Senin, 07 Mei 2018

TA'WIL DAN NASAKH, MURADIF DAN MUSYTARAK (PAI B Semester Genap 2017/2018)



TA'WIL DAN NASAKH, MURADIF DAN MUSYTARAK
Siti Ana (15110234), Zainal Abidin (15110245)
PAI B Semester VI
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang
Email: anasiti048@gmail.com

Abstract:
There are several rules that must be considered in an effort to explore and establish the Islamic laws.  Some of them are takwil, nasakh, muradhif,  and musytarak. According to Wahab Khalaf (ulama’ of Ushul Fiqh) takwil is turning away the lafadz from its original (dzahir) meaning. Interpretation of nasakh is the laws that was abolished by Allah, and its abolition in accordance with the expiration of a law. Then, according to ulama’ of Ushul Fiqh, muradhif has the meaning of some lafadz used for a meaning. While musytarak is lafadz which has two or more meanings, with many uses and can show a different meaning.
Keywords: Ta`wil, nasakh, muradhif, musytarak

Abstrak:
Dalam usaha menggali dan menetapkan hukum-hukum islam, ada beberapa kaidah yang harus diperhatikan. Diantaranya adalah ta`wil, nasakh, muradhif, musytarak. Ta`wil menurut Wahab Khalaf (ulama` ushul fiqh) memiliki arti memalingkan lafazh dari zhahirnya, karena ada dalil. Nasakh diartikan hukum yang dihapus atas kehendak Allah, dan penghapusannya sesuai dengan habisnya masa berlaku suatu hukum.Muradhif menurut ulma` ushul fiqh memiliki arti beberapa lafazh yang terpakai untuk satu makna, sedangkan musytarak ialah lafazh yang memiliki dua arti atau lebih, dengan kegunaan yang banyak dan dapat menunjukan suatu arti secara berbeda-beda.
Kata Kunci: Ta`wil, nasakh, muradhif, musytarak








A.    PENDAHULUAN
Al-Qur`an dan As-Sunnah merupakan sumber hukum islam yang paling utama, dalam kedua sumber hukum tersebut banyak lafazh yang sulit dipahami, oleh karena itu diperlukan suatu metode yang disebut ilmu ushul fiqh agar tidak terjadi kesalahan dalam menetapkan suatu hukum.
Diantara dalil-dalil dalam Al`Qur`an dan As-Sunnah ditemukan adanya lafazh yang berbeda-beda, ada lafazh yang langsung kita fahami ditinjau dari zhahirnya saja, ada pula lafazh yang sulit kita fahami serta memerlukan dalil yang lain untuk menguatkan. Sebagian dalil juga ada yang arti lafazhnya tidak ada pada zhahirnya, itulah yang disebut dengan ta`wil.
Nasakh mansukh memiliki peran yang penting dalam ulumul Qur`an, sebab dengan memahaminya kita dapat memahami apakah hukum yang tertulis itu masih berlaku apa tidak. Dari segi sejarah, nasakh mansukh dapat mengungkap tabir, proses perjalanan, perundang-undang Islam dan menggali pesan yang tersembunyi dibalik tarbiyah Allah SWT kepada hamba-Nya.
Dalam Al-Qur`an kita sering menjumpai lafazh yang berbeda namun memilik arti sama yang disebut dengan muradhif, begitu pula sebaliknya yakni musytarak.Oleh sebab itu, agar tidak terjadi kesalahan dalam memahami makna ayat dan hadits yang lafazhnya memiliki banyak makna diperlukanlah pemahaman aspek-aspek yang terdapat pada muradhif dan musytarak.

B.     TA’WIL DAN NASAKH
1.      Ta'wil
a.      Pengertian Ta'wil
·         Menurut Bahasa
Menurut pendapat Abu Ubaidah Ma’mar bin Al-Matsani dan keterangan yang dikemukakan oleh Abu Ja’fat At-Thabary (Adib Shalih)  takwil berasal dari kata. أَوَّلَ-يُؤًوِّلُ   yang mempunyai arti At-Tafsir, Al-marja’,Al-Mashir.[1]
Pengertian  ini diambil dari hadits
مَنْ صَامَ الدَّهْرَ فَلَا صَامَ ولَا آلَ
Artinya:
Barang siapa yang puasa sepanjang masa, maka berarti ia tidak puasa dan tidak ada balasannya”
Di samping, takwil juga mempunyai arti Al-Jaza’. Seperti halnya Firman Allah SWT :
ذَلِكَ خَيْرُ وَاَحْسَنُ تَأْوِيْلاً {النساء : 59}
Artinya :
“....yang demikian itu, lebih utama dan lebih baik akibatnya.”
Dari penjelasan di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa secara bahasa, ta`wil memiliki arti At-Tafsir (penjelasan,uraian) atau Al-Marja’, Al-Mashir (kembali, tempat kembali) atau Al-jaza’ (balasan yang kembali kepadanya).
·         Secara terminologi
Sedangkan pengertian ta`wil secara terminologi para ulama berbeda pendapat dalam mendifinisikannya. Berikut ini merupakan pendapat dari para ulama salaf :
1.                    Imam Al- Ghozali dalam kitab Al-Musytashfa (Al-Ghozali, 1973:128)
إِنَّ التَّأْوِيْلَ عِبَارَةٌ عَنِ احْتِمَالٍ يُعَضِّدُهُ دَلِيْلٌ يَصِيْرُ بِهِ اَغْلَبٌ عَلَى الظَّنِّ مِنَ الْمَعْنَى الّذِي يَدُلُّ عَلَيْهِ الظَّاهِرُ.

Artinyya:
Sesungguhnya takwil itu merupakan ungkapan tentang pengambilan makna dari lafadz yang bersifat probabilitas yang didukung oleh dalil dan menjadikan arti yang lebih kuat dari makna yang ditunjukkan oleh lafadz zhahir”
2.                    Imam Al-Amudi dalam kitab Al-Mustashfa :
حَمْلُ اللَّفْظِ عَلَى غَيْرِ مَدْلُوْلِهِ الظَّاهِرِ مِنْهُ مَعَ احْتِمَالِهِ بِدَلِيْلٍ يُعَضِّدُهُ.
Artinya:
Membawa makna lafadz zhahir yang mempunyai ihtimal (probabilitas) kepada makna lain yang didukung dalil.”
Dalam menjelaskan definis ta`wil, kaum muhaditsin dan ulama Ushul Fiqh sejalan dalam mengemukakannya, yakni :
3.                    Menurut wahab khalaf:
صَرْفُ اللَّفْظِ عَنْ ظَاهِرٍ بِدَلِيْلٍ
Artinya:
“Memalingkan lafadz dari zhahirnya, karena ada dalil”
4.                    Menurut Abu-Zarhah: (Abu Zarhah:130)
إِخْرَاجُ اللَّفْظِ عَنْ ظَاهِرِ مَعْنَاهُ اِلَي مَعْنًى أَخَرَ يَخْتَمِلُهُ وَلَيْسَ هُوَ الظَّاهِرُ فِيْهِ.
Artinya:
ta`wil adalah mengeluarkan lafadz dari artinya yang zhahir kepada makna lain, tetapi bukan zhahirnyq”
Jika kita teliti kembali secara seksama, pengertian ta`wil itu lebih umum daripada pengertian khas,’amm, dan mutlaq, dikarenakan lafadz tersebut menunjukkan arti yang dimaksud dan dianggap dalil qoth’i.
Yang menjadi penyebab adanya penakwilan terhadap lafadz-lafadz yang artinya dianggap kuat adalah karena arti zhahirnya tidak sesuai dengan arti yang haqiqi, sehingga hasil dari takwil menyebabkan arti yang tidak kuat menjadi kuat. Kesimpulannya lebih mengutamakan makna dari hasil prasangka yang sesuai dengan maksud syara’[2].

b.      Macam-macam Ta'wil
1)      Ditinjau dari segi penerimaan dan tidaknyaa ta`wil, terdapat 2 bentuk, yakni:
·         Ta`wil maqbul atau ta`wil yang diterima, yakni ta`wil yang telah memenuhi persyaratan yang sudah dijelaskan diatas.
·         Ta`wil ghoiru maqbul atau ta`wil yang ditolak, yaitu ta`wil yang hanya didasarkan pada hasrat si penta`wil tanpa mengikuti persyartan yang sudah disebutkan.
2)      Ditinjau dari segi jauh dekatnya pengalihan makna lafazh yang dita`wil dari segi zhahirnya , terdapat 2 bentuk, yakni :
·         Ta`wil qorib, yaitu ta`wil yang tidak berjauhan dari segi zhahirnya lafazh, sehingga dengan logika dan penalaran saja kita sudah bisa memahaminya, namun tetap tidak boleh keluar dari persyaratan yang sudah dijelaskan.
·         Ta`wil ghoiru maqbul atau ta`wil yang ditolak, yaitu ta`wil yang hanya didasarkan pada hasrat si penta`wil tanpa mengikuti persyartan yang sudah disebutkan.[3]
3)      Dari segi prakteknya Zaky Al-Din Sya’ban berpendapat bahwa ta’wil dapat dibedakan menjadi dua macam, yakni :
·        Ta’wil yang dekat dengan arti zhahirnya dan bisa dipahami dengan mudah تأويله قريب إلى الفهم)). Dalam ta’wil jenis ini, dalil yang kualitasnya lebih rendah sudah cukup untuk menetapkannya.
Contoh :
يَأَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا إذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوْا وُجُوْهَكُمْ...
Artinya :
Hai orang-orang yang beriman apabila kamu hendak mendirikan sholat maka basuhlah muka kamu....(QS.Al-Maidah :6)
Ayat diatas terdapat lafadz (قمتم) yang makna zhahirnya berdiri dan mendirikan. Jika hanya mengambil makna zhahirnya, maka disimpulkan waktu berwudhu hanya saat setelah berdiri untuk menunaikan sholat, hal tersebut sangatlah sempit untuk difahami. Maka diperlukan penta’wilan, dari kata berdiri dirubah menjadi sengaja menunaikan sholat. Jadi ayat fiatas menjelaskan jika hendak menunaikan sholat maka diwajibkan wudhu terlebih dahulu.
·        Ta’wil yang jauh dari arti zhahirnya dan sulit untuk dipahami, oleh karena itu dalam penetapannya diperlukan dalil yang kuat serta dapat menjadikan lebih rajih daripada makna zhahirnya.
Contoh :
تَاْوِيْلٌ بَعِيْدٌ عَنِ الْفَهْمِ....لَا بُدَّ لَهُ مِنْ دَلِيْلِ قَوِيٍّ وَيجْعَلُهُ رَاجِحًا عَلَى المَعْنَى الظَّاهِرِ
“Tangan Allah diatas tangan mereka (QS. AL-Fath :10)
Dalam ayat diatas terdapat lafadz يدالله) (yang jelas makna dzahirnya adalah Tangan Allah, namun Allah itu harus suci dari sifat sifat yang menyerupai makhluknya, tidak mungkin arti lafadz (يدالله) itu seperti tangan kita, tangan hewan atau makhluk lainnya. Dari situ Abu zahroh mengemukakan bahwa yang dimaksud lafadz (يدالله) adalah “ kekuasaan Allah”.[4]

c.       Syarat-syarat Ta'wil
Menurut Abu Zahroh, untuk menta’wil suatu lafadz harus diperlukan beberapa syarat sebagai berikut :
·         Lafazh tersebut memang bisa menerima ta`wil, seperti lafazh zhahir dan nash, serta tidak diperuntukkan pada lafazh muhkam dan mufassar.
·         Lafadz yang akan dita’wil hendaklah memang mungkin atau perlu dilakukan, meskipun makna yang dikehendaki jauh dari arti zhahirnya. Menurut Zaky Al- Din Sya’ban jika arti zhahirnya jelas namun tidak tidak sesuai penerapannya maka boleh mengambil arti majaz.
·         Penta’wilan itu bisa dilakukan jika arti zhahirnya bertentangan dengan kaidah yang sudah ditetapkan atau berlawanan dengan nash yang lebih kuat dalalahnya.
·         Dalam pentakwilan hendaklah didasari dengan dalil yang kuat dan logis agar lebih bisa diterima serta sesuai dengan penerapannya. Menurut Abdul Karim Zaidan dalil yang dimaksud bisa mencakup nash, ijma’, qiyas dan hikmah.
Syarat syarat diatas berkenaan dengan boleh tidaknya ta`wil dari segi nash syara`,Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi dari segi penta`wil, yakni sebagai berikut :
1)      Penta`wil harus memiliki kecakapan akademis, mampu mendalami makna nash   sehingga sampai kepada apa yang dimaksud Allah sebisa mungkin, meskipun tidak seutuhnya benar karena kebenaran hanya milik Allah SWT.
2)      Penta`wil harus memiliki kemampuan dan keilmuan dalam ber-isdlal dan ber-istinmbath.
3)      Penta`wil harus mempunyai sikap yang bijaksana dalam mentarjih 2 dalil yang berbeda atau bertentangan
4)      Penta`wil harus memiliki keilmuan yang luas tentang hukum Islam, kaidah kebahasaan, kaidah syariah,agar bisa memahami apa yang dimaksud Allah atas teks teks syara[5]`.
Pada umumnya, ulama ushul tidak berbeda dalam menentukan syarat penta’wilan. Oleh karena itu ta’wil yang shohih harus berpijjak pada syarat-syarat diatas. Jika tidak memenuhi syarat tersebut, maka penta’wilan lafadz yang nash yang zhahir tidak dapat diterima.

d.      Pandangan Ulama tentang kedudukan dalalah ta'wil
Sebagaimana yang sudah dijelaskan diatas, bahwa pengertian dari ta`wil adalah memalingkan lafazh dari zhahirnya karena ada dalil, namun tidak semudah itu dalam menerapkannya,ada perbedaan ulama` dalam menanggapi hukum ta`wil.
Perbedaan tersebut terutama terjadi diantara madzhab syafii`i dengan madzhab Hanafi. Zaky al-Din Sya`ban menjelaskan bahwa penta`wilan yang paling banyak itu dilakukan oleh madzhab Hanafi. Dan hasilnya banyak ditentang oleh kalangan madzhab lainnya.
Ulama` syafi`i berpendapat bahwa penta`wilan itu harus dilakukan dengan makna yang dekat dengan arti zhahirnya, sedangkan menurut Madzhab Hanafi persyaratan tersebut tidak diberlakukan,mereka lebih banyak menggunakan ilmu ro`yinya, menurutnya yang terpenting adalah sesuai dalil syara` dan tidak menyalahinya.
Berikut contoh penolakan ta`wil oleh madzhab Syafi`i terhadap mazhab Hanafi, yakni dalil yang menjelaskan zakat kambing.

فىِ كلِّ اَرْبَعِيْنَ شَاةً شاةٌ

 “Setiap empat puluh ekor kambing, zakatnya harus dikeluarkan satu ekor”

Madzhab Hanafi menta`wil hadits tersebut, bahwa yang dimaksud dengan satu ekor kambing bisa di ganti dengan harga yang senilai dengannya, menurut madzhab Hanafi diwahjibkannya zakat dalam hadits tersebut bertujuan untuk menaggulangi kabutuhan fakir miskin, dengan demikian dapat disimpulkan bahwa barangsiapa yang telah memilki 40 ekor kambing, maka wajib baginya mengeluarkan zakat dengan satu ekor kambing dan apabila tidak ingin dengan satu ekor kambing, bisa dengan sesuatu yang senilai dengannya.
           
Penta`wilan yang dilakukan madzhab Hanafi tersebut ditolak oleh madzhab Syafi`i, karena menurut madzhab Syafi`i berdasarkan nash zhahir lafazh tersebut menuntut untuk wajibnya zakat satu ekor kambing, karena syar`i sudah menentukan demikian. Penjelasan secara makna zhahir lafzh nash tersebut munurut madzhab Syafi`i  tidak bisa diganti dengan yang lainnya.
Dari pendapat kedua madzhab tersebut dapat dapat dipahami perbedaan sesuatu yang tidak dapat terhindarkan, mereka pasti mempunyai pemikiran tersendiri dalam menetapkan suatu hukum, akan tetapi dapat diambil kesimpulan, bahwa ta`wil ini bisa diberlakukan sepanjang memenuhi persyaratan yang sudah dijelaskandan tidak berlawanan dengan nash yang sarih.[6]

2.      Nasakh
a.      Pengertian Nasakh
Pada saat kajian ushul fiqh, para Ulama ushul membicarakan tentang masalah nasakh. Maka dari itu, dibutuhkan penjelasan tentang bagaimana masalah nasakh yang sesungguhnya jika dikaitkan dengan hukum Islam. Berikut adalah penjelasan tentang apa pengertian dari nasakh itu sendiri.
Secara bahasa, nasakh berarti pembatalan atau penghapusan. Sedangkan menurut istilah, ada beberapa pendapat:
1)      Menurut Ulama ushul fiqh, nasakh adalah penjelasan suatu hukum melalui dalil syar'i yang mulai datang sampai berakhir masa berlakunya. Maksudnya adalah hukum yang dihapus atas kehendak Allah, dan penghapusannya sesuai dengan habisnya masa berlaku suatu hukum.
2)      Pembatalan hukum syara' dari orang mukallaf yang ditetapkan terdahulu, sama dengan hukum syara' yang terbaru.
Dari definisi para ulama ushul fiqh diatas, maka nasakh akan dianggap benar apabila:
a)      Dari tuntutan syara', maka adanya pembatalan yang mengandung hukum dari syar'i  (Allah dan Rasulullah Saw).
b)      Hukum syara' yang dibatalkan disebut dengan mansukh.
c)      Jika ada hukum yang dibatalkan, maka ada hukum yang datang kemudian. Artinya adalah, lebih dahulu datang suatu hukum syara' yang dibatalkan dari hukum yang membatalkan. Oleh sebab itu, jika ada hukum yang berkaitan dengan syarat yang bersifat istisna' (pengecualian) maka tidak dinamakan nasakh.[7]
Penghapusan hukum (nasakh) ini hanya terjadi pada zaman Rasululllah masih hidup. Pada masa hidupnya, beliau dituntut untuk merealiasasikan kemaslahatan umat yang telah dikehendaki oleh nasakh dalam ayat Al`Qur`an dan hadits.[8]

b.      Rukun Nasakh
Ulama ushul membagi empat unsur yang dijadikan sebagai pijakan, landasan atau patokan terjadinya nasakh, yang sering disebut dengan arkan al-nasakh yaitu rukun nasakh. Berikut adalah penjelasan dari Imam Al-Ghazali tentang keempat unsur yang menjadi rukun nasakh:
Bisa disebut dengan nasakh, apabila dari suatu ketentuan hukum muncul adanya pernyataan penghapusan, hal tersebut dinamakan رفع الحكم
1)      'Adat al-Nasakh, yaitu suatu pernyataan yang menunjukkan pembatalan (penghapusan).
2)      Nasikh, yaitu Allah, Dia-lah yang membuat dan membatalkan hukum dengan sesuai kehendak-Nya.
3)      Mansukh, ada hukum yang dihapuskan, dibatalkan dan dipindahkan.
4)      Mansukh 'Anhu, yaitu ada orang yang dibebani hukum.[9]
c.       Syarat-syarat Nasakh
Menurut Abu Zahrah syarat nasakh adalah sebagai berikut :
i.    Hukum yang dibatalkan itu bukan persoalan yang sifatnya permanen atau abadi, seperti halnya perintah Nabi saw kepada umatnya untuk selalu berijtihad. Nabi pernah bersabda  bahwa ijtihad itu berlaku sejak diperintahkan sampai hari akhir   )     .     الجهاد ماض إلى يوم القيامة )

ii.  Hukum yang dibatalkan bukanah hukum yang baik buruknya itu bisa dipijakkan hanya dengan akal, seperti zalim dan dusta.
iii.          Nasakh  yang membatalkan itu harus datang kemudian, dikarenakan nasakh berarti berakhirnya keberlakuan suatu hukum tersebut.
iv.           Nasakh atau penghapusan itu hendaklah hukum yang tidak bisa dikompromikan.

Imam Al-Ghozali juga mengemukakan pendapat tentang syarat nasakh,yakni :
a.       Hukum yang dinasakh adalah hukum syara`
b.      Hukum yang dinasakh adalah tuntutan syara`, jika pembatalan itu diperuntukkan pada orang yang sudah meninggal maka  tidak disebut nasakh
c.       Hukum yang dinasakh bukanlah hukum yang ada kaitannya dengan waktu, misalnya hukum berpuasa.

ثُمَّ أَتِمّوْا الصِّياَمَ إلىَ الَّيْلِ.......

Dalam ayat tersebut sudah memberikan informasi secara jelas bahwa berakhirnya puasa adalah sampai datangnya malam.
d.      Dalil yang menjadi nasikh itu datangnya kemudian dari dalil yang di nasakh ( mansukh) [10]
Tidak ada perbedaan yang mendasar dari syarat syarat nasakh yang dikemukakan oleh kedua toko di atas, namun ada persyaratan lain yang perselisihkan oleh para ulama, yakni :
1.       Menurut mu`tazilah dan sebagian ulama Hanafiyah, syarat hukum yang dinasakh itu haruslah sudah dipernah dilaksanakan, agar membuktikan bahwa tidak ada hukum yang ditetapkan oleh Allah secara sia-sia.
Jumhur membantah pendapa tersebut dengan alasan sebagai berikut:
a.    Baik buruknya suatu hukum tidak hanya dinilai dengan akibat dari perbutan tersebut, namun ada yang lebih penting dari itu, yakni ketaatan melakasanakan sesuatu karena Allah.
b.    Faktanya, banyak hukum yang dinasakh sebelum dilaksanakan. Misalnya sholat 50 waktu yang dinasakh menjadi 5 waktu.
2.       Sebagian ulama ushul fiqih berpendapat bahwa hukum dinasakh itu harus ada penggantinya, dengan alasan firman Allah surat Al-Baqoroh ayat 106. Namun jumhur membantah pendapat tersebut, Allah tidak wajib menggantinya. Misalnya hukum memberi sedekah bagi orang yang ingin melakukan pembicaraan dengan Rosul, yang dinasakh dengan ayat berikutnya, dan tidak ada pengganti hukum tersebut.
3.       Sebagian ulama` ushul dari golongan hanafiyah berpendapat bahwa untuk menasakh nash Al-Qur`an atau hadits mutawattir haruslah dengan nasikh yang kualitasnya setingkat atau lebih, tidak boleh dengan kualitas dalil yang lebih rendah.Misalnya menasakh Al`Qur`an dengan hadits ahad, dengan dasar hadits yang diriwayatkan dari Umar Ibnu Al-Khattab :
                                    Artinya :
                                   
                                                لاَنَدْعُ كِتاَبَ رَبِّناَ وَ سُنّةَ نَبيِّناَ لِقوْلٍ امْرأَةٍ لاَنَدْرِىْ أَصَدَقَتْ أْوْ كَذَّبَتْ 
                                   
“kami tidak akan meninggalkan hukum Tuhan kami dan hukum Rasul kami hanya karena ucapan seorang wanita yang kami sendiri tidak tahu apakah ia benar atau tidak....” (H.R. Abu Dawud dan Ahmad Ibn Hambal)
Jumhur dan Abu Daud Azh-Zhahiri tidak menerima pernyataan tersebut, dengan alasan adanya hadits Ahad yang diriwayatkan oleh Tirmidzi yang menasakh  ayat Al-Qur`an surat Al-Baqoroh ayat 180.
4.       Imam syafii berpendapat bahwa jika yang dinasakh Al-Qur`an maka nasikhnya juga harus dengan ayat Al`Quran. Begitu pula dengan hadits, jika yang dinasakh hadits mutawattir maka nasikhnya harus dengan hadits mutawattir pula. Hal tersebut dibantah oleh Jumjur, bahwa Al`Qur`an bisa dinasakh dengan hadits mutawattir, begitu pula sebaliknya.[11]

d.      Macam-macam Nasakh
1)      Nasakh yang tidak ada gantinya, jadi setelah hukum tersebut dihapus tidak ada pergantian dari hukum tersebut, seperti hukum bersedekah kepada fakir miskin ketika ingin melakukan pembicaraan dengan Rosulullah.
2)      Nasakh yang ada penggantinya, ada kalanya ganti dari hukum yang dinasakh tersebut lebih berat dan ada kalanya lebih ringan. Seperti penghapusan hukum sholat 50 waktu yang diganti dengan sholat 5 waktu.
3)      Nasakh bacaan (text) atau penghapusan bacaan nashnya saja namun hukumya tetap berlaku, seperti halnya hukum rajam bagi orang laki-laki yang zina engan perempuan tua yang sudah menikah.
4)      Nasakh bacaan sekaligus hukumnya, seperti saudara sesusu yang telah melampaui 10 kali susuan maka haram untuk dinikahi (H.R Bukhari dan Muslim dari Aisyah). Hukum tersebut telah dihapus.[12]
e.       Pandangan Ulama tentang Nasakh
Pandangan ulama` mengenai nasakh ini berbeda beda, ada yang mengatakan nasakh ini benar benar terjadi dan ada juga yang mengingkarinya, berikut adalah penjelasan lebih lanjut.
1)      Golongan pertama, yakni kelompok yang mengemukakan kebenaran terjadinya nasakh hukum syara`, pendapat ini didukung oleh mayoritas ulama`, yang dijadikan dasar kelompok ini adalah 3 surat dalam Al`Qur`an, yakni surat Al-Baqoroh ayat 106, surat An-Nahl ayat 101, dan surat Ar-Ra`du ayat 39.
2)      Golongan yang kedua, yakni golongan yang mengingkari adanya nasakh terhadap nash Al`Qur`an, pendapat ini dikemukakan oleh Abu Muslim Al-Sifahani (256-322H). Menurut Abu Muslim isi dari seluruh Al`Qur`an mengandung nilai-nilai hukum dan tidak ada sedikit pun pergantian terhadap perkataan Allah.Pendapat ini juga didukung oleh Mukhtar Yahya dan Fatchurrahman, dimana keduanya mengemukakan bahwa, lafal اية ) ) dalam surat Al-Baqoroh ayat 106 dan surat An-Nahl ayat 101 memiliki arti syariat, dimana menurutnya syariat yang dimaksud itu adalah syariat-syariat umat-umat yang lalu, yakni yang terdapat dalam kitab Injil, Taurat, dan Zabur.kemudian Abu Muslim menegaskan lagi, seandainya nasakh ini terjadi maka akan bertentangan dengan Firman Allah sendiri, yakni :

لا َيأْتِيْهِ الباَطِلٌ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَلاَمِنْ خَلْفِهِ تَنْزِيْلٌ مِنْ حَكِيْمٍ  حَمِيْدٍ

Artinya: “yang tidak datang kebhatilan kepada Al-Qur`an itu baik dari depan maupun belakangnya, yang mana ia turunkan dari Tuhan Yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji (QS.Al-Fushilat: 42)
Dari penjelasan ayat di atas, Abu Muslim mengemukakan bahwasannya semua ketentuan hukum dan syariat yang ada dalam Al-Qur`an itu bersifat kekal dan tidak bisa diganti atau dirubah.[13]



f.       Perbedaan Nasakh dengan Takhshish
1.      Nasakh tidak bisa dilakukan, kecuali dengan nash yang akan datang kemudian. Sedangkan pentakhshiskan bisa dilakukan jika mengiringi dan melalui lafadz yang datang kemudian, dari lafadz yang akan mentakhshiskan.
2.      Nasakh hanya bisa dilakukan melalui dasar naqli saja. Sedangkan pentakhshiskan bisa dilakukan dengan dalil ahli dan dalil naqli.
3.      Nasakh bisa dibatalkan dari seluruh kandungan hukum lafadz tersebut, dan kemudian nash yang telah dinasakhkan tidak berlaku lagi setelah dinasakhkan. Sedangkan pentakhshiskan akan tetap ada, apabila sesuai dengan lafadz dan maknanya yang umum.
4.      Pentakhshiskan tidak akan berlaku apabila terdapat kata perintah (amar) dan mengandung satu perintah, seperti: "bersedekahlah pada si Fulan". Sedangkan nasakh bisa dilakukan dalam kasus seperti diatas.
5.      Dalam nasakh, apabila yang dinasakhkan termasuk nash qath'i, maka yang menasakhkan harus qath'i juga. Sedangkan pentakhshiskan dengan lafadz umum dan bersifat qath'i, maka boleh ditakshiskan dengan qiyas, hadis ahad dan dalil-dalil syara' lainnya.
g.      Hikmah Nasakh
Hikmah dengan adanya nasakh adalah untuk memelihara kemaslahatan umat beragama baik di dunia maupun di akhirat. Dan perlu diingat kembali, sebenarnya dalam persoalan nasakh hanya berlaku pada saat Rasulullah Saw. masih hidup, dan setelah beliau wafat tidak diadakan lagi.[14]

C.    MURADIF DAN MUSYTARAK
1.      Muradif
a.       Pengertian Muradif
Menurut bahasa, muradif artinya membonceng, ikut serta. Sedangkan menurut ushul fiqh, muradif adalah اللّفْظُ الْمُتَعَدِّدُ لِلْمَعْنّى الْوَاحِدِ, yang artinya adalah "Beberapa lafadz terpakai untuk satu makna."
Muradif juga bisa diartikan sebagai, lafadz yang banyak sedang artinya satu atau sama (sinonim).
Contoh:
a)      الأسَدُ  dan اللَّيْثُ  =  singa
b)      الدَّرُ، الْمَنْزِلُ، ألْبَيْتُ   = rumah
Dari beberapa contoh lafadz diatas, sudah sangat jelas bahwa jika ada lafadz satu dengan dua, atau tiga dan mempunyai makna yang sama, maka dinamakan lafadz muradif.[15]
b.      Hukum Muradif
Berkaitan dengan muradif, memang benar para ulama mempersoalkan bagaimana hukumnya. Apakah boleh satu lafadz diganti dengan lafadz yang berbeda akan tetapi maknanya sama?... Contoh lafadznya adalah الأسَدُ  diganti menjadi الْبَيْتُ.
Pada umumnya para Ulama berpendirian bahwa, tidak boleh mengganti lafadz muradif-nya karena Al-Qur'an mempunyai sifat Ta'abudi yang seluruh lafadznya mengandung mukjizat. Para Ulama juga berselisih bukan hanya masalah muradif yang tidak boleh diganti, akan tetapi dalam hal tertentu seperti Zikir. Ada dua syarat yang harus dipenuhi dalam menyelesaikan permasalahan zikir yang juga menjadi golongan yang membenarkan muradif:
1)      Jika tidak mendapat halangan dari Agama baik secara jelas ataupun samar-samar, maka diperbolehkan memakai lafadz muradif,
2)      Dan jika lafadz muradif-nya berasal dari satu bahasa, contohnya adalah sama-sama menggunakan bahasa Arab, maka juga diperbolehkan memakai lafadz muradif.[16]

2.      Musytarak
a.      Pengertian Musytarak
Jika dilihat dari segi bahasa, musytarak memiliki arti berserikat, berkumpul. Dan dalam ushul fiqh, musytarak adalah:
 اللَّفْظُ الْمَوْضُوْعُ لِحَقِيْقَتَيْنِ مُحْتَلِفَتَيْنِ اَوْ أَكْثَرَ
"Lafadz yang dibentuk untuk dua arti atau lebih yang berbeda-beda."
Maksud dari lafadz diatas adalah, apabila ada suatu lafadz yang memiliki dua arti atau lebih dengan arti atau makna yang berbeda-beda.[17] Maka, dapat disimpulkan pengertian dari musytarak adalah lafadz yang memiliki dua arti atau lebih, dengan kegunaan yang banyak dan dapat menunjukkan suatu arti secara bergantian atau  berbeda-beda.
Contoh dari musytarak yang berbahasa arab adalah, kata ‘ayn yang mempunyai makna banyak. Ada yang mengartikan mata, mata air, emas dan mata-mata. Dan ada juga kata quru’ yang memiliki dua makna. Yang berarti haid, dan ada juga yang mengatakan masa suci diantara dua haid.[18]
                       
b.      Sebab-sebab terjadinya lafadz musytarak
Yang perlu kita perhatikan lagi adalah tentang sebab-sebab timbulnya lafadz musytarak, antara lain:
1)      Telah diketahui, bahwa beragam-ragam suku dari bangsa Arab, yakni dari golongan Adnan dan Qathan. Dari golongan tersebut terdiri dari suku dan dusun yang bermacam-macam dan berpencar-pencar dengan tempat dan lingkungan yang berbeda-beda. Terkadang ada suatu suku membuat nama untuk sesuatu pengertian. Kemudian suku lain tersebut menggunakan nama untuk sesuatu pengertian lainnya yang tidak dimaksud oleh suku pertama. Dan tidak ada sangkut pautnya antara kedua pengertian itu. Tatkala diambil orang lain dengan berbahasa Arab dan dibukukan kedua pengertian diambil begitu saja tanpa memperhatikan hubungannya dengan suku yang kembali seperti semula.
2)      Terdapat satu lafadz yang bisa digunakan untuk  arti dasar yang sama diantara kedua pengertian. Itulah yang disebut dengan persekutuan batin (isytirak ma'nawi). Biasanya seseorang ada yang melupakan arti atau makna dari kedua pengertian tersebut, dan disangka hanya isytirak lafdzi (persekutuan) lafal saja. Seperti contoh, lafadz qur'un yang semula berarti waktu tertentu. Disebabkan karena mempunyai waktu tertentu. Ada juga perempuan yang bisa dikatakan qur'un dikarenakan ia mempunyai datang bulan dan waktu suci yang tertentu. Dari berbagai pengertian qur'un yang menjadi arti dasar yang menghubungkan maka disebut dengan isytirak ma'nawi  (waktu yang tertentu). Akan tetapi, kemudian dilupakan dengan arti yang menghubungkan, sehingga tidak diketahui hubungan dari suci dan haidnya, peristiwa tersebut dinamakan isytirak lafdzi.
3)      Dikarenakan adanya 'alaqah  (hubungannya). Yang awal mula, jika ada suatu lafadz digunakan untuk sesuatu arti. Alaqah tersebut dilupakan dan kemudian hilang tanpa mengetahui adanya alaqah, dan disangka kata tersebut digunakan untuk kedua arti yang haqiqi atau sebenarnya.[19]
c.       Dalil dan Bukti Lafadz Musytarak
Ada seorang mujtahid yang mengambil dalil serta bukti-bukti dari beberapa qorinah dan tanda-tandanya untuk menentukan apa maknanya, diantaranya adalah:
1)      Dalam firman Allah Swt dalam QS. Al-Baqoroh ayat 229, menjadi salah satu contoh dari lafadz musytarak yaitu "Quru" (الْقرُوْءُ), yang berbunyi:
الْمُطَلَّقَّاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِمْ ثَلَاثَةُ قُرُوْءٍ.                                    
Artinya: "wanita-wanita yang di talaq, hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali Quru'."
Menurut orang arab, lafadz quru' diatas mengandung dua makna. Yang pertama adalah berarti "haid". Dan yang kedua adalah "suci". Baik lafadz quru' diatas ataupun lafadz lainnya, jika memiliki arti lebih dari satu maka dapat dimaksud dengan lafadz Musytarak.
Dan jika dilihat dari segi bahasa, quru’ berarti waktu rutin. Maksudnya adalah hanya terdapat pada segala sesuatu yang berkala dengan menghalangi keadaan asli (dalam hal ini yakni haid). Hal tersebut terdapat dua perkara yang dikuatkan:
                                                                    i.            Dengan adanya 'iddah (masa menunggu), maka akan diketahui kesucian rahim dari kehamilan, dan yang mengetahui penyebabnya adalah haid.
                                                                  ii.            Dalam Al-Qur'an sudah disebutkan bahwa arti kiasan tersebut dalam keadaan haid atau tidak suci. Dah kebanyakan orang mengartikan dalam keadaan haid, baik dalam keadaan rutin atau berkala. Dan di Mesir, para orang awam menyebutnya sebagai adat.[20]
2)      Lafadz اليد) ) terdapat dalam Firman Allah yang berbunyi:
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَا قْطَعُوْا اَيْدِيَهُمَا
Artinya: "Laki-laki yang mencuri, dan perempuan-perempuan yang mencuri potonglah tangan keduanya". (QS. Al-Maidah: 38).
Kemusytarakkan dari ayat diatas adalah terletak padaاليد  , ada yang mengartikan  antara hasta (dari ujung jari sampai pundak), ada juga yang bersepakat antara tapak tangan dan lengan  (dari ujung jari sampai siku), dan ada juga yang mengartikan antara tapak tangan (dari ujung jari sampai pergelangan), serta pendapat terakhir yaitu kedua tangannya (tangan kanan dan kiri).
Sedang Jumhur Mujtahidin telah mengambil dalil dengan sunnah Rasulullah  (perbuatan Rasulullah Saw), dengan menegaskan bahwa maksud dari "tangan" dalam ayat diatas adalah dari ujung jari sampai pergelangan tangan dari tangan kanan atau sesuai dengan penjelasan terakhir.
3)      Lafadzالكلالة) ) dalam Firman Allah Swt QS. An-Nisa' ayat 12, yang berbunyi:
... وَإِنْكَإِنَ رَجُلٌ يُوْرَثُ كَلَالَةً أَوِمْرَأَةٌ
Artinya: "Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak..."
Kalalah dari ayat diatas adalah musytarak, karena jika dilihat dari segi bahasa yaitu orang yang tidak meninggalkan anak dan tidak mempunyai ayah dan ibu, dari seorang yang meninggal. Dengan diberikan kepada kerabat, baik dari pihak yang tidak beranak dan tidak mempunyai orang tua.[21]
4)      Huruf wawu و) ) seperti dalam firman Allah Swt:
وَلاَتَأْكُلُوا مِمَّا لَمْ يُذْكِرَاسْمُ اللهِ عَلَيْهِ وَإِنَّهُ لَفِسْقٌ
Artinya: Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya.  Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah suatu kefasikan. (Qs. Al- An'am: 121)
Ayat diatas termasuk musytarak, untuk digunakan 'athaf dan haal. Adanya haal, dikarenakan ditujukan kepada sesuatu yang nama Allah tidak disebutkan kepadanya. Dan hal tersebut adalah kefasikan. Maksudnya adalah,menyembelih hewan apapun tanpa menyebut nama Allah. Yang kedua dinamakan athaf, suatu larangan yang ditujukan kepada sesuatu nama Allah dengan tidak disebutkan kepadanya secara mutlak. Menyebutkan nama selain Allah, baik dalam keadaan menyembelih ataupun tidak.[22]
d.      Hukum Musytarak
Dengan adanya boleh atau tidaknya menggunakan lafadz musytarak, maka para ulama ada yang berselisih tentang hal tersebut. Baik ada yang membolehkan ataupun tidak. Sedangkan jumhur ulama bersepakat bahwa:
إِسْتِعْمَالُ الْمُشْتَرَكِ فِيْ مَعْنَيْهِ يَجُوْزُ
"Menggunakan lafadz musytarak dalam dua makna atau beberapa makna adalah boleh".
Berikut adalah alasan mengapa mereka (para jumhur ulama) bersepakat seperti yang diatas, yaitu terdapat dalam firman Allah:
اَلَمْ تَرَ اَنَّ اللهَيَسْجُدُ لَهُ مَنْ فِى السَّمَاوَتِ وَمَنْ فِى الأَرْضِ وَالشَّمْسُ وَالْقَمَرُ وَالنُّجُوْمُ وَالْجِبَالُ وَالشَّجَرُ وَالدَّوَآبُّ وَكَثِيْرٌ مِنَ النَّاسِ
Artinya: "Apakah kamu tidak mengetahui, bahwa kepada Allah bersujud apa yang ada di langit, di bumi, matahari dan bulan, bintang, gunung, pepohon-pohonan, binatang-binatang yang merata, dan sebagian besar dari pada manusia... (Qs. Al-Hajj: 18)
Makna dari sujud diatas, mengartikan bahwa meletakkan dahi di tanah dan juga bisa berarti tunjuk. Dan ayat tersebut diperuntukkan pada manusia serta makhluk Allah yang tidak berakal, seperti: langit, bumi, bulan, bintang dan lain sebagainya. Dan ada juga Ulama yang berpendapat bahwa jika ada lafadz musytarak yang memiliki dua makna atau lebih maka tidak boleh di lafadz musytarak-an (لا يَجُوْزُ).[23]

  1. PENUTUP
Ta'wil jika dilihat dari segi bahasa, memiliki beberapa arti. Diantaranya At- Tafsir (penjelasan, uraian), Al- Marja'/Al- Mashir (kembali, tempat kembali), dan terakhir berarti Al-Jaza'  (balasan kembali kepadanya). Sedangkan menurut para Ulama, pengertian ta'wil adalah membawa makna lafadz zhahir yang mempunyai ihtimal (probabilitas) kepada makna lain yang didukung oleh dalil.
Nasakh menurut bahasa, berarti pembatalan atau penghapusan. Sedangkan menurut istilah, nasakh adalah suatu hukum yang dihapus atas kehendak Allah, dan penghapusannya sesuai dengan habisnya masa berlaku suatu hukum tersebut.
Muradif menurut bahasa yaitu membonceng, ikut serta. Sedangkan menurut istilah yaitu suatu lafadz, baik dua, ataupun tiga dengan mempunyai makna yang sama.
Dan kesimpulan yang terakhir adalah tentang musytarak. Yaitu suatu lafadz yang memiliki dua arti atau lebih, dengan kegunaan yang banyak dan dapat menunjukkan suatu arti secara bergantian atau berbeda-beda.








DAFTAR PUSTAKA

Juhaya S.Praja, 2010.  Ilmu Ushul Fiqih. Bandung: Pustaka Setia.
Amir Syarifuddin, 2014. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana.
Romli,1999. Muqaranah Mazahib fil Ushul. Jakarta: Radar Jaya Pratama.
Nazar Bakry, 2003. Fiqh dan Ushul Fiqh. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
Abdul Wahab Khallaf, 2002. Ilmu Ushul Fikih. Jakarta: Pustaka Amani.
Basiq Djalil, 2010. Ilmu Ushul Fiqih 1 dan 2. Jakarta: Kencana Pranata Media Group.
Syafi'i Karim, 2001. Fiqih- Ushul Fiqih. Bandung: CV Pustaka Setia.
Muhammad Hashim Kamali, 1996. Prinsip dan Teori-teori Hukum Islam atau Ushul Al-Fiqh.       Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset.
Syaikh Muhammad Al-Khudhari Biek, 2007. Ushul Fikih. Jakarta: Pustaka Amani.
Syekh Abdul Wahab Khallaf, 2009. Ilmu Ushul Fikih. Surakarta: Rahma Media Pustaka.
Abdul Wahhab Khallaf, 1996. Kaidah-kaidah Hukum Islam atau Ilmu Ushulul Fiqh. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Catatan:
1.       Similarity sebanyak 11%.
2.       Penulisan yang baku: Alquran, hadis, sunah
3.       Hindari penggunaan kata “kita” dalam tulisan ilmiah.
4.       Nama penulis buku tanpa Syekh.


[1] Juhaya S.Praja, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung: Pustaka Setia, 2010) hlm. 169
[2] Ibid: hlm. 171
[3] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, (Jakarta: kencana, 2014) hlm. 50
[4] Romli, Muqaranah Mazahib fil Ushul (Jakarta: Radar Jaya pratama,1999) hlm. 212
[5] Amir Syarifuddin, op.cit., hlm. 49
[6] Romli, op.cit., hlm. 214
[7] Nazar Bakry, Fiqh dan Ushul Fiqh, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003), hlm. 256-257
[8] Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fikih ( Jakarta: Pustaka Amani, 2002) hlm. 324
[9] Ibid, hlm. 257
[10] Romli, op.cit., hlm. 252
[11] Juhaya S.Praja. op.cit., hlm. 238
[12] Juhaya S.Praja, op.cit., hlm. 240
[13] Romli, op.cit., hlm. 255
[14] Nazar Bakry, op.cit., hlm. 257-258
[15] Basiq Djalil, Ilmu Ushul Fiqih 1 dan 2, (Jakarta: Kencana Pranata Media Group, 2010), hlm. 115
[16] Basiq Djalil, op.cit., hlm. 116
[17] Syafi'i Karim, Fiqih- Ushul Fiqih, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2001), hlm. 195
[18] Muhammad Hashim Kamali, Prinsip dan Teori-teori Hukum Islam atau Ushul Al-Fiqh, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 1996), hlm. 152
[19] Syafi'i Karim, op.cit., hlm. 196-197
[20] Syaikh Muhammad Al-Khudhari Biek, Ushul Fikih, (Jakarta: Pustaka Amani, 2007), hlm. 312-313
[21] Syekh Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fikih, (Surakarta: Rahma Media Pustaka, 2009), hlm. 224
[22]Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam atau Ilmu Ushulul Fiqh, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996), hlm. 295-297
[23] Basiq Djalil, op.cit., hlm. 115-118

Tidak ada komentar:

Posting Komentar