Minggu, 19 November 2017

Qawaid Khamsah (PAI E Semester Ganjil 2017/2018)




Debi Firda dan Dira Rahmadini
PAI E UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Abstract
            This article talks about the understanding and history of qawaidul fiqhiyyah. in the rule of fiqih found a beautiful picture of the fundamental principles that are univerasal. binds the branches of amaliyah law with several ties that explain that each branch group has a bond and is related to each other even though the problem is different. if these rules were not there, then the legal jurisprudence would be a scattered law without any basic ties leading and opening the way for comparative effort. The rules essentially nurture the Five basic rules. Because these five basic bundles create various kinds of rules that are branches. And the scholars termed the five basic rules with Al-Qawa'id Al-Khamsah or can be called the five rules.
A. Each case depends on its intent
الأموربمقاصدها
B. Something sure can not be lost with doubt
اليقين لا يزول بالشك
C. Difficulty Brings Ease
المشقة تجلب التيسير
D. The harm should be eliminated
الضرر يزال
E. Adat Can Be Considered Being Legal
العادة محكمة



Keyword: Qawa’id Fiqhiyah and Qawa’id Al- Khamsah




PENDAHULUAN
Sebagai calon pendidik, kita sebagai mahasiswa harus mengetahui dasar dasar hukum serta kaidah- kaidah di dalam pembahasan Fiq. Dan kaidah tersebut yang berpangkal yang mendasari atas lima kaidah pokok, dan kaidah tersebut memiliki cabang- cabang kaidah dari setiap kaidah pokok

PEMBAHASAN
QAIDAH FIQHIYAH
A.    Pengertian

            Fiqh dalam bahasa artinya pemahaman yang mendalam dan membutuhkan pengarahan potensi akal.[1] Qawa’id adalah jama’ dari kata qa’idah yang menurut bahasa berarti al-asas, artinya dasar, maksudnya dasar/fondasi dari berdirinya sesusatu atau pokok suatu perkara.[2]
            Qawa’id fiqhiyyah merupakan kata majemuk yang terbentuk dari dua kata, yaitu kata Qowa’id dan fiqhiyyah, yang masing-masing memiliki pengertian tersendiri. Qawa’id merupakan bentuk jamak (plural) dari kaidah yang secara etimologi (bahasa) diartikan sebagai dasar-dasar atau fondasi seseuatu, baik yang bersifat konkrit, materi atau inderawi (hissi) seperti fondasi rumah, maupun yang bersifat abstrak, non-materi atau non-inderawi (ma’nawi)  seperti ushul al-din (dasar-dasar agama)[3]
Pengertian kaidah terdapat pula dalam ilmu-ilmu nahwu/grammer bahasa Arab, seperti maf’ul itu manshub dan fa’il itu marfu’. Dari sini ada unsur penting dalam kaidah yaitu hal yang bersifat kulli (menyeluruh, general) yang mencakup seluruh bagian-bagiannya.[4]
Kaidah yang berarti dasar-dasar (fondasi) yang bersifat materi terdapat dalam al-Quran Surat al-Baqarah (2) ayat 127 dan Surat an-Nahl (16) yang berbunyi :
واذ يرفع ابراهم القواعد من البيت واسما عيل (البقرة )
Artinya: “Dan ingatlah ketika Ibrahim meninggikan dasar-dasar (fondassi) Baitullah beserta Isma’il . . .”(al-Baqarah:2:127)

            Qawaid Fiqhiyyah adalah kata majemuk yang terbentuk dari dua kata, yakni kata qawaid dan fiqhiyyah, kedua kata itu memiliki pengertian tersendiri. Secara etimologi, kata qaidah (قاعدة), jamaknya qawaid (قواعد ). berarti; asas, landasan, dasar atau fondasi sesuatu, baik yang bersifat kongkret, materi, atau inderawi seperti fondasi bangunan rumah, maupun yang bersifat abstrak, non materi dan non indrawi seperti ushuluddin (dasar agama).1 Dalam kamus Besar Bahasa Indonesia, arti kaidah yaitu rumusan asas yang menjadi hukum; aturan yang sudah pasti, patokan; dalil.[5]

            Qaidah dengan arti dasar atau fondasi sesuatu yang bersifat materi terdapat dalam al-
Qur’an surah al-Baqarah ayat 127 :

وَإِذْ يَرْفَعُ إِبْرَاهِيمُ الْقَوَاعِدَ مِنَ الْبَيْتِ وَإِسْمَاعِيلُ رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا إِنَّكَ أَنتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ

Dan (ingatlah), ketika Ibrahim meninggikan (membina) dasar-dasar Baitullah bersama Ismail (seraya berdo`a): "Ya Tuhan kami terimalah daripada kami (amalan kami), sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.
Begitu pula terdapat dalam al-Qur’an surah al-Nahl ayat 26:

قَدْ مَكَرَ الَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ فَأَتَى ه اللُّ بُنْيَانَهُم مِّنَ الْقَوَاعِدِ

Sesungguhnya orang-orang yang sebelum mereka telah mengadakan makar, maka Allah menghancurkan rumah-rumah mereka dari fondasinya...QS. al-Nahl 26)

            Kata fiqhiyyah berasal dari kata fiqh  (الفقه)ditambah dengan ya nisbah yang berfungsi sebagai penjenisan, atau penyandaran. Secara etimologi fiqhberarti pengetahuan, pemahaman, atau memahami maksud pembicaraan dan perkataannya.[6]

Al-Qur’an menyebut kata fiqh sebanyak 20 ayat, antara lain pada surah al-Taubah ayat 122 :

وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنفِرُواْ كَآفَّةً فَلَوْلاَ نَفَرَ مِن كُلِّ فِرْقَةٍ مِّنْهُمْطَآئِفَةٌ لِّيَتَفَقَّهُواْ فِي الدِّينِ وَلِيُنذِرُواْ قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُواْ إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ
يَحْذَرُونَ

Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.


Begitu pula dalam surah Hud ayat 91 :

قَالُو ا يَا شُعَيْبُ مَا نَفْقَهُ كَثِير اً مِّمَّا تَقُولُ وَإِنَّا لَنَرَاكَ فِينَا ضَعِيفًا وَلَوْلا رَهْطُكَ لَرَجَمْنَاكَ وَمَا أَنتَ عَلَيْنَا بِعَزِيزٍ

Mereka berkata: "Hai Syu`aib, kami tidak banyak mengetahui (mengerti) tentang apa yang kamu katakan itu dan sesungguhnya kami benar-benar melihat kamu seorang yang lemah di antara kami; kalau tidaklah karena keluargamu tentulah kami telah merajam kamu, sedang kamupun bukanlah seorang yang berwibawa di sisi kami.

Kata fiqh juga ditemukan dalam Hadis Rasulullah SAW. antara lain:

مَنْ يُرِدِ اللُّ خيرًا يُف ه قههُ فى الدين. رواه مسلم.[7]

Siapa yang dikehendaki Allah mendapatkan kebaikan, akan diberikan-Nya pengetahuan dalam agama.

Secara terminologi Kata fiqh dikemukakan oleh Jamaluddin al-Asnawy (w.772 H), yaitu :

العلم بالأحكام ال ه شرعية العمل ه يةِ المُكْتَسَبُ من أدلتِها التفصيليةِ[8]


Ilmu tentang hukum-hukum syara` yang praktis yang diusahakan dari dalil-dalilnya yang terperinci.

            Ulama ushul kontemporer, antara lain Abd al-Wahhab Khallaf memberikan definisi fiqh secara ekslusif, yaitu :
مَجْمُوْعَةُ الأحْكَامِ الشَّرْعِيَّةِ العَمَلِيَّةِ المُسْتَفَادَةِ مِن اَدِلَّتِهَاالتَّفْصِلِيَّةِ.[9]
Kumpulan hukum-hukum syara’ yang bersifat praktis yang diperoleh dari dalil-dalilnya yang terperinci.

            Dari pengertian di atas, dapat diketahui bahwa pengertian qawaid fiqhiyyah menurut etimologi berarti aturan yang sudah pasti atau patokan, dasar-dasar bagi fiqh.
Sedangkan pengertian qawaid fiqhiyyah menurut terminologi, al-Taftazany (w. 791 H.) memberikan rumusan, yaitu:
إنَّهَا حُكْمٌ كُلِّىٌّ يَنْطَبِقُ على جُزْئِيَّاتِهَا لِيُتَعَرَّفَ أحكامُها منهُ[10]

            Suatu hukum yang bersifat universal yang dapat diterapkan kepada seluruh bagiannya agar dapat diidentifikasikan hukum-hukum bagian tersebut darinya.
Al-Jurjani (W. 816 H) dalam kitab al-Ta’rifat memberikan rumusan, yaitu:
قَضِيَّةٌ كُلِّيَّةٌ مُنْطَبِقَةٌ عَلَى جَمِيْعِ جُزْئِيَّاتِهَ[11]

Ketentuan universal yang bersesuaian dengan seluruh bagian-bagiannya.


B.     Sejarah Pertumbuhan Dan Perkembanagan Qawaid Fiqhiyyah

            Masa kerasulan dan masa tasyri’ (pembentukan hukum Islam) merupakan embrio kelahiran qawa’id fiqhiyyah. Nabi Muhammad SAW menyampaikan hadits-hadits yang jawami’ammah (singkat dan padat). Hadits-hadits tersebut dapat menampung masalah-masalah fiqh yang sangat banyak jumlahnya. Dengan demikian, hadits Nabi Muhammad SAW di samping sebagai sumber hukum, juga sebagai qawa’id fiqhiyyah.[12]

            Ali Ahmad al-Nadwi, seorang ulama ushul kontemporer, menyebut tiga periode penyusunan qawaid Fiqhiyyah yaitu; periode kelahiran, pembukuan, dan penyempurnaan.[13]
1.      Periode Kelahiran.
Masa kelahiran dimulai dari pertumbuhan sampai dengan pembentukan berlangsung selama tiga abad lebih dimulai dari zaman kerasulan sampai abad ketiga hijrah. Periode ini dari segi fase sejarah hukum Islam, dapat dibagi menjadi tiga periode: zaman Nabi Muhammad SAW., yang berlangsung selama 22 tahun lebih, zaman tabi’in, dan zaman tabi’it al-tabi’in yang berlangsung selama lebih kurang 250 tahun. Pada masa kerasulan adalah masa tasyri’ (pembentukan hukum Islam) merupakan embrio kelahiran qawaid fiqhiyyah. Nabi Muhammad SAW. menyampaikan Hadis yang jawami’ ‘ammah (singkat dan padat). Hadis tersebut dapat menampung masalah-masalah fiqh yang banyak jumlahnya. Berdasarkan hal tersebut, makaHadis Rasulullah Muhammad SAW. disamping sebagai sumber hukum, juga sebagai qawaid fiqhiyyah. Demikian juga ucapan-ucapan sahabat (atsar) juga dikategorikan sebagai jawami’al-kalim dan qawaid fiqhiyyah oleh banyak ulama. al-Nadwi, menyebut beberapa sabda Rasulullah SAW. yang telah berbentuk qaidah-qaidah, terutama qaidah hukum. Rasulullah Muhammad SAW. yang memiliki kemampuan dalam menghasilkan jawami’ al-kalim yaitu ungkapan-ungkapan yang ringkas ,namun padat makna dan berdaya cakup luas. Misalnya Rasulullah SAW. bersabda: الخراج بالضمان(keuntungan adalah imbalan resiko); لاضررولاضرار(Tidak ada mudharat (bahaya) dan tidak ada pula memudharatkan); dan البينة على المدعى واليمين على من انكر(bukti adalah kewajiban bagi penuduh, sedangkan sumpah adalah kewajiban orang yang telah membantahnya.[14]
Hadis-Hadis tersebut di atas memiliki daya berlaku untuk banyak ketentuan hukum karena bentuknya sebagai jawami’ al-kalim tadi, sehingga dalam satu segi menyerupai qaidah fiqhiyyah. Meskipun terdengar sederhana, namun daya cakupnya melingkupi banyak bab fiqh.
Sahabat Rasulullah SAW. juga menciptakan qaidah antara lain Umar bin Khattab dalam kitab shahih Bukhari mengatakan: مقاطع الحقوق عند الشروط(Penerimaan hak berdasarkan kepada syarat-syarat)
Ulama tabiin antara lain al-Syafi’i misalnya menulis qaidah fiqhiyyah dalam kitabnya al-Umm diantaranya: الاعظم إذا سقط عن الناس سقط ما هو أصغر منه
(apabila yang besar gugur, yang kecilpun gugur). al-Qadhi Surayh bin al-Harits (w. 76 H) membuat qaidah:من شرط على نفس طائعا غير مكروه فهو عليه (barangsiapa membuat janji secara suka rela tanpa paksaan, maka janji itu menjadi tanggungannya). Hal ini menyangkut syarat-syarat yang disanggupi seorang dalam bertransaksi.Meskipun beberapa orang pada awal Islam disebut telah menciptakaan qaidah, Pada umumnya, para pengkaji sulit untuk menentukan siapakah yang menjadi perintis penyusunan disiplin ilmu ini. Banyak kitab yang menyebutkan nama Abu Yusuf Ya’qub bin Ibrahim (182 H) murid Imam Abu Hanifah, sebagaiorang pertama yang membuat rumusan qaidah fiqhiyyah berdasarkan satu qaidah fiqhiyyah yang telah dijumpai dalam kitab karangannya yaitu al-Kharaj.[15] Kitabtersebut telah dikarang oleh Abu Yusuf sebagai rujukan asas perundangan ketika pemerintahan khalifah Harun al-Rasyid berhubung sistem al-kharaj dan muamalah ahl al-dhimmah yang kemudian telah digunakan dan disebarluaskan ketika zaman pemerintahan daulah Abbasiyah tersebut. Qaidah yang dimaksudkan adalah seperti berikut:
ليس للأمام أن يخرج شيئأ من يد أحد إلا بحق ثابت معروف.

Tidak ada hak bagi seorang pemimpin untuk mengambil sesuatu dari seseorang rakyat kecuali dengan hak-hak yang telah tersedia diketahui oleh mereka

Sahabat Abu Yusuf yaitu Muhammad bin al-Hasan al-Syaibani (w. 189 H) juga melakukan rintisan yang sama. Hanya saja yang ia lakukan adalah lebih banyak merupakan upaya ta’lil (mencari alasan hukum). Hasil dari ta’lil adalah sangat berguna bagi upaya peng-qaidah-an hukum, sebab banyak sekali illat hukum yang ditemukan bisa berfungsi sebagai qaidah hukum.Ibnu Nujaym (w. 970H.) dari ulama golongan Hanafiyyah berpendapat bahwa: Sesungguhnya sahabat-sahabat kami (para ulama Hanafiyyah), mempunyai keistimewaan merintis usaha dalam penyusunan qaidahini. Dan orang mengikuti mereka dan mereka pula bergantung kepada Imam Abu Hanifah dalam masalah fiqh.[16]

2.      Periode Pembukuan
Pada abad ini terjadi penurunan dinamika berpikir dalam bidang hukum dan mulai munculnya kecenderungan taqlid dan melemahnya ijtihad. Hal ini merupakan akibat sampingan dari tersisanya warisan fiqh yang amat kaya berkat pembukuan pemikiran fiqh yang disertai dengan dalil-dalilnya, dan perselisihan pendapat antar mazhab beserta hasil perbandingannya (tarjih). Oleh karena itu, pekerjaan yang tersisa pada periode ini adalah upaya takhrij, yaitu mempergunakan sarana metodologis yang telah tersedia dalam mazhab tertentu untuk menghadapi kasus-kasus hukum baru.[17]
Karena faktor mulai tampilnya qawaid fiqhiyyah sebagai disiplin ilmu tersendiri, ditandai dengan dihimpunnya qaidah-qaidah fiqhiyyah itu dalam karya yang terpisah dari bidang lain, al-Nadwi memilih abad IV H. sebagai permulaan era pertumbuhan dan pembukuan qawaid fiqhiyyah.[18]
Pada periode pembukuan, qawaid fiqhiyyah telah dibukukan dan memastikan qawaid tersebut dapat diwariskan sebagai salah satu khazanah ilmu Islam yang berharga. Abu Tahir al-Dabbas, seorang fukaha yang hidup pada abad ketiga dan keempat Hijrah adalah orang pertama yang mengumpulkan qawaid fiqhiyyah. Pada waktu itu, ia telah mengumpulkan sebanyak 17 qaidah.[19]
Usaha ini kemudian diteruskan oleh Abu al-Hasan al-Karakhi (w. 340 H.) dengan menghimpunkan sejumlah 39 qaidah.30 Kemudian Abu Zayd Abd Allah Ibn Umar al-Din al-Dabusi al- Hanafi (W. 430H.), telah menyusun Kitab Ta’sis al-Nazar pada kurun kelima Hijrah. Kitab ini memuat sejumlah 86 qaidah fiqhiyyah berserta dengan pembahasan terperinci berkenaan qawaid tersebut.[20]
Kegiatan tersebut di atas diikuti oleh Ala al-Din Muhammad bin Ahmad al-Samarqandi (w. 540 H.) dengan judul ‘Idah al-Qawaid. Pada kurun ketujuh Hijrah, penulisan ilmu ini telah dilanjutkan oleh Muhammad bin Ibrahim al- Jarmial Sahlaki (w. 613 H.) dan Izz al-Din Abd al-Salam dengan masing-masing tulisan mereka berjudul al-Qawaid fi Furu’ al-Syafiiyyah dan Qawaid al-Ahkam fi Masalih al-Anam.[21]
Menjelang abad kedelapan Hijrah muncul lagi beberapa penulis dalam ilmu ini yang telah dilakukan oleh beberapa orang ulama pada masa itu seperti al-Asybah wa al- Nazhair oleh Ibn al-Wakil al-Syafi’i (w. 716 H.), Kitab al-Qawaid oleh al- Muqarra al-Maliki (w. 758 H.), al-Majmu al-Muhadzdzab fi Dabt Qawaid al-Madzhab oleh al-‘Allai al-Syafii (w. 761 H.), al-Asybah wa al-Nazhair oleh Taj al-Din al-Subki, al-Asybah wa al-Nazhair oleh Jamal al-Din al-Isnawi (w. 772 H.), al-Manthur fi al-Qawaid oleh Badr al-Din al-Zarkasyi (w. 793H), al-Qawaid fi al-Fiqh oleh Ibn Rajb al-Hanbali (w. 795 H.) dan al-Qawaid fi al-Furu` oleh `Ali bin Usman al-Ghazzi (w. 799.H.). Masa ini merupakan masa keemasan dalam proses penulisan dan pembukuan ilmu al-Qawaid al-Fiqhiyyah.[22]
Diabad kesembilan Hijrah, yang membukunan ilmu ini antara lain: Muhammad bin Muhammad al-Zubayri (w. 707H) dengan kitabnya Asna al-Maqasid fi Tahrir al-Qawaid, Ibn al-Haim al-Maqdisi (w. 815H) dengan kitabnya al-Qawaid al-Manzumah, Taqiy al-Din al-Hisni (w. 729 H.) dengan kitabnya Kitab al-Qawaid. Diabad kesepuluh, yang merupakan puncak usahapembukuan ilmu ini di mana al-Imam Jalal al-Din al-Suyuthi (w. 910 H.) telah mengeluarkan sebuah kitab dalam bidang ini yang berjudul al-Asybah wa al- Nazhair.[23]
 Kitab tersebut telah menggabungkan semua qaidah yang terdapat di dalam kitab karangan al-`Allai, al-Subki dan al-Zarkasyi. Begitu pula, Zayn al-Abidin Ibn Ibrahim al-Misri telah menyusun sebuah kitab dalam bidang ini yang turut diberi nama al-Asybah wa al-Nazhair. Kitab ini pula telah memuatkan 25 qaidah fiqhiyyah yang telah dibagikan kepada dua bagian yaitu, bagian pertama mengandung qaidah asas yang berjumlah enam qaidah, sedangkan bagian kedua mengandung sembilan belas qaidah yang terperinci.[24]
Diskripsi sejarah pembukuan kitab qawaid fihiyyah tersebut di atas, maka fukaha Malikiyyah telah memainkan peranan penting dalam pembukuan qawaid fiqhiyyah. Diantaranya ialah Juzaym yang merupakan tokoh fuqaha Malikiyyah yang telah mengarang kitab dalam bidang ini yang berjudul al-Qawaid. Kemudian diikuti pula dengan Syihab al-Din Abi al-Abbas Ibn Idris al-Qarafi (w. 684H.) (dari kalangan fuqaha abad ketujuh Hijrah) yang telah menyusun pula sejumlah 548 qaidah fiqh di dalam kitabnya yang bernama Anwar al-Furuq fi Anwa’ al Furuq’. Tiap-tiap qaidah yangdikemukakannya pasti akan dinyatakan sekali dengan contoh-contoh masalah cabang atau furu’ yang munasabah sehingga jelas perbedaan di antara qaidah yang terdapat di dalam kitab karangannya itu.[25]
Dari kelompok fukaha Syafi’iyyah, antara lain ulama yang terkenal dalam menyusun kitab qawaid fiqhiyyah ini adalah Muhammad Izz al-Din Abd al-Salam (dari kalangan fukaha abad ketujuh Hijrah) yang telah menulis kitab yang berjudul Qawaid al-Ahkam fi Masalih al-Anam. Kemudian pada abad kelapan Hijrah Taqiy al-Din al-Subki telah menulis sebuah kitab yang bernama al-Asybah waal-Nazhair yang kemudian telah disempurnakan oleh Jalal al-Din Abd al-Rahman Abi Bakr al-Suyuthi (w. 911H) dengan tulisannya yang juga diberi nama yang sama yaitu al-Asybah wa al-Nazhair.[26]
Dari kelompok fukaha Hanabilah, ulama yang terkenal, antara lain tokoh yang terlibat dalam kegiatan menulis dalam bidang ini adalah Najm al-Din al-Tufi (w. 177 H) yang telah menulis kitab al-Qawaid al-Kubra dan al-Qawaid al-Sughra. Selain itu, terdapat seorang lagi tokoh dari kalangan fukaha Hanbaliyyah yang telah menyumbangkan kepada perkembangan ilmu ini, yaituAbd al-Rahman Ibn Rajab (w. 795 H). yang menulis kitab dengan judul al-Qawaid fi al-Fiqh.[27]Periode pertumbuhan dan perkembangan berakhir dengan tampilnya al-Majllah al-Ahkam al-‘Adhiyyah pada abad ke 11 H.36

3.      Periode Penyempurnaan
Pada abad ke 11 H. lahirlah kitab al-Majllah al-Ahkam al-Adhiyyah, dalam versi yang telah disempurnakan. Misalnya qaidah:
لا يجوز لاحد أن يتصرف فى ملك الغير بلاإذنه

 (sesungguhnya tidak berhak bertindak dengan kehendaknya sendiri atas milik orang lain tanpa izin pemliknya). Jika dalam verdi Abu Yusuf larangan mengenai milik orang lain itu hanya menyangkut perbuatan, Versi al-Majallah juga melarang bentuk perkataan. Akan tetapi dua-duanya menyampaikan pesan yang sama, yaitu penghargaan atas hak milik, salah satu bagian dari hak asasi manusia.[28]
Al-Majallah merupakan undang-undang hukum perdata yang dalam mukaddimahnya tercantum 100 butir ketentuan umum. Ketentuan umum pasal 1 adalah tentang definisi fiqh. Sedangkan pasal 2 sampai 100 adalah 99 qaidah fiqh yang menjadi landasan dari pasal- pasal pada bagian batang tubuhnya. Dalam mukaddimah itu, setiap qaidah fiqh disertai dengan nomor pasal pada batang tubuh yang menjadi rinciannya.[29]
Pada abad ke 11 H. telah dilakukan pensyarahan terhadap kitab kitab-kitab qawaid fiqhiyyah. Ahmad bin Muhammad al-Hamawi yang antara lain tokoh fukaha yang telah mensyarahkan kitab al-Asybah wa al-Nazhair, karangan Zayn al-Abidin Ibrahim Ibn Nujaym al- Misri yang memuat 25 qaidah yang ia buat dalam kitabnya yang berjudul Ghamzu ‘Uyun al-Basa’ir.[30]
Pada pertengahan abad yang ke-12 Hijrah, seorang fukaha yang bernama Muhammad Said al-Khadimi (w. 1154H) telah menyusun sebuah kitab usul al-fiqh yang diberi nama Majma‘ al-Haqaiq. Menerusi kitab ini, sejumlah 154 buah telah disusun di dalamnya mengikuti urutan susunan huruf kamus (mu’jam) atau susunan abjad dihimpunkan dalam karya tersebut. Kemudian kitab ini telah disyarahkan pula oleh Mustafa Muhammad dengan nama Manaf‘i al-Haqaiq.[31]
Sejarah pertumbuhan dan perkembangan ilmu qawid fiqhiyyah, dengan jelas menunjukkan bahawa para ulama dalam bidang fiqh sejak awal abad ketiga Hijrah, telah begitu serius mengembangkan pembahasan qawaidfiqhiyyah ini. Hal ini adalah berdasarkan kepada gerakan atau usaha pengumpulan dan pembukuan qawaid tersebut yang ditemui sejak awal abad ketiga Hijrah.40 Sejumlah permasalahan yang mempunyai persamaan dari sudut fiqhiyyah telah dihimpunkan serta diletakkan di bawah satu qaidah fiqhiyyah. Apabila terdapat masalah fiqh yang dapat dicakup di bawah sesuatu qaidah fiqhiyyah, maka, masalah fiqh itu ditempatkan di bawah qaidah fiqhiyyah tersebut. Selain itu, melanjutkan himpunan Qawaid fiqhiyyah yang bersifat umum itu, juga ia memberikan peluang kepada generasi berikutnya untuk terus mengkaji dan menelaah permasalahan yang dibicarakan dalam bidang fiqh yang secara keseluruhan melibatkan pembahasan hukum. Dengan bantuan qawaid fiqhiyyah tersebut, permasalahan tersebut akan lebih mudah diselesaikan dalam jangka waktu yang tidak begitu lama.[32]






QAWAID AL- KHAMSAH
Pengertian Qawaidul Khamsah
 Para ulama membentuk kaidah- kaidah  pada dasarnya menginduk pada Lima kaidah pokok. Karena kelima kadah pokok ini terciptalah macam- macam kaidah yang bersifat cabang. Dan para ulama mengistilahkan lima kaidah pokok tersebut dengan Al- Qawa’id Al- Khamsah atau bisa disebut kaidah- kaidah yang lima.[33]

A.       Setiap perkara tergantung kepada niatnya
الأموربمقاصدها
Diinterpretasikan dan dijelaskan oleh para Ulama maksud dari kaidah ini, di samping membuat kaidah kaidah yang menjadi cabang darinya. Mereka melihat kaidah ini sangat penting dan urgensinya yang sangat besar dalam mengembangkan dan perkembangan pada hukum islam. Kaidah ini, niat adalah kedudukan yang sangat besar urgensinya dalam setiap perbuatan. Kaidah ini menerangkan bahwa setiap perilaku atau tindakan memunyai (natijah) dan hukum yang berbeda, tergantung pada maksud dan niatnya. [34]

a.      Asal Kaedah

انّماالأعمال بالنّيّات
Lafadz di atas adalah petikan dari sebuah hadits Rasulullah SAW yang sangat masyhur dari Umar bin Khathab

عن عمربن الخطاب- رضيالله عنه – قال سمعت رسول الله – صلي الله عليه و سلم – يقول : إنّما الأ عمال بالنّيّات, وانّما لكلّ امرئ ما نوي, فمن كا نت هجرته إلي دنيا يصيبها أوإلى امرأة ينكحها فهجرته إلى ما ها جر إليه

Dari Umar bin Khatab berkata,” Saya mendengar Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya amal perbuatan itu tergantung terhadap apa yang dia niatkan, maka barang siapa yang hijrahnya untuk Allah dan Rasul Nya maka hijrahnya itu untuk Allah dan Rasul Nya, dan barag siapa yang hijrahnya untuk mendapatkan dunia, maka dia akan mendapatkannya atau hijronya untuk seorang wanita maka dia akan menikahinya, maka hijrahnya itu tergantug pada apa yang dia hijrah untuknya.” (HR bukhari 1. Muslim 1907)
Kaidah dengan lafadl diatas lebih diutamakan untuk dijadikan  sebagai sebuah kaedah dari pada sebuah  lafadl  yang sangat masyhur yaitu:
الأموربمقاصده
“ Semua perkara itu tergantug pada tujuannya”.[35]

b.      Urgensi Kaedah  ini
          Kaedah  ini adalah  kaedah yang sangat penting dan masuk di dalam  masalah- masalah agama. Imam Asyatibi mengatakan “ Sesungguhnya amal perbuatan itu tergantung pada niatnya, dan sebuah tujuan itu dijadikan sandaran dalam menghukumi sebuah perbuatan baik yang berupa ibadah maupun adat. Sangat banyak sekali dali- dalil yang mendasari masalah ini dan bagimu cukuplah mengetahui bahwasanya niat itu yang dapat membedakan suatu perbuatan yang merupakan ibadah atau adat, dan bisa membedakan ibadah yang wajib dilakukan atau yang bukan wajib dilakukan, dan pada adat juga yag membedakan adat tersebut wajib, sunnah, mubah, makhruh, atau haram, serta dilihat sah dan tidak sahnya atau hukum- hukum yang lain yang brhubungan dengan masalah ini.”[36]  

c.       Landasan atau Rujukan Kaedah Ini
Pada landasan atau rujukan dari kaidah ini, akan menguatkan kaidah ini yang memiliki urgensi yang sangat penting. Setelah berlandaskan dari rujukan Al- Qur’an dan Hadits yang mendapatkan legitimasi atau penerimaan putusan dalam peradilan yang berbasis dari kualitas hukum pada kaidah ini.
وما أمروا إلّى ليعبدوا الله مخلصين له الدّين
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya meneymbah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus.”
(QS. Al- Bayyinah: 5)
وليس عليكم جناح فيما اخطأتم به و لكن ما تعمدت قلوبكوم
“ dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilafkan padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu”. (QS. Al- Ahzab : 5)
نيّة المؤمن خير من عمله
"Niat seorang mukmin lebih baik dari pada amalnya”. (HR. Thabrani dari Sahala bin Sa’id al- Sa’idi).[37]
d.      Kaidah percabangannya dan contoh penerapanya

  مالا يشترط التعرض له جملة وتفصيلا إذا عينة وأخطأ لم يضرّ
              Sesuatu yang (dalam niat) tidak diisyaratkan untuk dipastikan, baik secara garis besar ataupun secara terperinci, apabila kemudian dipastikan dan ternyata salah, maka kesalahan ini tidak membahayakan (syahnya perbuatan).
Contoh: orang yang niatnya dalam shalat tentang harinya shalat yaitu rabu atau hari kamis; tempatnya shalat di masjid atau rumah; Imamnya dalah shalat jamaah si umar atau si zaid, kemudian dalam penegasannya salah atau keliru, maka shalatnya sah.[38]
وما يشترط فيه التعرض فاخطأ فيه مبطل
              Sesuatu niat yang harus dipastikan, jika dalam pemstiaannya terdapat kesalahan maka akan batal perbuatan yang dilakukkanya.
Contoh: Orang yang mengerjakan shalat  dhuzur dengan shalat ashar, puasa arafah dengan puasa Asyura, kafarat pembunuhan dengan niat kfarat dhihar. Kesemuanya tidak sah.[39]
ومايجبا التعرض له جملة ولا يشترط تعيينه تفصيلاإذا عينه وأخطأ ضرّ
              Sesuatu niat yang harus disebutkan secara garis besar, tidak harus terperinci, kemudian disebutlan dengan terperinci dan salah, maka akan membahayakan perbuatannya.
Contoh: Orang yang niat berjamaah dengan niat makmum pada ahmad, kemudian salah niatnya dengan niat makmum dengan si Ali, maka batal atau tidak sah makmumnya.
Orang shalat jenazah dengan niat mayit laki- laki dan ternyata salah, kemudian ternyata mayitnya perempuan maka shalatnya tidak sah atau batal. Demikian kalau niatnya disebutkan jumlah mayit salah, maka shalatnya harus diulang.[40]

مقاصد اللفظ على نية اللافظ إلاّفى مو ضع واحد وهو اليمين عند القاضى فاإنها على نية القاضى
             
              Niat yang didalam hal sumpah yang mengartikan hal mengkhususkan lafadz aam, tidak menjadikan lafadz yang aam kepada ladafz yang khos.
Contoh: Orang bersumpah dia tidak akan berbicara dengan seseorang, dan seseorang itu si Abi, maka sumpah tersebut berlaku hanya kepada si Abi. [41]

العبرة فى العقود للمقا صد والمعانى لا للالفاظ والمبانى
              Yang di anggap dalam akad adalah makna dan maksud bukan bentuk dan lafadz perkataan.
              Apabila dalam akad terjadi perbedaan antara niat atau maksud dengan lafadz yang diucapkannya, maka yang dianggap sebagai akad yaitu dari niat atau maksudnya, selama masih dapat diketahui.
Contoh: Jika ada dua orang melakukan akad dengan lafadz memberi barang dengan adanya uang atau pembayaran dari harga barang tersebut, maka aqad ini disebut akad jual beli, karena aqad yang ditunjukkan oleh niat atau maksud dari makna lafadz dari si pembuat aqad, bukan aqab memberi sebagaimana yang dikehendaki dari lafadz tersebut.[42]

B.       Sesuatu yang yakin tidak bisa hilang dengan keraguan
اليقين لا يزول بالشك
Keyakinan adalah kepastian akan tetapnya sesuatu, sedangkan keraguan adalah kepatian antara tetap atau tidak tetapnya sesuatu tersebut. Asumsi kuat yang membuat sesutu hampir atau mendekati dengan makna yakin dari segi tetap nya atau tidak tetapnya, menurut syara’ dihukumi sama dengan keyakinan.
Kaidah ini menerangkan bahwa keyakinan yang sudah tetap atau mantap, yaitu sangkaan yang kuat, maka tidak bisa dikalahkan dengan keraguan yang muncul dalambentuk kontradiktif, tetapi bisa dibantah atau dipatahkan dengan keyakinan atau yang asumsi kuat yang menyatakan akan sebaliknya.[43]
a.      Landasan atau Rujukan Kaedah Ini
وما يتبع أكثرهم الّاظنّا إنّ الظّن لا يغنى من الحق شيئا
“Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan, sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran.” (QS. Yunus: 36)
عن أبى هريرة قال رسول الله صلى الله عليه و سلم إذا و جد أحدكم فى بطنه شيئا فأشكل عليه أخرج منه شيء أم لا فلا يخرجن من المسجد حتّى يسمع صوتا أو يجد ريحا

Dari Abu Huroiroh berkata: Rasulullah bersabda:” Apabila salah seorang diantara kalian merasakan sesuatu dalam perutnya, lalu dia kesulitan menetukan apakah sudah keluar sesuatu (kentut) ataukah belum, maka jangan membatalkan shalatnya sampai dia mendengar sura atau mencium bau.” (HR. Muslim 362).[44]
b.      Kaidah percabangannya dan contoh penerapanya
اليقين يوزال با ليقين مثله
“ Apa yang yakin bisa hilang karena adanya bukti lain yang meyakinkan pula”
Contoh:
              Kita yakin bahwa kita sudah wudhu, tetapi setelah itu kita merasa yakin bahwa setelah wudhu telah buang air, maka wudhu kita menjadi batal.
              Si A berhutang kepada si B, tetapi kemudian ada bukti bahwa si A telah membayar hutang kepada si B, misalnya ada kuitansi yang di tanda tangani oleh si B. Maka si A yang tadinya berhutang, sekarang sudah bebas dari hutangnya.[45]
الصل بقاء ما كا ن على ما كان
“ Pada dasarnya sesuatu itu tetap sebagaimana hukum semula”
Makna kaedah yaitu, sesuatu yag telah diketahui hukumnya pada masa lalu dan tetap berlaku hukumnya dan tidak bisa berubah sampai ada dalil yang merubahnya.
Contohnya:
              Kalau seorang yang berhutang pada orang lain, dan ia mengaku bahwa ia sudah membayar hutangnya, namun yang di hutangi mengingkarinya, maka kalau yang berhutang dapat mendatangkan saksi maka yang berlau dalah perkataan yang kedua, dan sebaliknya jika tidak dapat mendatangkan saksi maka yang berlaku adalah ucapan yang menghutangi setelah mereka bersumpah kepada Allah SWT bahwa yang berhutang belum bayar.[46]
الصل براءة الذمة
“Hukum asal adalah bebasnya seseorang dari tanggung jawab”
Contoh:
              Pada dasarnya manusia dilahirkan dalam keadaan bebas dari tuntutan apapun, bai dari hubungan dengan hak Allah maupun dengan hak Adami, dan setelah dia lahir muncullah Hak dan tanggung jawab atau kewajiban atas dirinya.
              Anak kecil lepas dari tanggung jawabnya atas kewajiban sampai datang ia baligh. Tidak hak san kewajiban antara laki- laki dan perempuan yang bersifat pernikahan sampai terbukti adanya akad nikah.
              Makan dan minum sebenarnya tidak hukum dari halal dan haramnya sebelum datangnya dalil yang melarang halal dan haramnya.[47]
الأصل فى الصفات أوالأمور العارضة العدم
Pada dasarnya sebuah sifat atau sesuatu yang baru itu dianggap tidak ada. Makna kaedah ini menerangkan bahwa sifat di bagi menjadi dua yaitu:
·         Sifat Asli , yaitu sifat dasar yang ada pada sesuatu pertama kali. Misalnya, pada dasarnya barang dagang itu tidak ada cacatnya.
·         Sifat Baru, yaitu sifat yang tidak ada sejak pertama kali. Misalnya adanya cacat pada barang dagangan.
Contoh: Jika ada seseorang yang membeli montr, lalu beberapa hari, dia mengaku kepada si penjual, bahwa dia menemukan kerusakan atau aib dari montor tersebut yang sudah ada sejak semula, namun si penjual mengingkari, maka yang dibenarkan adalah ucapan si penjual, karena ia berpegang pada hukum asal bahwa sebuah barang dagangan tidak ada cacatnya. Hali ini dilakukan kalu si pembeli tidak ada bukti akan dakwaanya.[48]
الأصل إ ضا فة الحادث إلى اقرب أو قاته
              Hukum asal adalah penyandaran sesuatu peristiwa kepada waktu yang lebih dekat kejadianya”.
Contoh: Seorang wanita yang sedang hamil, dan tidak sengaja bahwa ada yang memukul perutnya, kemudian si bayi keluar atau melahirkanlah wanita itu, dan bati itu dalam keadaan hidup dan sehat. Sedang beberapa bula kemudian bayi itu meniggal. Maka meninggalnya si bayi tersebut tidak di sandarkan kepada pukulan yang terjadi pada waktu yang lama, tetapi disandarkan yang di sebabkan oleh hal lain yang merupakan waktu yang paling dekat kepada kematiannya.[49]

C.      Kesulitan Membawa Kemudahan
المشقة تجلب التيسير
     Dari segi bahasa kedah ini dapat diartikan bahwa sebuah kesuliatn akan menjadi sebab datangnya kemudahan atau keringanan. Dan pada istilahnya para ulama mengertikan kaedah ini adalah dalil- dalil yang syar’i yang di dalam mempraktekkan menimbulkan kesulitan dan kepayahan serta kerumitan pada seseorang tertentu dalam beban syar’i , maka syariat Islam meringankan agar bisa dilakukan dengan mudah atau ringan.[50]
     Bisa dimaksudkan juga bahwa hukum islam menginginkan kemudahan, pada ajaran Islam tidak membani seseorang dang sesuatu yang diluar kemampuannya. Allah dan Rasul- Nya menginginkan serta merintahkan pemeliharaan terhadap kemudahan dan keringanan.[51]

a.      Landasan atau Rujukan Kaedah Ini
·         Firman Allah  dalam QS. Al- Baqarah ayat 185 yang artinya:
“ Allah menghendaki kemudahan bagi kamu, dan tidak menghendaki kesulitan nagi kamu”
·         Firman Allah  dalam QS. Al- Baqarah ayat 286 yang artinya:
“ Allah tidak membani seseorang kecuali kemampuannya”
·         Firman Allah  dalam QS. An- Nisa ayat 28 yang artinya:
“ Allah menghendaki keringanan bagi kamu”
·         Firman Allah dalam surat Al- Maidah ayat 6 yang artinya:
“Allah tidak menghendaki kesulitan bagi kalian”.
·         Firman Allah  dalam QS. Al- A’raf ayat 157 yang artinya:
“Dan membuang dari mereka beban- beban dan belenggu- belenggu yang ada pada mereka”
·         Firman Allah  dalam QS. Al- Hajj ayat 78 yang artinya:
“ Allah tidak menghendaki kesulitan bagi kalian dalam agama”[52]

b.      Kaidah percabangannya dan contoh penerapanya
إذا ضاقت الأمر إتّسع
Apabila sesuatu itu sempit, maka hukumnya menjadi luas.
Contoh: seorang wanita yang walinya berpergian jauh, maka boleh menyerahkan perwaliannya pada laki- laki yang dia percayai.[53]
إذااتسع الامر ضا قت
Apabila sesuatu itu luas (pelaksanaannya mudah), maka menjadi sempit hukumnya.
Contohnya: Orang yang dalam keadaan biasa (longgar atau lapang), shalatnya harus dalam waktu dan menempati semua syarat dan rukunnya.[54]
إذا تعذر الاصل يصار إلى البدل
Apabila yang asli sukar dikerjakan maka berpindah kepada penggantinya”.
Contoh:
Tayamum sebagai pengganti wudhu. Seseorang yang menggasab harta milik orang lain, maka wajib mengembalikan harta aslinya. Dan jika ada yang meminjam barang milik orang lain dan kemudian barang tersebut hilang atau rusak, maka yang meminjam harus mengembalikan dengan barang yang sama seperti aslinya, dari sisi bentuk, harga dan lainnya.[55]
مالا يمكن التحرز منه معفو عنه
Apa yang tidak mungkin menjaganya (menghindarkannya), maka hal itu dimaafkan”.
Contoh: Pada waktu sedang puasa, ia berkumur- kumur, maka tidak mungkin terhindar dari rasa air di mulut atau masih ada sisa- sisa. Dan seperti darah pada pakaian yang sulit dibersihkan dengan cucian, maka tersebut dimaafkan.[56]
يغتفر في الإبتداء ما لا يغتفر في الدوام
Dimaafkan pada permulaan tapi tidak dimaafkan pada kelanjutannya.
Contoh: pria dan wanita melakukan akad nikah karena tidak tahu bahwa di antara mereka dilarang melangsungkan akad baik karena sepersusuan. Selang beberapa tahun, baru mengetahui bahwa diantara pria dan wanita itu ada hubungan nasab atau hubungan sepersusuan, yang menghalangi sahnya pernikahan. Maka pernikahan tersbut harus dipisahkan dan dilarang melanjutkan kehidupan sebagai suami istri.
Seorang yang baru masuk Islam minum minuman keras yang masih belum bisa meninggalkan kebiasaannya sebelum masuk islam, dan baru mengetahui bahwa Islam mengharamkan hal tersebut, maka di maafkan untuk permulaannya karena ketidak tahuannya.[57]
D.       Kemudaratan harus dihilangkan
الضرر يزال
Dari kaedah tersebut bahwa tujuan syariat itu adalah untuk meraih kemaslahatan dan menolak kemafsadatan. Apabila dijelaskan dengan jelas, bahwa maslahat membawa manfaat dan mafsadah mengakbatkan kemudaratan. Dan kaidah ini sering diungkapkan seperti apa yang disebutkan pada hadits:
لاضرر ولا ضرار
“ tidak boleh berbuat sesuatu yang membahayakan”[58]
a.      Landasan atau Rujukan Kaedah Ini
·         Firman Allah tenatng larangan wasiat yang membahayakan QS. An- Nisa’ ayat 12 yaitu:
“Setelah ditunaikan wasiat yang dibuat olehnya atau setelh dibayar hutangnya dengan tidak memberi madharat kepada ahli waris”[59]
·         Firman Allah tentang larangan ruju’ kepada istri untuk tujuan membahayakannya QS. Al- Baqarah ayat 231 yaitu:
“ Apabila kamu mentalaq istri- istrimu, lalu mereka mendekati masa iddahya, maka rujuklah kepada mereka dengan cara yang bagus atau ceraikanlah dengan cara yang baik pula, janganlah kamu rujuk pada mereka untuk memberi kemudhorotan, karena dengan deikian kamu telah berbuat yang menganiaya mereka. Barang siapa yang berbuat demikian maka berarti dia telah berbuat dholim kepada dirinya sendiri”[60]
·         Firman Allah tentang masalah menyusui anak QS. Al- Baqarah ayat 233 yaitu:
“janganlah seorang ibu mendapatkan kemudhorotan di sebabkan oleh anaknya dan juga seorang ayah karena anaknya”.[61]
·         Firman Allah SWT dalam QS. Ath- Thalaq: 6 yaitu:
“ Tempatkanlah mereka (para istri ) dimana kamu bertempat tiggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka”[62]
b.      Kaidah percabangannya dan contoh penerapanya
الضرورات تقدربقدرها
“ Keadaan darurat, ukurannya ditentukan menurut kadar kedaruratnnya”
Contoh:
Seorang dokter diperbolehkan untuk melihat aurat wanita yang sedang diobati sekedar yang diperlukannya untuk pengobatan, itu pun apabila tidak ada dokter perempuan.
Orang yang kelaparan dan hampir meninggal dan hanya bisa diselamatkan dengan makan yang haram, maka boleh untuk memakannya sekedar untuk penyelamat dirinya dan tidak boleh memakannya sampai kenyang.[63]
يحتمل الضرر الخاص لأجل الضررالعام
“ kemudaratan yang khusus boleh dilakukan demi menolak kemudaratan yang bersifat umum”.
Contoh:
·         Boleh melarang tindakan hukum seseoarng yang membehayakan kepentingan umum. Misalnya, mempailitkan sesuatu perusahaan demi menyalamatkan para nasabah.
·         Menjual barang- barang debitor yang telah di tahan demi untuk membayar utangnya para nasabah
·         Menjual barang timbunan dengan cara paksa untuk kepentingan umum
·         Memperbolehkan memenjarakan seseorang yang menolak untuk memberikan nafkah kepada orang yang wajib dinafkahi[64]
الضرر الأشد يزال بالضرر الاخف
“ kemudaratan yang lebih berat dihilangkan dengan kemuaratan yang lebih ringan”
Contoh: Apabila tidak ada yang mau mengajarkan agama, mengajarkan Al- Qur’an dan Hadits dan ilmu berdasarkan agama kecuali digaji, maka boleh menggajinya.
Sanksi- sanksi yang diterapkan yang berhubungan dengan sesuatu yang bermaksiat baik barupa sanksi hudud, kisas, diat, dan ta’zir, semuanya berkaitan denagn kaidah tersebut.[65]

كل رخصة أبيحت للضرورة والحاجة لم تستبح قبل وجودها
“setiap keringanan yang diperbolehkan karena atau karena Al- Hajah, tidak boleh dilaksanakan sebelum terjadinya kondisi darurat atau al- Hajah”
Contoh: memakan makanan- makanan yang haram, baru bisa dilaksanakan jika pada kondisi yang sangat darurat atau al- hajah, misalnya, tidak ada makanan selain makanan yang haram tersebut.
كل تصرف جر فسا دا أودفع صلاحا منهى عنه
“setiap tindakan hukum yang membawa kemafsadatan atau menolak kemaslahatan adalah dilarang.”
Contoh:
Menghambur- haburkan hartanya atau boros dalam memakainya tanpa ada manfaatnya. Contoh lainnya: melakukan akad riba, perjudian, pornografi, pornoaksi, kesepakatan untuk melakukan perampokan dan yang lain sebagainya.[66]

E.  Adat Dapat Dipertimbangkan Menjadi Hukum
العادة محكمة
               Adat dalam kaidah ini dapat di bagi menjadi dua yaitu, ‘ammah dan khassah, adat ‘ammah atau adat umum adalah perbuatan atau sebuah perilaku yang berlaku secara umum di seluruh negara, sedangkan ‘adat khassah (adat khusus) mkasudnya adalah suatu perbuatan atau perilaku yang berlaku umum di sebuah negara.[67]
               Jadi arti kaedah ini secara bahasa dan istilah bahwa sebuah adat kebiasaan dan ‘urf adat kebiasaan dijadikan rujukan dalam semua hukum syar’i yang belum ada ketentuannya.[68]
a.      Landasan atau Rujukan Kaedah Ini
·         Firman Allah SWT dalam surat Al- Baqarah ayat 228 yaitu:
“Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan keawjibannya menurut cara yang ma’ruf (baik)”
·         Firman Allah SWT dalam surat An- Nisa’ ayat 19 yaitu:
“ Dan bergaullah dengan mereka secara baik”
·         Firman Allah SWT dalam Surat Al- Maidah ayat 89 yaitu:
“Allah tidak akan menghukum kamu disebabkan sumpah sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi dia menghukum kamu disebabkan sumpah- sumpah yang kamu sengaja, maka kafarat melanggar sumpah itu ialah memberi makan sepuluh orang miskin yaitu dari makanan yang iasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka”
·         Firman Allah SWT dalam QS. Al- A’araf ayat 199 yaitu:
“Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf serta berpalinglah dari orang- orang yang bodoh”
·         Firman Allah SWT  dalam QS. Al- Maidah ayat 89 yaitu:
“Kaffarat (melanggar sumpah) ialah memberi makan sepuluh orang miskin yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu atau memberi pakaian”[69]
b.      Kaidah percabangannya dan contoh penerapanya
إستعمال الناس حجة يجب العمل بها
"Apa yang digunakan oleh banyak orang itu  dapat sebagai hujjah yang wajib di laksanakan”
Kaidah ini sama seperti kaedah umum, yaitu bahwa apa yang digunakan mausia dan mejadi sebuah adat kebiasaan mereka, maka itu semua bisa menjadi sandaran amal yang wajib di gunakan dan dilaksankan.
Contoh:
 Jika ada seseorang meminta tolong kepada orang lain, dalam rangka untuk menjualkan tanahnya, kemudian setelah tanah itu terjua, yang dimintatolong tersebut minta bagian upah karena imbalan dari apa yang sudah ia usahakan, maka hal ini dikembalikan kepada urf yang sudah menjadi adat kebiasaan di dalam masyarakat setempat. Maka wajib memberikannya.
Jika ada seorang tukang yang bekerja dan waktu istirahat dan upahnya ditentukan pada urf yang berlaku.[70]
العبرة للغا لب الكثير لا للقليل النادر
“ Yang dijadikan dasar adalah yang berlaku umum bukan yang jarang”
Contoh: para ulama’ berbeda pendapat tentang waktu hamil terpanjang, tetapi bila digunakan kaidah tersebut, maka waktu hamil terpanjang tidak akan lebih dari satu tahun. Demikian pula dalam menentukan menopouse wanita dengan 55 tahun.[71]
الحقيقة تترك بدلا لة العادة
Arti hakiki (yang sebenarnya) ditinggalkan karena ada petunjuk arti menurut adat.”
Contoh:
Yang disebut jual beli adalah penerimaan barang dan penyerahan uang, dalam waktu yang bersamaan antara pembeli dan penjual. Akan tetapi, jika pembeli menyerahkan tanda jadi (uang muka), maka berdasarkan adat kebiasaan, akad jual beli tersebut telah terjadi.[72]






























DAFTAR PUSTAKA

.
Ade Rohayana. 2008..Ilmu Qowa’id Fiqhiyyah. Jakarta: Gaya Media Pratama
Abdull Mudji. 1984. Al- Qowa’idul Fiqhiyyah

Ahmad Sabiq. 2009, Al- qawaidu Alfiqhiyah.Gresik: Pustaka Al- Furqon,

 Dahlan Tamrin. 2010. Kaidah-kaidah Hukum Islam. Malang: UIN Maliki Press.

Djazuli. 2006.Kaidah-Kaidah Fiqh. Jakarta: Kencana Media Group

Fathurrahman Azhari. 2015. Qawaid Fiqhiyyah Muamalah .Banjarmasin: Lembaga Pemberdayaan Kualitas Ummat (LPKU).

Nashr Farid M. Washil- Abdul Aziz M. Azzam. 2009. Al- Madkholu fii Al- Qawa’idi alfiqhiyyati wa atsaruha fiil ahkamil syari’yati. Diterjemahkan oleh Wahyu Setiawan dengan judul: Qawa’id Fiqhiyya, Jakarta: Amzah,

Catatan:
1.      Similarity cukup baik 13%.
2.      Rerefensi hanya tujuh?
3.      Abstrak seharusnya hanya satu paragraf.
4.      Makalah ini tidak sesuai dengan format acuan.
5.      Pendahuluannya tidak semestinya hanya ditulis seperti itu.
6.      Kesimpulan/penutup mana?

Makalah ini secara sistematika kacau, sepertinya tidak diedit sebelum dikirimkan ke dosen. Harus diperbaiki secara total!!!!!!!!



[1] Dahlan Tamrin. Kaidah-kaidah Hukum Islam. (Malang: UIN Maliki Press.2010)  Hlm.1.
[2]Ibid.h.4.
[3]Ade Rohayana..Ilmu Qowa’id Fiqhiyyah. (Jakarta: Gaya Media Pratama. 2008). Hlm.7.
[4] Djazuli. Kaidah-Kaidah Fiqh. (Jakarta: Kencana Media Group. 2006).Hlm.2.
[5]Fathurrahman Azhari..Qawaid Fiqhiyyah Muamalah. (Banjarmasin:Lembaga Pemberdayaan Kualitas Ummat (LPKU). 2015) Hlm.1.
[6] Ibid.hlm.2-3.
[7] Fathurrahman Azhari. Qawaid Fiqhiyyah Muamalah .(Banjarmasin: Lembaga Pemberdayaan Kualitas Ummat (LPKU). . 2015). Hlm.4.
[8]Ibid. Hlm.4.
[9]Ibid. Hlm.4.
[10]Ibid. Hlm.5.
[11]Ibid. Hlm.5.
[12]Ade Rohayana.. Ilmu Qowa’id Fiqhiyyah. (Jakarta: Gaya Media Pratama. 2008) Hlm.48.
[13]Fathurrahman Azhari. Qawaid Fiqhiyyah Muamalah. (Banjarmasin: Lembaga Pemberdayaan Kualitas Ummat (LPKU). 2015) .Hlm.29.
[14]Ibid.h.30.
[15]Ibid.h.31.
[16] Fathurrahman Azhari.. Qawaid Fiqhiyyah Muamalah. (Banjarmasin: Lembaga Pemberdayaan Kualitas Ummat (LPKU). 2015)Hlm.32.
[17]Ibid.h.33.
[18]Ibid.h.33.
[19]Ibid.h.34.
[20]Ibid.h.34.
[21] Fathurrahman Azhari. Qawaid Fiqhiyyah Muamalah. (Banjarmasin: Lembaga Pemberdayaan Kualitas Ummat (LPKU) . 2015). Hlm.35.
[22]Ibid.h.35.
[23]Ibid.h.36.
[24]Ibid.h.36.
[25]Ibid.h.36-37.
[26] Fathurrahman Azhari. Qawaid Fiqhiyyah Muamalah. (Banjarmasin: Lembaga Pemberdayaan Kualitas Ummat (LPKU) . 2015). Hlm.37.
[27]Ibid.h.38.
[28]Ibid.h.38.
[29]Ibid.h.38-39.
[30]Ibid.h.39.
[31]Ibid.h.39.
[32] Fathurrahman Azhari.. Qawaid Fiqhiyyah Muamalah. (Banjarmasin: Lembaga Pemberdayaan Kualitas Ummat (LPKU). 2015 )Hlm.39-40.
[33] Ade Rohayana.. Ilmu Qowa’id Fiqhiyyah. )Jakarta: Gaya Media Pratama2008(. Hlm.201.
[34] Ibid
[35] Ahmad Sabiq, Al- qawaidu Alfiqhiyah.(Gresik: Pustaka Al- Furqon, 2009). Hlm.14-15
[36] Ibid. Hlm. 17-18
[37] Ade Rohayana.. Ilmu Qowa’id Fiqhiyyah. )Jakarta: Gaya Media Pratama2008(. Hlm.204-205
[38]  Abdull Mudji. Al- Qowa’idul Fiqhiyyah (Nur Cahaya, 1984). Hlm. 22
[39] Ibid. Hlm. 23
[40] Ibid.
[41] Ibid.Hlm. 23
[42] Ibid
[43] Nashr Farid M. Washil- Abdul Aziz M. Azzam. Al- Madkholu fii Al- Qawa’idi alfiqhiyyati wa atsaruha fiil ahkamil syari’yati. Diterjemahkan oleh Wahyu Setiawan dengan judul: Qawa’id Fiqhiyya, (Jakarta: Amzah, 2009), hlm. 15
[44] Ahmad Sabiq, Al- qawaidu Alfiqhiyah.(Gresik: Pustaka Al- Furqon, 2009). Hlm 30
[45] A. Djazuli. Kaidah- kaidah Fiqih kaidah – kaidah hukum Islam dalam menyelesaikan masalah yang praktis.(Jakarta: Kencana, 2010), hlm. 47
[46] Ahmad Sabiq, Al- qawaidu Alfiqhiyah.(Gresik: Pustaka Al- Furqon, 2009). Hlm 37
[47] [47] A. Djazuli. Kaidah- kaidah Fiqih kaidah – kaidah hukum Islam dalam menyelesaikan masalah yang praktis.(Jakarta: Kencana, 2010), hlm 48
[48] Ahmad Sabiq, Al- qawaidu Alfiqhiyah.(Gresik: Pustaka Al- Furqon, 2009). Hlm 44-45
[49] A. Djazuli. Kaidah- kaidah Fiqih kaidah – kaidah hukum Islam dalam menyelesaikan masalah yang praktis.(Jakarta: Kencana, 2010), hlm 50-51
[50] Ahmad Sabiq, Al- qawaidu Alfiqhiyah.(Gresik: Pustaka Al- Furqon, 2009). Hlm 61
[51] Ade Rohayana.. Ilmu Qowa’id Fiqhiyyah. )Jakarta: Gaya Media Pratama2008(. Hlm 225
[52] Ibid, hlm. 226
[53] Abdull Mudji. Al- Qowa’idul Fiqhiyyah (Nur Cahaya, 1984). Hlm 34
[54] Ibid
[55] A. Djazuli. Kaidah- kaidah Fiqih kaidah – kaidah hukum Islam dalam menyelesaikan masalah yang praktis.(Jakarta: Kencana, 2010), hlm 62
[56] Ibid.hlm. 63
[57] Ibid, hlm.65
[58] Ibid, hlm 67
[59] Ahmad Sabiq, Al- qawaidu Alfiqhiyah.(Gresik: Pustaka Al- Furqon, 2009). Hlm 90
[60] A. Djazuli. Kaidah- kaidah Fiqih kaidah – kaidah hukum Islam dalam menyelesaikan masalah yang praktis.(Jakarta: Kencana, 2010), hlm 69
[61] Ibid
[62] Ibid
[63] Ibid. Hlm. 73

[64] Ibid. Hlm. 74
[65] Ibid. Hlm. 75
[66] Ibid. Hlm. 78
[67] Ade Rohayana.. Ilmu Qowa’id Fiqhiyyah. )Jakarta: Gaya Media Pratama2008(. Hlm 218
[68] Ahmad Sabiq, Al- qawaidu Alfiqhiyah.(Gresik: Pustaka Al- Furqon, 2009). Hlm 104
[69] A. Djazuli. Kaidah- kaidah Fiqih kaidah – kaidah hukum Islam dalam menyelesaikan masalah yang praktis.(Jakarta: Kencana, 2010), hlm 81
[70] Ahmad Sabiq, Al- qawaidu Alfiqhiyah.(Gresik: Pustaka Al- Furqon, 2009). Hlm 115
[71] Ibid. hlm. 116
[72] Ibid. hlm. 119

Tidak ada komentar:

Posting Komentar