Senin, 13 November 2017

Ilmu al-Jarh wa al-Ta'dil (PAI D Semester Ganjil 2017/2018)





Siti Munawaroh dan Muhammad Hafid Ayatullah
PAI D Angkatan 2016
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang

Abstract
This article is about Science Jarh wa al-Ta'dil. Science Jarh wa al-Ta'dil is a science that discusses the condition of the narrator, which is seen from the aspect of acceptance or rejection of his report. The allowances studied by Jarh wa al-Ta'dil are determining whether their fairies are acceptable or should be rejected. If the narrator is chosen by the 'ulama as a transmitter with a disability, then his transmission must be rejected and if the narrator is fairly praised, his reporting may be acceptable, provided that the other conditions for accepting the hadith are fulfilled. The emergence of Science Jarh wa al-Ta'dil is in conjunction with the emergence of periwayatanya in Islam. When the narrative comes up it is automatically necessary to know the things of the perawinya. This knowledge of the narrators is then referred to as a separate science known as Jarh wa al-Ta'dil.

Keywords: Science of al-Jarh, al-Ta'dil.

Abstrak
Artikel ini berisi tentang Ilmu Jarh wa al-Ta’dil. Ilmu Jarh wa al-Ta’dil adalah ilmu yang membahas tentang keadaan perawi, yang dilihat dari segi diterima atau ditolak periwayatannya. Tunjangan yang dipelajari oleh Jarh wa al-Ta'dil adalah menentukan apakah periwayatanya dapat diterima atau harus ditolak. Jika perawi dijarh oleh para ulama sebagai perawi dengan cacat tubuh, maka periwayatannya harus ditolak dan jika perawi dipuji secara adil, niscaya periwayatannya dapat diterima, asalkan persyaratan lain untuk menerima hadis terpenuhi. Munculnya Ilmu Jarh wa al-Ta’dil ini bersamaan dengan munculnya periwayatanya dalam Islam. Ketika periwayatnya muncul maka secara otomatis diperlukan untuk mengetahui hal ihwal para perawinya. Pengetahuan tentang ha ihwal perawi inilah yang kemudian disebut sebagai ilmu tersendiri yang dikenal dengan Ilmu Jarh wa al-Ta’dil.

Kata Kunci : Ilmu al-Jarh, al-Ta’dil.

A.    Pendahuluan
AlQur’an dan Hadis merupakan Sumber utama dalam ajaran Islam, kedua sumber tersebut sangatlah penting perananya dalam kehidupan umat Islam, oleh karena itu para ulama sepakat menjadikan alQur’an dan Hadis sebagai pedoman utama dalam pengambilan suatu rujukan akan ilmu Islam.  Jumhur ulama’ hadis dan fikih sepakat bahwa seseorang yang periwayatanya bisa diterima adalah seorang rawi yang ‘adil (karakteristik moralnya baik).[1] Dan berdasarkan suatu kenyataan, bahwa tidak bisa diterima suatu hadis kecuali diketahui kualitas sanadnya, maka lahirlah Ilmu Jarh wa al-Ta’dil.[2]
Didalam hadis sendiri kita harus menelaahnya terlebih dahulu sebelum menjadikanya sebagai hujjah, apakah hadis itu benar-benar sudah diterima kebenaranya atau ditolak. Jumhur ulama’ hadis dan fikih sepakat bahwa seseorang yang periwayatanya bisa diterima adalah seorang rawi yang ‘adil(karakteristik moralnya baik). Ilmu yang membahas tentang itu disebut dengan   Ilmu Jarh wa al-Ta’dil. Ilmu yang membahas tentang para perawi, dan masalah yang ada disekitar mereka yang membuat mereka tercela atau yang membuat mereka bersih dalam menggunakan lafaz – lafaz tertentu. Ini merupakan bagian terbesar dari buah ilmu tersebut.[3] dengan adanya ilmu ini kita jadi tau mana hadis yang diterima dan mana hadis yang ditolak. Hakikat dari Ilmu Jarh wa al-Ta’dil adalah merupakan suatu bagian dari ilmu rijalil hadis. Akan tetatpi ilmu ini dianggap berdiri sendiri karena dipandang sebagai ilmu yang terpenting.[4]

B.     Pengertian Jarh wa al-Ta’dil
Menurut bahasa, al-jarh mempunyai arti cacat. Istilah ini sering digunakan untuk menunjukkan “sifat jelek” yang melekat pada diri periwayat hadis, seperti halnya, pelupa, pembohong, dan lain sebagainya. Apabila sifat – sifat tersebut dapat dikemukakan maka dapat dikatakan bahwa periwyat tersebut cacat. Periwayat yang membawa hadis semacam ini ditolak, dan dinilai hadisnya lemah (dha’if). Al – Jarh menurut istilah (ulama hadis), وصف الراوي بما يقتضي تليين روايته أو تضعيفها أو ردها, yang artinya, sifat seorang perawi (yang diberikan kepadanya) yang mencerminkan kekurangan pada periwayatanya, atau melemahkan riwayatnya atau menolak periwayatanya.[5]
Menurut bahasa Ta’dil artinya menilai adil kepada orang lain. Istilah ini sering digunakan untuk menunjukkan sifat-sifat baik yang melekat pada diri periwayat, seperti halnya, hafalanya yang kuat, terpercaya, cermat, dan lain sebagainya. Orang yang mendapatkan penilaian seperti ini bisa disebut adil, sehingga hadis yang dibawa oleh perawi dapat diterima sebagai dalil agama. Dinilai shahih hadisnya. Sesuai dengan fungsinya sebagai sumber ajaran Islam, yaitu hadis yang diambil adalah hadis shahih.[6] Al-Ta’dil menurut istilah adalah : وصف الراوي بما يقتضي قبول روايته yang artinya, sifat seorang perawi yang periwayatanya diterima yang periwayatanya menampakkan keadilan dan kedhabitan.[7]

Yang dimaksud dengan Ilmu Jarh wa al-Ta’dil, ialah:
عِلْمٌ يُبْحَثُ فِيْهِ عَنْ جَرْحِ الرُّوَاةِ وَتَعْدِيْلِهِمْ بِاَلْفَاظٍ مَخْصُوْصَةٍ وَعَنْ مَرَاتِبِ تِلْكَ اْلاَلْفَاظِ.

Artinya:
 “Ilmu yang menerangkan tentang catatan – catatan yang dihadapkan pada para perawai dan tentang penakdilanya (memandang adil para perawi dengan memakai kata – kata yang khusus dan tentang martabat – martabat kata – kata itu.” [8]
Dapat disimpulakan Ilmu Jarh wa al-Ta’dil adalah Ilmu yang membahas tentang keadaan perawi, yang dilihat dari segi diterima atau ditolak periwayatanya.

C.    Faktor-faktor yang Melatarbelakangi Munculnya Ilmu Jarh wa at-Ta’dil
            Munculnya ilmu jarh dan ta’dil berawal sejak adanya periwayatan Hadits, ini adalah usaha para ahli hadits agar bisa mengetahui antara hadits shahih dan dhaif.[9]Tetapi perkembangannya yang paling menonjol ialah pada saat terjadinya pembunuhan terhadap khalifah Utsman bin Affan, peristiwa tersebut terjadi pada tahun 36 H. Dengan adanya peristiwa tersebut kaum muslimin terpecah-pecah menjadi beberapa kelompok, masing-masing kelompok merasa memiliki legimitasi atagimitasi atas tindakan mengutip hadits-hadits Nabi Muhammad SAW. Apabila tidak ditemukan, maka mereka akan membuat hadits-hadits palsu.
            Para ulama’ hadits dengan transparan dan berani menunjuk golongan-golongan yang tanpa ada tanggungjawab membuat hadits palsu dan menyebarkan ke masyarakat luas, hal seperti ini diperuntukkan demi menjaga kemurnian ajaran-ajaran Nabi Muhammad SAW. Dengan usaha para ulama’ tersebut maka sampailah hadits Nabi kepada kita, dan kita tidak perlu lagi khawatir atas keaslian hadits Nabi yang sampai kepada kita.[10]
            Adapun perkembangan hadits semenjak zaman Rasulullah SAW. sampai masa penafsiran kitab-kitab hadits. T.M Hasbi As-Shiddiqie mengatakan bahwa ada tujuh periode perkembangan hadits, yaitu:[11]
1.      Masa turun wahyu, masa ini selama 23 tahun, yaitu tahun kedelapan sebelum Hijriah sampai tahun kesebelas Hijriah. Masa ini masa pembentukan Tasyri Islami (Hukum Islam), yaitu sejak awal kenabian sampai beliau wafat.
2.      Masa khulafaur Rasyidin, lamanya 29 tahun, yaitu tahun kesebelas hijriah sampai tahun 40 hijriah. Masa ini terkenal dengan masa pembatasan dan penyedikitan riwayat.
3.      Masa perkembangan riwayat dan perlawanan ke kota-kota untuk memberi hadits. Masa ini lamanya 60 tahun, yaitu mulai tahun 40 hijriah sampai tahun 100 hijriah.
4.      Masa pembukuan hadits, yaitu dari permulaan abad kedua hijriah sampai akhirnya, lamanya kurang lebih 100 tahun, yaitu dari tahun 100 hijriah sampai kurang lebih tahun 200 hijriah.
5.      Masa pentashhihan hadits, menyaringnya dan menafisnya, yaitu sejak abad ketiga hijriah sapai akhirnya. Lamanya kurang lebih 100 tahun.
6.      Masa menafis dan menyaring kitab-kitab hadits, lamanya kira-kira 3 setengah abad, yaitu muali abad keempat sampai tahun 656 hijriah.
7.      Masa membuat syarah dan menyusun kitab-kitab takhrij, mengumpulkan hadits hukum dan menyusunnya dalam kitab-kitab jami’, sejak tahun 656 hijriah sampai sekarang.
Periode diatas mempunyai ciri khasnya masing-masing, tetapi yang akan diterangkan dari periode diatas hanyalah tiga periode, yaitu periode pertama sampai periode ketiga, karena pada ketiga periode tersebut terdapat banyak faktor yang melatarbelakangi perkembangan Ilmu Jarh wa Ta’dil.
1.      Masa Turun Wahyu
Pada periode ini umat Islam hanya menaruh perhatian kepada Rasulullah, baik perbuatan maupun ucapan, Rasulullah tidak segan-segan mengajarkan dan  mempraktikan mengenai hukum-hukum Islam kepada para sahabat. Para sahabat biasanya menanyakan persoalan agama langsung kepada Rasulullah, bila tidak bisa bertemu, maka para sahabat menyuruh orang lain yang bisa dipercaya agar menanyakannya. Perbuatan seperti itu menjadikan periode ini menjadi subjek yang berperan dalam perkembangan sejarah Islam, yaitu Rasulullah sebagai penyampai risalah dan sahabat sebagai penerima risalah.[12]
2.      Masa Khulafa al-Rasyidin
Periode ini lebih terkenal sebagai masa pembatasan riwayat, karena banyak ditemukan hadits-hadits palsu, terdapat dua masa kekhalifahan pada periode ini yaitu, masa khalifah Abu Bakar dan Umar serta masa khalifah Utsman dan Ali.[13]
1)      Masa Abu Bakar dan Umar
Al-Qur’an pada masa Abu Bakar menjadi perioritas utama untuk dipelajari dan disebarluaskan, sedangkan hadits tidak menjadi pengajaran khusus seperti Al-Qur’an.[14]
Pada waktu itu hadits hanya dipelajari oleh sebagian kalangan, dan orang-orang yang mendalami hadits pun hanya sedikit. Mempelajari hadits pada waktu itu hanyalah sebatas kalau ada keperluan saja. Dikarenakan khalifah Abu Bakar menginginkan Al-Qur’an sebagai perioritas yang pertama dan utama, disebabkan ada sabda Rasulullah yang mengutus untuk berhati-hati dalam meriwayatkan hadits, sebagaimana berikut:
“Cukuplah seseorang itu berdosa jika mengabarkan setiap apa yang didengarnya”
Kebijakan tersebut dilanjutkan oleh khalifah kedua yaitu Umar bin Khattab, kedua khalifah itu hanya menjadikan Al-Qur’an sebagai hal yang utama untuk dipelajari dan disebarluaskan, walaupun demikian kedua khalifah tersebut tetap menerima hadits dari sahabat lain tetapi hanya pada saat waktu-waktu tertentu, namun tetap ada beberapa persyaratan khusus untuk menerima periwayatannya. Salah satunya yaitu selalu meminta kesaksian dari sahabat lain dan meminta bayyinah (keterangan) dari perawi lain.
Demikianlah kewaspadaan dan ketelitian khalifah Abu Bakar dan Umar dalam menerima periwayatan hadits, beliau melakukan pembatasan tersebut bukan tanpa alasan, baliau semata-mata hanya ingin menjaga kemurnian dari ajaran Syari’at Islam.
2)      Masa Utsman dan Ali
Ketika tongkat estafet pemerintahan beralih ke khalifah Utsman bin Affan dan tatkala beliau wafat, dilanjutkan oleh khalifah Ali bin Abi Thalib, periwayatan hadits tidak seketat seperti periode sebelumnya. Pada masa ini pencarian tentang hadits lebih luas yakni dengan saling tukar-menukar informasi antar sahabat dan tabi’in sampai mengumpulkan hadits dari sahabat senior, kegiatan tersebut terus berlanjut pada masa ini, sehingga perkembangan periwayatan hadits sangat berkembang pesat.[15]
3.      Masa Perkembangan Riwayat
Pada masa ini para ahli hadits lebih meluaskan perlawatannya untuk mencari hadits dan mengumpulkannya, melebihi dari masa-masa sebelumnya.[16]Sejarah tidak mengenal satupun umat yang tekun mengembara mencari hadits kecuali umat Islam, apalagi ulama’ hadits, mereka dengan tekun dan susah payah mencari keaslian hadits, mereka akan terus mencari sampai bertemu dengan orang yang mendengar hadits langsung dari Rasulullah SAW.[17]
Seorang sahabat pernah pergi ke Mesir untuk menemui Fudhalah bin ‘Ubaid, setelah sampai ia berkata “aku datang kemari bukan untuk bersilaturrahmi kepadamu, tetapi aku ingin penjelasan hadits yang pernah kita dengar dari Rasulullah SAW.[18]
Ibnu Mas’ud r.a. berkata, “jika aku tahu orang yang lebih tahu tentang kitabullah dari padaku dan dapat aku datangi dengan mengendarai unta, niscaya ia akan kudatangi.[19]
Beberapa peristiwa diatas menunjukkan bahwa para sahabat ingin meyakinkan bahwa hadist yang didengar adalah langsung dari Rasulullah, dan lebih mantab dalam hafalannya meskipun harus menempuh perjalanan yang terlampau jauh serta memakan waktu yang sangat lama. Kegiatan tersebut diikuti terus oleh murid-muridnya sampai ke tabi’in, melakukan pencarian keberbagai Negeri dengan ilmunya masing-masing untuk mendapatkan hadits-hadits.
Hal tersebut menjadikan motivasi tersendiri bagi generasi tabi’in untuk mencari isnad yang tinggi (‘ali) untuk menyingkat jalur hadits yang menyambung, daripada mengambil dari tabi’in yang lain, lebih baik mengambil langsung dari sahabat dengan pergi dan menemuinya langsung.[20]
Peristiwa para sahabat diatas dikarenakan pada periode ketiga ini banyak pemalsuan hadits disebabkan oleh fitnah yang melanda umat. Bila diteliti para pemalsu hadits ialah:[21]
1)      Orang-orang kafir dan munafik yang ingin merusak Islam.
2)      Bangsa atau kabilah yang sudah masuk Islam, tetapi bermaksud mengembalikan kejayaan bangsa dan negara, dengan mendendam kejayaan Islam.
3)      Orang-orang yang bodoh dan emosional yang mementingkan kepentingan pribadi, materi, golongan, keturunan, dan madzhab, dengan mengorbankan kepentingan agama.
4)      Orang yang berpaham terlalu jauh dari batas syariat Islam.
Adapun mengenai motif dan corak pemalsuan hadits sebagai berikut:[22]
1.      Pemalsuan hadits karena pengaruh kepentingan politik
1)      Untuk meninggikan derajat ‘Ali, kaum Syi’ah membuat hadits palsu
2)      Untuk meyakinkan umat agar menentang Mu’awiyah
3)      Untuk membela dan memperlihatkan kedudukan Mu’awiyah
4)      Untuk propaganda popularitas bani Abbas
2.      Pemalsuan hadits bermotif zandaqah, bercorak mengaburkan agama
3.      Pemalsuan bermotif ‘Ashabiyah.
1)      Fanatik kebangsaan
2)      Fanatik Imam
4.      Pemalsuan hadits pengaruh perselisihan paham dikalangan Ulama’
1)      Yang fanatik pada ulama’ kalam, kemudian membuat hadits
2)      Dan yang fanatik Madzhab Hanafi
5.      Pemalsuan hadits dengan bermotif pengambilan hati pembesar
6.      Pemalsuan hadits dengan tujuan menguatkan kisah yang dituturkan agar menarik perhatian dan menjadi nasehat atau pelajaran.
7.      Pemalsuan hadits terbawa oleh aliranyang berlebih-lebihan atau tasawuf yang menyimpang dari ajaran agama.
Para pemalsu hadits dalam praktik pemalsuannya mengambil cara-cara sebagai berikut:[23]
1.      Pembuat hadits itu mengadakan hadits menurut pikirannya sendiri
2.      Pembuat hadits itu mengambil perkataan Ulama’ salaf, Hukama, dan cerita Israiliyat lalu dinisbahkan kepada Nabi SAW.
3.      Pembuat hadits itu mengambil suatu hadits yang lemah sanadnya kemudian ia susun dalam suatu sanad yang shahih.
4.      Pembuat hadits itu menyusun kitab hadits yang berisi hadits-hadits palsu lalu dinisbatkan kepada muhaditsin yang adil.
Dalam penelitian hadits sanad merupakan sandaran yang sangat prinsipil, dan tujuan utama untuk mebedakan antara hadits yang maqbul dan mardud. Disamping memperhatikan matan hadits, para Ulama’ hadits juga memberikan perhatian lebih terhadap sanad. Sedikitnya bisa kita lihat pada:[24]
1.      Pernyataan-pernyataan ulama’ yang menyatakan bahwa Sanad merupakan bagian tak terpisahkan dari agama dan pengetahuan hadits.
2.      Banyak-banyaknya karya tulis para ulama’ yang  erkaitan dengan hadits.
3.      Dalam prektek, apabila ulama’ hadits menghadapi sesuatu hadits, maka Sanad hadits, merupakan bagian yang mendapat perhatian khusus. Dengan demikian sanad hadits mempunyai kedudukan yang sangat penting.
Dari pernyataan-pernyataan diatas tujuan utama ilmu jarh wat ta’dil adalah untuk memelihara dua pokok sumber Islam, yaitu Al-Qur’an dan Hadits. Para ulama’ juga menggunakan ilmu jarh wat ta’dil untuk membendung beberapa kelompok yang dengan sengaja memalsukan hadits, beberapa cara ulama untuk membendungnya adalah dengan:
1.      Pengamatan matan dan sanad hadits
2.      Mengecek keaslian hadits dengan merujuk kepada para sahabat, ulama’, dan tabi’in yang ahli pada bidang ini.
3.      Dalam mengklasifikan hadits para ulama’ membuat kaidah-kaidah umum.
Perlu ditekankan bahwa ilmu jarh wat ta’dil merupakan nasehat dalam agama, bukan termasuk ghibah yang dilarang dalam agama.
Maka dari itu para ulama’ membolehkan kagiatan jarh wat ta’dil bukan untuk mencela antar sesama manusia, tetapi untuk memelihara syari’at agama Islam. Sebagaimana dalam persaksian, jarh diperbolehkan, maka perawi pun juga diperbolehkan. Bahkan mencari kebenaran dalam masalah agama lebih memperkuat dan utama daripada masalah hak dan harta.

D.    Tingkatan Jarh wa al-Ta’dil
Ungkapan yang menggambarkan kemuliaan atau keadilan kebaikan periwayat itu bermacam – macam. Ada yang menggunakan ungkapan berlebihan, seperti “sipolan adalah orang yang terpercaya, tiada taranya.” Ada juga ungkapan yang digunakan biasa saja, misalnya, “sipolan itu jujur.” Ungkapan yang berbeda mengakibatkan perbedaan kualitas masing – masing periwayat, baik dalam segi daya ingat, kejujuran maupun kecerdasanya. Dengan demikian, kualitas periwayat yang sama- sama dinilai adil itu mempunyai tingkatan yang berbeda – beda karena adanya perbedaan ungkapan ta’dil yang digunakan untuk menilainya. [25]
Dalam muqaddimah kitab al-Jarh wa al-Ta’dil, Ibnu Abu Hatim membagi jarh dan ta’dil menjadi 4 tingkatan pada masing – masing bagian, kemudian para ulama menambahkan 2 tingkatan pada masing – masing bagian. Jadi keseluruhanya menjadi enam tingkatan. Berikut pembahasan tingkatan – tingkatan dan lafal – lafalnya.[26]

Tingkatan Ta’dil dan lafal – lafalnya adalah sebagai berikut.

1.    Ta’dil dengan menggunakan ungkapan kata yang berlebihan / bersangatan, seperti,
أوثق الناس, وأضبط الناس, وليس له نظير
(Artinya, “ia adalah orang yang paling kuat, ia tiada bandinganya.”) Ada juga yang memasukkan kata,
فلان لايسال عنه
(Artinya, “si fulan kualitasnya tidak perlu diragukan.”)
2.    Ta’dil dengan menggunakan kata pujian yang diulang – ulang, baik dengan kata yang mirip atau sama, seperti,
ثقة ثقة, أوثقة مأمون أوثقة حافظ أوثقة ثبة أوثقة متقنز
Tentunya ungkapan pujian ini tingkat kekuatanya tidak sekuat tingkat  pujian yang pertama.
3.    Ta’dil dengan menggunakan kata – kata pujian tanpa adanya pengulangan, seperti,
فلان ثقة, أوظبط, أوحافظ, أوحجة, أوإمام
4.    Ta’dil dengan menggunakan kata – kata yang menggambarkan kebaikan seseorang, tetapi tidak mencerminkan kekuatan hafalan , atau melukiskan kecermatan seperti kata yang digunakan untuk Ta’dil di atas. Misalnya, kata  
صدوق, أومأمون, أولابأس به[27]
5.    Ta’dil dengan menggunakan lafal yang tidak menunjukkan jarh dan tsiqoh, seperti,
فلان شيخ, روى عنه الناس
(Artinya, “si fulan adalah seorang guru, orang yang meriwayatkan hadis darinya.”)[28]
6.    Ta’dil dengan menggunakan lafal yang mendekati arti jarh, seperti,
أوصدوق إنشاءالله, أومحله الصدق, أوصويلح[29]
           


Hukum tingkatan ta’dil tersebut adalah :
a)      Perawi yang dita’dil dengan tiga tingkatan yang pertama, apabila masing – masing ta’dil tersebut dapat menguatkan maka hadisnya dapat dipakai sebagai hujjah.
b)      Perawi yang dita’dil dengan tingkatan yang keempat dan kelima hadisnya tidak dapat dijadikan sebagai hujjah, bisa dicatat dan di-ikhtibar (dapat dipertimbangkan).
c)      Perawi yang dita’dil dengan tingkatan yang keenam maka hadisnya tidak dapat dijadikan sebagai hujjah, namun bisa dicatat untuk dii’tibar (sebagai pertimbangan) tidak untuk diikhtibarkan, karena sudah jelas tidak menunjukkan arti dlabith.[30]

Tingkatan Jarh dan lafal – lafalnya adalah sebagai berikut.

1.    Jarh dengan menggunakan ungkapan yang sangat memberatkan dan sangat buruk kepada orang yang dicacat karena kedustaanya. Seperti kata,
أكذب الناس, أوكذاب, أويضع الحديث, أووضاع الحديث
Dalam hal ini kata يضح الحديث ada yang memasukkan pada tingkatan dibawahnya.
2.    Jarh dengan menggunakan lafal / kata yang berkisar pada dusta dan juga sedikit lebih lunak. Seperti kata,
فلان منهم بالكذب, أو فلان ساقط, أو فلان متروك, فلان ذاهب الحديث
3.    Jarh dengan menggunakan kata yang lebih lunak dari tadi, yang menunjukkan bahwa hadisnya ditolak oleh orang banyak, atau tidak ditulis hadisnya.
فلان رد حديثه, أو مردودالحديث, أو ضعيف جدا, أو فلان ليس بشئ
4.    Jarh dengan menggunakan kata / lafal yang lebih lunak lagi. Seperti kata,
فلان ضعيف, أو ضعفوه, أومنكر الحديث
5.    Jarh dengan menggunakan kata / lafal yang menunjukkan cacat ringan. Seperti kata,
فلان يقال فيه, أو فيه ضعف, أو ليس بحجة[31]
6.    Jarh dengan menggunakan kata yang menunjukkan arti sangat dusta atau lafal yang berbentuk af’al al-tafdlil, seperti :
فلان أكذب الناس, المتن فى الكذب, هو ركن الكذب
(Artinya, “dia adalah orang yang paling bohong, dia adalah orang yang paling top kebohongannya, dia adalah termasuk orang yang bohong.”)[32]

Hukum tingkatan jarh tersebut adalah :
Perawi yang di jarh dengan dua tingkatan yang pertama, hadisnya tidak dapat digunakan sebagai hujjah, namun hadis tersebut bisa cicatat sebagai i’tibar
Perawi yang di jarh dengan empat tingkatan terakhir, hadisnya tidak dapat digunakan sebagai hujjah, tidak bisa sebagai i’tibar dan tidak dapat dicatat.[33]

E.     Penutup
Dari uraian diatas, dapat disimpulkan mengenai definisi Ilmu Jarh wa al-Ta’dil, ilmu jarh wa al-ta’dil merupakan suatu bagian dari ilmu rijalil hadis. Akan tetatpi ilmu ini dianggap berdiri sendiri karena dipandang sebagai ilmu yang terpenting.[34] Yang mana didalamnya membahas adil atau cacatnya seorang periwayat hadis yang berpengaruh besar terhadap klasifikasi hadisnya.
Munculnya Ilmu Jarh wa al-Ta’dil ini bersamaan dengan munculnya periwayatan dalam Islam. Ketika periwayatan muncul maka secara otomatis diperlukan untuk mengetahui hal ihwal para perawinya. Pengetahuan tentang ha ihwal perawi inilah yang kemudian disebut sebagai ilmu tersendiri yang dikenal dengan Ilmu Jarh wa al-Ta’dil.



Daftar Pustaka


Ahmad, Muhammad. Mudzakir. 2004. Ulumul Hadis. Bandung : CV  Pustaka Setia.

Thahhan, Mahmud. 2007.  INTISARI Ilmu Hadits. Malang : UIN-Malang Press.

As-Shalih, Subhi. 1993. MEMBAHAS ILMU – ILMU HADIS(Terjemah Kitab Ulumul al-Hadits wa Musthalahuhu, Dar al-Ilm Iil-Malayin, Beirut, 1977.).  Jakarta : Pustaka Firdaus.

Zuhri, Muh. 2003. HADIS NABI Telaah Historis Dan Metodologis. Yogyakarta : Tiara Wacana Yogya.

Al-Nawawi, Imam. 2001. DASAR – DASAR ILMU HADIS, (terjemah kitab Al-taqrib wa al-taisir li ma’rifati sunan al basyir al-nadzir karya muhy al-din abu zakariya yahya bin syaraf al-nawawi, penerbit dar el-fikr, beirut, 1988), Jakarta : Pustaka Firdaus.

Khaeruman, Badri. 2010. Ulum al-Hadis. Bandung: CV. Pustaka Setia.

Al-Qardhawi, Yusuf . 2001.  Pengantar Studi Hadis. Bandung: CV. Pustaka Setia.

Abdurrahman, M. Sumarna, Elan. 2011. Metode Kritik Hadis. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Zuhdi, Masjfuk. 1993. Pengantar Ilmu Hadits. Surabaya: PT. Bina Ilmu Offset.

Sya’roni, Usman. 2002 Otentitas Hadis Menurut Ahli Hadis dan Kaum Sufi, Jakarta : Pustaka Firdaus.

Journal, Ilmu Jarh wa al-Ta’dil: tumpuan terhadap ketokohan Imam Bukhari.

Catatan:
1.      Similarity sebanyak 25%.
2.      Sumber jurnal diberikan keterangan lengkap (nama penulis, judul, nama jurnal, vol. No, edisi tahun)
3.      Buku terjemahan ditulis nama perterjemahnya.
4.      Perbaiki penulisan footnote dan daftar pustaka. Tulis huruf kapital pada tempatnya.


[1] Imam al-Nawawi, DASAR – DASAR ILMU HADIS, (terjemah kitab Al-taqrib wa al-taisir li ma’rifati sunan al basyir al-nadzir karya muhy al-din abu zakariya yahya bin syaraf al-nawawi, penerbit dar el-fikr, beirut, 1988), Jakarta : Pustaka Firdaus, 2001, hlm. 38.
[2] Mahmud Thahhan, INTISARI Ilmu Hadits, (Malang, UIN-Malang Press, 2007), hlm. 22.
[3]Subhi As-Shalih, MEMBAHAS ILMU – ILMU HADIS(Terjemah Kitab Ulumul al-Hadits wa Musthalahuhu, Dar al-Ilm Iil-Malayin, Beirut, 1977.), Jakarta : Pustaka Firdaus, 1993, hlm. 102
[4] Muhammad Ahmad dan M. Mudzakir, ULUMUL HADIS, (Bandung : Pustaka Setia, 2004), hlm. 59.
[5] Journal, Ilmu Jarh wa al-Ta’dil: tumpuan terhadap ketokohan Imam Bukhari.
[6] Muh. Zuhri, HADIS NABI Telaah Historis Dan Metodologis, (Yogyakarta : Tiara Wacana Yogya, 2003), hlm. 120-121.
[7] Journal, Ilmu Jarh wa al-Ta’dil: tumpuan terhadap ketokohan Imam Bukhari.
[8] Muhammad Ahmad dan M. Mudzakir, ULUMUL HADIS, (Bandung : Pustaka Setia, 2004), hlm. 59.
[9]M. Abdurrahman dan Elan Sumarna, Metode Kritik Hadis, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2011), hal. 70
[10]Masjfuk Zuhdi, Pengantar Ilmu Hadits, (Surabaya: PT. Bina Ilmu Offset, 1993), hal. 102
[11]M. Abdurrahman dan Elan Sumarna, Op.Cit.,
[12]Ibid., hal. 71
[13]Ibid., hal. 76
[14]Ibid., hal. 76
[15]Ibid., hal. 78
[16]Ibid., hal. 79
[17]Yusuf Al-Qardhawi,Al-Madkhal Li Dirasah As-Sunnah An-Nabawiyyah, diterjemahkan oleh Agus Suyadi Raharusun dan Dede Rodin,Pengantar Studi Hadis, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2007), hal. 115
[18]Ibd.,
[19]Ibid.,
[20]Ibid., hal. 116
[21]Badri Khaeruman, Ulum al-Hadis, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2010), hal. 162
[22]Ibid.,
[23]Ibid., hal. 166
[24]Usman Sya’roni, Otentitas Hadis Menurut Ahli Hadis dan Kaum Sufi, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002), hal. 12-13
[25] Muh. Zuhri, HADIS NABI Telaah Historis Dan Metodologis, (Yogyakarta : Tiara Wacana Yogya, 2003), hlm.123-124.
[26] Mahmud Thahhan, INTISARI Ilmu Hadits, (Malang, UIN-Malang Press, 2007), hlm. 168.
[27] Muh. Zuhri, HADIS NABI Telaah Historis Dan Metodologis, (Yogyakarta : Tiara Wacana Yogya, 2003), hlm. 124.
[28] Mahmud Thahhan, INTISARI Ilmu Hadits, (Malang, UIN-Malang Press, 2007), hlm. 169.
[29] Muh. Zuhri, HADIS NABI Telaah Historis Dan Metodologis, (Yogyakarta : Tiara Wacana Yogya, 2003), hlm. 125.
[30] Mahmud Thahhan, INTISARI Ilmu Hadits, (Malang, UIN-Malang Press, 2007), hlm. 170.
[31] Muh. Zuhri, HADIS NABI Telaah Historis Dan Metodologis, (Yogyakarta : Tiara Wacana Yogya, 2003), hlm. 125-126.
[32] Mahmud Thahhan, INTISARI Ilmu Hadits, (Malang, UIN-Malang Press, 2007), hlm. 172.
[33] Ibid, hlm. 172.
[34] Muhammad Ahmad dan M. Mudzakir, ULUMUL HADIS, (Bandung : Pustaka Setia, 2004), hlm. 59.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar