Rabu, 09 Mei 2018

TA’WIL DAN NASAKH, MURADIF DAN MUSYTARAK (PAI C Semester Genap 2017/2018)



TA’WIL DAN NASAKH, MURADIF DAN MUSYTARAK

Yuyun Rohmawati, Dian Ayu Tri Lestari, dan Ainun Rizki Amalia
Mahasiswa PAI UIN Maulana Malik Ibrahim Malang PAI-C 2018

Abstract: In this article will discuss about usul fiqh rules that must be understood by all Muslims in establishing a law. Among them are ta'wil, nasakh, muradif and musytarak. Ta'wil is to turn lafaz from the meaning of dzahir to another meaning in accordance with the proposition. As for the meaning of nasakh is the abolition or cancellation of a law due to the coming of the new 'syara' argument. While the meaning of the muradif is the meaning equation, meaning some lafaz has one meaning the same. And musytarak is one lafaz has some meaning.
Keywords: Ushul fiqh Rules, Ta’wil, Nasakh, Muradif, Musytarak
Abstrak: Dalam artikel ini akan membahas tentang kaidah-kaidah ushul fiqh yang harus difahami oleh seluruh umat Islam dalam menetapkan suatu hukum. Di antaranya adalah ta’wil, nasakh, muradif dan musytarak. Ta’wil yaitu memalingkan lafaz dari makna dzahirnya ke makna lain yang sesuai dengan dalil. Adapun yang dimaksud dengan nasakh adalah penghapusan atau pembatalan suatu hukum akibat datangnya dalil syara’ yang baru. Sedangkan yang dimaksud dengan muradif yaitu persamaan makna, artinya beberapa lafaz memiliki satu makna yang sama. Dan musytarak yaitu satu lafaz yang memiliki beberapa makna.
Kata Kunci: Kaidah Ushul fiqh, Ta’wil, Nasakh, Muradif, Musytarak

A.      Pendahuluan
Dalam kehidupan sehari-hari pasti di antara kita sering menjumpai lafaz-lafaz dalam alquran ataupun hadist yang sulit untuk ditafsirkan maknanya. Ada juga beberapa lafaz yang memiliki satu makna atau bisa jadi satu lafaz bisa memiliki banyak makna. Dan yang paling membingungkan ketika menemukan antara ayat yang satu dengan yang lain itu bertolak belakang maknanya. Maka untuk kita bisa memilih dan memahami makna yang tepat dalam setiap lafaz, serta menentukan hukum yang benar. Itu memerlukan suatu ilmu yang harus kita pelajari. Adapun ilmu yang membahas hal yang demikian itu adalah ushul fiqh yang terangkum dalam materi kaidah-kaidah ushul fiqh.
Kaidah-kaidah ushul fiqh yang dimaksud di sini yaitu ta’wil, nasakh, muradif, dan musytarak. Ta’wil yaitu memalingkan makna. Ketika suatu lafaz yang belum jelas maknanya tapi ada keraguan di dalamnya, maka hal ini perlu untuk diperjelas melalui ta’wil. Jadi ta’wil di sini adalah memalingkan makna kepada makna yang lain yang lebih jelas dan berdasarkan pada dalil. [1]Seperti lafaz يَدٌ yang terdapat dalam surat al-Fath ayat 10 mempunyai arti tangan, namun lafaz ini bisa diartikan sebagai kekuasaan, sehingga makna lafaz dalam ayat tersebut menjadi lebih jelas.[2]
Kondisi pada zaman kenabian hingga saat ini sangatlah berbeda, mulai kondisi masyarakat, keimanan mereka, hingga perkembangan zaman. Maka Allah telah menetapkan suatu hukum baik perintah ataupun larangan yang berbeda masa berlakunya. Artinya ada beberapa hukum yang ada dalam alquran ataupun hadist itu telah dihapus/ berhenti masa berlakunya akibat datangnya dalil syara’ yang baru yang membahas suatu hal yang bersangkutan. Dari sini dalil yang dulu tidak berlaku lagi dan diganti dengan dalil yang baru. Seperti contoh surat al-Baqarah ayat 180 yang dinasakh dengan surat an-Nisa’ ayat 7.[3] Hal yang demikian inilah yang dinamakan dengan nasakh.
Muradif atau yang sering disebut dengan sinonim yaitu beberapa lafaz yang memiliki satu makna yang sama.[4] Seperti lafaz اللَّيْثُ, الاَسَدُ yang berarti singa. Muradif ini berbalik makna dengan musytarak, karena yang dimaksud dengan musytarak yaitu satu lafaz tapi mempunyai banyak arti.[5] Seperti contoh pada lafaz قُرُوْءٌ bisa mempunyai makna suci atau haid.[6]

B.       Ta’wil
a.    Pengertian Ta’wil
Secara lughawi, ta’wil itu berarti paling. Sedangkan secara istilah ta’wil adalah memalingkan sebuah makna dzahir kepada makna yang lebih cocok sesuai dalil yang ada.[7] Meski demikian, beberapa ulama’ memiliki pengertian ta’wil yang sedikit berbeda (hampir mirip). Antara lain:
Abdul Wahab Khalaf berpendapat:
صرف اللفظ عن ظاهره بدليل
Memalingkan suatu lafadz dari makna zhahirnya sesuai dengan dalil yang ada”
Ibn Jauzi berpendapat:
نقل ظاهر اللفظ عن وضعه الأصلي الى ما يحتاج الى دليل لولاه ماترك ظاهراللفظ
Memalingkan perkataan dari tema-nya ke hal yang lebih sesuai guna menetapkan ke dalil yang kalau tidak demikian, sehingga zhahir lafadz tidak akan ditinggalkan
Ibn. Atsir berpendapat:
نقل ظاهر اللفظ عن وضعه الاصلي الى مايحتاج الى دليل
Memalingkan lafadz zhahir dari penggunaan asal-nya kepada sesuatu yang diperlukan oleh dalil”
Abu Zahrah berpendapat:
اخراج اللفظ عن ظاهر معناه الى معنى اخر يحتمله
Mengeluarkan lafadz dari makna zhahirnya kepada makna lain yang ada kemungkinan untuk hal tersebut
Dari sekumpulan pendapat para ahli/ ulama’ tersebut, dapat ditarik benang merahnya, bahwa ta’wil adalah memalingkan suatu lafadz yang bermakna zhahir kepada makna lain yang mungkin bisa dijangkau oleh dalil.
Kemudian dari kesimpulan definisi ta’wil yang simpel tersebut dapat dirumuskan ciri-ciri dari ta’wil yakni:
1.    Lafadz-nya tidak bisa dimengerti menurut makna zhahir-nya.
2.    Makna yang dimengerti dari lafadz tersebut adalah makna yang lain, tapi secara global masih menjangkau makna zhahir-nya.
3.    Memalingkan lafadz dari makna zhahir kepada makna yang lain itu membutuhkan dalil/ alasan.[8]
b.   Syarat-syarat Ta’wil
Berikut ini adalah syarat-syarat ta’wil:
1.    Lafadz itu bisa menerima ta’wil, seperi pada lafadz zhahir dan lafadz nash dan tidak berlaku untuk muhkam serta mufassar.
2.    Lafadz itu perlu di-ta’wil kan, karena makna-nya terlalu luas dan dapat diartikan untuk di-ta’wil. Dan ketika makna-nya dipalingkan itu masih relevan.
3.    Terdapat sesuatu yang mendorong untuk dilakukan ta’wil.
a.    Ketika ada suatu lafadz yang makna zhahir-nya itu bertentangan dengan kaidah yang berlaku serta diketahui secara dharuri. Kemudian bisa juga lafadz tersebut bertentangan dengan dalil yang lebih kuat/ tinggi. Seperti contoh: ada sebuah hadist yang bertentangan dengan hadist yang lain. Akan tetapi hadist tersebut ada kemungkinan untuk di-ta’wil. Maka dalam kasus ini, hadist itu sebaiknya di-ta’wil saja, dari pada ditolak.
b.    Nash yang bertentangan dengan dalil yang lebih tinggi dalalah nya. Seperti, sebuah hadist yang makna lahir-nya itu ditujukan pada suatu objek. Akan tetapi, ada makna lain yang menyangkalnya dalam bentuk nash.
c.    Lafadz itu termasuk nash untuk sebuah objek, akan tetapi menyalahi lafadz yang lain yang mufassar. Dan dalam keadaan ini harus dilakukan ta’wil.
4.    Ta’wil itu harus memiliki dalil yang dijadikan sandaran, serta tidak bertolak belakang dengan dalil yang lain.
Jika hal tersebut membahas syarat-syarat ta’wil, berikut ini adalah syarat-syarat dari orang yang men-ta’wil, antara lain:
1.    Memiliki kemampuan pendidikan yang cukup,
2.    Memiliki kekuatan untuk memperoleh dalil serta cakap dalam mengeluarkan hukum,
3.    Memiliki sikap untuk menghimpun sesuatu yang berbeda, dari pada tarjih salah satu-nya, dan
4.    Menguasai kaidah kebahasaan dan syari’ah.[9]
d.   Bentuk-bentuk Ta’wil
Bentuk-bentuk ta’wil itu bermacam-macam jika dilihat dari berbagai sudut pandang, antara lain:
1.    Diterima/ tidaknya suatu ta’wil, ada 2:
a.    Ta’wil maqbul, yaitu sebuah ta’wil yang sudah memenuhi syarat-syarat ta’wil.
b.    Ta’wil ghairu maqbul, yaitu ta’wil yang ditolak, karena mementingkan selera, serta tidak memenuhi syarat-syarat yang ada.
2.    Dekat/ jauhnya pemalingan makna zhahir ke makna yang lain, ada 2:
a.    Ta’wil qarib, yaitu hasil ta’wil nya tidak terlalu berbeda dengan makna lahir-nya. Sehingga bisa diterima.
b.    Ta’wil ba’id, yaitu pemalingan makna yang terlalu jauh dari makna lahir-nya.[10]
3.    Hasil yang dicapai, dibagi menjadi 2:
a.    Ta’wil terpuji, sebuah ta’wil yang dalam mena’wilkan itu berpegang teguh pada alquran, hadist, para sahabat, dan daya akal.
b.    Ta’wil tercela, yaitu ta’wil yang tidak memperhatikan kaidah bahasa dan ta’wil. Kemudian orang yang mena’wil juga mementingkan hawa nafsunya sendiri, tanpa memperhatikan dasar yang dibenarkan.[11]
e.    Pendapat Ulama’ tentang Ta’wil yang Berhubungan dalam Furu’-nya
Salah satu contohnya itu terdapat dalam masalah seorang laki-laki yang menikah dengan 10 orang perempuan saat dia (suami) masuk Islam:
Hanafiyah berpendapat, jika seorang laki-laki yang menikah dengan 10 perempuan secara bersama-sama, maka suami boleh memilih 4 istri dengan akad yang baru, sedangkan yang lain harus diceraikan. Tapi ketika 10 perempuan itu dinikahi secara satu per satu, maka suami bisa memilih 4 istri terdahulu, dan yang lain harus diceraikan.
Kemudian menurut Syafi’i, seorang suami yang memiliki 10  istri cukup memilih 4 di antaranya. Dan menceraikan yang lainnya.  Hal ini berlaku bagi suami yang menikahi 10 perempuan sekaligus ataupun satu persatu.
f.     Macam-macam Ta’wil
1.    Ta’wil alquran atau hadist, yang mana dimungkinkan terdapat kata yang merujuk dalam menyamakan sifat Tuhan terhadat sesuatu.[12] Sedang, jelas kita percaya bahwa Allah itu berbeda dengan apa yang diciptakannya. Seperti lafadz:
ßtƒ... «!$# s-öqsù öNÍkÉ÷ƒr& 4 ...
...“tangan Allah di atas tangan mereka...” (Q.S Al-Fath: 10)
Dari ayat tersebut, kata tƒ itu berarti tangan. Tapi tidak mungkin kita mengartikan tangan, karena kata ini bersanding pada Allah, sedangkan kita tidak boleh mempersamakan Allah dengan yang lain. Maka kata ini harus di-ta’wil, sedingga menjadi kekuasaan Allah.[13]
2.    Ta’wil dalam ayat alquran atau hadist secara lahir itu bertentangan. Seperti contoh dalam surat al-Baqarah ayat 240 dengan al-Baqarah ayat 243.[14]

C.      Nasakh
a.         Pengertian Nasakh
Menurut bahasa, nasakh adalah penghapusan, pembatalan.[15]  Sedangkan menurut istilah nasakh memiliki dua makna, hal ini diungkapkan oleh ahli ushul fiqh. Makna yang pertama yaitu:
رفع الحكم الشر عي بد ليل شرعي متأخر
Artinya: “Pembatalan hukum syara’ dengan dalil syara’ yang datang kemudian”. [16]
Berdasarkan kedua pengertian tersebut, dapat ditarik benang merahnya yaitu:
1.    Nasakh itu hannya bisa dilakukan oleh Allah swt., karena nasakh itu sendiri harus berdasarkan dalil syara’.
2.    Sesuatu hal yang  dihapus/ dinasakh adalah tentang perintah, larangan atapun informasi. Selain itu tidak bisa disebut dengan nasakh.
3.    Dalil yang mampu menghapus hukum terdahulu adalah dalil yang datang setelah dalil yang akan dihapuskan.[17]
b.        Dasar Hukum Nasakh
Dalam hal ini ada dua pendapat mengenai berlaku tidaknya nasakh. Pendapat yang pertama adalah setuju dengan adanya nasakh. Dasar yang dimiliki golongan yang setuju dengan adanya nasakh adalah adanya bukti dalam beberapa ayat alquran, antara lain:
Yang pertama, surat al-Baqarah: 106
* $tB ô|¡YtR ô`ÏB >ptƒ#uä ÷rr& $ygÅ¡YçR ÏNù'tR 9Žösƒ¿2 !$pk÷]ÏiB ÷rr& !$ygÎ=÷WÏB 3 öNs9r& öNn=÷ès? ¨br& ©!$# 4n?tã Èe@ä. &äóÓx« 퍃Ïs% ÇÊÉÏÈ  
Artinya: ” Ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik dari padanya atau yang sebanding dengannya. tidakkah kamu mengetahui bahwa Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu?”
Berdasarkan penjelasan ayat tersebut, dapat kita ketahui bahwa Allah itu berkuasa untuk menghilangkan suatu hukum dan diganti dengan hukum yang lebih baik atau sebanding dengannya.
Yang kedua, surat an-Nahl: 101
#sŒÎ)ur !$oYø9£t/ Zptƒ#uä šc%x6¨B 7ptƒ#uä   ª!$#ur ÞOn=ôãr& $yJÎ/ ãAÍit\ム(#þqä9$s% !$yJ¯RÎ) |MRr& ¤ŽtIøÿãB 4 ö@t/ óOèdçŽsYø.r& Ÿw tbqßJn=ôètƒ ÇÊÉÊÈ  
Artinya: ”Dan apabila Kami letakkan suatu ayat di tempat ayat yang lain sebagai penggantinya Padahal Allah lebih mengetahui apa yang diturunkan-Nya, mereka berkata: "Sesungguhnya kamu adalah orang yang mengada-adakan saja". bahkan kebanyakan mereka tiada mengetahui.”
Sedangkan penjelasan yang bisa kita dapatkan dari ayat tersebut yaitu Allah swt. telah mengganti ayat dengan ayat di tempat yang lain. Sehingga ayat yang terdahulu tidak berlaku lagi, karena adanya ayat baru yang muncul tentang suatu hal tersebut.
Dan yang ketiga ialah surat ar-Ra’d: 39
(#qßsôJtƒ ª!$# $tB âä!$t±o àMÎ6÷Vãƒur ( ÿ¼çnyYÏãur Pé& É=»tGÅ6ø9$# ÇÌÒÈ  
Artinya: ”Allah menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia kehendaki), dan di sisi-Nya-lah terdapat Ummul-Kitab (Lauh Mahfuzh).”
Dari ayat tersebut, jelas bahwa Allah swt. berkuasa atas menghapus hukum dan menggantinya dengan hukum yang lain.
Sedangkan golongan yang kedua adalah golongan yang tidak mengakui adanya nasakh. Mereka ini perpandangan bahwa ketiga ayat tersebut hannya sekedar kemungkinan adanya nasakh. Seperti contoh lafaz “Aayatan” pada surat al-Baqarah ayat 106 itu diartikan dengan syariat. Sehingga yang dihapus menurut ayat tersebut adalah syariat Nabi dan masa lalu dari umat terdahulu yang terdapat dalam kitab Taurat dan Injil kemudian diganti dengan kitab Alquran. Dan golongan ini terus menerus mengkompromikan agar ayat-ayat yang bertentangan bisa menjadi selaras, sehingga seolah-olah nasakh itu benar-benar tidak ada. Golongan yang tidak percaya dengan adanya nasakh ialah Yahudi dan Nasrani.[18]
c.         Rukun dan Syarat Nasakh
Adapun yang menjadi rukun dan syarat nasakh adalah sebagai berikut:
1.    Dalil yang dibatalkan/ dihapus (المنسوخ)
Syarat-syaratnya yaitu:
a)    Berisikan hukum syar’i, yaitu yang berupa masalah perintah, larangan, siksa, sejarah.
b)   Tidak termasuk dalam hukum yang kulli, yaitu hukum yang tidak bisa berubah/ tetap.
c)    Bukan dalil yang memiliki batas masa berlakunya. Karena jika dalil tersebut memiliki batas waktu, maka dalil tersebut juga akan berakhir ketika waktunya berakhir. Hal yang demikian ini tidak perlu untuk dinasakh.
d)   Hukumnya tidak berlaku secara abadi.
e)    Dalil tersebut turun lebih dulu dari pada dalil yang menghapus/ menasakh.
f)    Ada dalil yang menetapkan, dan suatu hukum yang ditetapkan melalui qiyas itu tidak bisa dihapus/ dinasakh.
2.    Dalil yang digunakan untuk menghapus (المنسوخ به)
Syaratnya المنسوخ به antara lain:
a)    Dalil yang menasakh itu adalah khithab pembuat hukum (syari’).
b)   Dalil yang bisa menghapus itu haruslah memiliki kedudukan yang sama atau lebih tinggi dari yang dihapus. Sehingga ijma’ dan qiyas tidak bisa dijadikan sebagai المنسوخ به.
c)    Dalil ini turun setelah dalil yang mau dinasakh.
d)   Isi dari yang menasakh itu haruslah bertolak belakang/ tidak sama dengan dalil yang akan dinasakh. Sehingga hal tersebut harus dinasakh, karena tidak bisa dilakukan secara bersamaan.
3.    Orang yang menerima nasakh (المنسوخ عنه)
Orang yang tepat untuk menerima nasakh ialah orang yang baik tindak-tanduknya, sehingga dia dapat memutuskan untuk meninggalkan suatu hukum dan menjalankan hukum baru yang telah ditetapkan kemudian.[19]
4.    Yang memiliki hak untuk menghapus (الناسخ)
Yang berhak melakukan nasakh itu hanyalah Allah swt.[20]
d.        Macam-macam Nasakh
Macam-macam nasakh berdasarkan otoritas/ mana yang berhak menghapus dalil terdahulu itu dibagi menjadi empat macam, yaitu:
1.    Alquran dinasakh oleh alquran
yang menjadi contoh dari ayat alquran yang dinasakh dengan ayat alquran juga, yaitu seperti dalam surat al-Baqarah ayat 240:
tûïÏ%©!$#ur šcöq©ùuqtGムöNà6YÏB tbrâxtƒur %[`ºurør& Zp§Ï¹ur OÎgÅ_ºurøX{ $·è»tG¨B n<Î) ÉAöqyÛø9$# uŽöxî 8l#t÷zÎ) 4 ...
Artinya: ”Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antara kamu dan meninggalkan isteri, hendaklah Berwasiat untuk isteri-isterinya, (yaitu) diberi nafkah hingga setahun lamanya dan tidak disuruh pindah (dari rumahnya)...
Ayat tersebut di-nasakh oleh firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 234:
tûïÏ%©!$#ur tböq©ùuqtFムöNä3ZÏB tbrâxtƒur %[`ºurør& z`óÁ­/uŽtItƒ £`ÎgÅ¡àÿRr'Î/ spyèt/ör& 9åkô­r& #ZŽô³tãur ( ...
Artinya: ”Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah Para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari. kemudian apabila telah habis 'iddahnya,...”.
2.    Sunnah dinasakh oleh sunnah
Yaitu isi dalam kandungan sunnah dihapus/ dibatalkan oleh sunnah yang sama kuat/ lebih tinggi darinya. Seperti sabda Nabi tentang larangan berziarah kubur lalu dinasakh dengan hadist yang sama:
كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُوْرِأَلاَ فَزُوْرُهَا
Artinya: ”Dahulu aku pernah melarang kamu menziarahi kubur, sekarang berziarahlah” (HR. Muslim)
Namun, kaum Zahirriyah berpendapat jika sunnah mutawattir bisa dinasakh dengan sunnah ahad, hal ini pernah terjadi pada penentuan arah kiblat yang awalnya menghadap Bait al-Maqdis kemudian berubah menjadi ke arah Ka’bah.[21]
3.    Alquran dinasakh dengan sunnah
Contoh dari bentuk ini adalah seperti yang ada dalam surat al-Baqarah ayat 180:
|=ÏGä. öNä3øn=tæ #sŒÎ) uŽ|Øym ãNä.ytnr& ßNöqyJø9$# bÎ) x8ts? #·Žöyz èp§Ï¹uqø9$# Ç`÷ƒyÏ9ºuqù=Ï9 tûüÎ/tø%F{$#ur Å$rã÷èyJø9$$Î/ ( $ˆ)ym n?tã tûüÉ)­FßJø9$# ÇÊÑÉÈ  
Artinya: ”Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, Berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.”[22]
Kemudian ayat tersebut dinasakh dengan hadist Nabi yaitu:
اَلاَ لاَوَصِيْةَ لِوَارِثٍ
Artinya: ”Ketahuilah tidak ada wasiat untuk ahli waris” (HR. At-Tirmidzi dan Ibnu Majah).[23]
4.    Sunnah dinasakh dengan alquran
Contoh dari bentuk nasakh ini adalah seperti yang dilakukan oleh Nabi sendiri saat shalat itu menghadap ke arah Bait al-Maqdis. Hal ini sesuai dengan riwayat hadist berikut ini:
اَ نَّ الْنَّبِيَّ صَلَى الله عَلَيْهِ وَسلَّمّ أَقَامَ يَسْتَقْبِلُ بَيْتَ الْمُقَدَّسِ فِى الصَّلاةِ سِتَّةَ عَشَرَ شَهْرًا
Artinya: ”Sesungguhnya Nabi saw. berdiri menghadap Bait al-Maqdis dalam shalatnya selama enam belas bulan”. (HR. Bukhori dan Muslim).
Sunnah tersebut dihapus oleh ayat alquran surat al-Baqarah ayat 144:
ôÉeAuqsù... y7ygô_ur tôÜx© ÏÉfó¡yJø9$# ÏQ#tysø9$# 4 ...
Artinya: ”Hadapkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram...”[24]
Sedangkan macam-macam nasakh jika dilihat dari segi kejelasan dan cakupannya itu juga dibagi menjadi empat, yaitu:
1.    Nasakh Sharih, yaitu sebuah ayat yang sudah jelas dihapus oleh ayat yang datang kemudian (baru). Seperti contoh pada alquran Al-Anfaal ayat 65 yang menceritakan tentang seorang muslim dalam perang harus melawan 10 orang kafir:
$pkšr'¯»tƒ ÓÉ<¨Z9$# ÇÚÌhym šúüÏZÏB÷sßJø9$# n?tã ÉA$tFÉ)ø9$# 4 bÎ) `ä3tƒ öNä3ZÏiB tbrçŽô³Ïã tbrçŽÉ9»|¹ (#qç7Î=øótƒ Èû÷ütGs($ÏB 4 bÎ)ur `ä3tƒ Nà6ZÏiB ×ps($ÏiB (#þqç7Î=øótƒ $Zÿø9r& z`ÏiB šúïÏ%©!$# (#rãxÿx. óOßg¯Rr'Î/ ×Pöqs% žw šcqßgs)øÿtƒ ÇÏÎÈ  
Hai Nabi, Kobarkanlah semangat Para mukmin untuk berperang. jika ada dua puluh orang yang sabar diantaramu, niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ratus orang musuh. dan jika ada seratus orang yang sabar diantaramu, niscaya mereka akan dapat mengalahkan seribu dari pada orang kafir, disebabkan orang-orang kafir itu kaum yang tidak mengerti”. (Q.S Al-Anfaal: 65)
Kemudian ayat tersebut di-nasakh oleh ayat 66 surat Al-Anfaal, yang menceritakan bahwa seorang muslim dalam perang itu harus melawan 2 orang kafir:
z`»t«ø9$# y#¤ÿyz ª!$# öNä3Ytã zNÎ=tæur žcr& öNä3ŠÏù $Zÿ÷è|Ê 4 bÎ*sù `ä3tƒ Nà6ZÏiB ×ps($ÏiB ×otÎ/$|¹ (#qç7Î=øótƒ Èû÷ütGs($ÏB 4 bÎ)ur `ä3tƒ öNä3ZÏiB ×#ø9r& (#þqç7Î=øótƒ Èû÷üxÿø9r& ÈbøŒÎ*Î/ «!$# 3 ª!$#ur yìtB tûïÎŽÉ9»¢Á9$# ÇÏÏÈ  
Sekarang Allah telah meringankan kepadamu dan Dia telah mengetahui bahwa padamu ada kelemahan. Maka jika ada diantaramu seratus orang yang sabar, niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ratus orang kafir; dan jika diantaramu ada seribu orang (yang sabar), niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ribu orang, dengan seizin Allah. dan Allah beserta orang-orang yang sabar”. (Q.S Al-Anfaal: 66)
2.    Nasakh Dhimmy, dalam nasakh ini terjadi pada 2 dalil yang bertotak belakang, akan tetapi kedua ayat ini ada untuk membahas permasalahan yang sama, dan waktu turunnya juga diketahui. Seperti yang ada dalam surat al-Baqarah ayat 180:
 |=ÏGä. öNä3øn=tæ #sŒÎ) uŽ|Øym ãNä.ytnr& ßNöqyJø9$# bÎ) x8ts? #·Žöyz èp§Ï¹uqø9$# Ç`÷ƒyÏ9ºuqù=Ï9 tûüÎ/tø%F{$#ur Å$rã÷èyJø9$$Î/ ( $ˆ)ym n?tã tûüÉ)­FßJø9$# ÇÊÑÉÈ  
Artinya: ”Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, Berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.”
Kemudian ayat tersebut dinasakh dengan hadist Nabi yaitu:
اَلاَ لاَوَصِيْةَ لِوَارِثٍ
Artinya: ”Ketahuilah tidak ada wasiat untuk ahli waris” (HR. At-Tirmidzi dan Ibnu Majah).
3.    Nasakh Kully, dalam nasakh ini terjadi ketika dalil terdahulu di-nasakh secara keseluruhan oleh dalil kemudian (baru). Seperti contoh dalam surat al-Baqarah ayat 234 yang di-nasakh oleh surat al-Baqarah ayat 240.
4.    Nasakh Juz’iy, yakni sebuah dalil yang bersifat umum/ berlaku bagi semua orang itu di-nasakh oleh sebuah dalil yang bersifat khusus/ berlaku bagi golongan tertentu. Seperti contoh dalam surat An-Nuur ayat 4:
tûïÏ%©!$#ur tbqãBötƒ ÏM»oY|ÁósßJø9$# §NèO óOs9 (#qè?ù'tƒ Ïpyèt/ör'Î/ uä!#ypkà­ óOèdrßÎ=ô_$$sù tûüÏZ»uKrO Zot$ù#y_ Ÿwur (#qè=t7ø)s? öNçlm; ¸oy»pky­ #Yt/r& 4 y7Í´¯»s9'ré&ur ãNèd tbqà)Å¡»xÿø9$# ÇÍÈ  
“Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik[1029] (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, Maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. dan mereka Itulah orang-orang yang fasik”. (Q.S Al-Anfaal: 4)
Kemudian ayat tersebut di-nasakh oleh surat An-Nuur ayat 6:
tûïÏ%©!$#ur tbqãBötƒ öNßgy_ºurør& óOs9ur `ä3tƒ öNçl°; âä!#ypkà­ HwÎ) öNßgÝ¡àÿRr& äoy»ygt±sù óOÏdÏtnr& ßìt/ör& ¤Nºy»uhx© «!$$Î/   ¼çm¯RÎ) z`ÏJs9 šúüÏ%Ï»¢Á9$# ÇÏÈ  
“Dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina), Padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, Maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, Sesungguhnya Dia adalah Termasuk orang-orang yang benar”. (Q.S An-Nurr: 6)[25]
e.         Hikmah Nasakh
Pada dasarnya pensyariatan hukum kepada umat Islam adalah untuk memberikan kemaslahatan bagi diri mereka di dunia dan di akhirat. Dalam hal ini kita harus menjalankan semua perintah dan menjauhi semua larangannya.
Oleh karena itu, ketika menetapkan suatu hukum Allah swt. selalu memperhatikan kondisi masyarakat pada masa itu, agar kemaslahatan bisa tetap terjaga. Selain itu, hukum Islam juga mengetahui hal-hal yang akan terjadi, sehingga hukum itu datang secara berangsur-angsur. Dan nasakh ini hannya ada pada masa sebelum Rasulullah wafat, karena sudah tidak ada lagi wahyu yang turun.
Hal lain yang menjadi hikmah dari adanya nasakh adalah untuk menguji keimanan dan ketaantan dari seorang hamba. Dengan kata lain mereka dituntut untuk melakukan suatu perintah, namun kemudian hukum tersebut dihapus dan diganti dengan hukum yang lain yang harus kita jalankan. [26]  
Kemudian, dengan adanya nasakh ini juga untuk menguji umat muslim untuk selalu bersyukur apabila hasil nasakh menjadi lebih ringan dan sabar ketika hasil nasakh lebih berat.
Dan hikmah yang terakhir yaitu untuk membuktikan bahwa terdapat sebuah proses penetapan hukum hingga mencapai kesempurnaan hukum.[27]

D.      Muradif
a.    Pengertian Muradif
Menurut bahasa, muradif memiliki arti ikut serta. Sedangkan ahli ilmu ushul fiqh mendefinisikan muradif sebagai
اَللَّفْظُ الْمُتَعَدِّدُ لِلْمَعْنَى الْوَاحِدِ
"Beberapa lafaz yang terpakai untuk satu makna."
Dengan begitu, lafaz muradif berarti beberapa lafaz yang memiliki makna yang sama atau satu makna.[28] Seperti contoh :
a.     اَلأَسَدُdan  اَللَّيْثُmemiliki arti singa.
b.    اَلدَّارُ dan  اَلْمَنْزِلdan  اَلْبَيْتُmemiliki arti rumah.
c.     المُؤَدّشبُdan  المُعَلِّمُdan  المُدَرِّسُdan  الأُسْتَاذُmemiliki arti pendidik
M. Hasbi Ash-Shiddieqy berpendapat bahwa muradif merupakan kalimat yang mempunyai pengertian atau arti satu (serupa) namun ditunjukkan dengan lafal yang berbeda. Muradif dalam istilah bahasa Indonesia sering disamaartikan dengan istilah sinonim atau persamaan kata.[29]
b.   Hukum Muradif
Kaidah ushul fiqh yang menerangkan tentang hukum Muradif berbunyi
اِيْقَاعُ كُلٍّ مِنَ الْمُرَادِفَيْنِ مَكَانَ الْاَخَرِ يَجُوْزُ اِذَا لَمْ يَقُمْ عَلَيْهِ طَالِعٌ شَرْعِيٌّ
“Menundukkan dua muradif pada tempat yang lain atau menukarkannya itu diperbolehkan jika tidak ada ketetapan syara”
Hukum muradif yang dimaksud dalam kaidah ini adalah diperbolehkan jika tidak ada ketetapan syara. Adapun tentang lafaz-lafaz muradif yang dapat menimbulkan persoalan, seperti contoh penggunaan lafaz اَللَّيْثُ yang digunakan sebagai dari lafaz  اَلأَسَدُ yang tidak lain memiliki makna yang sama.[30]
Hukum muradif dalam kaidah ushul fiqh ini tidak berlaku untuk Al-Qur’an. [31] Dimana Al-Qur’an dengan seluruh lafadznya merupakan mukjizat, sedangkan muradif atau lafadz yang memiliki arti sama itu bukanlah lafadz yang asli atau dengan sendirinya muradif dari lafadz itu tidak mengandung mukjizat.
Terdapat perbedaan pendapat dalam hal tertentu tentang masalah muradif di kalangan ulama. Seperti halnya dalam masalah dzikir. Ada ulama yang tidak memperbolehkan penggunaan muradif dalam berdzikir, namun ada juga yang memperbolehkannya. Ulama yang memperbolehkan hal ini pun memberi dua syarat kepada penggunaan muradif dalam dzikir, diantara adalah :
a.    Lafadz muradif boleh digunakan jika lafadz tersebut tidak bertentangan dengan syara’ atau syariat agama.
b.    Lafadz muradif boleh digunakan jika lafadz tersebut berasal dari bahasa yang sama, seperti kedua lafadz tersebut berasal dari bahasa Arab.[32]

E.       Musytarak
a.         Pengertian Musytarak
Sedangkan musytarak menurut bahasa memiliki arti berserikat atau berkumpul. Dalam ilmu ushul fiqh, musytarak didefinisikan sebagai
اَللَّفَظُ الْمَوْضُوْعُ لِحَقِيْقَتَيْنِ مُحْتَلِفَتَيْنِ اَوْ اَكْثَرَ
Lafaz yang dibentuk untuk menunjukkan dua arti yang berbeda-beda atau lebih
Maksud dari musytarak adalah satu ladaz yang memiliki makna banyak dan berbeda-beda. Seperti contoh :
a.     قُرُوْءٌyang memiliki arti haid dan suci.
Dalam QS. Al-Baqarah : 228 yang berbunyi
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلاَثَةَ قُرُوءٍ ج
Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'...”
Lafaz قُرُوْء (quru’) menurut bangsa Arab mempunyai dua arti yaitu haid dan suci. Hal tersebut membuat perbedaan pendapat pada kalangan ulama tentang lafaz quru’ pada ayat ini. Dimana Imam Syafi’i yang berpegang pada hadits dari Aisyah mengartikan bahwa lafaz quru’ tersebut sebagai suci. Sedangkan Abu Hanifah yang menyatakan bahwa hadits ahad tidak dapat menentukan suatu hukum haram atau halam mengartikannya sebagai haid.[33]
b.     يَدٌyang memiliki arti tangan secara keseluruhan, lengan tangan, dan telapak tangan.
Beberapa kabilah Arab mengartikan istilah يَد (yad) sebagai tangan yang bermaksud untuk menunjukan istilah seluruh harta. Kabilah yang lain ada yang mengartikannya sebagai lengan tangan, dan ada juga yang mengartikannya sebagai telapak tangan saja.[34]
Dalam QS. Al-Maidah : 38 yang berbunyi
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا...
Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya...”
Istilah يَد (yad) disini diartikan antara zira’ atau dari ujung jari sampai ke bahu. Ada juga yang mengartikan antara telapak tangan dan lengan yaitu dari ujung jari sampai ke siku. Namun juga ada yang mengartikan jika hanya telapak tangan yaitu dari ujung jari sampai pergelangan. Kemudian para mujtahid berpendapat dengan menggunakan sunnah jika istilah (yad) tersebut berarti dari ujung jari sampai ke pergelangan tangan.[35]
c.     عَيْنٌyang memiliki arti mata, mata-mata, dan sumber (mata air).

b.        Hukum Musytarak
Sedangkan hukum musytarak dalam kaidah ushul fiqh berbunyi :
اِسْتِعْمَالُ المُشْتَرَكِ فِى مَعْنَيْهِ اَوْ مَعَانِهِ يَجُوْزُ
Menggunakan lafadz musytarak dalam dua makna yang dikehendaki atau untuk beberapa maknanya itu diperbolehkan
Jumhur ulama’ memperbolehkan lafadz musytarak karena sesuai dengan firmah Allah dalam QS. Al-Hajj : 18 yang berbunyi :
أَلَمْ تَرَ أَنَّ ٱللَّهَ يَسْجُدُ لَهُۥ مَن فِى ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَمَن فِى ٱلْأَرْضِ وَٱلشَّمْسُ وَٱلْقَمَرُ وَٱلنُّجُومُ وَٱلْجِبَالُ وَٱلشَّجَرُ وَٱلدَّوَآبُّ وَكَثِيرٌ مِّنَ ٱلنَّاسِ....
Apakah kamu tidak mengetahui, bahwa kepada Allah bersujud apa yang ada di langit, di bumi, matahari, bulan, bintang, gunung, pohon-pohonan, binatang-binatang yang melata dan sebagian besar daripada manusia?...” (QS. Al-Hajj : 18)
Lafadz يَسْجُدُ atau sujud dalam ayat tersebut adalah lafadz musytarak, dimana sujud sendiri dapat diartikan sebagai salah satu rukun shalat yaitu meletakkan dahi di tanah dan juga dapat diartikan sebagai tunduk atau patuh. Dalam ayat ini dijelaskan bahwa lafadz sujud dilakukan oleh manusia dan makhluk Allah yang lain, dengan demikian lafadz sujud itu memiliki dua arti.[36]

F.       Penutup
Berdasarkan dari beberapa penjelasan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa dalam hidup itu harus berpedoman pada alquran dan al-hadist, namun kita juga perlu mengetahui kaidah-kaidah fiqh untuk mengatasi permasalahan-permasalahan yang ada di lingkungan masyarakat. Adapun kaidah tersebut ialah:
Yang pertama yaitu Ta’wil, ta’wil merupakan suatu proses pemalingan makna dari yang zhahir kepada makna lain yang lebih jelas dan kuat maknanya. Seperti lafadz يَدُ dalam surat al-Fath ayat 10, itu memiliki makna tangan. Namun kata ini kemudian perlu di-ta’wil kan agar memiliki makna yang jelas. Sehingga lafadz يَدُ berarti kekuasaan Allah swt.
Kemudian yang kedua adalah nasakh. Yaitu pembatalan suatu hukum syar’i kepada hukum yang lain (baru). Karena beberapa hal. Salah satu contoh dari nasakh yaitu pada alquran surat al-Baqarah ayat 240 yang di-nasakh dengan surat al-Baqarah ayat 234. Dalam ayat tersebut menerangkan bahwa dulu masa iddah seorang istri yang hamil ditinggal mati oleh suaminya adalah satu tahun. Namun hukum ini di-nasakh dengan dalil ayat 234, bahwa masa iddah istri yang hamil yang ditinggal mati suaminya adalah 4 bulan 10 hari.
Selanjutnya yang ketiga adalah muradif, yaitu beberapa lafal yang memiliki makna yang sama. Seperti lafadz اللَّيْثُ, الاَسَدُ yang berarti singa.
Dan kaidah yang terakhir yaitu musytarak, suatu lafadz yang memiliki lebih dari satu makna. Seperti lafadz عَيْنٌ yang berarti mata, sumber mata air, dan mata-mata.
Untuk masalah hukum diperbolehkan atau tidaknya menggunakan ta’wil, nasakh, muradif, dan musytarak secara garis besar/ jumhur ulama’ mengatakan boleh, namun juga ada beberapa yang memiliki pendapat tidak boleh digunakan sebagai hukum.


G.      Daftar Pustaka
Anwar, Rosihon. 2015. Ulum Alquran. Cet. 6. Bandung: CV. Pustaka Setia.
Bakry, Nazar. 2003. Fiqh & Ushul Fiqh. Cet.4. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Djalil, Basiq. 2010. Ilmu Ushul Fiqh 1 dan 2. Jakarta: Kencana.
Firdaus. 2004. Ushul Fiqh. Cet. 1. Jakarta: Zikrul Hakim
Marzuki. 2013. Pengantar Studi Hukum Islam. Yogyakarta: Ombak.
Syarifuddin, Amir. 2012. Garis-garis Besar Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana.
Syarifuddin, Amir. 2014. Ushul Fiqh 2. Cet. 7. Jakarta: Kencana.
Wahab Khallaf, Abdul. 1995. Ilmu Ushul Fikih. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Waid, Abdul. 2014. Kumpulan Kaidah Ushul Fiqh. Cet. 1. Jogjakarta: IRCiSoD
S Marzuqi, Ahmad. 2008. Ushul Fiqih. Cet. 1. Jogjakarta: Media Hidayah.

Catatan:
1.      Similarity 8%.
2.      Pendahuluan bukan berisi materi.


[1] Abdul Waid, Kumpulan Kaidah Ushul Fiqh, (Jogjakarta: IRCiSoD, 2014), Cet. 1, hlm. 79
[2] Ibid., hlm. 80
[3] Firdaus, Ushul Fiqh, (Jakarta: Zikrul Hakim, 2004), Cet. 1, hlm. 209
[4] Abdul Waid, Kumpulan...,Op.Cit., hlm. 73
[5] Ibid., hlm. 74
[6] Ibid., hlm. 75
[7] Basiq Djalil, Ilmu Ushul Fiqih 1 dan 2, (Jakarta: Kencana, 2010), hlm. 120
[8] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Cet. 7, (Jakarta: Kencana, 2014), hlm. 45-46
[9] Ibid., hlm. 48-49.
[10] Nazar Bakry, Fiqh & Ushul Fiqh, Cet. 4, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003), hlm. 270.
[11] Amir Syarifuddin, Ushul..., Op.Cit., hlm. 50
[12] Nazar Bakry,...,Op.Cit., hlm. 271-272.
[13] Abdul Waid,...,Op.Cit., hlm. 79-80.
[14] Nazar Bakry,...,Op.Cit., hlm. 272.
[15] Firdaus,...,Op.Cit., hlm. 201.
[16] Amir Syarifuddin, Garis-garis Besar Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2012), hlm. 84.
[17] Firdaus,...,Op.Cit., hlm. 203
[18] Marzuki, Pengantar Studi Hukum Islam, (Jakarta: Ombak, 2013), hlm. 156-158
[19] Ibid., hlm. 160-161
[20] Firdaus,...,Op.Cit., hlm. 205.
[21] Ibid., hlm. 210-211.
[22] Marzuki,...,Op.Cit., hlm. 162.
[23] Firdaus,...,Op.Cit., hlm. 214.
[24] Basiq Djalil,...,Op.Cit., hlm. 130.
[25] Rosihon Anwar, Ulum Al-Quran, Cet. 6, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2015), hlm. 173-175.
[26] Firdaus,...,Op.Cit., hlm. 204.
[27] Ahmad S Marzuqi, Ushul Fiqih, Cet.1,  (Jogjakarta: Media Hidayah, 2008), hlm. 90.
[28] A. Basiq Djalil,...,Op.Cit., hlm. 115
[29] Abdul Waid,...,Op.Cit., hlm. 74.
[30] Basiq Djalil,...,Op.Cit., hlm. 116.
[31] Abdul Waid,...,Op.Cit., hlm. 76.
[32] Basiq Djalil,...,Op.Cit., hlm. 116.
[33] A. Basiq Djalil, Op. Cit., hal. 117
[34] Abdul Wahab Khallaf, Ilmu ‘Usul Fikih, (Jakarta: PT Rineka Cipta,1995), hlm. 221-222
[35] Ibid, hal. 223
[36] Basiq Djalil,...,Op.Cit., hlm. 117-118.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar