Minggu, 22 April 2018

MANTUQ DAN MAFHUM, MUJMAL DAN MUBAYYAN (PAI A Semester Genap 2017/2018)



MANTUQ DAN MAFHUM, MUJMAL DAN MUBAYYAN

Siti khotimah (15110018)
Nuzulul furqon (15110019)
Mustika sari (15110074)

Mahasiswa PAI A angkatan 2015
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim
Malang
e-mail: brook26mf@gmail.com


Abstract
This article aims mantuq and mafhum, mujmal and mubayyan. Mantuq here means explicit meaning and mafhum that is the meaning implicitly, while mujmal means a vague or global word has not known the meaning then mubayyan is the explanation of mujmal. In terms of the four languages ​​of this subject are within the scope of the rules of ushuliyah where every case there must be hidden intentions in it that not many people know that.So it can be seen that in the making of Islamic laws not all directly refer to the core of the problem, this is to stimulate the mind to always think about the sciences of Allah and man as his creatures can only try to clear the mind and strengthen the faith.
Keywords: mantuq, mafhum, mujmal, mubayyan

Abstrak
Artikel ini mengangkat tema mantuq dan mafhum, mujmal dan mubayyan. Mantuq disini berarti makna secara tersurat dan mafhum yakni makna secara tersirat, sedangkan mujmal berarti kata yang samar atau global belum diketahui maksudnya kemudian mubayyan adalah  penjelas dari mujmal. Dari segi bahasa keempat pokok bahasan ini berada di lingkup wilayah kaidah-kaidah ushuliyah yang mana setiap perkara pasti ada maksud-maksud tersembunyi di dalamnya yang tidak banyak orang mengetahuinya. Jadi bisa diketahui bahwasannya dalam pengambilan hukum-hukum islam tidak semuanya langsung merujuk kearah inti masalah, hal ini untuk merangsang pikiran agar senantiasa berfikir tentang ilmu-ilmu Alloh dan manusia sebagai makhluknya hanya bisa berusaha untuk menjernihkan pikiran dan mempertebal keimanan.
Kata kunci : mantuq, mafhum, mujmal, mubayyan






A.  PENDAHULUAN

Ushul fiqih adalah ilmu yang mempelajari tentang proses penetapan hukum yang di dasarkan pada alqur’an dan hadits Nabi. juga mempelajari tentang dasar-dasar dan jalan yang harus ditempuh dalam usaha melakukan istimbath hukum dalil-dalil syara’. Secara umum juga mempelajari tentang peraturan dan pembahasan yang dengan itu digunakan sebagai landasan hukum yang bersangkutan dengan amal perbuatan. Dalam artian lain ushul fikih juga di artikan sebagai pembahasan yang menunjukkan artian secara garis besar (global) yang masih membutuhkan penjelasan dari keterangan lain agar dapat di pahami secara rinci.
Dalam hal ini penulis akan menerangkan mengenai mantuq, yakni suatu lafadz atau kata yang mengandung arti secara tersurat langsung merujuk kepada intinya. Kemudian mafhum, yakni kandungan yang berada di dalam mantuq yang mengartikan makna tersirat. Mujmal, yakni suatu lafadz atau kata yang mengindikasikan artian secara umum dan luas sehingga tidak jelas artinya atau samar-samar. Dan mubayyan, yakni kata atau lafadz penjelas dari mujmal yang mana dengan bayan ini bisa mengerucutkan arti yang sebenarnya di maksud di dalam mujmal.
Untuk lebih detailnya lagi maka ada pembagian-pembagian dari masing-masing bahasan yang mana dalam hal ini di dasarkan pada masalah-masalah yang terjadi di dunia seiring berjalannya waktu. Mantuq sendiri di bagi menjadi dua, yakni shorih dan ghoiru shorih, mafhum juga di bagi menjadi dua, yakni muafaqoh dan mukholafah, mujmal di bagin menjadi dua, yakni mufrod dan murokkab, dan kemudian mubayyan di bagi menjadi lima, yakni bayan dengan perkataan, perbuatan, tulisan, isyarat, dan perbuatan meninggalkan.

B.  MANTHUQ

1.    Pengertian
             Secara etimologi manthuq berasal bahasa Arab (نطق- ينطق) yang artinya berbicara, منطوق (isim maf’ul) berarti yang dibicarakan.
         Ahli Ushul Fiqh mendifinisikan bahwa Manthuq adalah “Pengambilan suatu Hukum dari penunjukan  lafad  berdasarkan apa yang tersurat atau yang telah disebutkan  dalam lafad “
Definisi ini mengandung arti bahwa apabila kita ingin mengetahui suatu hukum dan telah menemukan dalilnya cara penunjukan atau pengambilan hukum dalam dalil tersebut dengan apa adanya atau sama dan sesuai yang tertera dalam lafad (tersurat)  hal inilah yang dinamakan manthuq.
contoh Q.S An-nisa’ ayat : 23
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالَاتُكُمْ وَبَنَاتُ الْأَخِ وَبَنَاتُ الْأُخْتِ وَأُمَّهَاتُكُمُ اللَّاتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ مِنَ الرَّضَاعَةِ وَأُمَّهَاتُ نِسَائِكُمْ وَرَبَائِبُكُمُ اللَّاتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللَّاتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَإِنْ لَمْ تَكُونُوا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ وَحَلَائِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ أَصْلَابِكُمْ وَأَنْ تَجْمَعُوا بَيْنَ الْأُخْتَيْنِ إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا

“Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
           Dalam ayat tersebut salah satu hukum yang dapat di ketahui bahwa haram hukumnya  menikahi anak tiri dengan dua ketentuan, yaitu anak tiri itu dibawah asuhan suami dan ibu darn ibu anak tiri itu telah digauli . hukum ini yang sudah tersurat dalam surat An nisa’ ayat 23

2.    Pembagian Manthuq.
Manthuq dibagi menjadi dua bagian, yaitu :
a.       Manthuq Sharih.
          Merupakan manthuq yang pengambilannya terhadap suatu hukum tersebut muncul  dari istilah  secara keseluruhan  dan  sering digunakan. Dalam contoh diatas رَبَائِبُ dengan arti  anak tiri.  Manthuq sharih menurut kalangan ulama Hanafiyah disebut ibarat Nash.
b.      Manthuq Ghoiru Sharih.
         Merupakan Manthuq  yang pengambilan hukum dari lafad yang tidak muncul dari istilah yang resmi di gunakan tetapi dari maakna atau sifat yang harus ada paa lafad tersebut .   seperti penunjukan angka 4  dengan bilangan genap . Bilangan genap itu bukan istilah resmi uang angka 4, melainkan suatu sifat yang harus ada padanya.[1]
             Pembagian Manthuq dalam buku  Fiqih dan Ushul Fiqih Karya Nazar Bakry adalah sebagai berikut:
a.       Nash, adalah suatu hukum  yang pengambilan bukum nya dari lafad yang telah di sebutkan terang terangan  dan tidak memerlukan penta’wilan kembali. Seperti firman Allah SWT.

فَلْيَصُوْمُ ثَلاَ ثَةَ اَيَّامٍ
“ Maka hendaklah puasa tiga hari “
b.      Zhahir, adalah suatu arti lafad yang menunjukan maknanya bukalah arti pada umumnya. Seperti firman Allah SWT.
وَيَبْقَى وَجْهُ رَبِّكَ
“ dan kekal wajah Tuhan engkau”
         Wajah dalam ayat tersebut bukan bearti wajah pada umumnya melainkan di artikan sebagai zat Allah, karena mustahil bagi Allah SWT memiliki wajah.[2]

C.  MAFHUM.

1.    Pengertian
            Al- Mafhum menurut ulama ushul fiqh adalah Penunjukan lafad dari  berlakunya suatu hukum yang disebut yang mana lafad tidak di bicarakan  terhadap apa yang tidak disebutkan atau tidak berlakunya hukum itu.[3]
Maksudnya mafhum adalah suatu lafadz yang mana kandungan dari hukumnya dapat di pahami dari  balik arti manthuqnya. Dapat disebut juga mafhum adalah makna tersirat.[4]
2.    Pembagian Mafhum
a.    Mafhum Muwafaqah
          Merupakan mafhum yang apabilah hukum yang di mengerti dalam lafad tersebut beriringan  dengan hukum yang secara nyata di sebutkan.
Mafhum Muwafaqah di bagi menjadi dua yaitu:
1.      Mafhum awlawi atau Fahwa al-Khitab yaitu bila hukum yang berlaku pada lafad tersirat tersebut lebih kuat dari pada yang disebutkan. Misalnya dalam Q.S Al-Isro’ ayat 23
۞ وَقَضَىٰ رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا ۚ إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا
Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.
          Hukum yang disebutkan dalam ayat ini adalah larangan dalam ayat ini adalah mengucapkan kata kasar kepada orangtua; kemudian hukum yang tidak disebutkan adalah larangan memukul yang kedudukan adalah lebih kuat.
2.       Mafhum musawi atau lahnun khittab.adalah apabila hukum yang tersirat dalam lafad dengan hukum yang disebutkan lafad sama sama kuat.
Seperti Firman Allah SWT:
misalkan dalam surat An-nisa’ ayat: 10
إِنَّ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوَالَ الْيَتَامَىٰ ظُلْمًا إِنَّمَا يَأْكُلُونَ فِي بُطُونِهِمْ نَارًا ۖ وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيرًا  
“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).”
        Hukum yang disebutkan dalam ayat ini adalah haramnya memakan harta anak yatim, sedangkan hukum yang tidak diebutkan adalah membakar harta anak yatim yang kedudukan nya sama.[5]
b.    Mafhum  mukhalafah 
adalah  pengertian yang di pahami  berbeda dengan yang tersurat dalam lafad baik dalam  istinbat (menetapkan) maupun Nafi ( meniadakan). Oleh karena itu hukum yang di pahami selalu berkebalikan dengan lafad yang di sebutkan.
seperti firman Allah SWT: Q.S Jum’at ayat 9.
Dapat dipahami dari ayat diatas bahwasannya di perbolehkan melakukan jual beli pada hari jum’at tetapi sebelum adzan dan pada waktu setelah sholat ju’mat.
Mafhum Mukhalafah terbagi menjadi lima:
1.    Mafhum dengan sifat.
       Adalah pengambilan suatu hukum  dengan menghubungkan salah satu sifatnya . Contohnya, hadis Nabi SAW” Pada binatang yang digembalakan di rerumputan bebas, maka ada zakatnya”  jadi mafhum mukhalafahnya adalah binatang yang di kandung (diberi makan dengan mengeluarkan biaya) tidak diwajibkan zakat sesuai dengan yang diterangkan dalam  hadis Nabi SAW:
 Artinya: “Zakat kambing yang di gembalakan apabila ada 40 sampai 120  kambing maka zakat nya satu kambing ( H.R Bukhari dan Nasa’i).
2.    Mafhum dengan ghayah.
Merupakan  suatu  lafad yang menunjukkan hukum sampai batasan atau hinggaan, lafad ini bisanya di paparkan  dengan lafad  “ilaa” dan dengan “hatta
Seperti firman Allah
           Contohnya “makan dan minumlah hingga jelas bagimu benang putih dan benang hitam”. Mafhum Mmukhalafahnya adalah apabila sudah terang benang putih dari benang hitam (fajar) maka berhentilah makan dan minum yang artinya berpuasa,
Hal ini  sesuai dengan firman Allah SWT dalam Q.S Al- Baqoroh :187
Artinya:…Makan dan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar.
3.    Mafhum dengan syarat
        Contohnya “jika mereka ( istri - istri yang telah di talak ) itu sudah hamil, maka berikanlah pada mereka nafkahnya (Q.S At-Talak:6). Jadi Mafhum mukhalafahnya adalah apabila seorang istri yang sudah di jatuhi talak tersebut belum hamil maka tidak di haruskan memberi nafkah.
4.    Mafhum dengan bilangan.
Contohnya firman Allah SWT. “Maka derahlah mereka yang menuduh itu delapan pulu kali dera.” Mafhum mukhalafahnya adalah hukuman dera bagi orang menuduh itu tidak di perbolehkan dihukum dera lebih dari delapan pulu dera atau pun kurang dari delapan pulu kali dera. Sebagaiman firman Allah Q.S A-Nur:4)
Artinya: Orang - orang yang menuduh wanita -  wanita yang baik -  baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu ) delapan pulu kali dera, dan jangan lah kamu terimah kesaksian mereka buat selama - lama nya. Dan mereka itulah orang orang yang fasik.
5.    Mafhum dengan gelar (Laqob)
Merupakan mafhum yang lafad yang disebutkan tersebut kan menunjukkan kedudukan dari  isim fa’il tersebut.
contoh: Muhammad adalah utusan Allah Mafhum Mukhalafahnya adalah selain Muhammad [6]

D.  MUJMAL

1.    Pengertian
·         Menurut Bahasa Al-Mujmal = kabur, tidak jelas, atau samar.
·         Menurut Istilah ushul fiqh =
ما يفثقرإلى البيان
“Lafadz yang memerlukan bayan”
·         Paham hanafiyah berpendapat bahwa mujmal adalah kalimat atau lafal yang maknanya masih global yang dimana maksud dan rinciannya tidak dapat diketahui jika hanya melalui istilah itu sendiri kecuali ada penjelasan dari pembuat syariat yakni Alloh SWT dan Rasulullah SAW.
·         Menurut paham syafiiyah Abu Ishaq Al Syirazi mengatakan bahwa mujmal merupakan istilah yang sulit di mengerti dan belum jelas maknanya sehingga membutuhkan penjelasan dari luar (al bayan) atau ada penjelasan tersendiri dari pembuat  mujmal (syar’i).[7]
·         Menurut Syekh Abdul Wahhab Khallaf
Mujmal adalah suatu lafadz dimana shighotnya masih belum mampu untuk menunjukkan apa yang terkandung dalam lafadz tersebut, serta tidak ada qorinah lafadz atau keadaan yang dapat menjelaskannya.[8]
·         Menurut Syekh Wahbah Az-zuhaili
Mujmal adalah lafadz yang samar yang tidak dapat diketahui kecuali dengan penjelasan dari pembicara sendiri. Tidak dapat diketahui dengan akal karena hanya bisa diketahui dengan dalil naqly dari pembicara itu sendiri. Maksudnya lafadz itu tidak dapat diketahui kecuali adanya penjelasan dari yang memujmalkan/al mujmil.[9]
Jadi dapat disimpulkan bahwa mujmal adalah lafadz yang masih abstrak/belum jelas yang mana keabstrakan tersebut dapat di hapus oleh yang jelas yakni bayan.[10]

2.    Sebab – sebab mujmal .
Suatu lafadz dapat dikatakan mujmal apabila terdapat atau dalam keadaan  sebagai berikut :
a.       LafadzMusytarak yaitu 1 lafadz yang mempunyai 2 arti atau lebih.
Contoh : lafadz قروءdalam Q.S Al-Baqarah: 228 yang mempunyai arti suci & haid.[11]
b.      Apabila lafadz tersebut di tafsirkan secara berbeda dari makna aslinya dengan makna syariatnya.

Contoh: Sholat menurut bahasa adalah berdo’a kemudikan diartikan dengan syara’ menjadi suatu perbuatan yang dimulai dari takbir dan di akhiri dengan salam.[12]

c.       Kata yang dianggap asing / tidak diketahui maknanya.

Contoh: lafadz القالرعة dalam Q.S Al-Qori’ah dan الحاقة dalam Q.S Al-Haqqoh yang mana kata ini tidak dapat diketahui maknanya selain Allah sendiri yang menjelaskannya, sehingga Allah menjelaskan kata ini dalam ayat selanjutnya yang mana kata ini memiliki makna kiamat.

3.    Hukum al mujmal

Jumhur ulama mengatakan :
حكم المجمل التو قف فيه إلى أن يبين
 “hukum mujmal adalah tawaquf (ditunda, ditangguhkan) sampai ada atau terdapat bayan (penjelasan)”

                 Maksudnya adalah jika terdapat suatu dalil yang bersifat mujmal maka kita boleh tidak mengamalkannya jika saat itu masih belum ada penjelasan dari dalil tersebut. Tetapi jika telah ada atau ditemukan penjelasan dari dalil tersebut maka kita wajib mengamalkan dalil tersebut.
                 Tetapi dalam hal ini Daud Adzahiri tidak sependapat dengan jumhur ulama. Menurut beliau, boleh mengamalkan dalil yang mujmal meskipun tidak terdapat bayan. Beliau beralasan bahwasannya sebelum Nabi wafat islam tela disempurnakan maka tidak mungkin terdapat dalil yang mujmal setelah Nabi wafat. Dasarnya yakni firman Alloh dalam QS. Al Maidah ayat 4 yang artinya:

“hari ini telah Aku sempurnakan bagimu agamamu....”

4.      Macam-macam Al-Mujmal[13]

1.      Lafal mufrod, artinya suatu kalimat yang terbentuk dari susunan lafal. Jika di lihat dari segi jenis maka lafal mufrod di bagi menjadi tiga ;
a.    Isim (kata benda). Misalnya nama orang, nama tempat, nama-nama benda hidup dan mati.
b.    Fiil (kata kerja). Misalnya ... ضرب, فعل
c.   Huruf, suatu kalimat yang tidak berarti tanpa adanya sambungan kalimat lainnya. Misalnyaوberarti “dan” kedudukannya juga menjadi athaf atau penyambung antar kata.
2.      Lafal murakkab, artinya  lafadz yang tersusun dari dua kalimat atau lebih dengan susunan isnadnya.



E.  MUBAYYAN

1.    Pengertian

·         Menurut bahasa = yang menjelaskan[14].
·         Menurut istilah = mengeluarkan sesuatu dari bentuk yang musykil (kabur) kepada bentuk yang terang[15].

2.    Macam-macam bayan
1.        Bayan dengan perkataan[16]

Contoh : firman Allah
واتواالزكاة
“dan tunaikanlah zakat.....”

Dijelaskan dengan perkataan Rasulullah
فيما سقت السماء العشر
bagi yang disiram air hujan, zakatnya yaitu seper sepuluh”

2.        Bayan dengan perbuatan[17]

Contoh : penjelasan tentang tata cara sholat yang langsung di praktekkan oleh Nabi sebagaimana dalam hadits

 “sholatlah engkau sebagaimana engkau melihat aku melakukan sholat” (Al-Hadits)

3.        Bayan dengan tulisn atau surat

Contoh : Rasulullah pernah mengirim surat ke daerah-daerah islam pada saat itu yang mana isi surat tersebut yakni penjelasan mengenai ukuran zakat dan diyat anggota badan

4.        Bayan dengan isyarat

Contoh : penjelasan Nabi tentang jumlah hari pada bulan ramadhan

الشهر هكذا, وهكذا, وهكذا
 “satu bulan itu sekian dan sekian dan sekian”

Penjelasan : pada saat Nabi menyebutkan kata sekian yang pertama dan yang kedua Nabi mengangkat sepuluh jarinya sedangkan pada saat Nabi mengatakan sekian yang ketiga Nabi melipat satu ibu jarinya. Jadi hal tersebut menjelaskan bahwa jumlah hari dalam bulan romadlon sebanyak 29 hari.

5.        Bayan dengan meninggalkan

Contoh :
 “adalah akhir dua perkara dari Nabi SAW (adalah) tidak mengambil wudlu (lagi) setelah makan sesuatu yang di bakar” (Hadits Ibnu Hibban)

Dari hadits tersebut dapat kita ketahui bahwa pada awalnya setiap Nabi usai memakan sesuatu yang di bakar maka Nabi selalu berwudlu kemudian Nabi meninggalkan perbuatan tersebut. Maka dalam hal ini ulama sepakat bahwa itu merupakan bayan.

3.    Hukum menangguhkan bayan

Dilihat dari segi konteksnya misalnya jika ada orang yang bertanya mengenai hal yang mendesak dan orang itu sangat membutuhkan jawaban atas pertanyaan itu dalam waktu itu juga, maka hukum dari menjawab pertanyaan tersebut adalah tidak boleh melakukan penangguhan. Hal ini di dasarkan pada ketentuan ulama, “Menangguhkan penjelasan dari waktu yang diperlukan adalah tidak boleh”
Maksudnya adalah jika ada seseorang yang bertanya hal demikian kemudian tidak terjawab atau diam maka berarti juga membenarkan orang tersebut melakukan ijtihad sendiri dengan pemikirannya tidak sesuai kehendak agama.
Dalam konteks lain misalnya perintah sholat, Rosululloh hanya menyampaikan melalui Al-Qur’an surat al baqoroh ayat 11 tentang perintah mendirikan sholat tetapi tidak langsung menjelaskan bagaimana tata caranya, kemudian Rosululloh mencontohkan langsung melalui perbuatan pada saat waktu sholat tiba. Hal ini menunjukkan bahwa diperbolehkannya penundaan penjelasan dalam konteks tertentu.[18]

F.   PENUTUP
Dari beberapa penjelasan diatas dapat kita ambil kesimpulan bahwa kaidah-kaidah ushuliyah dari segi lughawinya terdapat beberapa pembahasan diantaranya yakni manthuq, mafhum, mujmal, dan mubayyan. Manthuq yakni pengambilan hukum dari lafadz secara tersurat, sedangkan mafhum yakni pengambilan hukum dari lafadz yang memiliki makna tersirat. Mujmal yakni suatu lafadz yang masih global dimana untuk memahaminya masih membutuhkan penjelasan, sedangkan mubayyan yakni lafadz yang menjelaskan mujmal.

G. DAFTAR PUSTAKA
Syarifuddin, Amir. 2012. Garis – garis besar Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana Prenada Media  Group.

Bakry, Nazar. 1993. Fiqh dan Ushul Fiqih. Jakarta: CV Rajawali Pers.

Shdiq,Sapiudin. 2011. Ushul Fiqih. Jakarta: Kencana

Farid Naya, “Al-Mujmal dan Al-Mubayyan dalam kajian ushul fiqih”. Vol. 9 No. 2, 2013, 189

Wahhab Khallaf, Abdul. 1996. Kaidah-kaidah hukum islam (ilmu ushulul fiqh). Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Az-Zuhaili, Wahbah. Ushulul Fiqhil Islami.

Muthahhari, Murtadha dan M. Baqir Ash-Shadr. 1993. Pengantar ushul fikih & ushul fikih perbandingan. Jakarta: Pustaka Hidayah.

Ruslani dan Moh. Anwar Zaenori, Fikih-Ushul Fikih (untuk Madrasah Aliyah Program Keagamaan).

Thurobah, Fahim. 2016. Hilmatut tasyri’ wa hikmatu syar’i. Malang: CV. Dream Litera Buana

Djalil, Basiq. 2010. Ilmu Ushul Fiqih 1 dan 2. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Hamid Hakim, Abdul. Mabadi’ul Awwaliyah.


Catatan:
1.      Similarity 6%.
2.      Abstrak diperbaiki
3.      Footnote diperbaiki, harus lebih teliti lagi
4.      Perujukan dalam makalah ini cukup minim.
5.      Pembahasan mengenai mantuq masih kurang
6.      Mengenai mafhum mukhalafah, harusnya dijelaskan apa mafhum mukhalafahnya.








[1]Amir Syarifuddin,Garis – garis besar Ushul Fiqh,(Jakarta: Kencana Prenada Media  Group,2012),hlm.121-122.
[2]Nazar Bakry,Fiqh dan Ushul Fiqih,(Jakarta: CV Rajawali Pers,1993),hlm.171
[3]Amir Syarifuddin,Garis – garis besar Ushul Fiqh,(Jakarta: Kencana Prenada Media  Group,2012),hlm.123
[4]Sapiudin Shdiq,Ushul Fiqih,(Jakarta: Kencana,2011),hlm. 192
[5]Amir Syarifuddin,Garis – garis besar Ushul Fiqh,(Jakarta: Kencana Prenada Media  Group,2012), hlm.123-125
[6]Sapiudin Shdiq,Ushul Fiqih,(Jakarta: Kencana,2011),hlm.193-195
[7]Farid Naya, “Al-Mujmal dan Al-Mubayyan dalam kajian ushul fiqih”. Vol. 9 No. 2, 2013, 189
[8]Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah-kaidah hukum islam (ilmu ushulul fiqh), (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996), hlm. 284
[9]Syekh Wahbah Az-Zuhaili,Ushulul Fiqhil Islami, hlm. 340
[10]Murtadha Muthahhari dan M. Baqir Ash-Shadr, Pengantar ushul fikih & ushul fikih perbandingan, (Jakarta: Pustaka Hidayah, 1993), hlm. 161
[11]Ruslani dan Moh. Anwar Zaenori, Fikih-Ushul Fikih (untuk Madrasah Aliyah Program Keagamaan), hlm. 54
[12]Fahim Thurobah,Hilmatut tasyri’ wa hikmatu syar’i (Malang: CV. Dream Litera Buana,2016) hlm.205.
[13]Basiq Djalil, Ilmu Ushul Fiqih 1 dan 2, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), hlm. 109-110
[14]Basiq Djalil, Ilmu Ushul Fiqih 1 dan 2, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), hlm. 108
[15]Abdul Hamid Hakim, Mabadi’ul Awwaliyah, hlm. 18
[16]Ruslani dan Moh. Anwar Zaenori, Fikih-Ushul Fikih (untuk Madrasah Aliyah Program Keagamaan), hlm.54-55
[17]Basiq Djalil, Ilmu Ushul Fiqih 1 dan 2, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), hlm. 113
[18]Basiq Djalil, Ilmu Ushul Fiqih 1 dan 2, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), hlm. 111

Tidak ada komentar:

Posting Komentar