Minggu, 14 April 2019

Mantuq dan Mafhum, Mujmal dan Mubayyan (PAI B Semester Genap 2018/2019)



MANTUQ MAFHUM DAN MUJMAL MUBAYYAN

Oleh: Ali Hasan Assidiqi dan Afifatud Diana Sari
(Mahasiswa-mahasiswi PAI semester 6 UIN Malang)
Aliuinmalang@gmail.com
Abstract
          This article discusses the mantuq knowingly and mujmal mubayyan. The goal in this discussion is other than as a reference to know in depth as a process in knowing the procedure of taking the way Islamic law from nash. Mantuq is sauatu it is explained by the law or a resonate which resonate the sound resonate it suits itself. While Knowingly is its legal content does not resonate the same (opposite) with the sound of lafdznya. And Mujmal is a resonate or unclear wording, which cannot show the actual intent if there is no description of the other more explanation explains. Guests mubayyan is a word in the bright, that is to say without the need for an explanation of the other. There are two kinds of Mantuq IE: mantuq sharih ghairu sharih and Knowingly, and there are two, namely: muwafaqah and muhallafah knowingly. While there are seven Mujmal namely: Musytarak, Murakkabat Muhtamillah, Marja'udh Dhampir, Pronunciation containing likely nature and majaz, Pronunciation spellings for what it was made, the person who is listening and Prophet of unknown reason. And Mubayyan there are five: bayan, bayan words with deeds, bayan, bayan, cue with by leaving something and bayan with silence.
Abstrak
Artikel ini membahas tentang mantuq mafhum dan mujmal mubayyan. Tujuan dalam pembahasan ini adalah selain sebagai acuan mengetahui secara mendalam juga sebagai suatu proses dalam mengetahui prosedur cara pengambilan hukum Islam dari nash. Mantuq sendiri adalah  sauatu hukum yang diterangkan oleh lafadz yang mana lafadz itu sesuai dengan bunyi lafadz itu sendiri. Sedangkan Mafhum adalah lafadz yang kandungan hukumnya tidak sama (kebalikannya) dengan bunyi lafdznya tersebut. Dan Mujmal adalah suatu lafadz atau kata yang belum jelas, yang tidak bisa menunjukkan maksud yang sebenarnya jika tidak terdapat keterangan penjelasan lain yang lebih menjelaskan. Sedankan mubayyan adalah suatu perkataan yang terang, maksudnya tanpa memerlukan penjelasan dari lainnya. Mantuq ada dua macam yaitu: mantuq sharih dan ghairu sharih, dan Mafhum ada dua yaitu: mafhum muwafaqah dan muhallafah. Sedangkan Mujmal ada  tujuh yaitu: Musytarak, Murakkabat Muhtamillah, Marja'udh Dhampir, Lafal yang mengandung kemungkinan hakikat dan majaz, Lafal untuk apa lafal itu dibuat, orang yang mendengarkan dan perbuatan nabi yang tidak diketahui alasannya. Dan Mubayyan ada lima yaitu: bayan dengan perkataan, bayan dengan isyarat bayan dengan perbuatan, bayan dengan meninggalkan sesuatu dan bayan dengan diam.
Kata Kunci : Mantuq, Mafhum, Mujmal dan Mubayyan

A.  Pendahuluan
   Seseorang ahli hukum menjadi keharusan baginya untuk mengetahui secara dalam prosedur cara pengambilan hukum dari nash. Untuk hal itu maka dalam Ushul Fiqih sudah menentukan metodologinya yang berkaitan dengan hukum dari nash. Cara pengambilan hukum dari nash ada dua macam pendekatan yang sering dan sangat digunakan yaitu pendekatan makna dan lafadz. Pendekatan makna sendiri adalah penarikan kesimpulan (bukan langsung), seperti pengunaan qiyas, ihtihsan, maslahat dll. Sedangkan pendekatan lafadz nash butuh beberapa faktor penguasaan yaitu menguasai terhadap makna dan lafadzn serta mengetahui dalalahnya.[1]
Dan ketika kita bicara secara mendalam tentang hukum yang terdapat dalam ayat-ayat dalam Al-Qur’an tersebut tidak semuanya memberikan arti dan pemahaman yang jelas. Jika kita telurusi ternyata masih banyak ayat yang sangat butuh penjelasan yang lebih mendalam tentang hukum dari ayat tersebut. Dan sebagai sumber hukum Islam yang benar, maka tidak boleh menafsirkan ayat sesuai teks belakang sehingga perlu dibutuhkan penjelasan atau tafsir mengenai hal tersebut. Oleh karena itu dalam hal ini penulis akan membahas mantuq mafhum, dan mujmal mubayyan yang mana semua itu dapat bertujuan untuk sebagai akar dasar dalam menentukan atau menemukan suatu hukum.

B.  Mantuq
1.    Pengertian
Pengertian Mantuq secara lughawi adalah diucapkan.[2] Secara epistimologi Mantuq adalah sauatu hukum yang menerangkan suatau lafadz dan sesuai dengan lafadz itu sendiri.[3] Dan dalam pengertian lainnya Mantuq adalah isi hukumnya suatu lafadz sesuai dengan bunyi lafadznya.[4] Maksudnya dari hal diatas bahwa jika suatu hukum diambil berdasarkan bunyi atau dalil (Al-Quran atau Hadits), maka dalam hal ini mantuqnya adalah yang apa adanya atau sesuai atau jelas. Contoh misalkan pada ayat al-Qur’an seperti: Ayat tentang anjuran hukum wajib menepati janji. Dalam al-Qur’an surah al-Maidah ayat 1 Allah berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ ۚ
Artinya: Wahai orang-orang (Islam) yang beriman, tepatilah perjanjian-perjanjian  itu.
Dalam hal ini bunyi atau makna yang tersirat berisi suatu anjuran tentang wajibnya menepati janji, baik kepada Allah ataupun sesama manusia. Maka dari itu hukum wajib menepati janji itu sesuai dari bunyi ayat tersebut yang mana ayat tersebut adalah menurut manthuqnya.
2.    Pembagian Mantuq
Dari definisi diatas, mantuq terbagi menjadi dua macam yaitu:
a.       Mantuq Sharih.
Mantuq Sharih dalam kalangan Hanafiyah dikenal dengan “ibarat al-Nash”. Mantuq sharih sendiri secara lughawi memiliki makna “lafadz diterangkan secara tegas”. Sedangkan menurut istilah diungkapkan oleh Mushafa Sa’id al-Khin merupakan makna yang tegas, yang ditunjukan oleh suatu lafadz yang sesuai dengan penciptaannya.[5] Sedangkan menurut lainnya mantuq sharih adalah mantuq yang mana dalilnya tidak usah di takwil. Dalam hal ini disebabkan karena dalil atau lafadz tersebut jelas dan tidak ada kesulitan sedikitpun dalam memberikan arti. Contoh dalam hal ini  dalam QS al-Baqarah: 43 yaitu :
وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ ...
Artinya: Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat...
Dalam ayat ini merupakan dalil nash tentang hukum wajibnya mendirikan shalat dan mengeluarkan zakat. Dalil ini tidak bisa dita’wil sebab sudah jelas dan tidak ada kesulitan dalam mengartikannya sehingga dalil tersebut bisa dimengerti dengan mudah bagi orang-orang.[6]
b.      Mantuq Ghairu Sharih
Mantuq Ghairu Sharih adalah makna hukum yang mana lafadznya bukan makna asli dari suatu lafadz itu, akan tetapi makna itu sebagai suatu konsekuensi dari suatau ucapan atau lafadz. Dalam hal ini terdapat 3 dalam pembagian Mantuq Ghairu Sharih yang meliputi: Dalalah al-Ima’, al-Isyarat, dan al-Iqtida’.
1)   Dalalat al-Ima’ adalah sesuatu pengertian yang bukan ditunjukkan langsung kepada suatu lafadznya, akan tetapi melalui pengertian setelah menyebutkan suatu sifat atau peristiwa. Misalnya Rasulullah saw. bersabda:
عَنْ جَابِرِبْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مِنْ أَحْيَ أَرْضًا مَيِّتَةً فَهِيَ لَهُ {رواه الترمذى}
Artinya: Dari Jabir bin Abdillah berkata dari Nabi Muhammad Saw yang bersabda: Bahwa barangsiapa yang mulai mengelola tanah yang sudah mati, maka tanah itu menjadi miliknya. ( HR. At-Tirmidzi)
Dalam hadits tersebut selain menunjukkan hukum melalui mantuqnya seperti yang sudah tertulis itu, juga melalui dalalat al-ima’nya yaitu aktivitas menghidupkan tanah yang mati maka itulah yang menjadi illatnya bagi pemilikan tanah untuknya tersebut. Dalalah al-Ima’ ini adalah al-nash dalam kalangan Hanaiyah.
2)   Dalalat al-Isyarah adalah suatu pengertian yang bukan pengertian aslinya, akan tetapi dari hukum yang ditunjukkan oleh redaksi itu sendiri. Maka hukum nya yang ditarik melalui dalalat al-Isyarat ini dianggap hukum yang ditunjuk mantuq secara tidak tegas. Contohnya dalam surah al-Ahqaaf ayat 15 yang berbunyi:
وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ إِحْسَانًا ۖ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ كُرْهًا وَوَضَعَتْهُ كُرْهًا ۖ وَحَمْلُهُ وَفِصَالُهُ ثَلَاثُونَ شَهْرًا ۚ حَتَّىٰ إِذَا بَلَغَ أَشُدَّهُ وَبَلَغَ أَرْبَعِينَ سَنَةً
Artinya: Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada kedua orangtua ibu bapaknya, ibu mengandung dengan susah payah dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya tiga puluh tahun sehingga apabila dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun
Dan dalam surat Al-Luqman ayat 14 dijelaskan pula:
Artinya: Dan kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun”.
Mantuq pada ayat pertama tersebut menjelaskan bahwa jumlah masa kandungan adalah selama 30 bulan. Sedangkan pada ayat kedua menjelaskan masa menyusu selama 24 bulan (2 tahun). Dengan hal tersebut menunjukkan (dalalat isyarat) bahwa sisanya 6 bulan adalah masa minimal dalam kandungan seorang ibu. Kesimpulannya bahwa masa minimal kandungan adalah 6 bulan bukan maksud dari asal turunnya ayat tersebut, tetapi kemestian ketegasan dari dua ayat tersebut.
3)   Dalalat al-Iqtida’ adalah penyisipan kata secara tersirat dalam memahami karena itulah cara memahaminya. Contohnya dalalat ini terdapat dalam sebuah hadits Rasulullah yaitu:
عَنْ أَبِي ذَرٍّ الْغِفَارِ يٍّ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللّهِ صَلَّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ اللّهَ تَجَاوَزَ عَنْ أُمَّتِي الْخَطَأَ وَالنِّسْيَانَ وَمَا اسْتَكْرِهُوَا عَلَيْهِ {رواه ابن ماجه}
Artinya: Dari Abu Dzar al-Ghiffari berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda: Sesungguhnya Allah itu mengangkat dari umatku tersalah, lupa dan keterpaksaan atasnya. (HR. Ibnu Majah)
Hadits tersebut secara maknanya sudah kurang jelas karena bertentangan dengan kenyataan. Untuk meluruskan maknanya perlu disisipkan secara tersirat kata al-ism artinya dosa atau al-hukm artinya hukum, sehingga menjadi : diangkatkan dari umatku dosa atau hukum perbuatan tersalah, karena lupa atau keterpaksaan.[7]

C.  Mafhum
1.    Pengertian
Pengertian Mafhum secara lughawi adalah memhami suatu teks. Sedangkan menurut istilah mafhum adalah memahami secara teks dari suatu lafadz (mafhum muwafaqah) atau kebalikan dari pengertian lafadz yang diucapkan (mafhum mukhalafah).[8] Sedangkan menurut pengertian lainnya mafhum adalah lafadz yang makna hukumnya tidak sama dengan bunyi lafdznya.[9] Contoh dalam hal ini misalnya tentang nafkah istri yang telah ditalak suaminya yang terdapat dalam Firman Allah QS. At-Talaq ayat 6 sebagai berikut ini:       
Artinya: ..... Dan jika mereka “istri-istri yang sudah di talaq tersebut” dalam keadaan hamil (baik dalam umur berapapun), maka berikanlah kepada mereka nafkahnya sampai mereka selesai bersalin atau melahirkannya.....
Dalam hal ayat diatas mengandung pengertian hukum yang tidak tertulis yaitu perempuan tidak hamil yang ditalak suaminya. Maka jika dalam hal demikian istri tidak wajib diberi nafkah oleh mantan suaminya disebabkan menurut apa yang terdapat dalam lafdz ini menyatakan bahwa yang diberi nafkah itu adalah wanita yang dalam keadaan hamil. Mafhumnya jika ia tidak hamil maka ia wajib tidak diberi nafkah. Dengan demikian hukum yang diambil dari dalil tersebut dinamai mahum.[10]  Contoh lain pun juga ada misalnya dalam QS al-Isra’ ayat 23 yang berbunyi:
فَلا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلا تَنْهَرْهُمَا
Artinya: Janganlah kamu mengucapkan kepada orangtuamu ucapan “uffin” dan janganlah kamu memarahi keduanya.
Hukum yang tersurat dalam ayat tersebut adalah adanya larangan mengucapkan kata-kata yang keras “uf dan lainnya” dan menghardik orang tua. Dari ayat itu juga terdapat ketentuan hukum yang tersirat, yaitu haramnya memukul orang tua atau perbuatan yang menyakiti orang tua. Jadi mafhum yang terdapat dalam ayat ini adalah tidak boleh memukul orangtua atau menyakiti orangtua.
2.    Pembagian Mafhum
Pembagian Mafhum menurut ualam’ ushul terbagi menjadi dua macam, yaitu:
a.    Mafhum Muwafaqah
Mafhum Muwafaqah adalah makna hukumnya sesuai atau cocok dengan lafadz itu serta tidak berlawanan.[11] Disebut mafhum muwafaqah karena hukum yang tidak tertulis sesuai dengan hukum yang tertulis tersebut. Sedangkan menurut pengertian lain bahwa mafhum Muwafaqah adalah mafhum yang dimana pengertian yang dipahami sesuai dengan ucapan lafadz yang diucapkan.[12]
Mafhum muwafaah dibagi menjadi 2 bagian:
1.     Fahwal Khitab.
Fahwal Khitab adalah  mafhum yang apabila hukum yang apabila yang dipahamkan atau peristiwa tersebut lebih kuat atau berat daripada berlakunya hukum yang disebutkan dalam lafdz tersebut. Dan hal ini disebut juga mafhum al-aulawi.[13] Contoh dalam hal ini terdapat dalam firman Allah swt dalam QS. Al-Isra’ ayat 23:
فَلا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ
“Janganlah kamu mengatakan kata-kata keji “ah” kepada kedua orangtuamu.”
Dalam hal ini berkata keji “ah/hus” tidak boleh, apalagi memukul kepada orangtua. Maka dalam Fahwal Khitab memukul orangtua ini lebih berat atau kuat (tidak boleh) daripada berkata “ah/hus”.
2.     Lahnal Khitab.
Lahnal Khitab adalah apabila hukum yang dipahamkan itu sama atau seimbang dengan bunyi lafadz-nya.  Contohnya Seperti dalam firman Allah swt QS. An-Nisa’ ayat 10 yang berbunyi.:
إِنَّ الَّذِيْنَ يَأْكُلُوْنَ أَمْوَالَ اٌلْيَتَمَى ظُلْمًا إِنَّمَا يَأْكُلُوْنَ فِى بُطُوْنِهِمْ نَارًاصلى وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيْرًا
“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta atau benda anak yatim dengan aniaya maka sesungguhnya mereka memakan api kedalam perut mereka dan mereka akan masuk neraka sa’ir.[14]
Dalam hal diatas kita dilarang untuk memakan harta anak yatim. Dan secara lahnul khithab kita juga dilarang merusak atau membakar harta anak yatim juga karena dapat mengurangi harta tersebuut sebagaimana pula memakannya yang dapat menguranginya pula.[15]
b.    Mafhum mukhalafah
Mafhum mukhalafah  merupakan mafhum yang mana pemahamannya dalam hukum tersebut berbeda atau berlawanan atau kebalikan dengan apa yang terdapat dalam lafadz tersebut. Oleh karena itu, dapat dsisimpulkan bahwa hal yang dipahami selalu kebalikannya daripada bunyi lafadz yang diucapkan. Contohnya misal pada QS. Al-Baqarah ayat 197 yang berbunyi:
الْحَجُّ أَشْهُرٌ مَعْلُومَاتٌ ۚ
 “Ibadah haji itu adalah pada bulan-bulan yang dimaklumi atau tertentu (syawal, Dzulqa’dah , dan sampai 10 Dzulhijjah)”
Dengan demikian secara Mukhalafah (kebalikannya) berarti haram atau tidak sah jika berhaji di bulan-bulan selain bulan yang telah ditentukan.[16] Contoh lain misalnya dalam realita mahasiswa dimana pendaftaran peserta baru dilakukan tanggal 1-5 maret 2019, maka jika melakukan pendaftaran tanggal 5 april 2019 maka tidak dibolehkan atau sudah ditutup. Oleh karena itu menurut mayoritas ulama dalam Ushul Fiqih hal ini boleh atau sah digunakan. Sedangkan menurut kalangan Hanafiyah yang mana mereka menolak landasan dalam pembentukan hukum secara mukhalafah ini. Dalam hal ini dapat kita lihat dan pahami sebagaimana dalam QS. Ali imran yaitu:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا الرِّبَا أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً ...
Artinya: Hai orang-orang yang beriman (muslim) janganlah kamu memakan harta riba dengan cara yang berlipat ganda....
Dalam ayat ini mafhum Mukhallafah adalah halalnya riba yang tidak berlipat ganda. Namun dalam hal ini terhadap pemahaman seperti ini keliru, karena riba yang tak berlipat gandapun juga haram.[17]
Mafhum mukhalafah sendiri secara rinci terbagi menjadi 10 bagian yang meliputi :
1.    Mafhum Sifat
Mafhum Sifat adalah  menghukumi kepada salah satu sifatnya yang terdapat pada lafdz tersebut. Contoh dalam hal ini seperti dalam QS an-nisa’ ayat 25 yang berbunyi:
وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ مِنْكُمْ طَوْلًا أَنْ يَنْكِحَ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ فَمِنْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ مِنْ فَتَيَاتِكُمُ الْمُؤْمِنَاتِ ۚ.
Artinya: Dan barangsiapa diantara kamu yaitu orang merdeka yang tidak cukup perbelanjaannya untuk menikahi wanita-wanita merdeka lagi beriman, ia boleh mengawini wanita-wanita  yang beriman dari budak  yang kamu miliki.
Dalam hal diatas, karena bolehnya menikahi budak yang beriman, maka mafhum mukhallafhnya (sebaliknya) tidak boleh menikahi budaknya yang tidak beriman.
2.    Mafhum ‘Illat.
Mafhum ‘Illat adalah menghukumi sesuatu dari Illatnya:
Artinya: Dari Ibnu Umar ra. bahwasanya Rasulullah SAW bersabda bahwa Setiap sesuatu (minuman) yang memabukkan itu khamr, dan setiap sesuatu (minuman) yang memabukkan itu haram. [HR. Muslim juz 3, hal. 1587]
Dalam hal diatas maka mafhum mukhallafahnya adalah bahwa minuman yang tidak haram untuk dikonsumsi adalah minuman memabukkan.
3.    Mafhum Syarat.
Mafhum Syarat adalah menghubungkan sesuatu hukum kepada syaratnya sebagaimana contoh dalam QS. An-nisa’ ayat 101yang berbunyi:
وَإِذَا ضَرَبْتُمْ فِي الْأَرْضِ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَقْصُرُوا مِنَ الصَّلَاةِ ...
Artinya: Apabila kamu bepergian maka tidaklah menghalangi kamu untuk menqashar shalatmu.
Dalam hal ini mantuqnya adalah kebolehan menqashar shalat itu syaratnya harus bepergian dengan jarak tempuh yang telah ditentukan, maka mafhum mukhalafahnya kita tidak boleh menqashar shalat diluar bepergian.
4.    Mafhum Adad.
Mafhum Ahad adalah menghubungkan hukum dari sesuatu kepada bilangan tertentu. Contoh sebagaimana QS. An-nur ayat 4 yang berbunyi:
وَالَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوا بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ فَاجْلِدُوهُمْ ثَمَانِينَ جَلْدَةً وَلَا تَقْبَلُوا لَهُمْ شَهَادَةً أَبَدًا ۚ
Artinya: Dan orang-orang yang menuduh perempuan baik-baik “berbuat zina” dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi atasnya, maka deralah mereka “yang menuduh itu”delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka selama-lamanya terhadap apapun.
Dalam hal ini mantuqnya adalah diperintah mendera atau meukul 80 kali, maka mafhum mukhalafahnya adalah kita dilarang menderanya lebih dari pada 80 kali dari jumlah yang telah ditentukan itu.
5.    Mafhum Ghayah
Mafhum Ghayah adalah lafadz yang menunjukkan hukum sampai kepada batasan (sampai/ hingga batas akhir). Lafadz ini bentuknya hanya ada dua yaitu ila dan hatta. Contoh dalam QS. Al-Baqarah ayat 187 yang berbunyi:
...ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ...
Artinya:....Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam.....
Mantuqnya adalah puasa itu harus sampai memenuhi waktu malam, maka mafhum mukhallafahnya adalah kita tidak boleh menyempurnakan melebihi batas waktu malam (tidak boleh lagi puasa pada waktu malam tiba).
6.    Mafhum Laqab.
Mafhum laqab adalah mafhum yang dipahami dari makna nama orang (isim) atau barang. Misalnya: Aku melihat Taqi, karena yang dilihat Taqi maka secara mafhum mukhalafah selain Taqi tidak akan aku lihat.
7.    Mafhum Hashr
Mafhum Hashr adalah mafhum yang mana lafadznya mengandung hashr atau pembatasan secara khusus. Contohnya dalam QS. Al-Maidah ayat 75 yang berbunyi:
مَا الْمَسِيحُ ابْنُ مَرْيَمَ إِلَّا رَسُولٌ قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِهِ الرُّسُلُ
Artinya: Al Masih putera Maryam itu aalah seorang Rasul yang telah lama sebelumnya rasul lainnya...
Dalam hal diatas, hubungan dengan masalah ketuhanan adalah Isa al-masih itu hanyalah seorang rasul, mafhum mukhallafnya berarti ia bukan malaikat, anak tuhan dan lainnya.
8.    Mafhum Haal
Mafhum Haal adalah mafhum yang menunjukkan kepada keadaan sesuatu. Contohnya hal ini firman Allah dalam QS. Al-Isra’ ayat 37 yang berbunyi:
وَلَا تَمْشِ فِي الْأَرْضِ مَرَحًا ۖ ...
Artinya: janganlah sekali-kali kamu berjalan diatas permukaan bumi dengan keadaan sombong.
Dalam hal ini mantuqnya adalah dilarang berjalan sombong, dan mafhum mukhalafahnya adalah kta diperintahkan untuk berjalan dimuka bumi ini dengan sopan santun.
9.    Mafhum Zaman
Mafhum zaman adalah makna hukum yang melihat zaman/ waktu. Contohnya misalnya dalam firman Allah QS al-Baqarah ayat 197 yang berbunyi:
الْحَجُّ أَشْهُرٌ مَعْلُومَاتٌ ۚ
 Artinya: Ibadah haji itu adalah pada bulan-bulan yang dimaklumi atau tertentu.
Dalam hal ini mantuqnya adalah kita diperintahkan melaksanakan ibadah haji pada bulan tertentu yang telah ditentukan (syawal, Dzulqa’dah dan 10 awal Dzulhijjah), maka mafhum mukhalafahnya adalah kita dilarang menunaikan ibadah haji dilaur bulan yang ditentukan.
10.    Mafhum Makan.
Mafhum makan adalah makna hukum yang melihat kepada tempat tertentu. Contohnya sebagaimana hadits rasulullah yang berbunyi:
إِنَّ النَّبِيَّ قَالَ الْأَرْضُ كُلُّهَا مَسْجِدٌ إِلَّا الْحَمَّامَ وَالْمَقْبَرَةَ
Artinya: Nabi Muhammad Saw telah bersabda: "Semua tempat di bumi ini adalah Masjid (dapat digunakan untuk shalat atau bersujud) selain atau kecuali kamar mandi dan kuburan". (HR. Abu Dawud No. 145).
Dalam hadits ini mantuqnya adalah selain kamar mandi dan kuburan adalah boleh melakukan shalat, dan mafhum mukhallafhnya adalah tidak boleh menjadikan kamar mandi dan kuburan untuk tempat sujud atau tempat shalat.[18]
            Dalam hal kehujjahan tentang mafhum, jumhur ulama’ sepakat bahwa mengunakan mafhum muwafaqah sebagai hujjah diperbolehkan, sedangkan tentang mafhum mukhallafah masih terdapat perbedaan. Jumhur ulama’ meperbolehkan sebagai hujjah kecuali mafhum laqab. Dan imam abu hanifah,ibnu Hazm, dan ulama’ dhahiriyah tidak setuju terhadap pengunaan mafhum mukhallafah. Adapun tentang syarat diperbolehkannya berhujjah mafkhum mukhallafh sebagaimana yang menyetujuinya terdapat 5 syarat yang perlu dipahami yaitu.
1.    Tidak bertentangan dengan dalil-dalil atau lafadz yang lebih kuat dari mafhum tersebut.
Dalil yang lebih kuat dari mafhum Misalnya Nabi SAW bersabda: Sesungguhnya wajib mandi apabila keluar air (mani). (H.R. Ahmad dan Abu Dawud). Berdasarkan hadits ini bisa difahami secara mukhalafah bahwa apabila bersenggama tidak sampai mengeluarkan air ma-ka tidak wajib mandi. Mafhum yang demikian ini bertentangan dengan hadis Nabi SAW yang terdapat dalam hadits Ibnu Malik nomor 92 yang berbunyi:
Artinya: Nabi Muhammad Saw berkata ; "Apabila terdapat dua khitan yang saling bersentuhan maka wajib atas mereka mandi."
Dalam hal diatas, organ yang biasa dikhitan dalam tradisi Arab adalah kelain lelaki dan kelamin perempuan, jadi memang dengan keluarnya air mani mewajibkan mandi (secara mantuq), namun tidak bisa difahami apabila bersenggama kemudian tidak keluar air mani itu tidak berkewajiban mandi, sebab dalil secara mantuq yang lebih kuat menyatakan sekalipun tidak keluar air (mani) tetap haruss mandi. 
2.    Dalil yang dipahami tidak menujukkan intimidasi.
Dalil yang menunjukkan kepada kenikmatan sesuatu sehingga tidak dapat dipakai sebagai hujjah. Misalnya firman Ailah dalam QS. surat an-Nahl ayat 14 berbunyi :
Artinya: Dan Dialah Allah yang menundukkan (memberikan) lautan (untukmu) agar kamu dapat memakan daripadanya daging yang segar (ikan), ...
Dalam hal diatas, secara mafhum mukhalafah maka ikan yang tidak segar bukan untuk dimakan. Kata thariyan/segar adalah menunjukkan kenikmatan, maka pemahaman secara mukhalafah yang demikian ini tidak bisa dipergunakan/diterima.
3.    Dalil itu tidak bermaksud menjelaskan sesuatu zaman tertentu.
Apabila makna tersebut mengandung kepada satu zaman tertentu maka mafhum mukhalafah tidak bisa digunakan. Misalnya sebagaimana firman Allah dalam surat Ali Imran 130 yang berbunyi:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا الرِّبَا أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً ۖ ...
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda...
Berlipat ganda itu menerangkan kebiasaan orang jahiliyah saat ayat ini diturunkan. Maka mafhum mukhalafah yang berarti boleh melakukan riba asal tidak berlipat ganda sebagaimana ayat diatas.
4.    Dalil itu tidak ada lafadz yang mengikuti yang lain.
Bila ada lafadz yang diikutkan kepada dalil itu maka mafhum mukhalafah tidak boleh digunakan. Misalnya dalam QS. al-Isra' 31 yang yaitu:
وَلَا تَقْتُلُوا أَوْلَادَكُمْ خَشْيَةَ إِمْلَاقٍ ۖ ...
Artinya: Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. ...
Takut miskin itu hanya kata tambahan (tidak berdiri sendiri) maka tidak boleh dimafhumi mukhalafah bahwa boleh membunuh 'anak-anak asai tidak karena takut miskim.
5.    Dalil itu tidak dimaksudkan atas ghalibnya (umumnya).
Apabila dalil itu dilafadzkan dengan sesuatu yang sudah Menjadi ghalib/umumnya, maka mafhum mukhalafah tidak dapat dipergunakan. Contohnya dalam firman Allah Swt QS. surat an-nisa’ ayat 23 yang berbunyi:
حُرِّمَتْ ....وَرَبَائِبُكُمُ اللَّاتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ ....
 Artinya: Diharamkan ...Anak-anak isterimu yang ada dalam genggaman (pemeliharaan) mu. ...
Dalam hal diatas, sudah menjadi ghalib/umumnya bahwa anak-anak isteri itu menjadi beban pemeliharaan suami si isteri (ayah tiri). Maka dengan dalil tersebut tidak boleh dimafhumi secara mukhalafah bahwa anak tiri boleh dinikahi oleh ayah tiri itu apabila tidak dalam pemeliharaan ayah tirinya.[19]

D.  Mujmal
Mujmal menurut bahasa adalah mubham (samar, tidak jelas) dan majmu’ (yang dikumpulkan). Sedangkan menurut istilah yang berarti:
مَا يُتَوَقَّفُ فَهْمُ المُرَادِ مِنْهُ عَلَى غَيْرِهِ إِمَّا فِي تَعْيِيْنِهِ اَوْبَيَانِ صِفَتِهِ اَوْمِقْدَارِهِ
“Sesuatu yang pemahaman maksudnya didasarkan kepada sesuatu yang lain baik dalam hal penentuannya, penjelasan beserta tata caranya, atau ukurannya”[20]
Kata mujmal merupakan kalam atau kata yang mengandung dua makna (arti) atau lebih tanpa terdapatnya makna yang lebih kuat dari salah satu diantara keduanya bagi orang yang mendengarkannya dan ketika mujmal ditafsirkan maka bisa menjadi mubayyan.[21]
Kemudian, mujmal juga adalah suatu lafadz atau kata yang tidak jelas, dan masih membutuhkan penjelasan sehingga tidak bisa memberikan maksud yang sebenarnya dan ketidak jelasan tersebut dimaksud dengan Ijmal.[22]
Sedangkan dalam pengertian yang lebih sederhananya yaitu:
اللَّفْظُ الَّذِى يَنْطَوِى مَعْنَاهُ عَلَى عِدّةِ اَحْوَالِ وَاَحْكَامٍ قَدْ جُمِعَتْ فِيْهِ
“Kata atau lafadz yang artinya berisi beberapa keadaan dan hukum yang berkumpul di dalamnya”[23]
Dalam buku Hikmatut Tasyri’ mujmal merupakan suatu kata yang di dalam artinya mempunyai banyak ketentuan dan keadaan yang tidak memungkin untuk diketahui secara pasti kecuali yaitu dengan penjelasan yang lain (mubayyan).[24]
1.      Pembagian Mujmal
Mujmal terdiri dari beberapa macam atau jenis dilihat dari sebab kemujmalannya, diantaranya:
a.       Musytarak
Musytarak adalah lafal yang digunakan dua makna (arti) atau lebih, jika salah satu dari dua makna itu tidak cepat tertangkap dalam pikiran melebihi makna yang lain, maka lafal ini masih dikatakan mujmal. Contohnya, sebagaimana firman Allah dalam penentuannya membutuhkan sesuatu yang lain:
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ ...(228)
“Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri  atau menunggu tiga kali quru'”
Ayat di atas terdapat lafal atau kata القرء orang Arab menggunakan kata ini dengan arti suci terkadang juga haid. Seperti juga kata العين  yang bermakna penglihatan, juga terkadang bermakna mata air yang mengalir, emas dan lain sebagainya. [25]
b.      Dipalingkan ke makna bahasa syara’, contohnya yaitu kata sholat menurut bahasa artinya yaitu berdo’a dan kemudian dipalingkan kepada arti syara’ yang menjadi suatu perbuatan yang diawali dengan takbiratul ihram dan diakhiri salam. Contoh lagi adalah tentang puasa, puasa menurut bahsa yaitu menahan, kemudian dipalingkan artinya kepada syara’ yang bermakna menjadi mnahan diri dari sesuatu yang dapat membatalkan puasa bulan Ramadahan pada siang hari. 
c.       Lafal yang jarang digunakan atau maknanya asing ketika digunakan. Seperti lafal “الْقَارِعَةُ” dalam firman Allah SWT:
الْقَارِعَةُ (1) مَا الْقَارِعَةُ (2) وَمَا أَدْرَاكَ مَا الْقَارِعَةُ (3) يَوْمَ يَكُونُ النَّاسُ كَالْفَرَاشِ الْمَبْثُوثِ (4)
“hari kiamat. Apakah hari kiamat itu?. Tahukah kamu apkah hari kiamat itu?. Pada hari itu manusia seperti laron-laron yang berterbangan.” (QS. Al-Qari’ah: 1-4).
Dalam ayat di atas bahwa terdapat kata الْقَارِعَةُ” yang berarti hari kiamat. Menurut bahasa yang berarti “pengetu”, akan tetapi oleh syara’ diartikan menjadi “kiamat”. Kata الْقَارِعَةُ” menjadi asing karena jarang dipakai sehingga artinya tidak dikenali.[26]

E.  Mubayyan
1.    Pengertian
Mubayyan menurut bahasa berarti muzhhar (yang ditampakkan) dan mudhah (yang dijelaskan). Sedangkan menurut istilah yaitu
ما يفهم الكرد منه اما بأصل الوضع أو بعد التبيين
"Sesuatu yang bisa difahami maksudnya berdasarkan penggunaan sejak awal mula setelah adanya penjelasan".[27]
Atau ما له دلة واحد صحة  apa yang telah memiliki arti yang jelas dan terang.[28]
Dan dijelaskan lagi dalam buku ushul fiqih karangan Moh. Rifa'i yaitu
البيان إخراج الشيء من حيز الإشكال إلى حيز التجلى
"Bayan yaitu mengeluarkan sesuatu dari tempt sulit kepda tempat yang jelas".[29]
Al bayan yaitu mengeluarkan sesuatu dari lingkup kerumitan menuju kepda lingkup kejelasan.[30]
Dalam hikmatut Tisyri mubayyan merupakan suatu ucapan atau perkataan yang jelas, atau sudah tidak memerlukan penjelasan lagi. Dalam penjelasan ini dimaksudkan untuk memberikan petunjuk atau penjelas terhadap lafal yang mujmal yang belum dapat dipahamka dan yang berhak memberikan penjelasan ini adalah Syari'.[31]
2.      Sifat-Sifat Mubayyan
a.       Mubayyan najis (kuran), adalah penjelasan terhadap lafal mujmal yang tidak dapat menghilangkan ke mujmalannya secara sempurna. Seperti firman Allah SWT:
يَمْحَقُ اللَّهُ الرِّبَا وَيُرْبِي الصَّدَقَاتِ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ كَفَّارٍ أَثِيمٍ (276)
“Allah membinasakan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai orang yang masih dalam kafir, dan selalu melakukan dosa.” (QS. Al-Baqarah: 276)
Dalam ayat di atas ada lafal (الربو ) riba  yang menunjukkan lafal mujmal, dan kemudian Rasulullah memberikan penjelasan dari haditsnya yang artinya "Emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, padi dengan padi, garam dengan garam, kurma dengan kurma, dalam keadaan desimal sama banyak dan lagi kontan. Oleh sebab itu, berbeda jenis-jenis ini, jual lah sekehendakmu, bila dengan kontan." (HR. Muslim, Ahmad).
Dari penjelasan Rasulullah SAw itu masih belum sempurna dalam mencangkup seluruh yang mengenai riba. Lafal mujmal yang menerima penjelasan belum sempurna dan termasuk lafal musyrik. Kemudian untuk menghilangkan kemusykilannya yaitu dengan melakukan ijtihad. Ijtihad dalam riba yaitu dengan melakukan meng qiyas kan barang-barang yang bisa dimasukkan ke dalam hadits tersebut.
b.      Mubayyan Tamm (sempurna)
Mubayyan tamm adalah penjelasan terhadap lafal mujmal yang dapat menghilangkan seluruh ke mujmal annya. Seperti yang dijelaskan dalam firman Allah SWT
وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِينَ (43)
“Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku'lah beserta orang-orang yang ruku(QS. Al-Baqarah: 43)
Ayat di atas dijadikan bahwa terdapat lafal افدقيموا الصلواة (dirikanlah sholat) yang masih termasuk lafal mujmal. Kemudian Rasulullah memberikan penjelasan dengan haditsnya yaitu: "Sholatlah kalian seperti kalian sebagaimana kamu melihat aku sholat". (HR. Bukhori).
Dengan demikian dari penjelasan hadits Rasulullah itu perintah untuk melakukan sholat menjadi sempurna dan jelas dan mubayyan inilah yang disebut mubayyan tamm yang telah menyempurnakan isi al-Qur'an.[32]
3.      Macam-macam Bayyan
Ada macam lima macam bayan diantaranya:
1)      Bayan dengan Perkataan
Dijelaskan dalam firman Allah SWT QS. Al-Baqarah ayat 196:
فَصِيَامُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ فِي الْحَجِّ وَسَبْعَةٍ إِذَا رَجَعْتُمْ تِلْكَ عَشَرَةٌ كَامِلَةٌ... (196)
"Barang siapa yang tidak bisa membeli binatang kurban, hendaklah ia berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuan hari ketika kamu kembali, yang demikian itu sempurna sepuluh hari.”
Dalam bahasa Arab lafal tujuh hari sering dimaknai lebih dari tujuh hari. Maka dari itu Allah menjelaskan makna tujuh hari yang sebernarnya dijelaskan di dalam firman Allah menjelaskan yang sempurna sepuluh. Dalam penjelasan tujuh yang sebernanya dalam ayat di atas yaitu dengan ucapan.
2)      Bayan dengan Perbuatan
Dalam penjelasan Rasullah SAW mengenai tata cara sholat:
صَاُّوا كَمَا َرَأيْتُمُونِى ُاصَلِّي
"Sholatlah kalian sebagaimana kamu melihatku sholat" (HR. Bukhori)
Dalam penjelasan Nabi SAW diatas bahwa dengan perbuatan yang dilakukan Nabi SAW yaitu ketika beliau mengerjakan sholat sambil menyuruh orang menirunya. Oleh sebab itu, dari penjelasan tersebut dinamakan dengan Bayan fi’liyah atau perbuatan.
3)      Bayan dengan Isyarat
Sepeti contoh yaitu ketika Rasulullah SAW menjelaskan mengenai dengan jumlah hari di dalam satu bulan. Kemudian beliau menjelaskan kepada sahabat yakni dengan isyarat mengangkat kedua tangannya yang menunukkan jarinya ada sepuluh dengan tiga kali angkatan dan jika dijumlahkan menjadi 30 hari. Kemudian mengulanginya dengan mengurangi ibu jari di ketiga terakhir. Jadi, yang dimaksud oleh Nabi SAW yaitu dalam bulan di Arab terkadang 30 atau hanya 29 hari saja. Dari penjelasan tersebut dinamakan penjelasan atau Bayan isyarat.
4)      Bayan dengan Meninggalkan Sesuatu
Di jelaskan dalam hadits Ibnu Hibban diterangkan;
كَانَ اَخِرُالاَمْرَيْنِ مِنْهُ ص م عَدَمَ الوُضُوءُ مِمَّا مَسَّتِ اَلنَّارَ
"Salah satu dari dua perkara yang disampaikan Nabi SAW, Nabi tidak berwudhu dari sesuatu atau makanan yang dipanaskan dengan api.”
Dalam hadits di atas yaitu menjelaskan bahwa Rasulullah SAW itu tidak melakukan wudhu yang kedua kalinya setiap setelah memakan dagiang yang dimasak dengan api.
5)      Bayan dengan Diam
Seperti contoh di dalam penjelasan Nabi SAW ketika menjelaskan tentang kewajiban melakukan ibadah haji, kemudian terdapat seorang sahabt yang bertanya kepada Nabi SAW "Ya Rasulullah SAW, apakah (ibadah haji) dilakukan setiap tahun?.” Kemudian Nabi SAW tidak menjawab dan hanya diam. Dalam diamnya Nabi SAW itu dengan maksud menetapkan bahwa kewajiban melakukan ibadah haji tidak dikerjakan setiap tahun.[33]

F.   Penutup
Secara pengertian Mantuq adalah suatu hukum yang diterangkan oleh yang mana lafadz itu sesuai dengan bunyi lafadz itu sendiri, dan Mafhum adalah lafadz yang hukumnya tidak mempunyai kesamaan (kebalikannya) dengan bunyi kata tersebut. Sedangkan Mujmal adalah suatu lafadz atau kata yang tidak jelas, atau suatu kata yang di dalam artinya tersimpan banyak ketentuan dan keadaan yang tidak mungkin diketahui secara pasti kecuali dengan melalui penjelasan yang lain (mubayyan) dan mubayyan merupakan suatu perkataan yang jelas, atau sudah tidak memerlukan penjelasan lagi. Begitupula dalam pembagiannya dimana Mantuq ada dua macam yaitu: mantuq sharih dan mantuq ghairu sharih, sedangkan Mafhum terdapat dua macam diantaranya yaitu: mafhum muwafaqah dan mafhum muhallafah. Sedangkan Mujmal ada  tujuh yaitu: Musytarak, Murakkabat Muhtamillah, Marja'udh Dhampir, Lafal yang mengandung kemungkinan hakikat dan majaz, Lafal untuk apa lafal itu dibuat, orang yang mendengarkan dan perbuatan nabi yang tidak diketahui alasannya. Dan Mubayyan ada lima yaitu: bayan dengan perkataan, perbuatan, isyarat, meninggalkan sesuatu dan diam.

DAFTAR PUSTAKA

Amiruddin, Zen. 2009. Ushul Fiqih. Yogyakarta: Teras.
Efendi, Satria. 2005. Ushul Fiqih. Jakarta: Kencana.
Amiruddin, Zen. 2009. Ushul Fiqih. Yogyakarta: Sukses Offset
Hamsidar. 2014.  Urgensi Lafadz Al-Dalalah, jurnal Ekspose vol XXIII, No. 2.
Kartini. 2007. Mantuq dan Mafhum, Jurnal al-‘adl Vol. 10 No.20.
Khisni, A. 2012. Epistimologi Hukum Islam. Semarang: Unissula Press.
Marzuqi, Ahmad S. 208. Ushul Fiqih. Jogjakarta: Media Hidayah.
Muhammad Sulaiman Abdullah Al-Asyqar. al-Wadhih fi ushul Al-Fiqh li al-mubtadi’in ma’a as’ilatin lil munaqasyah wa tamrinat. Tej. Umar Mujtahid, Ushul Fiqih Tinggat Dasar. 2018. Jakarta: Ummur Qura.
Rifa’i, Mohammad. 1973. Ushul Fiqih. Bandung: PT Al-Ma’arif.
Syaifuddin, Amin. 2008. Ushul Fiqih Jilid 2. Jakarta: Kencana.
Tharaba, M. Fahim. 2016. Hikmatut Tasyri’ wa Hikmatuts Syar’i. Malang: Dream Litera Buana.
Zein, M Ma’shum. 2013. Menguasai Ilmu Ushul Fiqih. Yogyakarta: Pustaka Pesantren.

Catatan:
Makalah sudah bagus, similarity 5%.


[1] Kartini, Mantuq dan Mafhum, Jurnal al-‘adl Vol. 10 no. 20 juli 2007,  19.
[2] Satria Efendi, Ushul Fiqih, (Jakarta: Kencana, 2005), 210
[3] M Ma’shum Zein, Menguasai Ilmu Ushul Fiqih, (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2013), 353
[4] Zen Amiruddin, Ushul Fiqih, (Yogyakarta: Teras, 2009), 145
[5] A Khisni, Epistimologi Hukum Islam, (Semarang: Unissula Press, 2012), 102.
[6] M Ma’shum Zein, Menguasai Ilmu Ushul Fiqih, 353-354.
[7] Satria Efendi, Ushul Fiqih, 211-213.
[8] Ibid, 214
[9] Zen Amiruddin, Ushul Fiqih, 146
[10] M Ma’shum Zein, Menguasai Ilmu Ushul Fiqih, 355
[11] Ibid, 356
[12] Kartini, Mantuq dan Mafhum, Jurnal al-‘adl Vol. 10 no. 20 juli 2007, 22.
[13] Hamsidar, Urgensi Lafadz Al-Dalalah, jurnal Ekspose vol XXIII, No. 2, Desember 2014, 64
[14] M Ma’shum Zein, Menguasai Ilmu Ushul Fiqih, 357
[15]  Zen Amiruddin, Ushul Fiqih, 147.
[16] Ibid, 147
[17] Satria Efendi, Ushul Fiqih, 215.
[18] Zen Amiruddin, Ushul Fiqih, 148-151.
[19] Zen Amiruddin, Ushul Fiqih,151-154
[20] Ahmad S Marzuqi, Ushul Fiqih, (Jogjakarta: Media Hidayah, 2008),  74
[21] Muhammad Sulaiman Abdullah Al-Asyqar, al-Wadhih fi ushul Al-Fiqh li al-mubtadi’in ma’a as’ilatin lil munaqasyah wa tamrinat, tej. Umar Mujtahid, Ushul Fiqih Tinggat Dasar, (Jakarta: Ummur Qura, 2018), 221-222
[22] Moh. Rifa’i, Ushul Fiqih, (Bandung: PT Al-Ma’arif, 1973), 93
[23] Amin Syaifuddin, Ushul Fiqih Jilid 2, (Jakarta: Kencana, 2008), 23
[24] M. Fahim Tharaba, Hikmatut Tasyri’ wa Hikmatuts Syar’i, (Malang: Dream Litera Buana, 2016), 204
[25] Muhammad Sulaiman Abdullah Al-Asyqar, al-Wadhih fi ushul Al-Fiqh li al-mubtadi’in ma’a as’ilatin lil munaqasyah wa tamrinat, tej. Umar Mujtahid, Ushul Fiqih Tinggat Dasar, (Jakarta: Ummur Qura, 2018),  222
[26] M. Fahim Tharaba, Hikmatut Tasyri’ wa Hikmatuts Syar’I,  205
[27]  Ahmad S Marzuqi, Ushul Fiqih,  75
[28] Zen Amiruddin, Ushul Fiqih, (Yogyakarta: Sukses Offset, 2009), 154
[29] Moh. Rifa’i, Ushul Fiqih, hal. 94
[30] M. Sulaiman Abdullah Al-Asyqar, Ushul Fiqih Tingkat Dasar,  225
[31] M. Fahim Tharaba, Hikmatut Tasyri’ wa Hikmatuts Syar’i,  206
[32] M. Fahim Tharaba, Hikmatut Tasyri’ wa Hikmatuts Syar’i, 206-207
[33] Moh. Rifa’i, Ushul Fiqih, 95-96

Tidak ada komentar:

Posting Komentar