Selasa, 08 Mei 2018

Qawaid Fiqhiyyah (PAI A Semester Genap 2017/2018)



QAIDAH FIQHIYYAH (QAIDAH ASASIYYAH)

Didik Nur Setyono dan Rokhilah Shofi Amaliyah
Mahasiswa Jurusan PAI Kelas A Angkatan 2015
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang

Abstract
This article describes some basic rules in deterimining Islamic law, especially in the field of Fiqh Science. Qaidah Fiqhiyyah or can also be called Qaidah Asasiyyah is a general law (kulli) that covering all issues in fiqh and become the guidance in the determination of law in every fiqhiyyah events either existing in the nash or that has nit been in the nash at all. Furthermore, there are several rules of fiqhiyyah that serve as a handle by a mujtahid in solving fiqhiyyah problems that have not been explained by nash but it is necessary once to look for legal provisions.
Keywords: Qaidah Fiqhiyyah, legal determination.

Abstrak
Artikel ini menjelaskan mengenai beberapa kaidah pokok atau kaidah induk dalam menentukan hukum Islam khususnya di bidang Ilmu Fiqh. Qaidah fiqhiyyah atau bisa juga disebut dengan Qaidah Asasiyyah merupakan hukum umum (kulli) yang mencakup seluruh masalah-masalah dalam fiqh dan menjadi pedoman dalam penetapan hukum dalam setiap peristiwa fiqhiyyah baik yang sudah ada dalam nash maupun yang belum ada dalam nash sama sekali. Lebih jauhnya, ada beberapa kaidah fiqhiyyah  yang dijadikan sebagai pegangan oleh para mujtahid dalam memecahkan masalah fiqhiyyah yang belum dijelaskan oleh nash yang shorih namun perlu sekali untuk dicari ketentuan hukumnya.
Kata Kunci : Qaidah Fiqhiyyah, penentuan hukum.

A.    Pendahuluan
Kata syari’ah memiliki makna hukum yang menyeluruh, dan menyiratkan nilai-nilai uluhiyyah, sedangkan kata fiqh adalah segala ilmu tentang syari’ah.[1]Syariah berkaitan erat dengan Al-Qur’an dan Sunnah, sedangkan fiqh merupakan suatu ilmu dari hasil ijtihad para ulama’. Seorang mujtahid yang menghasilkan ilmu fiqh, berarti telah berusaha dengan segala kemampuan keilmuannya untuk menggali sebanyak mungkin nilai-nilai syari’ah dari Al-Qur’an dan Sunnah. Maka dari situlah ada beberapa hadits yang menjelaskan bahwa “Apabila ada seseorang yang berijtihad kemudian benar hasil ijtihadnya itu, maka dia telah mendapat dua pahala. Dan apabila ada seseorang yang berijtihad akan tetapi salah hasil ijtihadnya itu, maka dia telah mendapat satu pahala.”
Ruang lingkup antara syari’ah dan fiqh ternyata selalu berkembang dalam pemikiran manusia seiring dengan perkembangan ilmu serta perkembangan zaman. Pada masa awal adanya Islam, ruang lingkup antara syariah dan fiqh adalah sama, yaitu mencakup seluruh ajaran Islam. Namun karena permasalahan dalam masyarakat dan ilmu pengetahuan semakin kompleks, maka keduanya dibatasi ruang lingkupnya. Kemudian lahirlah istilah Ilmu Kalam, Ilmu Tasawwuf, dan ilmu-ilmu lainnya sehingga dibedakan pula antara syariah dan fiqh.
Adapun ushul fiqh merupakan thuruuq al-istinbath, yaitu cara-cara yang ditempuh oleh seorang mujtahid dalam menetapkan suatu hukum agar fiqh  yang dihasilkan dapat meraih sebanyak mungkin nilai-nilai syari’ah. Perumpamaan hubungan antara ushul fiqh dan fiqh adalah seperti hubungan antara ilmu Nahwu dan Bahasa Arab, ilmu Nahwu merupakan ilmu alat untuk mempelajari bahasa Arab.
Qaidah Fiqhiyyah muncul setelah adanya fiqh yang merupakan prinsip-prinsip yang dirumuskan oleh para ulama’ dari beberapa aturan-aturan dalam menentukan fiqh. Fiqh merupakan hasil dari ijtihad para ulama’ yang didasarkan pada sumber hukum serta diolah melalui metode tertentu. Dari metode inilah lahir beberapa macam fiqh seperti fiqh dakwah, fiqh jihad, fiqh ibadah, fiqh muamalah, dan lain-lain. Kemudian dari fiqh-fiqh tersebut dapat disimpulkan beberapa prinsip-prinsip umum yang kemudian disebut dengan Qaidah Fiqhiyyah. Oleh karena itu, Qaidah Fiqhiyyahn dapat dipandang sebagai pedoman berpikir fiqh dalam memecahkan masalah-masalah baru yang timbul. Jadi setiap masalah yang muncul harus dikembalikan pada Qaidah Fiqhiyyah.

B.     Pengertian Qaidah Fiqhiyyah
Secara etimologis, Qaidah Fiqhiyyah berasal dari bahasa Arab yaitu al-qa’idah al-fiqhiyyah ataubiasa disebut dalam bentuk jamakal-Qawa’id al Fiqhiyyah. Kata al’qa’idah berarti dasar,asas atau pondasi. Jadi dapat disimpulkan bahwa Qaidah Fiqhiyyah merupakan dasar-dasar atau asas-asas yang mencakup dalam seluruh masalah-masalah fiqh.
Sedangkan secara terminologis, para ulama’ mendefinisikan qaidah  secara beragam. Sebagaimana pendapat Imam Tajuddin dalam kitabnya al-Subki , beliau menjelaskan bahwa:

الأَمْرُ الكُلِّيِّ الَّذِيْ يَنْطَبِقُ عَلَيْهِ جُزْئِيَّاتٌ كَثِيْرَةٌ يُفْهَمُ أَحْكَامُهَا مِنْهَا
artinya: segala sesuatu yang bersifat umum(general) yang mencakup bagian yang sangat banyak, yang dapat dipahami hukum bagian-bagiannya dengan kaidah itu.
Dalam kitab Syarah Jamu’ al-Jawami’, dterangkan bahwa qaidah fiqhiyyah adalah :
قضية كلية يتعرف منها احكام جزئيتها
Artinya: “Ketentuan pernyataan umum yang memberi pengetahuan mengenai berbagai hukum dan beberapa bagiannya.”
Menurut Musthafa Az Zarqa, qaidah merupakan hukum yang bersifat aghlabi yaitu berlaku sebagian besar, yang meliputi sebagian besar dalilnya.[2] Sedangkan dalam kitab Al-Asybah wa an-Nazhair, Imam As-Suyuthi mengatakan bahwa kaidah merupakan hukum yang bersifat kulli,  (general) yang meliputi seluruh bagian-bagiannya.[3]
Dari definisi tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa kaidah merupakan hukum asas atau dasar yang sifatnya menyeluruh (universal) yang mencakup seluruh bagian-bagiannya.[4] Dari makna qaidah  yang universal inilah maka qaidahfiqhiyyah dapat dipahami sebagai kaidah umum yang meliputi seluruh cabang dari permasalahan dalam fiqh serta menjadi pegangan bagi para mujtahid dalam menetapkan hukum dari setiap fenomena, baik yang telah ada dalam nash yang sharih maupun yang belum ada dalil nashnya sama sekali.[5]

C.      Proses Pembentukan Qaidah Fiqhiyyah
Proses pembentukan qaidah fiqhiyyah secara sederhana dapat diilustrasikan sebagai berikut:



 







Dari ilustrasi tersebut, maka dapat dipahami sebagai berikut :[6]
1.      Qaidah Fiqhiyyah bersumber dari Al-Qur’an dan Sunnah, dengan melalui metodologi tertentu berupa ushul fiqh, kemudian lahirlah fiqh. Dari penalaran deduktif inilah lahir pula berbagai macam bidang fiqh yang banyak sekali, sesuai dengan cakupan permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat serta menarik perhatian para ulama’ untuk dicari solusinya. Beberapa ulama’ berijtihad dengan beberapa prinsip yang kemudian dikenal dengan qaidah fiqhiyyah. Selanjutnya, qaidah fiqhiyyah tersebut dikonfirmasikan dengan dasar dalil-dalil kulli, dan maqashidus syari’ah maqashidus syari’ah sebagaimana telah termaktub dalam Al-Qur’an dan Sunnah sebagai sumber hukum Islam yang pokok.
2.      Sebagian ulama’ juga mencoba mengkritisi qaidah fiqhiyyah tersebut karena jangkauan fiqhiyyah meliputi seluruh perilaku manusia dimanapun dan kapanpun ia berada (global dan eternal).
3.      Qaidah fiqhiyyah merupakan kaidah yang telah mapan, baku dalam cakupan yang luas dari segi ruang dan waktu. Qaidah fiqhiyyah telah mencakup seluruh aspek dalam ilmu sosial atau kalangan orientalis memberi istilah legal maxim (peribahasa hukum) karena keluasan cakupannya.



D.      Manfaat Qaidah Fiqhiyyah
Sebagaimana telah dijelaskan diatas bahwa qaidah fiqhiyyah merupakan kaidah-kaidah umum yang mencakup seluruh bidang fiqh dan menjadi pegangan bagi para ulama’ untuk menetapkan suatu hukum, baik yang sudah tertera dalam nash yang sharih maupun yang belum ada ketetuannya dalam nash sama sekali. Maka dari itu, dengan mempelajari qaidah fiqhiyyah, sesungguhnya seseorang telah mempunyai pedoman dalam menyelesaikan permasalahan fiqhiyyahnya. Beberapa manfaat mempelajari qaidah fiqhiyyah adalah:
1.      Dengan qaidah fiqhiyyah maka kita dapat mengetahui dengan mudah benang merah dari setiap peristiwa fiqhiyyah dan menemukan titik temu dalam permasalahan-permasalahan tersebut. Imam Sarkhasiy dalam kitabnya Khitaamu Ba’du al-Fushuuli mengatakan bahwa : “Barang siapa yang memberi hukum pada suatu permasalahan dengan ashal kemudian ia benar-benar memahaminya, maka akan mudah baginya menarik kesimpulan.”[7]
2.      Dengan qaidah fiqhiyyah, kita akan lebih bijak dalam menerapkan materi fiqh dimanapun berada, dengan keadaan dan adat yang berlainan. Dalam kitab al-Ma’akil Imam Al-Mardinami berkata : “Siapa yang telah menghukumi ashal dengan benar, maka ia dapat menentukan hukum sesuai dengan keinginannya, baik berdasarkan pandangannya sendiri maupun yang berlawanan dengannya.”
3.      Dapat dengan mudah memasukkan dan menggolongkan sesuai dengan bidang fiqh yang ada.
4.      Orang yang benar-benar menelaah kaidah fiqh akan menjadi seorang yang faqih serta mendapatkan kemuliaan dan mengetahui rahasia-rahasia dalam fiqh.
5.      Dengan memperhatikan qaidah fiqhiyyah,sesungguhnya kita telah menyelamatkan hukum Islam dari keterbelakangan. Menurut Muhammad at-Thahir ‘Assyura, kurangnya upaya dalam mengumpulkan berbagai pandangan dan kaidah untuk menetapkan suatu cabang hukum, menyebabkan berhentinya usaha dalam menyelesaikan masalah cabang tersebut, sehingga cabang yang belum terselesaikan itu seakan-akan telah menjadi sebuat kaidah.

E.       Macam-macam Qaidah Fiqhiyyah
Membahas mengenai fiqh, sebenarnya materi fiqh secara rinci memiliki ratusan kaidah fiqh, akan tetapi sebagian ulama’ menetapkan satu kaidah induk dan lima kaidah pokok yang penting untuk diketahui dan menjadi dasar dan prinsip dalam seluruh materi fiqh.
a.      Kaidah Induk, yaitu :
جَلْبُ المَصَالِحِ وَدَرْءُ المَفَاسِدِ
Artinya : Meraih kemashlatan dan menolak kemudahan.
Tujuan utama disyariatkannya hukum Islam adalah untuk meraih kemaslahatan seluruh umat manusia. Sedangkan kemaslahatan dapat diraih dengan 2 cara :
1)      Mencari kemaslahatan
2)      Menolak kerusakan (mafsadat)
Agar bisa mencapai maslahat ini, maka seluruh syariat Islam selalu mengandung perintah yang bisa kemaslahatan dan menghindari kemafsadatan.
Maslahat memiliki 3 macam yaitu :
1)      Wajib untuk dilaksanakan
2)      Sunnah untuk dilaksanakan
3)      Mubah untuk dilaksanakan
Sedangkan mafsadat memiliki 2 macam yaitu :
1)      Haram untuk dilaksanakan
2)      Makruh untuk dilaksanakan
Kaidah induk ini didasarkan pada firman Allah dalam QS. Az-Zumar (39): 17-18 :
وَالَّذِيْنَ يَجْتَنِبُوا الطَّاغُوْتَ أَنْ يَعْبُدُوْهَا وَأَنَابُوا إِلَى اللهِ لَهُمُ البُشْرَى فَبَشِّرْ عِبَادِ ¤ الَّذِيْنَ يَسْتَمِعُونَ القَوْلَ فَيَتَّبِعُونَ أَحْسَنَهُ أُولَئِكَ الَّذِيْنَ هَدَىهُمُ اللهُ وَأَولَئِكَ هُمْ أُولُوا الأَلْبَابِ¤
Artinya : Dan orang-orang yang menjauhi taghut (yaitu) tidak menyembahnya dan kembali kepada Allah, bagi mereka berita gembira, sebab itu sampaikanlah berita itu kepada hamba-hamba-Ku, yang mendengarkan perkataan, lalu mengikuti apa yang paling baik di antara-Nya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal.
Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa apabila ada dua hal yang mengandung maslahat dalam satu waktu, maka yang diambil adalah yang paling besar kemaslahatannya. Dan sebaliknya, apabila ada dua perkara yang mengandung maslahat dan mafsadat secara bersamaan, maka yang harus didahulukan adalah kemaslahatannya. Apabila keduanya sama kuatnya atau sama sama sulit, maka jalan yang harus diambil adalah menghindari kemafsadatannya, karena menghindari kenafsadatan merupakan kemaslahatan itu sendiri. Dari situlah muncul aqidah fiqhiyyah :
دَرْءُ المَفَاسِدِ مُقَدَّمٌ عَلَى جَلْبِ المَصَالِحِ
Artinya : Menolak mafsadat lebih didahulukan daripada meraih maslahat.

b.      Kaidah Pokok, meliputi :
1)      Setiap perkara itu bergantung pada tujuannya.
الأُمُورُ بِمَقَاصِدِهَا
Artinya: Setiap perkara itu tergantung pada maksudnya.
Makna dari kaidah ini adalah bahwa setiap perbuatan/perkara, baik dalam hubungan dengan Allah maupun hubungan dengan sesama makluk-Nya, nilainya selalu ditentukan oleh niatnya dan tujuan dilakukannya perkara tersebut. [8]Niat yang ada dalam hati seseorang menjadi kriteria khusus dalam menentukan status hukum dari perbuatan yang ia lakukan. Perbuatan seseorang dapat dihukumi wajib, Sunnah, haram, makruh, bahkan mubah itu semua tergantung dari niat yang menyertainya.[9]
Dalam kaidah ini, para ulama’ telah sepakat bahwa niat merupakan bagian yang tidak bisa dipisahkan dari suatu perbuatan. Tanpa adanya suatu niat, maka suatu perkara bisa dikatakan tidak sah. Hal ini telah dijelaskan dalam Al-quran surat Az-Zumar ayat 2 yaitu :

إِنَّآ أَنْزَلْنَآَ إِلَيْكَ الكِتَابَ بِالْحَقِّ فَاعْبُدِ اللهَ مُخْلِصًا لَّهُ الدِّيْنَ
Artinya:
Sesungguhnya Kami menurunkan kepadamu Kitab (Al-Qur’an) dengan (membawa) kebenaran. Maka sembahlah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya.
Selain itu, dijelaskan pula pada beberapa hadits Nabi Saw :
إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّةٍ ...
Artinya : Sesungguhnya setiap amal itu tergantung pada niatnya...” (HR. Bukhari dari Umar bin Khaththab)

Oleh karena itu, niat memiliki beberapa fungsi, diantaranya:
a)      Untuk membedakan antara ibadah dengan kebiasaan/adat;
b)      Untuk membedakan antara sah atau tidak sahnya suatu ibadah dan membedakan antara yang wajib dengan yang sunnah;
c)      Untuk membedakan kualitas suatu perbuatan, antara kebaikan dan kejahatan.

Contoh :
a)      Sesuatu yang awalnya hukumnya mubah, dapat menjadi perkara yang mendatangkan pahala karena niatnya, misalnya makan dan minum.
b)      Memeras anggur, hukumnya menjadi mubah atau haram tergantung pada niatnya.
c)      Wudhu, mandi, shalat, puasa, apakah wajib atau sunnah juga tergantung pada niatnya.
d)     Orang yang menghutangi mengambil barang haknya tanpa sepengatahuan orang yang berhutang, hukumnya menjadi mubah atau haram tergantung pada niatnya, apakah berniat mengingatkan ataukah mencuri.
e)      Kinayah (sindiran) dalam kata thalaq juga tergantung niat.

2)      Suatu keyakinan tidak dapat dihapus dengan keraguan

اليّقِيْنُ لاّ يُزَالُ بِالشَّكِّ
Artinya : keyakinan tidak dapat dihilangkan dengan keraguan.
Yang dimaksud dengan yakin adalah segala sesuatu yang menjadi mantap dalam melakukannya karena ada pandangan atau dilandasi dengan dalil tertentu.[10] Makna dari kaidah ini adalah bahwa sesuatu yang telah diyakini tidak dapat goyah oleh sesuatu yang meragukan. Jadi, segala tindakan harus berlandaskan terhadap apa yang diyakini.
Maksud dari kaidah ini adalah setiap keyakinan harus dipegang dan setiap keraguan harus ditinggalkan.
Contoh :
a)      Seseorang yang telah berwudhu, kemudian ia ragu apakah ia sudah berhadats (batal wudhunya) maka hal ini dikembalikan pada hukum yang telah ia yakini, yaitu masih mempunyai wudhu dan tidak berhadast.[11] Contoh ini menunjukkan kita kepada ihthiyath (kehati-hatian) dalam melakukan ibadah, terutama dalam ibadah shalat.
Peristiwa ini didasari oleh Hadits Nabi Saw:
شُكِيَ إِلَى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرِّجَلُ يُخَيَّلُ أَنَّهُ يَجِدُ الشَّيْءَ فِي الصَّلاَةِ , قَالَ لاَ يَنْصَرِفْ حَتَّى يَسْمَعُ صَوتًا أَوْ يَجِدَ رِيْحًا
Artinya: Dikemukakan kepada Rasulullah tentang seorang laki-laki yang sering merasa berhadats dalam shalatnya, kemudian Nabi menegurnya: “Janganlah orang tersebut membatalkan shalatnya sampai ia mendengar suara kentutnya atau mencium baunya.” (HR. Bukhari-Muslim)
b)      Apabila ada seseorang yang menuduh orang lain telah berbuat kejahatan, maka tuduhan ini tidak langsung diterima, kecuali jika ada bukti yang sah atau saksi lain yang meyakinkan bahwa orang tersebut telah melakukan kejahatan.

3)      Kesulitan itu dapat mendatangkan kepada kemudahan
المَشَقَّةُ تَجْلِبُ التَّيْسِيْرُ
Artinya: kesukaran dapat menarik kemudahan
Al-Masyaqqoh menurut bahasa berarti kepayahan, kesusahan, kesukaran, kelelahan, atau kesulitan. Sedangkan At-Taysiir berarti kemudahan. Makna dari kaidah ini adalah bahwa kesulitan akan menjadi penyebab datangnya kemudahan.[12] Jadi, setiap hukum yang dalam penerapannya menimbulkan kesulitan bagi seseorang untuk melakukannya, maka syari’at memberi keringanan bagi seseorang tersebut agar mampu melaksanakan hukum itu tanpa mengalami kesulitan.
Kaidah ini didasarkan pada Al-Qur’an surat An-Nisa’ ayat 4 :

وَآتُوا النِّسآءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عِنْ شَيْءٍ مِنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيْئًا مَرِيْئًا
Artinya : Berikanlah makawin (mahar) kepada wanita yang kamu nikahi sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.
Dalam ilmu fiqh, kesulitan yang mendatangkan kemudahan itu ada 7 macam, yaitu:
1.      Sedang dalam perjalanan jauh (musafir)
2.      Dalam keadaan sakit
3.      Dalam keadaan terpaksa
4.      Lupa
5.      Ketidaktahuan
6.      Kesulitan yang umum(umumul balwa)
7.      Ketidakmampuan dalam melakukan hukum
Kata masyaqqoh bersifat individual (khusus), maksudnya adalah bagi kondisi tertentu, seseorang bisa dikatakan masyaqqoh, namun belum tentu bagi kondisi yang lain, sehingga tidak sembarangan kondisi bisa dianggap masyaqqoh.
Contoh peristiwa dari kaidah ini adalah :
a)      Orang yang sedang bepergian boleh meng-qashar/ men-jamak shalatnya, dan boleh berbuka puasa karena mengalami kesulitan, akan tetapi hal ini tidak boleh dikaitkan jika perjalanan tersebut mengandung kemaksiatan.
b)      Pada musim dingin seseorang merasa berat sekali untuk berwudhu, maka ia diperbolehkan melakukan tayammum.
Kaidah ini disebut juga sebagai qaidah rukhshah yaitu memberikan keringanan dalam melaksanakan aturan syariah dalam keadaan tertentu yang menuntut adanya keringanan.Rukhshah  ini berbeda dengan kata dharurat pada tingkatan mafsadat yang akan ditimbulkannya. Dalam rukhshah, tingkatan mafsadat yang ditimbulkantidak sekuat mafsadat pada dharurat, karena dharurat  selalu dikaitkan dengan pemeliharaan jiwa. [13]
Kaidah ini merupakan suatu jalan agar syariat Islam dapat dilaksanakan oleh setiap orang mukallaf dimanapun dan kapanpun yang mengalami suatu kesukaran atau kesempitan. Namun kaidah ini dibatasi pada sesuatu yang dimungkinkan saja, tidak boleh jika seseorang menggunakan masyaqqoh yang dapat menghilangkan ketaatan kepada Allah dan menghilangkan kemaslahatan dalam ibadah sehingga menyebabkan lalainya seseorang dalam menjalankan ibadah.

4)      Kemudharatan harus dihilangkan
الضَّرَرُ يُزَالُ
Artinya : Kemudharatan harus dilenyapkan
Kaidah ini disebut sebagai kaidah dharurah yaitu mengharuskan untuk menghilangkan mudharat (mafsadat) dan pengaruh dari kemudharatan tersebut. Kemudharatan itu akan terjadi dan telah terjadi. Jika demkian, maka harus dihilangkan. Adapun dasar hukumnya adalah dalam QS. Al-A’raf ayat 55 :
ادْعُوا رَبَّكُمْ تَضَرُّعًا وَخُفْيَةً إِنَّهُ لاَ يُحِبُّ المُعْتَدِيْنَ
Artinya : Berdoalah kepada Tuhanmu dengan rendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.
Contoh dari kaidah ini adalah:
a)      Mengonsumsi sesuatu yang haram karena terpaksa, karena tidak ada makanan lain yang halal dan apabila tidak makan ia bisa mati
b)      Adanya aturan khiyar dalam Fiqh Muamalah
c)      Adanya larangan meminum khamr dalam hukum Islam karena menghilangkan kemudharatan
d)     Adanya kebolehan membuka aurat sesuai dengan kebutuhan untuk mengobati penyakit berbahaya.
Namun ada beberapa pengecualian dalam penerapan kaidah ini, diantaranya :
a)      Menghilangkan kemudharatan yang menimbulkan adanya kemudharatan lain yang sama tingkatan keduanya. Misalnya si A merasa lapar kemudian memakan makanan milik si B padahal si B juga merasa lapar. Hal ini tidak boleh dilakukan, karena makanan itu dibutuhkan juga oleh si B, kecuali jika si B tidak merasa kelaparan.
b)      Menghilangkan kemudharatan yang akan menimbulkan datangnya kemudharatan lain yang tingkatannya lebih tinggi. Misalnya seseorang melarikan diri dari peperangan, tujuannya hanya untuk menyelamatkan dirinya. Perbuatan ini dilarang, karena seandainya ia tidak meenyelamatkan diri dan mati dalam peperangan itu maka sesungguhnya ia tercatat syahid dalam membela agama Allah dan tentunya nilainya sangat mulia di hadapan Allah Swt.

5)      Adat itu bisa (dipertimbangkan dalam) menetapkan hukum.
العَادَةُ مُحَكَّمَةٌ
Artinya: Adat dapat (menjadi pertimbangan dalam) menetapkan hukum.
Adat merupakan suatu kebiasaan yang terjadi terus menerus di kalangan masyarakat. Para ulama’ memaknai kata al-adah hampir sama dengan al-‘urf. ‘Urf dimaknai sebagai sesuatu yang telah dikenal masyarakat dan diulang-ulang dalam ucapan dan perbuatannya sehingga menjadi kebiasaan dan berlaku umum. Sedangkan adat juga demikian yaitu sesuatu yang dikenal oleh  masyarakat dan telah menjadi suatu kebiasaan mereka.
Al-adah dengan al-‘urf dapat didefinisikan sebagai berikut:[14]
العَادَةُ مَا تَعارَفَةُ النَّاسُ وَأَصْبَحَ مَأْلُوفًا لَهُمْ سَائِغًا فِى مَجْرَى حَيَاتِهِمْ
Artinya : Adat ialah sesuatu yang telah dikenal oleh seluruh masyarakat /manusia dan menjadi kebiasaan yang digemari oleh mereka serta berlaku dalam setiap kehidupan mereka.
العُرْفُ مَا اعْتَدَ النَّاسُ وَسَارُوا عَلَيْهِ فِى اُمُورِ حَيَاتِهِمْ وَمُعَامَلَتِهِمْ مِنْ قَوْلٍ أَوْ فِعْلٍ أَو تَرْكٍ
Apa yang menjadi kebiasaan masyarakat/manusia dan mereka lewati kehidupan muamalat mereka dengan hal itu, baik berupa ucapan, perkataan maupun perbuatan.[15]
Adat (kebiasaan) yang timbul itu terbangun atas nilai-nilai yang sudah ada pada masyarakat. Nilai-nilai ini terus terpelihara seiring dengan perkembangan yang ada dalam masyarakat tersebut. islam hadir dengan membawa nilai-nilai yang berpedoman pada Al-Qur’an dan Sunnah. Dengan berpedoman pada keduanya itulah, para ulama’ membagi adat menjadi dua jenis yaitu  :
1.      Al-‘adah ash-Shahihah, yaitu adat yang sesuai dengan nilai-nilai Islam;
2.      Al-‘adah al-Fasidah, yaitu adat yang tidak sesuai dengan nilai-nilai Islam.
Dalam lingkup yang lain, Imam As-Syathibi membagi adat menjadi dua macam yaitu :
1.         Al-‘adah al-‘ammah; yaitu adat yang umum, misalnya kebiasaan bangun tidur, tidur, makan dan minum, dan lain-lain karena tidak ada perbedaan tempat, waktu dan keadaan.
2.         Al-adah al khashshah yaitu adat yang khusus, misalnya pakaian, bentuk rumah, dan lain-lain.
Kaidah ini didasarkan pada Al-Qur’an Al-A’raf ayat 199 :
خُذِ العَفْوَ وَأْمُرْ بِألغُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الجَاهِلِيْنَ
Artinya :Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf, serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh.

Dan hadits Nabi Muhammad Saw :
مَا رَآهُ المُسْلِمُونَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ اللهِ حَسَنٌ
Artinya : apa yang dipandang baik oleh orang Muslimin maka dipandang baik pula oleh Allah.

Contoh penerapan dari kaidah ini adalah :
a)      Hukum mahar dalam pernikahan, misalnya seberapa banyak ketentuan dalam mahar itu, maka bisa disesuaikan dengan kebiasaan yang dilakukan masyarakat sekitar.
b)      Seorang hakim tidak diperbolehkan menerima hadiah,namun di kalangan masyarakat sudah terbiasa memberikan hakim hadiah, akan tetapi tidak diperbolehkan menerima lebih dari kebiasaan.
c)      Lafad-lafad yang dipergunakan dalam wakaf, nazar, sumpah atau akad boleh disesuaikan dengan adat.
Namun pada kaidah ini perlu juga diperhatikan pengecualian, misalnya adat yang bertentangan dengan nash Al-Qur’an dan As-Sunnah, misalnya adat berpesta dengan minuman keras, berjudi, dan lain-lain.

F.     Penutup
Demikianlah uraian singkat mengenai qaidah fiqhiyyah , dapat disimpulkan bahwa qaidah fiqhiyyah dapat kita jadikan dasar dalam memahami serta menetapkan permasalahan hukum yang terjadi di kalangan masyarakat, berkaitan dengan sikap dan perilaku masyarakat dan sangat diperlukan dalam menjalani kehidupan baik untuk memecahkan masalah yang bersifat pribadi, keluarga dan dalam masyarakat umumnya.
Dengan memahami qaidah fiqhiyyah ini, sesungguhnya kita telah turut andil dalam pencapaian kebenaran dan perkembangan hukum Islam, serta membangun masyarakat yang taat syariat Islam. Qaidah fiqhiyyah merupakan warisan dari para ulama’ terdahulu, berupa perenungan dan hasil ijtihad yang telah mapan dan teruji. Oleh karena itu, qaidah fiqhiyyah dapat menjadi solusi alternatif, dan menjadi dasar dalam menyelesaikan persoalan dalam masyarakat secara arif, benar dan adil.

DAFTAR PUSTAKA

Albani, M. Syukri. 2013. Filsafat Hukum Islam. Jakarta: Rajawali Press.
Ash-Shiddieqy, Hasbi. 1993. Falsafah Hukum Islam.  Jakarta: Bulan Bintang.
Djazuli, A. 2005. Ilmu Fiqh.  Jakarta: Prenada Media Group.
Hasbi, Teungku M. 2001. Falsafah Hukum Islam. Semarang : Pustaka Rizki Putra.
Husain, Ibnu. Al-Muwaafaqat.
Marzuki. 2013. Pengantar Studi Hukum Islam. Yogyakarta: Penerbit Ombak.
Ridwan, Fathi. 1969. Min Falsafah at-Tasyri’ Al-Islami. Kairo: Dar al-Kaatib Al-‘Arabi.
Rosyada, Dede. 2002. Ushul Fiqh.  Jakarta: Dirjen Bimbaga Agama Islam dan Universitas Terbuka.
Suyatno. 2016. Dasar-dasar Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Yahya, Mukhtar. 1993. Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islami. Bandung: Al-Ma’arif.


Catatan:
1.      Similarity 5%. Bagus
2.      Seharusnya tiap kaidah pokok diberikan dua atau tiga kaidah turunan dan baru diberikan contoh masing-masing. Itu akan lebih proporsional.









[1]A. Djazuli, Ilmu Fiqh, (Jakarta: Prenada Media Group, 2005), hlm. 16.
[2]M. Hasbi As-Shiddieqy. Falsafah Hukum Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), hlm. 442-443.
[3]Fathi Ridwan, Min Falsafah at-Tasyri’ Al-Islami, (Kairo: Dar al-Katib Al-‘Arabi, 1969), hlm. 171-172.
[4]Marzuki, Pengantar Studi Hukum Islam, (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2013), hlm. 184.
[5]Mukhtar Yahya dan Fathchurrahman, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islami, (Bandung: Al-Ma’arif, 1993), hlm. 485.
[6]A. Djazuli, hlm. 112-113.
[7]Suyatno, Dasar-dasar Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2016), hlm. 227.
[8] Muhammad Syukri Albani Nasution, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: Rajawali Press, 2013), hlm. 120.
[9] Marzuki, hlm. 191.
[10] Suyatno, hlm. 235.
[11] A. Djazuli, hlm. 107.
[12]Marzuki, hlm. 194.
[13]Dede Rosyada, Ushul Fiqh, (Jakarta: Dirjen Binbaga Agama Islam dan Universitas Terbuka, 2002), hlm. 470.
[14]Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2001), hlm. 464.
[15]Ibnu Husin, Al-Muwaafaqat II,hlm. 197.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar