Jumat, 11 Mei 2018

INTEGRASI ILMU SOSIAL DAN HADIS (PIPS D Semester genap 2017/2018)



INTEGRASI ILMU SOSIAL DAN HADIS
(Pemahaman Hadis Dengan Ilmu-Ilmu Sosial)
Mohammad Syaifulloh, Rizky Khoirul Muna, Adam
Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial
Kelas D
Universitas Islam Negri Maulana Malik Ibrahim Malang
E-mail :

Abstract
     This article discusses the positions of social sciences and hadiths, the relation between social science and hadith and the comprehension of hadith through the social sciences, in which case the sciences of hadith are used as material objects whereas the social sciences are made as formal objects, this science is separate but basically between the science of hadith and social science has the same dimension that is about human. The social sciences themselves have several disciplines that are grouped into sociology, anthropology, geography, economics, history, psychology, law and political science. With the integration between social sciences and hadith is expected to help and add insight to the community, especially in solving everyday problems, of course, in different times and places.

Keywords: Position, Relation, Integration.

Abstrak
     Artikel ini membahas tentang posisi ilmu-ilmu sosial dan hadis, relasi dan integrasi antara ilmu sosial dan hadis serta pemahaman hadis melalui perangkat ilmu sosial, dimana dalam hal ini ilmu-ilmu hadis dijadikan sebagai objek material sedangkan ilmu-ilmu sosial dijadikan sebagai objek formal, meskipun dua ilmu pengetahuan ini terpisah namun pada dasarnya antara ilmu hadis dan ilmu sosial mempunyai dimensi yang sama yaitu membahas tentang manusia. Ilmu-ilmu sosial sendiri mempunyai beberapa disiplin ilmu yang dikelompokkan menjadi  sosiologi, antropologi, geografi, ekonomi, sejarah, psikologi, hukum dan ilmu politik. Dengan adanya integrasi antara ilmu-ilmu sosial dan hadis ini diharapkan dapat membantu dan menambah wawasan pada masyarakat terutama dalam menyelesaikan masalah sehari-hari, tentunya dalam waktu dan tempat yang berbeda.
Kata Kunci : Posisi, Relasi, Integrasi.
A.    Pendahuluan

      Istilah integrasi sendiri berasal dari bahasa inggris ”Integration” yang mempunyai arti keseluruhan, integrasi adalah istilah yang digunakan untuk menyatukan sesuatu yang mempunyai dimensi berbeda sehingga menjadi satu kesatuhan yang utuh. Dalam hal ini ilmu sosial berperan sebagai ilmu yang membahas mengenai interaksi antara manusia satu dengan manusia lainnya dalam hidup bermasyarakat yang bersifat formal, sedangkan ilmu hadis sendiri adalah ilmu yang bersumber dari hukum islam kedua setelah al.quran.
     Dalam ajaran islam sendiri, ilmu mempunyai prioritas yang sangat penting  hal ini dapat kita ketahui dari banyaknya ayat-ayat al.qur’an yang membahas tentang ilmu, dalam hadis juga banyak yang memberikan dorongan kepada umat islam utuk terus menuntut ilmu. Dalam ajaran islam juga tidak pernah membedakan antara ilmu satu dengan ilmu lainya, baik itu ilmu agama, ilmu sosial dan yang lainnya.  
    Maka dari itu pada zaman modern ini diperlukan adanya integrasi antara ilmu-ilmu sosial dengan ilmu agama, sebagai contoh integrasi antara ilmu sosial dan ilmu hadis, dengan begitu umat islam dapat mengembangkan ilmu-ilmu baru hasil dari integrasi tersebut dan dapat membantu mereka dalam menyelesaikan masalah sehari-hari dalam masyarakat.
     Dari pemikiran tersebut maka artikel ini akan membahas lebih dalam mengenai integrasi antara dua ilmu yang mempunyai kajian yang berbeda yaitu ilmu-ilmu sosial dan ilmu hadis, baik dilihat dari posisi ilmu-ilmu tersebut, relasi antar keduanya serta pemahaman hadis dengan perangkat ilmu-ilmu sosial.

B.     Posisi Ilmu-Ilmu Sosial dan Hadis

1.      Pengertian Ilmu Sosial, Ruang Lingkupnya, dan Posisinya
     Secara umum ilmu pengetahuan sosial atau dalam bahasa asing social studies adalah satu bidang studi yang merupakan hasil kombinasi atau perpaduan dari sejumlah ilmu-ilmu sosial, ilmu pengetahuan sosial ini masih bersifat elementer, dasar dan fundamental. Sementara itu dalam perguruan tinggi ilmu pengetahuan sosial sudah berkembang, oleh karena itu ilmu yang dipelajari pada tingkat perguruan tinggi biyasanya dikatakan dengan istilah  “Social Science”. [1]  
     Secara bahasa ilmu sosial berasal dari dua kata yaitu ilmu dan sosial. Ilmu dalam istilah bahasa arab berasal dari kata “Alima” yang mempunyai arti ‘tahu’, wissenschaft dalam bahasa jerman, dan wetenschap dalam bahasa belanda yang semuanya berarti “tahu”.[2] 
     Sedangkan dalam bahasa inggris ilmu dikatakan science, istilah ini pada mulanya berasal dari bahasa latin scienta yang mempunyai arti pengetahuan, sedangkan kata scienta asalnya dari kata kerja scire yang artinya mempelajari atau mengetahui. Pada tahun 1999 The Liang Gie mengemukakan pendapatnya bahwa ilmu dipandang sebagai kumpulan pengetahuan sistematis, metode penelitian, dan aktivitas penelitian.
     Sedangkan menurut Soekanto pada tahun 1986 ilmu pengetahuan ialah pengetahuan yang disusun secara sistematis dengan menggunakan kekuatan pikiran, pengetahuan juga dapat diperiksa dan ditelaah secara kritis oleh orang lain yang ingin mengetahuinya. Jadi dapat disimpulkan oleh Johnstone bahwa tidak semua pengetahuan itu adalah ilmu, karena ilmu hanya sebatas pada pengetahuan yang didapat secara sistematis.[3]
     Sedangkan istilah sosial sendiri berasal dari bahasa inggris “Social” yang mempunyai arti sangat luas karena yang menjadi objeknya adalah masyarakat atau manusia yang selalu berubah-ubah. Jadi yang dimaksud dengan ilmu sosial secara lebih jauh menurut Ralf Dahrendrof yaitu suatu konsep yang mempunyai sifat ambisius untuk menjelaskan berbagai disiplin akademik yang mempunyai perhatian pada aspek-aspek manusia dalam masyarakat. Bentuk tunggal dari ilmu sosial ini menunjukan sebuah komunitas dan pendekataan yang sekarang ini hanya di akui oleh beberapa orang saja. Ilmu sosial sendiri mencangkup banyak bidang  diantaranya sosiologi, antropologi, psikologi, ekoomi, geografi sosial, politik, sampai dengan ilmu sejarah meskipun di lain sisi ilmu sejarah merupakan ilmu humaniora.[4]
     Terkait dengan ruang lingkup ilmu sosial sampai saat ini sebenarnya para ahli tidak memiliki kesepakatan yang pasti mengenai ruang lingkup ilmu sosial. Pada tahun 1997 Wallerstein mengungkapkan dan mengelompokan yang masuk ke dalam ilmu sosial itu antara lain sosiologi, geografi, antropologi, sejarah, ekonomi, hukum, psikologi, dan ilmu politik. Namun pendapat yang berbeda dikatakan oleh Brown pada tahun 1972 didalam karyanya Explanation in social science, dia berpendapat bahwa yang masuk kedalam kelompok ilmu sosial adalah psikologi, ilmu politik, demografi, sejarah, ekonomi, antropologi, dan sosiologi.
     Dari kedua pendapat tokoh tersebut yang menjadi perbedaan mendasar ialah terletak pada pendapat Wallerstain yang ada tambahan ilmu hukum, sedangkan dalam pendapat Brown ditambahi dengan ilmu demografi, meskipun ada perbedaan pendapat diantara para ahli mengenai apa yang disebut ilmu sosial namun pada dasarnya semua menuju kepada pemahaman yang sama bahwa ilmu sosial adalah ilmu yang mempelajari prilaku dan aktivitas sosial dalam kehidupan bermasyarakat.[5] 
     Ilmu-ilmu sosial sebenarnya mempunyai tujuan untuk mempelajari dan membahas tentang keteraturan-keteraturan yang terdapat pada hubungan antar manusia, namun keteraturan didalam hubungan antar manusia ini bisa berubah dari waktu ke waktu. [6]
     Sehingga dalam hal ini posisi ilmu-imu sosial adalah sebagai objek formal kajian, selain itu ilmu sosial sekarang ini bisa dijadikan sebagai ilmu sosial transformatif karena berbeda dengan ilmu-ilmu sosial akademis maupun ilmu sosial kritis seperti dahulu, selain itu posisi ilmu sosial sekarang tidak hanya sebagai pengetahuan untuk menjelaskan fenomena sosial saja  namun juga dijadikan sebagai upaya untuk mentransformasikannya.[7]

2.      Pengertian Hadis dan Posisinya
     Istilah hadis menurut bahasa arab (al-hadits) mempunyai arti yang lumayan banyak seperti al-jadid (baru), al-khabar (berita), pesan keagamaan serta pembicaraan.[8] Sedangkan jika digunakan sebagai kata sifat maka hadist mempunyai arti “baru”, dalam al- qur’an sendiri kata hadist sering sekali digunakan bahkan mencapai 23 kali.[9]
     Kata hadist sendiri juga sering digunakan oleh nabi muhammad saw dalam berbagai hal, misalnya untuk membahas komunikasi religius, percakapan atau cerita baik dalam ranah pribadi maupun umum, dalam menyampaikan kisah-kisah historis serta kisah rahasia,atau percakapan kontemporer, hal ini dapat terjadi karena pada masa awal-awal islam kisah dan komunikasi nabi menjadi yang lebih dominan (mendominasi) dalam berbagai bidang terutama dalam hal komunikasi saat itu, bahkan kata hadist sering digunakan hampir secara khusus untuk menjelaskan riwayat tentang nabi.[10]
     Sedangkan hadist menurut istilah mempunyai perbedaan pendapat diantara ahli ushul dan ahli hadits. Menurut pendapat ahli hadis, hadis yaitu semua yang diriwayatkan oleh nabi muhammad baik dalam hal himmah, sejarah kelahiran, karakteristik serta kebiyasaan-kebiyasaannya. Namun pendapat berbeda diungkapkan oleh ahli ushul terkait definisi hadits, menurut mereka definsi hadist yaitu segala sesuatu yang bersumber dari nabi muhammad saw serta tidak ada kaitannya dengan hukum maupun mengandung misi kerasulannya misalnya dalam hal tata cara berpakaian, tidur dan makan, tidak termasuk hadist.[11]
     Posisi hadits sendiri dijadikan sebagai sumber kedua dalam islam dan sebagai sumber hukum islam. Dengan kata lain posisi hadits sebagai sumber hukum islam ini, menjadikan kita harus meletakan hadis dalam konteks khusus ushul fiqih. Menurut para ulama ushul fiqih hadits merupakan segala sesuatu yang disandarkan kepada nabi Muhammad SAW baik dalam hal perbuatan, ketetapan maupun ucapannya.[12]
C. Relasi Ilmu-Ilmu Sosial dan Hadis Nabi
Relasi merupakan hubungan antara dua atau beberapa hal yang membentuk satu kesatuan yang padu dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Beberapa hal ini akan saling melengkapi satu sama lain dengan konteks masing – masing keilmuan dan memberikan berbagai manfaat di kehidupan manusia. Keterpaduan beberapa aspek yang menjadikan beberapa disiplin ilmu sangat berkaitan dengan beberapan hadits sosial. Ulama memadukan tiga aspek disiplin ilmu untuk upaya relasi dan integrasi keilmuan yakni aspek spiritual, aspek intelektual, dan aspek moral. Keterpaduan ketiga aspek tersebut disamakan kedudukannya dengan keterpaduan akidah, syari’ah dan akhlak. [13]
Kehidupan manusia tidak lepas dari aturan dan norma yang tercantum dalam Al Qur’an dan Hadits. Berdasarkan keterikatan kedua aspek kehidupan dan sumber kehidupan sosial inilah relasi antara hadits dan sosial sangat penting dalam pengkajiannya. Kesenjangan sosial dan masalah – masalah sosial yang terjadi dimasyarakat dengan berbagai bidang keilmuan terutama dibidang sosial dengan beberapa hadits yang dalam penerapan atau pengaplikasiannya berbeda dengan kondisi yang seharusnya sama dengan kondisi pada zaman Rasulullah SAW.
Perpaduaan dimensi ketuhanan dengan kemanusian yang dikhususkan pada ilmu sosial dan hadits, pada hakikatnya merupakan sebuah pembahasan besar dalam relasi dan integrasi keilmuan dengan agama. Dengan adanya hal ini pada hakikatnya agama dengan keilmuan atau kehidupan sosial tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Kedua aspek ini tidak boleh berdiri sendiri tetapi saling melengkapi dalam permasalahan kehidupan sosial yang ada.[14]
     Secara lebih spesifiki konteks kajian hadits memang memiliki kesamaan tentang muatan unsur ketuhanan tetapi bisa disadari bahwasannya berbeda dengan Alqur’an. Bila ditinjau dari sumbernya misalnya, Al Qur’an secara konkrit merupakan sumber yang asli dan merupakan kalam Allah SWT tanpa adanya intervensi. Berbeda dengan hadits yang bersumber dari tuhan dan ijtihad pribadi dari sisi kemanuasiaan Nabi. Hal ini yang menjadi landasan kuat adanya integrasi hadits dengan sosial yang mana harus disesuaikan dengan kondisi kehidupan dan kemanusiaan.[15]

D. Pemahaman Hadits Dengan Perangkat Ilmu Sosial
Cara - cara yang baik untuk memahami hadis Nabi SAW. Adalah dengan memperhatikan beberapa sebab khusus yang menjadi latar belakang diucapkannya hadits, atau yang berkaitan dengan ‘illah (alasan, sebab) tertentu, yang disimpulkan darinya, ataupun bisa dipahami dari keadaan dan kejadian yang menyertainya.
Siapapun yang ingin meneliti dengan saksama, pasti akan terlihat hadits –hadits yabng terucap berkaitan dengan kondisi khusus untuk memecahkan masalah demi mencapai kemaslahatan yang diharapkan pada saat itu. Hukum yang yang dibawa oleh sebuah hadits adakalanya akan memliki runtutan waktu yang tidak ada batasannya tetapi ada juga hilang akibat dari suatu waktu yang berbeda atau perkembangan zaman. Beberapa perhatian khusus bisa diketahui semuanya berkaitan dengan ‘illah tertentu yang membuat hadits itu tetap berlaku dan tidaknya. [16]
Hadits merupakan hal yang menangani berbagai masalah yang bersifat maudi’iy. Juz’i dan ‘ani dan juga didalalamnya memuat berbagai hal yang yang bersifat khusus dan rinci yang tidak terdapat didalam Al Qur’an. Oleh sebab itu harus adanya proses pemilahan hal – hal yang bersifat khusus dan umum, yang sementara dan yang abadi, dan antara yang pertikular dan universal. Semua itu tidak lepasa dengan kondisi lingkungan dan ‘Illah atau sebab diucapkannya, dipahaminya, dan disimpulkannya suatu hadits.[17]




Contoh pemahaman hadits :

     Disebutkan dalam Shahih Bukhari dan Muslim, dari Abdullah bin Abbas, secara marfu’ :
“Tentang keharusan wanita  disertai mahramnya ketika berpergian jauh”
لاتسفر اممرأة إلا وممعها محرم                       
“Tidak diperbolehkan seorang perempuan berpergian jauh kecuali ada seorang mahram bersamanya”
‘Illah dibalik larangan hadits diatas adalah kekhawatiran akan keselamatan seorang perempuan bila berpergian jauh tanpa bersama seorang pendamping suami atau mahram. Hal ini merupakan suatu alasan seorang perempuan yang dikhawatirkan keselamatannya pada zaman itu. Dimana dalam kondisi dipadang pasir yang luas seorang diri menunggang seekor unta atau keledai keselamatan perempuan menjadi sebuah pertaruhan dan dengan berbagai hal kekhawatiran yang membuat nama baiknya tercemar.[18]
1. Pemahaman hadits dengan perangkat ilmu – ilmu sosial.
Pemahaman yang dilakukan untuk memahami suatu hadits dari segi perangkat ilmu sosial dengan menelaah beberapa aspek sejarah yang terjadi pada zamna Nabi dengan begitu studi pemhaman hadits tidak berhenti pada naqd, sanad dan matan saja. Upaya pembongkaran isi dan makna dari suatu hadits yang terkandung didalamnya yang dipadukan dengan pendekatan historis yang kritis, yang bersifat mikro maupun makro. Hal ini sangat penting mengingat kondisi pada masa Rasulullah SAW dengan masa sekarang sangat berbeda jauh. Dengan hasil dari upaya yang dilakukan dapat diketahui latar belakang serta maksud munculnya hadits dan bisa dipahami dan diterapkan haditsnya dengan kondisi masa sekarang.[19]
Menurut Dr. Yusuf Qadhawi dalam bukunya yang sudah diterjemahkan oleh Muhammad Al Baqir bahwasannya ada 8 petunjuk dan ketentuan umum untuk memahami hadits dengan baik.
              a.     Memahami hadits sesuai dengan petunjuk Al Qur’an
     Dalam memahami hadits dengan pemahaman yang benar yang jauh dari penyimpangan, palsu dan penafsiran yang buruk haruslah memahaminya sesuai dengan petunjuk Al Qur’an. Dalam memahami sesuai dengan bimbingan sang Ilahi akan pasti kebenarnya dan tidak ada keraguan didalmnya. Sesuai dengan firmannya :

وَتَمَّتْ كَلِمَتُ رَبِّكَ صِدْقًا وَعَدْلًا ۚ لَا مُبَدِّلَ لِكَلِمَاتِهِ ۚ وَهُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ
     “Dan telah sempurnalah kalimat Tuhanmu, dalam kebenaran dan keadilannya. Tidak ada yang dapat mengubah – ubah kalimat Nya dan Dia-lah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui” (QS. Al An’am : 115)

Perlunya Penelitian Saksama tentang Keberlawana Suatu Hadits dengan Al Qur’an
     Tentang hal ini mengingatkan bahwasanya jangan sembarangan melontarkan tuduhan adanya keberlawan antara hadits dan Al Qur’an, tanpa adanya dasar yang benar.
     Pada masa yang lalu kaum Mu’tazilah sangat jauh menyimpang dari kebenaran saat mereka menolak hadits – hadits shahih dan dikenal secara luas mengenai akan diberinya syafa’at diakhirat kepada Rasulullah SAW dan saudara beliau.

             b.     Menghuimpun Hadits – Hadits yangTerjalin dalam Tema yang sama.
     Dalam memahami hadits agar benar harus menghimpun semua hadits yang shahih yang berkaitan dengan suatu tema tertentu dan sama. Lalu dikembalikan kandungannya yang mutasyabih kepada yang muhkam, mengaitkan yang muthlaq dengan yang muqayyad, dan menafsirkan yang ‘aim dengan yang khash. Dengan inilah dapat dimengerti maksud lebih jelas dan tidak dipertentangkan antara beberapa hadits satu dengan hadits yang lainnya.
              c.     Penggabungan atau Pentarjihan antara Hadits – Hadits yang (Tampaknya) Bertentangan
     Pada dasarnya, nash syariat tidak mungkin bertentangan. Karena kebenaran tidak akan bertentangan dengan kebenaran. Jika berandai bahwasanya danya pertentangan maka itu hanya tampak pada sisi luarnya saja tetapi bukan dalam kenyataan yang hakiki.
             d.     Memahami Hadits dengan Mepertimbangkan Latar Belakangnya, Situasi dan Kondisinya Ketika Diucapkan, serta Tujuannya.
     Dengan memeperhatikan sebab sebab khusus yang menjadi latar belakang hadits itu diucapkan yang dikaitkan dengan ‘Illah (alasan. Sebab).  Siapapun yang yang ingin meneliti hadits dengan saksama harus melihat bahwasannya diantara hadits – hadits yang diucapkannya berkaitan dengan kondisi khusus yang menjadikan dan pemecahan permasalahan untuk mendapatkan apa yang diharapkan dan mencapai kemaslahatan.


              e.     Membedakan antara Sarana yang Berubah – ubah dan Sasaran yang Tetap
     Dengan membedakan tujuan dan sasaran yang akan dicapai oleh hadits dengan prasana temporer atau lokal yang biasanya menunjang pencapaian sasaran yang dituju agar tidak terjadi kekeliruan dalam memahami hadits.
              f.     Membedakan antar Ungkapan yang Bermakna Sebenarnya dan yang bersifat Majaz dalam Memahami Haidts.
     Banyak sekali ungkapan – ungkapan yang berbentuk majaz dalam bahasa arab. Ungkapan dalam bentuk majaz lebih berkesan dalam pengungkapannya dibandingkan dengan ungkapan biasanya. Hal ini juga didasari bahwa Rasulullah SAW merupakn seorang yang berbahasa aran paling menguasai Balaghah. Majaz disini merupkan majaz lughawi, ‘aqliy, isti’arah, kinayah dan berbagai ungkapan yang hanya dapat dipahami dengan indikasi yang menyertainya yang bersifat tekstual maupun kontekstual.
             g.     Membedakan antara Alam Ghaib dan Alam Kasatmata
     Salah satu kandungan hadits ialah mengenai hal – hal yang berkaitan dengan alam ghaib dan sebagian menyangkut makhluk – makhluk yang tidak dapat dilihat. Malaikat diciptakan oleh Allah SWT untuk melakukan tugas dan apa yang diperintahkan oleh Allah SWT.
وَمَا يَعْلَمُ جُنُودَ رَبِّكَ إِلَّا هُوَ...
“…Dan tidak ada yang mengetahui tentara Tuhanmu melainkan Dia Sendiri…”
             h.     Memastikan Makna dan Konotasi kata – kata dalam hadits
     Susunan hadits dipastikan dengan makna dan konotasi kata – kata yang digunakan. Karena kata – kata yang berkonotasi akan berubah dari zaman ke zaman lainnya dan dari suatu lingkungan dengan lingkungan yang lainnya.
     Dalam buku Dr. Yusuf Qardhawi, Imam Ghazali telah mengingatkan bahwasannya beberapa ilmu dan makna – makna telah berubah sejak digunakan pada saat masa – masa ulama salaf. Oleh sebabtu, Imam Ghazali memberi peringatan tentang bahaynya perubahan tentang makna kata – kata yang berkonotasi dan dapat menyesatkan pemahaman orang – orang dalam penelitiannya kurang teliti dalam mendefinisikan konsep – konsep. Oleh sebab itu Imam Ghazali menulis sebuah bab yang penting dalam kitab Ihya’ ‘Ulum Ad- Din sebagai berikut, :

     “Ketahuilah, bahwa asal-mula terkacaunya ilmu-ilmu yang tercela dengan ilmu-ilmu syariat, adalah penyimpangan dan penggantian nama-nama yang baik, kemudian pengalihannya – berdasarkan tujuan-tujuan yang buruk – kepada makna-makna yang tidak dimaksudkan oleh para salaf yang baik-baik serta para tokoh abad pertma. Semua ada lima kata yaitu: fiqh, ‘ilm, tauhid, tadzkir (penyuluhan, dan himah. Kelima-limanya adalah nama-nama terpuji;sedangkan para penyandangnya dalah orang-orang yang memegang jabatan-jabatan dalam agama. Akan tetapi, kelima kalimat itu kini telah dialihkan kepada makna-makna tercela,sehingga membuat banyak orang menjauhkan diri dari mereka yang menyandang sifat-sifat seperti itu atau dikenal secara luas sebagai tokoh-tokohnya”[20]
2.  Penerapan Integrasi Hadits dengan Sosial.
              a.     Etika Membuang hajat.
عَنْ الْمُغِيرَةِ بْنِ شُعْبَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا ذَهَبَ الْمَذْهَبَ أَبْعَد
Dari Mughirah bin Syu’bah RA, bahwa ketika Rasulullah SAW hendak membuang hajat, maka beliau akan pergi menjauh.
Keterangan : Hadits Shahih. Diriwayatkan oleh Abu Daud (no.1), Nasa’i (no. 17), Tirmidzi (no. 20) dan Ibnu Majah (no. 268).
Kandungan hukum hadits :
1) Menjauhkan diri ketika membuang hajat merupakan sebuah keharusan hingga tidak terlihat oleh pandangan orang lain disekitar. Sebab seseorang yang mau membuang hajat perlu untuk membuka sebagian besar pakaian serta membuang hajat menyisakan bau yang tidak enak.[21]
     Hal ini patut dilakukan untuk menjaga malu serta etika ketika membuang hajat.
     Nah, pembahasan hadits tentang membuang hajat pada zaman Rasulullah berbeda dengan zaman sekarang yang semakin maju. Pada zaman Rasulullah SAW tidak ada kamar khusu untuk memembuang hajat sehingga harus menjauh dari keramaian, lain halnya dengan zaman modern sekarang. Pada zaman modern saat ini kita tidak perlu untuk membuang hajat yang jauh ditempat yang tidak dilihat oleh orang, namun sekarang sudah adanya kamar khusus untuk membuang hajat.
     Kondisi saat masa Rasulullah SAW dengan kondisi masa sekarang sangat jauh berbeda. Dengan begitu hadits ini bisa disesuaikan dengan kondisi masa sekarang dibandingkan dengan masa Rasulullah SAW. Namun perlu diketahui bahwasannya kita tidak boleh sembarangan menafsirkan hadits dan menyesuaikan hadits dengan kondisi saat ini.







E. Kesimpulan
          Ilmu sosial merupakan ilmu yang membahas hubungan interaksi antara manusia satu dengan manusia lainnya baik dalam hubungan antara individu dengan individu, individu dengan kelompok, maupun kelompok dengan kelompok. Ilmu sosial sendiri mempunyai ruang lingkup yang sangat luas antara lain ilmu sosiologi, ilmu geografi, ilmu sejarah, ilmu ekonomi, antropologi, dan politik. Sedangkan relasi dan integrasi ilmu-ilmu sosial dan hadist nabi pada dasarnya merupakan cara baru untuk menyatukan antara dua bidang ilmu yang berbeda, yaitu ilmu agama dengan ilmu-ilmu sosial. selain itu inti dari integrasi dua cabang ilmu ini bertujuan untuk memperlihatkan bahwa dalam islam tidak ada pembedaan antara ilmu agama dengan ilmu umum. Kedua ilmu ini tidak boleh berdiri sendiri secara terpisah tetapi harus dipadukan dan secara bersama-sama dapat  digunakan untuk membantu dan memecahkan masalah-masalah yang ada di masyarakat.






























F. Daftar Pustaka
     Azami, Musthafa. 1997. Memahami Ilmu Hadis. Jakarta : Lentera
Afwadzi, Benny. 2016“Membangun Integrasi Ilmu-ilmu sosial dan Hadits Nabi”. Jurnal Living Hadis, Volume 1, Nomor 1, Mei 2016.
Hamalik, Oemar. 1992. Studi Ilmu Pengetahuan Sosial. Bandung : Mandar Maju
Iskandar, Syahrullah. 2016. Studi Al.Qur’an Dan Integrasi Keilmuan:Studi Kasus.Bandung : Uin Sunan Gunung Djati

Kholis, Nur. 2008. Pengantar Studi Al.Qur’an Dan Hadis.Yogyakarta : Teras
Kuntowijoyo. 2008. Paradigma Islam Interpretasi Untuk Aksi.Bandung : PT. Mizan Pustaka
Muhammad bin Kamal Khalid As – Syuyuthi. 2006. Kumpulan Hadits yang disepakati Empat Imam (Abu Daud, Tirmidzi, Nasa’I, dan Ibnu Majah. Jakarta: Pustaka Azzam.
Qardhawi, Yusuf. Bagaimana Memahami Hadis Nabi SAW. Bandung: Karisma
Supardan, Dadang. 2008. Pengantar Ilmu Sosial Sebuah Kajian Pendekatan Struktural. Jakarta : PT.Bumi Aksara
Suhada, Idad. 2017. Ilmu Sosial Dasar. Bandung : PT.Remaja Rosdakarya
Supadie, Ahmad Didiek dkk. 2011. Pengantar Studi Islam. Jakarta : PT. Raja Grafindo
Sumbulah, Umi dkk. 2014. Studi Al.Qur’an Dan Hadis. Malang : Uin Maliki Press
Zuhri, Muh. 2003. Hadis Nabi Telaah Historis dan Metodologis. Yogyakarta : PT. Tiara Wacana Yogya

Catatan:
Similarity 11%, cukup baik. Hanya saja, pembahasan mengenai Yusuf al-Qaradhawi tidak perlu dicantumkan, sebab itu kurang relevan dengan judul makalah. Contoh pemahaman hadis dengan ilmu sosial pun Cuma satu, harusnya mencari tiga hadis paling tidak. Lihat artikel saya yang berjudul “Integrasi Ilmu-Ilmu Alam dan Ilmu-Ilmu Sosial dengan Pemahaman Hadis Nabi”, bisa diunduh di repository saya.





[1] Oemar Hamalik, Studi Ilmu Pengetahuhan Sosial, Mandar Maju: Bandung, 1992, hlm., 3.
[2] Didiek Ahmad Supadie, Pengantar Studi Islam, PT. Rajagrafindo Persada: Jakarta, 2011, hlm., 229.
[3] Dadang Supardan, Pengantar Ilmu Sosial: Sebuah Kajian Pendekatan Struktural, Bumi Aksara: Jakarta, 2013, hlm., 22-24.
[4] Ibid., hlm. 30.
[5] Ibid., hlm. 34-35.
[6] Idad Suhada, Ilmu Sosial Dasar, PT. Remaja Rosdakarya: Bandung, 2016,hlm., 3.
[7] Kunto Wijoyo, Paradigma Islam, Mizan Pustaka: Bandung, 2008,hlm., 482.
[8] Muh Zuhr, Hadis Nabi: Telaah Historis dan Metodologis, PT. Tiara Wacana: Yogyakarta, 2003,hlm., 1.
[9] M.Azami, Memahami Ilmu Hadis, Lentera: Jakarta, 1993, hlm., 3.
[10] Ibid., hlm. 4-5.
[11] Nur Kholis, Pengantar Studi Al-Quran dan Al-Hadits, Teras: Yogyakarta, 2008, hlm., 162-163.       
[12] Umi Sumbulah dkk, Studi Al-Qur’an Dan Hadis, Uin Maliki Press: Malang,2014, hlm., 35.
[13] Syahrullah Iskandar, “Studi Al.Quran Dan Integrasi Keilmuan:Studi Kasus Uin Sunan Gunung Djati Bandung”. 2016, hlm., 87.
[14] Benny Afwadzi, “Membangun Integrasi Ilmu-ilmu sosial dan Hadits Nabi”. Jurnal Living Hadis, Volume 1, Nomor 1, Mei 2016, 106.
[15] Benny Afwadzi, Ibid.,107.
[16] Yusuf qardhawi, Bagaimana Memahami Hadis Nabi SAW, Karisma, Bandung, hlm., 131.
[17] Ibid., hlm. 132.
[18] Ibid., hlm. 136.
[19] Benny afwadzi, Ibid., hlm. 110.
[20]  Ibid., hlm. 92 -195.
[21]  Muhammad bin Kamal Khalid As – Syuyuthi, Kumpulan Hadits yang disepakati Empat Imam (Abu Daud, Tirmidzi, Nasa’I, dan Ibnu Majah, Buku Islam Rahmatan, 2006, hlm., 61.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar