Senin, 22 April 2019

Ta'arudh dan Tarjih, al-Amr dan al-Nahy (PAI B Semester Genap 2018/2019)



TA’ARUDL TARJIH  DAN AL-AMRU AL-NAHYU

Oleh : Oki Aldrin Suwignyo(16110016)
A.    Hanif Zayyadi(15110238)
(Mahasiswa PAI UIN MALANG)
Okyaldrin3@gmail.com

Abstract
This article discusses Ta’arudl Tarjih and al-Amru al Nahyu. The purpose of this discussion is other than as a reference to know in depth as well as a process in knowing the procedures for knowing Islamic law, the Science of Usul Fiqh is actually a science that cannot be ignored by a mujtahid in an effort to explain Islamic texts, and in digging for laws that don't have texts. It is also a science that is needed for a judge in an effort to understand the material of the law perfectly, and in applying the law with a practice that can state justice and in accordance with the material meaning intended by the legislator (syari '). knowledge that is also needed by Fiqh scholars in conducting discussions, studies, analyzes and comparisons between schools and opinions. Besides that, Al-Amidi said: "There is no way to know the law of Allah Almighty except with the knowledge of ushul fiqh, from these problems".
Keywords: Ta’arudl Tarjih and al-Amru al Nahyu
Abstrak
Artikel ini membahas tentang Ta’arudl Tarjih dan al-Amru al Nahyu. Tujuan dalam pembahasan ini adalah selain sebagai acuan mengetahui secara mendalam juga sebagai suatu proses dalam mengetahui prosedur cara mengetahui hukum islam, Ilmu Ushul Fiqh sebenarnya merupakan suatu ilmu yang tidak bisa diabaikan oleh seorang mujtahid dalam upaya memberi penjelasan mengenai nash-nash syariat islam, dan dalam menggali hukum yag tidak memiliki nash. Juga merupakan suatu ilmu yang diperlukan bagi seorang hakim dalam usaha memahami materi undang-undang secara sempurna, dan dalam menerapkan undang-undang itu dengan praktik yang dapat menyatakan keadilan serta sesuai dengan makna materi yang dimaksud oelh pembuat hukum (syari’).Ia juga suatu ilmu yang juga diperlukan ulama Fiqh dalam melakukan pembahasan, pengkajian, penganalisaan dan perbandingan antara mazhab dan pendapat. Disamping itu, Al-Amidi mengatakan: “Tidak ada cara untuk mengetahui hukum Allah swt kecuali dengan ilmu ushul fiqh ini, dari permasalahan-permasalahan tersebut”.
Kata Kunci : Ta’arudl Tarjih dan al-Amru al Nahyu


A.    Pendahuluan
Ilmu usul fiqh merupakan salah satu instrumen penting yang harus dipenuhi oleh siapapun yang ingin menjalankan atau melakukan mekanisme ijtihad dan istinbath  hukum dalam Islam. Itulah sebabnya tidak mengherankan jika dalam pembahasan kriteria seorang mujtahid, penguasaan akan ilmu ini dimasukkan sebagai salah satu syarrat mutlaknya. Atau dengan kata lain, untuk menjaga agar proses ijtihad dan istinbath tetap berada dalam koridor yang semestinya.
Meskipun demikian, ada satu faktor yang tidak dapat dipungkiri bahwa penguasaan usul fiqh tidaklah serta merta menjamin kesatuan hasil ijtihad dan istinbath para mujtahid. Di samping faktor eksternal usul fiqh itu sendiri seperti penentuan keshahihan  suatu hadis misalnya. Sedangkan internal usul fiqh sendiri pada bagian masalahnya mengalami perdebatan di kalangan para ushuluyyin. Dan kemudian muncullah ilmu-ilmu seperti  tentang ta’arudh dan tarjih yang akan kami paparkan di makalah ini.
Makalah ini akan membahas persoalan-persoalan berupa pengertian ta’arudh dan tarjih,al-Amru dan al-Nahyu serta bentuk-bentuk ta’arudh dan tarjih,al-Amru dan al-Nahyu, syarat-syarat tarjih, serta contoh-contoh dan kaidah-kaidahnya.

A.        Pengertian Ta`arudh
Secara bahasa, kata ta`arudh berarti pertentangan antara satu dengan yang lain.[1] Wahbah al-Zuhaily tidak setuju terhadap pendapat sebagaian kalangan yang menyamakan antara ta`arudh dengan tanaqudh. Menurut Wahbah antara kedua istilah ini terdapat perbedaan. Tanaqudh membawa implikasi batalnya satu dari dua dalil. Sedangnkan ta`arudh hanya menghalangi berlaku hukum yang dimaksud suatu dalil tanpa menggugurkan keberadaan dalil tersebut.
Ada beberapa definisi ta`arudh al-adillah yang dikemukakan ahli ushul fiqh, diantaranya dikemukakan Khudhari Beik sebagai berikut :[2]
التعارضأنيقتضىكلمندليليينعدميقتضىالآخر
Ta`arudh adalah dalil yang menunjukkan suatu hukum yang bertentangan dengan dalil yang lain.
Definisi ta`arudh yang dikemukakan oleh Khudhari Beik ini sejalan dengan definisi yang dirumuskan Ali Hasbalah, yaitu :[3]
التعارضأنيقتضىالدليلينالمتساويينفىمرتبةالثبوتنقيضمايقتضيهالاخر
Ta`arudh adalah dua dalil yang sama tingkatnya menunjukan suatu hukum yang bertentangan dengan hukum yang dikandung dalil yang lain dalam kasus yang sama.
Dari kedua definisi ini diketahui bahwa pertentangan antara kedua dalil terjadi dalam bentuk lahirnya dari segi penilaian mujtahid yang mengamatinya. Misalnya, satu dalil yang secara lahir menunjukkan hukum wajib, dalil yang lain dalam kasus yang sama menunjukkan hukum haram.
Wahbah Zuhaili mendefiniskan ta`arudh al-adillah sebagai berikut :
التعارضهوأنيقتضىأحدالدليلحكمافىواقعهخلافمايقتضيهالدليلالاخرفيها
Ta`arudh adalah salah satu dari dua dalil yang menunjukkan pada hukum suatu peristiwa tertentu, sedangkan dalil lain menunjukkan hukum yang berbeda dengan itu.
Sedangkan Ibn Qudamah seperti yang dikutip Wahbah mengemukakan definisi ta`arudh al-adillah sebaiagai beirkut:[4]
التعارضهوعبارةعنتنافيالدلاليناوالأدلةبحسبالدلالةعلىوجهالتناقضاوالتضادبينهمافيمتنعاجتماعهماكأنيقضىأحدالدليلينالايحابوالاخرالتحريم
Ta`arudh adalah sesuatu ungkapan dipakai untuk saling meniadakan dua dalil atau beberapa dalil yang menunjukkan pertentangan yang sulit mengkompromikan antara keduanya. Misalnya antara dua dalil yangs satu menunjukkan hukum wajib sementara yang lain mmenunjukkan hukum haram.
[5]Menurut Abdul Karim Zaidan pada prinsipnya tidak mungkin terjadi pertentangan antara dalil-dalil syara`. Ta`arudh atau pertentangan antara dalil syara` hanya terjadi dalam pandangan mujtahid. Atas dasar ini dapat dipastikan bahwa ta`arudh hanya terjadi secara zahir, bukan secara hakiki dan yang demikian hanya dalam pandangan mujtahid. Kadangkala sebagian mujtahid menilai dalil bertentangan dengan dalil lain karena terkait dengan kekuatan pemahaman mujtahid bersangkutan tentang maksud yang dikandung suatu dalil.
Dengan demikian ta`arudh terjadi ketika mujtahid menetapkan hukum yang dikandung sebuah dalil, tetapi pada saat yang sama ada dalil yang menunjukkan pada hukum lain yang bertentangan dengan dalil pertama. Salah satu contoh dalam QS al-Baqarah : 240 dijelaskan tentang ketentuan iddah wanita yang ditinggal mati suami sebagai berikut :
وَالَّذِينَيُتَوَفَّوْنَمِنْكُمْوَيَذَرُونَأَزْوَاجًاوَصِيَّةًلِأَزْوَاجِهِمْمَتَاعًاإِلَىالْحَوْلِغَيْرَإِخْرَاج
Dan orang-orang yang yang akan meninggal dunia diantara kamu dan meninggalkan isteri, hendaklah berwasiat untuk isteri-isterinya, (yaitu) diberi nafkah hingga setahun lamanya dengan tidak disuruh pindah (dari rumahnya).
Ayat ini menjelaskan secara umum tentang iddah wanita yang ditinggal mati suaminya yaitu satu tahun. Ayat ini bertentangan secara zahir dengan QS al-Baqarah : 234
وَالَّذِينَيُتَوَفَّوْنَمِنْكُمْوَيَذَرُونَأَزْوَاجًايَتَرَبَّصْنَبِأَنْفُسِهِنَّأَرْبَعَةَأَشْهُرٍوَعَشْرًا
Orang-orang yang meninggal dunia diantara kamu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber`iddah) empat bulan sepuluh hari.
Dalam ayat terakhir ini Allah memegaskan bahwa iddah wanita yang ditinggal mati suaminya adalah 4 bulan 10 hari. Jadi terjadi pertentangan hukum yang dikandung antara kedua ayat tersebut.
Pertentangan juga terjadi antara QS al-Baqarah : 234 di atas dengan QS at-Talaq : 4
وَأُولَاتُالْأَحْمَالِأَجَلُهُنَّأَنْيَضَعْنَحَمْلَهُنَّ
Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya.
[6]Dalam ayat ini Allah menjelaskan bahwa iddah wanita yang hamil hingga melahirkan anaknya. Ayat ini tidak membedakan antara iddah wanita yang dicerai suaminya dan cerai karena meninggal dunia. Ayat ini menetapkan iddah wanita yang dicerai suami, baik cerai hidup maupun cerai mati sampai melahirkan anaknya. Ini tentu berbeda dengan hukum yang dikandung QS al-Baqarah : 234 yang menyatakan bahwa masa iddah wanita yang cerai karena meninggal dunia yaitu 4 bulan 10 hari.
Sehubungan dengan itu, ta`arudh al-adillah baru terjadi apabila kedua dalil yang bertentangan sama derajat atau tingkatannya. Persamaan derajat yang dimaksud adalah antara ayat dengan ayat atau hadis dengan hadis. Atas dasar ini, tidak dipandang sah pertentangan antara dalil qath`i dengan dalil zhanni. Begitu pula tidak dipandang sah pertentangan antara nash dengan ijma`, antara nash dengan qiyas. Hal ini disebabkan tidak terpenuhi ketentuan karena antara masing-masing dalil yang bertentangan berbeda tingkatannya. Untuk itu dalil yang kuat mengalahkan dalil yang lemah dan dalil yang zhanni dikalahkan oleh dalil yang qath`i.
Pertentangan antara dalil ini tidak hanya terjadi pada dalil-dalil yang bersifat zhanni dalalahnya, tetapi meliputi pula pertentangan antara dalil-dalil yang qath`i. Bahkan pertentangan dalil terjadi pula antara dalil naqli dengan aqli. Namun sebagian besar ulama berpendapat tidak mungkin terjadi pertentangan antara dua dalil qath`i karena keduanya memfaedahkan yakin sehingga tidak logis melakukan tarjih antara sesuatu yang mengfaedahkan yakin dengan yakin lainnya.
B.        Cara Penyelesaian Ta`arudh al-Adillah
Dalam mengahadapi ta`arudh al-adillah atau pertentang antara dua dalil secara zhahir dpat dilakukan dengan beberapa metode penyelesaian, yaitu :
1.         Naskh
Secara bahasa naskh mengandung dua pengertian, pertama naskh berarti penghapusan atau peniadaan. Kedua naskh berarti pemindahan dari suatu keadaan kepada keadaan lain. Hal ini sejalan dengan firman Allah Swt dalam QS al-Jasiyat: 29 yaitu :
إِنَّاكُنَّانَسْتَنْسِخُمَاكُنْتُمْتَعْمَلُونَ
Sesungguhnya Kami telah menyuruh mencatat atau memindahkan apa yang telah kamu kerjakan.
[7]Secara istilah ada dua definisi naskh yang dikemukakan para ahli ushul fiqh. Definisi pertama seperti yang diungkapkan oleh Wahbah al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami:
النسخهوبيانانتهاءأمدحكمبطشرعيمتراخعنه
Naskh adalah penjelasan berakhirnya masa berlaku suatu hukum melalui dalil syara` yang datang kemudian.
[8]Dari definisi ini dapat dipahami bahwa hukum yang dinaskh atau dihapus itu atas kehendak Allah dan penghapusan ini sebagai pertanda berakhir masa berlakunya hukum tersebut.
Definisi kedua seperti yang diungkapkan oleh Abd al-Karim Zaidan, al-Wajiz fi Ushul al-Fiqh yang menyatakan bahwa :
النسخهورفعحكمشرعيبدليلشرعيمتأخرمنه
Naskh adalah pembatalan hukum syara` yang telah ditetapkan terdahulu dengan dalil syara` yang datang kemudian.
Dari kedua dafinisi tersebut diatas dapat dipahami beberapa hal sebegai berikut :
a. Naskh atau pembatalan itu dilakukan dengan khitab atau tuntutan Allah. Atas dasar ini naskh tidak dapat dilakukan oleh selain Allah. Adapun perbuatan Nabi Saw yang kadangkala sebagai naskh sebenarnya hanya sebagai dalil yang menginformasikan tentang adanya tuntutan dari Allah untuk membatalkan suatu hukum. Khitab atau tuntutan naskh tidak dapat berasal dari Nabi karena beliau tidak memiliki kekuasaan untuk membatalkan hukum syara`.
b. Yang dibatalkan tersebut adalah hukum syara` yang mengandung perintah, larangan atau berita. Atas dasar ini pembatalan terhadap hukum yang didasarkan pada akal atau hukum yang didasarkan pada prinsip ibahah al-asliyah sebelum datang syara` dan hukum yang didasarkan pada adat istiadat tidak disebut sebagai naskh.
c.Hukum yang membatalkan hukum terdahulu datangnya kemudian. Hukum yang dibatalkan labih dahulu datangnya daripada hukum yang membatalkannya. Dengan demikian hukum yang berkaitan dengan istisna dan syarat tidak dapat disebut sebagai naskh.


2.         Pengertian Tarjih
[9]Secara bahasa tarjih berarti menguatkan. Kajian tentang tarjih erat kaitannya dengan adanya dua dalil yang bertentangan secara zhahir dan sederajat. Untuk menyelesaikan pertentangan itu digunakan cara al-jam`u wa al-taufiq. Apabila cara ini tidak dapat menyelesaikan pertentangan antara dalil tersebut digunakan cara tarjih. Dalil yang dikuatkan disebut rajih dan dalil yang dilemahkan disebut marjuh.
Secara terminologi ada sejumlah definisi tarjih yang dikemukakan oleh para ulama diantaranya seperti yang dikemukakan al-Amidi sebagai berikut :
عبارةعناقترادالصالحينلدلالةعلىالمطلوبمعتعارضهمابمايوجبالعملبهواهملالاخر
Ungkapan mengenai diiringi salah satu dari dua dalil yang pantas menunjukkan kepada apa yang dikehendaki di samping keduanya berbenturan yang mewajibkan untuk mengamalkan satu diantaranya dan meninggalkan yang lain.
Kalangan Hanafiyyah mendefinisikan tarjih sebagai berikut :
اظهارزيادةالأحدالمتماثلينعلىالاخربمالايستقل
Menjelaskan ada tambahan pada salah satu dari dua dalil yang sederajat, dimana dalil tambahan itu tidak berdiri sendiri.
[10]Dari definisi tersebut dapat dipahami bahwa dalil yang bertentangan itu mesti memiliki kualitas yang sama. Untuk itu al-Qur`an tidak dapat disebut rajih atau lebih kuat dari hadits ahad dan hadits ahad tidak dapat disebut rajih atau lebih kuat dari qiyas. Sebab al-Qur`an tidak sama kualitasnya dengan hadits ahad dengan qiyas. Disamping itu dalil yang menjadi pendukung dalil yang bertentangan itu tidak berdiri sendiri. Ia tidak terpisah dari dalil yang saling bertentangan.
Sedangkan kalangan Syafi`iyyah mendefinisikan tarjih sebagai berikut :
تقويةإحدالأمارتين (أىالدليلينالظنيين) علىالأخرىليعملبها
Menguatkan salah satu indikator dalil zhanni atas yang lain untuk diamalkan.
Definisi ini mengisyaratkan bahwa tarjih hanya dapat terjadi terhadap dua dalil zhanni yang saling bertentangan karena tarjih tidak berlaku dintara dalil yang qhat`i dengan zhanni.
Dari ketiga definisi tersebut dapat dirumuskan beberapa syarat tarjih, yaitu :
a. Ada dua dalil yang bertentangan dan tidak mungkin untuk mengamalkan keduanya melalui cara apapun.
b. Kedua dalil yang bertentangan itu memiliki kualitas yang sama untuk memberi petunjuk kepada yang dimaksud.
c. Ada indikator yang mendukung untuk mengamalkan salah satu diantara dua dalil yang bertentangan dan meninggalkan dalil yang satu lagi.
Para ulama Ushul Fiqh menyimpulkan ada dua cara dalam melakukan tarjih, Pertama al-tarjih bain al-nushush yaitu dengan menguatkan salah satu dari nash yang bertentangan dapat diamati dari beberapa segi yaitu segi sanad, segi matan, segi hukum yang dikandung nash, dan menggunakan dalil lain diluar nash. dan al-tarjih bain al-‘aqyisah yaitu dengan tarjih dari segi hukum asal, hukum furu`, illat, dan dari segi faktor luar.
3. Al-Jam`u wa al-Taufiq
Al-Jam`u wa al-Taufiq adalah menghubungkan dua dalil yang nampak bertentangan, sehingga keduanya bisa dipakai dan diamalkan dengan didapatkan makna yang berserasian.
4. Tasaqut al-Dalalain
Tasaqut al-Dalalain adalah upaya menangguhkan penyelesaian atau keputusan dari dua dalil yang tempak beralawanan karena sulit ditempuh dangan al-jam`u wa al-taufiq, tarjih, maupun naskh. Cara ini sebenarnya bukanlah penyelesaian tetapi penangguhan untuk sementara waktu, sementara belum didapatkan keterangan atau alasan-alasan lain yang menunjang atau menguatkan salah satunya.
C. Langkah Penyelesaian antara Hanafiyyah dan Syafi`iyyah
Dalam menghadapi pertentangan antara dua dalil secara zhahir perlu diambil cara penyelesaiannya sehingga dapat menghilangkan pertentangan tersebut. Dalam hal ini para ulama menggunakan dua metode, yaitu metode Hanafiyyah dan metode Syafi`iyyah.
1.      Metode Hanafiyyah
Ulama Hanafiyyah mengemukakan beberapa langkah yang ditempuh untuk menyelesaikan pertentangan antara dua nash atau dalil.
a.       Naskh
Metode ini mengkaji terlebih dahulu waktu turunnya nash atau dalil yang bertentangan tersebut. Apabila telah diketahui mana nash yang lebih dahulu turun dan yang kemudian turun, maka diterapkanlah metode Naskh. Dalil yang kemudian turun menaskh nash yang lebih dahulu turun. Dalam contoh pertentangan antara ayat diatas, maka berdasarkan penelitia bahwa QS al-Baqarah : 234 yang menyatakan iddah wanita yang dicerai karena meninggal dunia 4 bulan 10 hari turun kemudian QS al-Baqarah : 240 yang menyatakan iddah wanita yang dicerai suami karena meninggal dunia satu tahun. Jadi yang diambil dari pertentangan kedua dalil ini adalah iddah wanita yang cerai ditinggal mati suami 4 bulan 10 hari.
b.      Tarjih
Metode ini adalah dengan menguatkan satu dari dua dalil yang bertentangan dengan mempertimbangkan indikator yang mendukungnya. Metode ini baru digunakan apabila tidak diketahui sejarah yang menjelaskan perihal turunnya kedua dalil yang bertentangan. Tarjih dapat dilakukan dengan mempertimbangkan beberapa ketentuan seperti menguatkan muhkam dan mufassar, ibarat al-nash dari `isyarat al-nash, menguatkan dalil yang mengandung hukum mubah dan menguatkan hadits ahad yang perawinya lebih dhabit dan adil dari perawi yang kurang dhabit dan adil.
c.       Al-Jam`u wa al-Taufiq
Metode ini menghimpun kedua dalil yang bertentangan untuk kemudian dikompromikan. Metode ini digunakan apabila metode tarjih tidak dapat menyelesaikan pertentangan antara dalil. Hasil kompromi kedua dalil inilah yang diambil hukumnya. Hal ini sejalan dengan prinsip yang ditetapkan dalam kaidah fiqih :
العملبالدليلينالمتعارضيناولىمنإلغاءاحدهما
Mengamalkan dua dalil yang bertentangan lebih baik daripada meninggalkan atau mengabaikan dalil yang lain.
Ada beberapa contoh yang dapat dikemukakan dalam menerapkan al-Jam`u wa al-Taufiq. Dalam kehidupan sehari-hari sering orang mengeluarkan pernyataan yang bertentangan padahal berasal dari orang yang sama. Misalkan, seseorang mengatakan: berikanlah sedekahmu kepada para fakir miskin. Pada saat lain, orang tersebut berkata: jangan berikan sedekahmu kapada fakir miskin. Kedua ucapan tersebut bertentangan satu sama lain dalam pandangan orang yang mendengarnya. Kedua ucapan tersebut sulit diketahui mana yang dahulu dan kemudian. Namun, dengan menggunakan metode al-Jam`u wal al-Taufiq kedua ucapan tersebut yang bertentang dapat diselesaikan dengan mengkompromikannya. Perintah memberikan sedekah ditujukan kepada fakir miskin yang tidak meminta-minta. Sedangkan larangan memberi sedekah ditujukan untuk fakir miskin yang biasa meminta-minta.
Contoh lain, dapat diamati dari hadits Nabi Saw, berikut :
أَلَاأُخْبِرُكُمْبِخِيْرِالشُّهَدَاءِ؟هُوَالَّذِىيَأْتِىبِالشَّهَادَةِقَبْلَأنيَسْأَلهَا
Bukanlah saya telah beritahukan kepadamu tentang sebaik-baik saksi? Yaitu orang yang memberikan kesaksian sebelum ia diminta kesaksian tersebut kepadanya (HR. Muslim)
Hadits ini menjelaskan bahwa kesaksian yang paling baik, yaitu kesaksian yang diberikan oleh seseorang sebelum diminta memberikannya di depan peradilan. Hadits ini merupakan dorongan bagi seseorang untuk memberikan kesaksian terhadap kasus yang diketahuinya, baik yang menyangkut hak Allah maupun hak manusia.
Dalam hadits lain, Nabi Saw menyatakan :
إِنَّخَيْرَكُمْقَرْنِىثُمَّالَّذِيْنَيَلُوْنَهَاثُمَّالَّذِيْنَيَلُوْنَهَاثُمَّيَكُوْنُبَعْدَهُمْقَوْمٌيَشْهَدُوْنَوَلَايَسْتَشْهَدُوْنَوَيَخُوْنُوْنَوَلَايُؤْتَمَنُوْنَ
Sebaik-baik generasi adalah generasiku kemudian generasi sesudahnya, kemudian generasi sesudahnya pula, setelah itu orang-orang akan memberikan kesaksian di depan hakim tanpa diminta sedangkan mereka tidak mengetahui peristiwa itu, mereka berkhianat dan tidak dapat dipercaya (HR. Ahmad)
Hadits ini menginformasikan bahwa jauh sesudah generasi Nabi Saw muncul orang-orang yang menjadi saksi dalam suatu perkara, dimana mereka sebenarnya tidak menyaksikan perkara yang dihadapinya.
Untuk menyelesaikan pertentangan antara kedua hadits ini dapat digunakan metode al-jam`u wa al-taufiq. Melalui metode ini ditetapkan bahwa hadits pertama ditujukan untuk kesaksian dalam kasus-kasus yang berakaitan dengan hak Allah dan kesaksian pada hadits yang kedua dimaksudkan untuk kasus-kasus yang berkaitan dengan hak manusia.
Contoh lain dapat diambil dari firman Allah Swt QS al-Baqarah: 234
وَالَّذِينَيُتَوَفَّوْنَمِنْكُمْوَيَذَرُونَأَزْوَاجًايَتَرَبَّصْنَبِأَنْفُسِهِنَّأَرْبَعَةَأَشْهُرٍوَعَشْرًا
Orang-orang yang meninggal dunia diantara kamu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber`iddah) empat bulan sepuluh hari.
[11]Ayat ini menunjukkan pengertian umum, dimana berlaku ketentuan iddah bagi semua wanita yang ditalak suaminya, baik setelah melakukan hubungan suami istri atau sebelumnya. Ayat ini bertentangan secara lahir dengan firman Allah QS al-Ahzab : 49 yaitu :
يَاأَيُّهَاالَّذِينَآَمَنُواإِذَانَكَحْتُمُالْمُؤْمِنَاتِثُمَّطَلَّقْتُمُوهُنَّمِنْقَبْلِأَنْتَمَسُّوهُنَّفَمَالَكُمْعَلَيْهِنَّمِنْعِدَّةٍتَعْتَدُّونَهَافَمَتِّعُوهُنَّوَسَرِّحُوهُنَّسَرَاحًاجَمِيلًا
Hai orang-orang yang beriman apabila kamu menikahi perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya maka sekali-kali tidak wajib atas mereka iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya. Maka berilah mereka mut`ah dan lepaskanlah mereka itu dengan cara sebaik-baiknya.
Adapun cara penyelesaian kedua ayat yang bertentangan tersebut adalah dengan mengkompromikan antara keduanya. QS al-Baqarah : 234 ditujukan untuk wanita yang bercampur dengan suaminya. Sedangkan QS al-Ahzab : 49 diberlakukan untuk wanita yang ditalak sebelum bercampur dengan suaminya.
d.      Tasaqut al-Dalalain
Metode ini adalah menggugurkan kedua dalil yang bertentangan. Metode ini digunakan ketika metode sebelumnya tidak dapat menyelesaikan pertentangan antara dalil tersebut. Dengan menggunakan metode ini berarti menggugurkan kedua dalil yang bertentangan dan mencari dalil lain yang secara kualitas berada di bawah dalil yang bertentangan itu.
Dengan metode ini apabila ada pertentang dalam al-Qur`an dengan ayat al-Qur`an lalu antara keduanya tidak bisa dinaskh atau ditarjih atau dikompromikan maka boleh beralih kepada dalil yang kualitasnya di bawah al-Qur`an yaitu hadits. Apabila pertentangan antara hadits dengan hadits maka dapat beralih mengambil pendapat sahabat atau menggunakan qiyas bagi yang tidak memakai pendapat sebagai dalil.
Adapun contoh penggunaan metode yang keempat ini dapat diamati dari kaifiyat shalat khusuf. Dalam hadits dijelaskan tata cara shalat khusuf sebagai berikut :
أَنَّالنَّبِيَّصَلَّىاللهُعَلَيْهِوَسَلَّمَصَلَّىصَلَاةَاْلكُسُوْفِكَماَتُصَلُّوْنَرَكْعَةًوَسَجْدَتَيْنِ
Bahwa Nabi Saw, melakukan shalat khusuf sebagaimana kamu melakukan shalat sunat biasa, yaitu satu rakaat dengan dua kali sujud (HR. Abu Daud dan Nasa`i)
Dalam hadits lain dicontohkan Nabi Saw melalui sunnah fi`liyah tentang cara shalat khusuf sebagai berikut :
أَنَّالرَّسُوْلَصَلَّاهَارَكْعَتَيْنِبِأَرْبَعَةِرُكُوْعَاتٍوَأَرْبَعَسَجَدَاتٍ
Bahwa Rasulullah Saw melakukan shalat khusuf dua rakaat dengan empat kali ruku` dan empat kali sujud (HR. Imam yang enam)
Hadits pertama tentang khusuf ini menjelaskan tata cara shalat tersebut dengan satu kali ruku` dan satu kali berdiri untuk setiap rakaat seperti shalat biasa. Sementara hadits kedua menjelaskan bahwa shalat khusuf dilakukan dengan dua kali ruku` dan dua kali berdiri untuk setiap rakaatnya. Dalam kasus ini tidak ada merajjih (menguatkan) salah satu dari kedua hadits ini. Kalangan Hanafiyyah tidak menggunakan kedua hadits ini tetapi menggunakan qiyas untuk menetapkan tata cara shalat khusuf. Mereka mengqiyaskan pelaksanaan shalat khusuf kepada shalat-shalat lainnya.
Apabila dalil yang bertentangan itu bukan nash, seperti qiyas dengan qiyas, maka harus melakukan tarjih dengan salah satu dari tingkatan qiyas. Misalnya melakukan tarjih dengan menguatkan illat yang manshusah (terdapat dalam nash) dari illat yang diistinbathkan dengan cara memperhatikan kesamaan dengan illat yang terdapat pada nash.
2.      Metode Syafi`iyyah
Ulama Syafi`iyyah dalam menyelesaikan pertentangan antara dalil-dalil menggnakan beberapa metode, metode tersebut juga digunakan oleh ulama Malikiyyah, Hanabilah, dan Zahiriyyah.
a.         Al-Jam`u wa al-Taufiq
Menurut Syafi`iyyah, Malikiyyah, dan Zahiriyyah bahwa metode pertama yang harus digunakan dalam dalam menyelesaikan dalil-dalil yang bertentangan adalah dengan menghimpun dan mengkompromikan antara dalil-dalil tersebut, meskipun hanya dilakukan dari satu sisi. Mereka beralasan pada prinsipnya dalil itu harus diamalkan bukan untuk diabaikan.
Untuk menggunakan dalil-dalil yang bertentangan dapat dilaksanakan dengan tiga langkah berikut:
1. Adakalanya hukum kedua dalil yang bertentangan dapat dibagi, maka boleh dilakukan pembagian secara baik. Ini sangat mungkin terjadi pada kasus dua orang yang memberikan pengakuan tentang kepemilikan keduanya terhadap sebuah rumah. Pernyataan masing-masing tentang kepemilikan terhadap rumah itu meniadakan kepemilikan yang lain terhadap rumah tersebut. Pernyataan masing-masing pihak jelas bertentangan dan sulit untuk menyelesaikan dengan mengkompromikan antara kedua pernyataan tersebut. Namun, mengkompromikan kedua pernyataan itu dari salah satu sisi dapat dilakukan dengan jalan membagi rumah menjadi dua bagian.
2. Adakalanya hukum dari dalil yang bertentangan merupakan sesuatu yang berbilang sehingga memungkinkan lahir hukum yang banyak. Dalam keadaan seperti ini sangat mungkin mengamalkan kedua dalil yang bertentangan itu.
3. Adakalanya hukum yang terdapat dalam dua dalil yang bertentangan bersifat umum yang terkait dengan sejumlah hukum lain, sehingga memungkinkan menggunakan kedua dalil yang bertentangan. Untuk maksud tersebut dihubungnkan hukum salah satu dari dua dalil yang bertentangan
b. Tarjih
Menggunakan tarjih yaitu menguatkan satu dari dua dalil yang bertentangan karena ada indikator yang mendukungnya. Metode ini digunakan manakala pengkompromian antara dalil yang bertentangan tidak dapat dilakukan. Upaya mentarjih ini dapat dengan empat cara, yaitu mentarjih dari sisi sanad, mentarjih dari sisi matan, mentarjih dari sisi hukum dan mentarjih dari sisi lain diluar nash. Mentarjih dari sisi sanad adalah khusus untuk menyelesaikan pertentangan dalil yang terjadi pada sunah atau hadits. Sementara cara tarjih yang lainnya dapat digunakan untuk mengatasi pertentangan dalil yang terjadi pada al-Qur`an, Sunnah, dan Ijma`.
c. Naskh
Naskh dengan membatalkan hukum syara` yang datang lebih dahulu dengan hukum syara` yang sama yang datang kemudian. Metode digunakan ketika kedua metode sbelumnya tidak dapat menyelesaikan pertentangan antara dua dalil. Metode dapat digunakan apabila diketahui kedua dalil yang bertentangan dapat diketahui mana dalil yang lebih dahulu datang dan mana dalil yang datang kemudian. Dalil yang datang kemudian yang diambil dan diamalkan, seperti hadits Nabi Saw :
كُنْتُنَهَيْتُكُمْعَنِادِّخَارِلُحُوْمِاْلأَضَاحِىفَوْقَثَلَاثَةِأَيَّامٍفَالآنَفَكُلُوْاوَادَّخِرُوا
Artinya : Aku pernah melarang kamu menyimpan daging kurban melebihi kebutuhan tiga hari, maka sekarang makan dan simpanlah (HR. Ibnu Majah)
Dari hadits ini dapat dipahami bahwa larangan menyimpan daging kurban melebihi kebutuhan tiga hari merupakan hukum yang pertama datang dan kebolehan menyimpan daging kurban melebihi kebutuhan tiga hari merupakan hukum yang datang kemudian.
e.       Tasaqut al-Dalalain
Tasaqut al-Dalalain, yaitu mengabaikan kedua dalil yang bertentangan dan beralih mencarai dalil lain, meskipun kualitasnya lebih rendah. Kalangan Syafi`iyyah, Malikiyyah, Hanabilah, dan Zahiriyyah menggunakan metode Tasaqut al-Dalalain apabila ketiga cara sebelumnya tidak dapat menyelesaikan pertentangan dua dalil tersebut.

A.    Pengertian Al-Amru
Menurut bahasa, amar berarti suruhan, perintah, sedangkan menurut istilah adalah: الأَمْرُ : طَلَبُالفِعْـلِمِنَاْلأَعْلَىإلىَاْلأَدْنَى “Al-Amru ialah tuntutan melakukan pekerjaan dari yang lebih tinggi kepada yang lebih rendah” Yang lebih tinggi kedudukannya adalah Syaari’ (Allah Swt atau Rasul-Nya) dan kedudukan yang lebih rendah adalah mukallaf. Jadi amar adalah perintah Allah atau Rasulnya kepada mukallaf untuk melakukan suatu pekerjaan. b. Bentuk Lafadh Amar
1. Fi’il Amar Contoh : وَأَقِيمُواالصَّلَاةَوَآتُواالزَّكَاةَوَارْكَعُوامَعَالرَّاكِعِينَ “Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat dan rukuklah bersama orang-orang yang rukuk.” (QS. Al-Baqarah : 43)
2. Fi’il Mudhari’ yang didahului dengan huruf lam amar : Contoh : وَلْتَكُنْمِنْكُمْأُمَّةٌيَدْعُونَإِلَىالْخَيْرِوَيَأْمُرُونَبِالْمَعْرُوفِوَيَنْهَوْنَعَنِالْمُنْكَرِوَأُولَئِكَهُمُالْمُفْلِحُونَ “Dan hendaklah diantara kamu yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar.…” (QS. Ali Imron : 104)
3. Isim Fi’il Amar Contoh : ياأَيُّهَاالَّذِينَآمَنُواعَلَيْكُمْأَنْفُسَكُمْلَايَضُرُّكُمْمَنْضَلَّإِذَااهْتَدَيْتُمْ “Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu; tiadalah orang yang sesat itu akan memberi mudharat kepadamu apabila kamu telah mendapat petunjuk… (QS. Maidah :105)
4. Isim Masdar pengganti fi’il Misalnya kata :    إحْسَانًا  (berbuat baiklah) Contoh : وَبِالْوَالِدَيْنِإِحْسَانًا “Dan kepada kedua orang tuamu berbuat baiklah.” (QS. Al Baqarah : 83)
5. Kalimat berita (kalam khabar) bermakna Insya (perintah) Contoh : وَاْلمُطَلَّـقَاتُيَتَرَبَصْنَبِاَنْفُسِهِنَّثَلاَثَةَقُرُوْءٍ “Hendaklah menahan dirinya.” (QS. Al Baqarah  : 228)
6. Fi’il madhi atau mudhori’ yang mengandung arti perintah أَمَرَ،فَرَض،كَتَبَ،وَجَبَ Contoh : يَاأَيُّهَاالَّذِينَآمَنُواكُتِبَعَلَيْكُمُالصِّيَامُكَمَاكُتِبَعَلَىالَّذِينَمِنْقَبْلِكُمْلَعَلَّكُمْتَتَّقُوْنَ “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan kepadamu berpuasa, sebagaimana diwajibkan kepada orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertakwa.” (QS Al Baqara : 183)
c. Kaidah Amar
1. Amr Menunjukkan Kepada Wajib. اَلأَصْلُفِىاْلأَمْرِلِلْوُجُوْبِ “Pada asalnya Amar itu menunjukkan wajib” Hal ini menunjukkan menurut akal dan naqli. Menurut akal adalah orang-orang yang tidak mematuhi perintah dinamakan orang yang ingkar, sedangkan menurut naqal, seperti firman Allah Swt.[12]
فَلْيَحْذَرِالَّذِينَيُخَالِفُونَعَنْأَمْرِهِأَنْتُصِيبَهُمْفِتْنَةٌأَوْيُصِيبَهُمْعَذَابٌأَلِيمٌ
“Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih.” (QS. An-Nur (24): 63)
Misalnya:
perintah puasa. ياايهاالذينامنراكتبعليكمالصيام (البقرة :۱۸۳
3.      Amr Menunjukkan Kepada Sunnah. اَلأَصْلُفِىاْلأَمْـرِلِلنَّدْبِ “Pada asalnya Amar itu menunjukkan nadab (sunnah)” Contoh: firman Allah Swt:
4.      فكاتبوهمإنعلمتمفيهمخيرا artinya: “Hendaklah kamu buat perjanjian dengan mereka, jika kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka”.
5.      (QS. 24:33) Amar juga dapat digunakan antara lain: a). Untuk do’a,     ربناآتنافىالدنياحسـنةوفىالأخرةحسنة b). Untuk penghormatan,    أدْخُـلُوْهَابِسَـلاَمٍأَمِنِيْنَ (الحجر : 46 c). Untuk petunjuk, اِذَاتَدَايَنْتُمْبِدَيْنٍإِلىَأَجَلٍمُسَمَّىفَاكْتُبُوْهُ (البقرة: 282 d). Untuk ancaman,  إعْمَــلُوْامَاشِــئْتُمْ (فصلت: 40 e) untuk petunjuk f).Ta’jiz  (للتعجيز   ) artinya melemahkan’ Contoh : فَأْتُوابِسُورَةٍمِنْمِثْلِهِ Artinya : ”Buatlah satu surat (saja) yang semisal dengan al-Qur’an itu.” (QS.al-Baqarah :23) g). Ikram (  للاكرام  ) artinya menghormat. Contoh : ادخلوهابسلامامنين (الحجر :٤٦  Artinya :”Masuklah ke dalamnya (syurga) dengan sejahtera dan aman.”(QS.al-Hijr z: 46) H. Tafwidl (للتفويض    ) artinya menyerah. Contoh : فَاقْضِمَاأَنْتَقَاضٍ                                                         Artinya : “Putuskanlah apa yang hendak kamu putuskan.” (QS. Thaha: 72) I. Talhif (  للتلهيف  ) artinya menyesal. Contoh : قُلْمُوتُوابِغَيْظِكُمْ Artinya :”Katakanlah (kepada mereka) “Matilah kamu karena kemarahanmu itu.” (QS. Ali Imran:119) J. Tahyir ( للتخيير  ) artinya memilih. Contoh : منشاءفليبخلومنشاءفليجدكفانىنذاكمعنجميعالخطاب  Artinya :”Barang siapa kikir,kikirlah, siapa mau bermurah hati, perbuatlah.Pemberian tuhan mencukupi kebutuhan saya.” (Syair Bukhaturi kepada Raja) K. Taswiyah (  التسوية ) artinya persamaan. Contoh : ادخلوهافاصبروااولاتصبروا (طه :۱٦ Artinya :”Masuklah ke dalamnya (neraka) maka boleh kamu sabar dan boleh kamu tidak sabar, itu semua sama saja bagimu.” (QS. Thaha: 16)

3. Amr tidak Menunjukkan untuk Berulang-ulang. اَلأَصْلُفِىاْلأَمْرِلاَيَقْتَضِىالتَّكْرَارَ “Perintah itu pada asalnya tidak menghendaki pengulangan” Amar tidak menghendaki kepada yang berulang-ulang, tapi hanya menghendaki hasilnya/ mengerjakan satu kali. Seperti firman Allah Swt. وَأَتِمُّواالْحَجَّوَالْعُمْرَةَلِلَّهِ “ dan sempurnakanlah ibadah haji dan 'umrah karena Allah.” (QS. Al Baqarah : 196) Misalnya : وانكنتمجنبافاطهروا (المئده :٦ ”Jika kamu berjunub maka mandilah.” (QS. Al-Maidah: 6) اقمالصلاةلدلوكالشمس (الاسراء :۷۸ “Kerjakanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir.”(QS. Al-Isra’ :78) 4. Amr tidak Menunjukkan untuk Bersegera. اَلأصْلُفِىاْلأَمْرِلاَيَقْتَضِىاْلفَوْرَ “Perintah pada asalnya tidak menghendaki kesegeraan”. Jadi Amr (perintah) itu boleh ditangguhkan pelaksanaannya sampai akhir waktu yang telah ditentukan. Misalnya : فمنكانمنكممريضااوعلىسفرفعدةمناياماخر(البقرة :۱۸۳ “Barang siapa di antara kamu ada yang sakit atau sedang dalam bepergian jauh, hendaklah mengqadla puasa itu pada hari yang lain.”(QS.al-Baqarah : 183)                               
   5. Amr dengan Wasilah-Wasilahnya. اَلاْمْرُبِالشَّئْأَمْرٌبِوَسَائِلِهِ “Perintah mengerjakan sesuatu berarti juga perintah mengerjakan wasilahnya”. Perintah mendirikan shalat berarti juga perintah untuk berwudlu, sebagai wasilah (jalan kepada) sahnya shalat. 6. Amr yang Menunjukkan Kepada Larangan. اَلاْمْربِالشَّئْنَهْيٌعَنْضِدِّهِ “Perintah mengerjakan sesuatu berarti larangan terhadap kebalikannya”. Maksudnya, jika seseorang disuruh mengerjakan suatu perbuatan, mestinya dia meninggalkan segala kebalikannya. Misalnya, disuruh beriman, berarti dilarang kufur. 7. Amr menurut Masanya.
اِذَافُعِلَاْلمَأْمُوْرُبِهِعَلَىوَجْهِهِيَخْرُجُاْلمَأْمُوْرُعَنْعَهْدَةِاْلاَمْرِ
 “Apabila dikerjakan yang diperintahkan itu menurut caranya, terlepas dia dari masa perintah itu”. Misal: Seseorang yang telah melaksanakan suatu perintah dengan sempurna pada masanya, maka terlepas dia dari tuntutan pada masa itu. seperti keadaan musafir yang tidak memperoleh air untuk berwudhu, hendaklah dia bertayamum sebagai pengganti wudhu.
8. Qadha dengan Perintah yang Baru. اَلْقَضَاءُبِأَمْرٍجَدِيْدًا “Qadha itu dengan perintah yang baru”. Maksudnya, suatu perbuatan yang tidak dapat dilaksanakan pada waktunya harus dikerjakan pada waktu yang lain (qadla’).
 Pelaksanaan perintah bukan pada waktunya ini berdasarkan pada perintah baru, bukan perintah yang lama. Misalnya: qadla’ puasa bagi yang mengalami udzur syar’i pada bulan ramadhan, tidak dikerjakan berdasarkan ayat : كتبعليكمالصيام ... tetapi berdasarkan pada perintah baru, yaitu firman Allah Swt :  ... فعـدةمناياماخر  9. Martabat Amr. اَلْاَمْرُاْلمُتَعَلَّقُعَلَىاْلاِسْمِيَقْتَضِاْلاِقْتِصَارُعَلىَاَوَّلِهِ
 “Jika berhubungan dengan nama (isim) adalah menghendaki akan tersimpannya pada permulaan.” Sependek-pendek masa amr, apabila dihubungkan dengan hukum menurut pengertian keseluruhannya dalam bentuk yang berlainan tentang tinggi dan rendah, dipendekkan hukum itu menurut sekurang-kurangnya martabatnya untuk melaksanakan perintah itu. Misalnya: “Perintah melakukan tuma’ninah dalam shalat, dan perintah memerdekakan seorang budak, tidak memandang harga tapi memandang martabatnya”
. 10. Amr sesudah Larangan. اَلْاَمْرُبَعْدَاْلنَهْيِيُفِيْدُاْلإِبَاحَةَ “Perintah sesudah larangan menunjukkan kebolehan.” Misalnya : كنتنهيتكمعنزيارةالقبورالافزوروها (رواهمسلم “Dahulu aku melarang kamu menziarahi kubur, sekarang berziarahlah.” (HR.Muslim) اذاحللتمفاصطادوا (المئدة :۲ “Dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, berburulah.” (QS.al-Maidah :
2) Berdasarkan dua uraian tersebur, dapat dijelaskan bahwa perintah setelah larangan itu hukumnya mubah tidak wajib, seperti berziarah kubur dan berburu setelah haji. Perbuatan yang lebih mudah dimengerti ialah perbuatan yang diperbolehkan, seperti pada awalnya Nabi melarang menziarahi kubur, maka sekarang diperbolehkan. Kalimat amr ini tidak menunjukkan kewajiban tetapi menunjukkan hukum boleh (ibahah), sabda Nabi Saw : عَنْعَبْدِاللَّهِبْنِبُرَيْدَةَعَنْأَبِيهِقَالَقَالَرَسُولُاللَّهِصَلَّىاللَّهُعَلَيْهِوَسَلَّمَنَهَيْتُكُمْعَنْزِيَارَةِالْقُبُورِفَزُورُوهَا
Abdullah bin Buraidah dari ayahnya dia berkata, "Rasulullah Saw bersabda: "Aku pernah melarang kalian berziarah kubur, sekarang berziarahlah." (HR. Muslim)

.    Pengertian Nahyu
[13]Secara etimologi, al-Nahyu  berasal dari bahasa arab (النهي ) yang artinya mencegah atau melarang.
Adapun menurut syara’ ialah:   طلبالتركمنالاعلىالىالادنى  “Memerintah meninggalkan sesuatu dari orang yang lebih tinggi tingkatannya kepada orang yang lebih rendah tingkatannya”
Menurut ulama ushul, definisi nahyu adalah kebalikan dari amr, yakni lafaz yang menunjukkan tuntutan untuk meninggalkan sesuatu dari atasan kepada bawahan.
B.  Shighat al-Nahyu
[14]Shighat al-Nahyu merupakan tuntutan yang berisi larangan, maka bagian ini akan diuraikan berbagai macam shighat al-Nahi.Adapun bentuk shighat al-Nahi itu adalah:
1. Fi’il Mudhari’ yang dihubungkan dengan لاناهيه yaitu yang menunjukkan larangan atau menyatakan tidak boleh melakukan perbuatan.sebagaimana firman Allah dalam surat Al-An’am ayat 152:
وَلَاتَقْرَبُوامَالَالْيَتِيمِإِلَّابِالَّتِيهِيَأَحْسَنُحَتَّىٰيَبْلُغَأَشُدَّهُ ۖ
 “Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat, hingga sampai ia dewasa”.
2. Kata yang berbentuk perintah untuk meninggalkan suatu perbuatan.Sebagaimana firman Allah dalam Q.S. al-Hajj:30
فَاجْتَنِبُواالرِّجْسَمِنَالْأَوْثَانِوَاجْتَنِبُواقَوْلَالزُّورِ
Maka jauhilah olehmu berhala-berhala yang najis itu dan jauhilah perkataan-perkataan dusta.”(Q.S.al-Hajj:30)
3.  Menggunakan kata (نهي) itu sendiri dalam kalimat.sebagaimana dalam firman Allah
إِنَّاللَّهَيَأْمُرُبِالْعَدْلِوَالْإِحْسَانِوَإِيتَاءِذِيالْقُرْبَىٰوَيَنْهَىٰعَنِالْفَحْشَاءِوَالْمُنْكَرِوَالْبَغْيِ ۚ يَعِظُكُمْلَعَلَّكُمْتَذَكَّرُونَ.
 “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.”(QS.al-Nahl: 90)[15]
4. Jumlah Khabariyah, yaitu kalimat berita yang digunakan untuk menunjukkan larangan dengan cara pengharaman sesuatu atau menyatakan tidak halalnya sesuatu.
يَاأَيُّهَاالَّذِينَآمَنُوالَايَحِلُّلَكُمْأَنْتَرِثُواالنِّسَاءَكَرْهًا
Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa”( Q.S. an-Nisa’ : 19)
[16]Dari keempat macam bentuk yang telah disebutkan di atas, merupakan shighat al-Nahyu yang dapat digolongkan kepada larangan.Akan tetapi, menurut Mustafa Said al-Khin,bahwa shighat al-Nahyu yang sebenarnya adalah fi’il mudhari’, yang dimasuki atau yang dihubungkan dengan ( لاناهيه).
Pada dasarnya,terdapat keempat shighat al-Nahyu yang telah disebutkan di atas tidak terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama ushul fiqih.
C.    Macam-macam Makna Nahyu
Nahyu pada dasarnya ialah untuk menunjukkan haram, tetapi dalam pemakaian bahasa arab, kadang-kadang bentuk nahi di gunakan untuk beberapa arti(maksud) yang bukan asli, yang maksudnya dapat di ketahui dari susunan perkataan itu, yang antara lain:
a.      Untuk menunjukkan makruh  للكراهة
لاتصلوافياعطانالابل
Artinya: “janganlah mengerjakan shalat di tempat peristirahatan unta” (H.R. Ahmad dan Turmidzi).
Larangan dalam hadits tersebut di atas untuk menunjukkan makruh, karena kurang bersih, walaupun suci.
b.      Untuk do’a  للدعاء
رَبَّنَالَاتُؤَاخِذْنَاإِنْنَسِينَاأَوْأَخْطَأْنَا
Artinya: “Ya Tuhan kami! janganlah engkau hukum kami jika kami lupa atau kami bersalah.”(QS. Al-Baqarah: 386)
Perkataan “janganlah engkau hukum kami....” bukan menunjukkan larangan, sebab manusia tidak berhak melarang Tuhan, karena manusia di bawah kekuasaan-Nya, tetapi perkataan itu menunjukkan permohonan sebagai do’a kepada Allah SWT.
c.       Untuk memberikan pelajaran للارشاد
يَاأَيُّهَاالَّذِينَآمَنُوالَاتَسْأَلُواعَنْأَشْيَاءَإِنْتُبْدَلَكُمْتَسُؤْكُمْوَإِنْتَسْأَلُواعَنْهَاحِينَيُنَزَّلُالْقُرْآنُتُبْدَلَكُمْعَفَااللَّهُعَنْهَاوَاللَّهُغَفُورٌحَلِيمٌ
Artinya: “jangan lah kamu menanyakan (kepada nabimu) hal-hal yang jika di terangkan kepadamu niscaya menyusahkan kamu” (QS. Al-maidah: 101).[17]
Larangan ini sebagai pelajaran, agar kita jangan selalu menanyakan sesuatu yang akan merugikan diri kita sendiri, terutama hal-hal yang  menyangkut perhubungan antar manusia.
d.      Untuk memutus-asakan للتيئيس
يَاأَيُّهَاالَّذِينَكَفَرُوالَاتَعْتَذِرُواالْيَوْمَإِنَّمَاتُجْزَوْنَمَاكُنْتُمْتَعْمَلُونَ
Artinya: “janganlah engkau membela diri pada hari ini (hari kiamat)” (QS. At-Tahrim: 07)
Untuk memutus-asakan mereka, bahwa pada hari kiamat tidak ada gunanya lagi mengadakan pembelaan; tidak dapat di harapkan lagi untuk memperoleh ampunan karena pada hari kiamat pintu taubat sudah di tutup.
e.       Untuk menghibur   للائتناس
لَاتَحْزَنْإِنَّاللَّهَمَعَنَا
Artinya: “janganlah engkau berduka (karena) sesungguhnya Allah bersama kita.” (QS. At-Taubah: 40)
Sewaktu Nabi Muhammad SAW. bersama sahabat beliau Abu Bakar bersembunyi di gua Tsaur, datang kaum kafir Quraisy hingga Abu Bakar takut, kemudian Nabi SAW. menghiburnya, “janganlah engkau bersusah (khawatir) karena Allah bersama kita”.
f.       Untuk ancaman  للتهديد
Ucapan majikan kepada pelayan:
لاتطعامري
Artinya:"  tak usah engkau turuti perintah ini”
Yang dimaksud bukan melarang, tetapi menggertak kepadanya agar iya takut.
D.    Qaidah-qaidah an-nahyu
§  Nahyu menunjukkan kepada haram
اَلْاَصْلُفِىالنَّهْيِلِلتَّحْرِيْمِ
Asal pada larangan untuk haram”
[18]Menurut kepada pemikiran tiap-tiap masalah yang sunyi daripada qarenah yang menunjukkan kepada larangan mengandung akan arti yang hakiki yaitu haram.
Contohnya: seperti firman Allah SWT:
وَلَاتَقْرَبُواالزِّنَى
Dan janganlah kamu dekati zina”.
Dalam ayat ini terdapat bentuk kalimat larangan yang sunyi dari qarenah, menunjukkan kepada haqiqat larangan yang mutlak. Dan jika kalimat itu mempunyai qarenah, tidak menunjukkan haqiqat larangan, seperti firman Allah SWT.
يَاأَيُّهَاالَّذِينَآمَنُوالَاتَقْرَبُواالصَّلَاةَوَأَنْتُمْسُكَارَىٰ
Artinya: “hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu kerjakan shalat dalam keadaan mabuk” (QS. An-Nisa: 43)
§  Nahyu menunjukkan larangan sesuatu, suruhan bagi lawannya
اَلنَّهْيُعَنِالشَّىْءِاَمْرٌبِضِدِّهِ
Dilarang dari sesuatu, disuruh dengan lawannya”
Contohnya: dilarang meninggalkan sembahyang, tentu disuruh mengerjakannya.
Jika dilarang mengerjakan suatu perbuatan, perbuatan mana kalau dikerjakan dihukum menutut hakikatnya (haram), mesti disuruh menghentikannya, seperti dilarang meninggalkan sembahyang, tentu di suruh mengerjakannya.
§  Nahyumenunjukkan larangan yang mutlak
اَلنَّهْيُاْلُمطْلَقُيَقْتَضِىالدَّوَامَفِىجَمِيْعِاْلاَزْمِنَةِ
Larangan yang mutlak menghendaki berbekalan dalam sepanjang masa”
Dalam suatu larangan yang berbentuk mutlak, baik membawa kebinasaaan maupun menjauhinya, baru mencapai hasil yang sempurna, apabila di jauhi yang membinasakan itu selama-lamanya.seperti: perkataan seorang bapak kepada anaknya ‘jangan kamu dekati singa’, maka anak itu disuruh menjauhi binatang tersebut selama-lamanya karena untuk melepaskan diri dari kebinasaan.
§  Nahyu menunjukkan larangan dalam beribadah
اَلنَّهْيُيَدُلُّعَلَىفَسَادِاْلُمنْهِيِّعَنْهُفِىعِبَادَاتِ
Larangan menunjukkan kebinasaan yang dilarang dalam beribadah”
Untuk mengetahui mana yang sah dan mana yang batal dalam urusan ibadat, haruslah ia mengerjakan perintah dan menjauhi larangan. Kalau seorang umpamanya mengerjakan apa yang di larang, berarti ia melanggar apa yang diperintahkan. Orang yang melanggar perintah masih dituntut untuk mengerjakannya, jika masih dituntut mengerjakannya berarti dia belum bebas dari suatu perbuatan, oleh sebab itu harus mengulangi ibadatnya misalnya: wanita yang sedang haidh dilarang mengerjakan shalat dan puasa, berarti dituntut untuk mengerjakannya apabila telah suci.[19]
§  Nahyu menunjukkan larangan dalam mu’amalah
اَلنَّهْىُيَدُلُّعَلَىفَسَادِاْلُمنْهِيِّعَنْهُفِىاْلعُقُوْدِ
Larangan yang menunjukkan rusaknya perbuatan yang dilarang dalam ber’akad”
Apabila larangan itu kembali kepada aqad itu sendiri bukan kepada yang lain, seperti: dilarang menjual anak hewan yang masih di dalam kandungan ibunya, berarti akad jual beli tidak sah (batal), karena yang diperjualbelikan itu belum jelas dan belum memenuhi rukun jual beli, antara lain:
a)      adanya dua orang yang berakad (penjual & pembeli),
b)      sighat (lafadz) jual beli dan
c)      ada barang yang diperjual belikan.
Rasulullah SAW bersabda:
نَهَىالنَّبِيُّصلىاللهعليهوسلمعَنْبَيْعِاْلَملَاقِيْحِ
Melarang Nabi SAW memperjualbelikan anak dalam kandungan ibunya”.
Adakalanya larangan itu tidak membatalkan jula beli, seperti jual beli waktu panggilan shalat Jum’at, karena melalaikan untuk besegera mengerjakan shalat Jum’at. Firman Allah SWT:
اِذَانُوْدِيَلِلصَّلاَةِمِنْيَوْمِاْلجُمُعَةِفَاسْعَوْاإِلَىذِكْرِاللهِوَذَرُوااْلبَيْعَ
Apabila kamu dipanggil untuk mengerjakan shalat Jum’at pada hari Jum’at, hendaklah bersegera mengingat Allah (pergi shalat Jum’at) dan tinggalkan jual beli”.


DAFTAR PUSTAKA

Beik, Muhammad Khudari. Ushul Fiqh, Beirut : Dar al-Fikr, 1988.
al-Bukhari, Abu Abdullah Muhammad bin Ismail. Shahih al-Bukhari, Riyadh: Dar al-Salam, 1997.
al-Qur`an al-Karim. al-Madinah al-Munawwarah : Khadim al-Haramain, 2010.
al-Qusyairi, Abu al-Husain Muslim bin Hajjaj. Shahih al-Muslim, Beirut: Dar al-Fikr, 1993.
al-Sun`i, Muhammad bin Ismail al-Amiri. Ushul al-Fiqh al-Musamma Ijabah al-Sa`il bi Ghayati al-Amil, Beirut : Muassasah al-Risalah, tt.
al-Zuhaili, Wahbah. Ushul al-Fiqh al-Islami, Beirut: Dar al-Fikr, 2001.
Hasbalah, Ali. Ushul al-Tasyri` al-Islami, Kairo : Dar al-Maarif, 1997.
an-Nasa`i, Ahmad bin Syuaib, Sunan an-Nasa`i : Riyadh: Maktabah al-Muayyid, 1992.
Zaidan, Abd al-Karim. al-Wajiz fi Ushul al-Fiqh, Beirut : Muassasah al-Risalah, 1987.
Syafe'i Rahmat. 1999. Ilmu Ushul Fiqih: Bandung: CV Pustaka Setia.
Hanafi. 1989. Ushul Fiqih. Jakarta: Widjaya.
Zahrah Muhammad. 1999. Ushul Fiqih. Jakarta: PT Pustaka Firdaus.
Syafi’I, Rahmat, 1999, Ilmu Ushul Fiqih. Pustaka Setia: Bandung.
Romli, Muqaranah Mazahib Fil Ushul.Jakarta: Gaya Media Pratama.
Moh Rifa’i, 1994, Ushul Fiqih. Bandung: PT Al-Ma’arif.
Nazar Bakri, 1993, Fiqh Dan Ushul Fiqh , Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Catatan:
“SELAMAT” artikel Anda mempunyai similarity 73%, terlihat dari model makalahnya juga siapapun sudah bisa menerka bahwa makalah ini copy-paste.


[1]Beik, Muhammad Khudari. Ushul Fiqh, Beirut : Dar al-Fikr, 1988.
[2]al-Bukhari, Abu Abdullah Muhammad bin Ismail. Shahih al-Bukhari, Riyadh: Dar al-Salam, 1997.
[3]al-Qur`an al-Karim. al-Madinah al-Munawwarah : Khadim al-Haramain, 2010.
[4]al-Qusyairi, Abu al-Husain Muslim bin Hajjaj. Shahih al-Muslim, Beirut: Dar al-Fikr, 1993.
[5]al-Sun`i, Muhammad bin Ismail al-Amiri. Ushul al-Fiqh al-Musamma Ijabah al-Sa`il bi Ghayati al-Amil, Beirut : Muassasah al-Risalah, tt.
[6]al-Qur`an al-Karim. al-Madinah al-Munawwarah : Khadim al-Haramain, 2010.
[7]al-Qusyairi, Abu al-Husain Muslim bin Hajjaj. Shahih al-Muslim, Beirut: Dar al-Fikr, 1993.
[8]al-Sun`i, Muhammad bin Ismail al-Amiri. Ushul al-Fiqh al-Musamma Ijabah al-Sa`il bi Ghayati al-Amil, Beirut : Muassasah al-Risalah, tt.
[9]al-Zuhaili, Wahbah. Ushul al-Fiqh al-Islami, Beirut: Dar al-Fikr, 2001.
[10]Hasbalah, Ali. Ushul al-Tasyri` al-Islami, Kairo : Dar al-Maarif, 1997.
[11]an-Nasa`i, Ahmad bin Syuaib, Sunan an-Nasa`i : Riyadh: Maktabah al-Muayyid, 1992.
[12]Moh Rifa’i, 1994, Ushul Fiqih. Bandung: PT Al-Ma’arif.
[13]Zaidan, Abd al-Karim. al-Wajiz fi Ushul al-Fiqh, Beirut : Muassasah al-Risalah, 1987.
[14]Syafe'i Rahmat. 1999. Ilmu Ushul Fiqih: Bandung: CV Pustaka Setia.
[15]Hanafi. 1989. Ushul Fiqih. Jakarta: Widjaya.
[16]Zahrah Muhammad. 1999. Ushul Fiqih. Jakarta: PT Pustaka Firdaus.
[17]Nazar Bakri, 1993, Fiqh Dan Ushul Fiqh , Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
[18]Syafi’I, Rahmat, 1999, Ilmu Ushul Fiqih. Pustaka Setia: Bandung.
[19]Romli, Muqaranah Mazahib Fil Ushul.Jakarta: Gaya Media Pratama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar