Senin, 09 April 2018

AL AMM AL KHASS MUTLAQ dan MUQAYAD (PAI C Semester Genap 2017/2018)



AL AMM AL KHASS MUTLAQ dan MUQAYAD

Firhan Ubaidillah El Abrary, dan Nadita Bening Estu
Mahasiswa PAI UIN Maulana Malik Ibrahim Malang
PAI C 2018
firhan.ubaidillah@gmail.com


Abstrac :
In this article describes one of the important elements that can be used as an approach in studying Islam is UshulFiqh science, which is the study of the rules that serve as a guide in establishing the laws of shari'ah that are amaliyah obtained from the propositions, detailed proposition. Through the rules of UshulFiqh which will be known syara 'texts and the laws it demonstrates. Among UshulFiqh's important rules is Istinbath in terms of linguistics, one of which is Ammlafadz, Khas, Mutlaq and Muqayyad.

Keyword : Al Amm, Khass, Mutlaq danMuqayyad


Abstrak :
Didalamartikelinimenjelaskantentangsalah satu unsur penting yang dapatdigunakan sebagai pendekatan dalam mengkaji Islam adalah Ilmu Ushul Fiqh, yaitu ilmu yang mempelajari kaidah-kaidah yang dijadikan sebagaipedoman di dalam menetapkan hukum-hukum syari’at yang bersifat amaliyah yang diperoleh daridalil-dalil yang rinci. Melalui kaidah-kaidah Ushul Fiqh yang akan diketahui nash-nash syara’ dan hukum-hukum yang ditunjukkannya. Diantara kaidah-kaidah Ushul Fiqh yang penting diketahui adalah Istinbath dari segi kebahasaan, salah satunya adalah lafadz Amm, Khas, Mutlaq dan Muqayyad.
Kata Kunci : Al Amm, Khass, Mutlaq danMuqayyad


A.    Pendahuluan
Dalam teks hukum, setiap lafaz atau kata mengandung suatu pengertian yang biasanya mudah dipahami. Dalam suatu lafaz, ada pula yang mengandung beberapa pengertian yang dimana pengertian tersebut merupakan bagian-bagian dari lafaz itu sendiri. Didalam lafaz lafaz itu pasti memiliki hukum berlaku. Oleh karena itu bagian bagian yang termasuk dalam lafaz tersebut juga mengikuti hukum yang tersebut. Disamping itu, juga terdapat lafaz yang hanya mengandung satu pengertian saja. Lafaz yang mengandungbeberapa pengertian itulah yang disebut Amm atau umum, dan sedangkan yang mengandung satu pengertian saja itu disebut Khass atau khusus.
Didalam lafaz khusus ini, ada lafaz yang digunakan tanpa terkait dengan sifat apapun, dan ada juga lafaz yang dikaitkan dengan sifat ataupun keadaan tertentu. Lafaz yang tidak terkait dengan sesuatu apapun itulah yang dinamakan mutlaq, sedangkan lafaz yang berkaitan dengan susuatu itu disebut muqoyyad

B.     Al Amm

Apa yang dimaksuddenganlafazAmm? LafazAmmmenurutistilahLafazAmmberartiumum, yang dimaksudumumdisiniialahlafazAmmmemilikipengertianumumterhadasemua yang termasukdidalampengertianlafazitu. Dan menurut Bahasa LafazAmmberartiumumdanmerata. Dalamarti lain LafazAmmyaitu kata yang memberikanpengertianumum yang meliputisegalasesuatu yang terkandungdalam kata itusendiridengantidakterbatas.[1] Para ulama ushulfiqhberpendapatbahwa :
a.       Menurut Ulama Syafi’iyahberpendapatbahwasemualafazdantandaAmmsecarahakiki. Karena haltersebutdapatmudahdipahami
b.      Menurut Ulama Hanafiyahberpendapatbahwasetiaplafaz yang mencakupbanyak, baiksecaralafazataumakna
c.       Qadhi Abdul Wahab berpendapatbahwatidakada yang dapatdikaitkankepadaAmmkecualihanyadenganlafaz[2]

1.      Bentuk-BentukLafazAmm (Umum)

a.       Lafazكل  (setiap) dan جامع (seluruhnya)

Dalamfirman AllahSWT :
كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ

“Tiap-tiap yang berjiwa akan mati”.
(Ali ‘Imran, 185)



هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا

“Dialah Allah yang menjadikan untukmu segala yang ada di bumi secara kese-luruhan  (jami’an)”. (Al-Baqarah:29)

Lafazكلdan حامعtersebut di atas, keduanya mencakup seluruh satuan yang tidak terbatas jumlahnya.

b.      Kata jamak  yang disertai alif dan lam di awal seperti:

وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلَادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ
“Para ibu (hendaklah) meenyusukan anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi orang yang ingin menyempurnakan penyusuannya”.
(Al-Baqarah:233)

Kata al-walidat dalam ayat tersebut bersifat umum yang mencakup setiap yang bernama atau disebut ibu.

c.    Kata benda tunggal yang di ma’rifatkan dengan alif-lam :

وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا

“Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”
 (Al_baqarah: 275)

Lafazal-bai’ (jual beli) dan al-riba adalah kata benda yang di ma’rifatkan dengan alif lam. Oleh karena itu, keduanya adalah lafadz ‘am yang mencakup semua satuan-satuan yang dapat dimasukkan kedalamnya.

d.      Lafaz Asma’ al-Mawshul. Seperti ma, al-ladziina, al-ladzi dan sebagainya. Salah satu contoh adalah firman Allah:

إِنَّ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوَالَ الْيَتَامَى ظُلْمًا إِنَّمَا يَأْكُلُونَ فِي بُطُونِهِمْ نَارًا وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيرًا

“Sesungguhnya orang-orang yang (al-ladzina) memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sebeenarnya mereka itu menelan api sepenuh perut dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala”.
(An-Nisa:10)

e.       Lafaz Asma’ al-Syart} (isim-isim isyarat, kata benda untuk mensyaratkan), seperti kata ma, man dan sebagainya. Misalnya:

وَمَنْ قَتَلَ مُؤْمِنًا خَطَأً فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ وَدِيَةٌ مُسَلَّمَةٌ إِلَى أَهْلِهِ إِلَّا أَنْ يَصَّدَّقُوا

“dan barang siapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia 
memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah”.
(An-Nisa’:92)

f.       Isim nakirah dalam susunan kalimat nafi (negatif), seperti kataلَا جُنَاحَdalam ayat berikut:

وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ أَنْ تَنْكِحُوهُنَّ إِذَا آَتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ

“dan tidak ada dosa atas kamu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya”. (Al-Mumtahanah:10)[3]


2.      Dalalah Al Amm

Jumhur Ulama, di antaranya Syafi’iyah, berpendapat bahwa lafaz Al Amm itu dzanniy 
dalalahnya atas semua satuan-satuan di dalamnya. Dan demikian pula lafaz Amm setelah di-takhshish, sisa satuannya juga dzanniy dalalahnya, sehingga terkenalah  di kalangan mereka suatu kaidah ushuliyah yang berbunyi:
مَا مِنْ عَامٍ إِلاَّ خُصِّصَ
“Setiap dalil yang Ammharus ditakhshish”.

Oleh karena itu, ketika LafazAmmditemukan, hendaklah berusaha dicari pentakhshishnya. Berbeda dengan jumhur ulama. Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa Lafaz Amm itu qath’iy dalalahnya, selagi tidak ada dalil lain yang mentakhshishnya atas satuan-satuannya. Karena lafadz Amm itu dimaksudkan oleh bahasa untuk menunjuk atas semua satuan yang ada di dalamnya, tanpa terkecuali. Sebagai contoh, Ulama Hanaifiyah mengharamkan memakan daging yang disembelih tanpa menyebut nama Allah karena adanya firman Allah yang bersifat umum, yang berbunyi:

وَلَا تَأْكُلُوا مِمَّا لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ

“dan janganlah kamu memakan binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya”. (Al-An`am:121)

Ayat tersebut, menurut mereka, tidak dapat ditakhshish oleh hadits Nabi yang berbunyi:

المْسْلِمُ يَذْبَحُ عَلَى اسْمِ اللهِ سَمَّى أَوْ لمَ يُسَمِّ . (رواه أبو داود)

“Orang Islam itu selalu menyembelih binatang atas nama Allah, baik ia benar-benar menyebutnya atau tidak.”
(H.R. Abu Daud)[4]

3.      Macam-macam Lafaz Amm

a. Lafadz ‘am yang dikehendaki keumumannya karena ada dalil atau indikasi yang menunjukkan tertutupnya kemungkinan ada takhshish (pengkhususan).  
Misalnya:
وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي الْأَرْضِ إِلَّا عَلَى اللَّهِ رِزْقُهَا

Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang       
Memberi rizkinya.
( QS. Hud:6)

Yang  dimaksud adalah seluruh jenis hewan melata, tanpa kecuali

c.       LafazAmm tetapi yang dimaksud adalah makna khusus karena ada indikasi yang menunjukkan makna seperti itu. Contohnya:
\
مَا كَانَ لِأَهْلِ الْمَدِينَةِ وَمَنْ حَوْلَهُمْ مِنَ الْأَعْرَابِ أَنْ يَتَخَلَّفُوا عَنْ رَسُولِ اللَّهِ


Tidaklah sepatutnya bagi penduduk Madinah dan orang-orang Arab Badui yang berdiam di sekitar mereka, tidak turut menyertai Rasulullah
(At-Taubah: 120)

Yang dimaksud ayat tersebut bukan seluruh penduduk Mekah, tapi hanya orang-orang yang mampu.[5]

d.      LafazAmm yang terbebas dari indikasi yang dimaksud makna umumnya atau sebagian cakupannya. Contoh:
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ

Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quruk”.
(Al-Baqarah: 228)

Lafaz Amm dalam ayat tersebut adalah al-muthallaqat (wanita-wanita yang ditalak), terbebas dari indikasi yang menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah makna umum atau sebagian cakupannya.[6]

C.    AL Khass

Apaitu Al Khass? Al KhassmerupakanLafaz yang diciptakanuntukmemberipengertiandalamsatuantertentu. LafazKhassbisamenunjukanlafaztunggalmisalnyainsan (manusia), rajulun (laki-laki), Muhammad (nama orang), hayawan (hewan) selainitu Al Khassbisamengarahkepadapengertianabstrakmisalnyajahlun (bodoh), ilmun (ilmu) Al Khass juga bisamerujukkepadalafaztunggalmisalnyajam’un (seluruhnya), fariqun (sekelompok).[7]

1.      Dalalah AL Khass
DalalahLafazKhassadalahdalambentukqath’iy yang secarapastidenganartitidakadakemungkinan lain dariitu. DapatdilihatdariFirman Allah “ Idahseorangwanita yang berceraidengansuaminyadanwanitaitudalamkeadaanhamiladalahmelahirkananak “ Arti kata Idahmelahirkananakdisituhanyakhususbagi yang diceraikandalamkeadaanhamilataubisadisebutketentuanwanitahamilituhanyalahmelahirkananak.[8]
2.      MacamTakhsis

a.        Mentakhshish ayat Al-Qur’an dengan ayat Al-Qur’an. Misalnya:

وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ

Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru.
(Al-Baqarah:228)

Ketentuan dalam ayat di atas berlaku umum, bagi mereka yang hamil atau tidak. Tapi ketentuan itu dapat ditakhshish dengan surat At-Thalaq ayat 4 sebagai berikut:

وَأُولَاتُ الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ
Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu idah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya.
(At-Thalaq:4)

Dapat pula ditakhshish dengan surat Al-Ahzab:49:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا نَكَحْتُمُ الْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ فَمَا لَكُمْ عَلَيْهِنَّ مِنْ عِدَّةٍ تَعْتَدُّونَهَا

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya maka sekali-kali tidak wajib atas mereka idah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya”.
(Al-Ahzab:49)

Dengan demikian keumuman bagi setiap wanita yang dicerai harus beriddah tiga kali suci tidak berlaku bagi wanita yang sedang hamil dan yang dicerai dalam keadaan belum pernah digauli.

b.        Mentakhshish Al-Qur’an dengan As-Sunnah. Misalnya firman Allah

وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا

Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya
(Al-Maidah:38)

Dalam ayat di atas tidak disebutkan batasan nilai barang yang dicuri. Kemudian ayat di atas ditakhshish oleh sabda Nabi SAW:
لاَ قَطْعَ فِي أَقَلَّ مِنْ رُبْعِ دِيْنَارٍ . (رواه الجماعة)

“Tidak ada hukuman potong tangan di dalam pencurian yang nilai barang yang 
dicurinya kurang dari seperempat dinar”.
(H.R. Al-Jama’ah).

Dari ayat dan hadits di atas, jelaslah bahwa apabila nilai barang yang dicuri kurang dari seperempat dinar, maka si pencuri tidak dijatuhi hukuman potong tangan.

c.    Mentakhshish As-Sunnah dengan Al-Qur’an. Misalnya hadits Nabi SAW yang 
berbunyi:
لاَ يَقْبَلُ اللهُ صَلاَةَ أَحَدِكُمْ إِذَا أَحْدَثَ خَتىَّ يَتَوَضَّأَ . متفق عليه
“Allah tidak menerima shalat salah seorang dari kamu bila ia berhadats sampai ia berwudhu”. (Muttafaq ‘Alayh).
Hadits di atas kemudian ditakhshish oleh firman Allah dalam Al-Maidah ayat 6:

وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا
dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih). (Al-Maidah:6).

Keumuman hadits di atas tentang keharusan berwudhu bagi setiap orang yang akan shalat, ditakhshish dengan tayammum bagi orang yang tidak mendapatkan air, sebagaimana firman Allah di atas.

c.        Mentakhshish As-Sunnah dengan As-Sunnah. Misalnya hadits Nabi SAW:

فِيْمَا سَقَتْ السَّمَاءُ الْعُشْرُ . متفق عليه
“Pada tanaman yang disirami oleh air hujan, zakatnya sepersepuluh”. (Muttafaq Alayh).
Keumuman hadits di atas tidak dibatasi dengan jumlah hasil panennya. Kemudian hadits itu ditaksis oleh hadits lain yang berbunyi:
لَيْسَ فِيْمَا دُوْنَ خَمْسَةِ أَوْسُقٍ صَدَقَةٌ . متفق عليه

“Tidak ada kewajiban zakat pada taanaman yang banyaknya kurang dari 5 watsaq (1000 kilogram)’. (Muttafaq Alayh).

Dari kedua hadits di atas jelaslah bahwa tidak semua tanaman wajib dizakati, kecuali yang sudah mencapai lima watsaq.

d.       Mentakhsish Al-Qur’an dengan Ijma’.

إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ

apabila diseru untuk menunaikan sembahyang pada hari Jumat, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli.(Al-Jum’ah:9).

Menurut ayat tersebut, kewajiban shalaat Jum’at berlaku bagi semua orang. Tapi para ulama telah sepakat (ijma’) bahwa kaum wanita, budak dan anak-anak tidak wajib shalat Jum’at.

e.        Mentakhshish Al-Qur’an dengan qiyas. Misalnya:

الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِئَةَ جَلْدَة 

Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera. (An-Nur:2).

Keumuman ayat di atas ditakhshish oleh An-Nisa’ ayat 25:
فَإِذَا أُحْصِنَّ فَإِنْ أَتَيْنَ بِفَاحِشَةٍ فَعَلَيْهِنَّ نِصْفُ مَا عَلَى الْمُحْصَنَاتِ مِنَ الْعَذَابِ

Apabila mereka telah menjaga diri dengan kawin, kemudian mereka mengerjakan perbuatan yang keji (zina), maka atas mereka separo hukuman dari hukuman wanita-wanita merdeka yang bersuami. (An-Nisa’:25).

Ayat di atas menerangkan secara khusus, bahwa hukuman dera bagi pezina budak perempuan adalah saparuh dari dera yang berlaku bagi orang merdeka yang berzina. Kemudian hukuman dera bagi

D.    Mutlaq Muqayyad

1.        Pengertian Mutlaq dan Muqoyyad
 Berbagai definisi yang diberikan oleh para ulama ushul mengenai pengertian Mutlaq. Tetapi semua definisi itu bertemu pada suatu pengertian bahwa yang dimaksud oleh mutlaq itu adalah lafaz-lafaz yang menunjukkan kepada hakikat sesuatu dengan tidak adanya ikatan atau batas yang dapat mempersempit keluasan artinya. [9]
Seperti kata Raqabah dalam firman Allah SWT:
فَتَحْريرُرَقَبَةٍ              
“Maka bebaskanlah oleh seorang hamba sahaya” (Q.S Mujadalah ayat 3)
Lafaz ini termasuk Mutlaq karena tidak ada pembatasan dengan suatu sifat tertentu. Karena kata Raqabah memiliki arti hamba sahaya. Ini berarti boleh membebaskan hamba sahaya yang mukmin ataupun yang tidak mukmin.
Begitupun para ulama memberi definisi terhadap muqoyyad. Banyak definisi yang diberikan dan semuanya juga bertemu pada suatu pengertian bahwa yang dimaksud muqoyyad adalah lafaz-lafaz yang menunjukkan kepada hakikat sesuatu dengan adanya ikatan atau batas yang dapat mempersempit keluasan artinya.[10]
Misalnya pada kata raqabah disifati dengan kata mu’minah pada ayat:
وَمَنْ قَتَلَ مُؤْمِنًا خَطَأً فَتَحْرِيْرُ رَقَبَةٍ مُّؤْمِنَةٍ     
”Dan barangsiapa membunuh seorang mukmin karena bersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman” (Q.S. An-Nisa’ ayat 92)
2.      Hukum Muqoyyad
اَلْمُطْلقُ بَاقىٍى عَلَى تَقْيِيْدِهِ مَالَمْ يَقُمْ دَلِيْلٌ عَلَى إِطْلَاقِهِ
“Lafadz muqoyyad tetap dihukumi muqoyyad sebelum ada bukti yang memutlakannya”.
Contoh, kafarat zihar atau menyamakan istri dengan ibunya. Yaitu memerdekakan budak ataupun berpuasa selama dua bulan berturut-turut ataupun jikalau ia tidak mampu, maka harus memberi makan orang miskin sebanyak 60 orang. Seperti pada Q.S Al-Mujadalah ayat 3-4.[11]
3.      Hukum Mutlaq yang sudah dibatasi

اَلْمُطْلقُلَايَبْقَىعَلَىإِطْلَاقِهِإِذَايَقُوْمُدَلِيْلٌعَلَىتَقْيِيْدِهِ

”Lafaz mutlaq tidak boleh dinyatakan mutlaq jika telah ada yang membatasinya”
Lafaz mutlaq jika sudah ditentukan batasannya mala ia berubah menjadi muqoyyad. Contohnya dalam ketentuan wasiat. Seperti dalam Q.S An-Nisa’ ayat 11. Pada ayat tersebut lafaznya masih bersifat mutlaq karena tidak adanya batasan dalam jumlah yang harus dikeluarkan dalam wasiat tersebut. Kemudian ayat tersebut dibatasi ketentuannya dengan adanya hadits yang menyatakan bahwa wasiat paling banyak adalah satu per tiga harta yang ada[12]. Sebagaimana Hadits nabi:
فَإِنَّ رَسُوْلَ اللّهِ قَالَ الثُّلُثُ وَالثُّلُثُ كَبِيْرٌ(رواهالبخارىومسلم)
“Wasiat itu sepertiga dan sepertiga itu sudah banyak” (HR. Bukhari dan Muslim)
4.      Hukum Muqoyyad yang dihapuskan batasannya.

اَلْمُقَيَّدُ لَا يَبْقَى عَلَى تَقْيِيْدِهِ إِذَا يَقُوْمُ دَلِيْلٌ عَلَى إِطْلَاقِهِ

“Muqoyyad tidak akan tetap dikatakan muqoyyad jika ada dalil lain yang menunjukkan kemutlakannya”

Lafaz muqoyyad jika dihadapkan oleh dalil dalil lain yang memhapus kemuqoyyadannya maka ia menjadi mutlaq. Seperti contohnya hukum menikahi anak tiri yaitu haram. Karena, pertama, anaktiri adalah pemeliharaan bapak tirinya dan yang kedua adalah ibu yang dikawininya telah dicampuri. Dan alasan yang dianggap membatasi muqoyyad adalah alasan kedua. Karena alasan pertama hanya mengikuti saja. Oleh kaena itu jika ayah tiri belum mencampuri ibunya maka anak tiri boleh untuk dinikahinya. Maka hukum mengawini anak tiri tersebut yang semua haram (muqoyyad) menjadi halal dikarenakan batasan muqoyyadnya telah dihapus[13].
5.      Beberapa ketentuan dalam Hukum Mutlaq dan Muqoyyad

a.       Jika dalam suatu lafaz terdapat suatu tuntutan dan muqoyyad pada lafaz lain, digabungkan mutlaq kepada muqoyyad, jika keduanya bersesuaian menurut sebab dan hukum. Seperti hadits tentang kifarat puasa.[14]
                                          صُومَ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ         

”Puasalah kamu dua bulan berturut-turut” (HR. Muttaqun Alaihi)




Digabungkan kepadanya dengan hadits:
صُومَ شَهْرَيْنِ    
“Puasalah kamu dua bulan”
Pada Hadits yang pertama sudah ditentukan waktunya (Muqoyyad) dan sedangkan pada hadits yang kedua tidak ada ketentuannya (Mutlaq), Oleh karena itu, maka di kompromikan antara hadits yang kedua dengan yang pertama, kkarena bersesuaian menurut sebab  dan hukumnya.
اَلْمُطَلّقُيَحْمِلُعَلَىاَلْمُقَيَّدِاِذَااتَّفَقَافِىالسَّبَبِوَالْحُكْمِ
“Mutlaq digabungkan kepada Muqoyyad bila bersesuaian menurut sebab dan hukum”.
b.      Jika menurut sebab tidak sesuai, maka mutlaq tidak digabungkan kepada muqoyyad. Seperti antara kifarat Zihar dengan kifarat membunuh. [15]

وَ الَّذينَ يُظاهِرُونَ مِنْ نِسائِهِمْ ثُمَّ يَعُودُونَ لِما قالُوا فَتَحْريرُ رَقَبَةٍ                                                  ...مِنْ قَبْلِ أَنْ يَتَمَاسَّا

”Mereka yang menzihar istrinya, kemudian mereka surut dari apa yang dikatakannya, maka hendaklah memerdekakan seorang hamba sahaya sebelum keduanya bercampur” (Q.S. Mujadalah ayat  3).

Dan Firman Allah SWT:

وَمَنْ قَتَلَ مُؤْمِنًا خَطَأً فَتَحْرِيْرُ رَقَبَةٍ مُّؤْمِنَةٍ

“Barangsiapa yang membunuh orang mukmin dengan salah(kekeliruan), maka hendaklah memerdekakan seorang hamba sahaya yang mukmin”
(Q.S An-Nisa ayat 92)
Dalam ayat ini berisikan hukum yang sama. Yaitu sama sama memerdekakan budak, tetapi keduanya memiliki sebab yang berbeda dan berlainan. Yang pertama disebabkan karena Zhihar dan yang kedua dikarenakan membunuh dengan tidak sengaja, maka mutlaq tidak dapat digabungkan kepada muqoyyad

اَلْمُطَلّقُ لاَ يَحْمِلُ عَلَى الْمُقَيَّدِ اِذَا لَمْ يَتَّفَقَا فِى السَّبَبِالْحُكْمِ
“Mutlaq tidak digabungkan kepada muqoyad apabila tidak bersesuaian pada sebab”.
Menurut ulama kalangan Syafi’iyah, lafaz mutlaq itu dianggap muqoyyad sehingga hamba sahaya yang akan dimerdekakan pada kafarah zihar itu disamakan dengan hamba sahaya yang ada pada kafarat pembunuhan bersalah, yakni sama sama beriman. Sedangkan menurut ulama kalangan Hanafiyah malah sebaliknya, masing masing kafarat itu dipahami secara mandiri sehingga kafarat zihar adalah memerdekakan hamba sahaya tanpa diharuskan hamba sahaya yang beriman seperti pada kafarat pembunuhan bersalah.[16]
c.       Jika menurut sebab tidak sama tetapi sama menurut hukum. Maka menurut kebanyakan ulama Syafi’iyah mutlaq dibawa kepada muqoyyad.

اَلْمُطْلَقُلاَيُحْمَلُعَلَىالْمُقَيَّدِإِنِاخْتَلَفَافىالسَّبَبِ
“Mutlaq itu dibawa ke muqoyad jika sebabnya berbeda”

DAFTAR PUSTAKA

Syarifuddin, Amir. 2012. Garis-garisbesarUshulFiqh, Jakarta: KencanaPrenada Media
Bakry, Nazar. 2003. FiqhdanUshulFiqh, Jakarta: PT. Raja GrafindoPersada
Syafe’I, Rachmat. 2010. IlmuUshulFiqh, Bandung: Pustaka Setia
Djazuli, Ahmad. 2000. UshulFiqhdanMetodologiHukum Islam, Jakarta: PT. Raja GrafindoPersada
Khalaff, Abdul Wahab. 2005. IlmuUshulFikih, Jakarta: RinekaCipta
Effendi, Satria. 2005. UshulFiqh, Jakarta:KencanaPrenada Media
Tharaba, Fahim. 2016. HikmatutTasyri, Malang: CV. Dream LiteraBuana
Syarifuddin, Amir. 2008. UshulFiqh, Jakarta: KencanaPrenada Media
Shidik, Safiudin. 2009. Ushul Fiqh, Jakarta: PY Intimedia Ciptanusantara

Catatan:
1.      Similaritynya besar, yakni 32%.
2.      Abstrak dan pendahuluannya diperbaiki.
3.      Keterangan yang bukan ayat dalam makalah ini terlalu minimalis.


[2]Amir Syarifuddin, UshulFiqh, (Jakarta: Prenada Media, 2008), hal. 58-59

[3]Djazuli, UshulFiqhmetodologihukumislam, hal. 334-336
[4]Djazuli, UshulFiqhmetodologi hokum islam, hal. 336-337
[6]Abdul Wahab Khalaff, IlmuUshulFiqh, (Jakarta: RinekaCipta, 2005) hal. 237
[7]Fahim Tharaba, HikmatutTasyri’, hal. 196-197
[8]Amir Syarifuddin, Garis-garisbesarUshulFiqh, (Jakarta :Prenada Media, 2012), hal. 113
[9]Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih (Bandung: Pustaka Setia, 2010) hlm. 212
[10]Ibid
[11]Safiudin Shidik, Ushul Fiqh (Jakarta: PT Intimedia Ciptanusantara; 2009) hlm. 114-115
[12]Ibid,. hlm 115-116
[13]Ibid,. hlm 116-117
[14]Nazar Bakry, Fiqh dan Ushul Fiqh (Jakarta: PT. Raja GrafindoPersada, 2003) hlm. 226
[15]Ibid hlm. 227-228
[16]Satria Effendi M Zein, Ushul Fiqh, (Jakarta; Prenada Media, 2005) hlm. 210

Tidak ada komentar:

Posting Komentar