Senin, 07 Mei 2018

Pinjam-Meminjam (PAI ICP English Semester Genap 2017/2018)



MAKALAH
PINJAM MEMINJAM DAN TRANSAKSI LAINNYA DALAM KEHIDUPAN SEHARI-HARI

Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas
Mata Kuliah: Fiqh I
Dosen Pengampu: Benny Afwadzi, M.Hum


Description: Image result for LOGO UIN MALANG






Disusun Oleh:
Novia Elok Rahma Hayati                  (16110001)
Lestariati Nur Cholifah                       (16110005)


JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
2018

KATA PENGANTAR
            Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, puji syukur kami panjatkan kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan Rahmat, Hidayah, serta Inayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah Pendidikan Agama Islam ini dengan judul “PINJAM MEMINJAM DAN TRANSAKSI LAINNYA DALAM KEHIDUPAN SEHARI-HARI” dengan Dosen Pengampu bapak Benny Afwadzi, M.Hum tepat pada waktunya.
Penyusunan makalah ini semaksimal mungkin kami lakukan dan didukung bantuan dari berbagai pihak, sehingga dapat memperlancar dan mmpermudah dalam penyusunannya. Untuk itu tidak lupa kami mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu kami dalam menyelesaikan makalah ini.
Namun tidak lepas dari semua itu, kami menyadari bahwa masih terdapat banyak kekurangan dalam makalah ini baik dari segi penyusunan, bahasa, maupun aspek lainnya. Oleh karena itu, kami berharap bagi para pembaca untuk memberikan saran maupun kritik demi memperbaiki makalah ini dan untuk menunjang peulisan makalah di waktu mendatang.
Akhirnya kami selaku penyusun sangat mengharapkan semoga dari makalah sederhana kami ini dapat diambil manfaatnya dan besar kainginan kami dapat menginspirasi para pembaca dan juga memberikan informasi yang bermanfaat dalam kehidupan.


                                                                        Malang, 04 Mei 2018
                                                                       
                                                                                    Penyusun



DAFTAR ISI
COVER
KATA PENGANTR............................................................................        2
DAFTAR ISI.........................................................................................        3
BAB I : PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang............................................................................        4
B.     Rumusan Masalah.......................................................................        4
C.     Tujuan..........................................................................................       4
BAB II : PEMBAHASAN
A.    Pinjam-meminjam........................................................................        5
B.     Sewa-Menyewa ...........................................................................      7
C.     Utang-Piutang.............................................................................        9
D.    Gadai dan Jaminan......................................................................        13
E.     Upah ............................................................................................      17
BABIII : PENUTUP
A.    Kesimpulan..................................................................................        21
B.     Saran
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................        22














BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
            Dalam menjalani kehidupan manusia tidak bisa melakukannya sendiri tanpa bantuan orang lain, karena pada dasarnya manusia merupakan makhluk sosial yang selalu membutuhkan bantuan dan pertolongan orang lain untuk membantu meringankan pekerjaan maupun untuk memenuhi kebutuhan demi kelangsungan hidupnya. Dengan adanya fenomena tersebut maka terjadilah dalam hidup bermasyarakat suatu interaksi atau transaksi yang saling melengkapi di dalam hidup ini. Salah satu bentuk interaksi yang terjadi yaitu pinjam meminjam. Pelaksanaan atau pemberian pinjam meminjam dari satu pihak kepada pihak yang lain merupakan suatu usaha taqarrub kepada Allah. Namun, pada zaman sekarang banyak diantara masyarakat yang belum mengerti hakikat pinjam meminjam itu sendiri. Terkadang tidak jarang sebagian orang hanya berniat mencari untung untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri dan mendzolimi hak-hak saudaranya atau tetangganya. Oleh karena itu, masyarakat harus mengetahui hukum-hukum, syarat dan hal-hal yang berkaitan dengan pinjam meminjam dimana ketentuan ini telah diatur dalam fiqih muamalah.
            Fiqih muamalah merupakan hukum islam yang mengatur hubungan antar manusia. Semua permasalahan yang ada di masyarakat telah ada ketentuan tersendiri di dalam Islam tidak terkecuali perihal pinjam meminjam. Allah telah mengatur semuanya di dalam hukum Islam agar manusia memahami ketentuan dari interaksi antar manusia.
            Di dalam makalah ini akan dibahas ketentuan dan segala aspek tentang pinjam meminjam termasuk didalamnya utang piutang, gadai, borg (jaminan), sewa-menyewa dan upah, agar nantinya pembaca dapat mengetahui hukum, syarat dan lain sebagainya tentang pinjam meminjam. Sehingga tidak terjadi kedzoliman diantara peminjam dan yang meminjam.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian pinjam meminjam, sewa menyewa, utang piutang, gadai, jaminan, dan upah ?
2.      Bagaimana hukum, syarat-syarat dan rukun-rukun dari pinjam meminjam, sewa menyewa, utang piutang, gadai, jaminan, dan upah ?
3.      Baimana tata cara dan ketentuan-ketentuan pinjam meminjam, sewa menyewa, utang piutang, gadai, jaminan, dan upah ?

C.    Tujuan
1.      Memahami pengertian pinjam meminjam, sewa menyewa, utang piutang, gadai, jaminan, dan upah.
2.      Mengetahui hukum, syarat-syarat dan rukun-rukun dari pinjam meminjam, sewa menyewa, utang piutang, gadai, jaminan, dan upah.
3.      Memahami tata cara dan ketentuan-ketentuan pinjam meminjam, sewa menyewa, utang piutang, gadai, jaminan, dan upah.

           


BAB II
PEMBAHASAN

  1. PINJAM MEMINJAM (ARIYAH)
Pinjam meminjam atau dalam bahasa Arab disebut sebagai ‘Ariyah’ adalah suatu kegiatan untuk meminjamkan suatu barang atau benda kepada orang lain, dan wajib mengembalikan barang tersebut kepada pemiliknya.[1] Prinsip ariyah ini adalah memberikan manfaat suatu barang yang halal tersebut kepada orang lain untuk diambil manfaatnya, namun dengan tidak merusak dzat dari barang tersebut, sehingga dapat dikembalikan secara utuh kepada pemiliknya. Maka setiap barang yang memungkinkan dapat diambil manfaatnya dengan tidak merusak dzat barang tersebut, boleh dipinjamkan. Pinjam meminjam dikatakan hampir sama dengan utang-piutang, karena kegiatan pinjam meminjam ini terjadi ketika seseorang membutuhkan sesuatu tapi ia tidak memiliki barang yang dibutuhkannya, dan sesuatu yang dibutuhkan tersebut dimiliki oleh orang lain.[2]
Dilihat dari pengertian pinjam meminjam diatas menunjukkan bahwa dalam hubungan yang terjalin dalam antar manusia untuk menciptakan kerukunan bersama diperlukan kegiatan saling tolong menolong. Atas dasar inilah pinjam meminjam menurut hukum asalnya adalah mubah (boleh). Namun ada yang beberapa ulama yang menghukuminya sebagai sunnah.[3]
Beberapa ayat Al-Qur’an dan hadits yang menjad dasar hukum Ariyah, yaitu :

وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَىٰ ۖ وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ ۚ

Artinya : “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.”
Nabi SAW bersabda :
وَاللهُ فِي عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيْهِ.

Artinya : “Allah akan selalu menolong hamba-Nya selama hamba tersebut mau menolong saudaranya”.
1.      Syarat dan Rukun Ariyah
a.       Peminjam, syaratnya adalah :
·      Orang yang berhak menerima kebaikan, artinya orang yang dapat memelihara hak miliknya.
·      Dewasa dan berakal sehat
·      Tidak boleh meminjamkan barang yang ia pinjam kepada orang lain.
b.      Yang meminjamkan, syaratnya adalah :
·      Orang yang berhak berbuat kebaikan atas kehendaknya sendiri
·      Dewasa dan berakal sehat
·      Pemilik benda mutlak
c.       Benda yang dipinjam, syaratnya :
·      Ada manfaatnya
·      Tidak habis dipakai
·      Tidak cepat rusak
d.      Lafal atau ucapan (Aqad)[4]
2.      Ketentuan Ariyah
a.       Baik peminjam (musta’ir) maupun orang yang meminjamkan barang (al-mu’ir), keduanya harus berkemampuan untuk bertindak serta berbuat baik dan mampu melakukan transaksi perjanjian.

عَنْ سَمُرَةَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّي اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ عَلَي الْيَدِ مَا أَخَذَتْ حَتَّى يُؤَدِّيْهِ (رواه الخمسة الاّ النسائ)

“Dari Samurah, Nabi saw. bersabda : Tanggung jawab barang yang diambil atas yang mengambil sampai dikembalikannya barang itu. ” (HR. Lima Orang Ahli Hadits).
b.      Barang yang dipinjamkan harus dimanfaatkan tanpa mengurangi kondisi asal barang, dan dapat dimanfaatkan serta diserahkan untuk kepentingan yang tidak bertentangan dengan agama.
c.       Barang yang dipinjam tersebut, dapat dipinjamkan atau disewakan kepada orang lain oleh si peminjam jika telah mendapat persetujuan dari pihak pemilik barang dan selama tidak mengurangi manfaat barang tersebut.
d.      Barang yang dipinjam harus dikembalikan kapanpun jika diminta oleh pemiliknya dan selama tidak merugikan pihak si peminjam barang.
e.       Pihak peminjam harus mengganti dengan barang atau harganya jika barang yang dipinjam tersebut rusak karena ulahnya.[5]

(اَلْعَارِيَةُ مُؤَدَّةٌ وَ الزَّعِيْمُ غَارِمٌ (رواه ابو داود و الترمذ

“Pinjaman wajib dikembalikan, dan orang yang menjamin sesuatu harus membayar“ (H.R. Abu Daud).
Adapun kerusakan yang wajib diganti adalah :
·           Memakainya dengan melewati batas kewajaran dan yang telah diizinkan oleh si peminjam.
·           Adanya kerusakan bukan karena dipakai tapi karena kelalaian dari peminjam, misalnya kelalaian ketika menyimpan barang, sehingga dirusakoleh anak-anak atau di curi orang.[6]
3.      Hukum Ariyah
Hukum dasar ariyah adalah sunnah, namun dapat berubah menjadi beberapa hukum berikut ini :
a.       Mubah, pinjam meminjam boleh dilakukan selama tidak merugikan salah satu pihak, meskipun pihak yang lain tidak diuntungkan.
b.      Wajib, apabila pinjam meminjam ini dilakukan demi memenuhi kebutuhan yang sangat mendesak, dan apabila tidak meminjam akan mengalami suatu kerugian atau mara bahaya. Misalnya ada salah satu anggota keluarga yang sakit parah dan harus segera diobatkan, kalau tidak maka sakitnya akan semakin parah bahkan berujung kematian, namun keluarga dari orang yang sakit ini tidak mempunyai biaya, maka sang keluarga wajib meminjam uang untuk mengobatkan anggota keluarga yang sakit ini.
c.       Haram, apabila pinjam meminjam dilakukan untuk menunjang perbuatan maksiat atau untuk berbuat jahat dan membahayakan orang lain. Misalnya meminjam sepeda motor yang digunakan untuk menjambret, meminjam pisau untuk membunuh, dll.[7]
4.      Hikmah Ariyah
a.       Meringankan beban satu sama lain antar umat manusia.
b.      Menghilangkan pertengkaran.
c.       Melahirkan kasih sayang diantara manusia.
d.      Termasuk kedalam golongan orangyang baik di hadapan Allah, sedangkan di hadapan manusia ia sangat dicintai.
e.       Memperoleh pahala dari Allah, dan ucapan terimakasih dari manusia.[8]

  1. SEWA MENYEWA (IJAROH)
Kata ‘ijaroh’ artinya balasan atau jasa. Maksudnya adalah imbalan yang diberikan sebagai upah suatu perbuatan. Menurut ketentuan syara’, ijaroh berarti perjanjian atau perikatan mengenai suatu pemakaian hasil dari manusia, binatang atau benda. H Moh Anwar menerangkan bahwa ijaroh adalah suatu perakadan (perikatan) pemberian kemanfaatan (jasa) kepada orang lain dengan syarat memakai iwadh atau penggantian (balas jasa) yang berupa uang ataupun sebuah barang yang sudah ditentukan.[9] Jadi sewa menyewa atau ijaroh itu memebutuhkan adanya orang yang memberi jasa dan orang yang memberi upah.
Dalil yang mendasari adanya ijaroh dalam syariat islam adalah Q.S At-Thalaq ayat 6 :
فَإِنْ أَرْضَعْنَ لَكُمْ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ ۖ

Artinya : “Jika wanita-wanita itu menyusui anakmu maka berilah mereka upahnya.”
Dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhua (ia berkata),

وَاسْتَأْجَرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبُو بَكْرٍ رَجُلاً مِنْ بَنِي الدَّيْلِ ثُمَّ مِنْ بَنِي عَبْدِ بْنِ عَدِيٍّ هَادِيًا خِرِّيْتًا الْخِرِّيْتُ الْمَاهِرُ بِالْهِدَايَةِ.

Artinya : “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam beserta Abu Bakar menyewa (mengupah) seorang penunjuk jalan yang mahir dari Bani ad-Dail kemudian dari Bani ‘Abdu bin ‘Adi.”
            Hukum asal dari ijaroh ini adalah boleh (mubah) bila dilakukan sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan islam. Bolehnya ketentuan hukum ijaroh ini berdasarkan pada ayat dan hadits nabi berikut :
Q.S Al-Qashash ayat 26-27

قَالَتْ إِحْدَاهُمَا يَا أَبَتِ اسْتَأْجِرْهُ ۖ إِنَّ خَيْرَ مَنِ اسْتَأْجَرْتَ الْقَوِيُّ الْأَمِين
قَالَ إِنِّي أُرِيدُ أَنْ أُنْكِحَكَ إِحْدَى ابْنَتَيَّ هَاتَيْنِ عَلَىٰ أَنْ تَأْجُرَنِي ثَمَانِيَ حِجَجٍ ۖ

Artinya : “Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: "Ya bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya". Si bapak berkata : saya bermaksud menikahkan engkau dengan salah satu anak perempuanku dengan ketentuan kamu menjadi orang upahan saya selama delapan musim haji”.[10]
          Tujuan di syariatkannya ijaroh adalah untuk memberikan keringanan pada sesama umat dalam kehidupan. Jika ada seseorang yan mempunyai uang, namun ia tidak dapat bekerja, namun di pihak lain ada yang mempunyai tenaga dan membutuhkan uang, sehingga diantara keduanya dapat bekerja sama dengan melakukan ijaroh dan saling mendapat keuntungan. Contoh lain yaitu ada seseorang yang memiliki mobil dan memerlukan uang, di pihak lain ada yang tidak memiliki mobil namun memiliki uang, dengan adanya transaksi ijaroh diantara keduanya maka terbentuklah kemaslahatan dan manfaat diantara kedua belah pihak.
1.      Rukun Dan Syarat Ijaroh
a.       Penyewa (mujir) dan yang menyewakan (mustajir)
·      Berakal
·      Atas kehendaknya sendiri (kehendak masing-masing pihak)
·      Bukan orang yang pemboros
·      Dewasa (baligh) minimal berusia 15 tahun
b.      Barang yang disewakan (ma’jur)
·      Harus diketahui oleh penyewa secara nyata (jenis, bentuk, jumlah, waktu sewa, sifat dan segala kecacatannya)
·      Barang tidak terlarang oleh agama
c.       Kegunaan (manfaat) barang
·      Kegunaan yang berharga
·      Orang yang menyewakan barang harus memberitahukan terlebih dahulu kepada calon penyewaapa kegunaan dari barang yang akan disewakan
·      Barang yang disewakan tersebut harus diketahui batas-batas kegunaannya[11]
d.      Imbalan atas jasa yang telah diberikan (upah)
·      Jelas wujud, nilai, ukuran dan waktu pembayarannya.[12]
2.      Berakhirnya Sewa Menyewa
Sebagai aqad akan berakhirnya sewa-menyewa yakni sesuai kata kesepakatan dalam perjanjian. Dengan berakhirnya sewa menyewa, kewajiban bagi penyewa barang adalah menyerahkan barang yang ia sewa kepada pemiliknya. Namun bagi barang-barang tertentu seperti rumah, hewan, dan barang lainnya akan berakir masa sewanya jika terjadi musibah kehancuran. Rumah sewa kan berakhir masa sewanya jika roboh, hewan akan erakhir masa sewanya jika dia mati, sama halnya dengan kendaraan jika terjadi tabrakan atau kecelakaan sampai tidak bermanfat lagi maka akan berakhir masa sewanya. sedangkan kalau hanya terjadi kerusakan kecil selama sewa menyewa berlangsung, maka yang berkewajiban memperbaiki atau mengganti adalah pihak penyewa dan hal ini tidak mengakhiri masa sewa. Jika terjadi musibah kematian diantara salh satu pihak penyewa ataupun yang menyewakan, maka hal ini tidak mengakhiri akad sewa menyewa sebelum masa sewanya habis, dan akan dilanjutkan oleh ahli warisnya.[13]
3.      Pembagian Ijaroh
Terdapat 2 macam ijaroh, yaitu :
1.      Ijroh pada suatu benda tertentu, seperti perkataan memberi ijaroh “saya sewakan kepadamu mobil ini”
2.      Ijaroh pada pekerjaan, seperti seseorang yang memberikan upah kepada orang lain untuk menjaga kebun miliknya.[14]
4.      Ketentuan Ijaroh
a.       Kewajiban bagi orang yang menyewakan barang
·      Mengizinkan pemakaian barang yang telah disewakan
·      Memelihara kebesaran barang yang disewakan
b.      Kewajiban bagi penyewa barang
·      Membayar sewaan seperti yang telah ditentukan di awal perjanjian
·      Membersihkan barang sewaannya
·      Mengembaikan barang sewaan tersebut jika telah habis masa tempo
c.       Ketentuan bagi penyewa
·      Barang yang disewa merupakan amanat terhadapnya, jadi apabila terjadi kerusakan karenakelalaiannya maka ia wajib mengganti, namun jika kerusakan terjadi bukan karena kelalaiannya maka si penyewa tidak wajib mengganti
·      Penyewa diperbolehkan mengganti pemakai sewaannya kepada orang lain tanpa seizin orang yang menyewakannya, kecuali jika telah ditentukan di awal akad bahwa barang tidak boleh dipinjamkan atau diganti pemakaian
·      Bagi orang yang menyewakan barang bleh mengganti barang yang disewakan dengan barang yang lain yang seimbang dengan barang semula
·      Jika terjadi perselisihan pengakuan antara penyewa dengan yang menyewakan terhadap banyaknya uph atau tempo waktu ataupun ukuran manfaat barang yang disewakan ataupun kasus lain, dan tidak ada saksi maka kedua belah pihak harus bersumpah[15]
5.      Hikmah Ijaroh
a.       Mencegah terjadinya permusuhan dan perselisihan
b.      Melatih sikap husnudzon dan percaya terhadap orang lain
c.       Merupakan salah satu bentuk tolong menolong dalam kebaikan
d.      Memudahkan manusia untuk memenuhi kebutuhannya
e.       Mempererat persaudaraan[16]

  1. UTANG PIUTANG (QORODH)
Utang piutang (Qorodh) adalah suatu kegiatan memberikan sesuatu kepada orang lain, dengan perjanjian dia akan membayar yang sama dengan sesuatu yang ia pinjam tersebut. Utang piutang sering dikaitkan dengan 2 istilah, yaitu qorodh ataupun qardh. Untuk penjelasan 2 istilah tersebut adalah sebagai berikut :
a.         Qardh yaitu suatu perjanjian kepada orang lain dalam bentuk pinjaman, yang kemudian akan dibayar dengan nilai yang sama. Misal pak andi meminjam uang 1.000.000 kepada pak salman, maka pak andi jug aharus mengembalikan sebesar 1.000.000 kepada pak salman.
b.         Qorodh yaitu memberikan sesuatu kepada orang lain dengan syarat harus dikembalikan lagi semisalnya yaitu boleh berupa bukan barang tersebut. Misal mengutangkan beras 10kg atau uang 10rb, kemudian barag atau uang tersebut menjadi milik orang yang berutang (muqtaridh) dan dia boleh memanfaatkannya, namun suatu saat dia wajib menggantinya (membayarnya) dengan barang yang serupa pinjaman tersebut atau seharganya. Jika yang dikembalikan itu barang yang sama dengan semula, maka itu bukan qorodh melainkan ariyah (pinjaman) yang hukumnya sunnat.[17]
Dasar hukum qorodh adalah sebagai berikut :
Q.S Al-Maidah ayat 2

وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَىٰ ۖ وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ ۚ

Artinya : “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.”
Nabi SAW bersabda

مَا مِنْ مُسْلِمٍ يُقْرِضُ مُسْلِمًا قَرْضًا مَرَّتَيْنِ إِلاَّ كَانَ كَصَدَقَتِهَا مَرَّةً

Artinya : “Setiap muslim yang memberikan pinjaman kepada sesamanya dua kali, maka dia itu seperti orang yang bersedekah satu kali.” (H.R Ibnu Majah)
            Utang harus dibayar dalam jumlah dan nilai yang sama dengan yang diterima dari pemiliknya, dan tidak boleh lebih karena kelebihan pembayaan utang ini menjadikan transaksi ini menjadi riba, dan riba itu diharamkan. Hal ini sesuai dengan sabda nabi SAW
كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ نَفْعًا فَهُوَ رِبًا

Artinya : “Setiap hutang yang membawa keuntungan, maka hukumnya riba”. (H.R Harits bin Usamah)
Seseorang yang berutang jika ia tidak mampu membayar utangnya tepat waktu maka orang tersebut dianjurkan untuk menangguhkan hutangnya hingga ia punya kemampuan untuk membayar. Dan jika ada orang yang sengaja menangguh-nangguhkan utangnya, maka ia dikatakan orang yang dzalim.[18]
1.      Rukun dan syarat Qorodh
a.       Kalimat mengutangi dan jawaban yang berutang (ijab qabul), hal ini sebagai pernyataan bahwa antara 2 pihak benar-benar menghendaki adanya ikatan hukum yang berlaku antara keduanya. Contoh lafadz menghutangkan : “saya hutangkan uang ini kepada engkau”, kemudian orang yang hutang menjawab “saya mengaku berhutang uang ini kepada engkau”.
b.      Orang yang berutang dan yang berpiutang, berikut syarat yang harus dipenuhi oleh kedua belah pihak :
·         Berakal
·         Atas kehendak kedua belah pihak
·         Bukan seorang pemboros
·         Baligh (dewasa)
c.       Barang yang diutangkan
·         Sesuai daya jangkau pelunasannya
·         Diambil perkiraan atas kemampuan mengembalikannya[19]
2.      Hukum Utang-Piutang (Qorodh)
Ada beberapa hukum dalam utang-piutang, sebagai berikut :
a.       Mengutangi sesuatu kepada orang lain hukumnya sunnat, hal ini disesuaikan pada dasarnya yaitu utang piutang termasuk dalam tolong menolong dalam kebaikan.
b.      Hukumnya berubah menjadi wajib jika orang yang berutang benar-benar memerlukannya, sebab misalkan ia tidak diberi pinjaman akan terlantar atau membahayakan dirinya.
c.       Haram, jika utang piutang dilakukan dalam hal untuk bermaksiat, perjudian, pembunuhan, dll.
d.      Makruh, jika benda yang dihutangkan tersebut akan digunakan untuk sesuatu yang makruh pula.
e.       Boleh menghutangkan hewan ternak, yang nantiny akan dibayar oleh si penghutang dengan hewan ternak yang sama.[20]
Diantara kedua belah pihak diperlukan adanya sighah (ijab qabul) ketika melakukan transaksi utang piutang , namun sebagian besar ulama’ berpendapat bahwa sighah tersebut dapat disahkan daam bentuk serah-terima.
3.      Ketentuan-Ketentuan Qorodh
Menurut H. Moh. Anwar ketentuan qorodh adalah sebagai berikut :
a.       Sahnya transaksi qorodh itu dengan ijab qobul
b.      Barang yang telah diutangkan kepada si penghutang, maka itu menjadi hak milik penghutang
c.       Orang yang berhutang diwajibkan untuk mengembalikan atau membayar piutang pada waktu yang telah ditentukan dengan barang yang serupa atau harga yang sama
d.      Orang yang menghutangkan barang berhak menegur orang yang berhutang, jika diperlukan
e.       Orang yang menghutangkan wajib memberi tempo lagi bila si penghutang belum mempunyai kemampuan untuk membayarnya
f.       Disunnahkan kepada orang yang mengutangkan untuk membebaskan sebagian atau semua piutangnya jika orang yang menghutang tidak mampu untuk membayarnya
g.      Orang yang memberikan hutang berhak mengajukan urusannya kepada hakim jika orang yang berhutang malas atau tidak mau untuk membayarnya
h.      Hakim berhak menyita harta kepunyaan orang yang berutang untuk dibayarkan kepada orang yang mengutangkannya
i.        Kepada orang yang berhutang disunnahkan untuk memberikan balas jasa dengan sesuatu baik berupa uang atau barang ataupun tenaga orang yang berhutang dengan syarat tidak dijanjikan pada waktu akad[21]
4.      Menambah Jumlah Pelunasan Hutang
Pelunasan atau pembayaran hutang wajib dilakukan oleh si penghutang sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati oleh kedua belah pihak. Pengembalian atau pelunasan hutang ini wajib dikembalikan juga sebesar hutang yang diterimanya. Dan tidak dibenarkan dalam perjanjian jika disepakati ada syarat tambahan yang melebihkan dari jumlah hutang yang diterima. Karena hal ini termasuk kedalam riba.[22]
5.      Jaminan Dalam Utang-Piutang
Dalam transaksi atau perjanjian utang-piutang mungkin ada pemberian jaminan yang ditujukan sebagai faktor penguat kepercayaan bagi pemberi hutang. Tujuannya adalah untuk menjaga kalau sampai terjadi penyimpangan dari perjanjian tanpa pembayaran dari pihak berhutang, maka adanya jaminan itu sebagai pelunas hutangnya. Ada 2 bentuk jaminan hutang dilihat dari sifatnya :
1.      Jaminan barang, yaitu sebuah barang yang digunakan atau dijadikan untuk penguat kepercayaan dalam hutang-piutang. Rukun jaminan barang sebagai berikut :
a.       Lafadz pernyataan yang dilakukan saat penyerahan dan penerimaan harus secara tegas antara kedua belah pihak
b.      Kedua belah pihak disyaratkan sebagai ahli tasharruf, yaitu berhak menjual belikan hartanya
c.       Barang yang boleh sebagai jaminan adalah setiap benda yang boleh dijual dengan syarat keadaan barangnya tidak dapat rusak selama perjanjian hutang-piutang
d.      Ada transaksi hutang dengan syarat keadaannya telah tetap (berlangsung)[23]
2.      Jaminan orang, dalam arti luas disebut ‘dhaman’, ialah penanggung hutang atau seseorang yang diikutsertakan untuk menjamin hutang seseorang. Seseorang yang diikutsertakan dalam hutang orang lain ini dimaksudkan akan membantu menanggung pembayaran hutang tersebut kalau yang berutang pada waktu yangtelah disepakati tidak dapat membayar membayar. Meskipun ada jaminan orang ini namun tidak berarti yang berhutang menggantungkan dirinya sepenuhny akepada pihak penjamin hutang, dan ia harus tetap berusaha untuk melunasinya. Dan jika si penghutang dapat melunasi hutangnya, maka pihak penjamin hutang tiak perlu malkukan pembayaran. Adapun rukun dan syarat hutang piutang dengan jaminan :
a.       Yang menjamin, harus baligh berakal, tidak mubadzir, dan atas kehendaknya sendiri
b.      Yang berpiutang, diketahui oleh penjamin
c.       Yang berhutang, mengetahui adanya penjamin
d.      Jaminan orang, keadaannya diketahui dan sifatnya tetap (tidak berubah)
e.       Lafadz jaminan, mengandung makna jaminan dan tidak digantungkan pada sesuatu yang sifatnya masih sementara[24]
6.      Hiwalah
Hiwalah adalah memindahkan utang dari tanggungan seseorang kepada orang lain. Timbulnya hiwalah ini adalah sebagai akibat dari peristiwa hutang piutang bersegi, yaitu adanya minimal 3 pihak dalam peristiwa hutang piutang. Misalnya : A berhutang sesuatu kepada B, A menghutangkan sesuatu kepada C. Atas persetujuan B, si A ini menyuruh C untuk membayarkan hutangnya kepada si B. Dengan berpindahnya kewajiban si A kepada C itu berarti si A tidak emmpunyai hubungan hutang lagi dengan si B.[25]
Apabila ditinjau dari dalil naqli hukum hiwalah adalah boleh. Hal ini didasarkan pada hadits nabi SAW

مطل الغنيُ ظلم, وإذاأتبع احدكم على ملئ فليتبع
“Menunda – nunda pembayaran  oleh orang kaya adalah penganiayaan, dan apabila salah seorang diantara kamu di ikutkan ( dipindahkan) kepada orang yang mampu maka ikutilah” ( HR bukhori dan mislim)
Berikut beberapa syarat utama yang perlu diperhatikan oleh pihak berpiutang sebagai penerima pemindahan :
a.       Pihak yang berutang yang diwajibkan mengalihkan pembayaran hutang tersebut mampu melunasi pembayaran hutangnya, dan kemampuan ini harus diketahui oleh semua pihak.
b.      Pemindahan pembayaran hutang dapat dilakukan dnegan syarat jumlah utang, jenis barang yang diutangkan dan aqad yang dilakukan sama.[26]
Berikut beberapa rukun hiwalah :
·         Orang yang berutang dan yang berpiutang (muhil)
·         Orang yang berpiutang (muhtal)
·         Orang yang berutang (muhtal alaih)
·         Utang seorang muhil kepada muhtal
·         Utang seorang muhtal alaih kepada muhil
·         Sighah (akad)
Syarat sahnya hiwalah :
1.      Ijab-kobul antara seorang muhtal dan muhil
2.      Persetujuan antara seorang muhtal dan muhil[27]
7.      Hikmah Utang Piutang dan Hiwalah
·      Memberi kemudahan bagi umat manusia dalam pergaulan hidup
·      Orang yang mengalami kekurangan dapat memanfaatkan barang utang dari pihak yang berkecukupan[28]
·      Memberikan emudahan dalam bermuamalah dan tidak ada pihak lain yang dirugikan[29]

D.    GADAI DAN JAMINAN
            Secara etimologi gadai atau al-rahnmempunyai arti penetapan, penahan dan kekal. Sedangkan secara terminologi gadai adalah penahanansebagian harta milik si peminjam atas pinjaman yang diterimanya. Barang yang ditahan haruss memiliki nilai ekonomis. Pada hakikatnya gadai diberikan untuk menjamin sebuah tagihan.[30]
            Menurut sebagian ulama, gadai bukanlah suatu akad penyerahan milik  suatu benda dan juga manfaatnya. Namun yang muncul karena akad itu adalah hak menahan atau hak mengkhususkan.
            Adapun persoalan terhadap hukum gadai, para ulama mengatakan bahwa gadai atau al-rahn hukumnya adalah mubah/boleh. Dasar hukum gadai dalam Islam diatur dalam QS. Al-Baqarah ayat 283:

وَإِنْ كُنْتُمْ عَلَىٰ سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُوا كَاتِبًا فَرِهَانٌ مَقْبُوضَةٌ ۖ

Artinya: “Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang)”. (QS. Al-Baqarah: 283).
            Ayat diatas menjelaskan barang tanggungan yang dipegang oleh yang berpiutang bisa dikatakan sebagai jaminan, agunan, atau juga objek pegadaian.
            Ijma’ para ulama menyatakan bahwa gadai disyariatkan sebagai jaminan terhadap utang. Akan tetapi, terdapat perbedaan pendapat diantara ulama madzhab terhadap rentang waktu jaminan tersebut ditahan oleh pemegang gadai.
            Ulama Hanafiyyah bahwa jangka waktu penahan barang oleh si pemegang gadai yaitu sampai penggadai dapat melunasi utangnya. Sedangkan ulama Syafi’iyah berbicara bahwa barang tersebut tersebut berhubungan dengan utang yang tidak dibayar dan si pemegang gadai didahulukan dari kreditor-kreditor lainnya.[31]
            Berdasarkan pembahasan ini, ulama Hanafiyyah berpendapat bahwa orang yang menggadaikan barangnya tidak mempunyai hak lagi atas barang tersebut dan tidak memiliki hak untuk mengambil manfaatnya dengan cara apapun. Si pemegang gadai juga dilarang melakukan tindakan terhadap barang itu tanpa seizin orang yang memegang gadai.
            Imam Malik, Ibnu Abi Laila, Imam Ahmad bin Hanbal, Imam Syafi’i dan Ibnu Al-Mudzir mengatakan bahwa barang yang digadaikan masih bisa disewakan atau dipinjamkan dalam jangka waktu yang tidak melebihi perjanjian pembayaran utang oleh si penggadai. Ia juga berhak bertindak atas barangnya tanpa mengurangi barang tersebut atau menghapuskan kepemilikan dari barang itu terhadap pemiliknya.[32]
            Adapun mengenai hukum pengambilan barang gadaian oleh si pemegang gadai, ijma’ para ulama mengatakan bahwa benda atau jasa barang yang digadaikan adalah hak milik orang yang menggadaikan. Sedangkan yang memegang gadai tidak memiliki hak sedikitpun untuk mengambil manfaat dari barang tersebut tanpa seizin orang yang menggadaikan barang itu. Apabila orang yang menggadaikan mengizinkan untuk mengambil manfaat dari barang tersebut, maka dalam hal ini terdpat perbedaan pendapat dikalangan ulama.
            Di dalam kitab-kitab ulama Hanafiyyah yang mu’tabar menyebutkan bahwa orang yang menggadaikan itu mengizinkan dan membolehkan orang yang memegang gadai mengambil manfaat dari barang gadaian, baik disyaratkan dalam akad ataupun tidak. Meskipun demikian, banyak yang berpendapat bahwa jika barang tersebut dimanfaatkan maka harus disyaratkan dengan akad, karena hal tersebut bagian dari utang dengan imbalan manfaat.
            Pengarang kitab Al-Minah yang mengutip dari Abdullah Muhammad bin Aslam As-Samarqandy menjelaskan bahwa pemegang gadai tidak halal mengambil manfaat dari barang gadaian tersebut, walaupun pada kenyataanya mendapat izin dari orang yang menggadaikan. Jika problema ini terjadi sma artinya dengan mengizinkan riba karena piutangnya dibayar lengkap , sedangkan manfaat yang diambil oleh pemegang gadai lebih besar.[33]
            Imam Asy-Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hanbal berpendapat, apabila si penggadai mengizinkan barang yang digadaikan diambil manfaatnya oleh pemegang gadai, sedangkan utang gadai termasuk qiradh, maka hal tersebut tidak diperbolehkan karena dengan demikian dapat diartikan bahwa qiradh yang menarik manfaat. Sedangkan, jika utang tersebut bukanlah qiradh, maka pemegang gadai boleh memanfaatkan barang gadaian tersebut. Imam Malik membolehkan pernyataan yang kedua apabila izin tersebut disyaratkan dengan akad dan masa pemanfaatan barang tersebut dalam waktu tertentu.
            Apabila barang-barang gadaian tersebut dapat dikendarai atau diperah, sedangkan pemegang gadai tidak mendapat izin dari orang yang menggadaikan, dalam kasus ini Jumhur Ulama menyatakan bahwa barang gadaian tersebut tetap tidak dapat diambil manfaatnya oleh si pemegang gadai.[34]  Jumhur Ulama berdalil berdasarkan hadist yang diriwayatkan oleh Abu Hurairoh dari Nabi SAW:

لا يغلق الرهن من صاحبه الذى رهنه له غنمه و عليه غرمه

Artinya: “tidak dikunci barang gadaian dari orang yang telah menggadaikannya, untuknya hasilnya dan atasnya belanjaannya”.
            Berdasarkan hadist tersebut, hukum syara telah menetapkan bahwa baik hasil atau rugi adalah untuk menggadaikan, maka yang memeganga gadai tidak memiliki hak , kecuali adanya izin dari yang menggadaikan. Mereka mengatakan bahwa para ulama telah sepakat dengan hal ini.
1.      Unsur-Unsur Gadai
a.       Orang yang menggadaikan barang (Ar-Rahin)
b.      Orang yang menerima barang gadaian (Al-Murtahin)
c.       Barang yang digadaikan (Ar-Rahn/Al-Marhun)
d.      Uang yang dipinjamkan karena adanya barang yang digadaikan (Al-Marhun bih)
2.      Rukun dan Syarat Gadai
a.       Ijab qabul (akad)
b.      Orang yang menggadaikan (rahin) dan orang yang menerima gadai (murtahin), kedua belah pihak ini disebut aqid.
·         Mampu membelanjakan harta bagi rahin
·         Memahami tentang gadai
·         Baligh
·         Berakal sehat
·         Mumayyis
c.       Borg (barang yang dijadikan jaminan)
·         Keadaan barang tidak rusak
·         Barang yang bernilai ekonomis
·         Milik orang yang menggadaikan
·         Harus jelas ukuran, jenis dan sifatnya
d.      Ada hutang (uang yang dipinjamkan)
·         Bersifat wajib di bayar

            Secara sekilas pengertian gadai dan borg (jaminan) adalah sama, namun pada dasarnya berbeda. Di dalam fiqih muamalah borg atau jaminan diartikan sebagai barang yang dijadikan sebagai penguat hutang-pihutang.Oleh karena itu, jaminan sangat erat kaitannya dengan utang-piutang dan terjadi karenanya.[35]Perbedaan antara borg dan gadai yaitu jika borg seperti yang telah dijelaskan diatas yaitu barang yang dijadikan sebagai penguat utang piutang namun lain halnya dengan gadai yaitu penyerahan barang berharga demi mendapatkan pinjaman.
            Dalam suatu transaksi pinjam-meminjam dan utang-piutang si pemilik uang diperbolehkan meminta jaminan barang berharga kepada si peminjam.[36]Hakikatnya pemberian utang merupakan salah satu perilaku kebajikan dalam menolong orang lain yang sedang kesusahan atau tidak memiliki uang (kontan). Namun, demi kemashlahatan bersama, si pemberi utang membutuhkan suatu jaminan yang menyatakan bahwa utang tersebut akan dibayar oleh orang yang berhutang. Dengan demikian, si pemberi utang boleh meminta jaminan kepada orang yang berhutang dalam bentuk barang berharga.
            Hukum meminta jaminan adalah mubah, hal ini didasarkan pada firman Allah SWT dalam Al-Qur’an dan penjelasan Nabi Muhammad SAW.[37] Dalil Al-Qur’an yang menjelaskan hukum meminta jaminan salah satunya tertuang dalam QS. Al-Baqarah ayat 283 seperti yang telah dijelaskan di atas. Dalil Al-Qur’an lainnya yaitu dalam surat al-Mudatsir ayat 38:
كُلُّ نَفْسٍ بِمَا كَسَبَتْ رَهِينَةٌ

Artinya: “Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya,”. (QS. Al-Mudatsir:38).
            Di dalam hadist dari Abu Hurairahyang diriwayatkan al-Bukhari, mengatakan: “Punggung hewan itu dikendarai sebagai imbalan biayanya, bila ia diagunkan dan susu hewan itu diminum sebagai imbalan biayanya bila ia diagunkan. Kewajiban orang yang mengendarai dan meminum untuk membiayai”.
            Alasan hukum diperbolehkannya muamalah dengan adanya jaminan yaitu agar pelaku muamalah mendapat keringanan dalam hal kepuasan hati dan pergaulan hidup baginya dalam bermuamalah.
            Jaminan diserahkan dalam bentuk transaksi sebagai lanjutan dari transaksi utang piutang. Agar transaksi tersebut menjadi sah maka diperlukan adanya akad dengan cara penyerahan dan penerimaan atau bisa dengan cara lain yang menyatakan telah terjadinya jaminan dengan rasa suka sama suka diantara kedua belah pihak.
                        Pemanfaatan barang jaminan yani jika barang yang dijadikan jaminan tidak membutuhkan perawatan seperti tanah yang kosong maka tanah ini tidak boleh dimanfaatkan oleh yang memegang jaminan, karena pada dasarnya akad jaminan sekedar sebagai sebuah kepercayaan bukan untuk mendapatkan hasil. Dalam kasus ini maka mengambil hasilnya bersifat haram.[38]
                        Apabila barang jaminan tersebut memerlukan biaya perawatan seperti kendaraan atau hewan, maka boleh diambli manfaatnya yang banyaknya sama dengan biaya yang dikeluarkan untuk perawatan. Jika barang jaminan tersebut mengalami perubahan atau pertumbuhan seperti hewan yang melahirkan atau hewan tersebut menjadi gemuk, maka tambahan tersebut tetap menjadi pemilik barang dan digabungkan menjadi barang jaminan.
                        Seperti halnya hutang yang wajib dibayar secepatnya, jaminan juga wajib untuk diserahkan kembali secepat pembayaran hutang kepada si pemilik barang jaminan. Sebaliknya, apabila orang yang berhutang suddah jatuh tempo dan belum membayar hutangnya, maka jaminan yang diberikan boleh dijual oleh si pemegang jaminan dan jika terdapat kelebihan harga maka kelebihan tersebut diserahkan kepada si pemilik barang.
Berakhirnya Jaminan yaiu:
a.       Ketika terselesaikannya hutang.
b.      Orang yang memberikan hutang membebaskan pinjaman yang di hutang oleh si peminjam.
c.       Lepasnya tuntutan hutang.
d.      Berakhirnya kontrak hutang.
                        Hikmah dibalik transaksi gadai dan jaminan sangatlah luar biasa. Dikarenakan penerima gadai dapat membantu meringankan kesusahan penggadai. Terkadang untuk memenuhi kebutuhannya seseorang harus meminjam kepada orang lain, namun biasanya yang meminjami tidak berkenan jika tidak ada jaminan yang diberikan kepadanya. Allah telah mengetahui hal tersebut, oleh karenanaya Allah mensyariatkan gadai, yang bertujuan agar si penerima gadai bisa nyaman terhadap harta yang dipinjamkannya. Betapa indahnya jika manusia melakukan transaksi gadai berdasarkan aturan syara’. Adapun hikmah dibalik semua ini yaitu terdapat pertukaran rasa cinta kasih sayang diantara sesama manusia yang terlibat. Bagi penerima gadai akan mendapat pahala dari Allah dikemudian hari.[39]

E.     UPAH
            Kata upah berasal dari bahasa Arab ajrun atau ajran yang artinya memberi upah, hadiah atau imbalan, ada juga yang mengatakan bahwa kata lain dari upah yaitu iwadh. Secara terminologi upah diartikan sebagai uang atau lain sebagainya yang dibayarkan atau diberikan sebagai balas jasa atas tenagayang dikeluarkan dalam mengerjakan sesuatu. upah termasuk dalam macam ijaroh yang kedua, yakni ijarah yang berhubungan dengan pekerjaan dengan kata lain yang dijadikan sebagai objek akad adalah pekerjaan atau yang biasa dikenal dengan istilah mempekerjakan seseorang dengan upah.[40]
            Secara umum upah diberikan kepada pihak buruh sebagai rasa terimakasih atau pengganti kerugian atas tenaga yang dikeluarkan untuk mengerjakan sesuatu atas perintah majikan.  Jadi, bisa dikatakan bahwa upah ini merupakan harga dari tenaga (pekerjaan) yang dibayarkan atas jasanya dalam menghasilkan suatu barang ataupun hal lainnya.
            Dari beberapa penjelasan tersebut, secara ringkasnya upah dapat dikatakan sebagai bentuk atau nama bagi sesuatu baik itu berupa uang atau bukan yang biasanya dijadikan  imbalan atau hadiah oleh pihak majikan kepada pihak pekerja atau buruh sebagai rasa balas jasa atau sebagai pengganti atas jasa tenaga yang dikeluarkan dalam pekejaan.
            Contoh dari pengaplikasian upah yaitu mengupah seseorang untuk menjahitkan baju, memberikan upah kepada seseorang yang telah membangunkan rumah, memberikan imbalan kepada seseorang yang telah membantu mengangkat barang, memberikan bayaran kepada seseorang yang telah menggarapkan kebunnya, dan lain sebagainya. Diriwayatkan dari Rafi’ Ibnu Rifa’ah r.a, berkata:

لقد نهانا نبي الله ص.م عن كسب الأمة ألا ما عملت بيدها وقال هكذا بأصابعه نحو الخبز والغزل  والنفش

Artinya: “Sesungguhnya Rasulullah melarang hasil kerja budak perempuan kecuali yang ia lakukan dengan menggunakan kedua tangannya. Beliau bersabda sambil menunjuk ke aarh roti, pemintalan dan penyisisran”. (HR. Ahmad dan Abu Dawud).
            Dari hadist tersebut menjelaskan bahwa Rasulullah melarang hasil kerja budak kecuali budak yang mengerjakan pekerjaan dengan kedua tangannya seperti membuat adonan roti hingga memasaknya menjadi roti, budak yang memintal bulu atau kapas, atau menyisirnya. Dalam riwayat lain diartikan sebagai an-Naqsyu yang berarti menyulam.[41]
                        Diketahui bahwa dasar hukum Islam mengacu pada Al-Qur’an dan hadist, begitu pula dasar hukum upah yaitu didasarkan pada keduanya. Allah berfirman dalam QS. At-Thalaq ayat 6:

أَسْكِنُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنْتُمْ مِنْ وُجْدِكُمْ وَلَا تُضَارُّوهُنَّ لِتُضَيِّقُوا عَلَيْهِنَّ ۚ وَإِنْ كُنَّ أُولَاتِ حَمْلٍ فَأَنْفِقُوا عَلَيْهِنَّ حَتَّىٰ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ ۚ فَإِنْ أَرْضَعْنَ لَكُمْ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ ۖ وَأْتَمِرُوا بَيْنَكُمْ بِمَعْرُوفٍ ۖ وَإِنْ تَعَاسَرْتُمْ فَسَتُرْضِعُ لَهُ أُخْرَىٰ

Artinya: “Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. Dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya”.(QS.At-Thalaq:6).
Sabda Rasulullah SAW,
أعطوا الأجير أجره قبل أن يجف عرقه

“Berikanlah kepada pekerja upahnya sebelum keringatnya mengering”. (HR. Ibnu Majah).
من استأجر أجيرا فليسم له أجرته

“Barangsiapa mempekerjakan seseorang, hendaklah ia menyebutkan kepadanya upahnya”. (HR. Al-Baihaqi, Abdurrazzaq, Ishaq, Abu Dawud).
                        Pada masa sahabat, umat Islam berijma’ bahwa memberikan upah bersifat boleh, karena pada dasarnya manusia membutuhkan manfaat suatu barang layaknya kebutuhan mereka terhadap barang tersebut.[42]
                        Sebelum melakukan pemberian upah, sebelumnya syara’ menetapakan sejumlah jaminan terhadap  orang yang dipekerjakan dengan upah (ajiir), yaitu persetujuan dan kerelaan pekerja, proporsionalitas atau keadilan dan juga kebiasaan yang berlaku dilingkungan tersebut ketika mempekerjakan seseorang (urf). Oleh karena itu, upah harus diberikan secara adil berdasarkan kebiasaan yang berlaku dengan berbagai pertimbangan seperti kehalian, dan harus dilakukan berdasarkan kerelaan, kebebasan dan sesuai dengan kemauan sendiri tanpa adanya paksaan dalam bentuk apapun.
                        Dengan demikian, maka tidak boleh mempekerjakan seseorang dengan paksaan, dilarang menyakiti atau menganiaya ajiir, tidak mengulur waktu pembayaran upah dan menghalangi haknya, atau hanya memanfaatkan tenaganya tanpa memberikan upah (iwadh). Dikarenakan barang siapa yang hanya mengambil manfaat atau menggunakan jasa seorang pekerja tanpa memberikan imbalan atau upah, hal ini sama dengan memperbudaknya seperti yang dikatakan oleh para fuqaha Islam bahwa “memakan” hasil keringat atau tenaga dan jerih payah pekerja sama artinya seperti seseorang yang menjual orang yang masih berstatus merdeka daan memakan hasil penjualan tersebut. Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a, ia berkata, Sabda Rasulullah SAW:
قال الله ثلاثة  أنا خصممهم يوم القيامة ومن كنت خصمه خصمته رجل أعطى بي ثم غدر ورجل باع حرا فأكل ثمنه ورجل استأجر أجيرا فاستوفى منه ولم يوفه أجره

Allah SWT berfirman , “ada tiga orang yang Aku adalah seterunya kelak dihari kiamat, dan barangsiapa yang Aku adalah seterunya, Aku pasti akan mengalahkannya dalam perseteruan, yaitu, seseorang yang bersumpah atas Nama-Ku kemudian ia melanggarnya. Seseorang yang menjual orang yang statusnya sudah merdeka dan ia memakan harganya. Dan ketiga, orang yang mempekerjakan seseorang, lalu orang yang ia pekerjakan itu telah melaksanakan pekerjaanya, namun ia tidak memenuhi hak upahnya”. (HR. Ahmad dan Bukhari).
                        Berdasarkan hadist tersebut Ibnu Tin menegaskan bahwa Allah SWT merupakan seteru terhadap orang yang berbuat zalim, namun disini Allah SWT ingin memberikan penekanan yang lebih dalam, memberikan ancaman terhadap ketiga kriteria yang telah disebutkan dalam hadist tersebut.
                        Apabila orang yang bekerja beleum melaksanakan pekerjaannya, maka kedua belah pihak (majikan dan pekerja) dapat disuruh bersumpah kemudian mencari kesepakatan baru yang dapat memberikan keuntungan dikedua belah pihak. Imam Syafi’i berkata, jika seseorang mengupah pekerja lalu keduanya saling membenarkan akan adanya transaksi upah-mengupah tersebut, namun mereka berselisih terhadap besarnya upah pekerjaan itu dan jika pekerjaan belum dimulai, maka kedua belah pihak dianjurkan membuat kesepakatan baru. Namun, jika pekerjaan telah dilakukan, maka keduanya harus bersumpah kemudian dikembalikan kepada upah yang biasa diberikan bagi pekerja serupa dalam hal ini merujuk pada urf.[43]
                        Syariat Islam memberikan perhatian yang sangat besar terhadap hak-hak pekerja dan buruh, terlebih dalam hal upah, oleh karena itu syariat Islam menetapkan beberapa syarat ketika mengadakan kesepakatan akad isti’jaar (kontrak kerja).
1.      Syarat-Syarat Kesepakatan Akad Isti’jaar
a.       Upah harus berbentuk harta yang bernilai
b.      Upah bisa dimanfaatkan oleh si pekerja
c.       Jelas dan spesifikasinya diketahui oleh pihak pekerja
d.      Jenis, kadar dan sifatnya jelas
e.       Upah harus dijelaskan dan ditentukan secara pasti
f.       Besarnya upah ditentukan berdasarkan perjanjian orang yang mempekerjakan dan si pekerja.
g.       Upah yang diberikan harus dipastikan halal.
h.       Barang pengganti upah tidak boleh cacat, misalnya upahnya berupa nasi, lauk dan lain-lain.[44]
2.      Bentuk-Bentuk Upah
a.       Upah (ajrun ) misl’ yaitu upah yang seimbang dengan kondisi pekerjaannya, baik seimbang dengan jasa kerja maupun seimbang dengan pekerjaannya saja.
b.      Upah (ajrun) musamma, yaitu upah yang didasarkan kerelaan atau ketidakpaksaan pekerja yang telah disebutkan dalam perjanjian dan dipersyaratkan.
3.      Hak dan Kewajiban Pekerja
Hak pekerja
a.       Berhak atas upah sesuai dengan kesepakatan atau yang telah dijanjikan.
b.      Berhak mendapatkan pekerjaan yang layak dan sesuai kemampuannya
Kewajiban pekerja
a.       Melaksanakan pekerjaan dengan ikhlas, tekun, cermat dan teliti.
b.      Mengerjakan sendiri pekerjaan yang telah disepakati.
c.       Melaksanakan sesuai dengn waktu yang diperjanjikan.
d.      Menjaga keselamatan barang yang telah dipercayakan kepadanya.
e.       Mengganti kerugian jika ada kerusakan pada barang yang dipercayakan akibat kelalaiannya.
                        Disini dijelaskan bahwa bentuk ijarah baik dalam hal sewa-menyewa ataupun upah-mengupah, merupakan bentuk muamalah yang dibenarkan.[45]


BAB III
PENUTUP
A.    KESIMPULAN
            Dari beberapa penjelasan mengenai macam-macam transaksi muamalah yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari dapat kita simpulkan bahwa diantara beberapa transaksi muamalah tersebut seperti pinjam meminjam, sewa meneywa, utang piutang, gadai, upah dan jaminan, semua itu ditujukan untuk memenuhi kemaslahatan umat dalam kehidupannya. Tidaklain juga untuk mempererat tali persaudaraan sesama umat, karena terjadinya interaksi ini merupakan bentuk tolong menolong dalam kebaikan. Namun diantara semua transaksi tersebut juga harus dipenuhi syarat dan rukunnya, dan juga harus memperhatikan beberapa ketentuan yang ada di dalamnya. Sehingga tercapai tujuan atau kemaslahatan antara pihak pihak yang terkait.
            Setelah kita mengetahui berbagai macam seluk-beluk dari tindakan muamalah yang dibahas dalam makalah ini, kita diharapkan dapat melakukan transaksi muamalah ini dengan benar dan mengetahui segala ketntuan dan hukum-hukumnya sesuai dengan syariat islam.

B.     SARAN
            Dalam penyusunan makalah ini masih banyak terdapat kekungan-kekurangan yang ada di dalamnya, sehingga kritik dan saran pembaca yang membangun sangat kami harapkan, untuk menunjang penulisan makalah di waktu yang akan datang.
DAFTAR PUSTAKA

Al-Jarjawi, Syekh Ali Ahmad. Indahnya Syariat Islam. 1 ed. Jakarta: Gema Insani Press, 2006.
As-Sadlan, Shalih Bin Ghanim dan Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid. Intisari Fiqih Islam. 1 ed. Surabaya: CV Fitrah Mandiri Sejahtera, 2007.
Az-Zuhaili, Wahbah. Fiqih Islam Wa Adillatuhu. 1 ed. Jakarta: Gema Insani Press, 2011.
Sudarsono. Pokok Pokok Hukum Islam. 1 ed. Jakarta: Rineka Cipta, 1993.
Djamali, R. Abdul. Hukum Islam Berdasarkan Ketentuan Kurikulum Konsorsium Ilmu Hukum. 1 ed. Bandung: CV Mandar Maju, 1992.
Saleh, Hassan. Kajian Fiqh Nabawi & Fiqh Kontemporer. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008.
Satrio, J. Hukum Jaminan, Hak Jaminan Kebendaan. 5 ed. Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2007.
Syafi’i,Imam. Ringkasan Kitab Al Umm. 2 ed. Jakarta: Pustaka Azzam, 2006.
Syalthut, Mahmud dan Ali As-Sayis. Fiqih Tujuh Madzhab. 1 ed. Bandung: CV. Pustaka Setia, 2000.
Syarifuddin,Amir. Garis-Garis Besar Fiqh. 1 ed. Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2003.

Catatan:
1.       Similarity 8%.



[1]Sudarsono, Pokok Pokok Hukum Islam, 1 ed. (Jakarta: Rineka Cipta, 1993), 430.
[2]R. Abdul Djamali, Hukum Islam Berdasarkan Ketentuan Kurikulum Konsorsium Ilmu Hukum, 1 ed. (Bandung: CV Mandar Maju, 1992), 172.
[3]Ibid., 173.
[4]Ibid., 173–74.
[5]H.E. Hassan Saleh, Kajian Fiqh Nabawi & Fiqh Kontemporer (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008), 389.
[6]Sudarsono, Pokok Pokok Hukum Islam, 435.
[7]Ibid., 435
[8]Ali Ahmad Al-Jarjawi, Indahnya Syariat Islam, 1 ed. (Jakarta: Gema Insani Press, 2006), 485.
[9]Sudarsono, Pokok Pokok Hukum Islam, 422.
[10]Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqh, 1 ed. (Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2003), 216.
[11]R. Abdul Djamali, Hukum Islam Berdasarkan Ketentuan Kurikulum Konsorsium Ilmu Hukum, 158–160.
[12]Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqh, 218.
[13]R. Abdul Djamali, Hukum Islam Berdasarkan Ketentuan Kurikulum Konsorsium Ilmu Hukum, 161.
[14]Shalih Bin Ghanim As-Sadlan dan Muhammad Shalih Al-Munajjid, Intisari Fiqih Islam, 1 ed. (Surabaya: CV Fitrah Mandiri Sejahtera, 2007), 160.
[15]Sudarsono, Pokok Pokok Hukum Islam, 424–425.
[16]Ali Ahmad Al-Jarjawi, Indahnya Syariat Islam, 488.
[17]Sudarsono, Pokok Pokok Hukum Islam, 417.
[18]H.E. Hassan Saleh, Kajian Fiqh Nabawi & Fiqh Kontemporer, 390–391.
[19]R. Abdul Djamali, Hukum Islam Berdasarkan Ketentuan Kurikulum Konsorsium Ilmu Hukum, 163–64.
[20]Sudarsono, Pokok Pokok Hukum Islam, 419.
[21]Ibid., 420–421.
[22]R. Abdul Djamali, Hukum Islam Berdasarkan Ketentuan Kurikulum Konsorsium Ilmu Hukum, 165.
[23]Ibid., 168.
[24]Ibid., 170.
[25]Ibid., 171.
[26]Ibid., 172.
[27]Sudarsono, Pokok Pokok Hukum Islam, 478.
[28]Ali Ahmad Al-Jarjawi, Indahnya Syariat Islam, 450.
[29]Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqh, 222 dan 227.
[30]J. Satrio, Hukum Jaminan, Hak Jaminan Kebendaan, 5 ed. (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2007), 87.
[31]Mahmud Syalthut dan Ali As-Sayis, Fiqih Tujuh Madzhab, 1 ed. (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2000), 287.
[32]Ibid.
[33]Ibid., 288.
[34]Ibid., 289.
[35] Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqh, 1 ed. (Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2003), 227.
[36]hassan Saleh, Kajian Fiqh Nabawi & Fiqh Kontemporer (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008), 392.
[37]Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqh, 228.
[38]Ibid., 229.
[39]Syekh Ali Ahmad Al-Jarjawi, Indahnya Syariat Islam, 1 ed. (Jakarta: Gema Insani Press, 2006), 485.
[40]Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, 1 ed. (Jakarta: Gema Insani Press, 2011), 83.
[41]Ibid.
[42]Ibid., 84.
[43]Imam Syafi’i, Ringkasan Kitab Al Umm, 2 ed. (Jakarta: Pustaka Azzam, 2006), 183.
[44]Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, 83.
[45]hassan Saleh, Kajian Fiqh Nabawi & Fiqh Kontemporer (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008), 387.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar