Minggu, 15 April 2018

Ilmu Jarh wa Ta'dil (PIPS A Semester Genap 2017/2018)



ILMU JARH WA TA’DIL                                                                                                        (PENGERTIAN, FAKTOR MUNCULNYA, dan TINGKATAN JARH WA TA’DIL)

Ainul Yaqin, Annisa Nur Lifia, Adhe Putra P                                                                    Mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Maulana Malik Ibrahim Malang                        PIPS A Semester 4                                                     ainulyaqin18064@yahoo.co.id


Abstract
            The religion of islam in establishing the law has several sources used. One of the sources used in establising Islamic law is hadith. Hadith is the second source of law afther the Quran. The law of the Quran is irrevocable unless there is a misunderstanding in interpretation. However, in the hadith there are still hadiths that need to be reviewed the quantity and quality of the hadith. The hadith are all words, deeds that came from prophets in ancient times. So vulnerable that hadith can be fully and shahih to his people. The companions of the prophets, the tabi’in, and the scholars strive troughout theis lives to maintain the authenticity and integrity of the hadith in order to be perfecly conveyed. Thus came the science of science used to ensure the integrity and the possession of hadith. One of the science used is Science Jarh Wa Ta’dil. This science discussed the position of the previous narrator narrator. Of course, it is very important for muslims to know which hadith sahih and whee the hadith are dha’if as law-setting in islam.

Abstrak
            Agama islam dalam menetapkan hukum memiliki beberapa sumber yang dipakai. Salah satu sumber yang dipakai dalam menetapkan hukum islam yaitu hadist. Hadist merupakan sumber hukum yang kedua setelah Alquran. Hukum dalam alquran sudah tidak bisa diperdebatkan lagi kecuali adanya kesalah pahaman dalam penafsiran. Namun, dalam hadist masih ada hadist yang perlu ditinjau kembali kuantitas dan kualitas hadist tersebut. Hadist merupakan semua perkataan, perbuatan yang berasal dari nabi pada zaman dahulu. Sehingga rentan sekali hadist tersebut bisa sampai secara utuh dan shahih kepada umatnya. Para sahabat nabi, para tabi’in, dan para ulama berusaha keras selama hidupnya untuk menjaga keaslian dan keutuhan hadist agar dapat tersampaikan dengan sempurna. Maka dari itu munculah ilmu ilmu yang digunakan untuk memastikan keutuhan dan keshahihan hadist. Salah satu ilmu yang digunakan yaitu Ilmu Jarh Wa Ta’dil. Ilmu ini membahas tentang kedudukan para rawi yang meriwatkan hadist yang sama dari perawi perawi sebelumnya. Tentu, hal ini sangat penting bagi umat islam agar mengetahui mana hadist yang shahih dan mana hadist yang dha’if sebagai penetapan hukum dalam islam.
Keywords: Pengertian, Faktor Munculnya, Tingkatan Jarh Wa Ta’dil

A. PENDAHULUAN
             Hadist merupakan sumber hukum yang berasal dari nabi muhammad SAW. Hadist digunakan sumber hukum setelah alquran dan sebagai penguat alquran. Tentunya berbeda antara alquran dan hadist. Alquran berasal dari allah sedangkan hadist merupakan semua ucapan perbuatan dan tindakan nabi atau yang biasa kita sebut dengan sunnah nabi. Alquran sudah tidak bisa dibantah lagi semua hukumnya namun dalam hadist terutama pada pada zaman sekarang banyak yang perlu diteliti kembali keaslian dan keutuhannya.
            Dalam memahami hadist tentunya tidaklah mudah. Kita harus mempelajari ilmu ilmu lain yang membahas mengenai hadist. Yang menjadi pertanyaan pada zaman saat ini adalah keaslian hadist tersebut. hadist merupakan kabar yang datang dari nabi pada zaman dulu. Dan disampaikan oleh para rawi sehingga sampai ke umat nabi pada saat ini. Namun para ulama mulai kritis terhadap hadist mengenai apakah hadist tersebut benar benar asli dari nabi muhammad atau itu merupakan hadist palsu.
            Pada zaman sahabat masih sangat dipercaya keaslian hadistnya, namun setelah masa para tabi’in banyak sekali problem mengenai kritik hadist. Sehingga para ulama sepakat untuk membuat suatu disiplin ilmu yang yang membahas tentang keaslian dan keutuhan hadist nabi, yaitu ilmu jarh wa ta’dil. Dan pada kajian ini tentunya akan di jelaskan lebih lanjut mengenai latar belakang munculnya ilmu tersebut. dan bukan hanya latar belakang saja melainkan hal hal yang mengenai tentang ilmu ini.
            Namun sebelum itu kita akan membahas terlebih dahulu mengenai pengertian ilmu jarh wa ta’dil ini. Agar kita dapat memahami manfaat dan peran ilmu ini pada zaman yang bisa dikatakan sudah dipenuhi kegelapan. Dimana banyak golongan golongan yang ingin merusak agama islam. Kita sebagai umat islam harus lebih waspada terhadap masuknya budaya dari luar dan mengantisipasinya.

B. PENGERTIAN ILMU JARH WA TA’DIL
            Ilmu jarh wa ta’dil dalam pengertiannya sendiri diklasifikasikan secara bahasa atau etimologi dan juga didefinisikan secara istilah atau terminologi. Banyak sekali para ulama berpendapat mengenai istilah dari ilmu ini. Pada hakikatnya ilmu jarh wa ta’dil ini merupakan bagian dari ilmu rijalil hadist. Namun karena ilmu ini dianggap sangat penting sehingga ilmu ini dianggap sebagai ilmu yang berdiri sendiri. Untuk memahami pengertian secara jelas akan kita bagi menjadi dua istilah yang perlu kita pahami terlebih dahulu, yaitu arti dari jarh sendiri dan yang kedua arti dari ta’dil itu sendiri.[1]
            Ilmu jarh wa ta’dil secara bahasa atau secara etimologi terbagi menjadi 2 kata yaitu al jarh dan ta’dil. Al jarh merupakan bentuk isim masdar dari kata    جرح–يجرح-جرحا yang berarti melukai. Kata melukai ini berkaitan dengan tubuh sehingga akan timbul mengalirnya darah keluar dari dalam tubuh sebab sesuatu yang tajam. Jika berkaitan dengan non-fisik dapat diumpamakan dengan luka hati sebab suatu perkataan yang kasar seseorang. Namun, jika kata ini digunakan oleh seorang hakim dalam menentukan keadilan maka kata ini memiliki arti “menggugurkan keabsahan saksi”. Sedangakan secara terminologi atau secara isltilah dalam kitab ushul al-hadist menyatakan bahwa al-jahr merupakan kepribadian seorang perawi yang tidak memiliki kualitas menjadi seorang perawi sehingga hadist yang diriwayatkannya gugur dan ditolak. Menurut definisi lain ada yang menyatakan bahwa lemahnya hadist yang dapat ditolak periwayatnya sebab adanya sifat tercela dari seorang perawi.[2]
هو ظهور وصف فى الراوى يسلم عدالته او ىخل حفظه وضبطه مما يترتب عليه سقوط روايته او ضعفها وردها
Menampakan suatu sifat kepada rawi yang dapat merusak keadilannya atau merusak kekuatan hafalan dan ketelitiannya serta apa-apa yang dapat menggugurkan riwayatnya ditolak”[3]
            Kata al- ta’dil secara etimologi atau secara bahasa merupakan bentuk isim masdar dari kata ‘addala – yu’addilu, yang memiliki arti keadilan. Sedangkan secara terminologi atau secara istilah dapat diartikan suatu sifat yang harus dimiliki seorang perawi yaitu sifat keadilan yang menyebabkan hadist yang diriwayatkannya dapat diterima. Keadilan disini menyangkut akan halnya seorang perawi harus melaksanakan perintah allah dan menjauhi larangan allah.[4]
وصف الراوى بصفات تزكية فتظهر عدالته ويقبل خبره 
Sifat rawi dari segi diterima dan nampak keadilannya
            Adapun pengertian tentang ilmu jarh wa ta’dil ialah:
هوالعلم الذى يبحث فى احوال الرواه من حيث قبول روايتهم اوردها
Ialah suatu ilmu yang membahas hal-ihwal para rawi dari segi diterima atau ditolak periwayatannya."[5]
علم يبحث فيه عن جرح الرواة وتعديلهم بالفاظ مخصوصة وعن مراتب تلك الالفاظ
Artinya: “ilmu yang menerangkan tentang catatan catatan yang dihadapkan pada para perawi dan tentang pengadilannya (memandang adil perawi) dengan memakai kata kata yang khusus dan tentang martabat kata kata itu.”[6]
            Selain pengertian diatas, banyak dari para ulama yang memberikan pendapat mengenai istilah ilmu jarh wa ta’dil. Para ulama ada yang mengatakan bahwa ilmu ini membahas tentang keadaan para rawi hadist yang dapat mencacatkan atau diterimanya suatu hadist yang di riwayatkan melalui lafadz tertentu. M. Hasbi Ash-Shiddiqy juga berpendapat mengenai ilmu ini, beliau mengemukakan bahwa ilmu ini menjelaskan kualitas para rawi yang kurang terpenuhi sehingga tertolaknya suatu hadist atau bisa dikatan hadist yang cacat. Sehingga dapat disimpulkan bahwa ilmu jarh wa ta’dil ialah ilmu yang mebahas tentang suatu keadaan para rawi hadist baik dari segi kualitas maupun sifat kepribadianya yang dapat diterima atau ditolaknya suatu hadist.[7]

C. LATAR BELAKANG MUNCULNYA ILMU JARH WA TA’DIL
            Dari pengertian secara singkat mengenai ilmu jarh wa ta’dil yang menekankan pada aspek sanad atau para perawinya menandakan bahwa ilmu jarh wa ta’dil ini sudah ada sejak awal kemunculan islam. Para ulama bersikap kritis terhadap para rawi yang meriwayatkan sebuah hadis, apakah mereka jujur atau berdusta. Oleh sebab itu, para ulama meneliti sebuah rawi dilihat dari tinjauan kualitas dan kepribadiannya, sehingga akan diketahui mana hadist yang dapat dijadikan sumber hukum dan mana hadist yang cacat. Para ulama juga menganjurkan ilmu ini karena ilmu ini bisa dikategorikan sebagai nasehat dalam agama. Dan juga dijelaskan dalan Alquran surat Al-hujarat (49) yang menjelaskan tenatng pemilihan dalam menentukan hadist yaitu kita dilarang mengambil hadist dari orang fasiq dan tidak tsiqot.[8]
            Adapun faktor yang melatar-belakangi munculnya ilmu jarh wa ta’dil ini bukan hanya sikap kritis dari para ulama, akan tetapi masih banyak faktor yang lain pemicu munculnya ilmu ini. Dilihat dari tujuan ilmu ini tak lain hanyalah sebagai menjaga keaslian dan keutuhan sumber hukum islam yang tinggi yaitu alquran dan hadist. Menyangkut alquran sendiri mungkin para ulama tidak perlu mendebatkannya karena sudah diyakini bahwa alquran sudah terjaga langsung oleh allah. Namun hadist yang merupakan sunnah sunnah nabi muhammad SAW ini lah yang menjadikan para ulama khawatir mengenai tersampainya hadist ini ke generasi berikutnya. Faktor yang paling utama yaitu adanya gerakan pemalsuan hadist (al-wadh’u). Sehingga para ulama berusah untuk mencegah gerakan tersebut dengan melahirkan disiplin ilmu diantaranya,
(1) ilmu tentang isnad hadist,
(2) melakukan pengecekan dan validitas sebuah hadist,
(3) ilmu jarw wa ta’dil,
(4) mengklasifikasikan hadist menjadi tiga jenis: shahih, hasan, dan dhaif.[9]
            Maka dari itu, mulailah berkembang salah satu disiplin ilmu yaitu ilmu jarh wa ta’dil dan para sahabat dan para tabi’in bersikap hati hati dalam menerima riwayat dari para perawi, yang kurang bertanggung jawab. Perkembngan ilmu ini sudah di mulai sejak pada zama sahabat. Pada masa sahabat banyak buku yang menjelaskan tentang keadaan perawi seperti kitab Al-kamil yang menjelaskan keadaan perawi hadist seperti ibnu Abbas (68 H), Anas ibnu Malik (93 H), dll. Pada masa ini masih sedikit para perawi yang dinggap cacat dalam periwayatannya. Meskipun juga masih ada kesalahan yang tidak sengaja dalam penulisan matannya. Sehingga hanya perlu konfirmasi antar para sahabat mengenai kesalahan yang terjadi.[10]
            Seiring berkembangnya pada zaman sahabat dalam hal kritis hadist bukan hanya terletak pada matannya saja, melainkan mulai ada pengkritisan tentang sanad hadistnya. Pengkritikan ini dimulai akibat terjadinya al-fitnah al-kubra (bencan besar) dengan terbunuhnya khalifah Usman bin Affan dan juga adanya perang antara Muawiyah dan Ali. Kejadian tersebutlah yang menyebabkan perpecahan pada umat islam. Sehingga pada masa inilah mulai digunakan ilmu jarh wa ta’dil. Kemudia sikap kritis ini mulai berlanjut ke masa para tabi’in dan banyak para tokoh tokoh islam yang ahli dalam karakteristik hadist seperti Yahya bin Said al- Qattan yaitu orang yang pertama yang menghimpun mngenai ilmu ini. Pada abad kedua hijriyah ilmu ini masih belum dibukukan. Namun mulai tumbuh generasi yang meneruskan atau yang ahli dalam bidang kritik hadist. Diantara mereka sudah mulai memunculkan kitab kitab yang secara khusus membicarakan ilmu jarh wa ta’dil seperti karya imam Bukhori dll.[11]
            Adapun kitab kitab yang telah tersusun dalam ilmu jarw wa ta’dil adalah sebagai berikut:
1.      Kitab yang diklasifikasikan berdasarkan perawi perawi yang terpercaya diantaranya :
a.       Kitab Al-tsiqah karangan ibnu Hibban (351 H)
b.      Kitab Al-tsiqah karangan Zainuddin Qasim Al- Hanafi (879 H)
2.      Kitab yang diklasifikasikan berdasarkan perawi yang lemah diantaranya:
a.       Kitab Adl Al- Dhu’afa karya imam Bhukori
b.      Kitab Al- Kamil karangan Ibn ‘Adi (365 H)
c.       Dll.
3.      Kitab yang diklasifikasikan berdasarkan perawi yang terpercaya dan lemah diantaranya:
a.       Kitab Al- jarh wa At-Ta’dil karangan Ibnu Hatim Al- Razi (337 H)
b.      Kitab At- Thabaqat Al- Kubra karangan Muhammad bin Sa’ad (235 H)[12]
            Ilmu jarh wa ta’dil berkembang pada masa sahabat hingga saat ini juga karena takut pada apa yang pernah disabdakan nabi Muhammad SAW: “Akan ada pada umatku yang terakhir nanti orang orang yang menceritakan hadist kepada kalian apa yang belum pernah kalian dan juga bapak bapak kalian mendengar sebelumya. Maka waspadalah terhadap mereka dan waspadailah mereka” (Muqoddimah Shahih Muslim).[13]

D. TINGKATAN ILMU JARH WA TA’DIL
            Dalam ilmu jarh wa ta’dil juga memiliki tingkatan tingkatannya. Seorang perawi memiliki tingkatan jarh dan ta’dil yang berbeda-beda. Perbedaan tingkatan jarh dengan tingkatan ta’dil yaitu terletak pada susunanya. Jika tingkatan jarh disusun dengan urutan ke atas, sedangkan tingkata ta’dil disusun dengan urutan ke bawah. Adapun tingkatan tingkatan jarh wa ta’dil adalah sebagai berikut:
1.      Tingkatan Tingkatan Jarh
a.       Tingkatan pertama, yaitu penyifatan seorang rawi yang menunjukkan adanya kelemahan atau hanya sekedar dha’if yang tidak bisa dijadikan pegangan seperti lafadz: layyin al-hadits (maksudnya hadits yang lemah) atau fiihi dha’fun (maksudnya padanya ada kelemahan.
b.      Tingkatan kedua, yaitu penyiftan seorang rawi dengan menunjukan adanya kelemahan dho’if yang lemah sekali atau pelemahan yang lebih besar dari tingkatan sebelumnya. Seperti: ia mempunyai hadist hadist yang munkar atau majhul (tdk memiliki identitas)
c.       Tingkatan ketiga, yaitu penyifatan rawi yang menggugurkan hadist, seperti mardud al-haditsl (hadistnya ditolak), raddu hadtsahu (mereka menolak hadistnya).
d.      Tingkatan keempat, yaitu penyifatan seorang rawi yang menunjukkan tidak adil, seperti matruk al-hadist (haditstnya di tinggalkan), saqih halik (gugur dan rusak), dll.
e.       Tingktan kelima, yaitu penyifata seoarng rawi yang menunjukan adanya tuduhan dusta, sifat dusta, atau pemalasuan hadist, seperti fulan dituduh berdusta atau dituduh memalsukan hadist atau mencuru hadist.
f.       Tingkatan keenam, yaitu penyifatan seorang rawi yang menunjukan adanya sifat dusta yang berlebihan, dan ini seburuk buruknya tingkatan, seperti fulan seorang pembohong atau ia merupakan puncak kedustaan.
Hukum tingkatan al-jarh jika dilihat dari tngkatannya bahwa perowi yang berada di kedua lebih rendah kedudukannya dari pada yang pertama. Jadi bisa disimpulkan bahwa perowi yang berada ditingkatan keempat sapai keenam hadits nya tidak bisa digunakan sebagi hujjah dan juga harus dihapuskan.[14]
2.      Tingkatan Tingkatan Ta’dil
a.       Tingkatan pertama, yaituseorang rawi yang memiliki sifat keadilan dan kedhobitan yang tinngi (bentuk mubalaghoh) seperti fulan adalah manusia yang paling teguh, dll.
b.      Tingkatan kedua, yaitu rowi yang memliki sifat kemasyhuran dalam kedilan dan kecermatan atau sifat yang mnguatkan kestsiqohannya seperti tsiqah tsiqah, atau tsiqah tsabit.
c.       Tingkatan ketiga, yaitu sifat rowi yang munjukan adanya ketsiqahan tanpa adanya penguatan seperti tsiqah, tsabat, mutqin dll.
d.      Tingkatan keempat, yaitu rawi yang menunjukan tanpa adanya isyarat akan kedhobitan dan kecermatan seperti orang terpercaya, orang yang jujur dll.
e.       Tingkatan kelima, yaitu rawi yang tidak menunjukan adanya celaan (jarh) seperti manusia meriwayatkan darinya.
f.       Tingkatan keenam, yaitu rawi yang yang mendekati adanya jarh seperti fulan lumayan, haditsnya benar,dll.
Hukum tingkatan ta’dil yaitu untuk tingkatan yang pertama bisa dijadikan sebagai hujjah meskipun kekuatan kedhobitannya berbeda beda, namun untuk tingkatan yang selanjutnya tidak bisa dijadikan hujjah namun boleh ditulis sebagai bahan pelajaran dan bisa membandingkan dengan hadist yang lain.[15]

E. MACAM MACAM KE’AIBAN RAWI
            Pada dasarnya aib seorang rawi itu banyak sekali namun hanya ada 5 yang disebutkan secara umum, yaitu:
1.      Bid’ah yaitu orang melakukan tindakan tercela yang keluar dari syariat islam.
2.      Mukhalafah yaitu rawi yang berlainan dengan rawi yang lebih tsiqah.
3.      Ghalat yaitu rawi yang banyak melakukan kesalahan dalam meriwayatkan hadist.
4.      Jalahatu’l hal yaitu rawi yang tidak memiliki identitasnya atau tidak dikenal.
5.      Da’wa’l-inqitha yaitu rawi yang sanadnya tidak bersambung.[16]

F. MANFAAT ILMU JARH WA TA’DIL
            Hadist merupakan sumber hukum agama islam yang patut kita pelajari dan mengikuti sunnah sunnah didalamnya. Dalam mempelajari sebuah hadist tentunya banyak sekali metode yang kita pahami dari segi kualitas hadist maupun kuantitas hadist tersebut. Kualitas sebuah hadist terletak pada sanad dan matannya. Jadi hadist yang bisa diterima atau di tolak itu kita bisa ketahui melalui suatu disiplin ilmu yaitu ilmu jarh wa ta’dil. Dalam hal ini, ilmu ini sangat bermanfaat bagi kita umat nabi muhammad sebagai penerima kabar baik harus memahami ilmu ini agar tidak salah dalam menerima sebuah hadist. Dan dengan danya ilmu ini kita dapat mngetahui mana hadist yang shohih dan mana hadist yang dhaif. Dan yang terpenting ilmu ini membahas tentang keadaan seoarng perawi dari segi kualitasnya.[17]
            Dalam ilmu jarh wa ta’dil juga di jelaskan mengenai syarat syarat orang yang boleh pentajrih atau penta’dil. Diantanya yaitu harus orang yang alim, bertaqwa, orang yang wara’, jujur, tidak menunjukan jarh, dan tidak fanatik terhadap rawi. Selain itu ada pula syarat lain yaitu harus minimal dua orang yang ment’dil atau pentajrih. Namun ada pula yang mngatakan hanya cukup satu orang saja dalam hal penta’dilan atau mentajrih sebab bilangan tidak menjadi syarat dalam hadist.[18]

G. PENUTUP
            Dari kajian diatas maka dapat disimpulkan bahwa ilmu jarh wa ta’dil merupakan salah satu cabang ilmu hadist yang membahas tentang keadaan para rawi dalam hal meriwayatkan sebuah hadist yang di tinjau dari kuantitas maupun kualitas seorang perawi sehingga akan dapat diketahui riwayat hadistnya ditolak atau dapat diterima. Ilmu jarh wa ta’dil ini sudah ada sejak pada zaman nabi karena beberapa faktor penyebab munculnya disiplin ilmu ini. Hingga sampai saat ini pun ilmu ini masih tetap di pelajarai agar kita sebagai generasi penerus mampu membedakan mana hadist yang shahih dan mana hadis yang dha’if.
            Salah satu faktor yang melatarbelakangi munculnya ilmu jarh wa ta’dl ini yaitu adanya gerakan pemalsuan hadist. Sehingga para sahabat pada zaman dahulu sangat berhati hati dalam menyampaikan atau menerima hadist. Sehingga para ulama mencoba untuk mencegah adanya gerakan tersebut dengan memunculkan disiplin ilmu ini. Ilmu ini melihat kualitas hadis dari sisi sanadnya. Pada zaman sahabat masih sedikit para perawi yang lemah, namun setelah pada zaman tabi’in mulai banyak para perawi yang melakukan kesalahan disengaja maupun tidak sengaja. Sehingga peran dari ilmu jarh wa ta’dil ini mulai berkembang.
            Ilmu jarh wa ta’dil memliki tingkatan tingkatan yaitu tingkatan jarh dan tingkatan ta’dil. Perbedaan keduanya terletak pada urutan susunannya. Banyak para ulama yang berbeda pendapat mengenai jumlah tingkatan ilmu ini. Sehingga menimbulkan problematika di kalangan para ulama. Seperti halnya juga perbedaan pendapat pada syarat orang yang menta’dil atau mentarjih. Ada yang mngatakan dua orang dan ada pula yang mengatakan cukup satu orang.
            Ilmu jarh wa ta’dil ini juga memberikan manfaat dan peran yang sangat penting bagi kita. Mengingat akan apa yang pernah disabdakan rosul mengenai akan datang seseorang yang menyampaikan kabar yang kalian maupun bapak bapak kalian belum mengetahui. Maka dari dengan adanya ilmu kita bisa mengetahui mana hadist yang benar banar dari nabi atau bukan.
            Demikian kajian yang dapat kami paparkan  semoga bermanfaat bagi pembaca dan juga bagi kita selaku penulis. Apabila ada kekurangan pada pada materi ini kami memohon saran agar bisa kami perbaiki dan menjadi lebih baik.





















DAFTAR PUSTAKA
Ma’ani, Bahrul.2010.Upaya Menghindari Skeptis dan Hadis Palsu.Jurnal penelitian: Media Akademi
Muhammad Ahmad dan M. Mudzakir.2004.Ulumul Hadist.Bandung: Pustaka Setia
Mujibatun, Siti.2014.Paradigma Ulama Dalam Menentukan Kualitas Hadist.Jurnal Penelitian: UIN Walisongo Semarang
Musaddad, Endad.Ilmu Al-jarh Wa Al-ta’dil.(jurnal penelitian)
Muzayyin, Ahmad.2017.Kualitas Hadist Ditentukan oleh kualitas Rawi Dalam Sanad.Jurnal Penelitian: STAI Darul Kamal
Nuruddin, Triyasyid.2008.Al-jarh wa At-ta’dil.Jurnal Penelitian
Rahman, Fathur.1980.Ikhtishar Mushthalahu’l HadistBandung: PT Al-Ma’arif.
Smeer, Zeid B.2008.Ulumul Hadist: Pengantar Studi Hadist Praktis.Malang: UIN Malang Press
Sulaiman, M. Noor.2008.Antologi Ilmu Hadist.Jakarta: Gaung Persada Press.
Suryadilaga, M. Al- fatih, dkk.2010.Ulumul Hadist.Yogyakarta: Teras

Catatan:
1.      Similarity hanya 4%. Bagus
2.      Jika referensi itu diambil dari jurnal, maka harud dicantumkan lengkap identitas jurnalnya.
3.      Abstrak belum mengkover isi pembahasan.
4.      Tingkatan-tingkatan jarh dan ta’dil lebih baiknya ditambahkan redaksi Arabnya, supaya diketahui Arab, latin, dan terjemahannya.


[1] Muhammad Ahmad dan M. Mudzakir, ulumul hadist, (Bandung: Pustaka Setia, 2004), hal. 59.
[2] M. Noor Sulaiman, Antologi Ilmu Hadist, (Jakarta: Gaung Persada Press, 2008), hal. 176.
[3] Endad Musaddad, Ilmu Al-jarh Wa Al-ta’dil, (jurnal penelitian)
[4] Loc.cit, hal.176
[5] Fatchur Rahman, Ikhtishar Mushthalahu’l Hadist, (Bandung: PT Al-Ma’arif, 1980), hal. 268.
[6] Muhammad Ahmad dan M. Mudzakir, ulumul hadist, (Bandung: Pustaka Setia, 2004), hal. 59.
[7] M. Noor Sulaiman, Antologi Ilmu Hadist, (Jakarta: Gaung Persada Press, 2008), hal. 177.
[8] Zeid B. Smeer, Ulumul Hadist: Pengantar Studi Hadist Praktis, (Malang: UIN Malang Press, 2008), hal. 133.
[9] Ibid. Hal. 135-136.
[10] Muhammad Ahmad dan M. Mudzakir, ulumul hadist, (Bandung: Pustaka Setia, 2004), hal. 60.
[11] M. Al-fatih Suryadilaga, dkk, Ulumul Hadist, (Yogyakarta: Teras, 2010), hal. 158
[12] Bahrul Ma’ani, Upaya Menghindari Skeptis dan Hadis Palsu, (Jurnal penelitian: Media Akademi, 2010)
[13] Zeid B. Smeer, Ulumul Hadist: Pengantar Studi Hadist Praktis, (Malang: UIN Malang Press, 2008), hal. 135.
[14] Ibid, hal. 141.
[15]Triyasyid Nuruddin, Al-jarh wa At-ta’dil, (Jurnal Penelitian, 2008), hal.3
[16] Fatchur Rahman, Ikhtishar Mushthalahu’l Hadist, (Bandung: PT Al-Ma’arif, 1980), hal. 268.
[17] Ahmad Muzayyin, kualitas Hadist Ditentukan oleh kualitas Rawi Dalam Sanad, (Jurnal Penelitian: STAI Darul Kamal, 2017)
[18] Siti Mujibatun, Paradigma Ulama Dalam Menentukan Kualitas Hadist, (Jurnal Penelitian: UIN Walisongo Semarang, 2014)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar