Senin, 09 April 2018

Hadis dilihat dari Aspek Kualitas (PIPS D Semester Genap 2017/2018)



Klasifikasi Hadis dari Aspek Kualitasnya
Hadis shahih, Hadis hasan, Hadis dhaif

Raqib Alamah Putra, Lailatul Munadiffa, Assaidatul kamilla



Abstract
According to language, saheeh means: healthy, safe from shame, true or correct.
According to the term, the hadith's meaning is that the hadith is continuous, narrated by the just and dhabith, as long as there is nothing in it of an awkwardness and defect. Thus according to imam nawawi, based on the rules made by ibnu shalah. Hasan Hadith is a hadith that rote memorization is not perfect. Therefore, the difference between the sahih hadith and the hadith hasan lies in its memorization. Ulama defines the hadith hasan as follows:
"Hadith hasan is a hadith that does not meet the requirements of the authentic Hadith as a whole because the transmission is entirely or partly less than the dhabit of his dhabit of valid narration." The word dha'if according to language, means weak, as opposed to qawi (strong). As opposed to the word of sahih, the word dha'if also means saqim (the sick). Then, the so-called hadith dha'if in language means weak, sick and non-strong traditions. In terminology, scholars define it with various editors, although the intent and content are the same. Al-Nawawi and al-Qasimi define the hadha dha'if by:
"Hadith in which there is no requirement of hadi sahih and the conditions of hadith hasan" Muhammad 'Ajjaj al-Khathib states that the definition of hadha dha'if is:
"All hadiths in which there is no accumulated maqbul properties"
Maqbul properties in the definition diata means are the properties contained in the hadith sahih and Hadith hasan, because keduannya meet maqbul properties. Thus, the second definition is the same as the following definition:
"Hadith in which does not gather the properties of authentic hadith and the properties of hadith hasan"
According to Nur al-Din 'Itr, the best definition of hadha dha'if is:
"Hadist who lost one of his terms as hadist maqbul (acceptable)"
That is, a hadith that does not meet any of the requirements (criteria) of sahih hadith or Hadith hasan expressed as hadith dha'if which means that hadith is rejected (mardud) to serve as hujjah.

Abstrak
Menurut bahasa, shahih berarti: sehat, selamat dari aib, benar atau betul.
Menurut istilah, arti hadist shahihb ialah hadist yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh orang-orang yang adil dan dhabith, selama tidak terdapat di dalamnya suatu kejanggalan dan cacat. Demikian menurut imam nawawi, berdasarkan kaidah yang dibuat oleh ibnu shalah. Hadis hasan ialah hadis yang hafalan penghafalnya tidak sempurna. Oleh karena itu, perbedaan antara hadis sahih dengan hadis hasan terletak pada hafalannya. Ulama mendefinisikan hadis hasan sebagi berikut :
“ hadis hasan ialah hadis yang tidak memenuhi syarat-syarat hadis sahih secara keseluruhan karena periwayatan seluruhnya tau sebagiannya lebih sedikit kakuatan dhabit-nya disbanding riwayat sahih”. Kata dha’if menurut bahasa, berarti lemah, sebagai lawan dari qawi(yang kuat). Sebagai lawan kata dari sahih, kata dha’if juga berarti saqim (yang sakit).Maka, sebutan hadis dha’if secara bahasa berarti hadis yang lemah, yang sakit dan yang tidak kuat. Secara terminologi, para ulama mendefinisikannyadengan redaksi yang beragam, meskipun maksud dan kandungan sama. Al-Nawawi dan al-Qasimi mendefinisikan hadis dha’if dengan:
“hadis yang didalamnya tidak terdapat syarat-syarat hadi sahih dan syarat-syarat hadis hasan”Muhammad ‘Ajjaj al-Khathib menyatakan bahwa definisi hadis dha’if adalah:
“segala hadis yang didalamnya tidak terkumpul sifat-sifat maqbul”
Sifat-sifat maqbul dalam definisi diata maksudnya adalah sifat-sifat yang terdapat dalam hadis sahih dan hadis hasan, karena keduannya memenuhi sifat-sifat maqbul. Dengan demikian, definisi kedua tersebut sama dengan definisi berikut:
“hadis yang didalamnya tidak berkumpul sifat-sifat hadis sahih dan sifat-sifat hadis hasan”
Menurut Nur al-Din ‘Itr, definisi yang paling baik tentang hadis dha’if adalah:
“Hadist yang kehilangan salah satu syaratnya sebagai hadist maqbul (yang dapat diterima)”
Maksudnya, suatu hadis yang tidak memenuhi salah satu syarat (kriteria) hadis sahih atau hadis hasan dinyatakan sebagai hadis dha’if yang berarti hadis itu tertolak (mardud) untuk dijadikan sebagai hujjah

Keywords: hadist shahih, hadist hasan, hadist dhoif

A.    Pendahuluan

1. Hadist shahih
a.      Pengertian Hadist Shahih Dan Syarat-Syaratnya
            Menurut bahasa, shahih berarti: sehat, selamat dari aib, benar atau betul.Menurut istilah, arti hadist shahihbialah hadist yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh orang-orang yang adil dan dlabith, sera tidak terdapat di dalamnya suatu kejanggalan dan cacat. Demikian menurut imam nawaw3i, berdasarkan kaidah yang dibua oleh ibnu shalah.[1]
            Secara bahasa shahih berarti sehat, selamat, benar, sah dan sempurna. Menurut shubhi al-shalih, hadis shahih adalah hadis yang sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh peeriwayat yang adil dan dhabith hingga bersambung kepada Rsulullah atau pada sanad terakhir tanpa ada syadz ataupun illat.[2]

Berdasarkan pengertian ini, maka syarat-syarat hadist shahih ada 5 macam yakni:
1)      Sanad Hadist Itu Harus Bersambung (Ittshahlul Isnad)
      Maksudnya, sanad hadist itu sejak dari mukharrijnya sampai kepada Nabi tidak ada yang terputus. Karenanaya, hadist munqathi’, mu’dlal, mudallas dan sebangsanya, tidaklah termasuk hadist shahih. Jadi hadist nabi yang berkualitas shahih haruslah berupa hadist musnad dan bukan sekedar hadist muttashil. Sebabl,l sebagaimana telah dijelaskan dalam bab yang lalu, bahwa setiap hadist musnad pasti hadist muttashiol dan tidak setiap hadist mjuttashil pasti hadist musnad. Sebabb, hadist muttashil adakalanya marfu’ dan adakalanya tidak, sedang hadist musnad pasti marfu’nya. Kemudian adakalanya muttashil dan adakalnya tidak muttashil, sedang hadist musnad pasti muttashil.

2)      Para Perai Yang Meriwayatkan Hadist Itu, Haruslah Orang Yag Bersifat Adil.
Arti adil disini memiliki sifat:
·         Istiqomah dala agaamanya (islam)
·         Akhlak baik
·         Tidak fasiq
·         Memelihara muru’ahnya
Jadi arti adil disini bukanlah eperti pengertian umum, yakni wadla’a kulla syai’in fi mahallihi           atau meletakkan esuatu pada tempatnya, tetapi mengandung aspek tersebu diatas.[3]

3)      Para Perawi Yang Meriwayatkan Hadist Itu Haruslah Dlabith.
      Ialah memiliki ingatan dan hafalan yang sempurna. Dia memahami dan hafal dengan baik apa yang diriwayatkan itu, serta mampu menyampaika hafalan itu kapan saja dikehendaki. Gabungan dari sifat adil dan dlabith, biasa disebut dengan istilah tsiqah atau tsabat. Jadi, orang yang tsiqah pasti adil dan dlibath, tetapi orang ynag adil saja atau dlibath saja, belumlah termasuk orang yang tsiqah.
4)      Apa Yang Berkenaan Dengan Periwayatan Hadist Itu, Tidak Ada Kejanggalan (Syudzudz)
      Yang dimaksud dengan syudzudz adalah apa yang sebenarnya berlawanan dengan peri keadaan yang terkandung dalam sifat tsiqah atau bertentangan dengan akidah yang telah berlaku secara umum, atau bertentangan dengan hadist yang lebih kuat.
5)      Apa Yang Berkenaan Dengan Periwayatan Hadist Itu Tidak Ada Sama Sekali Cacatnya.
b.      Macam-macam hadis shahih
1)      hadis shahih li-dzatihi
Yaitu hadis yang karena keadaan dirinya sendiri telah memenuhi lima syarat hadis shahih
Contoh:
قل رسول الله ص.م. المسلم من سلم المسلمون من لسا نه وبده وا لمها جر من هجر ما نهى ا لله “متفق علىه
Artinya
Rasulullah bersabda” yang dimaksud dengan orang islam (muslim) ialah orang yang tidak mengganggu orang-orang islam lainnya, baik dengan lidahnya maupun dengan tangannya dan yang dimaksud dengan orang yang berhijrah adalah orang yang pindah dari apa yang dilarang oleh allah.
Hadis di atas diriwayatkan oleh Bukhari dengan sanad sebagai berikut: Adam bin Iyas, Syu’bah, ismail (ibnu safar), As-sya’by, Abdullah bin Amr bin Ash. Rawi dan sanad Bukhari ini memenuhi lima syarat hadis shahih, oleh karena itu disebut hadis shahih li-dzatihi.[4]
2)      hadis shahih li-ghairihi
      Habis shahih li- gahairi ini berasal dari hadis hasan li-dzatihi yang ada dalil lain yang menguatkannya sehingga meningkat.. misalnya da dua buah hadis yang semakna dan sama-sama berkualitas hasan li-dzatihi, kemudian ada ayat yang sesuai dengan hadis tersebut, maka kualitas hadis tersebut meningkat menjadi hadis shahih li-ghairihi.
Contoh:
لث لا ان اشق على امتى لا مرتهم با لسواك عند كل صلا ة
Artinya:
Sekirannya tidak akan memberatkan kepada umatku, niscaya aku perintahkan mereka untuk bersikat gigi setiap menjelang sholat.
Salah seorang rawi dari sanad Hadis ini, ada yang bernama Muhammad bin Amr bin Al-qamah. Dia termasuk orang kepercayaan tetapi hafalannya di perselisihkan kesempurnaannya, karena itu kualitas hasan tersebut hasan li-dzatihi. Kemudian ada sanad yang lain memuat hadis tersebut ,amak dengan demikian hadis tersebut meningkat derajatnya menjadi shahih li-ghairihi.[5]
           

c.       Kriteria hadis shahih
1.      Sanadnya Bersambung
      Yang dimaksud dengan sanad bersambung adalah dari sanad pertama sampai sanad terakhir dikalangan sahabat hingga Nabi Muhammad atau mulai dari Nabi hingga periwayat terakhir. Untuk menegtahui bersambung atau tidaknya suatu hadis ulama biasanya menempuh penelitian sebagai berikut:
a)      Mencatat semua nama periwayat dalam sanad secara teliti.
b)      Mempelajari sejarah hidup masing-masing periwayat
c)      Meneliti kata yang menghubungkan antara para periwayatdengan periwayat terdekat dalam sanad.
Dari beberapa langkah diatas dapat diketahui apakah sanad dinyatakan bersambung atau tidak.[6]
2.      periwayat bersifat adil
      Al-hakim berpendapat bahawa seorang disebut adil apabila beragama islam, tidak berbuat bu’ah, dan tidak berbuat maksiat. Sedangkan menurut Ibn al-Shalah ada lima kriteria periwayat tersebut dikatakan adil yaitu beragama islam, baligh, berakal, memelihara muru’ah dan tidak berbuat fasik.Untuk mengetahui adil atau tidak periwayat hadis ada beberapa cara yaitu: pertama memalui popularitas keutamaan periwayat dikalangan ulama hadis. Kedua penilaian dari para periwayat hadis yang berisis kelebihan dan kekurangan hadis. Ketiga penerapah kaidah al-jahr wa al-ta’dil.[7]
3.      periwayat hadis bersifat dhabith
      Dhabith adalah orang yang kuat hafalannya, untuk hadis shahih periwayatnya harus berstatus dhabith. Kekuatan hafalan ini sama pentingnya dengan keadilan.Kriteria dhabith menurut M. syuhudi Ismail adalahPertama, periwayat memahami dengan baik riwayat hadis yang telah didengar. Kedua, periwayat hafal dengan baik riwayat hadis yang didengar, kemampuan hafalan merupakan syarat untuk disebut dhabith.Ketiga, periwayat mampu menyampaikan apa yang telah dihafal dengan baik.[8]
4.      Terhindar Dari Syadz (Kejanggalan)
      Secara bahasa syadz merupakan isim fa’il dari syadzdza yang berarti menyendiri. Menurut istilah ulama, syadz adalah hadis yang diriwayatkan oleh periwayat tsiqah yang bertentangan dengan dengan riwayat oleh periwayat yang lebih tsiqah.Menurut al-Safi’I suatu hadis dinyatakan mengandung syadz apabila :
·         Memiliki lebih dari satu sanad
·         Para periwayat hadis tersebut tsiqah
·         Matan atau sanad mengandung pertentangan.
      Para ulama hadis seperti Ibn al_Shalah, al-Nawai, Ibn Hajar al-Asqalani, al-Suyuthi dan beberapa ulama lain sepakat dengan syafi’I ketika mendefinissikan syadz karena penerapannya tidak sulit.[9]
5.      Terhindar Dari Illat
      Jika dalah hadis terdapat kecacatah baik secara tersembunyi atau tampak maka di namakan hadis muallaq. Kata muallaq merupakan isim maful dari kata a’allah (ia mencacatkannya).Secara bahasa kata illat berarti: cacat, kesalahan baca, penyakit, keburukan. Cacat dalam ilmu hadis dapat mengakibatkan lemahnya sanad.Mengetahui illat suatu hadis tidak mudah sebab membutuhkan upaya untuk menyingkap illat yang tersembunyi dan samar yang hanya dapat diketahui oleh orang ahli hadis seperti: Ibn al-Madani, Ahmad, al-Bukhari, Ibn Abi Hatim. Sedangkan meneurut al-Khathib al-Baghdadi cara untuk menegtahui illat hadis adalah dengan menghimpun seluruh sanadnya , melihat perbedaan diantara para periwayatnya dan memerhatikan status hafalan, keteguhan, dan kedhabith-an masing-masing periwayat.[10]
d.      Kehujjahan Hadis Sahih
            Dalam hal ini ulama berependapat bahwa hasis shahih tidak berstatus qath’I sehingga tidak dapat dijadikan hujjah untuk menetapkan persoalan akidah. Kedua, sebgaian ulama hadis berpendapat bahwa hadis-hadis shahih riwayat al-Bukhari dan Muslim berstatus qath’I. ketiga, Ibnu hazm memandang bahwa semua hadis shahih berstatus qath’i. semua hadis jika memenuhi syarat keshaahihhannya adalah sama dalam status sebagi hujjah.[11]Hadis shahih li-dzatih maupun li-gahairihi dapat dijadikan hujjah atau dalil dalam bidang hukum, akhlak, sosial, ekonomi dan sebagainya.
2. Hadist Hasan
            Hasan menurut bahasa berarti (sesuatu yang disenangi dan di condongi oleh nafsu).  Sedangkan menurut istilah para ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikan hadis hasan ini. Perbedaan pendapat ini terjadi disebabkan di antara mereka ada yang menggolongkan hadis hsan sebagai hadis yang menduduki diantara hadis sahih dan hadis dhaif, yang dapat dijadikan hujjah. Memang menurut sejarah ulama yang mula-mula memunculkan istilh “hasan” bagi suatu jenis hadis yang berdiri sendiri adalah Imam Al-Tirmidzi. Untuk lebih jelasnya di bawah ini dikemukakan beberapa definisi hadis hasan.[12]Menurut Ibnu Taimiyah Bahasa hasan yang diberikan Al-Tirmidzi sekaligus  merangkum polemik tentang peristilahan yang sering dipakai Al-Tirmidzi. Hadis hasan menurut Al-Tirmidzi adalah (dalam redaksi Ibnu Taimiyah)“Hadis yang diriwayatkan dari dua arah (jalur), dan para perawinya tidak terdusta dusta, tidak mengandung syadz yang menyalahi hadis-hadis shahih.”Jadi yang dimaksud syadz versi Al-Tirmidzi adalah perawi yang meriwayatkan hadis tersebut berlawanan dengan orang yang lebih hafal darinya atau lebih banyak jumlahnya.Definisi di atas dipandang tidak mani dan tidak jami. Tidak mani sebab hadis sahih yang rawinya selamat dari tuduhan dusta dan ma’nanya bersih dari kejanggalan dan dapat tercakup ddalam definisi tersebut. Tidak jami karena (misalnya) hadis gharib walaupun berniai hasan pada hakikatnya tidak dapat dimasukkan dalam definisi tersebut, karena dalam definisi tersebut disyaratkan harus mempunyai jalan datangnya erita (sanad) dari beberapa tempat.Oleh karena itu tidak semua ahli hadis sejalan dengan batasan yang diberikan Al-Tirmidzi. Seperti penggunaan istilah “hadis gharib” dalam menempatkan suatu hadis. Artinya hadis tersebut yang diriwayatkan melalui satu jalur (gharib) bisa disebut hadis hasan ? ini yang menjadi persoalan.[13]Permasalahan seperti itu menjadi polemik dikalangan ulama hadis. Dan para ulama berusaha memberikan penjelasan yang bemacam-macam. Diantaranya Ibnu Taymiyah yang meberikan penjelasan, bahwasannya hadis tersebut disebut gharib, karena pada Thabaqat tabi’i hanya diraiwayatkan oleh satu orang/satu jalur. Akan tetapi hadis tersebut diriwayatkan juga melalui jalur lain, maka bisa disebut hadis hasan karena sebab banyaknya periwayatan tersebut, meskipun pada dsarnya adalah gharib. Pada diketahui, bahwa Al- Tirmidzi memaknai hasan cenderung pada “ta’addud al-riwayat” (banyaknya riwayat).Begitu juga dengan bentuk penetapan “Shahih Hasan Gharib”. Kadang diriwayatkan dengan sanad yang shahih gharib, kemudian (hadist tersebut) diriwayatkan dari rawi tersebut dengan jalur yang shahih dan juga jalur lain, maka kemudian ia menjadi hadist hasan bersamaan dengan shahih gharib. Karena hakekat hadis hasan adalah banyaknya periwayatan dan para perawi tersebut tidak tertuduh bohong.Jika jalur periwayatan kedua duanya sama-sama sahih maka ia adalah hadis shahih murni. Sementara bila salah satunya tidak diketahui kesahihhannya maka ia menjadi hadis  hasan. Kadangkala sanadnya gharib dan tidak terdapat riwayat lain maka itu menjadi hasan matannya, karena ada yang meriwayatkannya dari dua jalur. Misalnya dalam satu bab sering dikatakan “diriwayatkan dari fulan an fulan” kemudian dijelaskan matannya itu hasan meskipun sanadnya gharib. Jika dikatakan bahwa kualitas suatu hadis adalah shahih, kemudian telah di tetapkan bahwa metode periwaytannya shahih, dan dalam riwayat kualitasnya periwayatannya hasan, maka dalam hadis tersebut telah berkumpul dua sifat, yakni hasan dan shahih.Suatu hadis dikatakan gharib bila hanya ada dalam satu riwayat dan sanadnya hanya diketahui dari hadis tersebut (tidak ada yang lain). Jika jalur periwayatannya sahih maka itu disebut shahih gharib. Begitu juga ketika suatu hadis diterangkan sebagai hadis gharib hasan kemudian ia menjadi hadis hasan.[14]Sementara itu Ibnu Hajar mendefinisikan hadis hasan sebagai berikut :“khabar Ahad yang dinukilkan melalui perawi yang adil, sempurna ingatannya, bersambung sanadnya dengan tanpa ber’illat dan syadz disebut Hadis Sahih, namun nbila kekuatan ingatannya kurang kokoh (sempurna) disebut hasan li dzatih”.Dengan definisi ini, dapat diketahui bahwa hadis hasan menurut Ibnu Hajar adalah Hadis yang telah memenuhi lima persyaratan hadis shahih sebagaimana disebutkan terdahulu, hanya saja bedanya, pada hadis hasan daya ingatan perawinya sempurna, sedang pada hadis hasan daya ingatan erawinya kurang sempurna. Dengan kata lain dapat disebutkan bahwa hadis hasan menurut Ibnu Hajar adalah hadis yang diriwayatkan oleh perawi yang adil, (tetapi) tidak begitu kuat daya ingatannya, bersambung-sambung sanadnya, dan tidak terdapat ‘illat serta kejanggalan pada matannya. Dengan demikian, hadis hasan ini menempati posisi di antara hadis shahih dan hadis dha’if. Definisi ini sama dengan definisi Al-Zarqany, dan Muhammad bin ‘Alwi Al-Maliki Al-Hasani.Al-Tirmidzi sebagai ahli hadis yang memunculkan istilah hadis hasan ini,karena ia melihat banyak jenis hadis dha’if (yang sebenarnya tidak terlalu dha’if), sementara dari sisi sand dan matannya hampir mendekati sahih (tapi tidak termasuk hadis sahih), dan dapat dijadikan hujjah. Dan ia tidak ingin menyamakannya dengan hadis shahih. Maka dari itu, disebutnyalah dengan hadis hasan. Dengan kata lain, hadis hasan yang dimunculkannya adalah nama lain dari hadis dha’if yang daat dijadikan hujjah.Jadi dari definisi-definisi di atas, dapat dikatakan bahwa hadis hasan hampir sama dengan hadis sahih, hanya saja terdapat perbedan dalam soal ingatan perawinya. Pada Hadis Shahih, ingatan atau daya hafalnnya kurang sempurna.
a)      Syarat – Syarat Hadis Hasan
Secara rinci syarat-syarat hadis hasan sebagai berikut:
1.      Sanadnya bersambung
2.      Perawinya ‘adil
3.      Perawinya dhabit, tetapi kualitan ke dhabit-annya dibawah ke dhabit-an perawi hadis sahih
4.      Tidak terdapat kejanggalan atau syadz dan
5.      Tidak ber’illat
b)     Macam – Macam Hadis Hasan
Para ulama ahli hadis membagi Hadis Hasan menjadi dua bagian, yaitu :
1.      Hadis Hasan Li Dzatih
     Pengertian Hadis Hasan Li Dzatihi sebagaimana pengertin diatas, yaitu hadis yang sanadnya bersambung dengan periwayatannya yag adil, dhabit meskipun tidak sempurna, dari awal sanad hingga akhir sanad tanpa ada keganjilan (syadz) dan cacat (‘illat) yang merusak.[15]
     Ibnu Al-Shalah memberikan batasan hadis jenis ini  dengan : “bahwasannya para perawinya masyhur/erkenla dengan kejujurannya, amanah, meskipun tidak mencpai derajat perawi hadis shahih, karena keterbatasannya kekuatan dan kebagusan hafalnnya. Meskipun demikian, hadis yang diriwayatkannnya tidak termasuk ke dalam golongan yang munkar.”
     Hadis hasan li dz dzatihi ini bisa derajatnya menjadi hadis shahih (li ghairihi) bila ada hadis lain yang sejenisnya diriwayatkan melalui jalur sanad yang lain. Sebagai contohnya adalah hadis Al-Tirmidzi yang diriwayatkan dari Muhammad bin Amr dari Abi Hurairah, sebagaimana dicontohkan diatas. Hadis ini hasan li dzatihi. Muhammda ibn Amr IBN Alqamah terkenal seorang yang baik dan jujur, tetapi kurang dhabith. Karena itu banyak ulama yang melemahkan hadis-hadis yang diriwayatkannya. Oleh karena itu, hadis dia atas berstatus hasan li dzatih. Akan tetapi ada riwayat lain dari jalur Al-A’raj dari Abu Hurairah, maka hadis ini naik derajatnya menjadi hadis shahih li ghairihi.
2.      Hasan Li Ghairihi
Secara singkat, hasan li ghairihi ini terjadi dari hadis dha’if jika banyak periwayatnya, sementara para perawinya tidak diketahui keahliannya dalam meriwayatkan hadis.Akan tetapi tidak sampai kepada derajat fasik atau tertuduh suka berbohong atau sifat-sifat jelek lainnya.Begitulah para ulama memberikan batasan hadis jenis ini, termasuk Ibnu Al-Shalah.
     Jadi, sistem periwayatannya terutama syarat-syarat ke shahihannya banyak yang tidak terpenuhi, akan tetapi para perawinya dikenal sebagai oraang yang tidak banyak berbuat kesalahan atau banyak berbuat dosa. Dan periwayatnya hadis tersebut banyak riwayat, baik dengan redaksi yang serupa (mitslahu) maupun mirip (nahwahu).
     Jadi hadis dha’if yang bisa naik menjadi hadis hasan hanyalah hadis-hadis yang tidak terlalu lemah.Sementara hadis-hadis yang sangat lemah, seperti hadis mudhu’, hadis munkar dan hadis matruk, betapapaun adanya syahid dan muttabi kedudukannya tetap sebagai hadis dha’if, tidak bisa beruba menjadi hadis hasan.[16]
c)      Tingkatan hadis hasan
Hadis hasan memiliki tingkatan yang diurutkan sebagai berikut:
Menurut Al-Dzahabi, sebagaimana dikutip oleh Ajjaj Al-Khatib, tingkatan psling tinggi adalah periwayatnya dari Bahz ibn Hakim dari bapaknya, dari kakeknya dari Amr ibn Syu’aib dari bapaknya, dari kakeknya dari Ibnu Ishaq dari Al-Taymiy.
            Kemudian bila perawinya mengatakan bahwa sebuah hadis itu” shahih Al-Isnad” atau Hasan Isnadnya”, maka itu belem tentu menunjukkan shahih matannya atau hasan matannya. Malah terkadang matannya mengandung keganjilan atau kecacatan. Oleh karena itu seorang kritikus tidaklah tepat memberi label Hadis shahih , hadis hasan hingga isnad shahih atau hasan kecuali mampu mengemukakan data-data atau alasannya. Maka yang berhak hanyalah orang yang mu’tamad (ahli dibidang ini dan dapat dipercaya) untuk dapat memberikan label “sanadnya shahih” atau “sanadnya hasan”.
d)     Kehujjahan Hadis Hasan
            Jumhur mengatakan bahwa kehujjahan hasan seperti hadis shahih, walaupun derajatnya tidak sama. Bahkan ada segolongan ulama yang memasukkan hadis hasan ini, baik hasan li-dzatih maupun hasan li-ghairih ke dalam kelompok shahih, sperti hakim, Ibnu Hubbah, Ibnu Khuzaimah meskipun tanpa memberikan penjelasan terlebih dahulu, bahkan para fuqoha dan pa ulama banyak yang beramal dengan hadis hasan ini. Al-Khattabi lebih tetili tentang penerimaan mereka terhadap hadis ini. Makannya Al-Khattabi kemudian mejelaskan bahwa yang mereka maksud dengan hasan di sisni (yang bisa di terima sebagai hujjah) adalah hadis hasan li dzatihi.Sedangkan terhadap hadis hasan li-gahairihi jika kekurangan-kekurangannya dapat diminimalisir aau tertutupi oleh banyaknya riwayat lain, maka sah berhujjah dengannya. Tapi pada hakikatna hasan li-ghairihi bia digunakan sebagai hujjah. Kitab-kitab yang banyak menemukan hadis hasan ini adalah Sunan Al-Turmudzi, Sunan Abi Daud, dan Sunan Al-Daruquthny.
            Sementara para ulama membedakan kehujjahan hadis berdasarkan perbedaan kualitas, hadis hasan li-dzatihi dengan li-ghairihi dah sahih li dzatihi dengan li-ghairihi, maupun antara shahih dengan hasan, mereka lebih jauh membedakan rutbah hadis-hadis tersebut berdasarkan kualitas para perawinya. Pada urutan pertama mereka menetapkan hadis riwayat Muttafaq alaih dan seterusnya.
            Penempatan hadis-hadis tersebut berdasarkan urutan-urutah diatas, akan terlihat kegunaanya ketika terjadi pertentangan antara dua hadis. Hadis yang menempati urutan pertama dinilai hadis yang paling kuat dari pada hadis yang menempati urutan kedua atau ketiga dinilai lebih kuat dari yang keempat atau lima.[17]
            Hadis hasan ialah hadis yang hafalan penghafalnya tidak sempurna. Oleh karena itu, perbedaan antara hadis sahih dengan hadis hasan terletak pada hafalannya. Ulama mendefinisikan hadis hasan sebagi berikut :
“ hadis hasan ialah hadis yang tidak memenuhi syarat-syarat hadis sahih secara keseluruhan karena periwayatan seluruhnya tau sebagiannya lebih sedikit kakuatan dhabit-nya disbanding riwayat sahih”Dari definisi tersebut dapat diketahui bahwa perbedaan antara hadis sahih dan hadis hasan tidaklah mencolok, sehingga keduanya tidak diragukan sebagai dalil syara. Hadis hasan terdiri dari dua kategori yaitu
1.      Hasan li dzatihi
Hadis hasan yang sanadnya bersambung, rawinya dail, tidak syadzdz, tidak ada ilat qadihah, tetapi daya tangkap atau hafalan rawinya lemah.
Contoh: “ Abu Kuraib menceritakan kepada kami katanya, Abdah bin Sulaiman menceritakan kepada kami, diterima dari nabi Muhammad bin Amr, dari abu salamah, dari Abu Hurairah, dari Nabi Saw. katanya : seumpama tidak memberatkan kepada umatku, pasti akan kuperintahkan mereka untuk bersiwak setiap akan sholat.”
Menurut Ibnu Munir, Muhammad bin Amr (salah satu rawi diatas) kurang ke dhabith-annya, sehingga kualitas hadis tersebut menjadi hasan.[18]
2.      Hasan  la lidzatihi
      Hadis yang sanadnya tidak jelas identitasnya (mastur), tetapi rawi tersebut tidak termasuk rawi pelupa, dungu, banyak salah, fasik atau tertudu dusta.  Apabila hadis ini jalannya berbilang yaiu: dengan adanya syahid atau mutabi, maka hadis semacam ini akan naik derajatnya menjadi hasan la lidzatihi.Hadia hasan la lidzatihi ini berasal dari hadis dhaif, tetapi tidak terlalu dhaif dan jlannya banyak, sehingga kedhaifannya itu tertutup. Karena itu, hadis hasan la lidzatihi banyak di pertimbangkan di kalangan para ahli sebagai sumber syariat juga, walaupun dalam batas-batas tertentu. Persoalannya terletak pada rawi yaitu ketidakmungkinan membuat riwayat palsu di kalangan orang-orang yang tidak saling mengenal. pembicaraan hal ini tetap hangat sampai sekarang di antara ulama ada yang menolak hadis semacam ini untuk menjadi dasar Hukum Islam dan adapula yang menerimanya. Sebagai contoh, takbir idain yang emnetapkan tujuh kali pada rakaat pertama dan lima kali pada rakaat kedua, sebagai hasan la lidzatihi.[19]
            Hadis hasan adalah hadis yang sanadnya bersambung, yang diriwayatkan oleh orang yang adil tetapi kurang sedikit dlabith, tidak terdapat di dalamnya suatu kejanggalan dan tidak juga terdapat cacat.
            Dari pengertian tersebut maka hadis hasan adalah itu tidak ada perbedaanya dengan hadis shahih, terkecuali hanya dibidang hafalannya. Untuk hadis hasan hafalan rawi ada yang kurang sedikit bila dibangingkan dengan yang shahih. Dapun untuk syarat-syarat lainnya, antara Hadis Hasan dengan yang Shahih sama.
            Kata istilah hasan mulai dikenal sejak zaman Imam Turmuzdi. Bahkan, dalam kitab sunannya, Imam Turmudzi banyak juga menggunakan istilah Hasan-Shahih, disamping isti;ah Hasan. Yang dimksud istilah hasan shahih menurut sebgaian ulama bahwa hadis tersebut diperselisishkan kualitasnya, yakni ada yang mengatakan Shahih dan ada yang mengatakan Hasan, ada juga yang berpendapat hadis tersebut kualitasnya berada antara Hasan dan Shahih.
Pembagian hadis hasan
1.      Hasan li-dzatihi
Hadis yang kehasananya bukan karena adanya petunjuk atau penguat lain, tetapi karena sebab dirinya sendiri.
2.      Hasan li-ghairihi
Hadis yang sanadnya ada rawi yang diakui keahliannya, tetapi dia bukanlah orang yang terlalu banyak kesalah dalam meriwayatkan hadis, kemudian ada riwayat dengan sanad yang lain yang sesuai dengan maknanya.
Dengan pengertian ini maka sesungguhnya hadis hasan li-ghairihi pada asalnya adalah hadis dhaif. Kemudian ada petunjuk lain yang menolongnya, sehingga ia meningkat menjadi hasan. Jadi, sekiranya tidak ada yang menolongnya, maka hadis tersebut akan tetap berkualitas Dhaif.[20]
      Menurut bahasa “al-hasan” berbentuk sifat musyabbahat yang berarti baik , sedangkan menurut istilah, ada beberapa pendapat para ulama hadis tentang definisi hadis hasan, mengingat kualitas hadis hasan berada diantara hadis hahih dan dlaif. Berikutpendapat para ulama tentang hadis  hasan:
1.      Menurut al-Khaththabiy, hadis hasan adalah hadis yang telah diketahui makhrajnya dan perawinya cukup dikenal (masyhur). Pengertian ini  lebih diterima mayoritas ulama dan dipakai sebagian besar ulama ahli fiqih.
2.      Menurut al-Turmudzi, hadis hasan adalah hadis yang sanadnya tidak terdapat perawai yang tertuduh dusta, tidak terdapat syadz dan penejlasan ini diriwayatkan melalui jalur sanad lain.
3.      Menurut Ibn Hajar, hadis ahad yang diriwayatkan oleh perawi yang adil, sempurna hafalannya, muttasil sanadnya, tidak terdapat illat dan tidak syadz disebut hadis shahih lidzatih. Sedangkan perawi yang kurang kuat hafalannya disebut hadis  hasan li-dzatih.
Menurut Ibn Hajar hadis hasan adalah perawinya yang kuat hafalannya , pengertian ini adalah pengertian yang paling kuat. Sedangkan pengertian menurut al-Khaththabiy masih banyak ktirikan.
      Definisi menurut al-Turmudzi mengandung pengertian hasan li-ghairih, yakni salah satu macam hadis hasan, sebab hadis hasan li-ghairihi pada dasarnya adalah hadis dla’if yang naik kualitasnya menjadi hasan, karena ditunjang dengan beberapa jalur sanad yang lain. Jadi definisinya menurut al-Turmudzi ini menyimpang dari bahasan semula yakni tentang hadis hasan li-dzatih.
Hukum hadis hasan
      Hadis hasan nilainya sama dengan hadis shahih yakni sama-sama bisa dipakai sebagai hujjah, walaupun kekuatannya berada di bawah hadis shahih. Oleh karena itu semua ulama ahli fiqih memakainya sebagai hujjah dan mengamalkannya demikian juga sebagian besar ulama ahli hadis dan ushul fiqih , sebagian juga ada dari golongan garis keras yang menolak sebagian ulama seperti Ibn Hibban, al- Hakim dan Ibn Huzaimah teralau gegabah memasukkan hadis hasan ke dalam kategori hadis shahih, walaupun diakui bahwa hadis hasan lebih rendah nilainya dari pada hadis hahih.
Contoh hadis hasan
Menurut al-Turmudzi, hadis ini bernilai hasan yang gharib.
Perawi yang terlibat dalam periwayatan hadis ini ada 4 orang yaitu: Qutaibah, Ja’far bin Sulaiman al-Dlabaghi, Abi Imran al-Jauni dan Abi Musa al-Asy’ariy. Semuanya mempunyai sifat tsiqah (terpercaya) kecuali Ja’far bib Sulaiman al-Dlabaghi, dia dinilai Shaduq ( sangat jujur) dilihat dari kualitas perawinya, hadis ini yang asalnya shahih menjadi hasan.
Tingaktan hadis hasan
Hadis hasan memiliki tingkatan tertentu. Al-Dzahabi membagi kualitas hadis hasan menjadi 2 tingaktan:
1.      Yang paling tinggi, yaitu hadis hasan yang diriwayatkan melalui Bahz bin Hakim dari ayahnya dari kakeknya, dan Ibn Ishaq dari al-Taimi serta contoh lainnya dari hadis shahih yang berkualitas paling rendah.
2.      Kemudian di peringkat bawahnya yaitu hads yang masih diperselisihkan kehasanan dan kedla’ifannya, sperti yang diriwayatkan oleh al-Harits bin Abdullah, Ashim bin Dlamarah, Hujjaj bin Aratah dan lain sebagainya.[21]
Maksud perkataan “Hadis Shahih Al-Isnad atau Hasan Al-Isnad”
Perkataan ahli hadis: hadisun shahihun, atau :hadza hadisun hasanul isnad” tidak sama dengan “dadza hasidun hasanun”, sebab hadis yang shahih atau hasan sanadnya tidak bisa dipastikan shahih atau hasan matannya, karena ternyata terdapat syadz dan terkena illat,
Jadi kalau ahli hadis mengatakan “hadza hadisun shahihun” berarti hadis tersebut telah dijamin memenuhi 5 syarat hadis shahih, tetapi kalau dikatakan “hadza hadisun shahihul isnad” berarti hadis tersebut hanya memenuhi 3 syarat yaitu muttasil sanadnya, perawinya adil dan dlabith, sedang syarat tidak terdapat illat dan syadz tidak terpenuhi.
Akan tetapi apabila ada seorang hafidh yang bisa dipertanggung jawabkan mengatakan: “hadza hadisun shahihul isnad” walaupun dia tidak menyebutkan tentang 2 syatar tersebut yaitu tidak terdapat syadz dan illat, berarti hadis tersebut shahih sanad dan matannya, karena pasa dasarnya memang tidak ada syadz dan ilat.
                   Maksud perkataan “hadisun hasanun shahihun” oleh Al-Turmudzi dan lainnya
Perkataan tersebut Nampak terdapat kejanggalan, karea kualitas hadis hasan tidak sama dengan hadis shahih, maka bagaimana keduanya bisa terkumpul padahal berebda derajat atau tingkatan kualitasnya. Paara ulama memberikan jawaban atas perkataan al-Turmudzi tersebut dan yang paling baik adalah jawaban yang disampaikan oleh Ibn Hajar yang didukung oleh al-Suyuthi yaitu:
a.       Apabila hadis tersebut mempunyai 2 jalur sanad atau lebih, maka berarti hadis tersebut berkualitas hasan melalui sanad tertentu, dan berkualitas shahih melalui sanad yang lain.
b.      Apabila hadis tersebut hanyamempunyai jalur 1 sanad maka berarti hadis tersebut hasan menurut golongan tertentu dan berkualitas shahih menurut golongan yang lain.
Perkataan al-Turmudzi tersebut mengandung isyarat adanya perbedaan pendapat di antara ulama tentang penentuan kualitas hadis, atau belum bisa mentarjihkannya.
Kitab-kitab yang diduga banyak terdapat hadis hasan
            Ulama ahli hadis beluma ada yang menulis kitab khusus memuat hadis hasan sebagaimana penulisan hadis shahih, namum ada beberapa kitab yang didalamnya banyak memuat  hadis hasan yaitu antara lain:
a.       Jami’ al-Turmudzi
Yang dikenal juga dengan nama suanan al-Turmudzi adalah sumber untuk menetahui hadis hasan, sebab al-Turmudzi sendiri yang mempopulerkannya. Namum terdapat kutipan yang berbeda dalam istilah”hasan shahih” dan lain sebagainya. Untuk itu bagi pemerhati hadis diharapkan berusaha mencari kutipan yang benar, kemudian mengkonfirmasikan dengan sumber-sumber yang bisa dipertanggungjawabkan.
b.      Sunan Abu Dawud
Sebagaimana surat yang pernah dikirimkan kepada warga Makkah, Abu Dawud menyebutkan, bahwa dalam kitabnya terdapat hadis shahih dan yang menyerupainya. Apabila ada hadis yang terlalu lemah, beliau menjelaskannya, sedangkan hadis yang sama sekali tidak diberi komentar berarti hadisnya berkualitas baik (shahih). Berdasarkan hal tersebut bila ditemukan hadis yang tidak beliau jelaskan kelemahannya (kedla’ifannya) dan tidak dishahihkan oleh salah satu imam yang bisa dipertanggungjawabkan berarti kualitas hadisnya hasan menurut Abu Dawud.
c.       Sunan Daruquthniy telah menetapkan banyak hadis hasan dalam kitabnya itu.
Hadis hasan li-ghairih
1.      Pengertian
Hadis hasan ialah hadis dla’if yang bukan dikarenakan perawi yang fasiq atau pembohong dan ia mempunyai banyak jalur sanad.
Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahawa hadis dla’if bisa naik ke peringkat hasan karena 2 hal:
a.       Apabila hadis dlaif tersebut mempunyai jalur sanad lain, satu atau lebih, yang setingkat kualitasnya atau lebih kuat.
b.      Apabila sebab kedlaif’an dikarenakan buruknya hafalan, terputusnya sanad atau tidak dikenalinya identitas perawinya (mastur).
2.      Tingakatan hadis hasan li-ghairih
Hadis hasan li-gahairih, kualitasnya lebih rendah dari pada hadis hasan li-dzatih. Jadi apabila terjadi ta’arudl (pertentangan) di antara keduanya, maka hadis hasan li-lidzatih harus didahulukan.
3.      Hukum hadis hasan li-ghairih
Hadis hasan li-ghairih termasuk hadis maqbul yang dapat dipakai sebagai hujjah.
4.      Contoh hadis hasan li-ghairih
Hadis riwayat al-Turmudzi dan beliau menilainya hasan dari jalur syu’bah bin Ashim bin Ubaidillah bin Amir bin Rabi’ah dari ayahnya:
Artinya: “ bahwa ada seseorang wanita dari Bani Farazah menikah dengan mas kawin sepasang alas kaki, kemudian Rasulullah SAW bertanya: Apakah kamu sudah rela, dia menjawab: sudah, maka rasulullah membolehkannya.[22]

3.      Hadist Dha’if
A.    Pengertian hadist dha’if
      Kata dha’if menurut bahasa, berarti lemah, sebagai lawan dari qawi(yang kuat). Sebagai lawan kata dari sahih, kata dha’if juga berarti saqim (yang sakit).Maka, sebutan hadis dha’if secara bahasa berarti hadis yang lemah, yang sakit dan yang tidak kuat. Secara terminologi, para ulama mendefinisikannyadengan redaksi yang beragam, meskipun maksud dan kandungan sama. Al-Nawawi dan al-Qasimi mendefinisikan hadis dha’if dengan:“hadis yang didalamnya tidak terdapat syarat-syarat hadi sahih dan syarat-syarat hadis hasan”Muhammad ‘Ajjaj al-Khathib menyatakan bahwa definisi hadis dha’if adalah:“segala hadis yang didalamnya tidak terkumpul sifat-sifat maqbul”Sifat-sifat maqbul dalam definisi diata maksudnya adalah sifat-sifat yang terdapat dalam hadis sahih dan hadis hasan, karena keduannya memenuhi sifat-sifat maqbul. Dengan demikian, definisi kedua tersebut sama dengan definisi berikut: “hadis yang didalamnya tidak berkumpul sifat-sifat hadis sahih dan sifat-sifat hadis hasan” Menurut Nur al-Din ‘Itr, definisi yang paling baik tentang hadis dha’if adalah:“Hadist yang kehilangan salah satu syaratnya sebagai hadist maqbul (yang dapat diterima)” Maksudnya, suatu hadis yang tidak memenuhi salah satu syarat (kriteria) hadis sahih atau hadis hasan dinyatakan sebagai hadis dha’if yang berarti hadis itu tertolak (mardud) untuk dijadikan sebagai hujjah.[23]
B.     Kriteria-kriteria hadist dha’if
      Pada definisi diatas terlihat bahwa hadis dha’if tidak memenuhi salah satu dari kriteria hadis sahih atau hadis hasan. Sebagaimana dijelaskan pada bab sebelumnya, kriteria hadis sahih adalah:
1.     Periwayat adil.
2.     Periwayat dhabith.
3.     Sanadnya bersambung.
4.     Terlepas dari syadz.
5.     Terhindar dari illat.
Adapun kriteria-kriteria hadis hasan adalah:
1.     Sanadnya bersambung.
2.     Periwayat adil.
3.     Periwayat kurang dhabith.
4.     Terlepas dari syadz.
5.     Terhindar dari illat.
Berhubung hadis dha’if tidak memenuhi salah satu dari beberapa kriteria diatas, maka kriteria-kriteria hadis dha’if adalah:
1.    Sanadnya terputus.
2.    Periwayatnya tidak adil.
3.    Periwayatnya tidak dhabith.
4.    Mengandung syadz.
5.    Mengandung illat.[24]
Syarat-syarat hadist maqbul ada enam, yaitu:
1.    Rawisnya adil.
2.    Rawisnya dhabith, meskipun tidak sempurna.
3.    Sanadnya bersambung.
4.    Padanya tidak terdapat suatu keracuan.
5.    Padanya tidak terdapat ‘illat yang merusak.
6.    Pada saat dibutuhkan, hadist yang bersangkutan menguntungkan (tidak mencelakakan)
        Demikian, Al-Biqa’I dan al-suyuthi serta yang lainnya, menghitung syarat-syarat diterimanya hadist tersebut.Akan tetapi sehubungan dengan kriteria yang kedua mereka tidak menambahkan kata-kata “meskipun tidak sempurna”.Ini adalah suatu masalah, sebab bila seorang rawi tidak sempurna ke-dhabith-annya, maka hadistnya adalah hadist hasan, bukan dha’if. Oleh karena itu ungkapan untuk kriteria  yang kedua ini adalah dengan “menambahkan kata-kata “meskipun tidak sempurna”.[25]




C.    Macam-macam hadist dha’if
1.      Hadis Dha’if karena sanadnya terputus
         Dalam kaitan dengan keterputusan sanad, Ibn Hajar al-‘Asqalani membagi hadis dha’if kepada lima macam, yaitu mu’allaq, hadis mursal, hadis munqathi’, hadis mu’dhal, dan hadis mudallas.
a.      Hadis mu’allaq
   Hadis mua’allaq adalah hadis yang terputus diawal sanad.Kata mu’allaq secara bahasa berarti tergantung. Sebagian ulama menyatakan, kata mu’allaq yang secara bahasa berarti bergantung itu diambil dari pemakaian istilah ta’liq al-thalaq(cerai gantung) dan ta’liq al-jidar (dinding gantung) karena ada unsur kesamaan dalam hal keterputusan sambungan.Secara terminologi, hadis mu’allaq adalah hadis yang periwayatannya diawal sanad (periwayat yang disandari oleh penghimpun hadis) gugur atau terputus seorang atau lebih secara berurutan.Patokan tentang keterputusannya teletak pada awal sanad baik seorang periwayat atau lebih.Jika lebih, maka keterputusan itu harus secara berurutan.Ini berarti, seandainya yang terputus bukan di awal sanad atau beberapa periwayat yang gugur tidak secara berurutan, maka hadis itu tidak dinamakan mu’allaq.
   Jika diperhatikan secara saksama, term mu’allaq pada contoh atau definisi diatas menunjukkan dependensi  hadis pada periwayat pertama sampai pada Nabi. Ketergantungan terlihat pada terputusnya mata rantai terakhir (periwayat terakhir) jika yang gugur satu orang, atau mata rantai terakhir ke atas jika yang gugur lebih dari seorang yang keduanya berakibat sanad tampak  tidak terpijak pada mukharrijal-hadits. Ketergantungan juga terlihat pada disandarkannya hadis pada Nabi (marfu’)Hadis mu’allaq disebut hadis dha’if karena rangkaian sanadnya hilang atau terputus, sehingga tidak diketahui identitas dan kualitas para periwayat yang sesungguhnya. Contoh hadis mu’allaq adalah riwayat al-Bukhari dengan perbandingan sanad dari Abu dawud, al-Nasa’I’ dan Ibn Majah:“bab tentang orang yang mandi telanjang sendirian ditempat yang sepi dan menutupi lebih baik. Bahz mengatakan dari ayahnya dari kakeknya dari Nabi SAW.sabdanya, ‘Allah lebih berhak disikapi malu dari pada manusia”.[26]
b.      hadis mursal
   Sebagaimana terlihat pada penjelasan sebelumnya, sebuah hadis disebut mursal apabila diriwayatkan oleh tabi’I langsung dari Nabi tanpa menyebut sahabat. Kata mursal secara bahasa berarti lepas atau terceraikan dengan cepat atau tanpa halangan .kata ini kemudian  digunakan untuk hadis tertentu yang periwayatannya ‘melepaskan’ hadis tanpa terlebih dahulu kepada sahabat yang menerima hadis itu dari Nabi.[27]Secara terminologis, mayoritas ulama hadis mendefinisikan hadis mursal dengan hadis yang disandarkan langsung kepada Nabi oleh seorang tabii’I, baik tabi’I besar maupun tabi’I kecil, tanpa terlebih dahulu disandarkan kepada sahabat Nabi. Hadis yang dinyatakan mursal itu, menurut pendapat ini, berstatus marfu’ dan sahabat tidak menyebut nama sahabat ketika meriwayatkan hadis itu, baik tabi’I senior maupun junior.
   Dalam hal ini keterputusan terjadi pada periwayatan pertama di kalangan generasi sahabat Nabi, yang disebut juga sanad terakhir.[28]Oleh sebagian ulama, senioritas tabi’I menjadi unsure pembeda dinamakannya hadis sebagai mursal atau bukan.Jika tabi’I yang menyandarkan hadis langsung kepada Nab adalah tabi’I senior, misalnya Sa’id ibn al-Musayyib (w.94 H/712 M), maka hadis diriwayatkan itu hadis mursal.Akan tetapi, manakala yang menyandarkan tabi’I junior seperti ibn Syihab al-Zuhri (w. 124 H/742 M), maka hadis itu dinamakan munqathi’ sebab pada umumnya tabi’I yunior menerima hadis dari tabi’I besar dan tiak langsung dari sahabat nabi.Dalam hal ini terjadi penyempitan muatan makna mursal dibanding pendapat pertama, yaitu periwayat yang menggugurkan haruslah tabi’I besar (senior) bukan tabi’I kecil (junior).[29]Oleh ulama lain, hadis mursal yang pengguguran namasahabat dilakukan oleh tabi’I besar (senior) dinamakan mursal jali (hadis mursal yang jelas) sementara hadis mursal yang pengguguran nama sahabat dilakukan oleh tabi’I kecil (junior) dinamakan hadis mursal khafi (hadis mursal yang samar). Terhadap kehujjahan dan kategori hadis mursal ini, ulama berbeda pendapat.
a) Abu hanifah, Malik, Ahmad dan ebberapa ulama lain berpendapat bahwa hadis mursal dapat dijadikan hujjah secara mutlak.
b) Al-Nawawi, Jumhur ulama hadis, al-Syafi’I dan kebanyakan ulama fiqih dan ushul menyatakan tentang ketidakbolehan berhujjah dengan hadis mursal.
c) Boleh menggunakan hadis mursal sebagai hujjah apabila ada riwayat lain yang musnad atau yang juga mursal, atau yang sudah menjadi amalan sebagian sahabat.
   Dari segi definisi, kalangan ulama fiqih dan ushul fiqih mempunyai pendapat berbeda dengan ulama hadis.Menurut mereka, hadis mursal adalah hadis yang disandarkan langsung kepada Nabi oleh selain sahabat Nabi.Berarti bahwa periwayatan yang menggugurkan sahabat tidak hanya terbatas pada periwayatan yang berstatus tabi’in saja tetapi mungkin periwayatan sesudah mereka, pendapat ini memrlukan pengertian hadis mursal yang mencangkup hadis yang digugurkan periwayatannya dari kalangan sahabat oleh selain tabi’in.[30]Di samping itu hadis mursal tabi’I sebagaimana dijelaskan di atas di kalangan ulama hadis dikenal pula hadis mursal shahabi, yaitu hadis yang disandarkan langsung oleh sahabat kepada Nabi tanpa menyebut sahabat lain yang sesungguhnya pernah mendengar hadis itu darinya. Dalam hal ini, periwayatan yang menggugurkan sahabat Nabi dalam sanad adalah  periwayatan yang berstatus sahabat juga. Sebagian ulama berpendapat, bahwa hadis mursal shahabi merupakan hadis yang bersamung sanadnya, asalkan sanad sebelum sahabat dalam keadaan bersambung. Pendapat ini didasarkan pada tiga alasan:
Periwayatan yang menggugurkan adalahsahabat Nabi juga, sedang sahabat Nabi bersifat adil.
a.         Tidak banhyak jumlah hadis yang  diterima oleh sahabat dari tabi’I sehingga tidak perlu dikhawatirkan periwayat yang digugurkan oleh sahabat tersebut adalah tabi’I dan sahabat Nabi.
b.        Sulit menghindari mursal shahabi karena kebanyakan riwayat sahabat muda tertentu, misalnya Ibn’Abbas adalah musal  karena usianya yang sangat muda.[31]
Keberadaan periwayat yang terdapat dalam mata rantai sanad juga mempengaruhi kualitas hadis mursal. Menurut shihabial-halih, hadis mursal yang disandarkan kepada para periwayat yang dapat dipertanggungjawabkan menjadi kuat, apalagi jika hadis itu diriwayatkan secara musnad dalam riwayat lain.[32]
c.       hadis munqathi’
keterputusan ditengah sanad dapat terjadi pada satu sanad atau lebih, secara berturut-turut atau tidak. Jika keterputusan terjadi ditengah sanad pada satu tempat atau dua tempat dalam keadaan tidak berturut-turut, hadis yang bersangkutan dinamakan hadis munqathi’. Kata munqathi’ berasal dari bentuk verbal inqatha’a yang berarti: berhenti, kering, patah, pecah, atau putus.
Tentang definisi hadis munqathi’, para ulama berbeda pendapat. Berikut dikemukakan beberapa definisi hadis munqathi’ itu:
1.    Hadis munqathi’ adalah hadis yang sanadnya terputus dibagian mana saja, baik pada sanad terakhir atau periwayat pertama (sahabat) maupun bukan sahabat (selain periwayat pertama).
2.    Hadis munqathi’ adalah hadis yang sanadnya terputus, karena periwayat yang tidak berstatus sebagai sahabat Nabi atau tabi’in  menyatakan menerima hadis dari Nabi. Sanad hadis terputus pada peringkat sahabat atau tabi’in.
3.    Hadis munqathi’ adalah hadis yang bagian sanadnya sebelum sahabat (periwayat sesudahnya) hilang atau tidak jelas orangnya.
4.    Hadis munqathi’ adalah hadis yang dalam sanadnya ada periwayat yang gugur seorang atau dua orang tidak secara berurutan.
5.    Hadis munqathi’ adalah hadis yang dalam sanadnya ada seorang periwayat yang terputus atau tidak jelas.
6.    Hadis munqathi’ adalah hadis yang sanadnya dibagian sebelum sahabat (periwayat sesudahnya) terputus seorang atau lebih tidak secara berturut dan tidak terjadi di awal sanad.
7.    Hadis munqathi’ adalah pernyataan atau perbuatan tabi’in.
Kebanyakan definisi hadis munqathi’ diatas bersifat umum yang mencakup hampir seluru hadis  yang mengalami keterputusan sanad, yaitu hadis-hadis dha’if  lain seperti hadis mursal, hadis maqthu’, atau hadis mu’allaq. Hal ini ditegaskan oleh shubhi al shalih bahwa kesha’ifan hadis munqathi’ karena tidak adanya kesinambungan dalam sanad dan dalam hal ini hadis munqathi’ sama dengan hadis mursal. Tidak hanya itu, tradisi ulama hadis
d.      hadis mu’dhals
e.       hadis mudallas
2.      Hadis Dha’if karena periwayatnya tidak ‘adil
a.     Hadis Mawdhu
Hadis nawdhu adalah hadis dusta yang dibuat-buat dinisbahkan kepada Rasulullah.Secara bahasa, mawdhubearti sesuatu yang digugurkan (al-Masqat), yang ditinggalkan (al-matruk), dan diada-adakan (al-Muftara).Menurut istilah hadis Mawdhu adalah pernyataanyang dibuat seseorang kemudian dinisbahkan pada Nabi SAW.  Dengan kata lain, hadis mawdhu dibuat dan dinisbahkan kepada Rasulullah dengan sengaja atau tidak, dengan tujuan buuruk atau baik sekalipun. Sebagian ulama sepakat bahwa dilarang mengamalkan dan meriwayatkan hadis palsu kecuali disertai penjelasan tentang kepalsuannya.[33]
Kriteria hadis mawdhu antara lain:
1.    Kriteria sanad: pengakuan periwayatan (pemalsu) hadis, bertentangan dengan realita historis periwayat, periwayat pendusta, dan keadaan periwayat dan dorongan psikologisnya.
2.   Kriteria matan: buruk lafal (redaksi)-nya seperti tidak menyerupai perkataan nabi atau sahabat, rusak maknanyakarena bertentangan dengan dalil-dalil syar’I dan kaidah hukum dan akhlak, dank arena bertentangan dengan realita, akal pikian,dan adanya bukti yang sah tetang kepalsuan.[34]
b.    Hadis Matruk
            Hadis Matruk adalah hadis yang diriwaytkan oleh periwayat yang tertduh sebagai pendusta. Menurut Mahmud al-Thahhan, sebab periwayat tertuduh dusta adalah: yang pertama hadis yang diriwayatkan tidak diriwayatkan kecuali dari periwayat itudan bertentangan dengan kaidah-kaidah yang telah diketahui (al-qawa’id al-ma;ilumah), yaitu kaidah-kaidah umum yang diinstinbath-kan oleh para ulama dari sekumpulan nash-nash umum yang sahih. Yang kedua diketahui periwayat berdusta tentang hadis nabi SAW.
                        Hadis matruk berkualitas dhaif, hanya saja tidak semua hadis yang dinilai matruk terutama dari segi periwayatannya dinyatakan matruk dan termasuk hadis dhaif biasa, dalam beberapa kasus disebut juga sebagai hads palsu
c.     Hadis Munkar
                        Hadis Munkar berasal dari kata al-inkar (mengingkari), lawan dari al-iqrar (menetapkan). Kata munkar digunakan untuk hadis yang seakan mengingkari atau berlawanan dengan hadis lain yang lebih kuat. Di kalangan ulama hadis, haids munkar didefinisikan dengan
1.        Hadis  yang parah, hadis yang banyak mengalami kesalahan, dan pernah berbuat fasik.
2.    Hadis yang diriwayatkan oleh periwayat yang dha’if bertentangan dengan riwayat periwayat yang istiqah. Dilihat dari segi terjadinya pertentangan, hadis munkar sama dengan hadis Syadz. Perbedaannya, pada hadis munkar pertentanga terjadi antara periwayat yang kemah dengan yang istiqah sedangkan pada hadis syadz, pertentangan itu antara periwayat yang istiqah dengan periwayat yang lebih istiqah.[35]

3.      Hadis Dha’if karena periwayatnya tidak dhabith
a.       Hadis Mudallas
                        Hadis Mudallas berasal dari kata dallasa yang secara bahasa berarti menipu atau menyembunyikan cacat. Menurut isltilah, hadis mudallas adalah hadis yan diriwayatkan dengan cara byang diperkirakan banwa hadis ini tidak bercacat. Periwayatan yang menyembunyikan cacat disebut al-Mudallis, hadisnya disebut al-mudallas, dan perbuatan menyembunyikan disebut al-tadlis.[36]
b.      Hadis Mudraj
                        Hadis mudraj berasal dari kata adraja (menyisipkan), sedangkan menurut istilah ilmu hadis, mudraj adalah hadis yang bentuk sanadnya diubah atau ke dalam matannya dimasukkan sesuatu kata atau kalimat yang sebetulnya bukan bagian dari hadis tersebut tanpa ada tanda pemisah.Hadis mudraj dapat terjadi pada sanad atau matan, yaitu kata atau kalimat yang dimasukkan ke dalam hadis itu dapat terjadi pada sanad atau matan.Ibnu al-Shalih menyatakan bahwa kata atau kalimat yang masuk itu beragam jenisnya. Misalnya, seorang sahabat atau yang sesudahnya menyebutkan perkataan sendiri setelah meriwayatkan sesuatu hadis, lalu orang sesudahnya meriwayatkan perkatan itu secara bergandengan dengan hadis tanpa ada tanda pemisah atau pembatas, sehingga orang yang tidak mengerti akan menganggap bahwa semuanya adalah sabda Nabi SAW.[37]
c.       Hadis Maqlub
                        Hadis Maqlub adalah hadis yang diriwayatkan denganmengganti kata dengan kata lain baik pada sanad maupun matannya. Kata mal-maqlub sendiri berasal dari kata al-qalb yang berarti mengubah sesuatu dari keberadaanya. Jadi hadis maqlub adalah hadis yang di dalamnya periwayat menukar suatu kata atau kalimat dengan kata atau kalimat yang lain.
d.      Hadis Muzid
                        Hadis muzid adalah sebuah hadis yang mendapat tambahan kata atau kalimat yang bukan berasal dari hadis itu baik pada sanad atau matan.Kata muzid sendiri meripakan isim maf’ul dari kata al-ziyadah (tambahan).Tambahan dapat terjadi pada sanad atau matan. Tambahan pada sanad dilakukan dengan menambahkan nama periwayat atau me-marfu-kan hadi mawquf atau memawshul-kan hadis mursal.[38]
e.       Hadis Mudhtharib
                        Hadis Mudhtharib berasal dari kata al-Idhthirab yang berarti kekacauan sesuatu dan kerusakan aturannya. Menurut istilah, mudhtharib adalah hadis yang diriwayatkan dengan cara yang berbeda tetapi sama dalam kekuatannya. Maksudnya, hadis yang diriwayatkan dengan bentuk yang bertentangan dan berbeda serta tidak mungkin dilakukan komromi. Seluruh riwayat hadis itu sama kekuatannya daru segi isi sehingga tidak mungkin dilakukan tarjih antara kedua bentuk hadis itu.
f.       Hadis Mushahhaf
                        Haids mushahhaf berasal dari bahasa Arab al-Tashif yang berarti orang yang salah dalam membaca lembaran dengan mengubah sebagian redaksinya karena salah dalam membaca. Menurut Mahmud al-Thahhan, istilahMushahhaf  berarti perubahan kata dalam hadis pada selain yang diriwayatkan oleh periwayat istiqah baik secara lafal maupun makna.
g.      Hadis Majhul
                        Kata Majhul yang disebut al-jahalahbi al rawi, berasal dari kata jahilia lawan kataamalia  amaliayang berarti bodoh, tidak mengetahui. Menurut istilah, majhul adalah hadis yang tidak diketahui jati diri periwayat atau keadaannya.Dalam hal ini, periwayat tidak diketahui jati diri kepribadiannya atau kepribadiannya diketahui tetapi tidak diketahui keadilan atau ke-dhabith-annya.[39]



4.      Hadis Dha’if karena mengandung syadz
Secarabahasasyadzmerupakanisimfa’ildarisyadzdzaberartimenyendiri(infarada). Menurut istilah syadz adalah hadis yang diriwayatkan oleh periwayat tsiqah dan bertentangan dengan riwayat oleh periwayat yang lebih tsiqah.
     Menurut al-syafi’i, suatu hadis dinyatakan mengandung syadz apabila diriwayatkan oleh seorang periwayat yang tsiqah dan bertentangan dengan hadis yang diriwayatkan oleh banyak periwayat yang juga tsiqah. Suatuhadis yang di nyatakanmengandungsyadzapabila:
1.    Hadisitulebihdarisatusanad
2.    Para periwayathadisituseluruhnyatsiqah
3.    Matan/sanadhadismengandungpertentangan
Menurut al-hakim, suatuhadisdinyatakansyadzapabila:
1.    Hadishanyadiriwayatkanolehsatuperiwayat
2.    Periwayat yang sendiriitubersifattsiqah
Dengandemikianperbedaan al-syafi’i dan hakim dalamhaliniadalah: (1) bagian al-syafi’i hadisitulebihdarisatusanadsedangkan al-hakim hadisituhanyadiriwayatkanolehsatu orang, (2) menurut al-syafi’i, harusterjadipertentanganmatandansanaddariperiwayat yang sama-samatsiqahdanbagi al-hakim tidakharusterjadipertentangandarimatandansanaddariperiwayat yang sama-samatsiqah.
Contohhadissyadzadalahhadis yang diriwayatkandariIbn Abbas berikut:
عن ابن رضي ا الله عنه ان رجلا تؤفى على عهد رسول الله صلى الله علىه وسلم ولم ىدع وارثا الا مولى هو اعتقهز (رواه التر مذى والنسا ؤابن ما جه)
“ dari Ibnu Abbas bahwa seorang laki-laki meninggal dunia di zaman Rasulullah SAW dan ia tidak meninggalkan seorangpun ahliwaris, kecuali seorang yang telah memerdekakannya.”
Hadis ini diriwayatkan oleh al-Turmudzi, al-Nasa’I dan ibnu Majah dengan sanad yang sama dari IbnU yaynah dari Amr bin Dinar dari Awsajah dari Ibnu Abbas. Hadis ini disamping diriwayatkan oleh ketiga mukharij tersebut, dengan sanad yang sama diriwayatkan pila oleh Ahmad ibn Hanbal, Abu dawud juga meriwayatkan hadis tersebut dengan sanad yang lengkap sebagai berikut: (1) Musa bin Ismail, (2) Hammad bin Zayd, (3) Amr bin Dinar, (4) Aswajah dan (5) Ibn Abbas. Matanhadisdiatasmemilikibanyaksanad.Sanad yang digunakanIbnUyainahdemikianmenurutIbnHajar, sama yang digunakanIbnJurayidanparaperiwayatlainnya.
5.      Hadis Dha’if karena mengandung ‘Illat (cacat)
Jika didalam sebuah hadis terdapat cacat tersembunyi dan secara lahiriah maka hadis itu dinamakan hadis mu’allal yaitu hadis yang mengandung illat. Secara bahasa kata illat berarti: cacat, kesalahan baca, penyakit dan keburukan. Menurut istilah ahli hadis illat berarti sebab yang tersembunyi dapat merusak kesahihan hadis.
Menurut al-Khathib al-Baghdadi cara untuk mengetahui illat hadis adalah dengan menghimpun seluruh sanadnya, melihat perbedaan di antara para periwayatnya, dan memerhatikan status hafalan, keteguhan dan ke-dhabith-an masing-masing periwayat.
Sedangkan menurut Mahmud al-Thahhan, suatu hadis dinyatakan mengandung illat apabila memenuhi criteria berikut: (1) periwayatnya menyendiri, (2) periwayat lain bertentangan dengannya, (3) qarinah-qarinah lain yang terkait dengan dua unsur di atas .dengan demikian cara mengetahui adanya illat hadis adalah dengan cara menghimpun seluruh sanad hadis yang dimaksud untuk mengetahui ada tidaknya tawabi’ , melihat perbedaan diantara para periwayatnya dan memperhatikan status kualitas paraperiwayatnya yang berkenaan dengan keadilan dan kedhabith-an masing-masing periwayat.
6.      Tingkatan-tingkatan hadist dha’if dan sanad-sanad yang paling dha’if
Karena sebab-sebab kedha’ifan hadist itu berbeda-beda kekuatan dan pengaruhnya, maka tingkat hadist dha’if itu dengan sendirinya berbeda-beda. Ada yang kadar kelemahannya kecil sehingga hamper-hampir dihukumi sebagai hadits hasan dan ada yang terlalu dha’if.Imam al-Hakim telah menghitung sanad-sanad yang paling lemah dan berikut ini kami jelaskan sebagainya.[40]
Sanad-sanad penduduk Syam yang paling lemah adalah Muhammad bin Qais dari Ubaidillah diperselisihkan keberadaannya, dan ia sangat dekat kepada kedha’ifan. Ali bin Yazid dihukumi dha’if oleh para muhadditsin dan ditinggalkan oleh al-Daraquthni. Adapun Al-Qasim adalah putra Abdurrahman al-Syami.Ia adalah shaduq dan banyak mengirsalkan hadist dan ia banyak meriwatkan hadist-hadist yang menyendiri.
Sanad-sanad penduduk MEsir yang paling dha’if  adalah Ahmad bin Muhammad bin Hajjaj bin Rusyidin bin Sa’d dari bapaknya dari kakeknya dari Qurrah bin Abdurrahman bin Haiwail. Banyak sekali hadist yang diriwayatkan dengan sanad ini dari jama’ah.
Ahmad bin Muhammad bin Hajjaj dinyatakan oleh Ibnu “Adi, “Hadistnya dapat ditulis dalam kedha’ifannya. Bapaknya perlu diteliti hadistnya.Dan kakeknya, Rusydin, adalah dha’if. Qurrah bin Abdurrahman adalah shaduq dan banyak meriwayatlkan hadist munkar.”
Sanad-sanad Ibnu Abbas yang p[aling lemah adalah al-Sudi al-Shagir Muhammad bin Marwan dari al;Kalbi dari Abu Shalih dari Ibnu Abbas.Muhammad bin Marwan ditinggalkan hadistnya oleh para muhadditsin dan dituduh dusta. Al-kalbi adalah Muhammad bin al-Sa’ib, dan ia juga ditinggalkan hadistnya serta dinilai sebagai pendusta oleh Sulaiman al-Taimi dan Za’idah serta Ibnu Ma’in. Abu Shalih adalah Badzam, ia adalah rawi dha’if dan mudallis. Al-Hafizah Ibnu Hajar berkata, ini adalah silsilatul-kadzab, bukan silsilatudz-dzahab.[41]
Perlu diperhatikanbahwa klasifikasi diatas adalah klasifikasi yang berdasarkan tingkat kedha’ifan para rawinya.Disamping itu kedha’ifan para rawi pun bertingkat-tingkat bila ditinjau dari segi persentasi sifat-sifat yang tidak terdapat pada mereka[42]Para muhaddistin mengklasifikasikan hadist dha’if yang disebabkan cacat para rawinya.Maka ada hadits dha’if yang dapat meningkat menjadi kuat dan ada pula hadist dha’if yang tingkatnya sangat rendah sehingga tidak dapat menjadi kuat. Seluruhnya hadist yang cacat rawinya dinamai dengan hadist dha’if, apa pun jenis kecacatannya.
Klasifikasi tersebut dapat kita lihat melalui istilah-istilah yang mereka sampaikan, seperti …… dan …… Hanya saja mereka kebanyakan membedakan sebagai kondisi hadits dha’if dengan predikat-predikat khusus, yakni munkar, matruk, dan mathruh, yang masing-masing akan dibahas kemudian. Mereka membedakan hadits dha’if yang paling rendah, yakni hadist yang dipalsukan, dengan istilah yang khususnya pula, yaitu maudhu’.
Demikianlah macam-macam hadits dha’if yang kami bahas dalam pasal ini, yakni ditinjau dari kecacatan para rawinya. Selanjutnya pada pembahasan-pembahasan yang akan datang akan klami nbahas unsure-unsur hadist yang lain, yakni kondisi mantan, kondisi sanad, dan kondisi perpaduan matan dan sanad. Kemudian kami padukan dengan pedoman umum tentang menerima dan menolak hadits. Sehingga dengan demikian bahasa kita ini akan marupakan bahasan yang mencakup seluruh aspek hadist dengan penuh kejelian dan ketegasan.
7.      Kedha’ifan sanad tidak menunjukan kedha’ifan matan
Pemikiran muhadditsin berkenaan dengan aplikasi prinsip-prinsip analisis kritis terhadap hadist.Mereka mengingatkan bahwa kedha’ifan sanad itu tidak senantiasa membawa kedha’ifan matan, sebagaimana halnya keshahihan sanad tidak menjamin keshahihan matan.Oleh karena itu, kadang-kadang suatu hadist sanadnya dha’if namun matannya sahih karena diriwayatkan pula melalui jalur lain, sebagaimana kadang-kadang suatu sanad sahih namun matanya dha’if karena rancu atau memiliki cacat.[43]
8.      Hukum hadist dha’if
Ketika suatu hadist dha’if dimungkinkan bahwa rawinya benar-benar hapal terharapnya dan menyampaikannya dengan cara yang benar, maka halini telah mengundang perselisisan yang serius dikalangan ulama sehubungan dengan pengalamannya. Berikut ini kami mengemukakakan kesimpulan pendapat para ulama dalam masalah ini.
Pendapat pertama, hadist dha’if dapat diamalkan secara mutlak, yakni baik yang berkenaan dengan masalah halal-haram maupun yang berkenaa dengan masalah kewajiban, dengan syarat tidak ada hadist lain yang menerangkannya. Pendapat ini disampaikan oleh beberapa imam yang agung, seperti imam Ahmad bin Hanbal, Abu Dawud, dan sebagainya.[44]
Pendapat kedua, itu dipandang baik mengamalkan hadits dha’if  dalam fadha’il al-a’mal, baik yang berkaitan dengan hal-hal yang dianjurkan maupun hal-hal yang dilarang. Demikian mazhab kebanyakan ulama dari kalangan muhadditsi, fuqaha, dan lainnya. Iam al-Nawawi syekh Ali al-Qari, dan ibnu Hajar al-Haitami menjelaskan bahwa hal itu telah disepakati para ulama.
Al-Hafizh Ibnu Hajar menjelaskan dengan sangat baik bahwa syarat mengamalkan hadits dha’if itu ada tiga.
1.      Telah disepakati untuk mengamalkan, yaitu hadits dha’if yang tidak terlalu dha’if sehingga tidak bisa diamalkan hadits yang hanya diriwayatkan oleh seorang pendusta atau dituduh dusta atau orang yang banyak salah.
2.      Hadits dha’if yang bersangkutan berada dibawah suatu dalil yang umum sehingga tidak dapat diamalkan hadits dha’if yang sama sekali tidak memiiki dalil pokok.
3.      Ketika hadits dha’if yang bersangkutan diamalkan tidak disertai keyakinan atas kepastian keberadaannya, untuk menghindari penyandaran kepada Nabi saw. Sesuatu yang tidak beliau katakan.
Pendapat ketiga, hadits dha’if sama sekali tidak bisa diamalkan, baik yang berkaitan dengan fadha’il al-a’mal maupun yang berkaitan dengan halal-haram. Pendapat ini dinisbahkan kepada Qadhi Abu Bakar Ibnal-‘Arabi demikian pula pendapat al-Syibah al-Khafaji dan al –jalal al-Dawani. Pendapat ini dipilih oleh sebagian penulis dewasa ini dengan alasan bahwa fadha’il al-a’mal itu seperti fardhu dan haram, karena semuanya adalah syara’ dan karena pada hadits-hadits sahih dan hadits-hadits hasan terdapat jalan lain selain hadits-hadits dha’if.[45]
9.      Periwayatan hadist dha’if
Para ulama muhadditsin memperbolehkan periwayatan semata terhadap hadits dha’if yang tidak berkaitan dengan akidah dan hukum halal-haram; seperti periwayatan hadits al-targhib wa al-tarhib, kisah-kisah, dan nasihat-nasihat, tanpa harus menjelaskan segi kedha’ifannya selama bukan hadits maudhu’ dan yang menyerupainya. Penjelasan mereka sehubungan dengan periwayatan hadits dha’if ini banyak sekali. Sebagian penjelasan itu disebutkan oleh al-Khathib al-Baghdadi dalam kitabnya al-Kifayah.[46]
Di antaranya pernyataan Ahmad, “Apakah kami meriwayatkan hadits dari Rasulullah saw.yang berkaitan dengan halal dan haram, sunnah, dan hukum, maka kami bersikap keras terhadap sanad-sanadnya; sedangkan bila kami meriwayatkan hadits dari Rasulullah saw. Yang berkenaan dengan fadha’il al-a’mal atau hadits-hadits yang tidak menetapkan atau menghilangkan hukum, maka kami tidak begitu keras dalam meneliti sanad-sanandnya.”[47]
Akan tetapi para ulama hadits tetap konsisten pada sikap kejelian dan kehati-hatiannya sehingga mereka tidak memperbolehkan periwayatan hadits dha’if dengan kata-kata yang mengesankan kepastian dalam menyandarkan hadits dha’if itu kepada Rasulullah saw. Oleh karena itu tidak boleh dikatakan:
“...........................................”
Rasulullah saw. Berkata,,,atau melakukan ,,, atau memerintahkan,,,,,
Dan kata-kata lainnya yang mengesankan bahwa hadits dha’if yang diriwayatkan itu benar-benar datang dari Rasulullah saw. Melainkan harus dikatakan:
“...........................................”
Diriwayatkan dari Rasulullah saw,,, atau diberitakan,,,, atau ada riwayat menjelaskan,,, atau diceritakan ,,, atau disampaikan kepada kita,,,
Demikian pula hendaknya kita katakan apabila kita meriwayatkan hadits yang kita ragu akan kesahihan dan kedha’ifannya.[48]
10.  Sumber-sumber hadist dha’if
         Mengingat bahwa hadits dha’if itu memiliki dampak yang sangat besar bagi agama, maka para imam hadits menyusun kitab untuk mengungkapkan problematiaka hadits dha’if dan menjelaskan sebab-sebab kedha’ifannya, agar jelas mana hadits yang dapat menjadikan kuat atau dapat diamalkan dalam fadha’il al-a’mal dan mana yang tidak dapat diamalkan sama sekali.
Diantara sumber-sumber tersebut yang terpenting adalah sebagai beikut.
1.      Kitab-kitab yang disusun oleh para ulama tentang par arawi yang dha’if sebagaimana yang telah disebut di muka. Sehubungan dengan uraian setiap rawi mereka mencontohkan beberapa hadits yang diriwayatkannya untuk menjelaskan kedha’ifannya atau sebagai dalil kedha’ifan rawi itu. Hadits –hadits tersebut termasuk kategori hadits yang sering disebut dha’if secara mutlak, yakni hadits yang dha’if karena jarh pada rawinya .
2.      Kitab –kitab yang telah ditegaskan oleh para ulama bahwa apabila ada hadits yang hanya terdapat dalam salah satu kitab hadits, maka hadits tersebut adalah dha’if.
3.      Kitab-kitab yang disusun para ulama tentang hadits dha’if yang bukan karena jarh pada rawi, seperti kitab-kitab yang memuat hadits-hadits mursal, mushahhaf, dan kitab al-‘ilal, dan sebagainya yang insyaallah akan kami jelaskan sehubungan dengan pembahasan keadaan sanad dan matan disertai penjelasan hukum masing-masing.[49]
11.  Kehujjahan Hadis Dha’if
         Di kalangan ulama terjadi perbedaan pendapat tentang kehujjahan hadis dha’if. Setidaknya terdapat tiga pendapat berkenaan dengan dapat tidaknya berhujjah dengan hadis jenis ini. Pertama, menurut yahya ibn Ma’in, Abu Bakar ibn ‘Arabi, al-Bukhori, Muslim, dan ibn Hazm, hadis dha’if tidak dapat diamalkan secara mutlak baik dalam masalah fadhail al’mal maupun hukum. Kedua, Abu Dawud dan Ahmad ibn Hanbal berpendapat bahwa hadis dha’if dapat diamalkan secara mutlak. Menurut keduanya, bagaimanapun hadis dha’if itu lebih kuat dari pada pendapat manusia. Ketiga, menurut ibn Hajar al-‘Asqalani, hadis dha’if dapat dijadikan hujjah dalam masalah fadhail al-a’mal, mawa’izh, al-tarhib wa al-targhib, dan sebagainya jika memenuhi syarat-syarat tertentu [50]
Syarat-syarat itu adalah: (1) ke-dha’if-annya tidak parah, seperti hadis yang diriwayatkan oleh para pendusta atau tertuduh dusta, atau sangat banyak mengalami kesalahan; (2) terdapat dalil lain yang kuat yang dapat diamalkan ; (3) ketika mengamalkannya tidak beriktikad bahwa hadis itu tsubut, tetapi sebaiknya dalam rangka hati-hati. [51]

B.     Analisis komparatif
            Jika kita pahami secara cermat bahwa hadist jika dilihat dari segi kualitasnya dapat di tinjau dari ke shahihannya, hasan, maupun dhoifnya sesuai kriteria serta syarat-syarat yang harus di penuhi
c.       Penutup
            Dari analisis yang kami dapatkan di berbagai sumber ini dapat di simpulkan jika hadist di lihat dari segi kualitasnya dapat kita bagi menjadi 3:
1.      Hadist shaihih
2.      Hadist hasan
3.      Hadist dhoif
DAFTAR PUSTAKA

Drs. Munzier Suparto, MA, ilmu hadis , PT Raja Grafindo Persada ,Jakarta, 2003
Hadist hasan
Prof. Dr. M. Abdurrahman, MA dan Elan Sumarna. M. Ag. Metode Kritik Hadis , Pt remaja rosdakarya ,bandung, Tahun 2011
Drs. M. Syuhudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadis ,angkasa, bandung, tahun 1991
Dr. Mahmud Thahhan, Intisari ilmu hadis, UIn-malang press,malang, 2007

Catatan:
1.      Similaritynya cukup tinggi, 25%.
2.      Daftar Pustakanya cuma empat? Padahal jumlah halaman cukup banyak.
3.      Abstrak seharusnya cuma satu paragraf, tidak berisi seperti yang tertulis di makalah ini.
4.      Pendahuluannya mana?
5.      Penulisan footnote kacau.
6.      Dalam karya tulis ilmiah, penulisan gelar (Prof. Dr. Ustadz dll) dihilangkan, begitu pula dalam foototnote.
7.      Mengapa ada pembahasan yang diulang-ulang?

Makalah ini sangat tidak rapi, dan banyak pembahasan yang muter-muter saja. Harusnya sebelum dikirim dirapikan terlebih dahulu, agar pembaca mudah mencerna kata-kata yang ditulis. Anda perlu memperbaiki NIAT dalam menulis makalah agar belajar Anda mendapatkan hasil yang baik.



[1]Drs. M. Syuhudi Ismail, pengantar ilmu hadis, Angkasa, Bandung, 1991, hlm. 179
[2] Dr. Idri, M. Ag. Studi Hadis, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2010, hlm. 157.
[3]Ibid, hlm. 179
[4] Ibid, hlm.180-181
[5]Ibid, hlm. 181.
[6]Ibid, hlm. 160.
[7]Ibid, hlm. 162-163.
[8]Ibid, hlm. 164-165.
[9]Ibid, hlm. 168.
[10]Ibid, hkm. 169-171.
[11]Ibid, hlm. 175.
[12] Drs. Munzier Suparta, MA, Ilmu Hadis, PT Raja Gafindo Persada, Jakarta, 2003, hlm. 141.
[13]Ibid, hlm. 142.
[14]Ibid, hlm. 143.
[15]Ibid, hlm. 144-145.
[16]Ibid, hlm. 146-147.
[17]Ibid, hlm. 148-149.
[18] Prof. DR.M. Abdurrahman, MA dan Elan Sumarna.M.Ag, Metode Kritik Hadis, PT Remaja Rosdakarya, Bandung, 2011, hlm.208-209.
[19] Ibid, hlm.209-210
[20] Drs. M. Syuhudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadis,Angkasa, Bandung, 1991, hlm.182.
[21]Dr. Mahmud Thahhan, Intisari Ilmu Hadis, UIN –Malang Press, Malang, 2007, hlm.73-76.
[22] Ibid, hlm,78-79.
[23]Dr.Idri,M.Ag, Studi hadis, hlm.177-178
[24] Dr.Idri,M.Ag, Studi hadis, hlm.178-179
[25] DR.Nuruddin ‘Itr, ulum Al-hadits, hlm.51
[26]Dr.Idri,M.Ag, Studi hadis, hlm.178-180
[27]Idri, Hlm. 193
[28]Idri, hlm. 193.
[29]Idri,hlm.193.
[30]Rizka.Hlm. 194.
[31]Hlm. 194
[32]Hlm. 196.
[33]Idri, hlm 204
[34]Idri, hlm 204
[35]Idri, hlm 208
[36]Idri, hlm. 210.
[37]Idri, hlm. 215.
[38]Idri, hlm. 224.
[39]Idro, hlm. 237
[40] Widia 54
[41] 56
[42] 56
[43]Widia hal-56
[44]Widia hal- 57
[45]Widia 58-59
[46]Widia 61
[47]Widia 62
[48]Widia 62
[49]Widia 63-64
[50]Idri hlm. 245
[51]Idri hlm 245

Tidak ada komentar:

Posting Komentar