Senin, 07 Mei 2018

Jual-Beli (PAI ICP English Semester Genap 2017/2018)



MAKALAH
JUAL-BELI, RIBA, DAN QIRADH DALAM KONSEP EKONOMI SYARI’AH
Makalah ini Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Fiqh 1

Dosen Pengampu:
Benny Afwadzi, M.Hum








Disusun oleh:
Abidlah Salfada B.               (16110020)
Khoirun Nisa’                        (16110018)



PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
2018



KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang tlah melimpahkan Rahmat, Hidayah, dan Inayah-Nya sehingga kami dapat merampungkan penyusunan makalah dari mata kuliah Fiqih 1 dengan judul “Jual-Beli, Riba, dan Qiradh dalam Konsep Ekonomi Syari’ah” dengan Dosen Pengampu bapak Benny Afwadzi, M. Hum. tepat pada waktunya.
Penyusunan makalah semaksimal mungkin kami upayakan dan didukung bantuan berbagai pihak, sehingga dapat memperlancar dalam penyusunannya. Untuk itu tidak lupa kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu kami dalam meranmpungkan makalah ini.
Namun tidak lepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih terdapat kekurangan baik dari segi penyusunan, bahasa, dan aspek lainnya. Oleh karena itu, dengan lapang dada kami membuak selebar-lebarnya pintu bagi para pembaca yang ingin memberi saran maupun kritik demi memperbaiki makalah ini.
Akhirnya penyusun sangat mengharapkan semoga dari makalah sederhana ini dapat diambil manfaatnya dan besar kainginan kami dapat menginspirasi para pembaca untuk mengangkat permasalahan lain yang relevan pada makalah-makalah selanjutnya.

    Malang, 04 Mei 2018


Penyusun



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Dalam kehidupan sehari-hari setiap manusia secara keseluruhannya akan selalu menghadapi persoalan-persoalan yang bersifat ekonomi, yaitu persoalan yang menghendaki seseorang atau suatu kelompok untuk membuat keputusan dalam hal menentukan cara yang terbaik untuk melakukan suatu kegiatan ekonomi. Di satu pihak, kegiatan ekonomi meliputi usaha pelaku ekonomi memproduksi barang dan jasa yang dibutuhkan. Di lain pihak, kegiatan ekonomi meliputi kegiatan untuk menggunakan barang dan jasa yang diproduksi dalam  perekonomian. Dengan demikian, kegiatan ekonomi adalah sebagai kegiatan memproduksi maupun menggunakan atau mengkonsumsi barang dan jasa.
Manusia khususnya umat Muslim dalam transaksi sehari-harinya sering dibingungkan dengan konsepsi riba. Seperti masalah apakah bunga bank adalah tergolong riba atau bukan, seberapa riba yang ditoleransi, ataukah masuk dalam permasalahan semua bunga haram atau tidak. Riba dengan segala ancamannya termasuk perkara yang urgen untuk dibahas dan dikaji eksistensinya, guna mencegah madharat umat yang hidup dalam kungkungan sistem ribawi lebih jauh lagi.
Masyarakat muslim yang ingin bersih dari sistem ribawi nampaknya juga masih dibingungkan dengan konsep ekonomi syariah, terutama karena kurangnya pengetahuan dan sosialisasi, mereka bingung akan bagaimana memulai usaha dalam lingkup ekonomi Syar’i. Maka disini akan penulis uraikan juga tentang akad atau transaksi kerjamasama yang disebut Mudharabah.

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana konsep jual beli dalam ekonomi syari’ah?
2.      Bagaimana konsep riba dalam ekonomi syari’ah?
3.      Bagaimana konsep akad mudharabah dalam ekonomi syari’ah?

C.    Tujuan Penulisan
1.      Untuk mengetahui konsep jual beli dalam ekonomi syari’ah.
2.      Untuk mengetahui konsep riba dalam ekonomi syari’ah.
3.      Untuk mengetahui konsep akad mudharabah dalam ekonomi syari’ah.


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Jual Beli
Jual beli merupakan kegiatan tukar-menukar barang dengan barang yang lain dengan cara yang yang telah ditentukan (akad).[1] Pengertian Jual beli menurut etimologi berarti pertukaran antara sesuatu dengan sesuatu (yang lain).[2] Dalam istilah Fiqih disebut al Ba’i, al-Tijarah, dan al-Mubadalahyang memiliki arti menjual atau mengganti. Adapun pengertian jual beli menurut terminologi, Suatu kegiatan tukar-menukar benda yang mempunyai nilai tertentu antara kedua belah pihak yang telah bersepakat untuk melakukan transaksi sesuai dengan ketetapan hukum syara’ atau ketentuan yang disepakati. Maksud dari sesuai ketetapan hukum syara’ yakni kesesuaianya terhadap rukun-rukun, persyaratannya, dan hal-hal lainnya yang tentunya berkaitan dengan jual beli. Selanjutnya mengenai benda tersebut yang dapat mencangkup barang dan uang, benda tersebut ada yang dapat dipindahkan, yang tetap, serta ada yang dapat dibagi.[3]

1.      Dasar Hukum
a.       Al Quran, diantaranya :
1)      Allah berfirman dalam QS. Al Baqarah : 275, “Padahal Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba.”
2)      Allah berfirman dalam QS. Al Baqarah : 282, “Dan persaksikanlah apabila kamu berjual-beli.”
3)      Allah berfirman dalam QS An Nisa’ : 29, “Kecuali dengan jalan perniagaan yang dilakukan suka sama suka.
b.      As Sunnah
Hadist yang diriwayatkan oleh Bajjar, Hakim menyahihkannya dari Rifa’ah Ibn Rafi’ : “ Nabi Muhammad Saw ditanya tentang mata pencaharian yang paling baik. Beliau menjaab, ‘Seseorang yang bekerja dengan tangannya dan setiap jual beli yang mabrur.”
c.       Ijma’
Ulama telah menyepakati bahwa jual beli diperbolehkan dengan suatu perkara jika manusia tidak akan mampu mencukupi kebutuhannya, tanpa adanya bantuan atau barang dari orang lain. Namun, jika bantuan tersebut yang dibutuhkannya itu, maka ia harus mengganti dengan barang lainnya yang sesuai.[4]

2.      Hukum dan sifat jual beli
Jumhur ulama membagi jual beli menjadi 2 yakni jual beli sah (shahih) dan jual beli yang tidak sah. Jual beli sah ialah jual beli yang telah memenuhi ketentuan syara’, sedangkan jual beli tidak sah ialah jual beli yang tidak memenuhi syara’ baik rukun maupun syaratnya sehingga menjadikan jual beli tersebut menjadi rusak (fasid) atau batal. Berbeda dengan ulama Hanafiyah yang membagi menjadi tiga yakni sah, batal, dan rusak.
Perbedaan tersebut berpangkal pada jual beli yang tidak memenuhi ketentuan syara’, diriwayatkan dalam hadist muslim dari siti aisyah, “Barang siapa yang berbuat suatu amal yang tidak kami perintahkanm maka bertolak. Begitu pula barang siapa yang memasukkan suatu perbuatan kepada agama kita, maka tertolak
Berdasar pada hadist diatas jumhur ulama berpendapat bahwa akad maupun jual beli yang keluar dari ketentuan hukum atau syara’ harus ditolak baik dalam muamalat maupun ibadah. Adapun ulama hanafiyah dalam masalah muamalah yang terkadang tidak ada ketentuan syara’ sehingga tidak sesuai, dan akd tersebut telah rusak tetapi tidak batal. Dengan demikian ada akad yang batal saja ada pula yang rusak saja. Jual beli shahih adalah jual beli yang memenuhi ketentuan syariat yang telah ditentukan. Jual beli batal adalah jual beli yang tidak memenuhi akan salah satu rukun, atau tidak sesuai dengan syara’ misalnya jual belinya orang gila dan anak kecil. Jual beli rusak adalah jual beli yang sesuai syariat pada asalnya namun bukan pada sifatnya misalnya jual beli yang dilakukan oleh orang yang mumayyiz namun bodoh sehingga memunculkan pertentangan.[5]

3.      Rukun dan Syarat Jual Beli .
Menurut jumhur para ulama menyebutkan bahwa ada 3 rukun jual beli yakni :
a.       Penjual dan Pembeli (Ba’i dan Mustari), adapun syaratnya :
1)      Berakal, hal ini bertujuan supaya antara penjual maupun pembeli tidak terkecoh atau tertipu saat melakukan transaksi. Adapun orang yang gila atau bodoh tidak sah hukum jual belinya.
2)      Tidak adanya rasa terpaksa atau dipaksakan. Inti dari kalimat tersebut yakni suka sama suka.
3)      Baligh, sehingga anak kecil yang belum mencapai batas baligh tidak sah melakukan jual belinya. Namun dalam konteks anak yang belum baligh namun telah mengerti, mereka diperbolehkan berjual beli yang dalam konteks kecil-kecil. Apabila hal tersebut tidak diperbolehkan, maka akan menimbulkan kesulitan sedangkan dalam agama islam tidak sekali-kali memberikan aturan yang menyulitkan kepada pemeluknya.[6]
4)      Beragama islam, syarat ini khusus hanya untuk pembeli saja dalam benda-benda tertentu, misalnya seseorang dilarang menjual hambanya yang beragama islam kepada pembeli yang non islam karena dikhawatiekan oembeli tersebut akan merendahkan abid yang bergama islam tersebut.[7] Dalam agama islam, Allah melarang mukmin memberi jalan kepada orang kafir untuk merendahkan mukmin. Allah berfirman dalam QS An Nisa’ : 141, “Dan Allah sekali-kali tidak memberi jalan bagi orang kafir untuk menghina mukmin.”
b.      Uang atau benda yang diperjual belikan (Ma’qud Alaih), memiliki syarat sebagi berikut.
1)      Suci, Karena barang yang tidak suci (najis) tidak sah untuk diperjual belikan. Contohnya kulit binatang yang belum disamak.
2)      Bermanfaat, apabila tidak mempunyai manfaat tertentu maka hal tersebut merupakan perilaku menyia-nyiakan atau pemborosan harta yang sangat dilarang dalam islam, Allah berfirman dalam QS. Al Isra’ : 27, “Sesungguhnya pemboros-pemboros itu saudara-saudarannya setan.
3)      Barang tersebut dapat diserahkan, misalnya ikan dalam laut, harta rampasan yang masih ditangan yang merampasnya, benda yang masih atau sedang dijaminkan. Karena hal tersebut mengandung unsur penipuan (tipu daya).
4)      Barang kepunyaan si penjual, kepunyaan yang diwakilinnya, atau mengusahakan. Dalam Hadist yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Tirmizi, Rasulullah Saw bersabda “ Tidak sah jual beli selain mengenaibarang yang dimiliki.
5)      Barang tersebut telah diketahui oleh penjual dan pembeli, adanya kejelasan pada zat, bentuk, kadar (ukuran), dan sifatnnya sehingga tidak terkandunya unsur pengecohan (tipu daya).
c.       Ijab dan Qabul (Shighat), Ijab yang berarti perkataan penjual sedangkan Qabul yang berarti Ucapan dari pembeli. Lafadz tersebut harus memenuhi syarat, yakni:
1)      Keadaan ijab dan qabul saling berhubungan, antara lain salah satunnya merupakan jawaban yang cocok dan belum berselang lama.
2)      Ijab dan qabul tidak dimaksudkan dengan urusan yang lain, misalnya “ Kalau saya jadi pergi, saya jual barang ini sekian.”
3)      Tidak mempunya waktu, karena apabila jual beli yang berwaktu sebulan atau setahun misalnya hal tersebut tidak sah.
4)      Makna antara ijab dan qabul harus mufakat (sama) walaupun lafadz keduannya berlainan.[8]
5)      Para ulama fiqih berpendapat mengenai Ijab Qabul, diantaranya sebagai berikut.
a)      Menurut ulama Syafi’iyah, ijab qabul adalah “Tidak sah akad jual beli kecuali dengan sighat (ijab qabul) yang diucapkan
b)      Menurut Imam Malik, memiliki pendapat “bahwa ijab qabul itu telah sah dan dapat dilakukan secara dipahami saja
c)      Pendapat ketiga ini ialah penyampaian akad beserta perbuatan atau disebut aqaad bi al-mu’athah yakni “aqaad bi al-mu’athah adalah mengambil dan memberikan dengan tanpa perkataan (ijab qabul), sebagaimana seseorang membeli sesuatu yang telah diketahui harganya, kemudian ia mengambilnya dari penjual dan memberikan uangnya sebagai pembayaran.”[9]

4.      Macam-macam Jual Beli
a.       Jual beli berdasarkan pertukarannya, terbagi menjadi empat yakni.
1)      Jual beli saham (pesanan)
Ialah jual beli dengan cara melalui pesanan, dengan menyerahkan terlebih dahulu uang muka kemudian barangnya diantar belakangan.
2)      Jual beli muqayadhah (barter)
Ialah jual beli dengan cara menukar antar barang misalnya menukar baju dengan sepatu.
3)      Jual beli muthlaq
Ialah jual beli dengan menggunakan alat penukar yang elah disepakati seperti uang.
4)      Jual beli alat penukar dengan alat penukar
Ialah jual beli barang yang biasanya dipakai sebagai alat penukar lainnya misalnya uang perak dengan uang emas.
b.      Jual beli berdasarkan segi harga, terbagi menjadi empat yakni.
1)        Jual beli yang menguntungkan (al-murabbahah)
2)        Jual beli yang tidak menguntungkan, yakni menjual dengan harga aslinya (at tauliyah).
3)        Jual beli rugi (al-khasarah)
4)        Jual beli al musawah, yakni penjual menyembunyikan harga aslinya namun kedua belah pihak menyetuji (meidlai). Jenis jual beli inilah yang berkembang sekarang.[10]

c.       Jual beli yang dilarang dalam islam
1)      Terlarang sebab Ahliah (ahli akad)
a)        Jual beli orang gila, jumhur ulama fiqih sepakat bahwa tidak jual beli orang gila ini, begitupun sejenisnya misalnya mabuk, sakalor, dan alin-lain.
b)        Jual beli anak kecil, menurut syafiiyah jual beli anak mumayiz yang belum baligh tidak sah karena tidak ada ahliah. Menurut malikiyah, hanafiyah, dan hanabilah berpendapat bahwa hal tersebut sah apabila diizinkan walinya. Juga karena untuk melatih kedewasaan.
c)        Jual beli orang buta, menurut syafiiyah tidak sah karena tidak dapat membedakan barang jelek atau baik. Namun menurut jumhur mengkategorikan jual beli shahih jika barang tersebut diberi sifat.
d)       Jual beli terpaksa, menurut syafiiyah dan habilah tidak sah karena tidak ada persetujuan kedua belah pihak saat akad. Namun menurut hanafiyah ditangguhkan (mauquf) samapai rela (hilang rasa terpaksa). Sedangkan menurut malikiyah tidak lazim baginya ada khiyar.
e)        Jual beli fudhul, yakni jual beli milik orang lain tanpa seiin si pemiliknya. Menurut Hanafiyah dan malikiyah hal ini ditangguhkan, namun menurut syafiiyah dan hanabilah tidak sah.
f)         Jual beli orang yang terhalang, misalnya bodoh, bangkrut, ataupun sakit.
g)        Jual beli malja’, yakni jual beli yang dilkukan saat dalam keadaan bahaya, yakni guna menghindar dari perbuatan zalim. Menurut hanafiyah hal tersebut disebut fasid sedangkan menurut hanabilah yakni batal.

2)      Terlarang sebab sighat
a)        Jual beli mu’athah, yakni jual beli yang telah disepakati oleh kedua belah pihak mengenai barang maupun harganya namun tidak memakai ijab qabul.
b)        Jual beli barang yang tidak ada ditempat akad, jumhur ulama berpendapat hal ini tidak sah,
c)        Jual beli tidak bersesuaian antara ijab dan qabul, tidak sah menurut kesepakatan ulama. Apabila jika lebih baik seperti meninhhikan harga menurut hanafiyah membolehkannya namunsyafiiyah menganggap hal tersebut tidak sah.
d)       Jual beli munjiz, yakni jual beli yang dikaitkan dengan syarat atau ditangguhkan pada waktu yang akan datang. Menurut hanfiyah fasid sedangkan jumhur ulama sepakat batal.[11]
3)      Terlarang sebab ma’qud alaih (barang jualan)
a)         Jual beli benda yang tidak ada atau dikhawatirkan tidak ada, jumhur ulama sepakat bahwa hukumnya tidak sah.
b)        Jual beli barang yang tidak dapat diserahkan, misalnya burung yang ada diudara, ataupun ikan yang berada dalam air tidak berdasar pada syara’.
c)         Jual beli gharar, yakni jual beli yang mengandung sifat kesamaran. Menurut Ibn Jazi al Maliki, gharar yang dilarang ada 10 beberapa diantaranya yakni tidak diketahui harga, barang,sifat barang amupun  ukuran barang, jual beli husha, munabdzah, mulasamah.
d)        Jual beli barang yang najis dan yang terkena najis, untuk barang yang najis jumhur ulama sepakat hal tersebut dilarang namun untuk barng yang terkena najis yang tidak mungkin dihilangkan msilanya minyak yang terkena bangkai tikus, ulama hanafiyah memperbolehkan untuk barang yang tidak unuk dimakan sedangkan menurut malikiyah memperbolehkan setelah dibersihkan.
e)         Jual beli air, menurut jumhur ulama empat madzab sepakat jual beli air yag dimiliki yang disimpan di tempat pemiliknya dibolehkan namun ulama zhahiriyah melarang secara mutlak. Juga disepakati jual beli air yang mubah yakni yang semua manusia boleh memanfaatkan air tersebut. [12]
f)         Jual beli barang yang tidak jelas (majhul), menurut hanafiyah fasid sedangkan menurut jumhur para ulama yakni batal karena akan mendatangkan pertentangan antar manusia.
g)        Jual beli barang yang tidak ada ditempat akad (gaib) dan tidak dapat dilihat, menurut ulama hanafiyah memperbolehkan tanpa menyebut sifat-sifatnya namun pembeli tetap berhak khiyar ketika melihatnya. Tidak sah menurut syafiiyah dan hanabilah sedangkan malikiyah memperbolehkan namun harus memenuhi syarat yang telah ditentukan.
h)        Jual beli sesuatu sebelum dipegang, menurut syafiiyah melarang secara mutlak. Menurut hanafiyah juga melarang jual beli yang dapat dipindahkan namun untuk barang yang tetap dibolehkan. Menurut ulam malikiyah melarang atas makanan, sedangkan menurut hanabilah melarang atas makanan yang diukur.
i)          Jual beli buah-buahan atau tumbuhan, hal dilarang apabila belum terdapat buah, disepakati tidak ada akad. Setelah ada buah namun belum matang disebut fasid menurut ulama hanafiyah dan batal menurut jumhur ulama. Yang diperbolehkan yakni saat buah trsebut sudah matang.
4)      Terlarang sebab syara’
a)      Jual beli riba, riba nasihah dan riba fadhl adalah fasid menurut ulama hanafiyah, namun batal menurut jumhur ulama.
b)      Jual beli dengan uang dari barang yang diharamkan, menurut hanafiyah hal tersebut fasid. Namun menurut jumhu ulama adalah batal sebab berkiblat pada hadist riwayat bukhari dan muslim tentang Rasulullah mengharamkan jual beli khamr, bangkai, anjing, dan patung.
c)      Jual beli dari barang hasil pencegatan barang, menurut syafiiyah dan hanabilah pembeli boleh khiyar. Menurut hanafiyah itu makruh tahrim. Menurut malikiyah jual beli tersebut merupakan fasid.
d)     Jual beli waktu azzan jumat, yakni bagi laki laki yang mempunyai kewajiban melaksanakan sholat jumat.
e)      Jual beli anggur untuk dijadikan khamar, menurut syafiiyah dan hanafiyah zahirnya shahih tapi makruh. Menurut malikiyah dan hanabilah adalah batal.
f)       Jual beli induk tanpa anaknya yang masih kecil, hal ini dilarang sampai anaknya tumbuh besar dan mandiri.
g)      Jual beli barang yang sedang dibeli oleh orang lain masih dalam khiyar.
h)      Jual beli memakai syarat, menurut syafiiyah, hanafiyah dan malikiyah sah/boleh apabila bersyarat baik juga bermanfaat namun menurut hanabilah tidak boleh jika manfaat hanya diterima oleh salah satu pihak.[13]



B.     Riba
1.      DefinisiRiba
Pengertianribasecaraetimologis(lughawy) adalahtambahan(az-ziyadah), tumbuh(an-numuw), dan menjadi tinggi (al-‘ulum).[14]Adapunsecaraterminologisribaberartipengambilantambahandarihartapokok/intiatau modal secarabatil. Terdapatbanyakpendapat yang menjelaskandefinisiriba, namunditilikdarisegikeumuman, makapengertianribapadaintinyaadalahpengambilantambahan, baikdalamtransaksijualbeli(trade) maupunpinjam-meminjam(loan) secarabatilataukontradiktifdenganprinsippokokmuamalahsyari’ah.
Definisi dengan makna sejenis dituturkan pula oleh jumhur ulama lintas sejarah Islam dari berbagai latar belakang madzhab fiqh. Berikut pendapat mereka[15]:
a.       Badr ad-Din al-Ayni, Penulis kitab Umdatul Qari Syarah Shahih Bukhari.
“Prinsip dasar dalam riba adalah adanta unsur penambahan.Menurut syariah, riba berarti penambahan atas harta pokok tanpa adanya transaksi jual beli yang nyata.”
b.      Imam Sarakhsi dari Madzhab Hanafi
”Riba adalah tambahan yang sengaja ditambahkan dalam transaksi bisnis tanpa adanya iwadh atau padanan yang dibenarkan syariah atas penambahan tersebut.”
c.       Raghib al-Asfahani
“Riba adalah penambahan atas harta awal/utama.”
d.      Imam an-Nawawi dari Madzhab Syafi’i
“Salah satu bentuk riba yang dilarang dalam al-Qur’an dan as-Sunnah adalah penambahan atas harta pokok karena adanya unsur waktu.”
e.       Qatadah
“Riba jahiliyah adalah seseorang yang menjual barangnya dengan batasan waktu/tempo hingga waktu yang telah ditentukan. Apabila telah datang saat pembayaran dan si pembeli tidak mampu melakukan pembayaran penuh, maka ia memberikan bayaran tambahan atas penangguhan tersebut.”
f.       Zaid bin Aslam
”Riba jahiliyah yang berujung pada pembungaan sejalan dengan waktu ialah apabila seseorang uang memiliki piutang atas yang ia berikan hutang. Ketika jatuh tempo, ia berkata ‘Bayar sekarang atau besok dengan persyaratan tambah biaya.’”
g.      Mujahid
“Seseorang menjual dagangannya dengan batasan waktu. Apabila telah jatuh tempo dan (pembeli tidak mampu bayar), maka dia menambahkan tambahan biaya berdasarkan waktu yang bertambah.”
h.      Ja’far ash-Shadiq dari kalangan Syi’ah
“Diantara hikmah pengharaman riba oleh Allah SWT adalah agar manusia tidak stagnan dalam berbuat kebaikan. Sangkut-pautnya dengan riba adalah, ketika dibolehkan mengambil bunga atas pinjaman, seseorang tidak terdorong berbuat baik lagi atas transaksi pinjam-meminjam, padahal salah satu tujuan utama dari qardh adalah untuk menjalin ukhuwah yang erat dan kebajikan antar pribadi”.

2.      Jenis Barang Ribawi
Pembahasan riba sangat masyhur dan memang telah dibahas oleh para Fuqoha’ dengan terperinci dengan segala permasalahannya di dalam kitab-kitab karangan mereka. Penulis akan menampilkan kseimpulan umum atau garis besar dari pendapat para jumhur ahli fiqh tersebut dalam masalah barang ribawi. Pada intinya, barang ribawi meliputi:[16]
a.       Emas dan perak, baik wujudnya dalam bentuk uang maupun manifestasi lainnya. Menurut Imam Syafi’i riba pada emas dan perak diharamkan karena benda-benda tersebut termasuk jenis barang harga.[17]
b.      Bahan makanan pokok, seperti gandum, jagung, beras, termasuk juga bahan makanan tambahan, misal buah-buahan dan sayur mayur.

3.      Jenis-Jenis Riba dan Contohnya
Pada dasarnya riba diklasifikasikan menjadi dua, yaitu riba utang-piutang yang dasar hukum pengharamannya didasarkan pada al-Qur’an, dan riba jual beli yang dasar pelarangannya diterangkan dalam as-Sunnah. Kelompok pertama terbagi lagi menjadi riba qardh dan riba jahiliyyah. Sedangkan kelompok kedua terbagi menjadi riba fadhl dan riba nasi’ah.[18]
a.       Riba Qardh
Substansi maknanya yaitu suatu manfaat atau tingkat kelebihan tertentu yang disyaratkan terhadap yang berhutang (muqtarid).
b.      Riba Jahiliyah
Riba Jahiliyah merupakan hutang yang dibayar dari pokoknya, karena si peminjam tidak mampu membayar hutangnya pada waktu yang ditetapkan.
c.       Riba Fadhl
Riba Fadhl dapat dimaknai pertukaran antar barang sejenis dengan kadar atau takaran yang berbeda dan barang yang dipertukarkan termasuk dalam jenis barang ribawi.
d.      Riba Nasi’ah
Dapat diartikan sebagai penangguhan atas penyerahan atau penerimaan jenis barang ribawi yang diperlukan dengan jenis barang ribawi lainnya. Riba nasi'ah muncul dan terjadi karena adanya perbedaan, perubahan, atau tambahan antara yang diserahkan saat ini dan yang diserahkan kemudian.

4.      Larangan Riba dalam al-Qur’an dan as-Sunnah
Hukum mengambil dan bertransaksi dengan memasukkan unsur ribawi di dalamnya mutlak dilarang bagi umat islam. Segala jenis riba tidak diperbolehkan untuk diaplikasikan bagaimanapun keadaannya dan apapun dalihnya. Dasar hukum pengharaman riba-pun bersumber dari berbagai ayat al-Qur’an dan sunnah Rasulullah saw.

a.       Larangan riba dalam al-Qur’an
Allah SWT dalam mengharamkan riba bagi umat islam tidak jatuh dalam sekali vonis, melainkan menggunakan gradual atau bertahap. Allah SWT sangat mengetahui kondisi psikologi maupun sosial dari hamba-Nya pada saat itu, maka Allah tidak dengan serta merta menjatuhkan vonis hukum bahwasanya riba adalah haram. Dengan cara seperti ini pula, Allah ingin larangan terhadap riba ini tidak mengagetkan serta mengejutkan mereka yang telah biasa melakukan –bahkan membudayakan- transaksi ribawi yang telah mengakar kuat serta mendarah daging pada kehidupan mereka, khususnya pada dimensi kehidupan ekonomi mereka, sehingga berimplikasi kepada mampu-nya umat Islam meninggalkan secara tuntas tradisi riba namun dengan bertahap dan perlahan, namun pasti.
Allah SWT menurunkan hukum pengharaman riba dalam 4 (empat) ayat secara gradual.[19]
Tahap pertama, dalam surat ar-Ruum ayat 39, Allah SWT menolak asumsi jahiliyyah bahwasanya ketika mereka menolong orang lain yang sedang membutuhkan dana, dengan pertolongan ribawi adalah salah satu upaya untuk mendekatkan diri mereka kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Pada akhir ayat Allah SWT menyatakan bahwasanya untuk meraih ridho Allah SWT adalah dengan melakukan amal shaleh terutama bersedekah yang diniatkan untuk Allah semata, dan bukan malah melakukan pemberian pinjaman terhadap orang lain yang mengandung unsur ribawi di dalamnya. Pada tahap pertama ini, riba masih belum dinyatakan haram.
Tahap kedua, dalam surat an-Nisa’ ayat 160 dan 161, Allah SWT ingin menampakkan secara jelas bahwasanya tradisi riba juga terdapat pada umat Yahudi terdahulu. Tradisi riba yang telah mengakar kuat pada umat Yahudi secara gamblang Allah nyatakan sebagai sebuah keburukan dan kecacatan, dikarenakan transaksi ribawi sejatinya adalah sebuah kebatilan yang amat sangat merugikan orang lain. Secara tidak langsung, Allah memberikan isyarat bagi umat Muslim bahwa akan turun ayat selanjutnya yang akan menyatakan pelarangan transaksi ribawi bagi kaum Muslim.
Tahap ketiga, melalui surat Ali Imran ayat 130, Allah memulai pelarangan riba, namun tidak secara tuntas sekaligus. Allah hanya melarang transaksi ribawi dengan syarat riba tersebut mensyaratkan kelipatan yang besar. Para mufassir berpendapat bahwasanya ayat ini menggambarkan bahwa tradisi mengambil riba dengan berlipat ganda sudah terjadi pada zaman jahiliyyah dahulu. Allah sebagai pencipta sangat mengerti kondisi kesiapan mental umat Muslim dahulu. Ayat ini sekaligus menggambarkan kebijaksanaan Allah terhadap hamba-hamba-Nya, yang mana Allah melarang secara sedikit demi sedikit sebuah tradisi yang telah mengakar kuat, sehingga perasaan dan mental mereka mulai dipersiapkan untuk mendapat pelarangan riba secara mutlak.
Tahap keempat, melalui surat al-Baqarah ayat 278-279, Allah mengharamkan riba dan segala jenis tambahan dalam pinjaman secara mutlak dan keseluruhan kepada umat Islam. Ayat ini sekaligus menjadi tahap terakhir dalam pengharaman riba, sehingga implikasinya setelah diturunkan ayat ini maka secara mutlak dan  tuntas riba diharamkan bagi kaum Muslim. Bahkan Allah mengancam akan memerangi siapapun yang melakukan dan masih berurusan dengan transaksi ribawi.

b.      Larangan Riba dalam as-Sunnah
Sebagaimana yang diketahui, al-Qur’an tidak hanya menjadi satu-satunya sumber hukum primer dalam menentukan hukum Islam, tetapi juga terdapat as-Sunnah atau hadits. Demikian pula, pelarangan riba tidak hanya didasarkan pada kitabullah, tetapi juga terdapat pada hadits Rasulullah saw. Hal tersebut –sebagamaina semestinya- adalah penegas bahwa salah fungsi hadits adalah sebagai bayan atau penjelas rincian terhadap hal-hal yang mujmal atau global dalam al-Qur’an.
Pada tanggal 9 Dzulhijjah tahun 10 Hijriah, dalam penyampaian pidato terakhirnya di hadapan sahabat-sahabatnya yang mulia, Rasulullah berwasiat agar setiap muslim untuk menjauhi riba.[20]
اخبرنىعونبنأبيجحيفةقالرأيتأبياشترىحجامافامربمحاجمهفكسرتفسألتهعنذلكقالإنرسولاللهصلىاللهعليهوسلمنهىعنثمنالدموثمنالكلبوكسبلأمةولعنالواشمةوالمستوشمتواكلالرباوموكلهولعن المصور
    Diriwayatkan oleh Aun bin Abi Juhaifah,” Ayahku membeli seorang budak yang pekerjaannya membekan (mengeluarkan darah kotor dari dalam kepala). Ayahku kemudian memusnahkan peralatan si budak tersebut. Aku bertanya kepada ayah mengapa beliau melakukannya. Ayahku menjawab bahwa Rasulullah SAW. melarang untuk menerima uang dari transaksi darah, anjing, dan kasab budak perempuan. Beliau juga melaknat pekerjaan penato dan yang minta di tato, menerima dan memberi riba serta beliau melaknat para pembuat gambar.” (HR. Bukhari no. 2084 kitab Al Buyu)

انه سمع أبا سعيد الخدري رضي الله عنهم قال جاء بلال إلى النبي صلى الله عليه وسلم بتمربرني فقال له النبي صلى الله عليه وسلم من أين هذاقال بلال كنا عندنا تمر ردي فبعت منه صاعين بصاع لنطعم النبي صلى الله عليه وسلم فقال النبي صلى الله عليه وسلم  عند ذلك أوه عين الربا عين الربا لا تغعل ولكن إذا أردت أن تشتري فبع التمر بيع اخر ثم اشتره
Diriwayatkan oleh Abu Said al-Khudri bahwa pada suatu ketika Bilal membawa barni (sejenis kurma berkualitas baik) ke hadapan Rasulullah SAW. dan beliau bertanya kepadanya, “Dari mana engkau mnedapatkannya?” Bilal menjawab, “Saya mempunyai sejumlah kurma dari jenis yang rendah mutunya dan menukarkan dua sha’ untuk satu sha’ kurma jenis barni untuk dimakan oleh Rasulullah SAW.. “ Selepas itu Rasulullah SAW. terus berkata, “Hati-hati! Hati-hati! Ini sesungguhnya riba, ini sesungguhnya riba. Jangan berbuat begini, tetapi jika kamu membeli (kurma yang mutunya lebih tinggi), juallah kurma yang mutunya rendah untuk mendapatkan uang dan kemudian gunakanlah uang tersebut untuk membeli kurma yang bermutu tinggi itu.” (HR. Bukhari no. 2145, kitab Al- Wakalah)
حدثنا عبدالرحمن بن أبي  بكرة عن أبه رضي الله عنهم قال نهى النبي صلى الله عليه وسلم عن الفضة بالفضة والذهب باالذهب إلا سواء بسواء وأمرنا أن نبتاع الذهب بالفضة كيف شئنا والفضة با لذهب كيف شئنا
Diriwayatkan oleh Abdurrahman bin Abu Bakar bahwa ayahnya berkata, “Rasulullah SAW melarang menjual emas dengan emas perak dengan perak kecuali sama beratnya, dan membolehkan kita menjual emas dengan perak dan begitu juga sebaliknya sesuai dengan keinginan kita.” (HR Bukhari no. 2034. kitab al-Buyu).      

روى الحاكم عنابن مسعود أن النبي قال: الربا ثلاثة وسبعون بابا أيسرها مثل أن ينكح الرجل أمه                                                 
Al-Hakim meriwayatkan dari Ibnu Mas’ud bahwa Nabi SAW. bersabda, “Riba itu mempunyai 73 pintu (tingkatan); yang paling rendah (dosanya) sama dengan seseorang yang melakukan zina dengan ibunya.”[21]                        

5.      Alasan Pembenaran Pengambilan Riba
Jamak diketahui bahwasanya perkara atau konsep riba ini sangat jelas pembahasannya, baik oleh ulama mutaqaddimin maupun mutaakhirin, namun masih ada saja sebagian cendekiawan yang beropini untuk membenarkan pengambilan riba atau bunga uang. Alasan berikut merupakan pokok dari pembenaran mereka:[22]
a.       Ketika berada daam kondisi darurat, maka bunga dihukumi halal.
b.      Pengharaman hanya ditujukan terhadap bunga yang dinilai berlipat ganda, sedangkan bunga yang dipandang tidak sampai kategori ‘menzalimi’ orang lain dan ssedikit maka dihalalkan.
c.       Khitab larangan yang dituju oleh nash-nash Qur’an maupun hadits bukanlah bank –karena bank adalah lembaga-, melainkan individu, sehingga bank dianggap legal untuk bertransaksi ribawi.

a.       Darurat
Pembahasan yang tepat dan komprehensif sangat dibutuhkan untuk memahami apa yang dimaksud dengan kondisi darurat. Tentu saja pemaknaan definisi darurat dari sudut pandang fiqh dengan darurat yang dipahami dalam kehidupan sehari-hari sangatlah kontras berbeda.
1)      Imam Suyuti berpendapat bahwa “darurat adalah suatu keadaan emergency dimana jika seseorang berbuat tindakan tersebut dengan segera, akan berdampak kepada kehancuran atau kematian.”[23]
2)      Dalam pembahasan di kalangan ulama mutaqaddimin dalam kitab-kitab turots mereka, keaadan darurat ini sering dimisalkan dengan seseorang yang terjebak di hutan dan tidak ada alternatif pilihan makanan apapun kecuali daging babi yang hukum awalnya mutlak haram. Ketika kondisi seperti ini, maka hukum daging babi yang semula haram, menjadi halal.
Hal yang patut diperhatikan adalah pembatasan dalam konsumsi atau pengambilan rukhsah syar’iah. Dalam kajian ushul fiqh, maka pembatasan pengambilan dispensasi ‘darurat’ sesuai dengan kaidah:
الضرورات تقدر بقدرها
“Darurat harus dibatasi sesuai kadarnya.”
Kaidah di atas mempunyai makna bahwasanya kondisi darurat ada batasan waktu berlakunya, serta terdapat limitasi atau batasan ukurannya. Contoh yang paling umum disajikan terkait dengan pemaknaan darurat di atas adalah ketika seseorang yang terjebak di dalam hutan tadi sudah menemukan binatang selain babi, misal ayam atau sapi, maka keringanan atau rukshsah untuk memakan daging babi secara otomatis akan hilang. Demikian juga ketika tiga suap daging babi telah cukup untuk menyambung energi hidupnya, maka suapan ke-empat dan selanjutnya menjadi haram.[24]
b.      Berlipat Ganda
Sebagian cendekiawan modernis berpandangan bahwasanya riba yang diharamkan adalah ketika bunga yang diterapkan mencapai hitungan yang  berlipat ganda dan memberatkan peminjam hutang. Sedangkan, apabila suku bunga atau riba tidak sampai menyebabkan peminjam tidak keberatan atau merasa terzalimi, maka wajar-wajar saja jika dianggap wajar dan boleh. Pendapat ini didasarkan atas pemahaman yang keliru dan kurang benar atas ayat 130 dari surat Ali Imron,
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تَأۡكُلُواْ ٱلرِّبَوٰٓاْ أَضۡعَٰفٗا مُّضَٰعَفَةٗۖ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَ لَعَلَّكُمۡ تُفۡلِحُونَ ١٣٠
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.”

Berbekal pemahaman nash yang tekstual, memang ayat di atas secara eksplisit hanya melarang riba apabila sampai bilangan yang berlipat ganda. Namun, apabila ingin pemahaman komprehensif yang dipakai, maka menemukan munasabah atau korelasi hubungan ayat di atas dengan ayat-ayat pelarangan riba yang lain secara menyelruh, serta memahami berdasarkan tahapan-tahapan pelarangan riba, maka akan sampai kepada kesimpulan bahwa vonis haram terhadap hukum riba dengan segala variasinya mutlak diberikan.
Term atau istilah berlipat gnada pada ayat di atas perlu dipahami kedudukannya sebagai hal (حال) atau sifat murni dari riba, dan bukan sebagai kualifikasi untuk persyaratan masuk dalam kategori riba atau tidaknya.
Dr. Abdullah Draz dalam konferensi fiqh Islami di Paris tahun 1978, mengutarakan ketidak-konsistensian dan kerapuhan asumsi syarat di atas. Ia memaparkan apabila ditilik dari sudut kebahasaan, kata ضعفberarti kelipatan. Sesuatu yang berlipat menurut ukuran umum maka hitungan minimal yang dipakai berarti 2 kali lebih besar dari ukuran awal, sedangkan kata اضاعف adalah bentuk plural dari kelipatan tadi. Sehingga ukuran minimal jamak adalah hitungan 3. Dengan demikian, kata اضعافاmempunyai nilai 6 (berasal dari 2 dikali 3). Adapun fungsi penempatan kata مضاعفةadalah sebagai ta’kid atau penguat bagi kata sebelumnnya.[25]
Berbekal interpretasi seperti itu, maka menurutnya apabila jumlah suku bunga yang berlipat ganda itu dijadikan syarat –sesuai asumsi linguistik-, maka bunga yang haram adalah ketika minimal menyentuh angka 6 kali lipat atau margin 600%. Dalam kehidupan sehari-hari, hampir mustahil dijumpai ada yang menerapkan bunga sebesar itu. Maka anggapan mensyaratkan riba yang diharamkan adalah hanya riba yang berlipat ganda, itu adalah sebuah asumsi yang penuh kerapuhan.
Analisis lain yang penting yang sekaligus merapuhkan asumsi ini adalah dari sudut pandang penggunaan kaidah mahfum mukhalafah. Secara simpel, apabila digunakan analogi konsekensi secara terbalik, -jika berlipat ganda dilarang, kecil boleh; jika sendirian dilarang, berkelompok boleh; jika tidak di dalam, di luar dan sebagainya- maka akan ditemui pemahaman yang rancu dan salah kaprah dalam pemahaman Qur’an.[26]
Sebagai contoh, dalam surat al-Isra disebutkan larangan untuk mendekati zina. Apabila digunakan pemahaman yang menyalahi kadiah mafhum mukhalafah, maka akan ditemu banyak sekali kerancuan makna. “Janganlah mendekati zina!”, maka ayat tersebut akan dipahami yang dilarang adalah perbuatan mendekati zina-nya, sedang perbuatan zina tidak dilarang. “Janganlah memakan daging babi!”, ayat tersebut akan dipahami sebagai larangan terhadap mamakan daging babi, sedangkan memakan tulang, lemak, kulit, dan semua bagian babi selain dagingnya dihukumi halal. Tentunya pemahaman seperti ini sangatlah kacau.
c.       Sasaran Hukum Taklif
Sebagian ulama kontemporer berpikiran bahwasanya ketika ayat riba turun kepada Nabi saw, dan sesuai zamannya pada saat itu di kawasan semenanjung Arab belum didirikan bank atau lembaga keuangan serupa, yang ada hanyalah individu yang melakukan aktivitas ekonominya sendiri. Berdasarkan asumsi tersebut, maka mereka simpulkan bahwa bank ataupun semua lembaga keuangan yang bukan individu maka tidak terkena taklif hukum haramnya riba.[27]
Pandangan semacam ini mengandung beberapa celah dan cela di dalamnya. Apabila ditilik dari segi pemahaman historis maupun teknis, maka dapat ditemukan antithesis bagi pendapat ini.
Pada zaman pra-Rasulullah sejatinya telah ada dan marak dibentuk ribuan lembaga keuangan yang mendapat legalitas dari pihak pemerintahan, yang berarti juga bank-bank pada zaman dahulu telah masuk ke area pemerintahan legal.
Dalam kawasan kultur hukum, perseroan atau badan hukum acap kali disebut sebagai juridical personality atau  syakhsiyah hukmiyah. Di mata hukum, juridical personality dipandang sebagai badan atau lembaga yang sah di mata hukum dan dapat menjadi dewan perwakilan bagi banyak individu.
Apabila menggunakan akal sehat untuk memahami analogi sederhana, maka kerusakan atau mudharat yang ditimbulkan oleh perseroan atau lembaga akan jauh lebih besar daripada kerusakan yang dibuat oleh individu. Alangkah rapuhnya asumsi bahwa kerusakan apapun yang dilakukan bank akibat transkaksi riba tetap dihukumi halal karena berdasarkan ‘khitab tidak tertuju’ padanya karena bank bukan merupakan individu. Memang bank bukan insan mukallaf, tetapi dia melakukan fi’il mukallaf yang jauh lebih besar kerusakannya daripada yang ditimbulkan oleh seorang individu.[28]
Terlepas dari alasan itu semua, masih ada beberapa ulama yang membolehkan bunga bank dengan syarat si peminjam yang dikenai bunga tidak merasa keberatan dan terzalimi oleh riba yang dia tanggung. Ulama kalangan ini seperti Quraish Shihab dan Muhammad Rasyid Ridha.[29]
6.      Fatwa-Fatwa Lembaga Agama tentang Riba
Perkara riba tidak luput dari bahasan atau kajian fiqh ormas-ormas besar dan influental di Indonesia, seperti Muhammadiyah dan Nahdatul Ulama. Mau tidak mau, sebagai bentuk kepedulian sosial terhadap umat, maka ormas sebagai wadah bersosialisai umat Islam, turut serta membahas dan menentukan sikap terhadap perkara riba, tentunya fatwa hukum yang dikeluarkan sesuai dengan kacamata perspektif masing-masing ormas. Baik Muhammadiyah, Nahdatul Ulama dan juga ormas lain mempunyai lembaga ijtihad khusus untuk memutuskan perkara fiqh. Muhammadiyah mempunyai Majelis Tarjih, sedang NU memiliki Bahsul Masa’il.
Penulis juga akan membahas keputusan dari ormas luar Indonesia dalam sub-bab kali ini untuk memperkaya wawasan pembaca terhadap fatwa-fatwa yang berkaitan dengan riba. Berikut adalah ringkasan fatwa dari ormas-ormas berpengaruh:
a.       Majelis Tarjih Muhammadiyah
Muhammadiyah telah mengambil keputusan tentang masalah fiqh ekonomi/keuangan di luar zakat, meliputi masalah perbankan pada tahun 1968 dan 1972, keuangan secara umum pada tahun 1976, dan koperasi simpan pinjam pada tahun 1989 melalui Majelis Tarjih-nya.[30]
Terkait pembahasan tentang riba padaMajelis Tarjih Sidoarjo tahun 1968, telah diputuskan beberapa poin penting, yaitu:
1)      Berdasarkan nash yang cukup jelas dari al-Qur;an dan as-Sunnah, maka hukum riba adalah haram.
2)      Bank yang terdapat transaksi dan unsur ribawi di dalam operasionalnya berhukum haram dan bank tanpa operasional dan transaksi ribawi berhukum halal.
3)      Permasalahan bunga bank yang dikeluarkan oleh bank-bank milik pemerintah kepada nasabah-nya atau sebaliknya dipandang suatu yang musytabihat.
4)      Memberi saran terkait dengan pengusahaan terwujudnya lingkungan dengan praktek ekonomi syari’ah, khususnya lembaga bank yang dapat melindungi umat dari sistem ribawi terhadap PP Muhammadiyah.
Keputusan di atas mengandung makna bahwa terdapat perbedaan yang signifikan dalam operasional antara bank swasta dan bank milik negara. Tingkat suku bunga yang diterapkan oleh bank Nasional relatif lebih rendah dibanding dengan suku bunga bank swasta. Meski demikian, tetap menjadi perhatian bahwa hukum keabsahan suku bunga bank masih dalam taraf musytabihat.

b.      Lajnah Bahsul Masail Nahdatul Ulama
Nahdatul Ulama menentukan posisi diri ormas-nya dalam konteks masalah riba melalui beberapa sidang yang digelar oleh Lajnah Bahsul Masail. Menurut Lajnah, hukum bank dan sistem pembungaannya disamakan dengan hkum gadai. Terdapat tiga pendapat yang dikeluarkan tentang perkara ini:[31]
1)      Bunga bank dihukumi haram karena termasuk utang yang dipungut biaya tambahan.
2)      Bunga bank dihukumi halal karena tidak ada syarat diajukan dalam akad, sedangkan adat yang berlaku tidak dapat begitu saja dijadikan syarat.
3)      Bunga bank dihukumi sebagai perkara syubhat karena terjadi perselisihan dalam memutuskan hukumnya.

c.       Sidang Organisasi Konferensi Islam (OKI)
Sidang OKI kedua berlangsung di negara Pakistan, lebih tepatnya di Karachi pada Desember 1970. Semua anggota sidang bersepakat dalam dalam dua hal pokok, yaitu:[32]
1)      Operasional bank yang dalam praktik nyatanya menggunakan transaksi berbasis bunga adalah bertentangan dengan syari’ah Islam.
2)      Urgensi untuk mengadakan atau mendirikan bank-bank alternatif yang dalam akad transaksinya sejalan dengan aturan main syari’ah.
Islamic Development Bank (IDB) atau Bank Pembangunan Islam berdiri sebagai hasil dari kongres ini.
d.      Konsul Kajian Islam Dunia
Konferensi rutin yang digelar dan diikuti oleh ulama-ulama besar yang terhimpun dalam Konsul Kajian Islam Dunia telah menentukan posisi hukum syari’ah yang tegas terhadap bunga bank dalam Konferensi II KKID yang dihelat di Kairo, tepatnya di Universitas al-Azhar pada mei 1965 M. Pada konferensi itu ditetapkan bahwa para ulama sepakat tidak adanya keraguan sedikitpun atas vonis hukum haram yang dijatuhkan kepada praktik transaksional yangmengandung unsur ribawi, terutama praktik suku bunga seperti yang bank konvensional selama ini gencar lakukan.[33]
Konferensi II KKID dihadiri oleh sekitar tiga ratus ulama besar lintas nasional. Di antara tokoh besar nan masyhur yang hadir adalah Dr. Yusuf Qardhawi, Syekh al-Azhar Prof. Abu Zahra, Prof. Abdullah Draz, Prof. Dr. Mustofa Ahmad Zarqa, dan masih ulama berkaliber internasional lain.
Selain dihadiri oleh banyak ulama internasional, konferensi ini juga turut dihadiri banyak ahli ekonomi dan bankir dari Amerika, Eropa, dan juga negara Islam. Menurut salah satu ulama, yaitu Dr. Yusuf Qardhawi, slaah satu hal yang paling menarik dari konferensi tersebut adalah level ghirah atau minat dan determinasi yang tinggi, justru mayoritas ditunjukkan oleh para ahli ekonomi dan bankir Internasional, bahkan melebihi geliat semangat para ulama yang hadir. Mereka yang dianggap paling kompeten dalam bidan perbankan juga bersepakat berpandangan bahwa harus segera diadakan sebuah sistem perbankan yang bebas dari transaksi-transaksi yang mengandung unsur ribawi di dalamnya.[34]

e.       Fatwa Lembaga Keagamaan Lain
Serupa dengan pandangan atau keputusan hukum oleh lembaga-lembaga yang telah disebutkan di atas, beberapa lembaga mengutarakan pendapatnya bahwa praktik suku bunga bank adalah salah satu bentuk riba dan dihukumi haram.


B.     Mudharabah
1.      Pengertian Mudharabah
Istilah Mudharabah sejatinya berasal dari kata dharb, yang secara harfiah berarti memukul atau berjalan. Pengertian yang lebih lanjut dharb adalah memukulkan kakinya dalam menjalankan usaha. Pengertian lain dari dharb jika ditilik dari segi keumuman dalah melakukan perjalanan dalam konteks atau tujuan perniagaan. Istilah dharb masyhur di kalangan masyarakat Irak. Dengan pengertian yang serupa, penduduk Hijaz menggunakan istilah qarh atau muqarradhah. Dalam pengertian lain, makna qiradh ialah sebagian harta milik pemodal diserahkan kepada pengelola modal dan ia akan mengambil bagian dari keuntungan usaha si pengelola modal.[35]
Secara teknis, Antonio (2001) mendefinisikan mudharabah sebagai akad kerjasama usaha antara dua pihak di mana  pihak pertama sebagai pemilik modal menyediakan keseluruhan modal, sedang pihak lainnya menjadi pengelola modal tersebut. Margin profit dari syirkah mudharabah dibagi dalam bentuk presentasi berdasarkan kesepakatan yang dibuat dalam akad, sedangkan apabila usaha yang dijalankan pengelola modal merugi, maka kerugian hanya akan ditanggung oleh pemilik modal, dengan syarat kerugian yang muncul bukan akibat human error pengelola modal. Apabila loss atau kerugian yang didapat disebabkan karena ulah kesalahan pengelola modal, maka dia harus menanggung kerugian tersebut tanpa melibatkan shohibul maal.[36]

2.      Landasan Syari’ah Syirkah Mudharabah
Dari konteks keumuman, landasan dasar syari’ah transaksi kerjasama mudharabah ini lebih cenderung berupa perintah untuk melakukan usaha riil. Berikut ayat al-Qur’an dan hadits yang menjadi landasan-nya:
a.       Al-Qur’an
وَءَاخَرُونَ يَضۡرِبُونَ فِي ٱلۡأَرۡضِ يَبۡتَغُونَ مِن فَضۡلِ ٱللَّهِ وَءَاخَرُونَ يُقَٰتِلُونَ فِي سَبِيلِ ٱللَّهِۖ
dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah; dan orang-orang yang lain lagi berperang di jalan Allah...”
Penyandaran mudharabah pada ayat di atas adalah dari kata yadhribun yang merupakan akar kata dari istilah mudharabah yang berarti melakukan suatu usaha riil.

لَيۡسَ عَلَيۡكُمۡ جُنَاحٌ أَن تَبۡتَغُواْ فَضۡلٗا مِّن رَّبِّكُمۡۚ فَإِذَآ أَفَضۡتُم مِّنۡ عَرَفَٰتٖ فَٱذۡكُرُواْ ٱللَّهَ عِندَ ٱلۡمَشۡعَرِ ٱلۡحَرَامِۖ وَٱذۡكُرُوهُ كَمَا هَدَىٰكُمۡ وَإِن كُنتُم مِّن قَبۡلِهِۦ لَمِنَ ٱلضَّآلِّينَ ١٩٨
“Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezeki hasil perniagaan) dari Tuhanmu. Maka apabila kamu telah bertolak dari ´Arafat, berdzikirlah kepada Allah di Masy´arilharam. Dan berdzikirlah (dengan menyebut) Allah sebagaimana yang ditunjukkan-Nya kepadamu; dan sesungguhnya kamu sebelum itu benar-benar termasuk orang-orang yang sesat”

فَإِذَا قُضِيَتِ ٱلصَّلَوٰةُ فَٱنتَشِرُواْ فِي ٱلۡأَرۡضِ وَٱبۡتَغُواْ مِن فَضۡلِ ٱللَّهِ وَٱذۡكُرُواْ ٱللَّهَ كَثِيرٗا لَّعَلَّكُمۡ تُفۡلِحُونَ ١٠
“Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung”

Alasan kedua ayat di atas dapat dijadikan landasan hukum pelaksanaan  syirkah mudharabah adalah karena kedua ayat tersebut sama-sama menekankan kaum Muslim untuk mau berusaha.

b.      Al-Hadits

كَانَ سَيِّدُنَا الْعَبَّاسُ بْنُ عَبْدِ الْمُطَلِّبِ إِذَا دَفَعَ الْمَالَ مُضَارَبَة اِشْتَرَطَ عَلَى صَاحِبِهِ أَنْ لاَ يَسْلُكَ بِهِ بَحْرًا، وَلاَ يَنْزِلَ بِهِ وَادِيًا، وَلاَ يَشْتَرِيَ بِهِ دَابَّةً ذَاتَ كَبِدٍ رَطْبَةٍ، فَإِنْ فَعَلَ ذَلِكَ ضَمِنَ، فَبَلَغَ شَرْطُهُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ فَأَجَازَهُ (رواه الطبراني فى الأوسط عن ابن عباس).
”Abbas bin Abdul Muththalib, apabila ia memberikan sejumlah harta dalam transaksi syirkah mudharabah, maka ia membuat kualifikasi atau persyaratan kepada mudharib, agar harta itu tidak dibawa melewati lautan, tidak memasuki lembah dan tidak diberikan kepada binatang,  Jika mudharib melanggar kualifikasi-kualifikasi tersebut, maka ia bertanggung jawab dan dikenai kewajiban menanggung risiko. Kabar persyaratan yang diajukan Abbas tersebut terdengar sampai kepada Rasulullah Saw, lalu beliau membenarkannya”. (HR ath-Thabrani).

ثلاثة  فيهن  البركة : المقارضة والبيع الى اجل وخلط البر  باالشعير للبيت لا للبيع(ابن ماجه)
“Tiga macam mendapat barakah: muqaradhah/ mudharabah, jual beli kredit yang benar,  mengaduk gandum dengan tepung untuk konsumsi keluarga dalam rumah, bukan untuk tujuan komersil”.  (HR.Ibnu Majah).

عنعبداللهوعبيداللهابنيعمرأنهمالقياأبوموسىألأشعريباالبصرةمنصرفهمامنغزوةنهاوندفتسلفامنهمالاوابتاعامنهمتاعاوقدمابهالمدينةفباعاهوربحافيهوأرادعمرأخذرأسالمالالربحكلهفقالالوكانتلفكانضمنهعلينافكيفلايكونالربحلنافقالرجلياأميرالمؤمنينلوجعلتهقراضافقالقدجعلتهقراضاوأخذمنهمانصفالربح (أخرجهمالك )
Dari Abdullah dan ‘Ubaidullah, belau berdua anak Umar, bahwa mereka berdua bertemu dengan Abu Musa Al-Asy’ary di Basrah, dalam kondisi perjalanan pulang setelah peperangan Nahawand. Keduanya mendapat harta dari Abu Musa untuk ditujukan ke Madinah. Di tengah perjalanan keduanya membeli perhiasan, lalu menjualnya di Madinah, sehingga keduanya mendapat profit. Umar mengambil modal dan keuntungan semuanya. Tetapi kedua putranya berkata,”Jika harta itu tiada, bukankah kami yang berkewajiban menggantinya? Bagaimana mungkin kami tidak mendapat keuntungan?” Maka berkata seseorang penduduk kepada Umar,“Wahai Amirul Mukminin, alangkah baiknya jika engkau menginvestasikan harta itu sebagai akad qiradh”. Umar-pun menyetujuisaran tersebut. Umar berkata,”Aku menjadikannya sebagai qiradh”. Umar mengambil setengah dari keuntungan.

c.       Ijma’ Ulama
Menurut Imam Zila’i, para sahabat telah ersepakat akan keabsahan pengelolaan harta anak yatim secara muqarradhah atau mudharabah.[37].
d.      Qiyas
Akad mudharabah dianalogikan/diqiyaskan kepada akad musaqah.[38]

3.      Jenis-jenis Mudharabah
Secara garis besar, akad syirkah mudharabah dibagi menjadi dua macam, yaitu mudharabah muthlaqah dan mudharabah muqayyadah.
a.       Mudharabah Muthlaqah
Pemaknaan yang tepat dari mudharabah muthlaqah ialah bentuk kesepakatan kerjasama antara pemilik modal dan pengelola modal yang wilayah cakupannya sangat luas dan tidak terbatas pada kualifikasi atau syarat-syarat usaha tertentu, tidak dibatasi oleh durasi (waktu), atau lokasi usaha.
b.      Mudharabah Muqayyadah
Sebagai kebalikan konsep dari mudharabah muthlaqah, mudharabah muqayyadah juga disebut sebagai mudharabah terbatas. Makna yang tepat adalah pengelola modal dibatasi dengan jenis usaha tertentu, durasi, atau lokasi usahanya digelar.[39]

4.      Mudharabah dalam Ranah Perbankan
Aplikasi akad mudharabah seing kali diterapkan pada produk-produk pembiayaan dan pendanaan (funding). Pada konsep penghimpunan dana, akad mudharabah diaplikasikan pada:[40]
a.       Tabungan berjangka
b.      Deposito spesial (special investment)
Sedangkan dalam konsep pembiayaan, mudharabah diaplikasikan untuk:
a.       Pembiayaan modal usaha
b.      Investasi khusus (mudharabah muqayyadah)

5.      RukunAkad Mudharabah
a.       Transaktor (pemilik modal dan pengelola)
b.      Objek Mudharabah (modal dan usaha)
c.       Laba untuk dibagi bersama
d.      Akad Ijab dan Qobul

6.      Syarat Pembagian Keuntungan
Dalam pembiayaan mudharabah, pendistribusian profit juga harus mengikuti aturan main seperti hal berikut:[41]
a.       Keuntungan harus dialamatkan bagi kedua belah pihak, tidak boleh hanya satu pihak yang hanya mendapat profit.
b.      Transparansi keuntungan atau keuntungan harus diketahui kedua belah pihak dan bersifat proporsional, atau dinyatakan dalam bentuk presentase.
c.       Pemilik modal bersedia bertanggung jawab atas semua kerugian usaha yang dijalankan oleh pengelola modal, selama kerugian bukan diakibatkan dari kelalaian atau human error pengelola modal.
d.      Apabila pengelola modal atau mudharib melakukan kesalahan yang berimplikasi kepada munculnya kerugian, maka mudharib harus bertanggung jawab penuh atasnya.


BAB III
PENUTUP


A.    Kesimpulan

Pengertian jual beli menurut terminologi, Suatu kegiatan tukar-menukar benda yang mempunyai nilai tertentu antara kedua belah pihak yang telah bersepakat untuk melakukan transaksi sesuai dengan ketetapan hukum syara’ atau ketentuan yang disepakati. Maksud dari sesuai ketetapan hukum syara’ yakni kesesuaianya terhadap rukun-rukun, persyaratannya, dan hal-hal lainnya yang tentunya berkaitan dengan jual beli. Hukum asal jual beli adalah boleh, tetapi terdapat beberapa jual beli yang rusak, sehingga dihukumi haram.
Pengertianribasecaraetimologis(lughawy) adalahtambahan(az-ziyadah), tumbuh(an-numuw), dan menjadi tinggi (al-‘ulum).[42]Adapunsecaraterminologisribaberartipengambilantambahandarihartapokok/intiatau modal secarabatil. Ditinjau segikeumuman, makapengertianribapadaintinyaadalahpengambilantambahan, baikdalamtransaksijualbeli(trade) maupunpinjam-meminjam(loan) secarabatilataukontradiktifdenganprinsippokokmuamalahsyari’ah.
Jumhur ulama telah bersepakat bahwa hukum riba adalah haram, tetapi terdapat sebagian ulama kontemporer yang tidak mengharamkan riba secara keseluruhan, khususnya dalam pembahasan suku bunga bank.
Mudharabahadalah akad kerjasama usaha antara dua pihak di mana  pihak pertama sebagai pemilik modal menyediakan keseluruhan modal, sedang pihak lainnya menjadi pengelola modal tersebut. Margin profit dari syirkah mudharabah dibagi dalam bentuk presentasi berdasarkan kesepakatan yang dibuat dalam akad, sedangkan apabila usaha yang dijalankan pengelola modal merugi, maka kerugian hanya akan ditanggung oleh pemilik modal, dengan syarat kerugian yang muncul bukan akibat human error pengelola modal. Apabila loss atau kerugian yang didapat disebabkan karena ulah kesalahan pengelola modal, maka dia harus menanggung kerugian tersebut tanpa melibatkan shohibul maal.[43]












Daftar Pustaka

Muhammad, Arifin bin Badri. Riba Dan TInjauan Kritis Perbankan Syari’ah. Bogor: Pustaka Darul Ilmi, 2009.
Rizal, Yahya. Akuntansi Perbankan Syariah, Teori Dan Praktik Kontemporer. 2nd ed. Jakarta: Penerbit Salemba Empat, 2014.
Syafi’i, Antonio. Bank Syariah, Dari Teori Ke Praktik. Jakarta: Gema Insansi, 2001.
Zainuddin, Ali. Hukum Perbankan Syariah. Jakarta: Sinar Grafika, 2010.
Dewan Syariah Nasional MUI, Himpunan Fatwa Keuangan Syariah. Jakarta: Penerbit Erlangga, 2014.
Rasjid, Sulaiaman, Fiqih Islam Hukum Fiqih Lengkap. Bandung: Sinar Algesindo, 1994.
Rahmat Syafei, Fiqih Muamalah. Bandung: CV Pustaka Setia, 2006.
Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah. Jakarta: PT RajaGrafindo, 2002.
Masduqi, Ghufron A., Fiqh Muamalah Kontekstual. Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2002.
Jaziri, Abdurrahman, Al-Fiqh ‘ala Madzahib al-arba’ah. tp.
Hasbi,Teungku Muhammad, Hukum-Hukum Fiqh Islam. Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1997.

Catatan:
Similarity 8%.






[1] Sulaiaman Rasjid, Fiqih Islam (Hukum Fiqih Lengkap), (Bandung: Sinar Algesindo, 1994), Hlm.278.
[2]Rahmat Syafei, Fiqih Muamalah, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2006), Hlm.73.
[3]Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: PT RajaGrafindo,2002), Hlm.68-69.
[4]Rahmat Syafei, Fiqih Muamalah, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2006), Hlm.74-75.
[5]Ibid, Hlm. 91-93.
[6]Sulaiaman Rasjid, Fiqih Islam (Hukum Fiqih Lengkap), (Bandung: Sinar Algesindo, 1994), Hlm. 279-282.
[7]Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: PT RajaGrafindo,2002), Hlm.75
[8]Sulaiaman Rasjid, Fiqih Islam (Hukum Fiqih Lengkap), (Bandung: Sinar Algesindo, 1994), Hlm. 279-282.
[9]Al Jaziri, op.cit., hlm. 156.
[10]Rahmat Syafei, Fiqih Muamalah, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2006), Hlm. 101.
[11]Rahmat Syafei, Fiqih Muamalah, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2006), Hlm. 97.
[12]Ibid.Hlm. 98.
[13]Ibid. Hlm. 99-101.
[14]Muhammad Arifin bin Badri, Riba Dan TInjauan Kritis Perbankan Syari’ah (Bogor: Pustaka Darul Ilmi, 2009). Hlm 1.
[15]Syafi’i Antonio, Bank Syariah, Dari Teori Ke Praktik (Jakarta: Gema Insansi, 2001). Hlm. 38
[16]Ibid.Hlm. 42
[17]Teungku Muhammad Hasbi, Hukum-Hukum Fiqh Islam. (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1997). Hlm. 340
[18]Zainuddin Ali, Hukum Perbankan Syariah (Jakarta: Sinar Grafika, 2010). Hlm. 92
[19]Ibid.Hlm. 48
[20]Syafi’i Antonio, Bank Syariah, Dari Teori Ke Praktik (Jakarta: Gema Insansi, 2001). Hlm. 51
[21]Zainuddin Ali, Hukum Perbankan Syariah (Jakarta: Sinar Grafika, 2010). Hlm. 106
[22]Syafi’i Antonio, Bank Syariah, Dari Teori Ke Praktik (Jakarta: Gema Insansi, 2001). Hlm. 54
[23]Ibid. Hlm. 55
[24]Ibid. Hlm. 55
[25]Zainuddin Ali, Hukum Perbankan Syariah (Jakarta: Sinar Grafika, 2010). Hlm. 108
[26]Ibid. Hlm. 109
[27]Syafi’i Antonio, Bank Syariah, Dari Teori Ke Praktik (Jakarta: Gema Insansi, 2001). Hlm. 58
[28]Ibid. Hlm. 59
[29]Ghufron A. Masduqi, Fiqh Muamalah Kontekstual. (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2002). Hlm. 166
[30]Zainuddin Ali, Hukum Perbankan Syariah (Jakarta: Sinar Grafika, 2010). Hlm. 113
[31]Ibid. Hlm. 115
[32]Ibid. Hlm. 117
[33]Syafi’i Antonio, Bank Syariah, Dari Teori Ke Praktik (Jakarta: Gema Insansi, 2001). Hlm. 66
[34]Ibid. Hlm. 66
[35]Rizal Yahya, Akuntansi Perbankan Syariah, Teori Dan Praktik Kontemporer, 2nd ed. (Jakarta: Penerbit Salemba Empat, 2014). Hlm. 108
[36]Syafi’i Antonio, Bank Syariah, Dari Teori Ke Praktik (Jakarta: Gema Insansi, 2001). Hlm. 95
[37]Ibid.Hlm. 96
[38]Dewan Syariah Nasional MUI, Himpunan Fatwa Keuangan Syariah. Hlm. 80
[39]Syafi’i Antonio, Bank Syariah, Dari Teori Ke Praktik (Jakarta: Gema Insansi, 2001). Hlm. 97
[40]Ibid. Hlm. 97
[41]Rizal Yahya, Akuntansi Perbankan Syariah, Teori Dan Praktik Kontemporer. 2014. Hlm. 111
[42]Muhammad Arifin bin Badri, Riba Dan TInjauan Kritis Perbankan Syari’ah (Bogor: Pustaka Darul Ilmi, 2009). Hlm 1.
[43]Syafi’i Antonio, Bank Syariah, Dari Teori Ke Praktik (Jakarta: Gema Insansi, 2001). Hlm. 95

Tidak ada komentar:

Posting Komentar