Selasa, 01 Mei 2018

TA’WIL DAN NASAKH, MURADIF DAN MUSYTARAK (PAI A Semester Genap 2017/2018)



TA’WIL DAN NASAKH, MURADIF DAN MUSYTARAK
Fitri Hisniya Tsani, Nurul Kamilia Dwiastuti, dan Ismatul Maula Ramadhani
Mahasiswa PAI-A angkatan 2015
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang


Abstrack
This article talks about the rules of ushul fiqh which include ta'wil, nasakh, muradif and musytarak. Ta'wil is a phrase about taking the meaning of lafadz which is probability supported by the proposition and makes a meaning stronger than the meaning pointed by lafadz dzahir. The explanation is according to Imam al-Ghazali. Furthermore, there are several takwil requirements, the base of ta’wil and the classification of ta’wil. While the meaning of nasakh itself is canceling a law with the proposition that comes later. It extends to the discussion of the criteria of nasakhs and texts that do not accept the nasakh that includes the criteria of the nasakh itself. Al-Muradif are some lafadz which show the same meaning. And muradif law here is about the emergence of problems due to the lafadz-lafadz muradif, in this case, the scholars questioned about the law. While the definition of Musytarak is a lafadz that has more than one meaning. which contain many real meanings, but they are not the same or different. Musytarak law here means about whether or not allowed to use lafadz musytarak.
Keywords: Ta’wil, Nasakh, Muradif, Musytarak

Abstrak
Artikel ini berbicara mengenai kaidah ushul fiqh yang meliputi ta’wil, nasakh, muradif dan musytarak. Ta’wil merupakan suatu ungkapan tentang pengambilan arti dari lafadz yang bersifat probabilitas yang didukung oleh dalil dan menjadikan arti yang lebih kuat dari arti yang ditunjuk oleh lafadz dzahir. Penjelasan tersebut menurut Imam al-Ghazali. Lebih jauhnya, ada beberapa syarat-syarat tawil, landasan tawil serta klasifikasi tawil. Sedangkan makna nasakh sendiri merupakan membatalkan sesuatu hukum dengan dalil yang datang kemudian. Meluas pada pembahasan kriteria nasakh dan nash-nash yang tidak menerima nasakh yang mencakup kriteria nasakh itu sendiri. Al-Muradif merupakan beberapa lafadz yang menunjukkan pengartian yang sama. Serta hukum muradif disini yaitu tentang munculnya persoalan yang dikarenakan adanya lafadz-lafadz muradif, dalam hal ini, para ulama mempersoalkan tentang hukumnya. Sedangkan pengertian musytarak merupakan satu lafadz yang memiliki pengartian lebih dari satu. yang mengandung banyak arti yang sesungguhnya, namun arti-arti tersebut tidak sama atau berbeda. Hukum musytarak disini maksudnya yaitu tentang diperbolehkan atau tidaknya memakai lafadz musytarak.
Kata Kunci: Ta’wil, Nasakh, Muradif, Musytarak

A.      Pendahuluan
Keilmuan Islam salah satunya membicarakan mengenai Ilmu Syari’ah yang memiliki dua hal pokok yang mendasar. Pertama, untuk memenuhi usaha kebahagiaan dunia dan akhirat, seorang muslim memerlukan materi perangkat ketentuan tersebut yang disebut Fiqih. Lalu pokok yang kedua, sebelum adanya produk materi perangkat Fiqih perlu diketahui tentang cara yang diusahakan dalam menetapkan ketentuan yang akan melahirkan materi fiqih tersebut yang disebut Ushul fiqih. Ushul fiqih sebagai mata ajaran inti dalam keilmuan agama Islam. Mempelajari ushul fiqih dan ilmu fiqih diajarkan secara beriringan dan tidak dapat dipisahkan. Karenanya di dalam Ushul fiqih memiliki kumpulan kaidah-kaidah dan metode yang akan memiliki peran dalam memberikan aturan dan arahan dalam menetapkan hukum Islam.
Alquran sendiri dalam memahaminya secara tepat dan benar, maka sudah seharusnya dalam memahami kaidah dalam kebahasaannya terlebih dahulu. Seorang harus memahami arti kata serta maksud kalimat dalam mengkaji Alquran. Alquran tersusun dari sebuah kata yang memiliki nilai seni sebagai wujud kekuasaan Allah SWT dalam mengatur kehidupan manusia, yang oleh karenanya dalam memahaminya memperlukan kaidah menasakhkan, menta’wilkan, memuradifkan dan memusytarakkan sebuah lafadz di dalamnya.
Sehingga untuk menghindari suatu kesalahan dalam penafsiran diperlukan seorang penafsir memahami lafadz itu sendiri dalam memaknai sebuah lafadz dengan beberapa kaidah yang meliputi takwil, nasakh, muradif, dan musytarak.

B.       Ta’wil
1.      Definisi Ta’wil
     Pada awalnya At-Ta’wil (التأويل) berasal dari kata dasar awwala-yu’awwilu. ((اول-يؤول yang memiliki arti: penjelasan dan dari arti ini sama seperti kata al-tafsir yang berarti: uraian, tafsir, atau dari kata al-marju’ (المرجوع) yang mengandung arti tempat kembali atau al-jaza’ (الجزاء) yaitu balasan.
     Al-Muawwal yang merupakan bentuk isim maf’ul dari kata mashdar al-ta’wil yang dalam bahasa berawal dari kata ala, ya’ulu yang berati: kembali.
     Jadi ta’wil menurut pengertian secara istilah, dalam hal ini para ahli ushul berbeda dalam mendefinisikannya, diantaranya adalah:
a)    Al-Amidiy
التأويل هو حمل اللفظ على غيره مدلوله الظاهر منه مع احتماله بدليل يعضده
        Yang memiliki arti Ta’wil yaitu membawa arti lafadz dzahir yang mempunyai probabilitas (ihtimal atau kemungkinan-kemungkinan) kepada arti lain yang didukung dalil.
b)   Imam al-Ghazaly
التأويل هو عبارة عن احتمال يعضده دليل يصير به اغلب على الظن من المعنى الذي يدل عليه الظاهر
                        Yang mengandung arti Ta’wil adalah suatu ungkapan tentang pengambilan arti dari lafal yang bersifat probabilitas yang didukung oleh dalil dan menjadikan arti yang lebih kuat dari arti yang ditunjuk oleh lafal dzahir. [1]
     Dari hal tersebut dapat didefinisikan yang terbagi dalam beberapa definisi dapat diartikan bahwa ta’wil adalah memindahkan suatu perkataan dari arti yang jelas (dzahir) kepada arti yang tidak jelas (lemah atau marjuh), yang kemungkinan besar lebih sesuai karena ada alasan yang kuat, sehingga arti lain inilah yang dianggap lebih sesuai.
     Oleh sebab itu, adanya ketidaksesuaian arti lahir dengan arti hakiki, menjadi penyebab adanya penta’wilan, sehingga dalil hasil penta’wilan yang semestinya tidak kuat atau lemah (marjuh) menjadi kuat (wajih).
     Dapat dijelaskan pula bahwa di dalam hukum Islam yang dimaksud dari ta’wil itu sendiri yakni memindahkan suatu kata dengan maksud yang jelas kepada yang tidak jelas karena hal tersebut dapat menyebabkan adanya suatu dalil yang bisa menyebabkan dari maksud yang tidak jelas itu harus digunakan. Sedangkan pada suatu perkataan yang dita’wilkan itu disebut dengan mu’awwal atau yang ditawil.[2]
Adanya suatu lafadz yang memalingkan dari pengertian yang lazim menuju pada pengertian yang tidak lazim membutuhkan dalil yang dapat mengunggulkan makna lafadz tersebut. Oleh sebab itu, adanya pembahasan kalimat بِدَ لِيْلٍ يُصِيْرُهُ رَا جِحاً yang memiliki arti dengan adanya dalil yang mengunggulkannya.[3] Jadi tawil dapat ditolak ketika diketahui tidak adanya dalil atau ada dalil tetapi kedudukannya bersifat lemah atau dalil yang memiliki kesamaan kekuatan dengan dalil pendukung makna lazimnya.

2.      Kriteria atau syarat-syarat Ta’wil
Terdapat beberapa syarat-syarat Ta’wil adalah:
a.       Dalam mentawil suatu lafadz dalil seorang yang mentawil sudah memiliki keahlian  dalam bidang pentawilan. Serta dibutuhkannya dalam penguasaan berbagai ilmu-ilmu syara’ (agama), seperti ilmu fiqh, ilmu hadits, dan ushul fiqh. Sehinggamemungkinkan untuk mengkompromikan dua dalil yang saling bertentangan dengan mentawilkannya.
b.      Di dalam hal ini lafadz yang dita’wil harus diwajibkan untuk memiliki sebuah kriteria lafadz yang hanya boleh dita’wil dan hal tersebut masih berada di dalam kajiannya, seperti:
·      Sesuai dengan tatanan dalam ilmu bahasa Arab,
·      Dan harus mencapai dengan ketentuan-ketentuan syara yang sudah ada dan istilah yang sudah ada di dalamnya.
Lafadz tersebut dapat ditakwilkan dan secara lahiriyah lafadz tersebut juga memiliki makna lazim dan makna yang tidak lazim.
c.       Tawil haruslah didasarkan pada hadis-hadis yang shahih dimana statusnya bisa benar-benar bisa menguatkan terhadap hasil dari pentawilannya tersebut.
d.      Dengan melalui takwil bahasa, maka akan bisa menghasilkan lafadz yang bisa di tawil dan harus mencakup dari beberapa arti. Jadi dalam hal ini lafadz tawil harus sesuai dengan kriteria lafadz agar dalam pen tawilan itu sesuai dengan pengkajiannya.
e.       Ta’wil tidak diperbolehkan untuk bertentangan dengan nash qath’iy, karena hal ini menyebabkan nash qath’iy masuk dalam bagian tata urutan syari’ah yang secara umum. Jika memang hal itu tidak demikian, maka dalam hal itu ta’wil tidak akan dianggap sah, karena ta’wil itu merupakan salah satu cara berijtihad yang bisa berkualitas dhanniy, sedangkan dhanniy sendiri tidak akan kuat untuk melawan yang qath’iy.
f.       Arti dari penta’wilan nash itu sendiri harus lebih kuat dari arti lahiriah dengan menghasilkan bukti yang bisa dikuatkan oleh beberapa dalil. Karena bila didapati dalil yang mendukungnya lemah, maka dalil tersebut tidak dapat mendukung pemalingan makna dan tidak dapat diamalkan. Bahkan tawil dapat dikatakan meragukan ketika dalil tersebut mempunyai kekuatan yang sama berdasarkan dilalah lafadznya dengan makna yang lazim.
     Lebih jelasnya untuk mengetahui arti dari pentakwilan nash dimana yang bisa dianggap lebih kuat dari arti lafdhiahnya, sehingga dapat dilakukanlah dengan melalui beberapa cara:
·      Arti yang diperoleh dengan melalui cara ibaratun-nash
·      Arti yang diperoleh dengan melalui cara isyaratun-nash
·      Arti yang diperoleh dengan melalui cara dalalatun-nash
·      Arti yang diperoleh dengan melalui cara iqtidla’
     Jika dalam hal ini pada kenyataannya terkadang masih tetap terjadi masalah diantara dengan keempat cara tersebut, maka dalam hal ini yang didahulukan yaitu menggunakan dengan cara ibaratun-nash dari isyaratun-nash, dari keduanya didahulukan dari dalalatun-nash dan dengan itu baru melalui cara iqtidla’.

3.      Landasan Ta’wil
Pada dasarnya takwil itu tidak ada dan juga tidak terbentuk, kecuali dengan bukti adanya suatu dalil yang menguatkan. Kemudian dari munculnya ide pokok tersebut, akan memunculkan beberapa masalah (juz’i). diantaranya yaitu merupakan suatu kewajiban yang berguna untuk mengamalkan pada setiap petunjuk yang berasal dari beberapa yang mencakup arti nash secara nyata (dhahir). Maka dari semua dalil dianggap hujjah dengan kejelasan dan keberadaannya, sehingga dalam hal ini lafadz mutlak itu akan sesuai dengan kemutlakannya dan tidak diikat, kecuali dengan bukti berupa dalil. Dan juga lafadz umum akan berlaku sesuai dengan keumumannya dan itu tidak perlu di takhsish, kecuali dengan adanya sebuah dalil. Adapun yang terdapat dalam lafal khas itu bisa diamalkan sesuai dengan dasar hakikat artinya sendiri dan hal itu tidak boleh mengubah menjadi arti kalimat majazi, kecuali dengan adanya sebuah dalil. Dan sementara dalam hal itu takwil sudah menyalahi landasan tersebut.
Maka di dalam landasan umum takwil itu sendiri adalah mengamalkan sebuah dalil dimana yang sesuai dengan konteks bahasanya itu sendiri dan bisa mengambil ketetapan hukumnya. Dan takwil itu mencakup berbagai kemungkinan yang awalnya berasal dari akal, bukan berasal dari bahasa. Sebab takwil itu dapat mengubah arti yang sesuai dengan kebutuhan bahasa. Dan takwil tidak akan ada jika tidak terdapat bukti dengan adanya sebuah dalil.

4.      Klasifikasi Tawil
Dapat diketahui bahwa dalam hal ini di dalam ta’wil itu juga terkadang tidak membutuhkan sebuah dalil sebagaimana yang sudah dijelaskan, namun akan tetapi boleh saja hal tersebut bisa didasarkan pada pemahaman akal atau pada pemahaman tekstual atau juga pada pemahaman kontekstual, sehingga dari faktor ini dapat diketahi, bahwa ta’wil itu dapat dibagi menjadi dua, yaitu:
a.       Tawil Qarib
          Ta’wil qorib merupakan ta’wil yang dimana di dalam penta’wilannya itu hanya berdasarkan pada dalil terendah, maksudnya yaitu berdasarkan pada pemahaman secara logis, tekstual maupun kontekstual. Dalam takwil qarib dalam penetapannya hanya membutuhkan dalil yang sederhana.[4]
Contoh:
اِذَا قُمْتُمِْالَى الصَّلاَةِ فَاغْسِلُوْا وُجُوْهَكُمْوَاَيْدِيَكُمْ ِالَى ْالْمَرَافِقِ
          Dan dalam ayat ini jika diartikan secara lahiriyah, lafadz yaitu, merupakan kewajiban berwudlu dimana setelah sholat dilaksanakan. Pengartian ini menunjukkan bahwa ayat tersebut bertentangan dengan syarat sah nya sholat dimana yang mengharuskan untuk lebih dahulu berwudlu, sedang dalam syarat harus dilakukan, yaitu baik di dalam menurut pemahaman akal maupun syara’.
          Dari hal tersebut bahwa demikian lafal  اِذَا قُمْتُمْ ِالَى الصَّلاَة (berdiri untuk shalat) itu harus ditakwilkan dengan cara merubah arti hakikinya (yaitu: اِذَا فَعَلْتُمْ) menjadi arti majazinya, yaitu اِذَا عَزَمْتُمْ atau اِذَا أرَدْتُمْ  .
b.      Tawil Ba’id
      Tawil ba’id merupakan tawil dimana yang persyaratannya tidak dapat dipenuhi di dalam suatu pentawilan yang berdasarkan pada dalil terendah. Maka dari hal itu jika ternyata di dalam tawil itu sudah ditemukan adanya sebuah penyimpangan dari persyaratan tersebut, maka hal seperti itu tawil  harus ditolak. Berbeda dengan ta’wil qorib, ta’wil bad’i dalam menetapkannya tidak hanya membutuhkan dalil yang sederhana, melainkan dalam hal ini membutuhkan dalil yang kuat agar dapat memalingkan dari makna yang lazim pada makna yang tidak lazim, sehingga akan menghasilkan makna yang tidak lazim tersebut menjadi kuat dan dapat dipergunakan.
      Demikian dalam hal ini, beberapa para ulama ahli ushul fiqh telah berbeda persepsi dalam menanggapi di dalam sebuah persoalan dalam  penetapan ta’wil ba’id, yaitu ada yang sebagian menyebutnya dengan sebuah istilah ta’wil ba’id dan sebagian lagi dengan istilah ta’wil qarib dan shahih.
Contoh:
فَكَفَّا رَتُهُ اِطْعَامُ عَشَرَةٍ مَسَا كِيْنِ مِنْ اَوْسَطِ مَا تُطْعِمُوْنَ اَهْلِيْكُمْ اَوْ كِسْوَتُهُمْ
Yang mempunyai arti: Maka kafarah (sangsi pelanggaran) sumpah adalah memberi makan sepuluh orang miskin (Q.S Al-Maidah: 89).
      Di dalam ayat ini, dzahir nash bisa menunjukkan adanya sebuah keharusan untuk memberi makan dalam jumlah khusus, yaitu dengan sepuluh orang miskin, dan istilah adad (hitungan sepuluh) ini merupakan lafadz khusus yang secara ijma’ menunjukkan berkualitas qath’iy.
      Dengan menanggapi masalah pemberian makanan untuk sepuluh orang miskin tersebut, para ulama ahli ushul fiqh menyatakan adanya perbedaan pendapat dalam hal mentawilkannya, yaitu:
1.    Di dalam kelompok Hanafiyah ini melakukan suatu pen ta’wilan terhadap suatu lafal ‘asyaroti masakina dengan menggunakan arti dimana yang tidak tercakup di dalam lafal tersebut, yaitu seperti “sepuluh makanan” atau bisa jadi dengan arti  “ukuran makanan bagi orang-orang miskin”, sebab lafadz tersebut tidak hanya dikhususkan kepada jumlah orang miskin saja, akan tetapi juga merupakan suatu ukuran dimana yang wajib dikeluarkan dari makanan untuk sepuluh orang miskin, sehingga di dalam pengertiannya dapat berubah menjadi:
·      Dapat memberi makanan untuk sepuluh orang miskin atau
·      Dapat memberi makanan untuk satu orang miskin dimana dengan sepuluh makanan. Sebab dari ukuran tersebut merupakan satu ukuran untuk dua keadaan.
     Hal ini didasarkan yang dimaksud dengan kebutuhan mendesak yang merupakan sebuah hikmah disyari’atkannya nash. Dengan demikian, menurut kelompok Hanafiyah pentawilan seperti itu diperbolehkan.
2.    Dari kelompok Syafi’i juga mengutarakan pendapatnya bahwa dalam penta’wilan tersebut yang sudah dijelaskan itu merupakan takwil ba’id dan hal tersebut dianggap batal, karena:
·      Pada lafadz عَشَرَةٍ مَسَا كِيْنِ merupakan lafadz khusus dimana dapat menunjukkan sebuah arti qath’iy, sehingga hal tersebut tidak membutuhkan untuk pentakwilan lagi.
·      Adanya ada pembahasan dalam lafadz طْعَامُdan juga di dalam nash dalam bentuk isim idlafah, dimana dapat muncul menjadi:
َفَكَفَّا رَتُهُ اِطْعَامُ طَعَامِ عَشَرَةٍ مَسَا كِيْنِ مِنْ اَوْسَ
     Jadi dari hal tersebut, bahwa di dalam istinbat hukum dengan melalui takwil, itu bisa didasarkan pada pemahaman syari’ah yang sudah ditentukan oleh dasar umum, dari nash-nash lain, bahwa sebuah ketetapan yang didasarkan pada ijma’ atau dengan melalui dasar musyawwarah dari hukum-hukum syara’ secara menyeluruh, baik yang dapat bersifat juz’iyyah, kulliyah, dalalatun-nash maupun maqashidnya.

C.      Nasakh
1.         Definisi Nasakh
     Di dalam beberapa hukum Islam pada prinsipnya terdapat beberapa istilah nasakh yang menunjukkan arti membatalkan, menghapuskan atau menyalin. Adapun menurut istilah nasakh ini merupakan membatalkan sesuatu hukum dengan dalil yang datang kemudian. Dan dari hal itu bahwa hukum yang dibatalkan disebut dengan mansukh. Sedangkan di dalam hukum yang bisa membatalkan disebut dengan nasikh.[5][6]
     Jadi dapat dikatakan bahwa nasikh ini memiliki arti yang menghapus, dan sedangkan mansukh memiliki arti yang dihapus. Contohnya: Jika mendapat sebuah cahaya matahari, yang mana akan menghapuskan suatu bayangan. Terlihat bahwa bayangan itu dapat hilang karena tergantikan oleh datangnya cahaya matahari.
     Adapun nasikh-mansukh yang saling berkaitan dengan ilmu fiqih  yaitu pencabutan suatu undang-undang atau perintah serta penggantinya dengan yang sebaliknya.
Dalam Alquran dan Sunnah terdapat suatu perintah yang sifatnya sementara, yang dimaksud sementara di sini bahwa setelah masa itu turun perintah yang berbeda, yang lafadznya membatalkan perintah yang pertama.[7] Adanya pemberian penegasan yang sama atau pemberian penjelasan terhadap makna yang dibawa Allah SWT, telah ditegaskan bahwasannya Alquran hanya bisa dihapuskan oleh Alquran itu sendiri, serta Sunnah Nabi tidak dapat menggantikan ketentuan Alquran karena Sunnah tersebut yang seharusnya mengikuti Alquran.[8] Di dalam firman Qs. Yunus:15 “Tiadalah patut bagiku untuk menggantikan dengan kemauanku sendiri” merupakan hujjah bahwa Alquran tidak dapat dinasakh kecuali dengan Al-Quran. Hanya Allah SWT yang berhak mengahapuskan dan mengganti lalu menetapkan segala apa yang Dia Kehendaki, karena Allah sumber dan pemula bagi segala perintah.[9]
Demikian pula dengan ketentuan mengenai Sunnah Rasul. Tiada yang bisa dibatalkan melainkan dengan Sunnah Rasul juga. Apabila suatu Sunnah Rasul di-nasakh oleh Alquran, sunnah yang lain harus ditetapkan oleh Nabi yang memperjelas adanya sunnah yang sebelumnya telah di-nasakh oleh sunnah Nabi yang terakhir itu. Sehingga tegaklah bahwa suatu ketentuan dapat di-nasakh hanya oleh ketentuan lain yang sederajat atau lebih.[10]
     Sebagai satu contoh dari pencabutan suatu perintah oleh penggantinya yaitu berupa hadist Nabi Muhammad SAW: 
كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُوْرِ فَزُوْرُهَا
“Dulu aku melarang kalian berziarah ke kuburan, maka sekarang (larang itu aku Tarik) beriarah ke kuburan.” (Hadist shahih riwayat Muslim)
     Dengan adanya hadis yang terkait tersebut  merupakan menjadi salah satu bukti bahwa nasikh dan mansukh itu sudah diakui keberadaannya. Disamping itu pula, bahwa apabila mengkaji lebih dalam dan sungguh-sungguh di dalam sebuah nash Alquran Surah Al-Baqarah ayat 106, yang berbunyi:
                             مَا نَنْسَخْ مِنْ اَيَةٍ اَوْ نُنْسِهَا نأتِ بِخَيْرٍ مِّنْهَاّ اَوْمِثْلِهَا
“Hal-hal yang kami hapus dari suatu ayat atau kami jadikan lupa padanya, kami datangkan gantinya yang lebih baik dari pada ayat itu atau yang sebanding”. (Al-Baqarah: 106).
     Berdasarkan dari kedua dalil tersebut diatas dapat menjelaskan bahwa (Hadis Rasulullah dan QS. Al-Baqarah:106) menghasilkan adanya timbul perbedaan diantara para ulama terutama yang dapat menyangkut sebuah masalah, yaitu:
·      Nasikh dan Mansukh tersebut hanya berlaku dalam hal untuk apa saja?
·      Apakah ada dari suatu ayat Alquran yang bisa dihapuskan oleh ayat yang lain?
·      Mungkinkah ada Sunnah yang dapat dihapus oleh Alquran, atau justru sebaliknya?
     Dari perbedaan itulah para ulama fiqih berpendapat tentang nasikh dan mansukh dimana sebagian besar para ulama ini sudah bersepakat menunjukkan tentang kualifikasi naskh, antara lain sebagai berikut:
·      Nasikh sendiri harus terpisah dari mansukh; yaitu maksudnya antara bahwa yang menghapus dan yang tidak dihapus itu tidak akandapat menyatu,
·      Dalam hal ini nasikh itu harus lebih kuat, sebisa sama-sama kuatnya dengan mansukh (misalnya: Alquran yang dapat menghapuskan hadits; atau Hadis dengan Hadis),
·      Nasikh harus menunjukkan dengan berupa dalil-dalil syara’,
·      Mansukh tidak terbatas pada suatu waktu dan harus menunjukkan pula dengan berupa hukum syara’.
Sebab disyariatkan nask menurut Imam Syafi’i merupakan sebagai bentuk rahmat Allah bagi manusia untuk meringankan ataupun agar meluaskan syariat tersebut bagi manusia. Tidak seorang pun yang berhak mengganti hukum-hukum-Nya. Dan Allah-lah Dzat yang Maha cepat perhitungannya.[11]

2.         Kriteria dan Nash-nash yang Tidak Menerima Nasakh
a.    Kriteria Nasakh
          Dalam menanggapi masalah yang terdapat di beberapa syarat yang harus ada pada unsur-unsur nasakh, para ulama ahli ushul fiqih telah berbeda pendapat bahwa:
1.    Nasikh, syaratnya yaitu:
·      Nasakh harus terpisah dari mansukh
·      Hukum yang telah ada pada nasakh juga harus lebih kuat dibanding dengan hukum yang ada pada mansukh.
·      Dengan kualitas hukum yang ada di dalam nasakh maka harus menunjukkan sama kuatnya dengan yang juga terletak pada mansukh.
·      Nasikh harus menunjukkan bukti yaitu dengan berupa dalil syara’. Jika tidak, maka akan diibaratkan seperti kematian, maka hal ini tidak dapat disebut nasakh, sebab hukum yang terdapat pada maut itu tidak ada.
·      Adanya nasikh itu terletak setelah mansukh.
2.    Mansukh, syaratnya yaitu:
·      Mansukh tidak harus dibatasi oleh waktu. Misalnya: dalam menetapkan hukum kebolehan di dalam makan dan minum pada malam hari di bulan puasa. Maka kebolehan ini masih dibatasi sampai terbitnya fajar. Jikafajar itu sudah terbit, maka kebolehan ituakan hilang dengan sendirinya, sebagaimana yang telah dijelaskan di dalam surat al-Baqarah: 187. Hal ini tidak bisa disebut nasakh, sebab di dalam hukum pertama dengan sendirinya akan hilang karena waktu yang disebutkan telah habis.
·      Mansukh disini harus berupa hukum syar’i, karena hal ini yang dapat menghapus yaitu berupa hukum syara’ itu sendiri.
                        Jadi, dari para ulama ahli ushul fiqh ada yang mengatakan pendapatnya bahwa yang dimaksud yang ada pada ayat nasikh-mansukh itu merupakan ayat yang umum yang sudah di takhsish, atau pada ayat mutlak yang sedang di taqyid atau yang sudah menjadi muqayyad.[12] Ulama yang berpendirian tersebut bisa dipandang sebagai ikhtilaf  dalam menyebut atau dalam memberi nama: yang lain  yaitu menyebutnya dengan takhsish dia menyebutnya mansukh. Jika terdapat hadis yang sedang bertentangan dengan Alquran, tentu hal tersebut tidak perlu lagi untuk menggunakan nasikh-mansukh karena di dalam ayat Alquran itu sendirisudah lebih kuat, sebab mustahil jika pada ayat Alquran harus dihapus lagi oleh hadis. Dan tidak masuk akal pula jika Rasulullah yang seharusnya beliau menjelaskan dari ayat Alquran itu malah bertentangan. Jika terdapat hadis yang sedang bertentangan dengan Alquran, yaitu tidak dikategorikan masuk ke dalam ciri yang bukan hadis Shahih, melainkan hadis palsu.
3.      Rukun Naskh
Dari uraian di atas, terdapat beberapa rukun naskh yaitu ada empat, diantaranya:
a.    ‘Adah al-Naskh, yaitu suatu pernyataan yang menunjukkan tentang adanya pembatalan (penghapusan) berlakunya hukum yang telah ada.
b.   Nasikh, yakni Allah SWT, karena Dia-lah yang telah membuat suatu hukum dan Dia pula yang membatalkannya, hal ini sesuai dengan kehendak-Nya. Oleh karena itu, nasikh pada dasarnya yaitu Allah SWT.
Adapun yang dimaksud dengan nasikh itu yakni hukum syara’, namun, hal ini maksudnya sebagai majaz (metafora) dari nasikh. Seperti yang telah dikatakan bahwa “puasa Ramadhan itu me-naskh kan puasa Asyura. Jadi, terkadang nasikh itu juga bermaksud sebagai nash yang me-naskh kan. Sebagai contoh, terdapat pada salah satu ayat yang membahas tentang dakwah dengan menggunakan pedang telah di naskh kan oleh ayat tentang dakwah dengan cara memberikan suatu peringatan secara bijaksana. Dari kedua penggunaan nasikh yang terdapat dalam contoh ini yaitu dari segi majaz, bukan dari segi hakikatnya, karena nasikh pada hakikatnya yakni Allah SWT.[13]
4.      Hikmah Naskh
Dalam pensyari’atan berbagai hukum dalam islam, terdapat beberapa pendapat dari para ulama ushul fiqh, yang memiliki maksud untuk menjaga kemaslahatan umat manusia, baik di dunia ataupun di akhirat. Selain itu, Allah SWT sebagai syari’ juga menuntut kepatuhan dan ketulusan para hamba-Nya guna melakukan keseluruhan perintah dan menjauhi semua larangan-Nya.
Hal ini berkaitan dengan syari’ yang juga senantiasa memperhatikan keadaan umat manusia beserta lingkungan sekitarnya, sehingga suatu kemaslahatan yang diinginkan syari’ itu dapat tercipta dan terjamin.
Adapun yang memungkinkan syari’ mensyari’atkan satu hukum pada suatu saat, tetapi setelah adanya perubahan situasi, kondisi, dan lingkungan, hukum ini tidaklah sejalan lagi dengan suatu kemaslahatan yang telah dikehendaki syari’. Pada hal yang terakhir ini, Wahbah Al-Zuhaili memiliki pendapat yang sesuai dengan kehendak syari’ dan suatu tujuan yang ingin dicapai, oleh karenanya, syari’ merubah hukum tersebut atau menggantinya dengan suatu hukum lain. Namun selanjutnya terjadi perubahan situasi, kondisi, dan lingkungan yang mengelilingi umat tersebut bukan berarti syari’ tidak mengetahuinya, bahkan yang membuat perubahan itu ialah dirinya sendiri. Hal ini telah menunjukkan bahwa syari’at islam itu diturunkan kepada seluruh umat Islam secara berturur-turut dan mengikuti pada keadaan umat tersebut. Oleh sebab itu, permasalahan naskh hanya berlaku pada masa Rasulullah SAW masih hidup.[14]
D.      Al-Muradif
1.         Definisi Muradif
     Muradif memiliki pengertian bahwa muradif merupakan beberapa lafadz yang menunjukkan pengartian yang sama.
Misalnya : lafadz hinthotun dan qomhun yang memiliki arti gandum.[15]
     Kata muradif yang terdapat dalam bahasa memiliki arti kata yang searti atau yang serupa, sedangkan muradif secara istilah adalah lafadz yang mempunyai bentuk lafadz yang banyak, akan tetapi pengertiannya sama (sinonim).
Seperti : lafadz Al-Insan dan Al-Basyar yang berarti manusia.[16]
     Arti muradif menurut bahasa yaitu membonceng atau ikut serta. Muradif yang dimaksudkan oleh ahli ushuk fiqih yakni beberapa lafadz terpakai untuk satu makna.
Contoh :
·      Al-As adu dan Al-Laitsu yang artinya singa.
·      Ad-Daaru dan Al-Munzilu dan Al-Baitu yaitu berarti rumah.
     Dari keterangan diatas, telah dijelaskan kepada kita bahwa dua, tiga atau beberapa lafadz yang memiliki satu makna dinamakan sebagai lafadz muradif[17].

2.         Hukum Muradif
     Maksud dari hukum muradif disini yaitu tentang munculnya persoalan yang dikarenakan adanya lafadz-lafadz muradif, dalam hal ini, para ulama mempersoalkan tentang hukumnya, semisal apakah boleh satu lafadz diganti dengan lafadz lain yang memiliki makna sama. Seperti lafadz Al-As adu diganti dengan lafadz Al-Laitsu.
     Pada umumnya para ulama berpendirian bahwa bacaan Alquran yang memiliki sifat Ta’abudi, tidak boleh diganti dengan lafadz. Muradif-nya dikarenakan Alquran dan seluruh lafadznya mengandung mukjizat, sedangkan muradif satu lafadz dalam Alquran bukan merupakan teks Alquran yang dengan sendirinya tidak mengandung mukjizat.
     Sehubungan dengan permasalahan muradif ada juga perselisihan pendapat  para ulama dalam hal-hal tertentu, misalnya dalam masalah dzikir. Dalam masalah dzikir menurut golongan yang membenarkan muradif dengan memberikan dua syarat yang harus dipenuhi yaitu;
·      Diperbolehkan menggunakan lafadz muradif, bila penggantian lafadz muradif tersebut tidak mendapat halangan dari Agama, baik secara jelas maupun samar-samar.
·      Diperbolehkan menggunakan lafadz muradif, jika penggantian lafadz boleh digunakan lafadz muradif-nya itu berasal dari satu bahasa, yakni sama-sama bahasa Arab misalnya.[18]
Hukum lafadz muradif ini memiliki perbedaan pendapat dari para ulama’, apakah dua lafadz atau lebih yang memiliki arti sama bisa digantikan dalam pemakaiannya atau tidak. Berkenaan dengan masalah ini, para ulama mempunyai argumen yang berbeda-beda. Ada yang memperbolehkan namun ada juga yang tidak memperbolehkan. Akan tetapi untuk argumen yang kuat memperbolehkan selama tidak terdapat halangan syar’i. Pembolehan ini dibatasi pada lafadz-lafadz yang terdapat selain di Alquran. Sementara para ulama  menyepakati bahwa di dalam Alquran dua lafadz atau lebih yang memiliki makna sama tidak boleh dipertukarkan dalam pemakaiannya.
Sedangkan jika berkaitan dengan lafadz muradif yang terdapat dalam dzikir-dzikir dalam shalat terdapat perbedaan pendapat antar para ulama.
Imam Malik dan Imam Syafi’i berpendapat bahwa tidak diperbolehkan membaca takbir selain dengan lafadz Allahu Akbar, sementara Imam Abu Hanifah mengatakan jika diperbolehkannya takbir dengan lafadz yang memiliki arti sama dengan Allahu Akbar, misalnya Allah A’dham atau Allah A’la.[19]

E.       Al-Musytarak
1.      Definisi Musytarak
Musytarak merupakan satu lafadz yang memiliki pengartian lebih dari satu.[20] Musytarak yaitu lafadz yang mengandung banyak arti yang sesungguhnya, namun arti-arti tersebut tidak sama atau berbeda.
Para Ulama’ ushul mengemukakan definisi musytarak di antaranya yang memiliki arti “Satu lafadz yang menunjukkan lebih dari satu makna yang berbeda, dengan penunjukan yang sama menurut orang ahli dalam bahasa tersebut”. Lalu dikemukakan pula oleh Muhammad Abu Zahrah dalam kitabnya Ushul Fiqih yang memiliki makna “Satu lafadz yang menunjukkan lebih dari satu makna yang berbeda-beda batasannya dengan jalan bergantian”.[21]
Seperti lafadz yadun digunakan untuk dua arti, yakni tangan kiri atau tangan kanan.
            Dari pengertian tersebut bisa diambil pemahaman bahwa hakikat lafadz musytarak itu, tidak bisa dijadikan sebagai suatu alat yang digunakan untuk menunjukkan pada salah satu arti tertentu dari arti-arti lafadznya, selama tidak ada qorinah (indikasi) yang menjelaskannya.[22]
Secara bahasa, musytarak memiliki arti berserikat, berkumpul. Dalam ushul fiqih musytarak yang dimaksudkan yakni lafadz yang dibentuk untuk dua arti atau lebih yang berbeda-beda.
Sebagai contoh misalnya lafadz Quruu’ yang terdapat dalam firman Allah Qs. Al-Baqarah ayat 228 yang maksudnya wanita-wanita yang ditalaq, hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali Quru’. Dalam ayat tersebut lafadz quru’ yang mana quru’ sendiri menurut orang Arab memiliki dua makna. Pertama, dengan arti “haid”. Kedua, degan arti “suci”. Jadi masing-masing lafadz yang memiliki pengartian lebih dari satu sebagaimana lafadz quru’ dan lainnya, dinamakan lafadz musytarak.[23]

2.      Hukum Musytarak
Hukum musytarak di sini maksudnya yaitu tentang diperbolehkan atau tidaknya memakai lafadz musytarak. Berkaitan dengan hal ini terjadi perselisihan pendapat para ulama, ada satu pihak yang berpendapat membolehkan, namun pihak yang lain berpendapat sebaliknya.
Jumhur ulama mengatakan bahwa menggunakan lafadz musytarak dalam dua makna atau beberapa makna adalah boleh. Dalam hal ini mereka beralasan dengan menggunakan firman Allah QS. Al-Hajj ayat 18, yang memiliki arti :
Apakah kamu tidak mengetahui bahwa kepada Allah SWT bersujud apa yang ada di langit, di bumi, matahari dan bulan, bintang, gunung, pepohonan-pepohonan, binatang-binatang yang melata, dan sebagian besar dari pada manusia?”
Disini terdapat lafadz sujud yang menunjukkan arti musytarak, dikarenakan bisa memiliki arti meletakkan dahi di tanah dan bisa juga berarti tunduk. Dalam ayat tersebut ditujukan kepada manusia dan makhluk yang tidak berakal misalnya buah, langit, bumi dan sebagainya.
Selain itu, terdapat pula ulama yang memiliki anggapan bahwa digunakannya lafadz musytarak dua makna atau lebih itu tidak diperbolehkan.[24]
Dalam hukum lafadz musytarak jika terdapat lafadz musytarak yang tidak memiliki penjelasan maknanya, padahal yang dikehendaki yaitu salah satu artinya, maka lafadz yang musytarak itu di tinggalkan, adapun yang menyebabkan hal ini yaitu karena tidak mungkin kita dapat beramal selain dengan cara mengetahui maksud dari lafadz yang sesungguhnya. Maka dari itu masing-masing lafadz musytarak yang terdapat dalam naskh baik Alquran ataupun sunnah harus di sertai dengan qorinah, baik qorinah qauliyah ataupun haliyah (keadaan).[25]

F.       PENUTUP
Dapat disimpulkan bahwa adanya penetapan dan penggalian hukum Islam membutuhkan kedalaman pada pemahaman mengenai kaidah-kaidah ushul fiqihnya yang akan mempengaruhi dalam penggalian dan penetapan suatu hukum Islam. Telah dijelaskan mengenai kaidah ta’wil, nasakh, muradif, serta musytarak. Dari keempat kaidah tersebut sesungguhnya memiliki keterkaitan dengan kaidah kebahasaan dalam nash-nash Alquran maupun Hadits. Dalam Alquran telah dijumpai mengenai kebahasaan lafadz yang di dalamnya terdapat makna yang berbeda dengan lafadz aslinya, seperti halnya ketika menemui pemindahan suatu lafadz dari makna yang terang kepada makna yang lemah atau disebut ta’wil. Dan dengan adanya penghapusan dalil yang terdahulu yang digantikan dengan dalil baru yang sifatnya sederajat atau lebih kuat yang biasa disebut dengan nasakh. Terdapat juga lafadz yang berbeda-beda namun memiliki arti yang sama atau yang disebut dengan muradif, begitu pula sebaliknya ada satu lafadz tetapi memiliki makna arti yang cukup banyak dan  disebut dengan musytarak.

DAFTAR PUSTAKA
Zein, M. Maksum. 2013. Menguasai ilmu ushul Fiqh. Yogyakarta : Pustaka Pesantren.
Sudarsono… Pokok-pokok hukum Islam. PT. Adi Mahasatya.
Syafe’i, Rahmat. Ilmu Ushul Fiqih.
Abdurrahman. Menempatkan hukum dalam agama.
Faiso, Al-Hakaml. Modul Fiqh Wa Ushuluhu. Jombang : MAN Denanyar
Djalil, Basiq. 2010. Ilmu Ushul Fiqih (Satu & Dua). Jakarta : Kencana Prenada Media Group.
Ash-Shadr, Ayatullah Baqit. 1993. Sejarah Singkat Ushul Fiqih. Jakarta: Pustaka Hidayah.
Wafaa, Muhammad. 2001. Metode Tarjih atas Kontradiksi Dalil-Dalil Syara’. Bangil: Al-Izzah.
Hasanuddin Berutu, Ahmad. 2008. Skripsi: “Teori Nasikh Mansukh Imam As-Syafi’i dan Relevansinya dalam Pembaharuan Fiqih di Indonesia”. Malang: UIN Malang.
Suryani, Eli. “Aliran-aliran dalam Hukum Islam di IAIN Bukit Tinggi” (Paper)

Catatan:
1.      Similarity 8%.
2.      Footnote dari buku/jurnal yang pertama harus dicantumkan secara lengkap keterangan buku/jurnalnya.





[1] M. Maksum Zein, Menguasai ilmu ushul Fiqh, hlm. 345
[2] Sudarsono, pokok-pokok hukum Islam, hlm. 66
[3] Muhammad Wafaa, Metode Tarjih atas Kontradiksi Dalil-Dalil Syara’. (Bangil: Al-Izzah, 2001), hlm. 128.
[4] Ibid., hlm. 129
[5] Rahmat Syafe’I, Ilmu Ushul Fiqih, hlm. 175
[6] Sudarsono, Pokok-pokok hukum Islam, hlm. 57
[7] Ayatullah Baqit Ash-Shadr, Sejarah Singkat Ushul Fiqih. (Jakarta: Pustaka Hidayah, 1993), hlm. 162
[8] Imam Syafi’i, Ar-Risalah. (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2004), hlm. 103
[9] Ibid…,hlm. 104
[10] Ibid…hlm. 106
[11] Ahmad Hasanuddin Berutu, Skripsi: “Teori Nasikh Mansukh Imam As-Syafi’i dan Relevansinya dalam Pembaharuan Fiqih di Indonesia” (Malang: UIN Malang, 2008), hlm. 40
[12] Abdurrahman, Menempatkan hukum dalam agama, hlm. 34
[13] Nasrun Haroen, Ushul Fiqh I, (Ciputat: PT. Logos Wacana Ilmu, 1997), hlm. 183.
[14] Nasrun Haroen, hlm. 183.
[15] Al-Hakam Faisol, Modul Fiqh Wa Ushuluhu, (Jombang : MAN Denanyar), hlm. 38-39.
[16] M. Ma’shum Zein, Menguasai Ilmu Ushul Fiqh, (Yogyakarta : Pustaka Pesantren, 2013), hlm. 380.
[17] Basiq Djalil, Ilmu Ushul Fiqih (Satu & Dua), (Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2010), hlm. 116.
[18] Ibid.., hlm. 116-117.
[19] Al-Hakam Faisol, hlm. 39.
[20] Ibid..,hlm. 39.
[21] Eli Suryani, “Aliran-aliran dalam Hukum Islam di  IAIN Bukittinggi” (Paper)
[22] M. Ma’shum Zein, hlm. 382.
[23] Basiq Djalil, hlm. 117-118.
[24] Ibid., hlm. 118-119.
[25] Al-Hakam Faisol, hlm. 39-40.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar