Minggu, 08 April 2018

AL-A’MM DAN AL-KHAS, MUTLAK, MUQAYYAD (PAI B Semester genap 2017/2018)




AL-A’MM DAN AL-KHAS, MUTLAK, MUQAYYAD
Fatikha Azizatul Ilma, M. Sochi Safiul Anam, Mahindra Sanjaya
Mahasiswa PAI B angkatan 2015
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang
Email : fatikhailma@gmail.com
Abstract : This article describes al-a'mm and al-khas, mutlak muqayyad as an approach in establishing the law. In these fourth approaches to establishing an Islamic law, the Qur'an and Hadith are at the core of all Islamic law. The rules of this approach are aimed at Muslims to know and apply one of these approaches to Ushul Fiqh to explain the meaning or description of a texts. Seen from the understanding and the various lafadznya, ulama Ushul Fiqh examines and establishes the rules of syara 'law in language to eliminate the difficulties that arise in lafadz a nash that finds many meanings.
Keywords : Al-A’mm, Al-Khas, Mutlak, Muqayyad
Abstrak : Artikel ini menjelaskan tentang al-a’mm dan al-khas, mutlak muqayyad sebagai pendekatan dalam menetapkan hukum. Pada keempat pendekatan ini untuk menetapkan sebuah hukum Islam tetap pada berpijak pada Al-Quran dan Hadist sebagai inti dari semua hukum Islam. Kaidah-kaidah pendekatan ini bertujuan agar umat muslim mengetahui dan menerapkan salah satu pendekatan pada Ushul Fiqh ini untuk menjelaskan makna atau keterangan yang ada pada suatu nash. Dilihat dari pengertian dan macam-macam lafadznya, ulama Ushul Fiqh meneliti dan menetapkan  mengenai kaidah-kaidah hukum syara’ secara bahasa untuk menghilangkan kesulitan-kesulitan yang muncul di dalam lafadz suatu nash yang menemukan banyak makna.
Kata Kunci : Al-A’mm, Al-Khas, Mutlak, Muqayyad
A.    Pendahuluan
Al-Qur’an dan As-Sunnah merupakan sumber pokok hukum Islam, Setiap nash yang ada di dalamnya merupakan pedoman atau pijakan dalam berkehidupan, terkhusus dalam pengambilan hukum (istinbhat). Dalam pengambilan hukum terdapat dua pendekatan, yakni pendekatan makna dan pendekatan lafadz. Dan oleh sebab itu ilmu ushl fiqh memiliki prosedur dalam menetapkan metodologi untuk menggali hukum yang telah dinash-kan dalam Al-Qur’an maupun As-Sunnah.
Bahasa yang digunakan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah adalah bahasa Arab, oleh karena itu jika ingin memahami dan menggali hukum yang terkandung di dalamnya harus menguasai bahasa Arab. Dimana hal ini sangatlah penting untuk memahami secara detail idiom (ibarat) dalam bahasa Arab beserta pengertiannya, dan memahami gaya bahasa yang menggunakan ibarat kiasan (majaz) dan ungkapan hakiki pada kondisi tertentu. Oleh karena itu, para ulama’ ushul fiqh melakukan upaya penelitian dan pembahasan secara sistematis mengenai struktur bahasa Arab, gaya dan rasa bahasa Arab, baik meliputi ungkapan-ungkapan dan mufradatnya, serta pemakaiannya dalam syari’at.
Pada dasarnya, semua yang ada dalam al-Qur’an dan As-Sunah memuat berbagai persyaratan atau kaitan dengan keadaan, sehingga hukum-hukumnya tidak berlaku secara keseluruhan, melainkan jika di dalam kasus yang hendak ditentukan hukumnya terdapat persyaratan atau kaitan keadaan tersebut. Penyimpangan atau pengecualian dari ketentuan ini hanya terjadi pada ayat-ayat tertentu yang sangat sedikit jumlahnya.[1]
Dari pemaparan di atas, maka  terdapat beberapa pendekatan dalam menentukan hukum yang mana aka menjadi fokus pembahasan kali ini yakni mengenai Al-A’mm, Al-Khas, Mutlak dan Muqayyad. Dari salah satu pembahasan tersebut terutama masalah ‘am dan khash, banyak sekali terdapat pembahasan yang mendalam oleh para ulama’ ushul fiqh, karena masalah ini sering melahirkan perbedaan pandangan di antara mereka. Karena hal ini erat kaitannya dengan kedudukan qiyas terhadap nash-nash yang bersifat umum serta kedudukan hadits-hadits Ahad dengan keumuman Al-Qur’an.
B.     AL-A’MM
1.      Pengertian Al-A’mm (Umum)
Pada dasarnya dalam kaitan yang dibuat dalam ‘am ini adalah lafadz atau kata yang tertera dalam Al-Qur’an. Adapun arti dari ‘am menurut Bahasa adalah umum, merata, dan menyeluruh. Sedangkan jika menurut istilahi, maka akan ada pendapat menurut Abdul Hamid Hakim, mengenai ‘am[2]:
العَامُ هُوَ اللَّفْظُ الْمُسْتَغغْرِقُ لِجَمِيْعِ مَا يَصْلُحُ لَهُ بِحَسْبِ وَضْعٍ وَا حِدٍ دَفعَةً
‘Am adalah lafadz yang menenjukkan pengertian umum yang mencakup satuan-satuan (afrad) yang ada dalam lafadz itu tanpa pembatasan jumlah terntentu.”
Adapun pendapat dari ulama’ lain mengenai definisi‘am, salah satunya adalah salah satunya adalah menurut Imam Al-Ghazali[3];
العَامُ هُوَ اللَّفْظُ الْوَاحِدُ الدَّالُ مِنْ جِهَةٍ وَاحِدَةٍ عَلَى شَيْئَيْنِ فَصَاعِدًا
" 'Am adalah suati lafadz yang menunjukkan dari arah yang sama kepada dua hal atau lebih."
Kemudian ada seorang tokoh yang mana ia juga menyimpulkan dari beberapa pendapat mengenai definisi dari ‘am, yakni Muhammad Adib Saleh. Beliau menyimpulkan bahwasanya[4] :
lafal ‘am (umum) ialah lafal yang diciptakan untuk pengertian umum sesuai dengan pengertian lafal itu sendiri tanpa dibatasi dengan jumlah tertentu.”
Dari beberapa pendapat para tokoh diatas, maka dapat dirumuskan bahwasanya lafadz ‘am[5];
1.      Hanya terdiri dari satu pengertian tunggal yang memiliki beberapa afrậd (satuan pengertian)
2.      Tunggal di sini dapat digunakan dalam satuan pengertian yang sama dalam penggunaannya.
3.      Apabila hukum yang berlaku itu untuk satu lafadz, maka hukum itu berlaku pula terhadap setiap afrậd yang tercakup dalam lafadz tersebut.

2.      Lafadz-Lafadz yang Menunjukkan Arti ‘Am
Adapun beberapa ketentuan atau syarat dalam penentuan lafadz ‘am, sehingga tidak semua lafadzbisa dikatakan sebagai ‘am, diantaranya :
1.      Lafadzكل/setiap dan جميع/semua[6], misalnya:
QS. At-Thur ayat 21
وَالَّذِينَ آمَنُوا وَاتَّبَعَتْهُمْ ذُرِّيَّتُهُم بِإِيمَانٍ أَلْحَقْنَا بِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَمَا أَلَتْنَاهُم مِّنْ عَمَلِهِم مِّن شَيْءٍ كُلُّ امْرِئٍ بِمَا كَسَبَ رَهِينٌ
“Dan orang-orang yang beriman, dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, Kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka , dan Kami tiada mengurangi sedikitpun dari pahala amal mereka. Tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya.” (QS, At-Thur:21)
QS. Al-Baqarah ayat 29
....هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا
“Dialah (Allah) yang menjadikan untukmu segala yang ada di bumi secara keseluruhan (jami’an)....” (QS. Al-Baqarah:29)
2.      Lafadz mufrad المفرد yang dima’rifahkan dengan ditambahالجنسيةال (“al” yang menunjukkan jenis)[7], misalnya dalam QS. Al-Ashr ayat 2;
إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ
“Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian.” (QS. Al-Ashr:2)
3.      Lafadz jama’ (الجمع) yang dima’rifahkan dengan الجنسيةالdan jama’yang dimakrifahkan dengan idhafah[8].
Contoh (jama’ yang dima’rifahkan):
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍۚ
“Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahandiri (menunggu) tiga kali quru'.” (QS. Al-Baqarah:228)
Contoh (jama’ yang dima’rifahkan dengan idhafah):
خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ....ۖ
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka.” (QS. At-Taubah:103)
4.      Isim Maushul (الأسماء الموصولة), yakni jika dalam suatu ayat tersebut didahului atau terdapat isim maushulnya, seperti[9]: الذيالتي -الذيناللاّتي/اللاّئى
5.      Contoh dalam QS. An-Nisa’ ayat 10 :
إِنَّ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوَالَ الْيَتَامَىٰ ظُلْمًا إِنَّمَا يَأْكُلُونَ فِي بُطُونِهِمْ نَارًا ۖ وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيرًا
“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).”(QS.An-Nisa’:10)
6.      Isim Syarat: الشرطأسماء (kata benda untuk mensyaratkan)[10], Seperti: مَنْ (barang siapa) dan مَا (apa-apa).
Contoh dalam QS. An-Nisa’ ayat 92 :
....وَمَنْ قَتَلَ مُؤْمِنًا خَطَأً فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ وَدِيَةٌ مُسَلَّمَةٌ إِلَىٰ أَهْلِهِ إِلَّا أَنْ يَصَّدَّقُوا....ۚ
“...dan barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah.” (QS. An-Nisa’:92)
7.      Isim Nakirah (النكرةاسم )yang diawali oleh la nafii atau dinafikan, seperti lafadz la junaaha ( (لا جناحdalam QS. Al-Mumtahanah ayat 10.
... وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ أَنْ تَنْكِحُوهُنَّ إِذَا آتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ....ۚ
“... dan tidak ada dosa (la junaaha) atas kamu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya...” (QS. Al-Mumtahanah:10)
3.      Dilậlah (Penunjukan) Lafadz Umum
Penunjukan lafadz ‘am para ulama ushul tidak ada perbedaan dalam pendapatnya, karena di dalam lafadz ‘am secara lughowi telah mencakup seluruh afrad (satuan) makna dalam pengertiannya. Sehingga ketika ada nash syara’  yang turun dalam bentuk lafadz ‘am, maka tidak akan ada perdebatan di dalamnya, kecuali akan ada dalil lain yang kemudian membatasi (men-takhsis) nash tersebut. Dan hal yang demikian itu membuat adanya beberapa pandangan atau pendapat yang cukup beragam dari para ulama’ mengenai penunjukkan lafadz‘am yang kemudian diikuti oleh dalil takhsis, dengan perbedaan apakah lafadz tersebut bersifat qath’i (pasti/meyakinkan) atau dzanni (diduga kuat/tidak meyakinkan).[11]
1.      Menurut ulama’ Syafiiyah berpendapat bahwa lafadz ‘am yang belum dikhususkan, dilalah-nya kepada seluruh afrad-nya, maka bersifat dzanny[12], karena masih ada kemungkinan untuk di­takhsis, meskipun belum ada dalil yang pasti untuk mentakhsis dalil (lafadz‘am).
Secara bahasa, lafadz ‘am selalu berada dalam kemungkinan untuk terkena takhsis. Sehingga, ulama Syafi’iyah tidak bisa mengatakan bahwa semua lafadz ‘am bisa bersifat qath’i, melainkan dzanny. Mereka, memiliki dua argumen yang mendasari hal tersebut[13]:
a.       Sebagian afrad dari lafadz‘am memiliki maksud yang banyak. Sehingga memungkinkan adanya dalil yang men-takhsisnya.
b.      Hasil penelitian terhadap nash yang mengandung lafadz‘am menunjukkan bahwa tidak ada  yang tidak terkena takhsis.
2.      Menurut ulama’ Hanafiah, lafadz‘am yang belum dikhususkan bersifat qath’iy (pasti) mencakup seluruh satuannya. Maksud qath’i yang ditetapkan dari lafazh yang ‘am disini adalah, apabila dalam lafazh tersebut tidak terdapat kemungkinan-kemungkinan lain yang timbul karena adanya dalil lain yang kemudian men-takhsiskannya. Sehingga kemungkinan adanya takhsis tidak hilang secara muthlak. Jadi, apabila ada pen-takhsisan maka dilalahnya terhadap yang tersisa daripada afradnya sesudah pengkhususan itu bersifat dhanny[14]. Adapun argumen yang mendasri pendapat mereka antara lain[15] :
a.       Banyaknya maksud dari sebagian afrad lafadz‘am yang sulit untuk diterima apabila tidak ada qorinah yang menunjukannya, baik dalam bentuk lafadz maupun bukan lafadz. Adapun jika setelahnya terdapat nash yang mengeluarkan sebagian afrad-nya, maka hal ini bukanlah sebagai penjelas atau menunjukkan sebagian afrad dari ‘am, melainkan adalah nasikh[16].Kemudian dipertegas oleh Hanafiyah bahwasanya pengkhususan pertama terhadap lafadz‘am harus dengan dalil qath’iy, karena yang qath’iy hanya dapat dikhususkan dengan dalil qath’iy. Adapun pengkhususan kedua, ketiga, dan seterusnya boleh dengan dalil dhanny, karena dilalah ‘am yang sudah dikhususkan bersifat dhanny[17].
b.      Selama tidak ada petunjuk untuk memalingkan makna lafadz‘am maka tetap bersifat qath’i. Karena lafadz‘am dibentuk dan digunakan secara hakiki untuk mencakup semua makna yang terkandung di dalamnya.
3.      Selanjutnya adalah Imam Malik yang mana beliau lebih berada ditengah-tengah dari kedua pendapat ulama’ Syafi’iyah dan Hanafiyah. Beliau berpendapat bahwa dalalah keumuman Al-Qur’an itu bersifat zhanny, jika dilihat dari lahiriyahnya, namun baginya keumuman Al-Qur’an tidak selalu bisa ditakhsis apalagi dengan khabar ahad. Misalnya dalam QS. An-Nisa’ ayat 24[18] :
وَأُحِلَّ لَكُمْ مَا وَرَاءَ ذَٰلِكُمْ
Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian.”
Kemudian ditakhsis dengan sabda Nabi SAW:
لاتنكحالمرأةعلىعمّتهاولاعلىخالتها
Seorang wanita tidak bisa dikawini bersama bibi dari ayahnya atau bibi dari ibunya.”
Namun, terkadang Imam Malik tidak memfungsikan khabar ahad hanya karena ada keumuman Al-Qur’an, karena ketikakhabar ahad itu tidak didukung dengan nash atau qiyas atau praktek dari penduduk Madinah seperti:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا وَلَغَ الْكَلْبُ فِي إِنَاءِ أَحَدِكُمْ فَلْيَغْسِلْهُ سَبْعَ مَرَّاتٍ أُولَاهُنَّ بِالتُّرَابِ
“Dari [Ibnu Abu 'Arubah] dari [Qatadah] dari [Ibnu Sirin] dari [Abu Hurairah] dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda: "Apabila ada anjing yang menjilat bejana milik salah seorang kalian, maka basuhlah (cucilah) tujuh kali, dan salah satunya dengan tanah.” (HR. Nasai No.337)
Maka hadits tersebut akan ditolak dengan keumuman yang terkandung dalam firman Allah SWT.
...قُلْ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ ۙوَمَاعَلَّمْتُمْمِنَالْجَوَارِحِ مُكَلِّبِينَ تُعَلِّمُونَهُنَّ مِمَّا عَلَّمَكُمُ اللَّهُۖ
فَكُلُوا مِمَّا أَمْسَكْنَ عَلَيْكُمْ وَاذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَيْهِ ۖوَاتَّقُوااللَّهَۚإِنَّاللَّهَسَرِيعُالْحِسَابِ
"…Katakanlah: "Dihalalkan bagimu yang baik-baik dan (buruan yang ditangkap) oleh binatang buas yang telah kamu ajar dengan melatih nya untuk berburu; kamu mengajarnya menurut apa yang telah diajarkan Allah kepadamu. Maka makanlah dari apa yang ditangkapnya untukmu, dan sebutlah nama Allah atas binatang buas itu (waktu melepaskannya). Dan bertakwalahkepada Allah, sesungguhnya Allah amatcepathisab-Nya."  (QS. Al-Maidah:4)
Dalam sudut pandang ini Imam Malik berpendapat, kalau memang anjing itu najis, namunketika binatang buruan ditangkap oleh anjing yang telah dilatih dan dibacakan bismillah ketika melepaskannya, maka hasil buruanya boleh dimakan.

4.      Macam-macam Lafadz‘Am
Dalam pembagiannya ‘am dikelompokkan pada tiga macam :
1.      Lafadz‘am yang maksudnya umum, merupakan lafadz yang dari segi lafadz-nya dan artinya berarti umum. Secara definitif;[19]
هُوَ الْعَامُّ الَّذِى صَحُبَتْهُ قَرِيْنَةٌ تَنْفِى احْتِمَا لَهُ عَلَى التَّخْصِيْصِ
“Lafadz ‘am yang disertai qarinah yang menolak kemungkinan untuk ditakhsis.”

Misalnya dalam QS. Ali ‘Imran ayat 185 :
كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ....
“Setiap diri akan merasakan kematian.” (QS. Ali ‘Imran:185)
Lafadz كُلُّ نَفْسٍ jika dari segi arti memiliki makna yang memang tidak ada batasannya. Kemudian qarinah yang menyertai di sini adalah qarinah haliyah atau keyakinan yang dirasakan bersama. Dan lafadz ‘am di sini penunjukanya bersifat qath’i.
2.      Lafadz ‘am yang maksudnya adalah khusush. Maksudnya di sini adalah lafadz yang jika ditinjau dari sifat atau cirinyatermasuk dalam ‘am, namun dari segi makna memiliki arti yang khusush. Secara definif;[20]
هُوَ العَامُّ الَّذِى صَحُبَتْهُ قَرِيْنَةٌ تَنْفِى بَقَا ئَهُ عَلَى عُمُوْمِهِ
“yaitu lafadz ‘am yang disertai qarinah yang meniadakan keumumannya.”
Misalnya dalam QS. Ali ‘Imran ayat 97.
وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيْلاً
“Kewajiban manusia terhadap Allah adalah menunaikan ibadah Haji ke Baitullah bagi orang yang berkuasa berjalan ke sana.” (QS. Ali ‘Imran:97)
Contoh lain terdapat pada QS. At-taubah ayat 120
مَا كَانَ لِأَهْلِ الْمَدِينَةِ وَمَنْ حَوْلَهُمْ مِنَ الْأَعْرَابِ أَنْ يَتَخَلَّفُوا عَنْ رَسُولِ اللَّهِ وَلَا يَرْغَبُوا بِأَنْفُسِهِمْ عَنْ نَفْسِهِ….
“Tidaklah sepatutnya bagi penduduk Madinah dan orang-orang Arab Baduwi yang berdiam di sekitar mereka, tidak turut menyertai Rasulullah (pergi berperang) dan tidak patut (pula) mereka mencintai diri mereka daripada mencintai diri Rasul.”(QS. At-taubah:120)
Lafadz النَّاسِ merupakan ‘am karena kata tunggal yang diawali dengan alif- lam jinsiyyah.Namun, yang menjadi fokus dari ayat ini adalah sebagian afrad-nya saja, yaitu orang mukallafyang mempunyai kesanggupan.
3.      Lafadz ‘am yang dikhususkan. Maksudnya adalah lafadz ‘am kemungkinan mendapat takhsis. Secara definitif[21]:
“Lafadz ‘am yang tidak disertai oleh qarinah yang meniadakan kemungkinan untuk ditakhsish, juga tidak disertai qarinah yang meniadakan lafadz itu tetap bersifat ‘am.”
Misalnya dalam hadits nabi, yang berbunyi :
مَنْ دَلَّ عَلَى خَيْرٍ كَفَا عِلِيْهِ
“Orang yang memberi petunjuk untuk berbuat baik sama dengan orang yang berbuat baik itu sendiri.”
Lafadz ( (منmerupakan isim istifham, sehingga menunjukkan lafadz ‘am. Namun, tidak ada qarinah yang menyebutkan apakah lafadz tersebut ‘am atau khusush. Sehingga ada kemungkinan lafadz tersebut bersifat khas atau bisa jadi ‘am.
Contoh lain dalam QS. Al-Baqarah ayat 228
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ….
“Dan wanita-wanita yang ditalaq hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru.” (QS. Al-Baqarah:228)
Al-muthallaqat bersifat ‘am, namun lafadz tersebut masih terbebas dari penyebutan ‘am atau khas, namun menurut Muhammad Adib Shaleh selama belum ada dalil yang men­-takhsis­-kannya maka lafadz tersebut tetap bersifat ‘am.[22]

C.    AL-KHAS
1.      Pengertian Al-Khas
Khas menurut bahasa artinya yaitu tertentu. Dalam hal lain, al-Kash berarti lafaz yang dibuat demi memperuntukkan arti satu yang spesifik.[23] Sedangkan menurut Adib Shalih, kata khas mempunyai arti lafaz yang berisi pengertian-pengertian yang terbatas atau suatu makna secara satu. Sebagaimana yang disebutkan oleh Abu Zahrah, para ulama Ushul Fiqh bersepakat bahwa lafaz khas pada nash syara’, memperlihatkan pada maknanya yang khusus sebaga qath’i (pasti) serta hukum yang didalamnya mempunyai sifat yang pasti (qath’i) semasa tiadanya faktor yang memperlihatkan makna lain.[24]
Suatu makna yang khusus tersebut dapat menyiratkan perseorangan semisal Ibrahim yang memperlihatkan salah satu jenis pria, menyiratkan jumlah bilangan semisal dua belas, empat belas, suatu masyarakat, sekerumunan, serombongan, dan lain lain.[25]
2.      Dalalat Al-Khash
Dalam nash al-syar’, lafal al-khash merujuk pada dalalat qath’iyat tentang arti spesifik yang disiratkan dan hukum yang merujuknya adalah qath’iy, selagi tiada bukti yang menukarkan pada arti yang berbeda.
Sebagai contoh, Lafal khash yang terdapat pada surat Al-Maidah ayat 89[26] :
كِسْوَتُهُمْ أَوْ أَهْلِيكُمْ تُطْعِمُونَ مَا أَوْسَطِ مِنْ مَسَاكِينَ عَشَرَةِ إِطْعَامُ فَكَفَّارَتُهُ
maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang msikin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka … (QS. Al-Maidah/5: 89)
Kata ‘asyarah pada ayat di atas dilahirkan semata-mata akan angka sepuluh, tiada kurang dan tiada juga lebih. Makna sepuluh tersebut telah benar tiada peluang makna lain.
Contoh lainnya yaitu firman Allah pada surat Al-Baqarah (2) ayat 196, yang berbunyi :[27]
الْحَجِّ فِي أَيَّامٍ ثَلَاثَةِ فَصِيَامُ يَجِدْ لَمْ مَنْ
Tetapi jika ia tidak menemukan (binatang korban atau tidak mampu), maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji
Kata ثلاثة (tiga) pada ayat di atas yaitu khash, yang tak akan berarti kurang atau lebih dari arti yang dimaksudkan oleh kata itu sendiri, yakni tiga hari. Maka dari itu, dalalat artinya yaitu qath-‘iyyat dan dalalat hukumnya juga qath-‘iyyat.
Seperti yang sudah dijelaskan  sebelumnya sebenarnya hukum yang dilihatkan lafal khash itu qath’iy, semasa tiada qarinat yang berkeinginan buat di-ta’wil-kan pada pengertian berbeda.
Contohnya yaitu hadis Nabi yang berbunyi[28] :
فى كل أربعين شاة شاة
“Pada setiap empat puluh ekor kambing, wajib zakatnya seekor kambing.”
Lafal أربعين شاة (empat puluh ekor kambing) dan lafal شاة (seekor kambing) menurut jumhur ulama sama-sama termasuk lafal khash. Sebab pada dua lafal yang disebutkan tiada bisa dimaksudkan kurang bahkan lebih dari arti yang dilihatkan oleh lafal tersebut. Oleh karena itu dalalat lafal yang disebutkan yaitu qath-‘iyyat. Namun Ulama Hanafiyah berpendapat sebenarnya pada hadis Nabi yang disebut ditemukan qarinat yang memalingkan ke makna yang berbeda. Yakni guna zakat tersebut yaitu bagi membantu orang fakir miskin. Bantuan tersebut bisa sampai tidak cuma melalui membagikan satu ekor kambing, tapi bisa juga melalui memberikan kadar satu ekor kambing yang telah dizakat.
3.      Sifat-sifat Lafal Al-Khash
Lafal al-khash tersebut pada nash-nash syara’, terkadang muncul sebagai muthlaq, tidak diiringi dengan ketentuan apa-apa; terkadang muqayyad, yaitu diberi batasan oleh satu ketentuan; terkadang muncul sebagai shighat (bentuk) al-amr, yaitu desakan akan dilaksanakan satu aktivitas; dan terkadang sebagai shighat al-nahy, yaitu tidak diperbolehkannya melaksanakan satu aktivitas. Oleh karena itu penjelasan khash ini meliputi lafal al-mutlaq, al-muqayyad, al-amr, dan al-nahy.[29]
D.    Mutlak dan Muqayyad
1.      Pengertian Mutlak dan Muqayyad
a.      Mutlak
Dalam kajian usul fiqh lafadz mutlak mempunyai beberapa pengertian, menurut bahasa lafadz mutlak mempunyai arti tidak terbatas dengan ikatan tertentu.[30] Sedangakan menurut para ahli ushul fiqh memberikan pengertian tentang lafadz mutlak dengan pengertian yang sedikit berbeda dalam perumusannya. Sebagai berikut :
1)      Abu zahrah memberikan pengertian lafadz mutlak :
 Lafadz mutlak adalah lafadz yang memberikan petunjuk terhadap maudh’nya( sasaranpenggunaanlafadz) tapa memandang satu,banyak atau sifatnya, tetapi memberika petunjuk kepada hakikat sesuatu menurut apa adanya.[31]
2)      Abd al Wahab Khalaf memberikan pengertian lafadz mutlak :
Lafadz yang menunjukan suatu satuan tanpa dibatasi secara harfiah degan suatu ketentuan.[32]
3)      Muhammad alkhudari Beik memberikan pengertian lafadz mutlak :
Mutlak adalah lafadz yang memberi pentunu terhadap satu dari beberapa satuan yang mencakup tanpa ikatan yang terikat secara lafdzi.[33]
Jika kita fahami dari beberapa pengertian tokoh ahli ushul fiqh tersebut kita bisa menyimpulkan bahwa mutlak adalah lafadz yang  tidak ada batasan tertentu yang membatasi cakupan artinya. Adapun contoh mutlak yang ada dalam alqur’an adalah sebagai berikut, Al mujadalah (58:3)[34] :
يَتَمَاسَّا أَنْ قَبْلِ مِنْ رَقَبَةٍ فَتَحْرِيرُ
 “maka merdekakanlah hamba sahaya sebelum keduanya bergaul”
Dalam ayat tersebut telah disebutkan lafadz“raqabah” yang mempunyai arti hamba sahaya, lafadz tersebutlah yang menjadi mutlak dalam ayat tersebut karena dalam ayat tersebut tidak ada batasan yang membatasi lafadz “raqabah” baik batasan yang berupa sifat atau keadaan. Maksudnya adalah kata hamba sahaya atau budak tersebut bersifat umum, baik itu budak muslim ataupun non muslim tidak ada ketentuan di dalamnya. Oleh karena itu lafadz “Raqabah” tersebut termasuk mutlak karena mencakup keseluruhan .
b.      Muqayyad
Sedangkan muqayyad sendiri mempunyai pengertian yang berkebalikan dengan mutlak. Muqayyad menurut bahasa mempunyai arti terikat.[35] mengenai pengertian muqayyad secara istilah beberapa ahli ushul fiqh juga mempunyai pengertian tentang muqayyad. Sebagai berikut:
      القيد ما دل على الماهية بقيد من القيودها
“Al muqoyad adalah lafadz yang menujukan arti sebenarnya yang di batasi oleh suatu hal lain.”[36]
Berasal dari pengertian tersebut dapat di fahami bahwa muqoyad adalah lafadz yang maknanya telah dibatasi dengan suatu sifat atau keadaan tertentu yang pada akhirnya akan memunculkan makna tertentu sehingga maknanya lebih mengerucut dan jelas. Dengan penjelasan tersebut telah banyak contoh yang ada dalam alqur’an, sebagaimana yang tertulis pada surat An-Nisa’ (4:92) :
 أَهْلِهِ إِلَىٰ مُسَلَّمَةٌ وَدِيَةٌ مُؤْمِنَةٍ رَقَبَةٍ فَتَحْرِيرُ خَطَأً مُؤْمِنًا قَتَلَ وَمَنْ
“....dan barang siapa yang memunuh seorang mukmin karena salah, hendakalah ia memerdekaka seorang hamba sahaya yang beriman dan membayar diyat yang di serahkan kepada keluarganya....”
Sebagaimana yang sudah di jelaskan pada pembahasan sebelumnya, lafadz “qarabah” ini merupakan mutlak , namun dalam ayat ini sesudah lafadz “qarabah” tersebut terdapat lafadz yang membatasi lafadz“qarabah” yakni lafadz“mukminat” , jika diartikan menjadi budak yang beriman, maka lafadz tersebut sudah menjadi muqoyad karena telah di batasi maknanya dan ruang lingkup maknanya juga menjadi lebih mengerucut dan jelas. Jadi seseorang yang membunuh karena tidak sengaja dia harus memerdekakan seorang budak yang beriman.
2.      Kedudukan Mutlak dan Muqayyad
Ketika berbicara tentang mutlak dan muqoyad ada beberapa hal yang harus di perhatikan seperti halnya prinsip dasarnya lafadz mutlak tetap ada kemutlakanya, begitu juga lafadz muqoyad tetap pada kemuqoyadanya. Kemutlakan suatu lafadz dapa berubah menjadi tidak mutlak lagi jika terdapat sesuatu yang memberikan batasan terhadap lafadz tersebut. Jika hal tersebut terjadi maka kemutlakan lafadz sudah berubah. Untuk membahas ssecara mendalam tentang mutlak dan muqoyad maka ada dua hal yang harus diperhatikan agar bisa memahami kedudukan lafadz mutlak dan muqoyad,[37] sebagai berikut :
a.       Menerapkan mutlak pada muqoyad[38], maksudnya adalah apabila ada suatu ayat yang didalamnya terkandung lafadz yang tidak di batasi makna ayat tersebut dengan dengan yang lain dan kemudian pada ayat lain terdapat lafadz yang sama namun terdapat pembatasan makna lafadztesebutdeng suatu yang lain, maka hal inilah yang hal inilah yang di maksud dengan menerapkan mutlak pada muqoyad. Terdapat beberapa ketentuan mengenai hal ini, yaitu :
·         Adanya kesamaan ketentuan hukum dan juga sebab penetapan.[39]
Contoh, Al Maidah ayat 3 :
الْخِنْزِيرِ وَلَحْمُ وَالدَّمُ الْمَيْتَةُ عَلَيْكُمُ حُرِّمَتْ
“....Diharamkan atas kamu bangkai, darah, dan daging babi...”

Al-’Am: 145
خِنْزِيرٍ لَحْمَ أَوْ مَسْفُوحًا دَمًا أَوْ مَيْتَةً يَكُونَ أَنْ إِلَّا يَطْعَمُهُ طَاعِمٍ عَلَىٰ مُحَرَّمًا إِلَيَّ أُوحِيَ مَا فِي أَجِدُ لَا قُلْ
 “Katakanlah! Tidak aku temukan dalam wahyu yang di wahyukan kepadak suatu yan diharamkan bagi orang yang hendak memakanya, kecuali darah yang mengalir atau dang babi....”
Adapun hubugan antara kedua ayat tersebut dengan pembahasan pada pont ini adalah terletak pada lafadz DAM (darah). Dalam dua ayat tersebut sama-sama terdapat lafadz DAM(darah), namun pada surat Al Maaidah:3 tersebut lafadz dam bersifat mutlak karena tidak ada sesuatu yang membatasi lafadz tersebut, namun pada surat Al Am:145 tersebut lafadz DAM (darah)  tidak sendiri melainkan terdapat qoid yang mengiringi lafadz tersebut yaitu lafad MASFUKHA (mengalir), sehingga ia berubah menjadi muqoyad. Hal ini berdasarkan pada ketentuan bahwasanya menerapkan kemutlakan pada muqoyad, maka lafadz DAM (darah) pada surat Al Maidah:3 itu juga berarti darah yang mengalir seperti halnya pada  surat Al-Am :145. Maksudnya adalah makna DAM yang ada pada surat Al Maidah:3 dan Al-Am:145 adalah mempunyai maksud yang sama yaitu darah yang mengalir.
·         Adanya pesamaan dalam ketentuan hukum namun berbeda dalam sebab yang melatar belakangi.[40] Contoh :
Al Mujadilah: 3
      يَتَمَاسَّا أَنْ قَبْلِ مِنْ رَقَبَةٍ فَتَحْرِيرُ قَالُوا لِمَا يَعُودُونَ ثُمَّ نِسَائِهِمْ مِنْ يُظَاهِرُونَ وَالَّذِينَ
“dan orang-orang yang mendzihar istri mereka, kemudian mereka ingin menarik kembali apa yang mereka ucapkan maka hendaklah mereka memerdekakan budak sebelum keduanya bergaul.”

An-nisa’:92
مُؤْمِنَةٍ رَقَبَةٍ فَتَحْرِيرُ خَطَأً مُؤْمِنًا قَتَلَ وَمَنْ
“dan barang siapa membunuh seorang mukmin karena tersalah(tidak sengaja), maka hendaklah ia memerdekakan seorang budak yang mukmin.”
Dari kedua ayat tersebut dapat kita fahami bahwa terdapat kesamaan ketentuan hukum, hal ini dapat di buktikan bahwa kedua ayat tersebut membicarakan tentang kafarat memerdekakan budak, lalu yang menunjukkan adanya perbedaan sebab yang melatar belakangi adalah apabila ayat yang pertama yang melatar belangkai adalah masalah dzihar adapun ayat yang kedua adalah masalah ketidaksengajaan atas pembunuhan yang terjadi. Adapun pembahasan tentang menerapkan kemutlakan pada muqoyad adalah pada lafadz “raqabah” (budak/hamba sahaya), pada lafadz “raqabah” dalam surat Al mujadalah tersebut menunjukan kemutlakannya, namun pada lzfadz ”raqabah” dalam surat An-nisa’ tersebut menunukan muqoyat karena terdapat qoyid yang membatasi lafadz “raqabah” tersebut. Maka dalam hal ini yang perlu di ketahui adalah supaya kembali pada ketentuan awal yakni menerapkan kemutlakan pada muqoyad, jadi lafadz“raqabah” pada surat Al Maidah juga mempunya maksud yang sama yakni budak yang mukmin.
b.      Mutlak tidak di bawa pada muqoyad
·         Apabila ada perbedaan dalam ketentuan hukum yang mana sebab yang melatar belakangi msalah juga berbeda.[41] Contoh :
Al Maidah: 38
كَسَبَا بِمَا جَزَاءً يَهُمَاأَيْدِ فَاقْطَعُوا وَالسَّارِقَةُ وَالسَّارِقُ
“Dan pencuri laki-laki dan perempuan, hendaklah dipotong tangan mereka masing-masing sebagai pembalasan (hukuman) bagi apa yang telah mereka kerjakan.”
الْمَرَافِقِ إِلَى وَأَيْدِيَكُمْ وُجُوهَكُمْ فَاغْسِلُوا الصَّلَاةِ إِلَى قُمْتُمْ إِذَا آمَنُوا الَّذِينَ أَيُّهَا يَا
“hai orang-orang yang beriman apabila kamu hendak mendirikan sholat, maka basuhah kedua tanganmu hingga kedua mata siku.”
Dari kedua ayat tersebut dapat kita fahami secara jelas bahwa tidak ada sama sekali kesamaan antara keduanya, baik dari segi ketentuan hukum maupun sebab yang melatarbelakangi. Jika ayat  yang pertama menyatakan ketentuan hukum membasuh tangan hingga kedua mata siku dan ayat yang kedua yaitu tentang ketentuan hukum potong tangan seorang pencuri dan secara sebab yang melatar belakangi juga berbeda, jika ayat pertama yang melatar belakangi adalah bersuci sedangkan ayat kedua adalah karena kasus pencurian. Dalam hal ini sudah jelas tidak ada kesamaan antara dua ayat tersebut meskipun dalam dua ayat tersebut terdapat lafadz yang sama yakni AYDI (tangan). Lafadz “aydi” pada ayat pertama menunjukan kemutlakan dan lafadz“aydi” yang kedua menunjukan muqoyad. Dengan alasan yang telah di jelaskan sebelumnya maka kemutlakan pada lafadz “aydi” pada pertama tersebut tidak bisa di ganti dengan muqoyad karena ketentuan hukum dan juga latar belakanya berbeda.
·         Terdapat kesamaan dalam sebab yang melatar belakangi namun ketentuan hukumnya berbeda[42], jika hal ini terjadi maka ketentuan kemutlakan tidak bisa berubah menjadi muqoyad. Seperti contoh pada surat Al-Maidah ayat 6 :
الْمَرَافِقِ إِلَى وَأَيْدِيَكُمْ وُجُوهَكُمْ فَاغْسِلُوا الصَّلَاةِ إِلَى قُمْتُمْ إِذَا آمَنُوا الَّذِينَ أَيُّهَا يَا
“hai orang-orang yang beriman apabila kamu hendak mendirikan sholat, maka basuhlah kedua tanganmu hingga kedua mata siku.”
مِنْهُ وَأَيْدِيكُمْ بِوُجُوهِكُمْ فَامْسَحُوا طَيِّبًا صَعِيدًا فَتَيَمَّمُوا
 “ Maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang bersih, sapulah (usaplah) wajahmu dan tanganmu dengan tanah tersebut.”
Dari kedua ayat itu sudah jelas bahwa ketentuan hukumnya berbeda karena ayat pertama menyatakan tentang ketentuan berwudhu dan ayat yang kedua menyatakan tentang ketentuan tayamum, meski sebab dari dua ayat tersebut sama sebab yang melatarbelakangi, maka konteks ayat ini mutlak tetap pada kemutlaknya dan muqoyat tetap pada kemuqoyadanya.
c.       Pandangan Ulama tentang Mutlak dan Muqayyad
Setelah membahas tentang ketentuan-ketentuan mutlak dan muqoyad maka yang perlu kita ketahui juga adalah bagaimana pandangan para ulama’ madzhab menanggapi tentang mutlak dan muqoyad tersebut, adapun pendapat para ulama’ madzhab tentang mutlak dan muqoyad adalah sebagai berikut :
1.      Madzhab hanafi, menyatakan bahwa mutlak harus tetap pada kemutlakanya dan juga muqoyad harus tetap pada kemuqoyadanya.[43] Jadi madzhab hanafi tidak mencampurkan antara mutlak dan muqoyad, apabila lafadz tersebut mutlak maka lafadz tersebut tak bisa berubah menjadi muqoyad dan begitu pula sebaliknya.
2.      Dalam kalangan madzhab syafii, maliki dan hanbali tidak ada perbedaan pendapat, mereka berpendapat bahwa apabila ada kesamaan dalam ketentuan hukum dan terdapat prbedaan dalam sebab yang melatarbelakangi, maka mutlak dapat diterapkan pada muqoyad.[44] Seperti yang telah dijelaskan dalam pembahasan sebelumnya maka mutlak bisa diterapkan pada muqoyad dengan ketentuan-ketentuan yang disebutkan sebelumya.

E.     Kesimpulan
Amm menurut Bahasa adalah umum, merata, dan menyeluruh. Sedangkan jika menurut istilah, maka akan ada pendapat menurut Abdul Hamid Hakim, mengenai ‘am yakni lafadz yang menenjukkan pengertian umum yang mencakup satuan-satuan (afrad) yang ada dalam lafadz itu tanpa pembatasan jumlah terntentu.
Khas menurut bahasa artinya yaitu tertentu. Dalam hal lain, al-Kash berarti lafaz yang dibuat demi memperuntukkan arti satu yang spesifik. Sedangkan menurut Adib Shalih, kata khas mempunyai arti lafaz yang berisi pengertian-pengertian yang terbatas atau suatu makna secara satu. Sebagaimana yang disebutkan oleh Abu Zahrah, para ulama Ushul Fiqh bersepakat bahwa lafaz khas pada nash syara’, memperlihatkan pada maknanya yang khusus sebaga qath’i (pasti) serta hukum yang didalamnya mempunyai sifat yang pasti (qath’i) semasa tiadanya faktor yang memperlihatkan makna lain.
Lafadz mutlak mempunyai beberapa pengertian, menurut bahasa lafadz mutlak mempunyai arti tidak terbatas dengan ikatan tertentu. Sedangakan menurut para ahli ushul fiqh kita bisa menyimpulkan bahwa mutlak adalah lafadz yang  tidak ada batasan tertentu yang membatasi cakupan artinya.
Sedangkan  muqayyad sendiri mempunyai pengertian yang berkebalikan dengan mutlak. Muqayyad menurut bahasa mempunyai arti terikat. Mengenai pengertian muqayyad secara istilah beberapa ahli ushul fiqh juga mempunyai pengertian tentang muqayyad yaitu lafadz yang menujukan arti sebenarnya yang di batasi oleh suatu hal lain. Berasal dari pengertian tersebut dapat di fahami bahwa muqoyad adalah lafadz yang maknanya telah dibatasi dengan suatu sifat atau keadaan tertentu yang pada akhirnya akan memunculkan makna tertentu sehingga maknanya lebih mengerucut dan jelas.
DAFTAR PUSTAKA
Amin Sahib, Muhammad. 2016. LAFAZ DITINJAU DARI SEGI CAKUPANNYA (‘ÂM - KHÂS - MUTHLAQ - MUQAYYAD), Jurnal Hukum Diktum, Volume 14, Nomor 2.
Djazuli, H. A. & Nurol Aen,I. 2000. Ushul Fiqh (Metodologi Hukum Islam) Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Effendi,Satria & Zein, M. 2005. Ushul Fiqh, Jakarta: Prenada Media.
HAMDANI, Muhammad Faisal. Muthlaq Dan Muqayyad (Studi Pemikiran at-Thufy Pada Kitab Syarh Mukhtasyar Raudhah). Istishlah Jurnal Hukum Islam, 2012, 5.2: 23-48.
Ismardi, 2014. KAIDAH-KAIDAH TAFSIR BERKAITAN DENGAN KAIDAH USHULMENURUT KHALID UTSMAN AL-SABTKajian Terhadap Kaidah al-Amm-al-Khass, al-Mutlaq-al-Muqayyad,dan al-Mantuq-al-Mafhum, An-Nida’:Jurnal Pemikiran Islam,Vol.39,No.1.
SA, Romli. 2014. Study Perbandingan Ushul Fiqh. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Shidik, Safiun. 2009. Ushul Fiqh.Tangerang: PT. Intimedia Ciptanusantara.
Syarifuddin, Amir. 2014. Ushul Fiqh Jilid 2, Jakarta: Kencana Prenadamedia Group.
Tharaba, M. Fahim. 2016. Hikmatut Tasyri’ Wa Hikmatus Syar’I (Filsafat Hukum Islam). Malang: CV. Dream Litera Buana.
Wahid, Abdul. 2015. KAIDAH-KAIDAH PEMAHAMAN DAN PENGAMBILAN HUKUM AL-QUR’AN DAN AS-SUNNAH (Studi Tentang Lafazh ‘Am, Khash, Lafazh Muthlak dan Muqayyad), Jurnal Pendidikan dan Pranata Islam, Syaikhuna Edisi 10 Nomor 2, 2015.

Catatan:
1.      Similarity 2%. Sangat bagus....
2.      Judul artikel tidak kapital semua, tetapi mengikuti sistem penulisan seperti buku.


[1] Ismardi, KAIDAH-KAIDAH TAFSIR BERKAITAN DENGAN KAIDAH USHUL MENURUT KHALID UTSMAN AL-SABTKajian Terhadap Kaidah al-Amm-al-Khass, al-Mutlaq-al-Muqayyad,dan al-Mantuq-al-Mafhum, An-Nida’:Jurnal Pemikiran Islam,Vol.39,No.1,2014, hlm. 59.
[2]Safiun Shidik, Ushul Fiqh, PT. Intimedia Ciptanusantara:Tangerang, 2009, hlm. 83.
[3]Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, Kencana Prenadamedia Group:Jakarta, 2014, hlm. 55
[4]Satria Effendi & M. Zein, Ushul Fiqh, Prenada Media:Jakarta, 2005, hlm. 196
[5]Op,. Cit, Amir Syarifuddin, hlm. 56
[6]Ibid,. Satria Effendi & M. Zein, hlm. 196.
[7]Abdul Wahid, KAIDAH-KAIDAH PEMAHAMAN DAN PENGAMBILAN HUKUM AL-QUR’AN DAN AS-SUNNAH (Studi Tentang Lafazh ‘Am, Khash, Lafazh Muthlak dan Muqayyad), Jurnal Pendidikan dan Pranata Islam, Syaikhuna Edisi 10 Nomor 2, 2015, hlm. 62
[8]Loc,. Cit, Abdul Wahid, hlm. 62
[9] Muhammad Amin Sahib, LAFAZ DITINJAU DARI SEGI CAKUPANNYA (‘ÂM - KHÂS - MUTHLAQ - MUQAYYAD), Jurnal Hukum Diktum, Volume 14, Nomor 2, 2016, hlm. 140.
[10]Op,. Cit, Satria Effendi & M. Zein, hlm. 197.
[11]Op,.Cit, Amir Syarifuddin, hlm. 86.
[12]Ibid, Abdul Wahid, hlm. 63.
[13]Op,.Cit, Amir Syarifuddin, hlm. 87.
[14]Ibid, Abdul Wahid, hlm. 64.
[15]Loc,.Cit, Amir Syarifuddin, hlm. 87.
[16]Membatalkan pelaksanaan hukum dengan hukum yang datang kemudian. (Safiun Shidik, Ushul Fiqh, PT. Intimedia Ciptanusantara:Tangerang, 2009, hlm. 128.)
[17]Ibid, Abdul Wahid, hlm. 65.
[18]Loc,. Cit, Abdul Wahid, hlm. 65.
[19]Op,.Cit, Amir Syarifuddin, hlm. 91.
[20]Op,.Cit, Amir Syarifuddin, hlm. 92.
[21]Op,.Cit, Amir Syarifuddin, hlm. 92.
[22]Op,. Cit, Satria Effendi & M. Zein, hlm. 200.
[23] M. Fahim Tharaba, Hikmatut Tasyri’ Wa Hikmatus Syar’I (Filsafat Hukum Islam), (Malang: CV. Dream Litera Buana), 2016, hlm. 196
[24] Op,. Cit, Satria Effendi & M. Zein, hlm. 205
[25] Op,. Cit, Safiun Shidik, hlm. 88
[26] Op,. Cit, Satria Effendi & M. Zein, hlm. 205
[27] Djazuli dan Nurol Aen., Ushul Fiqh (Metodologi Hukum Islam), (Jakarta: Raja Grafindo Persada), 2000, hlm. 342
[28] Ibid, hlm. 342
[29] Djazuli dan Nurol Aen., Ushul Fiqh (Metodologi Hukum Islam), (Jakarta: Raja Grafindo Persada), 2000, hlm.343
[30] Hamdani, Muhammad Faisal. "Muthlaq Dan Muqayyad (Studi Pemikiran at-Thufy Pada Kitab Syarh Mukhtasyar Raudhah)." Istishlah Jurnal Hukum Islam 5.2 (2012): hlm. 28.
[31] Op,.Cit, Amir Syarifuddin, hlm.129
[32] Effendi satria, Zein M. USHUL FIQH. 2005.Jakarta : kencana. Hal. 206
[33] Op,.Cit, Amir Syarifuddin, hlm. 128
[34] Op,.Cit, Amir Syarifuddin, hlm. 129
[35] Effendi satria, Zein M. USHUL FIQH. 2005.Jakarta : kencana. hlm. 206
[36] Djazuli .A, aen Nurul .USHUL FIQH (Metodologi Hukum Islam) . 2000 . Jakarta: Rajagrafindo persada, hlm. 370
[37] Romli SA, STUDY PERBANDINGAN USHUL FIQH . 2014 .Yogyakarta: pustaka pelajar, hlm. 296
[38] Ibid, hlm. 296
[39] Ibid, hlm. 296
[40] Ibid, hlm. 296
[41] Op., Cit., Romli SA, hlm. 298
[42] Op., Cit., Romli SA,hlm. 299
[43] Ibid, hlm. 301
[44] Ibid, hlm. 301

Tidak ada komentar:

Posting Komentar