Selasa, 17 April 2018

MANTHUQ, MAFHUM, MUJMAL, MUBAYYAN (PAI B Semester Genap 2017/2018)



MANTHUQ, MAFHUM, MUJMAL, MUBAYYAN
Aniza Dewi Fatmala, M. Zuhrin Nada Mahendra, Lina Alfiatur Rochmania
Mahasiswa PAI B Angkatan 2015
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang

ABSTRACT
Language ia an essentials means of communication in humans everyday life. They are required understanding of each other through good communication both directly or indirectly. Then, servants communicate to Alloh the Almighty through Kalamullah. However, to understand the meaning and the purpose of it is not as easy as understand the conversation between fellow human. Moreover, it is needed deep and specific comprehension of language terms to comprehend it to avoid any misunderstanding of the points. Because many of the verses of the holy Qur'an are obscure and cryptic in meaning. In this case called as Mujmal and Mubayyan verses. And also found verse when it is reviewed its appointment (Dalalah) in a law could be conceived directly which ia called as Mantuq verse. In contrast, there also found verse that could not be conceived directly (implied) and there should be explained  before and it is known as Mafhum verse.
Keywords : Manthuq, Mafhum, Mujmal, Mubayyan
ABSTRAK
Bahasa merupakan sebuah alat penting yang digunakandalam kehidupan sehari-hari. Dalam berkomunikasi dengan siapapun, diperlukan bahasa untuk saling mengerti. Termasuk komunikasi antara sesama manusia maupun antara Allah SWT, melalui kalamullah dengan para hamba-Nya. Namun dalammemahami arti, makna dan maksud dari kalamullah tidak semudah memahamipercakapan dengan sesama manusia. Sehingga dalam segibahasa yang terdapat dalam kalamullah perlu dipahami secara mendalam dan spesifik agar tidak salah dalam memahami maksudnya. Karena masih banyak sekali yang belum jelas dan samar maknanya. Dalam hal ini ada ayat yang belum jelas maknanya yaitu ayat mujmaldan mubayyan. terdapat ayat dimana jika ditinjau darisegi penunjukkannya (dalalah) akan suatu hukum baik dapat dipahami secara langsung atau disebut sebagai ayat manthuq. Sebaliknya, ada juga yang tidak dipahami secara tidak langsung (tersirat) dan harus ada penunjuknya terlebih dahulu bisa disebut sebagai ayat mafhum.
Kata kunci :Manthuq, Mafhum, Mujmal, Mubayyan

A.    PENDAHULUAN
Dalam kehidupan sehari-hari, Al-Qur’an dan Hadits merupakan pedoman bagi seluruh umat islam dan hal ini tidak bisa dipisahkan dari hukum islam atau fiqh Islam. Segala sesuatu yang dilakukan umat muslim haruslah sesuai dengan apa yang telah disyariatkan di dalam Al-Qur’an dan Hadits, namun untuk memahami maksud yang terkandung di dalamnya tidaklah mudah. Ada beberapa makna yang masih samar dan membutuhkan penjelasan lebih. Untuk bisa memahami maksud-maksud yang terkandung di dalamnya, kita bisa menggunakan salah satu ilmu metodologi yaitu ilmu ushul fiqh. Dalam ilmu ushul fiqh ada beberapa bab yang menjelaskan secara jelas tentang makna yang masih belum jelas didalam Al-Qur’an.
Beberapa bab yang ada di dalam ushul fiqh diantaranya yaitu Manthuq, Mafhum, Mujmal, dan Mubayyan. Untuk mendapatkan pemahaman yang jelas, maka sangat penting kita mempelajarinya dan untuk mempelajarinya kita membutuhkan ketelitian dan wawasan yang luas agar lebih cepat memahaminya. Kita mampu menjelaskan dan mengklarifikasi perkataan mana saja yang di dalam Al-Qur’an yang sekiranya masih memerlukan penjelasan yang lebih dan jelas. Karena awalnya masih bersifat umum yang nantinya dapat diuraikan secara jelas dengan cara mempelajari Manthuq, Mafhum, Mujmal, dan Mubayyan.
Maka dari itu kita perlu mempelajari hal ini agar nantinya kita mampu mengetahui dan paham akan makna serta hukum yang terdapat di dalam berbagai ayat Al-Qur’an. Dalam makalah ini, kami akan membahas mengenai perbedaan jenis-jenis lafadz yang terdiri dari Manthuq, Mafhum, Mujmal, dan Mubayyan dalam makalah ini.

B.     AL-MANTHUQ (المنطوق)
1.      PENGERTIAN MANTHUQ
Para Ushulliyin (ahli ushul fiqh) mendefinisikan manthuq dengan definisi sebagai berikut :
دلالة اللفظ فى محل النطق على حكم المذكور
Penunjukan lafadz menurut apa yang diucapkan atas hukum apa yang disebut dalam lafadz tersebut”
Dari definisi tersebut memiliki arti bahwasanya jika memahami suatu hukum menurut segala sesuatu yang tersurat secara gamblang dan jelas pada lafadz tersebut, pemahaman tersebut dinamakan pemahaman secara “manthuq”.[1]Dengan kata lain, mantuq merupakan pengertian secara harfiah dari suatu lafadz yang terucapkan.[2]
Sehingga dalam memahami hukum apa yang berkaitan dengan pengertian dari sebuah lafadz tersebut sudah dapat dipahami dengan jelas apa adanya dan tidak diperlukan perantara lagi untuk memahaminya itulah yang dinamakan dengan manthuq.[3]
Sebagai contoh, firman Allah SWT yang terdapat dalam QS. An-Nisa’ 4:23 :
وَرَبَٰٓئِبُكُمُ ٱلَّٰتِي فِي حُجُورِكُم مِّن نِّسَآئِكُمُ ٱلَّٰتِي دَخَلۡتُم بِهِنَّ فَإِن لَّمۡ تَكُونُواْ دَخَلۡتُم بِهِنَّ٢٣ 
23. … (jangan kamu mengawini) anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri
Dari ayat tersebut, terdapat sebuah penjelasan secara apa adanya bahwasanya : haram untuk mengawini seorang anak tiri dengan dua alasan ketentuan, yaitu karena anak tiri tersebut berada dalam asuhan suami dan ibu dari anak tiri tersebut sudah pernah digaulinya.[4]
2.      KLASIFIKASI MANTHUQ
Klasifikasi manthuq dapat dilihat dari segi lafadz dan segi dalalah-nya.[5]
a.       Berdasarkan lafadznya, manthuq dibedakan lagi menjadi empat bagian, yaitu : dzahir, nash, mufassar, muhkam.
1.      Dzahir
Dzahir menurut bahasa berarti jelas, terang, tampak. Sedangkan menurut istilah yaitu “suatu lafadz yang menunjuk kepada makna yang diinginkan oleh sighat lafadz itu sendiri, namun bukan sebuah makna tersebut yang dimaksudkan oleh siyaqul kalam dan lafadz itu sendiri masih bisa dita’wilkan, ditafsirkan, dan bisa juga dinaskhkan saat zaman Rosulullah.”
Dzahir juga bisa diartikan sebagai berikut :
الظاهر هو المتردد بين أمرين وهو في أحدهما أظهر
“Dhahir yaitu lafadz yang artinya berada diantara dua arti, namun salah satu diantaranya tersebut lebih jelas / lebih dzahir.”[6]
Dari definisi-definisi diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa dzahir adalah dalil yang mana memungkin atau bahkan membutuhkan takwil agar tidak terjadi kesalahpahaman, sehingga artinya dari dapat lebih sesuai dan lebih serasi.Sebagai contoh teradapat dalam QS. An-Nisa’: 3
وَإِنۡ خِفۡتُمۡ أَلَّا تُقۡسِطُواْ فِي ٱلۡيَتَٰمَىٰ فَٱنكِحُواْ مَا طَابَ لَكُم مِّنَ ٱلنِّسَآءِ مَثۡنَىٰ وَثُلَٰثَ وَرُبَٰعَۖ٣
Makna dzahir dari ayat tersebut yaitu dihalalkannya menikahi wanita-wanita yang disukai, namun menurut siyaqul kalam yaitu boleh menikahi wanita sampai empat.
a.       Hukum dari lafadz dzahir
Menurut definisi dzahir dan contohnya, dapat kita pahamai bahwa segala ketentuan lafadz-lafadz yang diambil dari dalil yang dzahir harus diartikan sesuai dengan arti lafadz dzahirnya dalil tersebut. Kecuali apabila ada pendapat atau argumentasi yang diambil dari dalil lain dan sangat kuat untuk dijadikan dasar takwil pada arti yang lain.
Sehingga lafadz dzahir yang umum harus diartikan tetap dan sesuai pada umumnya, sedangkan lafadz dzahir yang mutlak juga tetap diartikan sesuai pada mutlaknya. Oleh karena itu apabila ada lafadz ataupun dalil dzahir ditakwilkan pada arti lain maka disebut dengan lafadz mu’awwal.
b.      Macam-macam lafadz dzahir[7]
·         Lafadz dzahir yang memiliki arti hakiki.
Lafadz ini berlaku pada kehakikiannya, selama tidak ditemukan qorinah yang mengubah artinya menjadi arti majazi. Sebagai contoh terdapat QS. Adz-dzariyat : 47 dan Al Fath : 10
 وَٱلسَّمَآءَ بَنَيۡنَٰهَا بِأَيۡيْدٖ وَإِنَّا لَمُوسِعُونَ ٤٧ 
47. Dan langit itu Kami bangun dengan kekuasaan (Kami) dan sesungguhnya Kami benar-benar berkuasa
Dari dua ayat tersebut, terdapat lafadz yang berbuyi  أَيْدٍyang punya pengertian berbeda, ada dua macam arti. Pertama yaitu “tangan” dan kedua yaitu “kekuasaan”. Namun dari lafadz tersebut, arti secara dzahirnya yaitu “tangan”. Sehingga arti dzahir dari lafadz  أَيْدٍyaitu “tangan”, walaupun juga bisa diartikan “kekuasaan”  yang berarti majaz atau kiasan dari kata “tangan” tersebut. Karena untuk menentukan arti lafadz  أَيْدٍmenjadi “kekuasaan” masih membutuhkan beberapa pendapat dan argumentasi yang sesuai serta kuat. Apabila tetap tidak dapat menunjukkan argumentasi dari lafadz  أَيْدٍdiartikan sebagai “kekuasaan”, maka lafadz itu harus tetap diartikan secara dzahirnyayaitu “tangan”.[8]
·         Lafadz dzahir mutlak.
Lafadz dzahir yang mutlak ini pemberlakuannya didasarkan pada kemutlakan lafadz itu sendiri selama tidak ditemukan dalili yang mengqayyidkannya. Jika lafadz mutlak tersebut telah diqayyid, maka yang berlaku yaitu qayyidnya. Sebagai contoh terdapat QS. An-Nisa’: 24
...وَأُحِلَّ لَكُم مَّا وَرَآءَ ذَٰلِكُمۡ ... ٢٤
24. .... Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian
Dari ayat tersebut bisa kita pahami bahwa halal menikahi wanita-wanita selain yang telah disebutkan pada ayat sebelumnya, namun dihalalkannya menikahi wanita-wanita tersebut dibatasi oleh QS An-Nisa’ : 3, yaitu tidak diperbolehkannya menikah lebih dari empat orang.
·         Lafadz dzahir umum.
Pemberlakuan dzahir umum ini didasarkan pada keumumannya selama tidak ditemukan dalil-dalil yang mentakhshishkannya, jika lafadz umum tesebut telah ditakhshish, maka yang berlaku yaitu mukhashishnya. Sebagai contoh terdapat pada QS. Al-Baqoroh : 275
... وَأَحَلَّ ٱللَّهُ ٱلۡبَيۡعَ وَحَرَّمَ ٱلرِّبَوٰاْۚ ... ٢٧٥
275. … padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba….
Dari ayat tersebut ditemukan bahwa makna dzahir pada ayat tersebut mencangkup segala hal tentang jual beli, lalu ditakshish dengan sabda Nabi Muhammad SAW yang artinya: “Rosulullah SAW melarang jual beli yang belum tentu dapat dimiliki oleh pembeli” (HR. Muslim)
2.      Nash[9]
Nash yaitu lafadz yang merujuk pada makna yang diinginkan makna itu tersebut maupun makna yang diinginkan siyaqul kalam dan masih bisa dita’wilkan dan ditafsirkan serta masih bisa dinasakh pada masa Nabi Muhammad SAW.
...مِنۢ بَعۡدِ وَصِيَّةٖ يُوصَىٰ بِهَآ أَوۡ دَيۡنٍ ... ١٢
12. …sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. …. (An Nisa 4 : 12)
Dari ayat itu, kita dapat mengambil sebuah pemahaman dari nashnya, bahwa mendahulukan wasiat serta membayarkan hutang daripada membagikan berbagai hartanya kepada para ahli waris. Arti tersebutlah yang juga diinginkan oleh siyaqul kalam.
a.       Hukum lafadz nash
Pengamalan lafadz nashharus sesuai dengan arti siyaqul kalam selam tidak ditemukan dalil yang mentakwil dan menafsrikan serta menasakhnya.
b.      Macam-macam lafadz nash
1.      Nash Mutlak
Lafadz nash yang mutlak berlaku pada kemutlakannya selama tidak ditemukan dalil yang bisa menqayyidkannya. Seperti contoh yang terdapat di QS. An-Nisa 4:12
...مِنۢ بَعۡدِ وَصِيَّةٖ يُوصَىٰ بِهَآ أَوۡ دَيۡنٍ ... ١٢
12. …sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. …. (An Nisa 4 : 12)
Ayat itu merupakan ayat nash yang mutlak menerima takhsish dari Nabi Muhammad SAW sebagai mana diriwayatkan oleh Imam Nasa’i yang artinya berbunyi: “Sepertiga itu banyak dan besar, karena jika kamu meninggalkan ahli waris dalam keadaan yang berkecukupan adalah lebih baik daripada kamu meninggalkan mereka dalam keadaan miskin dan meminta-minta kepada orang banyak”. Sehingga wasiat tersebut tidak boleh melebihi dari sepertiga harta.
2.      Nash Umum
Lafadz nash yang umum berlaku pada keumumannya selama tidak ditemukan dalil yang bisa mentakhsishkannya. Sebagaimana terdapat dalam QS. Al-Baqarah 2:228
وَٱلۡمُطَلَّقَٰتُ يَتَرَبَّصۡنَ بِأَنفُسِهِنَّ ثَلَٰثَةَ قُرُوٓءٖۚ ... ٢٢٨
228. Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru´.
Pengertian dari nash umum yang ada pada ayat tersebut ialah seluru wanita (istri), yang telah berhubungan intim maupun yang belum, baik yang sedang hamil maupun tidak, lebih baik untuk menunggu tiga kali suci/haidnya. Keumuman dari ayat tersebut ditakhshish oleh QS Al-Ahzab : 49
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِذَا نَكَحۡتُمُ ٱلۡمُؤۡمِنَٰتِ ثُمَّ طَلَّقۡتُمُوهُنَّ مِن قَبۡلِ أَن تَمَسُّوهُنَّ فَمَا لَكُمۡ عَلَيۡهِنَّ مِنۡ عِدَّةٖ تَعۡتَدُّونَهَاۖ ٤٩
49. Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya maka sekali-sekali tidak wajib atas mereka ´iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya
Wanita yang telah diceraikan suaminya sebelum dia dicampuri, maka mereka tidak memiliki masa iddah. Lafadz nash, yang mutlak maupun umum, tetap diartikan sesuai makna hakikinya hingga ditemukan dalil yang menginginkan makna majazinya. Sebagai contoh hadits yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim yang artinya : “Jangalah kamu dengan dua takar”
Makna hakiki dari lafadz “Sha” yaitu tempat ataupun alat yang digunakan untuk menakar, namun yang diinginkan hadits tersebut ialah makna majazi, yaitu makanan yang dijualbelikan dengan menggunakan alat takar tersebut.
3.      Mufassar[10]
Mufassar ialah “lafadz yang merujuk pada makna yang diinginkan sighat lafadz tersebut atupun siyaqul kalam, namun ia tidak bisa ditafsirkan serta ditakwilkan selain dengan syara’ itu sendiri dan bisa menerima nasakh saat masa Nabi Muhammad SAW. Sebagaimana contoh yang terdapat pada QS. At-Taubah :36 yang berbunyi
وَقَٰتِلُواْ ٱلۡمُشۡرِكِينَ كَآفَّةٗ كَمَا يُقَٰتِلُونَكُمۡ كَآفَّةٗۚ ٣٦
36. dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya
Lafadz “kaffah” yang terdapat dalam ayat tersebut merupakan mufassar, tidak bisa ditafsirkan ataupun ditakwilkan dengan yang lainnya.
a.       Hukum lafadz mufassar
Pengamalan lafadz mufassar harus sesuai dengan petunjuk (dalalah) dari lafadz itu sendiri ataupun oleh syara’ selama tidak ditemukan dalil shohih yang bisa menasakhnya.
b.      Macam-macam lafadz mufassar
1.      Mufassar tafsili
Mufassar tafsili atau yang bisa disebut dengan mufassar lidzatihi yaitu mufassar yang lafadznya sudah terperinci dan tidak menginginkan dalil lain agar bisa menjelaskannya. Sebagaimana contoh yang terdapat pada QS. An-Nur : 4
فَٱجۡلِدُوهُمۡ ثَمَٰنِينَ جَلۡدَةٗ ٤
4. maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera,
Lafadz “tsamanina” (berarti delapan puluh) yang terdapat dala ayat tersebut sudah bisa dipahami dengan lafadz itu sendiri, sehingga tidak membutuhkan lafadz lain yang bisa menjelaskannya. Serta pengertiannya tidak bisa ditakwilkan serta ditafsirkan.
2.      Mufassar ijmali
Mufassar yang lafadznya belum terperinci penjelasannya serta masih membutuhkan lafadz lain agar bisa menjelaskan dan memperincinya. Sebagaimana contoh yang terdapat QS. An-Nisa 4:77
وَأَقِيمُواْ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتُواْ ٱلزَّكَوٰةَ ٧٧
77. dirikanlah sembahyang dan tunaikanlah zakat!
Yang diinginkan dari ayat tersebut ialah menunaikan shalat serta membayar zakat, namun tidak disebutkan bagaimana caranya, sifatnya, waktu serta hal lainnya. Hal ini membutuhkan dalil lain untuk memperincinya. Dalil yang mampu menjelaskan secara rinci terkait sholat dan zakat ialah sabda Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Bukhari: “sembahyanglah kamu sekalian sebagaimana kamu melihatku sembahyang
Sehingga jelaslah apa saja yang diinginkan oleh QS. An-Nisa’ 4:77 tersebut. Jadi, seorang mukallaf bisa melaksanakan sholat sesuai maksud syara’.
4.      Muhkam[11]
Muhkam ialah lafadz yang merujuk pada makna yang diinginkan oleh sighat tersebut serta siyaqul kalam, namun tidak bisa ditafsirkan dan ditakwilkan serta dinasakh saat masa Nabi Muhammad SAW. Sebagaimana contoh dalam QS. An-Nur : 4
وَلَا تَقۡبَلُواْ لَهُمۡ شَهَٰدَةً أَبَدٗاۚ ٤
4. dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya.
Dari ayat diatas, dapat kita ketahui bahwa terdapat pengertian agar menolak persaksiannya mereka selamanya. Dalam ayat tersebut terdapat lafadz “abadan” (berarti selamanya) yang tidak dapat lagi dinasakh. Menurut pendapat Imam Hanafi bahwa semua yang terkena had terkait qadzaf tidak bisa diterima segala persaksiannya, walaupun dia sudah melakukan taubat. Sedangkan menurut pendapat Imam Syafi’i, jika orang itu telah bertaubat maka persaksiannya yang diucapkannya bisa diterima.
a.       Hukum lafadz muhkan
Pengamalan lafadz muhkamwajib secara qath’i, sebab sudah tidak bisa ditakwilkan pada arti yang lain dan juga sebab sudah tidak bisa lagi dinasakh serta ditafsirkan.
b.      Macam-macam lafadz muhkam
1.      Muhkam Lidzatih
Yaitu muhkam yang lafadznya tidak bisa menerima segala nasakh yang disebabkan oleh lafadz itu sendiri.
2.      Muhkam Lighoirih
Yaitu muhkam yang lafadznya tidak bisa menerima segala nasakh karena ketiadaan dari nasakh yang bisa menasakhnya.
b.      Berdasarkan dalalah­-nya, manthuq dibedakan lagi menjadi empat bagian, yaitu : dalalah ibrah, dalalah isyarah, dalalah nash, dalalah iqtidha’[12]
1.      Dalalah Ibrah
Yaitu sebuah makna yang bisa dipahami dari lafadznya, baik ketika lafadz tersebut berupa dzahir, maupun berupa nash, baik berupa muhkam maupun bukan muhkam. Sebagaimana contoh yan terdapat di QS. An-Nisa’ 4 : 10
إِنَّ ٱلَّذِينَ يَأۡكُلُونَ أَمۡوَٰلَ ٱلۡيَتَٰمَىٰ ظُلۡمًا إِنَّمَا يَأۡكُلُونَ فِي بُطُونِهِمۡ نَارٗاۖ وَسَيَصۡلَوۡنَ سَعِيرٗا ١٠
10. Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka)
Dari ayat tersebut, kita dapat memahami bahwa diantara banyaknya perbuatan dzalim yang termasuk paling keji ialah memakan harta benda milik anak yatim, yang mana perbuatan tersebut mengantarkan pelakunya mendapatkan dosa yang nantinya disiksa kelak di akhirat. Sedangkan ketika didunia, hukumannya diselesaikan dengan keadilan sehingga perbuatan tersebut tidak terulang lagi.
2.      Dalalah Isyarah
Yaitu sebuah makna pengertian yang bisa ditangkap dari sebuah lafadz sebagai sebuah kesimpulan dari pemahaman kepada ungkapan (ibrah) serta bukan diambil dari ungkapan itu sendiri. Sebagaimana contoh yang terdapat di QS. Al-Baqarah 2:282
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِذَا تَدَايَنتُم بِدَيۡنٍ إِلَىٰٓ أَجَلٖ مُّسَمّٗى فَٱكۡتُبُوهُۚ ٢٨٢
282. Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu´amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.
Ketika bertransaksi jual beli seseorang hendaknya menulisnya dengan baik, benar dan dan sesuai dengan kehendak orang yang menyuruhnya untuk menulis. Sedangkan pengertian dari dalalah isyarahnya adalah bahwasanya catatan tulisan yang dibuat tersebut bisa digunakan sebagai argumentasi yang menguatkan dalam transaksi jual beli yang tidak bisa dingkari oleh pihak penjual maupun pembelinya.
3.      Dalalah Nash
Yaitu sebuah pengertianyang termasuk didalamnya sebuah hukum lain yang bisa dipahami dari sebuah pengertian nash secara jelas dan gamblang (ibrah al-nash) sebab adanya suatu kesamaan pada faktor penyebabnya. Sebagaimana contoh yang terdapat dalam QS. Al-Isra : 23
 فَلَا تَقُل لَّهُمَآ أُفّٖ وَلَا تَنۡهَرۡهُمَا ٢٣
23. maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka
Berkata “ah” kepada orangtua dengan maksud mengejek serta menghardiknya dihukumi haram, terlebih jika sampai memukulnya, maka sudah jelas lebih menyakitkan. Jika lebih menyakitkan, maka tentunya lebih haram pula hukumnya. Karena sebuah perkataan “ah” saja telah mencangkup seluruh bentuk perkataan dan perbuatan yang bisa menyakitkan orangtua.
4.      Dalalah Iqtidha’
Yaitu dalalah (penunjukan) sebuah lafadz kepada sesuatu yang mana pengertian dari lafadz tersebut tidak logis kecuali jika menggunakan sesuatu tersebut. Sebagaimana contoh yang terdapat dalam QS. Al-Baqarah 2:178
 فَمَنۡ عُفِيَ لَهُۥ مِنۡ أَخِيهِ شَيۡءٞ فَٱتِّبَاعُۢ بِٱلۡمَعۡرُوفِ وَأَدَآءٌ إِلَيۡهِ بِإِحۡسَٰنٖۗ ١٧٨
178. Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula).
Dari ayat tersebut, dapat kita pahami bahwasanya jika keluarga orang yang telah dibunuh memberikan maafnya, maka hendaklah sikap yang baik tersebut diikuti juga oleh orang yang diberi maaf, dalam hal ini adalah si pembunuh. Konsekuensi logis dari uraian tersebut ialah mengharapkan imbalan harta benda dari si pembunuh serta dia (pembunuh) yang mana telah dimaafkan ialah membayar uang sebagai imbala yang senilai dengan diyat atau kurang. Itulah yang dimaksudkan perintah “agar mengikutinya juga dengan sikap yang baik
Dari uraian keempat dalalah tersebut, satu dengan yang lain berbeda kekuatannya. Oleh sebab itu, terdapat tingakatan dalalah. Tingkatan tersebut berarti jika terjadi kontradiksi antar dalalah. Jumhur ulama bersepakat bahwasanya dalalah yang tingkatannya paling tinggi ialah dalalah ibrah sedangkan yang paling rendah ialah iqtidha’. Berkenaan dengan dalalah isyarah dan dalalah nash para ulama memiliki pandangan yang berbeda dalam berpendapat.
Jika terdapat kontradiksi diantara ibrah dan isyarah, maka yang didahulukan ialah ibrah. Demikian juga jika terdapat kontradiksi antara ibrah dan nash, maka yang didahulukan ialah ibrah.Jika yang kontradiksi adalah isyarah dan nash, maka menurut pendapat madzhab Hanafi yang didahulukan ialah isyarah, sedangkan dalam madzhab Syafi’i yang didahulukan ialah nash. Sebagaimana contoh berikut:
a.       Kontradiksi antara ibrah dan isyarah
Ayat pertama (QS. Al-Baqarah 2:178)
كُتِبَ عَلَيۡكُمُ ٱلۡقِصَاصُ فِي ٱلۡقَتۡلَىۖ ١٧٨
178. diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh;
Ayat kedua (QS. An-Nisa’ 4:93)
وَمَن يَقۡتُلۡ مُؤۡمِنٗا مُّتَعَمِّدٗا فَجَزَآؤُهُۥ جَهَنَّمُ خَٰلِدٗا فِيهَا ٩٣
93. Dan barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja maka balasannya ialah Jahannam, kekal ia di dalamnya
Dari ayat kedua tersebut, menurut dalalah isyarah (implisit), pembunuh yang melakukan dengan sengaja, seakan-akan mendapatkan balasan ialah hanya sebatas hukumann di akhirat dalam neraka namun tidak diqishash. Berbeda dengan pernyataan sebelumnya, ayat pertama menurut dalalah ibrah (eksplisit) merupakan sebuah hukuman qishash bagi pembunuh.Sehingga bisa disimpulkan dari contoh diatas bahwa yang didahulukan adalah dalalah ibrah, kemudian bisa diambil  pengertian bahwasanya seseorang yang telah membunuh secara sengaja, hukumannya wajib diqishash serta hukuman akhirat yaitu kekal dalam neraka jahannam selamanya.
b.      Kontradiksi antara isyarah dan nash
Ayat pertama (QS. An-Nisa’ 4:93)
وَمَن يَقۡتُلۡ مُؤۡمِنٗا مُّتَعَمِّدٗا فَجَزَآؤُهُۥ جَهَنَّمُ خَٰلِدٗا فِيهَا ٩٣
93. Dan barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja maka balasannya ialah Jahannam, kekal ia di dalamnya
Ayat kedua (QS. An-Nisa’ 4:92)
وَمَن قَتَلَ مُؤۡمِنًا خَطَ‍ٔٗا فَتَحۡرِيرُ رَقَبَةٖ مُّؤۡمِنَةٖ وَدِيَةٞ مُّسَلَّمَةٌ إِلَىٰٓ أَهۡلِهِۦٓ ٩٢
92. dan barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu),
·         Menurut pendapat madzhab Hanafi, membunuh secara sengaja tidak dikenai kafarat, namun sekedar mendapat hukuman kelak di akhirat, yaitu disiksa didalam neraka jahannam selamanya.
·         Berbeda dengan madzab Hanafi, Menurut madzhab Syafi’i berpendapat bahwasanya membunuh secara tidak sengaja saja dikenai kafarat, apalagi membunuh secara sengaja.

C.    AL-MAFHUM (المفهوم)
1.      PENGERTIAN MAFHUM
Dalam buku Ushul Al-Fiqh karya Muhammad Khudri dijelaskan bahwa pengertian mafhum adalah sebagai berikut :
دلالة المفهوم : وهو دلالة اللفظ لا في محل النطق على ثبوت حكم ما ذكر لما سكت عنه، أو على نفى الحكم عنه.[13]
Mafhum merupakan suatu implikasi dari suatu kata, yang mana tidak pada tempatnya pada ketetapan hukum dari sesuatu yang sudah disebutkan bagi sesuatu yang didiamkan (tidak dikomentari lagi) atau pada penafian pada suatu hukum darinya.”[14]
Sedangkan dalam buku karya Ma’shum Zein[15], Al-Ghazali memberikan pengertian mafhum yaitu :
المَفْهُوْمُ هُوَ مَا دَلَّ عَلَيْهِ اللَّفْظُ لَا فِيْ مَحَلِّ النُّطْقِ
Mafhum merupakan suatu hukum yang mana dikarenakan suatu lafadz yang tidak menurut pada bunyi lafadz itu sendiri” namun menurut pada pemahaman atau arti/makna yang terkandung dalam lafadznya
Maksudnya ialah hukum-hukum yang diperoleh tidak berdasarkan dari bunyi suatu dalil, namun berdasarkan makna yang terkandung di dalamnya. Misalkan ayat tentang nafkah seorang istri yang telah ditalak oleh suaminya sebagaimana terdapat dalam QS At-Talaq :6
وَإِن كُنَّ أُوْلَٰتِ حَمۡلٖ فَأَنفِقُواْ عَلَيۡهِنَّ حَتَّىٰ يَضَعۡنَ حَمۡلَهُنَّۚ ٦
6. Dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin
Ayat tersebut mengandung sebuah pengertian suatu hukum yang tidak tertulis, yakni bahwa seorang perempuan yang tidak hamil dan ditalak oleh suaminya. Maka sang istri tidak diberi nafkah oleh mantan suaminya tersebut, karena sesuai dengan aoa yang tertulis dalam ayat tersebut menyatakan bahkan yang wajib diberi nafkah itu ialah ketika perempuan tersebut keadaannya sedang hamil. Mafhumnya adalah jika perempuan tersebut tidak hamil, berarti dia tidak wajib diberikan nafkah.
2.      KLASIFIKASI MAFHUM
Dalam bagian ini, mafhum (makna yang dipahami) dibagi menjadi dua, yaitu mafhum muwafaqoh dan mafhum mukhollafah.
a.       Mafhum Muwafaqoh
المَفْهُوْمُ الْمُوَافَقَةُ حَيْثُ يَكُوْنُ الْمَسْكُوْتُ عَنْهُ مُوَافِقًا لِلْمَلْفُوْظِ فِيْهِ
Mafhum muwafaqoh ialah mafhum yang mana jika hukum-hukum yang tidak disebutkan didalam lafadz itu cocok ataupun sesuai dengan apa yang disebutkan dalam lafadz tersebut tidak tidak berlawanan. Sebagaimana contoh tentang hukum haramnya memukul orang tua karena kesuaiannya dengan ayat yang berbunyi uffin yang terdapat dalam QS. Al-Isro’: 23
فَلَا تَقُل لَّهُمَآ أُفّٖ ٢٣
23. maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah"
Dari ayat tersebut terdapat sebuah kesamaan (muwafaqoh) antara “memukul” dengan perkataan “ah” yaitu kesamaan dalam hal sama-sama memberikan rasa sakit dan menunjukkan kepada sebuah penghinaan, maka berkata “ah” saja hukumnya haram, apalagi memukul.
Namun, apabila keadaan yang disebutkan tersebut didalam lafadz itu lebih berat dari apa yang tidak disebutkan dalam lafadz, maka perkara yang seperti itu disebut dengan fahwa al-khitab (فحوى الخطاب)seperti halnya memukul dan berkata “ah”.
Namun jika keadaannya sama-sama berat, maka perkara seperti itu disebut dengan lahna al-khitab (لحن الخطاب) seperti contoh berkata kurang ajar ataupun mengejek dan lain halnya dengan berkata “ah”.
b.      Mafhum Mukhollafah
1.      Pengertian Mafhum Mukhollafah
Mafhum Mukhollafah ialah menetapkan kebalikan dari suatu hukum yang disebut (manthuq) lantaran tidak ditemukannya suatu batasan atau qayyid yang membatasi berlakunya suatu hukum menurut nashnya.[16] Sebagaimana contoh yang terdapat dalam QS. An-Nisa’ 4:25
وَمَن لَّمۡ يَسۡتَطِعۡ مِنكُمۡ طَوۡلًا أَن يَنكِحَ ٱلۡمُحۡصَنَٰتِ ٱلۡمُؤۡمِنَٰتِ فَمِن مَّا مَلَكَتۡ أَيۡمَٰنُكُم مِّن فَتَيَٰتِكُمُ ٱلۡمُؤۡمِنَٰتِۚ ٢٥
25. Dan barangsiapa diantara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaannya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, ia boleh mengawini wanita yang beriman, dari budak-budak yang kamu miliki.
Pengertian ucapan (manthuq) dari ayat tersebut dapat diambil sebuah pemahaman bahwasanya seseorang yang merdeka boleh mengawini seorang budak / hamba sahaya yang beriman dengan batasan selama orang yang merdeka tersebut tidak mampu mengawini seorang wanita yang merdeka yang mana dia tidak beriman. Meskipun dalam ayat tersebut terdapat qayyid (yaitu selama tidak mampu), namun qayyid tersebut bisa dihilangkan dengan sebuat kata “mampu”, jadi qayyidnya terhalang. Dengan begitu bisa diambil mafhum mukhollafahnya yakni bagi orang yang bisa dan mampu menikahi seorang wanita yang merdeka serta beriman, maka haram baginya untuk menikahi seorang hamba sahaya.
2.      Syarat-syarat Mafhum Mukhollafah
a.       Mafhum Mukhollafah tidak boleh berlawan dengan suatu dalil yang mana dalil tersebut lebih kuat. Sebagaimana contoh yang terdapat dalam QS. Al-Isro’ : 31
وَلَا تَقۡتُلُوٓاْ أَوۡلَٰدَكُمۡ خَشۡيَةَ إِمۡلَٰقٖۖ ٣١
31. Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan.
Dari ayat tersebut, terdapat mafhum muhollafah yaitu boleh membunuh anak sendiri jika ia tidak takut kemiskinan. hal tersebut berlawanan dengan sebuah dalil yang lebih kuat, yakni dalam QS. Al-Isro’ : 33
وَلَا تَقۡتُلُواْ ٱلنَّفۡسَ ٱلَّتِي حَرَّمَ ٱللَّهُ إِلَّا بِٱلۡحَقِّۗ ٣٣
33. Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar.
b.      Dalalah Manthuqnya bukan merupakan suatu hal yang biasanya terjadi. Sebagaimana contoh yang terdapat dalam QS. An-Nisa’: 23
وَرَبَٰٓئِبُكُمُ ٱلَّٰتِي فِي حُجُورِكُم مِّن نِّسَآئِكُمُ ٱلَّٰتِي دَخَلۡتُم بِهِنَّ ٢٣
23. anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri,
Dari ayat tersebut, dapat kita pahami bahwasanya salah satu perempuan yang haram dikawini adalah anak tiri yang ada dalam pemeliharaannya. Hal tersebut tidak bisa diambil mafhum mukhollafahnya, yakni jika anak tiri tersebut berada diluar pemeliaharaannya, berarti boleh dinikah. Lafadz “fii hujuurikum” yang berarti “dalam pemeliharaanmu” merupakan sebuah kebiasaan. Kebiasaaan seorang anak ialah mengikuti ibunya dan seorang istri tersebut menjadi tanggung jawab suaminya.
c.       Dalalah Manthuqnya bukan untuk menguatkan sebuah keadaan tertentu.
Sebagaimana contoh hadits yang terdapat dalam buku karya Fahim Tharaba[17] yang artinya : ”Barangsiapa yang dirinya beriman kepada Allah SWT dan juga kepada hari akhir, maka berkatalah yang baik atau diam saja. Dan barangsiapa yang dirinya beriman kepada Allah SWT dan juga kepada hari akhir, maka  hormatilah tetangga” (HR. Bukhari Muslim)
Hadits tersebut menyebutkan kalimat yang bunyinya “beriman kepada Allah SWT dan kepada hari akhir” ialah hanya untuk menguatkan semata, tidak diperbolehkan untuk mengambil mafhum mukhollafahnya, yakni bahwa seseorang yang tidak beriman kepada Allah SWT dan kepada hari akhir maka diperbolehkan berkata kotor dan mengganggu tetangganya.
d.      Dalalah Manthuqnya wajib berdiri sendiri.
Sebagaimana contoh yang terdapat dalam QS. Al-Baqarah 2 : 187
وَلَا تُبَٰشِرُوهُنَّ وَأَنتُمۡ عَٰكِفُونَ فِي ٱلۡمَسَٰجِدِۗ ١٨٧
187. (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri´tikaf dalam mesjid.
Dari ayat tersebut dapat kita pahami bahwasanya sebuah larangan mencampuri istri ketika sedang beri’tikaf ialah merupakan suatu ketentuan tersendiri, tidak bisa dikaitkan dengan tempat i’tikaf itu sendiri,seperti masjid maupun tempat lain. Sehingga tidak diperbolehkan mencampuri istrinya ketika beri’tikaf walaupun di luar masjid.
e.       Dalalah Manthuqnya tidak memikili tujuan lain melainkan untuk membatasi hukum. Jika manthuq, seperti untuk dorongan, peringatan, menjauhi dan lain sebagainya.
Sebagaimana contoh yang terdapat dalam QS. Ali Imron 3 : 130
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تَأۡكُلُواْ ٱلرِّبَوٰٓاْ أَضۡعَٰفٗا مُّضَٰعَفَةٗۖ ١٣٠
130. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda
Dari ayat tersebut dapat kita pahami  bahwa didalam ayat tersebut mengandung tujuan tertentu. Dengan adanya larangan tentang memakan riba secara berlipat ganda, sehingga orang mukmin menjauhinya. Karena pada dasarnya riba itu sendiri merupakan tambahnya dari barang pokok, sedangkan berlipat ganda merupakan tambahnya dari bunga pada setiap waktunya, sedangkan memakan riba itu sendiri dihukumi haram.
أُوْلَٰٓئِكَ ٱلَّذِينَ ٱشۡتَرَوُاْ ٱلضَّلَٰلَةَ بِٱلۡهُدَىٰ وَٱلۡعَذَابَ بِٱلۡمَغۡفِرَةِۚ فَمَآ أَصۡبَرَهُمۡ عَلَى ٱلنَّارِ ١٧٥
175. Mereka itulah orang-orang yang membeli kesesatan dengan petunjuk dan siksa dengan ampunan. Maka alangkah beraninya mereka menentang api neraka
Walaupun memakan riba tersebut dengan tidak berlipat ganda, sesungguhnya mafhum mukhollafah dari ayat tersebut ialah memakan riba secara tidak berlipat ganda, namun mafhum mukhollafahnya tidak berlaku atau batal.
3.      Kehujjahan Mafhum Mukhollafah[18]
Dalam kehujjahan Mafhum Mukhollafah, para ulama memiliki perbedaan pendapat, yakni:
a.       Menurut Ushulliyun, mafhum mukhollafah bisa dijadikan sebuah hujjah. Dari keseluruhan macam-macam mafhum mukhollafah, hanya mafhum laqab saja yang tidak bisa dijadikan sebagai hujjah. Sebagaimana contoh yang terdapat dalam QS. Al-An’am : 145
إِلَّآ أَن يَكُونَ مَيۡتَةً أَوۡ دَمٗا مَّسۡفُوحًا أَوۡ لَحۡمَ خِنزِيرٖ ١٤٥
145. kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi
Dari ayat tersebut dapat kita pahami bahwasanya yang haram dimakan ialah, bangkai, darah mengalir, serta daging babi. Mafhum mukhollafahnya ialah jika darah tersebut tidak mengalir, maka halal dimakan seperti halnya hati dan limpa.
Alasan para Ushulliyun  menggunakan mafhum mukhollafah sebagai hujjah ialah :
1.      Segera yang bisa di pahami dari orang-orang Arab dalam percakapan sehari-hari ialah mengaikan sebuah hukum dengan sifat, syarat ataupun membatasinya dengan bilangan maupun perkiraannnya. Sehingga ketika sekiranya batasan serta syarat tersebut tidak ditemukan, maka yang berlaku ialah sifat yang kebalikannya. Sebagai contoh jika ada orang tua yang berbicara dengan anaknya “Kamu akan ayah beri hadian jika kamu naik kelas”, maka ucapan yang seperti itu akan segera dipahami bahwasanya orang tua tidak akan memberikan hadiah jika persyaratan naik kelas tidak dipenuhi..
2.      Seluruh qayyid (sifat, syarat serta pembatasan) yang datang dari nash syar’i, niscaya akan ada hikmahnya. Karena syar’i tidak akan memberikan sifat, syarat, serta pembatasannya jika tidak memiliki hikmahnya. Salah satu dari hikmahnya ialah adaanya takhsish dan qayyid. Jika suatu nash tidak memiliki qayyid, maka yang akan terjadi ialah keblikan penetapan hukum.
b.      Menurut pendapat madzhab Hanafi, yang ditetapkan berdasarkan nash syara’ jika dikaitkan dengan sifat, syarat serta dibatasi dengan suatu bilangan maupun perkiraan. Sehingga kehujjahan nash tersebut hanya untuk sebuah peristiwa tersebut, sedangkan peristiwa yang belum memiliki ketetapan hukumnya jika dikaitkan dengan sifat, syarat, serta dibatasi dengan suatu bilangan maupun perkiraan (hingga) tidak bisa ditetapkan hukumnya berdasarkan kebalikan dari hukum peristiwa yang telah ada nashnya tersebut. Beberapa alasan mereka ialah sebagai berikut :
1.      Cara-cara agar mengetahui sebuah dalalah hanya ada empat, yakni dalalah ibrah, isyarah, nash, serta iqtidha;
2.      Menetapkan sebuah peritiwa yang belum memiliki hukum dalam nash berdasarkan kebalik dari hukum sebuah peristiwa yang berdasarkan nash, tidak bisa menggunakan salah satu dari cara tersebut. Karena sesungguhnya mafhum mukhollafah bukanlah merupakan hasil penunjukan (dalalah) dari nash tersebut.
c.       Hukum yang ditetapkannya didasarakan pada nash syara’ jika dihungungkan ataupun dikaitkan dengan sifat, syarat, serta dibatasi oleh bilangan maupun perkiraan (hingga) bisa dijadikan sebagai hujjah atas lawan hukum peristiwa yang terdapat nashnya. Jika sifat, syarat dan batasannya berlawanan (berkebalikan) dengan yang telah disebutkan, sesudah diadakannya pembahasan secara seksama, pandangan luas dab penelitian yang cermat, bahwasanya sifat, syarat serta pembatasan tersebut hanyalah untuk mentakhsish saja, tidak untuk hikamh-hikmah yang lain serta tidak berlawanan dengan mafhum lain yang telah ditentukan.
4.      Klasifikasi Mafhum Mukhollafah[19]
a.       Mafhum Shifat
Yakni menetapkan sebuah kebalikan dari suatu hukum pada salah satu dari sifat-sifatnya. Sebagaiman contoh yang terdapat dalam QS. An-Nisa’ 4 : 92
فَتَحۡرِيرُ رَقَبَةٖ مُّؤۡمِنَةٖ ٩٢ [20]
b.      Mafhum Illah
Yakni mengaitkan sebuah hukum dari sesuatu menurut illatnya, bagaimana contoh yang terdapat dalam hadits :
كُلُّ شَرَابٍ أَسْكَرَ فَهُوَ حَرَامٌ
c.       Mafhum Syarat
Yakni menetapkan kebalikan dari sebuah hukum dengan suatu syarat, sebagaimana contoh yang terdapat dalam QS. At-Talaq : 6
وَإِن كُنَّ أُوْلَٰتِ حَمۡلٖ فَأَنفِقُواْ عَلَيۡهِنَّ حَتَّىٰ يَضَعۡنَ حَمۡلَهُنَّۚ ٦
d.      Mafhum ‘Adad
Yakni menetapkan kebalikan dari sebuah hukum kepada suatu bilangan tertentu sebagaimana contoh yang terdapat dalam QS. Al-Mujadalah : 4
فَمَن لَّمۡ يَسۡتَطِعۡ فَإِطۡعَامُ سِتِّينَ مِسۡكِينٗاۚ ٤
e.       Mafhum Ghayah
Yakni menetapkan kebalikan dari sebuah hukum kepada suatu batasan-batasan tertentu sebagaimana contoh yang terdapat dalam QS. Al-Baqarah 2 : 230
فَإِن طَلَّقَهَا فَلَا تَحِلُّ لَهُۥ مِنۢ بَعۡدُ حَتَّىٰ تَنكِحَ زَوۡجًا غَيۡرَهُۥۗ ٢٣٠
f.       Mafhum Laqab
Yakni menetapkan kebalikan dari sebuah hukum kepada nama orang (isim ‘alam) dan kwantitas, aktifitas, pernyataan (isim washf) serta benda (isim jinis) sebagaimana contoh yang terdapat dalam QS. Yusuf : 4
إِذۡ قَالَ يُوسُفُ لِأَبِيهِ يَٰٓأَبَتِ ٤
g.      Mafhum Hashr
Yakni menetapkan kebalikan dari sebuah hukum dengan menggunakan lafadz hashr seperti menggunakan lafadz innama, illa, dan lain-lain sebagaimana contoh yang terdapat dalam QS. Al-Maidah 5:75
مَّا ٱلۡمَسِيحُ ٱبۡنُ مَرۡيَمَ إِلَّا رَسُولٞ ٧٥
h.      Mafhum Hal
Yakni menggantungkan sebuah hukum kepada suatu hal atau kondisi tertentu sebagaimana terdapat dalam QS.Al Isro’ : 37
وَلَا تَمۡشِ فِي ٱلۡأَرۡضِ مَرَحًاۖ ٣٧
i.        Mafhum Zaman
Yakni menggantungkan sebuah hukum kepada suatu waktu sebagaimana yang terdapat dalam QS. Al-Baqarah 2 : 197
ٱلۡحَجُّ أَشۡهُرٞ مَّعۡلُومَٰتٞۚ ١٩٧
j.        Mafhum Makan
Yakni menggantungkan sebuah hukum kepada suatu tempat sebagaimana yang terdapat dalam QS. Al-Baqarah 2 : 25
تَجۡرِي مِن تَحۡتِهَا ٱلۡأَنۡهَٰرُۖ ٢٥

D.    MUJMAL
1.      PENGERTIAN MUJMAL
Pengertian mujmal secara bahasa yaitu global atau tidak terperinci[21], dengan arti lain sebuah lafadz belum dapat dipahami secara utuh karena masih bersifat umum atau samar. Sedangkan menurut istilah yaitu:
اَلْمُجْمَلُ هُوَ اَلَّلفْظُ الّذِى لاَيُفْهَمُ الْمَعْنَى الْمُرَادُ مِنْهُ اِلاَّ بِالاِسْتِفْسَارِ مِنَ الْجُمَلِ
Yang artinya: “Mujmal adalah lafadz yang tidak dapat difahami makna yang menunjukkan arti sesungguhnya”. Selain pengertian tersebut, terdapat beberapa pendapat yang diberikan beberapa ahli Ushul Fiqh diantaranya:
a.    Menurut Hanafiyah, mujmal adalah “lafadz yang mengandung makna secara global dimana kejelasan maksud dan rinciannya tidak dapat diketahui dari pengertian lafadz itu sendiri, melainkan melalui penjelasan dari pembuat syari’at yaitu Allah SWT dan Rasulullah SAW[22].
b.    Adapun Abu Ishaq al-Syirazi seorang ahli ushul fiqh dari kalangan Syafi’iyah memaknai mujmal sebagai “lafadz yang tidak jelas pengertiannya sehingga memahaminya memerlukan penjelasan dari luar (al-bayan) atau jika ada penafsiran dari pembuat mujmal (Syari’)”.
c.    Sedangkan yang dimaksud dalam istilah ushul yaitu lafadz yang tidak ditunjukkan maksudnya oleh sighatlafadz tersebut.[23] Dengan arti lain tidak ditemukannya qarinah-qarinah yang berkenaan dengan lafadz sebab tersembunyi.
Dari beberapa definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa mujmal yaitu sebuah bentuk lafadz atau ungkapan yang memiliki berbagai keadaan atau ketentuan yang tidak dapat dipahami secara pasti kecuali dengan adanya pernyataan lain yang menjelaskan dengan lebih terperinci. Contohnya seperti dalam ayat Al-Qur’an surah Al-Baqarah ayat 43:
وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ ...
Artinya: “Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat ... ”. (QS. Al-Baqarah: 43)
Ayat ini merupakan bentuk lafadzmujmal, karena belum dijelaskan secara terperinci mengenai syarat, rukun, dan tata cara melakukan ibadah shalat maupun zakat sehingga masih memerlukan penjelasan (mubayyan), yang mana selanjutnya Rasulullah SAW menjelaskan dalam sabdanya yakni:
... صَلُّوْا كَمَا رَأَيْتُمُوْنِى اُصَلِّى ...
Yang artinya: “Shalatlah kamu sekalian sebagaimana kamu melihatku shalat”. (HR. Bukhari).
2.      HUKUM LAFADZ MUJMAL
Hukum lafadzmujmal yang ditemukan dalam Al-Qur’an maupun hadits adalah ditangguhkan, tidak dapat dijadikan sebagai hujjah selama belum menemukan dalil lain yang dapat menjelaskannya.[24] Kemudian apabila sudah ditemukan penjelasan (bayan) dari penjelasan lafadz atau dalil lain, maka lafadz mujmal tersebut dapat digunakan dan dilaksanakan sesuai dari ketentuan hukum bayannya.
Selanjutnya, jika dilihat dari sisi keharusan adanya penjelasan (bayan) dari syara’ tentang lafadz mujmal, maka yang diprioritaskan terlebih dahulu adalah mencari penjelasan (bayan) dari nash Al-Qur’an, namun jika tidak dapat ditemukan baru kemudian mencarinya di dalam hadits.
3.      SEBAB-SEBAB MUJMAL
Suatu lafadz dapat disebut mujmal disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya:
a.    Berbentuk kata tunggal (mufrad)
Dari bentuk mufrad ini disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut:
1.      Tashrif kata-kata (sumber pengambilan kata), seperti: kata kerja (fi’il) lafadzقَالَ dari kata قَوْلٌ yang artinya perkataan atau dari kata قَيْلُوْلَةٌ yang artinya tidur siang.
2.      Lafadzmusytarak (menunjukkan beberapa arti), seperti dalam ayat QS. Al-Baqarah ayat 228:
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ ۚ
Artinya: “Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'”. (QS. Al-Baqarah: 228)
Dalam lafadz tersebut yang dimaksud dengan quru’ yaitu haid atau suci.[25]
3.      Lafadz yang digunakan untuk menunjukkan istilah syara’ tertentu, seperti: shalat, zakat, puasa, haji, dan lainnya.
b.    Berbentuk susunan kata-kata (jumlah murakkab). Semisal susunan kata yang terdapat dalam ayat Al-Qur’an mengenai pengertian tentang adanya wali atau suami dalam bentuk adanya ikatan pernikahan  atau akad (ijab dan qabul),[26] yakni:
أَوْ يَعْفُوَ الَّذِي بِيَدِهِ عُقْدَةُ النِّكَاحِ ۚ
Artinya: “dimaafkan oleh orang yang memegang ikatan nikah.” (QS. Al-Baqarah: 237)
Adapun yang dimaksud dengan orang yang memegang ikatan nikah disini adalah wali atau suami, jika yang memaafkan wali, maka suami dibebaskan dari membayar setengah mahar dan jika yang memaafkan itu suami maka si suami tersebut akan membayar seluruhnya.

E.     MUBAYYAN
1.      PENGERTIAN MUBAYYAN
Definisi mubayyan adalah kebalikan dari mujmal, yakni suatu lafadz yang maksudnya sudah terang dan jelas, tanpa membutuhkan penjelasan dari dalil atau lafadz lainnya.[27] Dengan kata lain, lafadzmubayyan tidak memerlukan penjelasan lagi karena sighatnya sudah menunjukkan maksud yang ada dalam lafadz. Selain itu, lafadzmubayyan atau oleh ulama ushul fiqh juga disebut bayan ini dimaksudkan untuk memberi petunjuk terhadap lafadz yang mujmal, karena tanpa adanya penjelasan ini lafadz mujmal belum dapat dipahami maksud sebenarnya. Dan yang berhak untuk memberi penjelasan ini adalah syari’ (pembuat mujmal).
Kejelasan lafadzmubayyan dapat dilihat dari dua sisi, yaitu:
a.    Manthuq, dari sisi manthuq terdapat dalam nash, dzahir, dan lafadz umumseperti yang terdapat dalam QS. Al-Baqarah ayat 20:
إِنَّ اللَّهَ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
Artinya: “Sesungguhnya Allah berkuasa atas segala sesuatu.”
Ayat tersebut sudah sangat jelas maksudnya yaitu Allah benar-benar dipercayai oleh semua umat Islam sebagai Dzat yang Maha Kuasa dan tidak memerlukan penjelasan (bayan) lagi.
b.    Mafhum, dari sisi mafhum ini bisa berbentuk kalimat yang fahwal-khitab, lahna al-khitab, dan dalilul khitab. Misalnya seperti dalam QS. Al-Baqarah ayat 237 yang didalamnya memerlukan penjelasan
2.      KLASIFIKASI BAYAN
Ada beberapa macam bayan dalam menjelaskan lafadz atau susunan kata-kata, diantaranya:
a.       Bayan dengan perkataan[28]Contoh:
فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ فِي الْحَجِّ وَسَبْعَةٍ إِذَا رَجَعْتُمْ ۗ تِلْكَ عَشَرَةٌ كَامِلَةٌ ۗ
Artinya: “maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kamu telah pulang kembali. Itulah sepuluh (hari) yang sempurna..”(QS. Al-Baqarah: 196).
Lafadzوَسَبْعَةٍ kerap diartikan lebih dari tujuh, untuk menjelaskan bahwa yang dimaksud benar-benar tujuh Allah mengiringinya dengan ayat تِلْكَ عَشَرَةٌ كَامِلَةٌ yang berarti pengganti kurban bagi orang yang meninggalkan haji adalah berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari lagi setelah pulang kembali.
b.      Bayan dengan perbuatan.[29]
Seperti perbuatan Rasulullah SAW dalam menjelaskan praktek menjalankan kewajiban shalat:
... صَلُّوْا كَمَا رَأَيْتُمُوْنِى اُصَلِّى ...
Hadits tersebut muncul setelah ‘Aisyah ditanya mengenai masalah bagaimana cara Nabi melaksanakan kewajiban shalat, kemudian ‘Aisyah menjawab dan menjelaskan. Ini merupakan penjelasan (bayan) dari kemujmalan ayat tentang shalat.
c.         Bayan berupa isyarat[30]
Contohnya seperti penjelasan Nabi mengenai jumlah hari satu bulan Ramadhan sebagaimana hadits:
الشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا)يَعْنِي مَرَّةً تِسْعَةً وَعِشْرِينَ وَمَرَّةً ثَلَاثِينَ)
Artinya: “bulan itu begini dan begini, yaitu kadang-kadang dua puluh sembilan hari dan kadang-kadang tiga puluh hari” (HR. Bukhari).
Lafadzالشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا dalam hadits tersebut mujmal karena dalam penjelasan itu cara Nabi menjawab dengan mengangkat kesepuluh jari tiga kali kemudian mengulanginya sambil membenamkan ibu jari pada kali terakhir. Dan kemudian dijelaskan dalam lafadzيَعْنِي مَرَّةً تِسْعَةً وَعِشْرِينَ وَمَرَّةً ثَلَاثِينَ .
d.      Bayan dengan tulisan
Misalnya seperti surat Rasulullah SAW tentang tata cara pembagian zakat secara panjang lebar kepada ‘Amr bin Hazm dan yang ditulis oleh Umar bin Khattab.[31]
e.       Bayan dengan tidak berbuat
Yaitu dalam pengertian tidak bereaksi apa-apa atau tidak memberikan pengaruh. Seperti saat Nabi SAW tidak berwudlu setelah memakan daging yang telah dimasak.
f.       Bayan dengan diam
Seperti saat Nabi SAW sedang menjelaskan masalah wajibnya haji, kemudian ditanya apakah wajib berhaji setiap tahun Nabi SAW diam dan tidak memberikan reaksi apa-apa.[32] Diamnya beliau sebagai penjelas (bayan) bahwa kewajiban haji itu tidak dilaksanakan setiap tahunnya.
g.      Dengan menggunakan dalil yang men-takhsis
Hal ini dapat dilihat dari dua sisi:
1.      Dari sisi waktu mengerjakan perintah
Maksudnya tidak mungkin menunda penjelasan dari waktu mengerjakannya Artinya apabila sampai waktunya perintah harus dikerjakan belum ada penjelasan. Kalau penundaan ini terjadi, berati membolehkan adanya kepercayaan atau perbuatan yang salah, karena belum dijelaskan. Hal ini tidak mungkin. Sebagai contoh ialah urut-urutan wali dalam pernikahan. Menurut sebagian ulama tidak wajib memperhatikan urut-urutan wali dari yang terdekat sampai yang terjauh. Oleh sebab itu, apabila terjadi dalam sebuah penikahan seorang wali yang dari jauh menikahkan, padahal ada yang dekat, maka pernikahan itu sah. Jika saja urut-urutan tersebut diharuskan maka sudah pasti akan dijelaskan oleh Rasulullah SAW.
2.      Dari sisi waktu turunnya perintah
Maksudnya ialah menunda penjelasan dari waktu perintah itu diturunkan, artinya pada saat perintah itu diturunkan belum ada penjelasannya. Hal ini sangat mungkin terjadi, sebab Allah telah berfirman:
فَإِذَا قَرَأْنَاهُ فَاتَّبِعْ قُرْآنَهُ . ثُمَّ إِنَّ عَلَيْنَا بَيَانَهُ
Artinya: “Apabila Kami telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaannya itu. Kemudian, sesungguhnya atas tanggungan Kamilah penjelasannya.” (QS. Al-Qiyamah: 18-19).

F.     KESIMPULAN
Manthuq ialah memahami suatu hukum menurut segala sesuatu yang tersurat secara gamblang dan jelas pada lafadz tersebut.Berdasarkan lafadznya, manthuq dibedakan lagi menjadi empat bagian, yaitu : dzahir, nash, mufassar, muhkam.Berdasarkan dalalah­-nya, manthuq dibedakan lagi menjadi empat bagian, yaitu : dalalah ibrah, dalalah isyarah, dalalah nash, dalalah iqtidha’.
Mafhum ialah hukum-hukum yang diperoleh tidak berdasarkan dari bunyi suatu dalil, namun berdasarkan makna yang terkandung di dalamnya. Dalam bagian ini, mafhum (makna yang dipahami) dibagi menjadi dua, yaitu mafhum muwafaqoh dan mafhum mukhollafah. Mafhum mukhollafah dibagi menjadi Mafhum Shifat, Mafhum Illah, Mafhum Syarat, Mafhum ‘Adad, Mafhum Ghayah, Mafhum Laqab, Mafhum Hashr, Mafhum Hal, Mafhum Zaman, Mafhum Makan
Mujmal secara bahasa yaitu global atau tidak terperinci, dengan arti lain sebuah lafadz belum dapat dipahami secara utuh karena masih bersifat umum atau samar. Sedangkan menurut istilah yaitu lafadz yang tidak dapat difahami makna yang menunjukkan arti sesungguhnya”.Hukum lafadz mujmal yang ditemukan dalam Al-Qur’an maupun hadits adalah ditangguhkan, tidak dapat dijadikan sebagai hujjah selama belum menemukan dalil lain yang dapat menjelaskannya.
Definisi mubayyan adalah kebalikan dari mujmal, yakni suatu lafadz yang maksudnya sudah terang dan jelas, tanpa membutuhkan penjelasan dari dalil atau lafadz lainnya.Dengan kata lain, lafadz mubayyan tidak memerlukan penjelasan lagi karena sighatnya sudah menunjukkan maksud yang ada dalam lafadz.Ada beberapa macam bayan dalam menjelaskan lafadz atau susunan kata-kata, diantaranya:Bayan dengan perkataan, Bayan dengan perbuatan, Bayan berupa isyarat, Bayan dengan tulisan, Bayan dengan tidak berbuat, Bayan dengan diam, Dengan menggunakan dalil yang men-takhsis
DAFTAR PUSTAKA
Al-Khudhri. Muhammad, 2002. Ushul Al-Fiqh. Beirut: Dar el-Marefah
Effendi. Satria, 2005. Ushul Fiqh. Jakarta: Prenada Media
El-Muttaqien. Faiz, 2007. Ushul Fiqh. Terjemah Muhammad Al-Khudhri. Ushul Al-Fiqh. Jakarta: Pustaka Amani
Hadi. Saiful,2011.Ushul FiqihI,cetakanke-2. Yogyakarta: Sabda Media
Khallaf. Abdul Wahab, 2005. Ilmu Usul Fiqh. Jakarta: PT Rineka Cipta
Syarifuddin. Amir, 2012. Garis-Garis Besar Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana Prenada Media Group
Tharaba. Fahim, 2016. Hikmatut Tasyri’ wa Hikmatus Syar’I : Filsafat Hukum Islam. Malang: Dream Litera Buana
Zein. M Ma’shum, 2013. Menguasai Ilmu Ushul Fiqh: Apa dan Bagaimana Hukum Islam Disarikan dari Sumber-Sumbernya. Yogyakarta: Pustaka Pesantren
Naya, Farid, Al-Mujmal dan Al-Mubayyan dalam Kajian Ushul Fiqh, Jurnal Tahkim Vol. IX No. 2, Desember 2013. (Diakses pada tanggal 06/04/2018 dari http://jurnal.iainambon.ac.id/).
Sulthon, Muhammad, Surat-Surat Nabi Muhammad Sebagai Dokumen Zakat, (Thaqafiyyat, vol. 13, No. 1, Juni 2012)(diakses pada tanggal 10/04/2018 dari http://download.portalgaruda.org/article.php?article=113326&val=5173).

Catatan:
1.      Similarity hanya 3%.
2.      Hindari penggunaan kata kita dalam tulisan ilmiah.
3.      Penulisan rujukan dari jurnal perlu diperbaiki, formatnya tidak begitu.
4.      Bentuk mafhumnya dicantumkan, biar jelas.


[1]Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Ushul Fiqh (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012), hlm. 121-122.
[2]Satria Effendi, Ushul Fiqh (Jakarta : Prenada Media, 2005), hlm. 210-211
[3]Fahim Tharaba, Hikmatut Tasyri’ wa Hikmatus Syar’I : Filsafat Hukum Islam (Malang: Dream Litera Buana, 2016), hlm. 208
[4]Loc.cit, Amir Syarifuddin,
[5]Op.cit, Fahim Tharaba 208-214
[6]Op.cit, Ma’shum Zein, hlm. 343-344
[7] Op.cit, Fahim Tharaba, hlm. 209-210
[8]Op.cit, Ma’shum Zein, hlm. 344
[9]Op.cit, Fahim Tharaba, hlm. 210-212
[10]Ibid, hlm. 212-214
[11]Ibid, hlm. 214
[12] Ibid, hlm. 215
[13]Muhammad Al-Khudhri. Ushul Al-Fiqh. (Beirut : Dar el-Marefah, 2002). Hlm. 124
[14]Faiz el Muttaqien. Ushul Fiqh. Terjemah Muhammad Al-Khudhri. Ushul Al-Fiqh. (Jakarta : Pustaka Amani, 2007) Hlm. 252
[15]Op.Cit, M. Ma’shum Zein, hlm. 355
[16]Op.cit, Fahim Tharaba, hlm.  220
[17]Ibid, hlm. 222
[18]Ibid, hlm. 225-227
[19]Op. cit, M.  Ma’shum Zein, hlm. 361-363
[20]Op.cit, Fahim Tharaba, hlm. 223-224
[21]Op.Cit, Ma’shum Zein, hlm. 335.
[22] Farid Naya, Al-Mujmal dan Al-Mubayyan dalam Kajian Ushul Fiqh, Jurnal Tahkim Vol. IX No. 2, Desember 2013, hlm. 188-189. (Diakses pada tanggal 06/04/2018 dari http://jurnal.iainambon.ac.id/).
[23] Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Usul Fiqh, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2005), hal. 215.
[24]Op.Cit, M. Ma’shum Zein, hlm. 337-338
[25]Op.Cit, Fahim Tharaba, hlm. 205.
[26]Op.Cit, M. Ma’shum Zein, hlm. 339.
[27] Al-Syairaziy, Al-Luma’, hal. 26. (lihat: M. Ma’shum Zein, Menguasai Ilmu Ushul Fiqh: Apa dan Bagaimana Hukum Islam Disarikan dari Sumber-Sumbernya, (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2013), hal. 339.)
[28] Seful Hadi, Ushul FiqihI, (Yogyakarta: Sabda Media, 2011), cet. Ke-2, hal. 70.
[29]Op.Cit, M. Ma’shum Zein, hlm. 341.
[30] Op.Cit,  Fahim Tharaba, hlm. 208.
[31] Muhammad Sulthon, Surat-Surat Nabi Muhammad Sebagai Dokumen Zakat, (Thaqafiyyat, vol. 13, No. 1, Juni 2012), hal. 113. (diakses pada tanggal 10/04/2018 dari http://download.portalgaruda.org/article.php?article=113326&val=5173).
[32]Op.Cit, M. Ma’shum Zein, hlm. 341-342

Tidak ada komentar:

Posting Komentar