Selasa, 17 April 2018

Haji dan Umrah (PAI ICP Semester Genap 2017/2018)


MAKALAH
HAJI DAN UMRAH
Dibuat untuk Melengkapi Tugas Mata Kuliah Fiqih 1
Dosen Pengampu : BENNY AFWADZI,M.Hum












Disusun oleh:
Mafruhatun Nadifah (16110053)
Gadis Tria Sahputri (16110065)




JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
2017



BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
Islam dibangun atas bebarapa asas atau rukun. Salah satu pondasi dalam islam adalah rukun islam. Rukun islam mengandung lima poin penting di dalamnya. Pertama, syahadat. Bersyahadat wajib dilakukan oleh setiap insan yang beri’tikad menjadi seorang muslim. Kedua, sholat. Setelah bersyahadat, untuk mempertahankan status keislamannya orang tersebut harus mentaati segala aturan yang berlaku dalam islam salah satunya sholat. Karena dengan menunaikan sholat, setidaknya membantu manusia agar dekat dengan Rabbnya.
Rukun islam yang ketiga, Puasa. Puasa bukan sekedar sehari tanpa makan dan minum, namun juga menahan dari segala bentuk kemaksiatan. Keempat, zakat. Zakat sering disebut sebagai sarana pembersihan diri. Karena dalam harta seseorang diyakini terdapat sebagian hak orang yang harus diberikan. Dan rukun islam yang terakhir adalah haji bagi yang mampu. Pada poin kelima inilah yang akan menjadi fokus pembahasan pada makalah ini. Selain haji, pemakalah juga akan memaparkan dan membandingkan antara haji dan umrah.
Pada awal pembahasan, pemakalah akan menguraikan makna haji dan umrah, rukun dan syarat hingga perbedaan yang terkandung di dalamnya. Secara kasat mata, keduanya sama-sama merupakan perjalanan spiritual atau ibadah ke Baitullah, namun melalui nama yang berbeda, pasti keduanya mempunyai perbedaan. Apa saja yang membedakan antara haji dan umrah? Dalam makalah ini pemateri mencoba menjelaskan secara komprehensif mengenai haji dan umrah.


BAB II
PEMBAHASAN
A.  Definisi Perihal Haji dan Umrah
1.    Haji
Secara lughawi haji disandarkan pada mufrodat hajja-yahujju-hajjan, yang bermakna Qoshada, artinya berkunjung. Secara istilahi, dalam syariat islam menyebutkan bahwa haji adalah berniat mengunjungi Ka’bah di kota yang dimuliakan, Makkah Al-Mukarromah guna menunaikan beberapa amalan yang telah tersusun dan diatur sedemikian rupa oleh Allah SWT sebagai bukti penghambaan seorang hamba kepada Sang Pencipta.[1]
Dalam redaksi buku lain juga disebutkan bahwa haji adlah rukun islam kelima yang perintahnya datang dari Allah SWT, bersifat wajib bagi orang-orang islam yang termasuk dalam kategori mampu. Dikatakan wajib bermakna bahwa pelaksanaannya satu kali dalam siklus kehidupannya.[2]
Allah SWT berfirman :
وَلِلَّهِ عَلَى ٱلنَّاسِ حِجُّ ٱلْبَيْتِ مَنِ ٱسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا...
“ ... Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah...” (QS. Ali’Imran:97)[3]
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: العُمْرَةُ إِلَى العُمْرَةِ كَفَّارَةٌ لِمَا بَيْنَهُمَا، وَالحَجُّ المَبْرُورُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلَّا الجَنَّةُ
“Dari Abu Hurairah RA, dia berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda: Satu Umah ke Umrah lainnya merupakan penebus dosa yang ada di antara keduanya. Haji yang mabrur, tidak ada balasan yang pantas baginya selain Surga.”
2.      Umrah
Menurut bahasa, ‘Umrah memiliki makna meramaikan. Lebih tepatnya meramaikan Masjidil haram yang di dalamnya terdapat Ka’bah, tempat suci di Makkah.[4]
Dalam segi syari’at, umrah memiliki arti ziarah ke Baitullah dengan cara yang khusus seperti Thawaf, Sa’i, serta mencukur sebagian rambut kepala atau menggundulnya.[5]
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata bahwa bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata:
 الْعُمْرَةُ إِلَى الْعُمْرَةِ كَفَّارَةٌ لِمَا بَيْنَهُمَا وَالْحَجُّ الْمَبْرُورُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلاَّ الْجَنَّةُ.

“(Antara ibadah) umrah hingga umrah yang berikutnya sebagai penebus dosa yang terjadi di antara keduanya, dan haji yang mabrur tiada balasan baginya kecuali al-jannah.”

Dari Aisyah ra, bahwasanya ia pernah bertanya:  “ Wahai Rasulullah, orang-orang kembali dengan (pahala) dua ibadah, sedangkan aku kembali dengan satu ibadah saja.” Rasulullah pun berkata kepadanya: “ Tunggulah hingga kamu suci, lalu pergilah menuju tan’im, lalu berniatlah umrah di situ, kemudian, datangilah kami di lokasi ini. Namun ganjarannya adalah sesuai dengan biaya dan jerih payahmu.”[6]


B.  Ketentuan Haji dan Umrah
1.      Haji
a.       Kewajiban Berhaji Sekali Seumur Hidup
Haji merupakan ritual keagamaan yang agung, dalam surat Ali Imran (3): 97 disebutkan bahwa berhaji adalah kewajiban bagi kelompok orang-orang yang kuasa melakukannya. Haji juga merupakan bentuk syiar agama yang statusnya fardhu’ain atau diwajibkan sekali saja dalam seumur hidupnya. Sehingga ketika seorang muslim telah menunaikan haji satu kali, maka terbebaslah hukum wajib haji bagi dirinya.[7]
b.      Waktu Pelaksanaan Haji
Bersandar pada turunnya ayat ali imran ayat 189 yang disebabkan banyaknya orang yahudi yang bertanya perihal fenomena bulan sabit, kemudian berdasar pada ayat tersebut, Rasulullah menjawab bahwa bulan sabit merupakan pertanda untuk berpuasa, lebaran hingga berhaji.
وَلِلَّهِ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ ۗ وَاللَّهُ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi, dan Allah Maha Perkasa atas segala sesuatu.” (QS. Ali ‘Imran: 189)
Kemudian dilanjutkan pada ayat setelahnya, ali imran: 197, musim haji terletak pada bulan Syawwal, Dzulqo’dah dan Dzulhijjah. Ketiga bulan yang disebut di atas masyhur disebut dengan istilah miqat zamani atau sebagai batas dilaksanakannya ibadah haji.[8]
مَتَاعٌ قَلِيلٌ ثُمَّ مَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ ۚ وَبِئْسَ الْمِهَادُ      
Itu hanyalah kesenangan sementara, kemudian tempat tinggal mereka ialah Jahannam; dan Jahannam itu adalah tempat yang seburuk-buruknya.” (QS Ali ‘Imran: 197)
c.     Syarat Wajib Melaksanakan Haji
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه أجمعين، أما بعد. قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : (( رفع القلم عن ثلاثة : عن النائم حتى يستيقظ و عن المبتلى حتى يبرأ و عن الصبي حتى يكبر )) 
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Pena diangkat dari 3 orang : orang yang tidur sampai dia bangun, orang yang sakit hingga sembuh, dan anak kecil hingga ia dewasa” HR. Tirmidzi.[9]
وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا ۚ وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ
“...mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.” (QS. Ali Imran: 97)


Seseorang dihukumi wajib atas ibadah haji jika beberapa syarat telah dipenuhi. Syarat-syarat tersebut diantaranya:
1)      Islam, yang dikenakan hukum wajib haji hanyalah seorang muslim
2)      Baligh, berhaji hanya diwajibkan bagi yang masuk dalam kategori dewasa. Jadi anak kecil belum dikenakan hukum wajib haji
3)      Berakal, tidak wajib haji bagi orang yang memiliki gangguan kejiwaan
4)      Mampu, artinya mengerti cara berhaji, dalam keadaan sehat, memiliki bekal yang cukup dan tidak kekurangan nafkah bagi keluarga yang ditinggal haji
5)      Aman dalam perjalanan, sehingga jika sedang berada dalam kondisi sangat gentimg seperti perang, tidak wajib haji bagi orang tersebut.[10]
d.      Rukun Haji
Rukun haji adalah serangkaian kegiatan yang tidak boleh dilewatkan, karena jika seseorang meninggalkan salah satu darinya maka batalah  haji yang ia lakukan.
Rukun-rukun haji antara lain:
1)      Niat haji dengan berihram
Redaksi niat dalam haji disesuaikan dengan jenis haji yang hendak dilakukan.
إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى
Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niat dan setiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan.” (HR. Bukhari no. 1 dan Muslim no. 1907)
2)       Wukuf atau berdiam diri di arafah
الْحَجُّعَرَفَةُ            
Haji adalah wukuf di Arafah.” (HR. An Nasai no. 3016, Tirmidzi no. 889, Ibnu Majah no. 3015.)
3)      Thowaf ifadhoh sebanyak tujuh kali putaran
وَلْيَطَّوَّفُوا بِالْبَيْتِ الْعَتِيقِ
Dan hendaklah mereka melakukan melakukan thawaf sekeliling rumah yang tua itu (Baitullah).” (QS. Al Hajj: 29)
4)      Lari-lari kecil atau sa’i antara bukit shafa dan marwah sebanyak tujuh kali
اسْعَوْا إِنَّ اللَّهَ كَتَبَ عَلَيْكُمُ السَّعْىَ
Lakukanlah sa’i karena Allah mewajibkan kepada kalian untuk melakukannya.” (HR. Ahmad 6: 421. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits tersebut hasan).
5)      Tahallul atau bercukur
6)      Tertib, artinya semua rukun harus dilakukan sesuai dengan urutannya[11]
e.       Wajib Haji
وَإِذْ بَوَّأْنَا لِإِبْرَاهِيمَ مَكَانَ الْبَيْتِ أَنْ لَا تُشْرِكْ بِي شَيْئًا وَطَهِّرْ بَيْتِيَ لِلطَّائِفِينَ وَالْقَائِمِينَ وَالرُّكَّعِ السُّجُودِ
“Dan (ingatlah), ketika Kami memberikan tempat kepada Ibrahim di tempat Baitullah (dengan mengatakan): "Janganlah kamu memperserikatkan sesuatupun dengan Aku dan sucikanlah rumah-Ku ini bagi orang-orang yang thawaf, dan orang-orang yang beribadat dan orang-orang yang ruku' dan sujud.” (QS. Al Hajj:26)
وَأَتِمُّوا الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ لِلَّهِ
“Dan sempurnakanlah haji dan umrah untuk Allah.” (QS. Al Baqarah:196)
وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا ۚ وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ
“Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.” (QS. Ali Imran: 97)[12]
1)      Berihram dari Miqat, miqat maksudnya batas pelaksanaan. Digolongkan dalam dua macam, miqat zamani dan miqat makani.
2)      Menginap atau mabit di Muzdalifah sesudah wukuf di Arafah
3)      Mabit di Mina pada tanggal 11, 12, 13 Dzulhijjah
4)      Melontarkan jumrah ula, wustho dan aqobah di Mina
5)      Thowaf wada’ sebelum pergi meninggalkan Makkah[13]
f.       Sunnah dalam Melaksanakan Ibadah Haji
1)      Menghilangkan semua kotoran pada badan (memotong kuku, rambut ketiak dan kemaluan)
2)      Mandi untuk berihram
3)      Memakai wewangian pada badan
4)      Memakai kain dan selendang putih bagi jamaah haji pria
Dari Ibnu ‘Abbas berkata bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

اِلْبَسُوْا مِنْ ثِيَابِكُمُ الْبَيَاضِّ فَإِنَّهَا مِنْ خَيْرِ ثِيَابِكُمْ وَكَفِّنُوْا فِيْهَا مَوْتَاكُمْ.
“Pakailah pakaianmu yang putih, sesungguhnya pakaian yang putih adalah pakaianmu yang terbaik dan kafankanlah orang-orang yang wafat di antara kalian dengannya.”[14]

5)      Sholat sunah ihrah 2 rakaat sebelum niat berihram
6)      Membaca talbiyah
7)      Memperbanyak talbiyah selama ihram
8)      Membaca doa-doa sebagaimana yang telah Rasulullah anjurkan ketika melakukan serangkaian ibadah dalam haji seperti doa ketika mencium hajar aswad
9)      Memperbanyak tadarus dan dzikir[15]
2.      Umrah
a. Hukum Umrah
Menurut Imam Syafi’i dan Ahmad, umrah merupakan amalan yang wajib minimal satu kali bagi mereka yang mimiliki kewajiban untuk beribadah haji. Seperti pada firman Allah swt;
وَأَتِمُّوا الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ لِلَّهِ
 Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah.” (Al- Baqarah:196). [16]
Menurut imam Hanafi dan Maliki berpendapat bahwa hukum ibadah umrah yaitu sunnah muakkadah, minimal sekali dalam seumur hidup.[17]
b. Waktu Pelaksanaan Umrah
Waktu umrah yatu seluruh hari dalam satu tahun kecuali lima hari yang dimakkruhkan untuk  melaksanakannya, yaitu hari Arafah, hari nahar, dann tiga hari tasyrik. Hari-hari itu ialah hari yang telah ditentukan waktunya untuk melaksankan ibadaah haji.[18]
Umar bin Khathahab Radhiyallahu Anhu sempat melaksanakan ibadah umrah di waktu bulan Syawal lalu tanpa menyembelih hewan qurban ia kembali ke Madinah. Hal ini membuktikan bahwa diperbolehkan melaksanakan ibadah umrah sebelum ibadah haji. Anggapan orang Jahiliyah bahwa umrah yang dilaksanakan pada bulan haji merupakan perbuatan dosa itu adalah salah. [19]

c. Rukun Umrah
1)      Ihram. Ihram yaitu berniat dan megenakan pakaian dua pakaian ihram[20]
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ ۚ وَذَٰلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.” (QS. Al Bayyinah: 05)
2)      Thawaf. Thawaf adalah berjalan megelilingi Baitullah sebanyak tujuh kali putaran.[21]
وَإِذْ بَوَّأْنَا لِإِبْرَاهِيمَ مَكَانَ الْبَيْتِ أَنْ لَا تُشْرِكْ بِي شَيْئًا وَطَهِّرْ بَيْتِيَ لِلطَّائِفِينَ وَالْقَائِمِينَ وَالرُّكَّعِ السُّجُودِ
“Dan (ingatlah), ketika Kami memberikan tempat kepada Ibrahim di tempat Baitullah (dengan mengatakan): "Janganlah kamu memperserikatkan sesuatupun dengan Aku dan sucikanlah rumah-Ku ini bagi orang-orang yang thawaf, dan orang-orang yang beribadat dan orang-orang yang ruku' dan sujud.”(QS Al Hajj : 26)
وَلْيَطَّوَّفُوا بِالْبَيْتِ الْعَتِيقِ
“...dan hendaklah mereka melakukan melakukan thawaf sekeliling rumah yang tua itu (Baitullah).”(QS. Al Hajj: 29)
3)      Sa’i antara Sahfa dan Marwah.
4)      Menggundul atau mencukur sebagian rambut
5)      Tertib[22]


    d. Wajib Umrah
1)      Ihram (Niat Ihram dari Miqot) Berihram dari Miqat, miqat maksudnya batas pelaksanaan. Digolongkan dalam dua macam, miqat zamani dan miqat makani.[23] Menjauhi hal-hal yang dilarang dalam ihram. Seperti memakai pakaian yang berjahit,berbuat kemunkaran dan kemaksiatan, berjima’ dan faktor pendorong lain, berdebat dan bersengketa dengan orang lain, memotong rambut dan kuku, melakukan akad nikah, memakai parfum. [24]
2)      Melaksanakan Tawaf Wada. Tawaf perpisahan sebelum pulang ke tanah air.
e. Sunnah Umrah
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ أَبِي بَكْرٍ الْمُقَدَّمِيُّ حَدَّثَنَا فُضَيْلُ بْنُ سُلَيْمَانَ قَالَ حَدَّثَنِي مُوسَى بْنُ عُقْبَةَ قَالَ أَخْبَرَنِي كُرَيْبٌ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ انْطَلَقَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ الْمَدِينَةِ بَعْدَ مَا تَرَجَّلَ وَادَّهَنَ وَلَبِسَ إِزَارَهُ وَرِدَاءَهُ هُوَ وَأَصْحَابُهُ فَلَمْ يَنْهَ عَنْ شَيْءٍ مِنْ الْأَرْدِيَةِ وَالْأُزُرِ تُلْبَسُ إِلَّا الْمُزَعْفَرَةَ الَّتِي تَرْدَعُ عَلَى الْجِلْدِ فَأَصْبَحَ بِذِي الْحُلَيْفَةِ رَكِبَ رَاحِلَتَهُ حَتَّى اسْتَوَى عَلَى الْبَيْدَاءِ أَهَلَّ هُوَ وَأَصْحَابُهُ وَقَلَّدَ بَدَنَتَهُ وَذَلِكَ لِخَمْسٍ بَقِينَ مِنْ ذِي الْقَعْدَةِ فَقَدِمَ مَكَّةَ لِأَرْبَعِ لَيَالٍ خَلَوْنَ مِنْ ذِي الْحَجَّةِ فَطَافَ بِالْبَيْتِ وَسَعَى بَيْنَ الصَّفَا وَالْمَرْوَةِ وَلَمْ يَحِلَّ مِنْ أَجْلِ بُدْنِهِ لِأَنَّهُ قَلَّدَهَا ثُمَّ نَزَلَ بِأَعْلَى مَكَّةَ عِنْدَ الْحَجُونِ وَهُوَ مُهِلٌّ بِالْحَجِّ وَلَمْ يَقْرَبْ الْكَعْبَةَ بَعْدَ طَوَافِهِ بِهَا حَتَّى رَجَعَ مِنْ عَرَفَةَ وَأَمَرَ أَصْحَابَهُ أَنْ يَطَّوَّفُوا بِالْبَيْتِ وَبَيْنَ الصَّفَا وَالْمَرْوَةِ ثُمَّ يُقَصِّرُوا مِنْ رُءُوسِهِمْ ثُمَّ يَحِلُّوا وَذَلِكَ لِمَنْ لَمْ يَكُنْ مَعَهُ بَدَنَةٌ قَلَّدَهَا وَمَنْ كَانَتْ مَعَهُ امْرَأَتُهُ فَهِيَ لَهُ حَلَالٌ وَالطِّيبُ وَالثِّيَابُ

kan kepada kami [Muhammad bin Abu Bakar Al Muqaddamiy] telah menceritakan kepada kami [Fudhail bin Sulaiman] berkata, telah menceritakan kepada saya [Musa bin 'Uqbah] berkata, telah mengabarkan kepada saya [Kuraib] dari ['Abdullah bin 'Abbas RAa] berkata: "Nabi shallallahu 'alaihi wasallam berangkat dari Madinah setelah Beliau menyisir rambutnya dan memolesnya dengan minyak zaitun. Dan Beliau mengenakan baju dan rida'nya, begitu juga para sahabat Beliau. Beliau tidak melarang apapun mengenai rida' (selendang panjang) dan baju untuk dipakai kecuali minyak wangi (za'faran) yang masih tersisa pada kulit badan. Ketika paginya berada di Dzul Hulaifah, Beliau berangkat dengan mengendarai tunggangannya hingga sampai di padang sahara saat siang hari. Maka disitulah Beliau memulai ihram dengan bertalbiyyah begitu juga para sahabatnya. Lalu Beliau menandai hewan qurbannya. Ini terjadi pada lima hari terakhir dari bulan Dzul Qa'dah. Lalu Beliau sampai di Makkah pada malam keempat dari bulan Dzul Hijjah lalu Beliau melaksanakan thowaf di Baitulloh, lalu sa'i antara bukit Shafaa dan Marwah dan Beliau belum lagi bertahallul karena Beliau membawa hewan qurban yang telah ditandainya. Kemudian Beliau singgah di tempat yang tinggi di kota Makkah di Al Hajjun, yang dari tempat itu Beliau berniat memulai hajji. Beliau tidak mendekati Ka'bah setelah melaksanakan thowafnya disana hingga Beliau kembali dari 'Arafah lalu Beliau memerintahkan para sahabatnya agar melaksanakan thowaf di Baitulloh dan sa'iy antara bukit Shafaa dan Marwah kemudian memerintahkan pula agar mereka memotong rambut mereka lalu bertahallul. Ketentuan ini berlaku bagi mereka yang tidak membawa hewan sembelihan (qurban). Maka barangsiapa yang ada isterinya bersamanya, isterinya itu halal baginya begitu juga memakai wewangian dan pakaian (baju).[25]
1)      Mandi sebelum berihram
2)      Mengenakan pakaian ihram
3)      Memakaian parfum badan dan minyak rambut
4)      Niat
5)      Berdoa ketika masuk kota Makkah dan Masjidil Haram [26]
C.  Pengkasifikasian atau Macam-macam Haji
1. Haji Tamattu’
Haji Tamattu’ adalah melaksanakan Ibadah Umrah di bulan Haji. Lalu melaksanakan Ibadah Haji di tahun yang bersamaan. Dengan kata lain melakukan dua manasik pada bulan haji dalam satu waktu. Haji tamattu’ dilakukan oleh orang-orang yang bukan berasal dari Makkah.[27]

2. Haji Qiran
Haji Qiran adalah melaksanakan amalan ihram secara bersamaan untuk haji dan umrah di miqat.[28]
3. Haji Ifrad
Haji Ifrad adalah melaksanakan ihram dari miqat ketika hendak melaksanakan haji saja. Mereka para peserta haji tetap dalam ihramnya hingga aktivitas haji selesai.[29]
D.  Tata Cara Pelaksanaan Ibadah Haji dan Umrah
1.      Haji
Sebelum masuk daerah makkah, hal pertama yang dilakukan ialah ihram atau niat memasuki ibadah haji. Terhitung sejak tanggal 1 Syawal hingga 10 Dzulhijjah dan untuk tempatnya disesuaikan dengan negara masing-masing. Ihram dikatakan sempurna jika terpenuhinya dua hal, niat dan diiringi dengan talbiyah.
Sesampainya di Makkah, jamaah haji disunnahkan untuk mandi, jika sudah tiba waktu siang, disunnahkan masuk lewat babul Ma’la sambil bertalbiyah hingga babussalam.
Kemudian memulai thawaf dengan posisi ka’bah berada di sisi kiri (berlawanan dengan arah jarum jam)., setiap kali melewati hajar aswad, hendaknya mengusap atau mencium hajar aswad. Kemudian menutup thowaf dengan mencium hajar aswad dan shalat dua rakaat di maqam ibrahim atau di tempat yang mudah.
Setelah itu, melakukan sa’i antara shafa dan marwah. Syarat sa’i yaitu dengan berniat sai’i di atas bukit shofa setelah selesai rukun thawaf sambil menghadap kiblat. Kemudian menetap di Makkah dalam keadaan pola ihram yang diambil, qiran, tamattu’ atau ifrad.
Pada tanggal 8 Dzulhijjah, jamaah yang mengambil pola tamattu’ harus berihram untuk haji dari dalam makkah sedang untuk pola yang lain persiapan menuju mina. Setelah itu pergi ke padang arafah untuk melaksanakan wuquf. Wukuf dilaksanakan didekat jabal rahmah dengan menghadap ka’bah menggemakan takbir dan tahlil serta berdoalah dengan khusyuk.
Ketika matahari mulai terbenam, jamaah berjalan menuju muzdalifah. Mabit di muzdalifah, dikatakan sunnah oleh kalangan hanafi dan kalangan madzhab lain. Selama di masy’arilharam, dianjurkan memperbanyak dzikir dan mengumpulkan tujuh kerikil. Kemudian dilanjutkan dengan mabit di Mina dan melempar jumrah. Dilanjutkan dengan penyembelihan hewan kurban dan mencukur rambut. Setelah melakukan keduanya, jamaah terbebas dari ihram. Segala sesuatu yang haram dibolehkan kecuali wanita.
Kemudian pergi ke makkah pada awal hari nahar atau hari raya (bisa juga di esok hari atau lusa). Dilanjutkan dengan thawaf ifadhah. Hari paling afdhal untuk melakukannya adalah pada tanggal 10 Dzulhijjah, esok hari atau lusanya. Jika di luar dari tiga hari di atas maka wajib membayar dam. Selesai thowaf, bergegaslah ke mina untuk mabit disana.
Saat waktu dzuhur tanggal 11 Dzulhijjah, lontarkanlah tiga jamrah. Seusai lempar jamrah, kembalilah ke makkah sebelum tiba waktu maghrib. Singgahlah di Al-Mahshab kemudian masuk makkah dan melakukan thawaf wada’.
Setelahnya, sholatlah dua rakaat dan pergi ke air zam-zam, minumlah sembari menghadap ka’bah. Lalu jika hendak kembali ke kampung halaman, berjalanlah sambil menghadap ka’bah disertai dengan air mata kesedihan karena hendak meninggalkan masjidil haram.[30]


2.      Umrah
Ketika akan memasuki Makkah, dan telah mendekati miqat, hal pertama yang dilakukan adalah berniat, kemudian sunnah untuk memotong kuku, mandi dan berwudlu, mencabut rambt kemaluan dan ketiak, serta mengenakan ihram.
Ketika telah sampai di miqat, selanjutnya adalah melaksanakan sholat sunnah dengan niat menunaikan umrah sebanyak dua raka’at. Saat melaksanakan ihram disyari’atkan untuk mrngucapkan kalimat talbiyah, serta berdoa untuk diri sendiri, orang tua dan orang lain.
Saat talah memasukki kota Makah maka disunnahkan untuk mandi serta tidak diperkenankan untuk memakai wewangian atau memotong rambut
Bila telah sampai ke masjidil Haram, membaca doa masuk masjid, meperhatikan etika dengan baik, senantiasa khusyu dan tawadhu’, serta selalu membaca talbiyah. Kemudian langsung menuju hajar aswad, menyentuh dengan tertib, jika tidak mampu maka cukup dengan mengisyaratkan tangan ke arah hajar aswad.
Selanjutnya adalah melaksanakan thawaf dengan posisi Baitullah berada di samping kiri dengan membaca doa dan dzikir kepada Allah serta bersholawat kepada Rasul hingga mendekati Rukun Yamani lalu menyentuhnya dan mengakhiri Thawaf. Kemudian berangkat menuju  sumber air zamzam dan meminumnya dengan menghadap ke Baitullah.
Kemudian melakukan sa’i di bukit shafa shafa dan marwa. Sa’i adalah amalan yang wajib bagi orang-orang yang melaksanakan umrah, bila tidak melaksanakan sa’i maka harus membayar dam. Setelah proses sa’i selesai maka berakhirlah proses umrah. Diakhiri dengan mencukur atau memotong rambut, dan diperbolehkan untuk melakukan segala larangan yang sebelumnya telah diharamkan saat ber-ihram.[31]
BAB III
PENUTUP
A.  Kesimpulan
Haji dan umrah merupakan ibadah wajib yang termaktub dalam rukun islam bagi kalangan orang yang berstatus mampu. Keduanya merupakan ibadah yang sama-sama dilakukan dengan cara mengujungi Baitullah. Akan tetapi berbeda dalam segi rukun, kesunnahan dan lain sebagainya.
Perbedaan-perbedaan yang berbeda salah satunya disebabkan oleh durasi atau lama perjalanan antara haji dan umrah berbeda, itulah yang membuat jumlah rukun maupun kesunnahan dalam haji lebih banyak dibandingkan dengan ibadah umrah.
Contohnya, jika dalam haji terdapat rukun wukuf, dalam umrah tidak ada. Kemudian haji mempunyai beberapa macam, sedang umroh tidak. Intinya, yang terpenting dalam melakukan ibadah ialah bukan sekedar melakukannya sesuai syariat, namun memahami esensi dari ibadah tersebut. Sehingga ibadah yang dilakukan menimbulkan efek bagi yang melakukan.


DAFTAR PUSTAKA
Al-Qaradhawi, Yusuf. 2007. Menjawab Masalah Haji Umrah dan Qurban. Jakarta Selatan: Embun Publishing.
Al-‘Awaisyah, Husain bin ‘Audah. 2009. Ensiklopedi Fiqih Praktis menurut al-Qur’an dan as-Sunnah. Jakarta: Pustaka Imam Asy-Syafi’i.
Ayyub, Hasan Muhammad. 2005. Panduan Beribadah Khusus Pria,Jakarta Timur: Penerbit Almahira.
Azzam, Abdul Aziz Muhammad, Abdul Wahhab Sayyed Hawwas. 2015. Fiqih Ibadah. Jakarta: Bumi Aksara.
Dimjati, Djamaluddin. 2011. Panduan Haji dan Umroh Lengkap. Solo: Era Adicitra Intermedia.
Madjid, Nurcholish. 2008. Umrah & Haji Perjalanan Religius. Jakarta Timur: PT. DIAN RAKYAT.
Mughinyah, Jawad. 2009. Fiqih Imam Ja’far Shadiq 1. Jakarta: Penerbit Lentera.
Taufiqurrochman, 2011. Manasik Haji dan Ziarah Spiritual. Malang: UIN-MALIKI Press.
‘Uwaidah, Kamil Muhammad. 2007. Fiqih Wanita. Jakarta Timur: PUSTAKA AL-KAUTSAR.
Yahya, Muhammad Taufiq Ali, 2007. Mekkah dalam Al-Qur’an, Hadits dan Sejarah. Jakarta: Lentera.

Catatan:
1.      Similarity 9%.
2.      Penulisan footnote perlu diperbaiki, judul buku miring.
3.      Penulisan gelar (Prof. Dr. Ustadz dll) dalam tulisan ilmiah dihilangkan, dalam footnote sekalipun.


[1] Djamaludin Dimjati, Panduan Ibadah Haji dan Umroh Lengkap, (Solo: Era Adicitra Intermedia, 2011) halaman 3
[2] Taufiqurrochman, Manasik Haji dan Ziarah Spiritual, (Malang: UIN-MALIKI PRESS, 2011) halaman 1
[3] Husain Bin ‘Audah al-‘Awasiyah, Ensiklopedi Fiqih Praktis, (Jakarta: Pustaka Imam Asy Syafi’i, 2009)halaman 561
[4] Nurcholish Madjid, Umrah & haji Perjalanan Religius, (Jakarta Timur: PT. DIAN RAKYAT, 2008)halaman 3
[5] Hasan Muhammad Ayyub, Panduan Beribadah Khusus Pria, (Jakarta Timur: Almahira, 2005)halaman 631
[6] Husain Bin ‘Audah al-‘Awasiyah, Ensiklopedi Fiqih Praktis, (Jakarta: Pustaka Imam Asy Syafi’i, 2009)halaman 562
[7] Dr. Yusuf al-Qaradhawi, Menjawab Masalah Haji Umrah dan Qurban, (Jakarta Selatan: Embun Publishing, 2007) halaman 21-23
[8] Muhammad Taufiq Ali Yahya, Mekkah dalam Al-Qur’an, Hadits dan Sejarah, (Jakarta: Lentera, 2007) halaman 419-421
[9]Husain Bin ‘Audah al-‘Awasiyah, Ensiklopedi Fiqih Praktis, (Jakarta: Pustaka Imam Asy Syafi’i, 2009)halaman 566
[10] Djamaludin Dimjati, Panduan Ibadah Haji dan Umroh Lengkap, (Solo: Era Adicitra Intermedia, 2011) halaman 20-21.
[11] Ibid. halaman 21.
[12] Muhammad jawad Mughniyah, Fiqih Imam Ja/far Shadiq, (Jakarta: PENERBIT LENTERA, 2009)halaman489-490.
[13] Ibid. halaman 22.
[14] Sudah di takhrij sebelumnya
[15] Taufiqurrochman, Manasik Haji dan Ziarah Spiritual, (Malang: UIN-MALIKI PRESS, 2011) halaman 47
[16] Kamil Muhammad ‘Uwaidah.,Fiqih Wanita,(Jakarta: PUSTAKA AL-KAUTSAR, 2007)halaman 364
[17] Hasan Muhammad Ayyub, Panduan Beribadah Khusus Pria, (Jakarta Timur: Almahira. 2007)halaman 636
[18] Ibid halaman 365
[19] Kamil Muhammad ‘Uwaidah.,Fiqih Wanita,(Jakarta: PUSTAKA AL-KAUTSAR, 2007)halaman 364
[20] Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Imam Ja’far Shadiq, (Jakarta: Penerbit Lentera, 2009)halaman 535
[21] Kamil Muhammad ‘Uwaidah.,Fiqih Wanita,(Jakarta: PUSTAKA AL-KAUTSAR, 2007)halaman 369
[22] Hasan Muhammad Ayyub, Panduan Beribadah Khusus Pria, (Jakarta Timur: Almahira. 2007)halaman 775
[23] Djamaludin Dimjati, Panduan Ibadah Haji dan Umroh Lengkap, (Solo: Era Adicitra Intermedia, 2011) halaman 20-21.
[24] Kamil Muhammad ‘Uwaidah.,Fiqih Wanita,(Jakarta: PUSTAKA AL-KAUTSAR, 2007)halaman 643-658
[25] Kitab hadist Shahih Bukhori nomor 1444
[26] Ibid halaman 643-645
[27]Ibid halaman 320
[28] Ibid halaman 320
[29] Husain bin ‘Audah al-A’waisyah, Ensiklopedi Fiqh Praktis Menurut al Qur’an dan as Sunnah,(Jakarta: Pustaka Imam Syafi’i, 2009), halaman 604
[30] Abdul Azziz M. A., Abdul Wahhab S.H. Fiqih Ibadah, terj. (Jakarta: Bumi Aksara, 2015) halaman 581-592
[31] Kamil Muhammad ‘Uwaidah., Fiqih Wanita, (Jakarta: PUSTAKA AL-KAUTSAR, 2007)halaman 372-374

Tidak ada komentar:

Posting Komentar