Minggu, 23 Februari 2020

Nasikh-Mansukh (PIPS B Semester Genap 2019/2020)



NASIKH MANSUKH
(Mengetahui Ayat yang dinasikh dan dimansukhkan)

Vinda Nurwahyuningsih (18130058)
Ridho Andi Pratama (18130103)
Kevin Fauzul Adhim (15320152)
UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Abstract
This article is to discuss nasikh mansukh (know the scriptures about nasikh and mansukh), which ethically defines al-nasikh as erasing the individual that changes or changes and al mansukh the meaning of removed the replaced or altered. However, the terminology of an-nasikh according to subhi ash salih denotes "taking the law of shaaa" in its usage. The qur 'an was the perfecter of the earlier books which god had handed down to muhammad through the gabriel which was handed down gradually. The Koran contains a life code that contains not only for muslims but for all mankind. The qur 'an itself contains many things about which identify, aqidah, fiqih, and faraid it contains history, love and many other things. The contents of this Koran serve as a guide to human happiness both in this world and the afterlife.

Abstrak

Artikel ini bertujuan untuk membahas nasikh Mansukh (mengetahui ayat-ayat yang dinasikh dan dimansukhkan) yaitu Secara etimologi, al-nasikh berarti menghapus, yang mengganti atau mengubah dan al-mansukh berarti yang dihapus, yang digantikan atau diubah. Sedangkan, secara terminologi (istilah), annasikh menurut Subhi Ash-Shalih berarti mengangkat hukum syara’ dengan dalil syara’. Adapun Al-Quran merupakan penyempurna dari kitab-kitab terdahulu yang telah diturunkan Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW melalui Malaikat Jibril yang diturunkan secara berangsur-angsur. Al-Quran mengandung pedoman hidup yang berisi tidak hanya untuk umat islam tetapi untuk semua umat manusia. Ayat-ayat Al-Quran sendiri berisi tentang banyak hal yang mengandung ketauhitan, aqidah, fiqih, faraid, bahkan di dalamnya terdapat pula sejarah, cinta dan banyak hal lainnya. Isi di dalam Al-Quran ini yang bisa dijadikan pedoman umat manusia untuk mencapai kebahagiaan di dunia maupun di akhirat.

Keywords: Nasikh, Mansukh, Al-Qur’an



A. Pendahuluan
Al-Qur’an merupakan kitab suci umat Islam yang berisi firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, melalui perantara malaikat Jibril untuk dibaca, dipahami, serta dapat diamalkan sebagai pedoman hidup bagi seluruh umat Islam. Al-Quran merupakan penyempurna dari kitab-kitab terdahulu yang telah diturunkan Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW melalui Malaikat Jibril yang diturunkan secara berangsur-angsur. Al-Quran mengandung pedoman hidup yang berisi tidak hanya untuk umat islam tetapi untuk semua umat manusia. Ayat-ayat Al-Quran sendiri berisi tentang banyak hal yang mengandung ketauhitan, aqidah, fiqih, faraid, bahkan di dalamnya terdapat pula sejarah, cinta dan banyak hal lainnya. Isi di dalam Al-Quran ini yang bisa dijadikan pedoman umat manusia untuk mencapai kebahagiaan di dunia maupun di akhirat.
Tujuan diturunkannya al-Qur’an adalah untuk menjadikan manusia dalam menata kehidupan supaya memperoleh kebahagiaan didunia maupun juga diakhirat. Setiap turunnya ayat Quran mempunyai latar belakang yang berbeda-beda, dengan demikian seseorang dapat mepelajarinya dengan bantuan ilmu asbabunnuzul. Setelah memahami latar belakang turunnya Quran seseorang bisa memepelajari Al-Quran degan ilmu bantu lainnya, seperti Nahwu Sorof dan lain sebagainya agar lebih mudah untuk memahami isi kandungan ayat-ayat Al-Quran. Karena, bahasa yang digunakan di dalam Al-Quran adalah bahasa sastra, serta terdapat ayat yang di Nasikh dan Mansukh kan.

B. Pengertian Nasikh dan Mansukh
Secara etimologi, al-nasikh berarti menghapus, yang mengganti atau mengubah dan al-mansukh berarti yang dihapus, yang digantikan atau diubah. Sedangkan, secara terminologi (istilah), an-nasikh menurut Subhi Ash-Shalih berarti mengangkat hukum syara’ dengan hukum syara[1].
Ubay Muhammad Makki ibn Abbi Thalib Al-Qaysi menjelaskan secara etimologi kata “naskh” diartikan dengan al-naql yang diambil dari kata naskh al-kitab (menukil dari satu kitab ke kitab yang lain). Dengan makna tersebut, naskh tidak mengubah apa yang di-naskh. Kedua, kata “naskh” berarti menghapuskan sesuatu untuk menempati posisinya. Makna tersebut diambil dari perkataan nasakhat al-syams al-zhill. Merujuk pada makna “naskh” yang demikian Al-Zarkasyi dalam Al-Burhan fi ‘Ulum al-Qur’an dan Al-Zarqani dalam Manahil al-Irfan fi ‘Ulum al-Qur’an mengutip ayat: fayansakh allah ma yulqi al-syaythan. Apa yang di-naskh menjadi hilang dan posisinya digantikan oleh yang me-naskh. Ketiga, kata “naskh” berarti menghapuskan sesuatu tanpa pengganti yang diambil dari perkataan nasakhat al-rih al-atsar. Dengan demikian, baik yang me-naskh maupun yang di-naskh sama-sama hilang.[2]
Maksudnya, suatu hukum bisa saja berubah tidak sesuai dengan hukum yang telah ditetapkan sebelumnya dan diganti dengan hukum lain. Seperti yang terdapat dalam firman Allah:

۞ مَا نَنْسَخْ مِنْ آيَةٍ أَوْ نُنْسِهَا نَأْتِ بِخَيْرٍ مِنْهَا أَوْ مِثْلِهَا ۗ أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ

Ayat mana saja Kami nasakhkan atau kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, kami datangkan yang lebih baik daripadanyya atau yang sebanding dengannya. Tidaklah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu? (QS. Al-Baqarah (2): 106).

Bahwasannya Al-Quran telah menyebutkan nasakh memang ada dalam hukum islam, sesuai dengan qodaruallah atas pertimbangan situasi dan kondisi masyarakat pada masa di turunkannya Al-Quran. An-naskh terjadi karena pertentangan dua nash (ta’rudh). Nasakh tidak terjadi jika nash mengandung hukum itu tidak saling bertentangan dengan nash yang lainnya. Kedua nash itu muncul  dalam waktu yang berbeda, maka nash yang muncul lebih awal digantikan dengan nash yang muncul setelahnya. Nash yang munculnya pertama disebut dengan al-mansukh dan nash yang muncul setelanya disebut an-nasikh.
Seperti contoh firman Allah Surah Al-Anfal (8) ayat 65-66:

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ حَرِّضِ الْمُؤْمِنِينَ عَلَى الْقِتَالِ ۚ إِنْ يَكُنْ مِنْكُمْ عِشْرُونَ صَابِرُونَ يَغْلِبُوا مِائَتَيْنِ ۚ وَإِنْ يَكُنْ مِنْكُمْ مِائَةٌ يَغْلِبُوا أَلْفًا مِنَ الَّذِينَ كَفَرُوا بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ لَا يَفْقَهُونَ

الْآنَ خَفَّفَ اللَّهُ عَنْكُمْ وَعَلِمَ أَنَّ فِيكُمْ ضَعْفًا ۚ فَإِنْ يَكُنْ مِنْكُمْ مِائَةٌ صَابِرَةٌ يَغْلِبُوا مِائَتَيْنِ ۚ وَإِنْ يَكُنْ مِنْكُمْ أَلْفٌ يَغْلِبُوا أَلْفَيْنِ بِإِذْنِ اللَّهِ ۗ وَاللَّهُ مَعَ الصَّابِرِينَ


Hai Nabi, korbankanlah semangat para mukmin untuk berperang. Jika ada dua puluh orang yang sabar di antaramu, niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ratus orang musuh. Dan jika ada seratus orang yang sabar di antaramu, niscaya mereka akan dapat mengalahkan seribu dari pada orang kafir, disebabkan orang-orang kafir itu kaum yang tidak mengerti. Sekarang Allah telah meringankan kepadamu dan Dia telah mengetahui bahwa padamu ada kelemahan. Maka jika ada di antaramu serratus orang yang sabar, niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ratus orang kafir; dan jika di antaramu ada seribu orang (yang sabar), niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ribu orang, dengan seizin Allah. Dan Allah bersama orang-orang yang sabar.

Diketahui bahwa kedua ayat ini saling bertentangan, ayat pertama mewajibkan satu muslimin melawan sepuluh orang kafir. Sedangkan ayat kedua mewajibkan satu tentara muslim melawa dua tentara kafir[3].
Pengertian menurut para ulama’ secara bahasa dibagi menjadi 4:
1.      Bermakna izalah atau menghilangkan.
2.      Bermakna tabdil atau mengganti.
3.      Bermakna tahwil atau memalingkan.
4.      Bermakna menukil atau memindah dari satu tempat ketempat lain.
C. Nasikh mansuk menurut jumhur
Salah satu di antara ulama’ yang mengakui adanya konsep nasikh mansukh adalah Abdullah Saeed, beliau seorang penafsir kontemporer yang menawarkan metode baru dalam menafsiri Alquran yakni metode kontekstualis.[4] Alasan beliau sepakat dengan adanya konsep nasikh mansukh ditengah perdebatan ulama’ baik yang mengakui atau menolak konsep nasikh mansukh dan relavansi nasikh mansukh menurut Abdullah Saeed dalam menafsiri dan memahami teks-teks Alquran sebagai kitab petunjuk agar selalu relavan untuk kontek sekarang dan masa yang akan datang.
Ada beberapa penelitian yang membahas nasikh mansukh diantaranya tulisan Hasan Asy’ari Ulama’i’ dalam tulisannya berjudul Konsep Nasikh dan Mansukh Dalam Alquran, ditulisannya ini beliau menjelaskan pembahasan terkait nasikh dan mansukh adalah pembahasan yang sangat penting dalam menafsiri Alquran untuk menghindari kesalahan dalam penafsiran, menurutnya walaupun masalah nasikh dan mansukh masih terjadi pro dan kontra namun hal tersebut bukanlah keputusan akhir yang masih memungkinkan untuk berubah, ia juga menegaskan bahwa meskipun banyak dari kalangan intelektual tidak sepakat adanya nasikh dan mansukh tetapi pendapat yang lebih disepakati banyak ulama’ adalah pendapat yang mengakui adanya nasikh dan mansukh.[5]
Penelitihan yang dilakukan oleh Abdul Rahman Malik dalam jurnal berjudul Abrogasi dalam Alquran Studi Nasikh dan Mansukh, tulisan ini menjelaskan tema nasikh dan mansukh adalah tema pokok dalam Ulumul Qur’an, kajian nasikh dan mansukh penting untuk mengetahui dinamika suatu hukum, kesimpulannya kajian nasikh dan mansukh adalah kajian yang berhubungan dengan perintah dan larangan bukan terkait dengan hal-hal akidah, akhlak dan pokok ibadah.[6]
D. Syarat terjadinya Naskh
Untuk kriteria Syeh Kholil al-Qattan memberikan beberapa syarat yakni:
1.      Hukum yang dihapus harus berupa hukum syara’, sehingga jika hukum yang dihapus bukan merupakan hukum syara’ seperti hukum yang berlaku di suatu lembaga atau komunitas tertentu maka hal tersebut tidak bisa dikatakan sebagai nasikh mansukh.
2.      Dalil yang menghapus adalah hukum syar’i yang datang setelahnya. Sehingga ketika terjadi kontradiksi antara ayat tidak bisa dikatakan bahwa hukum yang datang lebih awal menghapus hukum yang datang setelahnya.
3.      Hukum yang dihapus tidak dibatasi oleh waktu tertentu, sehingga penghapusan hukum bukan disebabkan karena hukum yang awal telah habis waktunya sehingga harus digantikan.[7]
Abdul Wahhab Khalaf dalam kitab Ilmu Ushul Fiqh yakni nasikh adalah pembatalan hukum syara’ yang telah berlaku dengan hukum syara’ yang datang setelahnya. Dengan beberapa kriteria yakni :
1.      Nasikh dan mansukh harus ditempat yang terpisah, maksudnya tidak bisa ayat nasikh dengan ayat mansukh kedua masih ada dan berada dalam satu tempat yang sama.
2.      Nasikh harus lebih kuat dari mansukh atau sejajar, pendapat ini tidak bisa menerima jika ayat nasikh derajatnya dibawah hukum mansukh.
3.      Mansukh tidak dibatasi oleh waktu tertentu.
4.      Mansukh harus berupa hukum syara’.
5.      Hukum nasikh harus datang setelah hukum mansukh.[8]

Dijelaskan oleh Az-Zarqani dalam kitab Manahilil Irfan bahwa pengertian nasikh secara istilah sangat banyak sekali dan beragam, namun dari semua pendapat secara umum adalah sama[9] yakni pengapusan hukum syara’ dengan hukum syara’ yang datang setelahnya.
Sementara itu, rumusan naskh yang dilahirkan ulama Islam mensyaratkan bahwa naskh baru bisa dilakukan manakala memenuhi aturan/syarat yang telah ditentukan. Imam Muhammad Abu Zahrah contohnya, dalam me-nasakh suatu nash mengajukan empat syarat[10] pertama, hukum yang di-mansûkh tidak diikuti oleh ungkapan yang menunjukkan atas keabadian hukum yang terkadung di dalamnya. Contoh, persaksian orang yang dikenakan sanksi karena menuduh orang lain berbuat zina, tidak akan diterima sebelum ia bertaubat. Sebabnya, nash yang menetapkan hukum ini diikuti oleh ungkapan yang menunjukkan atas berlakunya hukum tersebut selama-lamanya. Kedua, hukum yang mansûkh itu tidak tergolong masalah masalah yang telah disepakati oleh para cerdik pandai atas kebaikan atau keburukannya. Misalnya, perkara beriman kepada Allah SWT, berbuat baik kepada kedua orang tua, jujur, adil, bohong, dan lain sebagainya.[11] Hal ini juga ditegaskan oleh Adbul Wahhab Khallaf, menurutnya, nash yang mengandung masalah-masalah kewajiban beriman kepada Allah SWT, rasul, kitab-Nya, Hari Akhir, dan dasar dasar akidah serta ibadah yang lain, tergolong dalam nash-nash yang mencakup hukum ‘dasar’ agama Islam yang tidak dapat berubah sebab perubahan kondisi manusia dan tidak berubah menjadi baik atau jelek sebab perbedaan tolak ukur. Ketiga, nash yangmengganti (nâsikh) turunnya harus lebih akhir dari nash yang diganti (mansûkh). Sebab, naskh berfungsi menggantikan berlakunya hukum yang terkandung dalam nash yang diganti (mansûkh). Selain itu, kedua nash tersebut harus sama tingkat kekuatannya. Keempat, naskh dilakukan hanya apabila kedua nash (nâsikh dan mansûkh) benar-benar sudah tidak dapat dikompromikan.
E. Bentuk Nasikh Mansukh
          Menurut at-Tabari berdasarkan buku yang ditulis oleh John Burton, ada tiga bentuk Nasikh Maksukh. Pertama, nasakh al-tilawa duna al-hukm (menghapus teks dan tidak pada hukumnya). Kedua, nasakh al-hukm duna al-tilawa (menghapus hukum dan tidak teksnya). Ketiga, nasakh al-hukm wa altilawa (menghapus hukum sekaligus teksnya).12
1.      Nasakh al-tilawa duna al-hukm. Nasakh dilakukan pada bacaan atau teks al-Qur'an saja namun tidak menasakh hukum, hukum dalam ayat tersebut masih berlaku masih tetap berlaku. Contoh, ayat yang menjelaskan perintah untuk merajam laki-laki atau perempuan pezina. Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari ‘Umar bin al-Khathab dan Ubay bin Ka‘ab. Keduanya menyatakan bahwa di antara ayat al-Qur'an yang diturunkan kepada Nabi Muhammad adalah ayat
( الشيخ والشيخة إذا زنيا فارجموهما نكالا من الله والله عزيزحكيم ). Teks dalam ayat ini sudah dihapus, namun hukum dalam ayat tersebut masih berlaku. Nasakh model ini ditolak oleh sebagian besar ulama karena bagaimana mungkin hukum masih berlaku sedangkan nas atau teks ayat sudah tidak ada.
2.      Naskh al-hukm duna al-tilawa, yaitu penghapusan suatu hukum namun tidak menghapus bacaan. Contohnya antara lain perintah mengubah arah kiblat salat dari Baitul Maqdis ke Ka’bah, penghapusan puasa selama tiga hari setiap bulan dan puasa ‘Asyura dengan puasa Ramadan.
3.      Naskh al-hukm wa altilawa, Nasakh penghapusan bacaan atau teks al-Qur'an sekaligus juga penghapusan hukum yang terkandung di dalamnya. Contoh yang umum dikemukakan ialah riwayat ‘Aisyah yang pernah berkata bahwa pada mulanya, diturunkan ayat al-Qur'an (tentang saudara sepersusuan yang diharamkan menikah) adalah sepuluh susuan yang diketahui, kemudian di-nasakh dengan lima kali (susuan) yang diketahui, kemudian setelah itu Rasulullah Saw wafat.
F. Hikmah adanya Nasikh Mansukh
       Berdasarkan pengertian Nasakh Mansukh diatas dapat diambil manfaatnya antara lain :
1.             Memelihara kemaslahatan manusia. Syariat Allah adalah perwujudan dari rahmatNya. Allah Maha Mengetahui kemaslahatan hidup hamba-Nya. Melalui sarana syariat-Nya, Allah mendidik manusia hidup tertib dan adil untuk mencapai kehidupan yang aman, sejahtera dan bahagia di dunia dan akhirat.
2.             Perkembangan hukum syara’ menuju tingkat kesempurnaan disesuaikan dengan kondisi dan perkembangan peradaban manusia. Al-Qur’an diturunkan secara beransur-ansur berkaitan dengan proses penetapan syariat. Allah yang Maha Bijaksana mengetahui kondisi masyarakat Arab pada saat al-Qur'an turun. Adanya tahapan-tahapan dalam menetapkan hukum berguna untuk memudahkan pelaksanaan hukum tersebut.
3.             Memberikan kebaikan dan kemudahan kepada umat. Apabila hukum yang terakhir (yang menggantikan hukum sebelumnya) lebih berat tentunya yang mengerjakan (mukallaf) mendapat pahala yang lebih besar. Sebaliknya, apabila hukum yang terakhir lebih ringan, pasti akan lebih mudah mengerjakannya.


G. Penutup
Kesimpulan
1.      Secara etimologi, al-nasikh berarti menghapus, yang mengganti atau mengubah dan al-mansukh berarti yang dihapus, yang digantikan atau diubah.
2.      Nasakh tidak terjadi jika nash mengandung hukum itu tidak saling bertentangan dengan nash yang lainnya.
3.      Ada beberapa bentuk nasakh, yaitu ayat yang dinasakhkan bacaan dan hukumnya, ayat yang dinasakhkan hukum, tetapi tidak menghilangkan bacaannya, ayat yang telah dinasakhkan bacaannya, namun hukumnya masih diterapkan.


DAFTAR PUSTAKA
Baidowi Ahmad, 2005. Mengenal Thabathaba’I dan Kontroversi Nasikh-Mansukh. Bandung: Penerbit Nuansa
Dr. Kadar M. Yusuf, M. (n.d.). Studi Al-Quran.
Burtun, John. 1990. The Sources of Islamic Law. Edinburgh:Edinburgh University Press
Asmu’i. 2013. Studi Kritis Atas Konsep Nasikh-Mansukh Abdullah Ahmed An-Na’im. Kalimah: Jurnal Studi Agama dan Pemikiran Islam. 11(1):151-174
Aavi Lailaa Kholily. 2018. Pandangan Abdullah Saeed Pada Nasikh Mansukh. UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Jurnal. 4(1):159-178
Ruslan. 2019. Nasikh Dan Mansukh Alquran Menurut dr. Hamka. Journal of Islamic and Law Studies. 3(2):1-19
Reflita. 2017. Redefinisi Makna Nasakh Mansukh Internal Ayat Al-Qur’an. Substantia. 19(1):23-36
Zainul Mu’nim. 2014. Teori Nasikh Mansukh Al-Qur’an Sebagai Pembaharuan Hukum Islam Dalam Pemikiran Abdullahi Ahmed An-Na’im dan Muhammad Syahrur. Al-Mazahib. 2(1):1-22
Noor Rohman Fauzan. 2014. Urgensi Nasikh-Mansukh Dalam Legalisasi Hukum Islam. Isti’dal;Jurnal Studi Hukum Islam. 1(2):201-213

Catatan:
1.       Similarity 54%, sangat tinggi sekali
2.       Pembahasan pengertian nasikh mansukh loncat-loncat
3.       Dalam karya ilmiah, penulis gelar dihilangkan
4.       Nasikh-mansukh menurut jumhur? Isinya tidak jelas
5.       Lien Iffah bukan penulis buku, penulis buku adalah Abdullah Saeed. Lien Iffah hanya menerjemahkan
6.       Anda mengutip dari bukunya John Burton? Ah, coba besok dibuktikan ketika presentasi!!
7.       Daftar pustaka tidak nyambung dengan footnote. Coba diteliti satu persatu.













[1] Dr. Kadar M. Yusuf, M.Ag, Studi Al-Quran, hlm 109
[2] Ahmad Baidowi, Mengenal Thabathaba’I dan Kontroversi Nasikh-Mansukh, hlm 67
[3] Dr. Kadar M. Yusuf, M.Ag, Studi Al-Quran, hlm 110
[4] Lien Iffah Naf’atu Fina Penafsiran Kontekstualis Atas Al-Qur’an, Terjemahan Dari Buku Interpretasi The Qur’an: Towards A Contemprary Approach (Yogyakarta: Lembaga Ladang Kata, 2016), Hal. 2.
[5] Hasan Asyari Ulamai, “Konsep Nasikh Dan Mansukh Dalam Al-Quran” Didaktika Islamika 7 No 1 (Februari 2016): 63-84.
[6] Abdul Rahman Malik, “Abrogasi Dalam Alquran: Studi Nasikh Dan Mansukh,” Jurnal Studi Al-Qur’an 12, No. 1 (1 Januari 2016): 98–113, Https://Doi.Org/10.21009/Jsq.012.1.06.
[7] Manna Kholil Al-Qattan Pengantar Studi Ilmu Alquran… Hal, 286
[8] Subaidi “Historisitas Nasikh Mansukh Dan Problematikanya Dala Penafsiran Alquran” Hermeneutika 8, No 1 (Juni, 2014): 60
[9] Wartoyo “Konsep Naskh Dalam Teori Hukum Mahmud Muhammad Thaha”… Hal. 148
[10] Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, diterjemahkan oleh Saifullah Maksum dkk,
(Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008), 293-294.
[11] Karena itu, para ulama telah sepakat bahwa masalah-masalah yang telah diterima
oleh setiap generasi dalam setiap masa sebagai sesuatu yang baik yang harus diterima atau
sesuatu yang buruk yang harus dihindari, tidak dapat diganti (nasakh). Ibid, 294.
12 John Burton, The Sources of Islamic Law, hlm. 122

Tidak ada komentar:

Posting Komentar