertentangan)[18]
I.       Kitab-kitab Jarh wa Ta’dil
1.      Kitab jarh wa ta’dil secara umum
a.       Al-Tarikh al-Kabir karya Imam Bukhari (194-256) yang mana kitab ini memuat 12.305 periwayat hadits. Kitab ini disusun berdasarkan urutan huruf mu’jam dengan memperhatikan huruf pertama dari nama periwayat dan nama bapaknya.
b.      Kitab al-Jarh wa al-Ta’dil karya Abu Hatim Muhammad ibn Idris al-Razi (240-327 H). Merupakan kitab dari ulama muqoddimin yang memuat 18.050 periwayat hadits. Dalam kitab ini biografi periwayatan hadits ditulis dengan singkat dan disusun menggunakan huruf hijaiyah.
2.      Kitab jarh wa ta’dil mengenai periwayat-periwayat Thiqat
a.       Kitab al-Thiqat karya Muhammad ibn Ahmad ibn Hibban al-Busti (354 H). Kitab ini disusun berdasarkan tobaqat (tingkatan) sesuai dengan huruf hijaiyah. Dalam tabaqoh ini terdapat tiga juz yang terdiri dari tabaqat sahabat, tabaqottabi’in, tabaqot ‘atba’ tabi’in.
b.      Tarikh Asma’al al-Thiqat min Man Nuqila Anhu al-Ilm dsusun oleh Umar Ibn hamad Ibn Syahin (385 H).susunannya berdasarkan huruf mu’jam yaitu dengan menyebutkan nama periwayat dan bapaknya saja. Akan tetapi terkadang juga menyebutkan nama guru dan muridnya.
3.      Kitab jarh wa ta’dil mengenai periwayat Dhaif
a.       Al du’afa al Kabir dan al Du’afa al Sagir karya Imam Bukhari.  Termasuk kitab jarh wa ta’dil tertua. Disusun menggunakan huruf mu’jam yang hanya memperhatikan nama depan periwayat.
b.      Al Du’afa wa al Matrukin karya Imam Nasa’i (215-303 H). Disusun menggunakan huruf mu’jam yang hanya memperhatikan nama depan periwayat.
c.       Ma’rifat a’Majruhin min al Muhaddisin kaya Ibn Hibban. Yang disusun menggunakan huruf mu’jam.
d.      Al Kamil fi Du’afa al Rijal karya Imam Abu Ahmad Ibn Adi al-jurjani (356 H).disusun berdasarkan huruf mu’jamdan memiliki muqoddimah yang terlalu panjang.
e.       Mizan al Itidal fi Naqd Al Rijal karya Abu Abdullah Muhammad ibn Ahmad ibn Usman al-Zhahabi (748 H). Kitab ini mengandung 11.053 biografi periwayat yang disusun dengan huruf mu’jam dengan memperhatikan nama periwayat dan bapaknya.
f.       Ma’rifatu Rijal karya Yahya bin Ma’in (158-233 H). Kitb ini merupakan kitab jarh wa ta’dil jarh wa ta’dil yang pertama sampai kepada kita.
g.      Lisan al Mizan karya ibn Hajar al Asqalani. Kitab ini disusun berdasarkan huruf mu’jam yang diawali dengan nama asli, nama kunyah, kemudian periwayat yang mubham, yang mana terbagi menjadi tiga pasal: pasal pertama tentang periwayat yang menggunakan nasab, pasal kedua periwayat yang terkenal dengan nama kabilah atau pekerjaannya, dan pasal ketiga tantang periwayat yang berdasarkan dengan nama lain.[19]





DAFTAR PUSTAKA

Nurruddin. 2012. Ulumul Hadis. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Izzan, Ahmad dan Saifuddin Nur. 2011. Ulumul Hadis. Bandung: Tafakur.
Sumbulah, Umi. 2008. Kritik Hadis: Pendekatan Historis Metodologis. Malang: UIN-Malang Press.
Noor, Muhammad Sulaiman. 2008. Antologi Ilmu Hadits. Jakarta: Gaung Persada Press.
Solahudin, Agus dan Agus Suyadi. 2013. Ulumul Hadis. Bandung: CV. Pustaka Setia.
Solahudin, Muhammad Agus dan Agus Suyadi. 2007. Intisari Ilmu Hadits. Malang: UIN-Malang Press.
Ahmad, Muhammad dan Mudzakir. 2000. Ulumul Hadis. Bandung: CV Pustaka Setia.
Asrohah, Hanun dan Amir Malik bin Abi Thalhah,dkk. 2012. Hadis. Mojokerto: Sinar Mulia.
Zunin, Muhammad dan Ngatiman,dkk. 2015. Hadis-Ilmu Hadis. Jakarta: Kementrian Agama.
Thahhan, Mahmud.2012.IlmuHadistPraktis.Jakarta:PustakaThariqulIzzah.

Catatan:
1.      Similarity 22%.
2.      Abstrak itu cuma satu paragraf.
3.      Kaywords tidak ada.
4.      Penulisan footmote tolong diperbaiki.
5.      Latar belakang munculnya ilmu jarh wa ta’dil tidak disebutkan, hanya dipaparkan sedikit pada bagian sejarah perkembangan.



[1] M. Noor Sulaiman PL, Antologi ilmu hadits, hlm.176
[2] M. Agus Solahudin, Agus Suyadi, Ulumul Hadits, hlm. 113
[3] Umi Sumbulah, Kritik Hadits (Pendekatan Historis Metodologis), hlm.77-78
[4] M. Noor Sulaiman PL, Antologi ilmu hadits, hlm.176
[5] M. Noor Sulaiman PL, Antologi ilmu hadits, hlm.176  
[6] M. Agus Solahudin, Agus Suyadi, Ulumul Hadits, hlm. 113
[7] Muhammad ahmad-M. Mudzakir, Ulumul hadits, hlm. 59-60
[8] Umi Sumbulah, Kritik Hadits (Pendekatan Historis Metodologis), hlm.80-81
[9] Muhamad Zunin, Moh.Soir,dkk, Hadits-Ilmu Hadits, hlm. 23
[10]Muhammad Zunin, Ahmad Taufiq Wahyudi,dkk, Bahan Ajar Hadits, hlm.103
[11] Nuruddin, ‘Ulumul Hadis, hlm.85-86
[12] Nuruddin, ‘Ulumul Hadis, hlm.87
[13] Muhamad Zunin, Moh.Soir,dkk, Hadits-Ilmu Hadits, hlm.26
[14] Mahmud Thahhah, Intisari Ilmu Hadits,hlm.172
[15] Ahmad Izzan,Saifuddin Nur, Ulumul Hadits, hlm.127-128
[16] Mahmud Thahhah, Intisari Ilmu Hadits,hlm.170
[17] Mahmud Thahhah, Intisari Ilmu Hadits,hlm.163
[18] Muhamad Zunin, Moh.Soir,dkk, Hadits-Ilmu Hadits, hlm.28
[19]Muhammad Zunin, Ahmad Taufiq Wahyudi,dkk, Bahan Ajar Hadits, hlm106-107

Tidak ada komentar:

Posting Komentar