Selasa, 17 April 2018

MANTUQ, MAFHUM, MUJMAL DAN MUBAYYAN (PAI C Semester Genap 2017/2018)



MANTUQ, MAFHUM, MUJMAL DAN MUBAYYAN

Anis Kartika Nurjannah (15110104)
Moh.Rizal Prasetya M (15110160)
Siti Rohmah (15110187)
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang
e-mail : rahmahs110497@gmail.com


Abstract
This article describes the mantuq, mafhum, and mujmal, mubayyan in the study of ushul fiqih, all of these approaches are based on Al-Qur'an and Hadits as the target of all teachings of Islam there is no exception to application in ushul fiqih. In application the mantuq and mafhum describe the explicit sentences (mantuq) and implied sentences (mafhum) based on lafadz in the nash, while mujmal and mubbayan themselves explain about lafadz in the nash that are still unclear (mujmal) and explain the clear lafadz (mubayyan ). All of these has a  purpose to explain the meaning and explanation that exist in the nash.
Keywords : Mantuq, Mafhum, Mujmal, Mubayyan

Abstract
artikel ini menjelaskan tentang mantuq, mafhum,dan mujmal, mubayyan dalam kajian ushul fiqih, semua pendekatan ini berlandaskan pada Al-Qur’an dan Hadits sebagai dasaran dari semua ajaran agama Islam tak terkecuali pada penerapannya di ushul fiqih. Dalam penerapannya mantuq dan mafhum menjelaskan tentang kalimat yang tersurat (mantuq) dan kalimat tersirat (mafhum) sesuai dengan lafadz dalam nash, sedangkan mujmal dan mubbayan sendiri menjelaskan tentang lafadz dalam nash yang masih belum jelas (mujmal) dan menjelaskan lafadz yang sudah jelas (mubayyan). Semua kaidah tadi bertujuan untuk menjelaskan makna dan keterangan yang ada pada nash.
Kata Kunci : Mantuq, Mafhum, Mujmal, Mubayyan

A.    Pendahuluan
Al-Qur’an dan Hadits adalah pedoman seluruh umat muslim, disetiap tindakan atau perilaku yang dilakukan oleh seorang muslim harus sesuai dengan tuntunan yang telah ada di dalam Al-Qur’an dan Hadits. Namun dalam memahami  kandungan dalam Al-Qur’an dan Hadits, membutuhkan suatu ilmu yang dapat menjelaskan maksud-maksud  yang terkandung di Al-Qur’an dan Hadits dan salah satu ilmu yang membahasilmu-ilmu tersebut adalah ilmu  Ushul Fiqih.
Pembahasan yang dibahas dalam Ushul Fiqih lahyang dapat memantu kita untuk memahami dan menjelaskan suatu maksud yang ada dalam Al-Qur’an maupun Hadits. Namun biasanya didalamIlmuUshul Fiqih terdapat  pembahasan mantuq mafhum dan mujmal mubayyan. Pembahasan ilmu tersebut ini sangatlah penting, karena untuk mendapatkan suatu pemahaman yang jelas tanpa menimbulkan pertanyaan-pertanyaan yang lain di perlukan pengetahuan yang luas mengenai suatu makna perkataaan yang akan di teliti. Dengan kita mengetahui mantuq mafhum dan mujmal mubayyan ini diharapkan kita akan  dapat mengklasifikasikan yang mana perkataan yang masih memerlukan penjelasan lebih lanjut kata-kata atau lafadz yang ada dalam Al-Qur’an dan Hadits karena masih memiliki sifat umum dan kurang terperinci, dan juga dapat mengetahui mana saja kata-kkata atau lafaz yang sudah jelas sehingga maksudnya dapat di uraikan dengan jelas dan dapat dipahami secara menyeluruh.


Lafadz kata berdasarkan maknanya dibagi menjadi dua yaitu: MantuqdanMafhum.
A.      MANTUQ
Mantuq berasal dari kata “nataqa”yang artinya berucap, berkata, bercakap[1].
Dalam ushul fiqh[2] mantuq adalah
"ماَدَلَّ عَلَيْهِ اللَّفْظُ فِى مَحَلِّ النُّطْق"
Adalah lafad yang menunjukan kepada sesuatu dalam konteks ucapan, atau lafadz yang menunjukan kepada hukum sesuatu yang disebutkan dan yang diucapkan.Contohnya
"ﱼﱽﱾﱿ"
Secara teksnya menunjukan “larangan” membantah.
Pembagian Mantuq[3]
Mantuq terbagi menjadi dua yaitu An-Nash dan Dzahir
1.      An-Nash adalah sesuatu yang tidak membutuhkan takwil atau penafsiran, contohnya فصيام ثلاثة أيّام.
2.      Ad-Dzahir adalah sesuatu yang membutuhkan penafsiran, contohnya
"ﲭﲮﲯﲰﲱﲲ"
Lafadz “aidi” secara dzahir adalah jamak dari “yad” (tangan) yang merupakan anggota tubuh yang kita kenal. Oleh karena itu, ketika lafadz “aidi” disandarkan ke dzat Allah maka diartikan sebagai “kekuatan”.

B.       MAFHUM
Mafhum secara bahasa berasal dari kata “fahima”yang artinya mengerti[4]. Dalam ushul fiqh[5] mafhum adalah
"ماَدَلَّ عَلَيْهِ اللَّفْظُ لافِى مَحَلِّ النُّطْق"
Secara definisi adalah lafadz yang menunjukan arti dibalik suatu ungkapan (ucapan). Contohnya adalah
"ﱼﱽﱾﱿ"
Ayat ini menunjukan secara mafhumnya pengharaman atau haramnya memukul kedua orang tua.Tidak boleh mengucapkan “ah” dalam ayat tersebut dinamakan mantuq, yaitu sesuai dengan lafaz ayat atau teks ayat, adapun tentang tidak bolehnya memukul ibu bapak adalah hasil pemahaman dari para ulama tentang larangan mengucapkan “ah” di ayat tersebut, yang demikian dinamakan mafhum.

Pembagian Mafhum[6]
          Mafhum terbagi menjadi dua, yaitu: Mahfum Muafaqah dan Mafhum Mukhalafah.
1.      Mafhum Muwafaqah[7]
Mafhum Muwafaqah adalah lafadz yang menunjukan ketetapan hukum mantuq yang sesuai (arti yang tersirat) dengan hukum tersebut (mantuq). Baik untuk menafikan dan menetapkan. Keterikatannya dalam arti tersebut diketahui dari lafadz atau dari segi bahasa bukan dari ijtihad.Arti yang tersirat lebih utama dalam hukum daripada mantuq hal ini disebut(Fahwa Al-Khitab).
Adapun arti tersirat sama pentingnya dengan mantuq di dalam hukum disebut (Lahnu Al-Khitab).
Contoh Fahwa Al-Khitab adalah:
"ﱼﱽﱾﱿ"
Dari ayat ini diketahui bahwa larangan berkata “ah” kepada orang tua (mantuq) dan haramnya memukul orang tua (mafhum),keterikatan nya dalam dua hal tersebut adalah sama-sama saling menykiti. Akan tetapi, memukul pengharamannya lebih utama atau kuat daripada berkata “ah”.
Contoh dari Lahnu Al-Khitab adalah:
"ﱓﱔﱕﱖﱗﱘﱙﱚﱛﱜﱣﱤ"
Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya(An-Nisa 10).
Dari ayat ini diketahui bahwa haramnya memakan atau mengambil harta anak yatim (mantuq) dan haramnya menghina serta mengejek (mafhum). Maka, menghina serta mengejek anak yatim hukumnya adalah sama-sama haram karena dua-duanya mengandung unsur kejelekan.

2.      Mafhum Mukhalafah
Mafhum mukhalafah adalah lafadz yang menunjukan ketetapan suatu hukum yang bertolak belakang dari “mantuq” atau lawan kata dari sebuah mantuq pada suatu hukum. Contohnya
"ﱼﱽﱾﱿﲀﲁﲂﲃﲄﲅﲆ"

Penjelasannya adalah bahwa kita diharamkan atau dilarang berkata “ah” ataupun membantah terhadap orang tua, akan tetapi dibalik itu semua diwajibkan (mukhalafah) untuk berkata lembut atau sopan kepada orang tua.
"فىِ ساَعِمَةِ اْلغَنَمِ زَكاَةٌ. (رواه ابو داود)"
“Ternak yang dipelihara wajib dikeluarkan zakatnya” (HR.Abu Daud).
Mafhum mukhalafah hadits tersebut adalah menunjukkan bahwa ternak yang dipelihara tidak wajib zakat.

Berikut ini beberapa macam-macam mafhum mukhalafah, menurut golongan yang menerima mafhum mukhalafah sebagai hujah[8]:

1.      Mafhum Sifat
Yaitu hubungan hukum terhadap salah satu sifat dari beberapa sifat sesuatu. Contoh firman Allah yang berbunyi:

"ﱍﱎﱏ"
….maka hendaklah engkau memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman… (QS.An-Nisa ayat: 92).
Bagi golongan yang menerima mafhum mukhalafah berarti dilarang memerdekakan selain hamba mukmin, dengan jalan mafhum mukhalafa. Sedangkan bagi golongan yang menolak mafhum mukhalafah tidak bolehnya selain mukmin, bukan karena mafhum mukhalafah tetapi karena tidak termasuk yang diperintahkan oleh Allah.

2.      Mafhum Illat
Yakni hubungan dengan illat (sebab hukum). Contoh firman Allah yang berbunyi:
"ﰞﰟﰠﰡﰢﰣﰤﰥﰦﰧﰨﰩﰪﰫﰬﰭ"
“…sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. (QS.Al-Maidah ayat: 90)”.
Perintah menjauhi pada surat Al-Maidah ayat 90 tersebut, adalah salah satu larangan haram, illat haramnya khamer di atas adalah “sifat memabukkannya” menurut sebagian ulama, jadi mafhum mukhalafah-nya “tidak haram bila tidak sampai mabuk”. Yang mana itu merupakan sebuah contoh karena hukum khamer yang diharamkan adalah zatnya, bukan sifatnya sebagaimana haramnya minuman keras yang dibuat dari “selain perasan anggur”.

3.      Mafhum Adad
Adalah hubungan hukum dengan bilangan tertentu. Contoh firman Allah yang berbunyi:
"ﱚﱛﱜﱣﱤﱥﱦﱧﱨﱩﱪ"
“Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera (QS.An-Nur ayat: 4)”.
Mafhum mukhalafah dari surat An-Nur ayat 40 tersebut ialah tidak boleh mendera kurang atau lebih dari delapan puluh. Ada pula bagi golongan yang menolak mafhum mukhalafah, tidak boleh kurang atau lebih dari delapan puluh itu adalah karena tidak masuk dalam perintah yang telah diperintah oleh Allah, bukan karena mafhum mukhalafah.

4.      Mafhum Ghayah yakni batas yang dijangkau oleh hukum. Sebagai contoh dalam firman Allah yang berbunyi:
"ﰞﰟﰠﰡﰢﰣﰤﰦﰧﰨﰩﰪﰫﰬﰭﰮﰯﰰﰱﰲﰳﰴ"
Wahai orang-orang yang beriman pabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, (QS. Al-Maidah ayat 6).
Mafhum mukhalafah dari surat Al-Maidah ayat 6 tersebut ialah tidak sempurnanya wudhu bila mengusap tangan tidak sampai dengan siku. Bagi golongan yang menolak mafhum mukhalafah tidak sempurnanya wudhu tersebut adalah karena tidak sesuai dengan perintah, bukan karena mafhum mukhalafah.

5.      Mafhum Hasrah ialah pengkhususan hukum dengan menggunakan alat penghusus, (alat penghususan antara lain ialah satu kalimat nafi atau memindahkan, kemudian diiringi dengan istisna” atau penegcualian). Sebagai contoh dalam firman Allah yang berbunyi:
"ﱭﱮﱯﱰﱱﱲﱳﱴﱵﱶﱷﱸﱹﱺﱻﱼﱽﱾﱿﲀﲁﲂﲃﲄﲆﲇﲈﲉﲊﲋﲌﲍﲎﲏﲐﲑﲒﲓﲔﲕ"
Katakanlah: "Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya,kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi -- karena sesungguhnya semua itu kotor -- atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah. Barangsiapa yang dalam keadaan terpaksa, sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang". (QS.Al-An’am ayat 145).
Mafhum mukhalafah dari ayat tersebut adalah selain bangkai, darah yang mengalir, daging babi, adalah halal. Bagi golongan yang menolak mafhum mukhalafah halalnya selain bangkai, darah yang mengalir, daging babi, ialah karena hukum asal sesuatu itu adalah hahal kecuali terdapat dalil yang mengharamkannya, jadi bukan karena mafhum mukhalafah.

C.      Mujmal

Menrut bahasa mujmal memiliki arti samar-samar atau tidak jelas, yang dimaksudkan dalam kata tidak jelas disini adalah suatu lafadz yang masih memerlukan suatu penjelasan. Sedangkan menurut istilah Ushul Fiqh sendiri mujmal memiliki arti 
"ما يفتقر الى البيان"
adalah suatu lafadz yang memerlukan penjelasan atau bayan, jadi suatu lafadz yang mungkin mencakup semua keadaan dan hukum yang terkadung didalamnya tidak akan dapat dimengerti atau diketahui secara jelas jika tidak ada bayannya (penjelas)[9].

Contohnya adalah:
ﱱﱲﱳﱴ.............
Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat (QS. Al-Baqarah: 43).
Dari ayat di atas, kata mafhum terdapat pada kata As-shalat, mengapa demikian karena di ayat tersebut tidak dijelaskan mengenai bagaimana perilaku shalat, dan rukun-rukunnya. Oleh karena itu kata bersifat mujmal, dikarenakan ayat tersebut masih membutuhkan penjelasan. Mengenai penjelasan kata As-shalat, Rasulullah pernah bersabda yang artinya: “Salatlah kalian seperti kalian melihatku shalat”.

D.      Mubayyan

Menurut bahasa mubayyann memilik arti menjelaskan, yang artinya suatu lafadz yang mempunyai penjelasan. Sedangkan dalam Ilmu Ushul Fiqh sendiri memiliki arti  mengeluarkan sesuatu dari bentuk yang musykil (kabur)kepada bentuk yang terang”. Jadi, mubayyan adalah penjelasan atau yang menjelaskan, sedangkan mujmal adalah yang dijelaskan. Hukum mubayyan sendiri adalah tawaquf yang memiliki arti ditunda, ditangguhkan sampai adanya bayyan atau penjelas. Jadi hukum mubayyan sendiri adalah sebagai penjelas dari mujmalatau lafadz yang belum jelas.[10]

Macam-macam mubayyan dilihat dari segi jenisnya, antara lain:

1.      Penjelasan dengan kata-kata (mubayyan qauli’)
Contoh dalam firman Allah yang berbunyi:

“…فَصِيَامُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ فِي الْحَجِّ وَسَبْعَةٍ إِذَا رَجَعْتُمْ ۗ تِلْكَ عَشَرَةٌ كَامِلَةٌ ۗ …”

“maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kamu telah pulang kembali. Itulah sepuluh (hari) yang sempurna” (QS.Al-Baqarah ayat 196).

Perkataan “sepuluh hari yang sempurna” pada ayat tersebut merupakan penjelasan dari tiga hari dan tujuh hari yang disebutkan sebelumnya dalam ayat tersebut.[11]Disitulah letak mubayyan qauli nya yang mana setelah menjelaskan [12] tentang kewajiban untuk berpuasa 3 hari kemudian ditambah 7 hari, kemudian pada ayat tersebut diperjelas dengan kalimat “Itulah sepuluh (hari) yang sempurna”.


2.      Penjelasan dengan perbuatan (mubayyan bifii’li)
Contoh seperti penjelasan cara-cara shalat yang harus diikuti sebagaimana yang diterangkan dengan perbuatan Nabi sendiri, yang mana sesuai dengan sabda Nabi yang berbunyi:

صَلُوْا كَماَ رَ أَيْتُمُوْا نِى اُصَلِّى
.
Shalatlah engkau sebagaimana engkau melihat aku melakukan shalat”.

Dalam sabda Nabi tersebut sudah jelas bahwa Nabi menyuruh umatnya untuk melaksanakan shalat seperti apa yang ia lakukan, mubayyan fi’li disini Nabi langsung menjelaskan hadits tersebut dengan perbuatannya.
Penjelasan dengan tulisan atau surat (mubayyan al-kitab)

3.      Penjelasan dengan tulisan atau surat (mubayyan al-kitab)
Contohnya, seperti ukuran zakat dan ukuran diat anggota-anggota badan, banyak Nabi melakukan dengan surat-surat untuk dikirim kedaerah-daerah Islam pada waktu itu yang mana pada saat itu daerah kekuasan Islam sudah semakin luas dan itu memerlukan surat-surat untuk mengontrol perlaksanaan pemerintahan.

4.      Penjelasan dengan isyarat (mubayyan isyarat)
Contoh, seperti jumlah hari pada bulan ramadhan, dengan Nabi mengucapkan

اَلشَّهْرُ هكَذَا, وَهَكَاذَا, وَهَكَذَا.
satu bulan itu sekian dan sekian dan sekian”.

Sewaktu Nabi mengucapkan “sekian” pertama dan kedua adalah dengan
Nabi mengangkat semua jari tangan, dan ketika waktu  mengucap “sekian”yang ketiga kalinya, Nabi melipatkan satu ibu jarinya, itu merupakan isyaratyang menunjukkan bahwa Nabi mengatakan bulan ramadhan adalahsebanyak duapuluh sembilan hari. Yang demikian itulah merupakanpenjelasan isyarat.

5.      Penjelasaan dengan meninggalkan (mubayyan biltarkhi)
Contoh yang disebutkan dalam suatu hadits Nabi yang berarti “adalah akhir dua perkara dari Nabi SAW adalah tidak mengambil wudhu (lagi) setelah makan sesuatu yang dibakar” (HR.Ibnu Hibban)[13]

Dari riwayat hadits tersebut tampak bahwa pada mulannya setiap makan-makanan yang dibakar maka Nabi SAW. Wudhu,kemudian Nabi tinggalkan yakni Nabi tak wudhu lagi walaupun selesai makan-makanan yang sudah dibakar. Nabi meninggalkan wudhu dalam hal tersebut, oleh ulama dikatakan sebagai penjelasan atas bayyan.[14]


E.     Kesimpulan
Lafadz kata berdasarkan maknanya dibagi menjadi dua yaitu: Mantuq dan Mafhum.
Mantuq Adalah lafad yang menunjukan kepada sesuatu dalam konteks ucapan, atau lafadz yang menunjukan kepada hukum sesuatu yang disebutkan dan yang diucapkan.Mantuq terbagi menjadi dua yaitu An-Nash dan Dzahir.
Mafhum adalah Secara definisi adalah lafadz yang menunjukan arti dibalik suatu ungkapan (ucapan).Mafhum terbagi menjadi dua, yaitu: Mahfum Muafaqah dan Mafhum Mukhalafah.
Mujmal adalah suatu lafadz yang memerlukan penjelasan atau bayan, jadi suatu lafadz yang mungkin mencakup semua keadaan dan hukum yang terkadung didalamnya tidak akan dapat dimengerti atau diketahui secara jelas jika tidak ada bayannya (penjelas).
Mubayyan adalah penjelasan atau yang menjelaskan, sedangkan mujmal adalah yang dijelaskan. Hukum mubayyan sendiri adalah tawaquf yang memiliki arti ditunda, ditangguhkan sampai adanya bayyan atau penjelas. Jadi hukum mubayyan sendiri  adalah sebagai penjelas dari mujmal atau lafadz yang belum jelas.
Macam-macam mubayyan dilihat dari segi jenisnya, antara lain:Penjelasan dengan kata-kata (mubayyan qauli’), Penjelasan dengan perbuatan (mubayyan bifii’li), Penjelasan dengan tulisan atau surat (mubayyan al-kitab), Penjelasan dengan isyarat (mubayyan isyarat), Penjelasaan dengan meninggalkan (mubayyan biltarkhi).



DAFTAR PUSTAKA

Abdullah.2011.UshulFiqh,Muqarrar Littullab, cetakan 2
Bakry,Nazar.2003.Fiqh danUshulFiqh,Jakarta: PT Raja Grafindo
Djalil,Basiq.2010.Ilmu Ushul Fiqih Satu dan Dua, Jakarta: Kencana Prenada Media Grup
Ismaeel,Safed.2017.Ushul FiqhAplikatif, Malang: DarulUkhuwwah Publisher
Kamus Bahasa Arab Indonesia, Al-Azhar, S. Askar,
Shidiq,Safiudin.UshulFiqh,Intimedia
Syafe’i,Rachmat.2015.Ilmu UshulFiqh,Bandung:CVPustaka Setia
Syarifuddin.2012.Garis-GarisBesarUshulFiqh,Jakarta: Kencana
Syarifuddin, Amir. 2008. Ushul Fiqh. Jakarta:Kencana
Wahab,Abdul.2015.Ilmu UshulFiqh,Jakarta: PT AsdiMahasatya


Catatan:
1.      Similarity 5%.
2.      Pendahuluan diperbaiki.
3.      Pembahasan mantuq masih kurang.
4.      Footnote diperbaiki.
Secara umum, makalah ini masih minim pembahasan. Perlu diperbanyak dan diperkaya lagi pembahasannya.



[1] Kamus Bahasa Arab Indonesia, Al-Azhar, S. Askar, hal. 32.
[2]Ushul Fiqh, Muqarrar Littullab, cetakan 2, hal 187, Juli 2011.
[3]Ushul Fiqh, Muqarrar Littullab, cetakan 2, hal 187, Juli 2011.
[4]Kamus Bahasa Arab Indonesia, Al-Azhar, S. Askar, hal. 631.
[5]Ushul Fiqh, Muqarrar Littullab, cetakan 2, hal 187, Juli 2011.
[6]A. Basiq Djali, Ilmu Ushul Fiqh Satu dan Dua, Fajar Interpratana, Jakarta: Kencana, 2010, hal. 100.
[7]Ushul Fiqh, Muqarrar Littullab, cetakan 2, hal 188-189, Juli 2011.
[8] A. Basiq Djali, Ilmu Ushul Fiqh Satu dan Dua, Fajar Interpratana, Jakarta: Kencana, 2010, hal. 104.
[9]A. Basiq Djalil, Ilmu Ushul Fiqih Satu dan Dua, Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, hal 108-109.
[10]A. Basiq Djalil, Ilmu Ushul Fiqih Satu dan Dua, Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, hal 108-109.
[11]Ibid, hal 113.
[12]Ibid, hal 113.
[13]A. Basiq Djalil, Ilmu Ushul Fiqih Satu dan Dua, Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, hal 113-114.
[14]A. Basiq Djalil, Ilmu Ushul Fiqih Satu dan Dua, Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, hal 114.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar