Selasa, 17 April 2018

Ilmu Jarh wa Ta'dil (PIPS D Semester Genap 2017/2018)



ILMU AL-JARH WA AL-TA’DIL
Nur Syamsiah, Agus Pramono Hadi, dan Muzzammil Ilmi Nabilah
Mahasiswa Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang
P.IPS D Angkatan 2016
E-mail :nsyamsiah@ gmail.com
Abstract
        This article is about Science Jarh wa al-Ta'dil. Science Jarh wa al-Ta'dil is a science that discusses the state of narration of hadith, both about the defect and the cleanliness seen in terms of acceptable or rejected penyelingannya. What is studied in Jarh wa al-Ta'dil is determining whether his fairies are acceptable or should be rejected. If the narrator is chosen by the 'ulama as a transmitter with a disability, then his transmission must be rejected and if the requirement to accept the hadith is fulfilled then the transmission is acceptable. The scholars allow the activities of jarh wa ta'dil to keep the religious syariat, not to criticize.
Keywords :Science of Al-Jarh, Al Ta’dil
Abstrak
Artikel ini berisi tentang Ilmu Jarh wa al-Ta’dil. Ilmu Jarh wa al-Ta’dil adalah ilmu yang membahas tentang keadaan periwayat hadis, baik mengenai cacatnya maupun kebersihannya yang dilihat dari segi diterima atau ditolak periwayatannya. Yang dipelajari dalam Jarh wa al-Ta'dil adalah menentukan apakah periwayatanya dapat diterima atau harus ditolak. Jika perawi dijarh oleh para ulama sebagai perawi dengan cacat tubuh, maka periwayatannya harus ditolak dan jika persyaratan untuk menerima hadis terpenuhi maka periwayatannya bisa diterima.Para ulama memperbolehkan aktifitas jarh wa ta’dil untuk menjaga syariat agama, bukan untuk mencela.
Kata Kunci : Ilmu al-Jarh, al-Ta’dil.

A.    Pendahuluan
Ilmu hadis telah tumbuh sejak zaman Rosulullah SAW, sejalan dengan diwurudkannya hadis-hadis kepada para sahabatnya.Rosulullah SAW juga telah menetapkan aturan tentang bagaimana seharusnya hadis itu diterima dan disampaikan kepada lainnya.Pada masa sahabat dan tabi’in, kebutuhan terhadap ilmu ini semakin terasa.Hal ini karena, Rosulullah SAW sebagai sumber untuk merujuk hadis sudah wafat.Sehingga diperlukan adanya tolak ukur untuk menuju kebenaran suatu hadis.Para ahli hadis sepakat untuk menilai kualitas hadis, terlebih dahulu harus dilihat dari segi matan dan sanadnya.Dalam studi sanad yang harus diteliti adalah rangkaian atau persambungansanad dan keadaan pribadi periwayat.[1]
Dalam kajian Ulumul Hadis, pembahasan mengenai keadaan pribadi periwayat hadis merupakan fokus kajian ilmu jarh wa ta’dil. Pada dasarnya al-jarh wa al-ta’dil merupakan bagian ilmu rijal al-hadis, namun karena ilmu ini dipandang sebagai ilmu terpenting maka dijadikan ilmu yang berdiri sendiri. Al-jarh wa al-ta’dil pada awalnya merupakan dua ilmu yang masing-masing berjalan dijalurnya sendiri, kemudian kedua ilmu tersebut dikaloborasikan.[2]Ilmu al-jarh wa al-ta’dil dipergunakan untuk menetapkan apakah periwayatan seorang perawi itu bisa diterima atau ditolak sama sekali. Apabila seorang rawi “dijarh” oleh para ahli sebagai rawi yang cacat, maka periwayatannya ditolak.Sebaliknya bila dipuji maka hadisnya bisa diterima selama syarat-syarat sudah terpenuhi.Kecacatan rawi itu bisa ditelusuri melalui perbuatan yang dilakukannya.[3]
Penyampaian dan periwayatan hadis bukanlah suatu perkara yang kecil.Suatu hadis tidak diterima kecuali dari orang-orang yang terpercaya (tsiqoh), karena kesaksian dalam urusan agama lebih utama dan lebih berhak untuk dikukuhkan daripada kesaksian dalam urusan harta benda dan hak manusia.[4]Oleh karena itu para Ulama merasa berkewajiban menerangkan keadaan yang sebenarnya dari perawi hadis walaupun itu termasuk soal intern atau pribadi demi menjaga kemurnian ajaran Nabi. Seandainya tidak ada ilmu al-jarh wa al-ta’dil kemungkinan sampai sekarang tidak ada seorangpun yang dapat mengetahui perawi yang bisa dan tidak bisa diterima hadisnya.[5]
B.     Pengertian Ilmu Al-Jarh Wa Al-Ta’dil
      Secara etimologis, kata al-jarh merupakan masdar dari kata jaraha-yajrahu yang berarti melukai. Apabila terjadi pada tubuh, ia menyebabkan mengalirnya darah dan apabila digunakan oleh hakim pengadilan yang ditunjukkan kepada saksi, ia berarti menolak atau menggugurkan kesaksiannya. Sedangkan menurut terminologi ilmu hadis, kata jarh berarti upaya mengungkapkan sifat-sifat tercela dari periwayat hadis yang mengakibatkan lemah atau riwayat yang disampaikan tertolak.
      Adapun kata ta’dil adalah bentuk mashdar dari kata ‘addala yu’addilu yang berarti mengemukakan sifat-sifat adil yang dimiliki seseorang. Dalam terminologi ilmu hadis kata ta’dil berarti upaya mengungkap sifat bersih dari seorang periwayat hadis sehingga nampak keadilannya sehingga menyebabkan riwayat  yang disampaikan diterima.
      Dengan demikian, yang dimaksud ilmu al-jarh wa al-ta’dil ialah pengetahuan yang membahas tentang keadaan periwayat hadis, baik mengenai catatannya maupun kebersihannya dengan menggunakan lafad-lafad tertentu sehingga diterima atau ditolak riwayatnya.[6]
Para Ulama hadis mendefinisikan secara terpisah antara istilah al-jarh dan at-ta’dil, namun ada juga yang menyatukannya. Para Ulama hadis mendefinisikan al-jarh sebagai berikut:
اَلْجَرْحُ عِنْدَالْمُحَدِّثِيْنَ الْطَّعْنُ فِى رَاوِى الْحَدِيْثِ بِمَايَسْلُبُ أَوْيُخِلُّ بِعَدَالَتِهِ أَوْضَبْطِهِ
            Jarh menurut muhadditsin adalah menunjukkan sifat-sifat cela rawi sehingga mengangkat atau mencacatkan adalah atau kedhabitannya.”
Kemudian, para Ulama hadis mendefinisikan at-ta’dil sebagai berikut:
وَاتَّعْدِيْلُ عَكْسُهُ وَهُوَتَزْكِيَةُالرَّوِي والْحُكْمُ عَلْيْهِبِأَنَّهُ عَدْلُ أَوْضَابِطُ
            Ta’dil adalah kebalikan dari jarh, yaitu menilai bersih terhadap seorang rawi dan menghukumnya bahwa ia adil dan dhabith.
Ulama lain mendefinisikan al-jarh dan at-ta’dil dalam satu definisi, yaitu:
عِلْمُ يُبْحَثُ عَنِ الرُّوَاةمن حَيْثُ مَاوَرَدَفِيْ شَأَنِهِمْ مِمَّايُشْنِيْهِمْ أَوْيُزَكِّيْهِمْ بِأَلْفَاظٍ مَخْصُوْصَةٍ
            Ilmu yang membahas rawi hadis dari segi yang dapat menunjukkan keadaan mereka, baik yang dapat mencacatkan atau membersihkan mereka, dengan lafad-lafad tertentu.[7]
                  Kecacatan rawi itu dapat ditelusuri melalui perbuatan-perbuatan yang dilakukannya, biasanya dikategorikan kedalam lingkup perbuatan: bid’ah, yakni melakukan tindakan tercela atau diluar ketentuan syari’ah; mukhalafah, yakni berbeda dengan periwayatan dari rawi yang lebih tsiqqah; ghalath, yakni banyak melakukan kekeliruan dalam meriwayatkan hadis; jahalat al-hal, yakni tidak diketahui identitasnya secara jelas dan lengkap; dan da’wat al-inqitha’, yakni diduga penyandaran sanad-nya tidak bersambung.[8]
      Sebagai bandingan di bawah ini dikemukakan pengertian jarh wa ta’dil lainnya, sebagai berikut:
1.      Ilmu yang membahas kaidah-kaidah untuk men-jarh para rawi dan mengadilkannya. kaidah-kaidah men-jarh yaitu berkaitan erat dengan syarat-syarat yang banyak yang harus dimiliki oleh mujarrih, dan syarat-syarat yang banyak pula yang berkaitan dengan jarh itu sendiri sehingga dapat diterima, kemudian berkaitan pula dengan lafal-lafalnya, tingkatannya, beserta hukum hadis yang diriwayatkan oleh perawi pada tiap-tiap tingkatannya. Kaidah-kaidah mengadilkan perawi maksudnya berkaitan dengan syarat-syarat yang harus dimiliki oleh si mu’addil dan dalam proses pen-ta‘dil-annya itu sehingga dapat diterima, selain dari itu berkaitan dengan lafal-lafal dan tingkatan dari lafal tadi beserta hukum hadis yang diriwayatkan oleh rawi pada tingkatannya masing-masing.
2.      Jarh ialah menyipati seorang rawi dengan merendahkan periwayatannya, atau men-dha’if-kannya, dan bahkan menolaknya. Sedangkan ta’dil maksudnya menyifati rawi dengan menerima periwayatannya.
3.      Ilmu yang menerangkan tentang hal catatan-catatan yang dihadapkan kepada para rawi dan tentang pen-ta’dil-annya dengan memakai kata-kata khusus dan tentang martabat-martabat dari kata-kata itu.
Dari beberapa pengertian di atas, jelaslah bahwa seorang rawi takkan luput dari catatan-catatan prestasi akademik dan prestasi moralnya dalam sejarah sehingga dapat dipertimbangkan diterima atau ditolak riwayatnya. Menurut definisi-definisi di atas, jelaslah bahwa jarh  merupakan penilaian negatif terhadap orang yang meriwayatkan hadis, sehingga mengakibatkan riwayatnya perlu diteliti, dipertimbangkan atau ditolak, lalu orang yang meriwayatkan hadis yang sudah dinilai adil riwayatnya diterima karena orang itu sudah memiliki sifat-sifat sebagai orang yang harus diterima riwayatnya.
C.    Manfaat Mempelajari Ilmu Al-Jarh wa Al-Ta’dil
Manfaat mempelajari ilmu al-jarh wa at-ta’dil, antara lain sebagai berikut:
1.      Ilmu ini dapat menjadi bahan untuk mengetahui hadis-hadis yang diterima dan ditolak dari perawi-perawi hadis yang terpercaya, tetapi disinyalir kurang atau tidak normal pikirannya pada akhir hidupnya, mungkin karena telah lanjut usia atau sebab-sebab lain. Jika sudah diketahui bahwa hadis ini dari orang yang terpercaya tetapi tidak normal pikirannya maka hadis itu tertolak.
2.      Dengan ilmu ini dapat diketahui hadis yang datang dahulu dan hadis yang datang kemudian dengan demikian dapat diketahui bahwa salah satu dari dua hadis tersebut sebagai nasikh dan yang lain mansukh, apabila keduanya terdapat pertentangan maka perlu di kompromikan.
3.      Dapat pula sebagai bahan untuk mengecek bersambung atau tidaknya suatu hadis, karena terkadang diantara para perawinya ada yang berbuat dusta, ada yang berbuat tadlis dan juga ada yang meng-irsalkan hadis.[9]

D.    Metode Untuk Mengetahui Keadilan Dan Kecacatan Rawi Dan Masalah-Masalahnya
Keadilan seorang rawi dapat diketahui dengan salah satu dari dua ketetapan. Pertama, dengan kepopuleran di kalangan para ahli ilmu bahwa dia terkenal sebagai orang yang adil (bisy-syuhrah). Seperti terkenal sebagai orang yang adil di kalangan para ahli ilmu Anas bin Malik, Sufyan Ats-Tsauri, Syu’bah bin Al-Hajjaj, Asy-Sy Ahmad bin Hanbal. Oleh karena itu, mereka sudah terkenal sebagai orang adil di kalangan para ilmu hadis maka tidak perlu diperbincangkan lagi.Kedua, dengan pujian dari seorang yang adil (tazkiyah), ditetapkan sebagai rawi yang adil oleh orang yang adil yang semula rawi yang di-ta’dil-kan belum terkenal sebagai rawi yang adil.
Penetapan tentang kecacatan seorang rawi dengan jalan tazkiyah dapat dilakukan oleh:
1.      Seorang rawi yang adil. Jadi tidak perlu dikaitkan dengan banyaknya orang yang men-ta’dil-kankarena jumlah itu tidak menjadi syarat untuk penerimaan riwayat hadis. Pendapat ini menurut kebanyakan muhadditsin. Berlainan dengan pendapat para fuqaha yang mensyaratkan sekurang-kurangnya dua orang dalam mentazkiyahkan seorang rawi.
2.      Setiap orang yang dapat diterima periwayatannya, baik laki-laki maupun perempuan, dan orang yang merdeka maupun budak, selama ia mengetahui sebab-sebab yang dapat men-ta’dil-kannya.
Penetapan tentang kecacatan seorang rawi juga dapat ditempuh melalui dua jalan, yaitu sebagai berikut:
1.      Berdasarkan berita tentang ketenaran seorang rawi dalam ke’aibannya. Seorang rawi yang sudah dikenal sebagai orang yang fasiq atau pendusta di kalangan masyarakat, tidak perlu lagi dipersoalkan. Cukuplah kemasyhuran itu sebagai jalan untuk menetapkan kecacatannya.
2.      Berdasarkan pen-tarjih-an dari seseorang yang adil yang telah mengetahui sebab-sebabnya dia cacat. Demikian ketetapan yang dipegangi oleh muhadditsin, sedangkan menurut para fuqaha sekurang-kurangnya harus ditarjih dua orang laki-laki yang adil.[10]
Kaidah tarjih dan ta’dil ada dua macam, pertama naqd kharij yaitu kritik eksternal yakni tentang cara dan sahnya riwayat dan tentang kapasitas rawi. Kedua, naqd dakhili yaitu kritik internal tentang makna hadis dan syarat keshahihannya.[11]
E.     Syarat Ulama Al-Jarh Wa Al-Ta’dil
Seorang  Ulamaal-jarh wa al-ta’dil harus memenuhi kriteria yang dapat menjadikannya objektif dalam upaya mengungkap karakteristik para periwayat. Syarat-syaratnya yakni sebagai berikut:
1.      Berilmu, bertaqwa, wara’, dan jujur. Al-Hafizh berkata, “Seyogyanya al-jarh wa at-ta’dil tidak diterima kecuali dari orang-orang yang adil dan kuat ingatannya, yakni orang yang mampu mengungkapkan hadis dan kuat ingatannya sehingga menjadikannya berhati-hati dan ingat dengan tepat terhadap hadis yang  ia ucapkan.”
2.      Mengetahui sebab-sebab al-jarh wa at-ta’dil. Al-Hafizh bnu Hajar menjelaskan salamSyarh al-Nukhbah, Tazkiyah (pembersihan terhadap diri orang lain) dapat diterima apabila dilakukan oleh orang yang mengetahuinya, agar ia tidak memberikan tazkiyah hanya dengan apa yang kelihatan olehnya dengan sepintas tanpa mendalami dan memeriksanya.
3.      Ia  mengetahui penggunaan kalimat-kalimat bahasa Arab, sehingga suatu lafaz  yang digunakan tidak dipakai untuk selain maknanya, atau men-jarh dengan lafaz yang tidak sesuai.[12]
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh Ulama al-jarh wa al-ta’dil. Diantaranya adalah sebagaiberikut:
1.      Bersikap objektif dalam tazkiyah, sehingga ia tidak meninggikan atau merendahkan dari martabat seorang rawi yang sebenarnya.
2.      Jarh tidak boleh mengutip jarh saja sehubungan dengan orang yang dinilai jarh oleh sebagian kritikus tetapi dinilai adil oleh sebagian lainnya, karena sikap demikian berarti merampas hak rawi.
3.      Tidak boleh jarh terhadap rawi yang tidak perlu di-jarh, karna hukumnya disyariatkan karna darurat. Maka jika tidak dalam kondisi darurat jarh tidak dapat dilaksanakan.[13]
Men-ta’dil­-kan atau men-tarjihkan seorang rawi itu adakalanya mubham (tidak disebutkan sebab-sebabnya) dan mufassar (disebutkan sebab-sebabnya). Untuk mubham ini diperselisihkan para Ulama dalam beberapa pendapat:
1.      Men-ta’dil-kan tanpa menyebutkan sebab-sebabnya diterima. Karena sebab-sebab itu banyak sekali, sehingga hal itu jika disebutkan semua tentu menyibukkan. Adapun men-tarjih-kan tidak diterima jika tidak menyebutkan sebab-sebabnya, karena jarh itu dapat berhasil dengan satu sebab saja.
2.      Ta’dil harus disebutkan sebab-sebabnya tetapi jarh tidak perlu karena sebab-sebab ta’dil itu bisa dibuat-buat hingga harus  diterangkan sedangkan jarh tidak.
3.      Untuk kedua-duanya harus disebutkan sebab-sebabnya.
4.      Untuk kedua-duanya tidak perlu disebutkan sebab-sebabnya, karena jarh dan mua’dil sudah mengenal setelitinya sebab-sebab tersebut.[14]
Masalah berikutnya adalah perselisihan dalam menentukan mengenai jumlah orang yang dipandang cukup untuk men-ta’dil-kan dan men-tarjih-kan seorang rawi yaitu sebagai berikut:
1.      Minimal dua orang baik dalam syahadah maupun soal riwayah menurut pendapat kebanyakan fuqaha Madinah.
2.      Cukup seorang saja dalam soal riwayah bukan dalamsoal syahadah. Sebab bilangan tersebut tidak menjadi syarat dalam penerimaan hadis, maka tidak disyaratkan dalam men-ta’dil-kan dan men-tarjih-kan rawi berlainan dalam soal syahadah.
3.      Cukup seorang saja baik dalam soal riwayah maupun syahadah.[15]

Dalam kerangka jarh wa ta’dil, maka para perawi hadis adalah mereka yang memiliki persyaratan berikut:
1.      Islam
Persyaratan utama bagi orang yang meriwayatkan hadis harus seorang muslim. Riwayat orang kafir tidak boleh diterima karena orang kafir akan tetap berdaya upaya menipu kaum Muslimin dan membohonginya dengan berbagai macam cara dan usaha.
2.      Baligh
Orang yang meriwayatkan hadis disyaratkan dewasa karena dengan kedewasaan ini seseorang akan mendapat taklif, tuntutan. Orang yang sudah dewasa akan dimintai pertanggungjawaban terhadap perkataan dan perbuatannya. Dengan demikian, ia akan selalu berhati-hati dalam segala tindakan dan ucapannya.
3.      Adil
Maksunya sifat yang dimiliki orang yang meriwayatkan hadis itu selalu mendorong untuk berbuat takwa secara terus menerus dan selalu terpelihara kehormatan pribadinya.
4.      Dhabith
Dhabith ialah kuat hafalan dan daya tangkapnya ketika belajar hadis dan dapat memelihara dalam bentuk tulisan bila diperlukan. Rawi dinyatakan memiliki sifat ini bila ia dapat belajar menerima hadis dengan baik dan dapat menyampaikan sebagaimana ia menerimanya. Ahli hadis membagi dhabith ini pada dua bagian, yaitu dlabth kitab (terpelihara tulisannya) dan dlabth shadr (terpelihara hafalan).
Namun mayoritas tokoh-tokoh hadis dan fiqih sepakat bahwa untuk menjadi seorang yang periwayatannya dapat dijadikan hujjah minimal memerlukan dua syarat pokok, antara lain:
1.      Al-‘adalah, maksudnya seorang rawi harus muslim, baligh, berakal, terbebas dari sebab-sebab fasik, bebas dari cela nilai-nilai kemanusiaan (muru’ah). Menetapkan ‘adalah dengan penunjukkan atau penentuan para mu’adil (orang yang melakukan evakuasi positif) dimana Ulama tersebut menentukan dalam kitab-kitab jarh wa ta’dil. Adapula dengan popularitas dan keharuman nama yang dikenal lual bersikap jujur, istiqomah, dan ingatan yang kuat.
2.      Ad-Dlobt, maksudnya mereka seorang rawi hendaknya mempunyai hafalan yang kuat, tidak berkesalahan fatal, tidak  melawan arus para perawi tsiqot, dan tidak lalai. Dlobtnya seorang rawi diketahui karena periwayatannya sesuai dengan periwayatan para perawi yang tsiqoh. Jika ia sepakat dengan mereka dalam hal periwayatan berarti ia dlobt. Jika berbeda banyak dengan periwayatan mereka, berarti tidak dlobt dan periwayatannya tidak diterima juga tidak dijadikan hujjah.[16]
F.     Pertentangan Antara Al-Jarh Dan Al-Ta’dil
Terkadang pernyataan Ulama tentang tarjih dan ta’dil terhadap orang yang sama bisa saling bertentangan. Bila keadaannya seperti itu perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang keadaanya yang sebenarnya. Dalam masalah ini para Ulama terbagi dalam beberapa pendapat, sebagai berikut:
1.      Al-jarh harus didahulukan secara mutlak walaupun jumlah mu’adil-nya lebih banyak daripada jarh-nya. Sebab jarih tentu mempunyai kelebihan ilmu yang tidak diketahui oleh mu’adil, dan kalau jarih dapat membenarkan mu’adil tentang apa yang diberitakan menurut lahirnya saja, sedangkan jarih memberitakan urusan batiniah yang tidak diketahui oleh si mua’dil. Pendapat ini dipegang oleh mayoritas para Ulama.
2.      Ta’dil didahulukan daripada jarh, bila yang men-ta’dil-kan lebih banyak karena bisa mengukuhkan keadaan keadaan rawi-rawi yang bersangkutan. Menurut ‘Ajjaj Al-Khatib pendapat ini tidak bisa diterima sebab men-ta’dil-kan meskipun lebih banyak jumlahnya, tidak memberitahukan apa yang menyanggah pernyataan yang men-tarjih.
3.      Bila jarh dan ta’dil bertentangan, salah satunya tidak bisa didahulukan kecuali dengan adanya perkara yang mengukuhkan salah satunya, yakni keadaan dihentikan sementara.
4.      Tetap dalam ta’arudh bila tidak ditemukan yang men-tarjih­-kan.[17]

Dalam menghadapi kasus seperti itu maka Ulama ahli kritik hadis telah mengemukakan beberapa teori sebagai alternatif pemecahannya, diantaranya:
1.      At-ta’dilmuqaddam ‘ala jarh, pujian terhadap perwayat hadis didahulukan ketimbang celaan. Teori ini berlaku jika sifat dasar periwayat hadis adalah terpuji, sedangkan sifat tercela merupakan sifat yang datang kemudian.
2.      Al-Jarh muqaddamun’ala at-ta’dil, celaan terhadap periwayat hadis didahulukan daripada pujian. Teori ini berlaku jika ahli kritik yang menyatakan celaan lebih paham terhadap periwayat yang dicelanya ketimbang Ulama yang memujinya, serta yang dijadikan dasar oleh Ulama yang  memujinya hanya prasangka baik semata.
3.      Yaqaddamu al-jarh ‘ala at-ta’dil, celaan didahulukan daripada pujian dengan syarat Ulama yang mencatat telah dikenal benar-benar mengetahui pribadi periwayat yang dikritik dan celaan yang dikemukakan didasarkan pada argumen yang kuat, yakni dijelaskan sebab-sebab yang menjadikan periwayat yang bersangkutan tercela kualitasnya.

G.    Faktor-Faktor Yang Melatarbelakangi Munculnya Ilmu Al-Jarh Wa Al-Ta’dil
1.      Faktor lahirnya al-jarh wa al-ta’dil
Ada beberapa faktor yang menjadi penyebab lahirnya konsep al-jarh wa al-ta’dil dalam tradisi ulama hadis. Sebagai suatu disiplin ilmu yang memiliki piranti dan kaidah-kaidah khusus, tujuan yang paling agung adalah untuk memelihara sumber islam yaitu al-Qur’an dan sunah Nabi Muhammad SAW. Faktor utama penyebab lahirnya disiplin ilmu ini adalah munculnya gerakan pemalsuan hadis (al-wadh’u).[18]
Pada zaman Nabi belum terdapat atau tidak ada pemalsuan hadis, sebab Nabi bersikap tegas sekali dalam menegakkan keadilan dan kebenaran serta memberantas segala macam kebohongan dan kepalsuan.Pada masa pemerintahan Abu Bakar (632 M – 634 M) dan Umar (634 M – 644 M) sangat teliti dalam penerimaan dan penyampaian ajaran-ajaran Nabi. Kedua Khalifah hanya menerima dari peorangan apabila dapat dikokohkan dengan persaksian orang lain. Khalifah menyerukan dan memerintahkan seluruh umat Islam agar berhati-hati dan waspada dalam menerima dan menyampaikan hadis-hadis Nabi.Pada masa kedua Khalifah tersebut juga belum ada atau tidak ada pemalsuan hadis.
Namun pada masa pemerintahan Utsman (644 M – 656 M), dari pengikut Abdullah bin Saba’ (seorang munafik) telah mulai berani membuat fitnah dan provokasi di kalangan umat Islam dengan tujuan memecah belah dan menimbulkan kebencian umat Islam kepada Khalifah yang sah, sehingga menyebabkan terbunuhnya Khalifah Utsman (656 M) mereka telah mulai berani membuat kebohongan dalam ajaran-ajaran Nabi.
Pada masa pemerintahan Ali (656 M – 661 M), terjadi perang saudara antara Ali cs dan Muawiyah cs kemudian setelah perang Shiffin umat Islam terpecah menjadi tiga golongan:
a.    Golongan Syi’ah yang sangat fanatik kepada Ali dan keturunannya.
b.    Golongan Khawarij yang memberontak kepada Ali dan Mu’awiyah, karena keduanya dianggap salah.
c.    Golongan Jumhur yaitu rakyat terbanyak yang tidak tidak termasuk golongan satu dan dua.
Dari masing-masing golongan terdapat oknum-oknum yang lemah ingatannya dan membuat hadis palsu untuk tujuan politik dan kepentingan golongan masing-masing.Pada saat itu membuat hadis palsu secara terang-terangan.Karena itu sebelum 41 H sudah ada pemalsuan hadis.Setelah itu pada tahun sesudah 41 H pemalsuan hadis semakin merajalela.
     Cara-cara untuk memberantas pemalsuan hadis itu banyak ragamnya, tetapi dapat digolongkan dalam dua cara, yaitu:
a.    Cara alamiah (teoritis) ialah Ulama Hadis membuat kaidah atau aturan dan menetapkan ciri-ciri atau tanda-tanda yang kongkrit yang menunjukkan adanya pemalsuan hadis.
b.    Cara amaliah (praktis) ialah para Ulama hadis dengan terus terang menunjukkan nama-nama dari oknum-oknum atau golongan-golongan yang memalsukan hadis dan  hadis yang dibuatnya supaya umat Islam tidak terpengaruh dan tersesat.
Sejarah telah menunjukkan bahwa sepanjang masa selalu ada musuh umat Islam yang membuat hadis palsu tetapi di samping itu muncul Ulama yang berusaha menjaga kemurnian ajaran-ajaran Nabi.[19]Usaha yang dilakukan para Ulama akhirnya membuahkan hasil yang sangat urgen, yaitu:
a.    Kodifikasi sunnah
b.    Ilmu Mushthalah al-hadits
c.    Ilmu al-Jarh wa al-Ta’dil
d.   Beberapa disiplin Ilmu Hadis
e.    Penulisan buku-buku tentang hadis-hadis palsu dan para pemalsunya
f.     Penulisan buku-buku tentang hadis-hadis yang masyur. [20]

2.        Perkembangan Ilmu al-jarh wa al-ta’dil
Kritik hadis sebagai upaya untuk membedakan yang benar dan salah, yang maqbul  dan mardud, benih-benihnya telah dimulai sejak masa Nabi Muhammad. Tetapi waktu itu hanya terbatas pada kritik matan (al-naqd ad-dakhili) dengan cara mengonfirmasikan apa yang telah diterima sahabat dari sahabat yang lain kepada Nabi Muhammad untuk membuktikan yang diterimanya itu benar dari beliau. Selain itu membandingkan dengan hadis yang lain atau ayat al-Qur’an.
Kemudian para sahabat, kegiatan kritik hadis sudah mulai pada kritik sanad hadis (an-naqd al-khariji).[21]Dilihat dari penjelasan yang terkait dengan urgensi sanad dalam Islam, ilmu al-jarh wa al-ta’dil sudah ada sejak kemunculan agama Islam yaitu sejak adanya periwayatan hadis.[22]Hal ini merupakan usaha untuk memilih dan menentukan hadis sahih atau dhaif. Eksistensi al jarh wa ta’dildalam kritik sanad berfungsi sebagai tolak ukur dan timbangan bagi seorang perawi hadis yang diriwayatkannya diterima ataupun ditolak. Penerimaan atau penolakan didasarkan pada kualitas pribadi dan intelektual perawi.[23]
Diantara para sahabat yang merintis sanad hadis adalah Abu Bakar, Umar bin Khattab, Ali bin Abi Thalib, Aisyah, Abdullah bin Umar juga Ibnu Abbas dan Ubadah bin Shamit. Sikap kritis para sahabat dalam meriwayatkan hadis lalu dilanjutkan oleh kalangan Tabi’in.[24] Diantaranya Said bin Al-Musayyab, Ibnu Sirin, dan Asy-Sya’bi. Pada masa ini masih sedikit sekali perawi hadis yang dipandang cacat/lemah karena para perawi-perawinya sebagian besar adalah para sahabat-sahabat Nabi, sedangkan semua sahabat dipandang adil. Adapun para perawi lain yang bukan Sahabat adalah orang-orang yang terpercaya.
Pada permulaan abad ke II H barulah terdapat banyak perawi yang lemah.Kelemahan mereka umumnya disebabkan karena tidak dlabith (tidak kuat dan tidak teliti hafalannya), misalnya meng-irsalkan (mursal) hadis, dan merafa’kan (marfu’) hadis yang sebenarnya mauquf.Diantaranya ialah Abu Harun Al-‘Abdari.
Pada akhir masa tabi’in kurang lebih 150 H mulai banyak Ulama yang membicarakan hal-ikhwal dan kualitas para perawi hadis.Pertama kali yang menghimpun pembicaraan mengenai jarh dan ta’dil adalah Yahya bin Said al-Qattan dan Abdurrahman bin Mahdi. Penilaiannya tentang kualitas para perawi Hadis dapat diterima oleh umat Islam karena kedua Ulama ini diakui sebagai orang yang ahli dalam bidang dan obyektif.
Pada akhir abad III H Ulama mulai menyusun kitab-kitab tentang Jarh dan Ta’dil dan juga di dalamnya diterangkan nama-nama perawi hadis dan keadaanya yang dapat diterima ataupun ditolak periwayatannya. Tokoh yang terkenal antara lain Yahya Bin Ma’in, Ali bin Al-Madini dan Al-Bukhari. Terus meneruslah pada tiap-tiap masa terdapat para Ulama yang memperhatikan keadaan perawi hingga sampailah kepada Ibnu Hajar Al’ Asqalany.  Terdapat Ulama al-jarh wa al-ta’dilyang selalu mengadakan penelitian terhadap keadaan para perawi Hadis dengan penuh rasa tanggungjawab dan hasilnya itu bayak dibukukan dalam kitab-kitab.[25]Kitab  yang disusun mengenai jarh wa ta’dilada beberapa macam. Ada yang menerangkan orang-orang yang dipercayai saja, menerangkan orang-orang yang lemah dan ada kitab yang melengkapi semuanya.[26]
Menyimak perkembangan ilmu al-jarh wa al-ta’dil, dapatdipahami bahwa meskipun secara resmi ilmu tersebut berkembang mulai era tabi’in, namun benih-benihnya muncul sejak era sahabat, kemudian mengalami perkembangan yang begitu pesat.Perkembangan ilmu al-jarh wa al-ta’dil tidak terlepas dari perhatian umat terhadap hadis. Demi menjaga validitasnya penyeleksian terhadap para pembawa berita tersebut mutlak dilakukan dengan ketat berdasarkan metode dan ilmu al-jarh wa al-ta’dil.[27]
Ilmu al-jarh wa al-ta’dil bukan termasuk dalam ghibah yang dilarang, bahkan para Ulama mengategorikannya sebagai nasehat dalam agama. Dasar jarh wa ta’dil sudah digariskan oleh Allah swt dalam al-qur’an dan sunah Nabi saw, diantaranya surat Al-Hujurat ayat 6:

ياَ أَ يُّهَا ا لَّذِ يْنَ آ مَنُوْاإِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍفَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيْبُواقَوْمًابِجَهَا لَةٍ فَتُصْبِحُواعَلَى مَا فَعَلْتُمْ
 نَادِمِيْنَ

Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang Fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatan itu.”

Dalam ayat tersebut Allah swt memerintahkan agar kita tidak mengambil riwayat-riwayat yang datang dari orang fasiq dan tsiqat (terpercaya).Beberapa hadis yang menjelaskan bolehnya sesorang melakukan jarh wa ta’dil kepada orang lain, diantaranya:
a.       Sabda Rosulullah saw kepada seorang laki-laki “(Dan) itu seburuk-buruk saudara di  tengah-tengah keluarganya” (HR. Bukhari).
b.      Sabda rosulullah saw kepada Fathimahbinti Qais yang menanyakan tentang Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan Abu Jahm yang tengah melamarnya “Adapun Abu Jahm, dia tidak pernah meletakkan tongkat dari pundaknya (suka memukul), sedangkan Mu’awiyah seorang yang miskin tidak mempunyai harta”. (HR. Muslim).
c.       Rosulullah bersabda “Sebaik-baik hamba Allah swt adalah Khalid bin Walid, salah satu pedang-pedang Allah”. (HR. Ahmad dan Tirmidzi dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu).
Oleh karena itu para Ulama membolehkan aktifitas jarh wa ta’dil untuk menjaga syari’at agama bukan untuk mencela. Perawi juga diperbolehkan, bahkan memperteguh dan mencari kebenaran dalam masalah agama lebih utama daripada masalah hak dan harta.Al-jarh dan al-ta’dildalam ilmu hadis terus berkembang hingga saat ini karena takut yang diperingatkan Rosulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam “Akan ada pada umatku yang terakhir nanti, orang-orang yang menceritakan hadis kepada kalian apa yang belum pernah kalian dan juga bapak-bapak kalian mendengar sebelumnya. Maka waspadalah terhadap mereka dan waspadailah mereka” (Muqaddimah Shahih Muslim).[28]

H.    Tingkatan-Tingkatan Al-Jarh wa Al-Ta’dil
Para perawi meriwayatkan hadis tidak semuanya berada dalam satu tingkatan kualitas karena jika di pandang dari segi keadilan, kedhabitan, dan hafalan mereka sangat beragam.Diantaranya ada yang hafalannya sempurna, ada yang kurang dalam hafalan dan ketepatan, dan ada pula yang sering lupa atau salah.Maka Allah Swt menyikapinya melalui tangan para Ulama.Oleh karena itu para Ulama telah menetapkan tingkatan jarh dan ta’dil dan lafad-lafad yang digunakan untuk menunjukkan pada setiap tingkatan tersebut.Karena kualitas hafalan dan tingkat keterpercayaan tiap perawi berbeda, maka para Ulama memberikan batasan-batasan rinci yang terkait dengan pengklasifikasian kualitas perawi tersebut. Batasan tersebut kemudian dinamakan maratib al-jarh wa al-ta’dil (tingkatan jarh dan ta’dil).[29]
Lafad-lafad yang digunakan dalam ilmu al-jarh wa al ta’dil menurut Ibnu Abi Hatim, Ibnu’s-Shalah dan Imam An-Nawawy lafad-lafad itu disusun menjadi empat tingakatan, menurut Al-Hafidh Ad-dzahaby dan Al-‘Iraqy menjadi lima tingkatan dan Ibnu Hajar menyusunnya menjadi enam tingkatan, yakni:
1.      Tingkatan ta’dil dan lafal-lafalnya
a.       Pertama, segala sesuatu yang mengandung kelebihan rawi dalam keadilan dengan menggunakan lafad-lafad yang berbentuk af’alut-tafdil atau ungkapan lain yang mengandung pengertian sejenis. Misalnya:
أَوْثَقُ النَّاسِ                            : orang yang paling tsiqoh
أَثْبَتُ النَّاسِ حِفْظًاوَعَدَالَةً            : orang yang paling mantap hafalan dankeadilannya
إِلَيْهِ المُنْتَهَى فِى الثَّبْتِ                            :  orang yang paling top keteguhan hati dan lidahnya
ثِقَةٌفَوْقَ الثِّقَةٍ                           : orang yang tsiqah melebihi orang yang tsiqah
b.      Kedua, memperkuat ketsiqahan rawi dengan membubuhi satu sifat dari sifat-sifat yang menunjukkan keadilan dan kedlabitannya, baik sifatnya selafad (mengulang) maupun semakna. Misalnya:
ثَبْتٌ ثَبْتٌ                               : orang yang teguh (lagi) teguh          
ثِقَةٌ ثِقَةٌ                                 : orang yang tsiqah (lagi) tsiqah
حُجَّةٌ حُجَّةٌ                            : orang yang ahli (lagi) petah lidahnya
ثَبْتٌ ثِقَةٌ                                : orang yang teguh (lagi) tsiqah
حَافِظٌاحُجَّةٌ                            : orang yang hafidh lagi petah lidahnya
ضَابِطٌ مُتْقِنٌ                                       : orang yang kuat ingatan lagi meyakinkan ilmunya
c.       Ketiga, menunjuk keadilan dengan suatu lafad yang mengandung arti kuat ingatan. Misalnya:
ثَبْتٌ                                                : orang yang teguh (hati dan lidahnya)
مُتْقِنٌ                                    : orang yang meyakinkan (ilmunya)
ثِقَةٌ                                      : orang yang tsiqah
حَافِظٌ                                   : orang yang kuat hafalannya
حُجَّةٌ                                   : orang yang petah lidahnya
d.      Keempat, menunjukkan keadilan dan kedlabitan, tetapi dengan lafad yang tidak mengandung arti kuat ingatan dan adil (tsiqah). Misalnya:
صَدُوقٌ                                : orang yang sangat jujur
مَأمْوُنٌ                                 : orang yang dapat memegang amanat
لاَبَأْسَ بِهِ                              : orang yang tidak cacat
e.       Kelima, menunjukkan kejujuran rawi tetapi tidak adanya kedlabitan. Misalnya:
مَحَلُّهُ الصِّدْقٌ                          : orang yang berstatus jujur
جَيِّدُالْحَدِيْثِ                            : orang yang baik hadisnya
حَسَنُ الْحَدِيْثِ                         : orang yang bagus hadisnya
مُقَارِبُ الْحَدِيْثِ                                   : orang yang hadisnya berdekatan dengan hadis orang lain yang tsiqah
f.       Keenam, menunjuk arti mendekati cacat, seperti sifat-sifat tersebut diikuti dengan lafad “insyaallah” atau lafad tersebut di-istigfar-kan (pengecilan arti) atau lafad itu dikaitkan dengan suatu pengharapan.Misalnya:
صَدُوْقٌ إِنْ شَاءَاللّهُ                   : orang yang jujur, insyallah
فُلاَنٌ أَرْجُوْبِأَنْ لاَبَأْسَ بِهِ            : orang yang diharapkan tsiqah
فُلاَنٌصُوَيْلِحٌ                            : orang yang sedikit keshalehannya
فُلاَنٌ مَقْبُوْلٌ حَدِيْثُهُ                   : orang yang diterima hadisnya
Para ahli ilmu mempergunakan hadis-hadis yang diriwayatkan oleh rawi-rawi yang dita’dilkan menurut tingkatan pertama sampai keempat sebagai hujjah. Sedangkan hadis para perawi yang dita’dilkan menurut tingkatan kelima dan keenam hanya dapat ditulis,dan baru dapat dipergunakan apabila di kuatkan oleh hadis dari perawi lain.
2.      Tingakatan jarh dan lafad-lafadnya
a.       Pertama, menunjuk pada keterlaluan si rawi tentang cacatnya dengan menggunakan lafad-lafad yang berbentuk af’alut-tafdlil atau dengan ungkapan lain yang mengandung pengertian sejenis. Misalnya:
أَوْضَعُ النَّاسِ                           : orang yang paling dusta
اَكْذَبُ النَّاسِ                            : orang yang paling bohong
إِلَيْهِ المُنْتَهَى فِى الْوَضْعِ               : orang yang paling top kebohongannya
b.      Kedua, menunjuk kesangatan cacat dengan menggunakan lafad yang berbentuk shighatmuballagah. Misalnya:
كَذَّابٌ                                    : orang yang pembohong
وَضَّاعٌ                                  : orang yang pendusta
دَجَالٌ                                    : orang yang penipu
c.       Ketiga, menunjuk kepada tuduhan dusta atau bohong. Misalnya:
فُلاَنٌ مُتَّهَمٌ بِالكَذِبِ                     : orang yang dituduh bohong
اَوْمُتَّهِمٌ بِالوَضْعِ                        : orang yang dituduh dusta
فُلاَنٌ فِيْهِ النَّظْرُ                        : orang yang perlu diteliti
فُلاَنٌ سَاقِطٌ : orang yang gugur
فُلاَنٌ ذَاهِبُ الْحَدِيْثِ                   : orang yang hadisnya telah hilang
فُلاَنٌ مَتْرُوْكُ الْحَدِيْثِ                 : oranv yang ditinggalkan hadisnya
d.      Keempat, menunjuk kepada berkesangatan lemahnya. Misalnya:
مُطْرَحُ الْحَدِيْثِ                        : orang yang dilempar hadisnya
فُلاَن ضَعِيْفٌ                          : orang yang lemah
فُلاَنٌ مَرْدُوْدُالْحَدِيثِ                   : orang yang ditolak hadisnya
e.       Kelima, menunjuk kepada kelemahan dan kekacauan rawi mengenai hafalannya. Misalnya:
فُلاَنٌ لاَيُحْتَجُّ بِهِ                        : orang yang tidak dapat dibuat hujjah
فُلاَنٌ مَجْهُولٌ                           : orang yang tidak dikenal identitasnya
فُلاَنٌ مُنْكِرُالْحَدِيْثِ                     : orang yang munkar hadisnya
فُلاَنٌ مُضْطَرِبُ الْحَدِيْثِ              : orang yang kacau hadisnya
فُلاَنٌ وَاهٍ                                : orang yang banyak duga-duga
f.       Keenam, mensifati rawi dengan sifat-sifat yang menunjuk kelemahannya, tetapi berdekatan dengan ‘adil. Misalnya:
ضُعِّفَ حَدِيْثُهُ                          : orang yang didla’ifkan hadisnya
فُلاَنٌ مَقَالٌ فِيْهِ                          : orang yang diperbincangkan
فُلاَنٌ فِيْهِ خَلْفٌ                         : orang yang disingkiri
فُلاَنٌ لَيِّنٌ                                : orang yang lunak
فُلاَنٌ لَيْسَ بِالْحُخَّةٍ                     : orang yang tidak dapat digunakan hujjah hadisnya
فُلاَنٌ لَيْسَ بِالقَوِىِّ                      : orang yang tidak kuat

Orang-orang yang ditarjih dengan tingkatan pertama sampai dengan tingkatan keempat, hadisnya tidak dapat dijadikan hujjah sama sekali, tidak boleh diriwayatkan, bahkan tidak di anggap sama sekali.Adapun orang-orang yang ditarjih menurut tingkatan kelima dan keenam, hadisnya masih boleh diriwayatkan, boleh ditulis dan masih bisa dijadikan sebagaii’tibar (tempat membanding).
Dalam masalah yang berkaitan dengan jarh wa ta’dil para sahabat tidak menjadi sasaran dalam pembahasan ilmu ini. sebab sudah disepakati oleh kebanyakan para Muhadditsin bahwa para sahabat semuanya dipandang ‘adil, karena itu semua periwayatannya dapat diterima. Dengan demikian yang menjadi sasaran utama ilmu jarh wa ta’dil ini ialah perawi-perawi selain sahabat.[30]

I.       PENUTUP

Berdasarkan pembahasan di atas dapat diketahui bahwa ilmu al-jarh wa al-ta’dil merupakan ilmu pengetahuan yang membahas tentang keadaan periwayat hadis, baik mengenai catatannya maupun kebersihannya dengan menggunakan lafad-lafad tertentu sehingga diterima atau ditolak riwayatnya. Faktor utama penyebab lahirnya disiplin ilmu ini adalah munculnya gerakan pemalsuan hadis (al-wadh’u).
Sejarah perkembangan ilmu ini benih-benihnya telah dimulai sejak masa Nabi Muhammad.Tetapi waktu itu hanya terbatas pada kritik matan saja.Kemudian para sahabat, kegiatan kritik hadis sudah mulai pada kritik sanad. Dilihat dari penjelasan yang terkait dengan urgensi sanad dalam Islam, ilmu al-jarh wa al-ta’dil sudah ada sejak kemunculan agama Islam yaitu sejak adanya periwayatan hadis. Kritik sanad berfungsi sebagai tolak ukur dan timbangan bagi seorang perawi hadis yang diriwayatkannya diterima ataupun ditolak.Penerimaan atau penolakan didasarkan pada kualitas pribadi dan intelektual perawi.
Lafad jarh ialah sifat seorang rawi yang dapat mencacatkan keadilan dan hafalannya. Men-jarh atau men-tarjih seorang rawi berarti mensifati seorang rawi dengan sifat-sifat yang dapat menyebabkan kelemahan dan tertolak apa yang diriwayatkannya.Para Ulama telah menetapkan tingkatan jarh dan ta’dil dan lafad-lafad yang digunakan untuk menunjukkan pada setiap tingkatan tersebut. Tingkatan al-jarh wa al-ta’dil itu masing-masing ada enam.




























DAFTAR PUSTAKA

Suryadilaga, Alfatih. 2010. Ulumul Hadis. Yogyakarta: Teras
Sumbulah, Umi. 2008. Krtik Hadis: Pendekatan Historis Metodelogis. Malang: UIN Malang Press
Suparta, Munzier. 2003. Ilmu Hadis. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Solahudin, M.Agus, dan Suyadi Agus. 2008. Ulumul Hadis. Bandung: Pustaka Setia
Zuhdi, Masjfuk. 1993. Pengantar Ilmu Hadis. Surabaya: PT Bina Ilmu
Soetari, Endang. 2008. Ilmu hadis: kajian riwayah dan dirayah. Bandung: CV. Mimbar Pustaka
‘Itr, Nuruddin. 2012. Ulumul Hadis. Bandung: PT Remaja Rosda Karya
Rohman, Fatchur. 1987. Ikhtisar Mushthalahul Hadis. Bandung: PT Alma’arif
Al Thohhan, Mahmud. 1995. Dasar-Dasar Ilmu Takhrij dan Studi Sanad. Semarang: Dina Utama
Smeer, Zeid B. 2014.  Studi Hadis Kontemporer. Yogyakarta: Aura Pustaka
Ash-Shiddieqy, Hasbi. 1980. Sejarah Dan Pengantar Ilmu Hadis. Jakarta: Bulan Bintang

Makalah sudah baik. Similarity 17%.


[1]M. Alfatih Suryadilaga, Ulumul Hadis, (Yogyakarta: Teras, 2010), hlm.156
[2]Umi Sumbulah, Kritik Hadis: Pendekatan Historis Metodelogisnya, (Malang: UIN Malang Press, 2008), hlm. 77
[3]Munzier Suparta, Ilmu Hadis, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003), hlm.32
[4]M. Alfatih Suryadilaga,op.cit., hlm. 157
[5]Umi Sumbullah, op.cit.,hlm.80
[6]M. Alfatih Suryadilaga, op.cit.,  hlm. 156
[7]M. Agus Solahudin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadis, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), hlm. 112-113
[8] Munzier Suparta,op.cit., hlm. 32-33
[9]Masjfuk Zuhdi, Pengantar Ilmu hadis, (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1993), hlm. 109
[10]M. Agus Solahudin dan Agus Suyadi,op.cit., hlm. 159-160
[11]Endang Soetari, Ilmu Hadits:Kajian Riwayah Dan Dirayah, (Bandung: CV. Mimbar Pustaka, 2008), hlm. 197
[12]Nuruddin ‘Itr, Ulumul Hadis, (Bandung: PT Remaja Rosda Karya, 2012), hlm. 85
[13]Ibid, hlm. 87
[14]Fatchur Rahman, ikhtishar Mushtalahul Hadis, (Bandung: PT Alma’arif, 1987), hlm. 272
[15]M. Agus Solahudin dan Agus Suyadi, op.cit.,hlm. 161-162
[16]Mahmud  Al Thohhan, Dasar-Dasar Ilmu Takhrij Dan Studi Sanad, (Semarang: Dina Utama, 1995), hlm. 143
[17]M. Agus Solahudin dan Agus Suyadi, op.cit., hlm. 163
[18]Zeid B. Smeer, Studi Hadis Kontemporer, (Yogyakarta: Aura Pustaka, 2008), hlm. 201
[19]Masjfuk Zuhdi, op.cit., hlm. 116-121
[20]Zaid B. Smeer, op.cit., hlm. 202
[21]M. Alfatih Suryadilaga, dkk,op.cit.,hlm. 157
[22]Zaid B. Smeer, op.cit.,hlm. 198
[23]Umi Sumbulah, op.cit., hlm. 80
[24]M. Alfatih Suryadilaga, dkk, op.cit., hlm. 158
[25]Masjfuk Zuhdi, op.cit., hlm. 104-105
[26]Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu hadis, (Jakarta: Bulan Bintang,1980), hlm. 157
[27]Umi Sumbulah, op.cit., hlm. 83
[28]Zeid B. Smeer,op.cit., hlm. 198-201
[29]Ibid., hlm. 205
[30]Fatchur Rahman, op.cit., hlm. 273-278

Tidak ada komentar:

Posting Komentar