Minggu, 22 April 2018

TA’ARUD, TARJIH, AMAR DAN NAHYU (PAI A Semester Genap 2017/2018)



TA’ARUD, TARJIH, AMAR DAN NAHYU
Mudrikatul Aminah, Vicky Afri Pratama dan Nurul Azizah
Mahasiswa PAI A angkatan 2015 Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang


Abstrac : This paper discusses some of the several ways in taking a decision and establishing Islamic law. Because often times the mujtahid when in determining Islamic law is debated. Therefore, this paper discusses Ta'arud and Tarjih. That is the science used when there are two texts that contain the opposite law. In addition, this paper also discusses Amar and Nahyu. That is the science that discusses the linguistic rules contained in the texts that implicate the decision of the law later.
Keywords: Ta’arud, Tarjih, Amar dan Nahyu

Abstrak : Tulisan ini membahas tentang sebagian dari beberapa cara dalam mengambil suatu keputusan dan menetapkan hukum islam.Karena sering kali para mujtahid ketika dalam menentukan hukum islam mengalami perdebatan. Maka dari itu, tulisan ini membahas tentang Ta'arud dan Tarjih. Yaitu ilmu yang digunakan apabila terjadi dua nash yang mengandung hukum yang berlawanan. Selain itu, tulisan ini juga membahas tentang Amar dan Nahyu. Yaitu ilmu yang membahas tentang kaidah kebahasaan yang terkandung dalam nash yang berimplikasi pada pengambilan hukum nantinya.
Kata kunci : Ta’arud, Tarjih, Amar dan Nahyu

A.      Pendahuluan
Untuk memahami hukum-hukum dari Alqur'an dan As-sunnah perlu memerhatikan susunan atau tatanan bahasa yang terkandung dalam nash tersebut, baik berupa mufrad atau kalimat tunggal maupun murakkab atau susunannya serta gaya bahasanya. Sehingga dari hal tersebut diperoleh pemahaman hukum yang dimaksud dari Alqur'an maupun As-sunnah yang dimaksud. Kemudian pemahaman makna hukum dari nash tersebut biasanya menimbulkan perbedaan penafsiran antar mujtahid untuk menyelesaikan masalah tersebut perlu dilakukan Ta'arud dan Tarjih.

B.       Ta’arud dan Tarjih
1.        Ta’arud
a.         Pengertian Ta’arud
Ta’arud berasal dari kata “al-i’tiradh” yang berarti mencegah atau menghalangi. Maka kata “at-ta’arud” berarti saling mencegah atau saling menghalangi.[1] Jadi, ta’arud secara etimologi adalah pertentangan antara dua hal. Sedangkan secara terminologi yaitu satu dalil dari dua dalil menghendaki hukum yang berbeda dengan hukum yang dikehendaki dari dalil lain.[2]
Sebenarnya tidak ada pertentangan dalam kalam Allah dan Rosul Allah. Maka dari itu adanya ta’arud dari satu atau beberapa dalil adalah yang terjadi di kalangan atau pemikiran para mujtahid bukan pada hakikatnya. Jadi dalam dalam proses ijtihad bisa saja ta’arud ini terjadi baik dalil-dalil yang qath’i maupun dalil yang zhanni.[3] Namun apabila ditemukan pertentangan antara dalil qath’i dengan dalil zhanni maka dalil qath’i lah yang lebih di dahulukan. Karena dalil qath’i menunjukkan kepastian dan keyakinan sedangkan dalil zhanni menunjukkan keragu-raguan. Sehingga bisa saja dalil qath’i menasakh dalil zhanni. Jika terjadi pertentangan antara dua dalil qath’i maka dipilih mana yang lebih kuat.
b.        Syarat-syarat Ta’arud
Sedangkan yang paling sering adalah pertentangan antara dalil zhanni dengan dalil zhanni. Adapun syarat-syarat ta’arud, yaitu:
1)      Adanya pertentangan antara dua dalil dalam penetapan hukum. Misalnya halal dengan haram, wajib dengan tidak wajib, menetapkan dengan meniadakan
2)      Meskipun hukum dua dalil tersebut berbeda tetapi tempatnya (objeknya) harus sama. Apabila objeknya sama tidak akan menimbulkan pertentangan. Contohnya yaitu mengenai akad nikah. Akad nikah menimbulkan kebolehan (halal) menggauli istri dan melarang (haram) menggauli ibu istri. Hal ini tidak akan menimbulkan pertentangan karena objeknya berbeda.
3)      Terdapat kesamaan waktu berlakunya hukum antar dua dalil yang bertentangan. Apabila masa atau waktunya berbeda tidak akan menimbulkan pertentangan. Mislanya mengenai hukum khamr yang dihalalkan pada masa permulaan islam, namun kemudian diharamkan.
4)      Terdapat kesamaan hubungan antara dua dalil yang saling bertentangan
5)      Dua dalil yang saling bertentangan memiliki kedudukan (tingkatan) yang sama atau sederajat. Contohnya yaitu
وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلَادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ ۖلِمَنْأَرَادَأَنْيُتِمَّالرَّضَاعَةَۚ 
Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan...“ (Qs. Al-Baqarah:233)
Makna dari ayat ini adalah bahwa masa penyusuan oleh ibu kepada anaknya adalah dua tahun penuh. Namun ayat lain dalam Qs.  Al-Ahqaf ayat 15
وَحَمْلُهُ وَفِصَالُهُ ثَلَاثُونَ شَهْرًا
“....Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan...” di dalam ayat ini Allah menjelaskan dua hal, yakni masa kehamilan dan masa penyusuhan. Yang mana masing-masing hal tersebut memiliki masa yang berbeda. Murid Abu Hanifah dengan mayoritas Ulama’ sepakat bahwa masa menyusui hanyalah dua tahun penuh. Adapun keterangan dalam Qs Al-Ahqaf ayat 15 menjelaskan mengenai masa kehamilan yakni minimal 6 bulan sedangkan masa maksimal menyusui adalah dua tahun. Karena hal ini bersifat dugaan atau perkiraan maka secara dzahir Qs Al-Ahqaf ayat 15 besifat zhanni.[4]
c.         Cara menyelesaikan Ta’arud
Ketika terjadi ta’arud dalam ijtihad maka perlu dicarikan sebuah solusi. Dalam memberikan solusi ta’arud ini terjadi perbedaan antara kalangan Hanafiyah dan kalangan Syafi’iyyah.
Tindakan yang dilakukan kalangan Hanafiyah ketika terjadi ta’arud secara umum yaitu:[5]
1.        Mencari tahu dalil yang turun terlebih dahulu. Jika itu berupa ayat maka mana yang turun terlebih dahulu, apabila itu berupa hadis maka mana yang terlebih dahulu diucapkan. Apabila sudah diketahui, maka dalil yang terlebih dahulu dianggap telah dinasakh (dibatalkan) oleh dalil yangg baru.
2.        Apabila tidak menemukan keterangan mengenai mana yang terlebih dahulu, maka cara lainnya yaitu dengan tarjih, yaitu melihat mana yang lebih kuat diantara dalil-dalil yang bertentangan itu. Dapat melakukan tarjih dengan menggunakan dari tiga sisi.[6] Pertama, menunjukkan kandungan lafal suatu nash. Kedua, dari hukum yang dikandungnya. Sebagai contoh, terdapat perkataan para ulama : “Jika terjadi perbedaan hukum antara yang mubah dan yang haram maka yang dimenangkan adalah yang haram”. Dan perkataan ulama yang lain “Jika terjadi pertentangan antara penghalang dan pendorong maka yang dimenangkan adalah  penghalang”.[7] Ketiga, dari keadilan periwayat suatu hadis.
3.        Apabila dengan tarjih tidak menyelesaikan masalah karena sama-sama kuatnya maka cara selanjutnya yaitu dengan mengkompromikan antara dua dalil itu. Dalam mengkrompromikan, apabila dua dalil yang saling bertentangan adalah dalil yang bersifat ‘am atau universal maka dapat dipahami bahwa salah satu dalil tersebut adalah bagian dari dalil lainnya. Karena dua dalil yang berbeda tidak dapat bersatu dalam tempat yang sama. Contohnya yaitu, adanya dalil yang menyatakan “Bunuhlah orang-orang kafir”, maka yang dimaksud adalah kafir harbi. Dan pernyataan lain yang bertentangan yaitu “ Jangan bunuh orang-orang kafir”, maka yang dimaksud disini adalah kafir dzimmi. contoh lain yang terdapat dalam nas yaitu mengenai persaksian.
 اَلاَاُخْبِرُكُمْ بِخَيْرِ الشُّهَدَاءِ, الَّذِيْ يَأْتِيْ بِالشَّهَادَةِ قَبْلَ اَنْ يَسْئَلَهَا
“apakah aku tidak memberitahu kamu sekalian tentang sebaik-baik saksi, yaitu seorang yang memberikan kesaksian sebelum diminta” (HR. Muslim)
 اِنَّ خَيْرَ اُمَّتِيْ قَرْنِيْ , ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ و ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ , ثُمَّ اِنَّ مَنْ بَعْدَهُمْ قَوْمًا يَشْهَدُوْنَوَلاَيَسْتَشْهَدُوْنَ
“bahwa sebaik-baik umatku adalah golonganku,kemudian orang-orang sesudah mereka, kemudian orang-orang sesudah mereka yaitu sekelompok manusia  yang memberikan kesaksian tanpa dimintai, tidak berkhianat dan dapat dipercaya”(HR. Bukhori Muslim).
Dalam hadis tersebut terjadi suatu pertentangan yaitu hadis pertama menunjukkan bahwa memberi kesaksian sebelum diminta itu hukumnya adalah boleh. Sedangkan dalam hadis kedua menjelaskan bahwa hal tersebut tidak diperbolehkan. Kedua haddis ini dapat dikompromikan dengan cara memahami bahwa sebuah persaksian dapat boleh meskipun tidak diminta apabila berhubungan dengan hak-hak Allah, sedangkan persaksian hanya bisa diterima apabila diminta selama hal tersebut menyangkut hak-hak manusia.[8] 
4.        Apabila tidak bisa juga di kompromikan, maka caranya adalah dengan tidak menggunakan kedua dalil tadi kemudian seorang mujtahid menggunakan dalil yang lebih rendah tingkatannya, misalnya jika yang bertentangan itu dua ayat Alquran dan tidak dapat dikompromikan maka seorang mujtahid menggunakan sumber hukum yang satu tingkat di bawahnya yaitu sunnah Rasulullah. Dan begitulah seterusnya. Contohnya adalah pertentangan antara Qs. Al-Muzammil 20 dengan Qs. Al-A’raf 204
فَاقْرَءُوا مَا تَيَسَّرَ مِنَ الْقُرْآنِ
“(karena itu) bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Alquran”
وَإِذَا قُرِئَ الْقُرْآنُ فَاسْتَمِعُوا لَهُ وَأَنْصِتُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
Dan apabila dibacakan Al Quran, maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat.
Ayat pertama bersifat ‘am nya menjelaskan bahwa membaca bagi makmum adalah wajib. Sedangkan, pada ayat kedua makmum tidak wajib membaca karrena makmum hanya wajib mendengarkan dan memperhatikan bacaan imam.
Mayoritas ahi tafsir berpendapat bahwa kedua ayat ini turun berkenaan dengan masalah sholat. Namun karena bertentangan maka dicari dalil lain yang kedudukannya lebih rendah dari kedua dlil tersebut yang dalam hal ini adalah hadis.
من كان له إمام فقراءة الإمام له قراءة
“Barang siapa sholat berjama’ah, maka bacaan imam juga bacaannya.”
Ulama’ Hanafiyah berpendapat bahwa sekalipun diantara rawi-rawinya ada yang dhaif (lemah). Namun karena hadis ini diriwayatkan oleh sanad yang banyak dan juga di dukung oleh hadis-hadis yang banyak sehingga hadis ini dapat dijadikan sebagai landasan hukum.[9]
Sedangkan di kalangan Syafi’iyyah, langkah-langkah yang dilakukan ketika terjadi ta’arud antara dua dalil yaitu:
1.        Mengkrompromikan antara dua dalil tersebut selama masih ada kesempatan untuk menkompromikan, karena lebih baik mengamalkan kedua dalil daripada hanya menggunakan satu dalil saja. Karena menurut pendapat ulama Syafi’iyyah tidak boleh lebih mendahulukan al-Qur’an daripada Hadis ataupun sebaliknya, tidak boleh mendahulukan Hadis daripad Al-Qur’an.[10] Karena Alqur’an dan hadis adalah sumber hukum yang tidak dapat dipisahkan.  Misalnya dalam surat Al-Baqarah ayat  234 :
وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا ۖفَإِذَابَلَغْنَأَجَلَهُنَّفَلَاجُنَاحَعَلَيْكُمْفِيمَافَعَلْنَفِيأَنْفُسِهِنَّبِالْمَعْرُوفِۗوَاللَّهُبِمَاتَعْمَلُونَخَبِيرٌ
Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila telah habis 'iddahnya, maka tiada dosa bagimu (parawali) membiarka nmereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat
Dan dalam surat at-Thalaq ayat 4 :
وَاللَّائِي يَئِسْنَ مِنَ الْمَحِيضِ مِنْ نِسَائِكُمْ إِنِ ارْتَبْتُمْ فَعِدَّتُهُنَّ ثَلَاثَةُ أَشْهُرٍ وَاللَّائِي لَمْ يَحِضْنَ ۚوَأُولَاتُالْأَحْمَالِأَجَلُهُنَّأَنْيَضَعْنَحَمْلَهُنَّۚوَمَنْيَتَّقِاللَّهَيَجْعَلْلَهُمِنْأَمْرِهِيُسْرًا
“Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), maka masa iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid. Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka ituialah sampai mereka melahirkan kandungannya. Dan barang -siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya”.
Pada surat Al-Baqarah dan at-Thalaq diatas sama sama membahas mengenai masa iddah. Pada surat Al-Baqarah ayat 234, perempuan yang ditinggal mati suaminya masa iddah nya adalah empat bulan sepuluh hari. sedangkan dalam surat at-Thalaq ayat 4 masa iddahnya perempuan perempuan yang sedang hamil baik ditinggal hidup maupun cerai hidup adalah sampai melahirkan. Dengan kedua ayat diatas timbullah pertanyaan mengenai berapa masa iddah perempuan hamil yang dtinggal mati suaminya. Maka dengan mengkompromikan kedua dalil tersebut hukum yang dapat diambil yaitu masa iddah perempuan hamil yang ditinggal mati suami adalah mengambil waktu yang paling lama diantara empat bulan sepuluh hari dengan masa perempuat tersebut akan melahirkan.
Maksudnya yaitu apabila perempuan tersebut melahirkan sebelum empat bulan 10 hari sejak suaminya meninggal maka masa iddahnya adalah empat bulan sepuluh hari. Namun ketika perempuan tersebut belum juga melahirkan dalam waktu empat bulan sepuluh hari maka masa iddahnya sampai melahirkan.
2.        Apabila tidak bisa dikompromikan, maka solusinya adalah dengan di tarjih
3.        Jika tidak dapat di tarjih antara keduanya maka jalan keluarnya adalah melihat mana dalil yang lebih dahulu turun diantara dalil terebut. Jika telah diketahui mana yang terlebih dahulu datang, maka dalil yang terdahulu dianggap telah di nasakh (dibatalkan) oleh dalil yang baru
4.        Jika tidak ditemukan keterangan mana yang terlebih dahulu turun maka selanjutnya adalah tidak memakai kedua dalil tersebut, dan kemudian menggunakan dalil yang lebih rendah bobotnya.[11]
2.        Tarjih
a.         Pengertian Tarjih
            Tarjih berasal dari kata “at-tarjih” (الترجيح) yang merupakan bentuk masdar dari kata “rajjaha” (رجح) yang artinya mengunggulkan atau lebih condong.[12] Rajih adalah dalil yang dikuatkan , sedangkan marjuh adalah dalil yang dilemahkan. Sehingga secara etimologi artinya membuat sesuatu cenderung atau mengalahkan. Sedangkan secara terminologi kalangan syafi’iyyah mengartikan tarjih adalah satu dari dua dalil yang zhanni dikuatkan untuk kemudian diamalkan.[13] Dalam kalangan jumhur ulama menjelaskan pengertian tarjih adalah salah satu dalil yang zhanni dikuatkan dengan yang lainnya untuk diterapkan berdasarkan dalil tersebut.[14]
            Berdasarkan pengertian tersebut dapat diketahui bahwa dalil yang ditarjih salah satunya berasal dari dua dalil yang keduanya zhanni. Sedangkan menurut kalangan Hanafiyah, dua dalil yang di tarjih salah satunya karena bertentangan bisa jadi keduanya qath’i, atau keduanya zhanni. Karena itulah kalangan Hanafiyah mengartikan tarjih sebagai usaha mencari kelebihan salah satu dari dua dalil yang sama. Hal tersebut berarti pengertian itu tidak terbatas hanya pada dua dalil yang zhanni saja.[15]
            Sebagai contoh, terdapat perkataan para ulama : “Jika terjadi perbedaan hukum antara yang mubah dan yang haram maka yang dimenangkan adalah yang haram”. Dan perkataan ulama yang lain “Jika terjadi pertentangan antara penghalang dan pendorong maka yang dimenangkan adalah  penghalang”.[16]
Contoh lain mengenai tarjih yaitu dalam hadis menjelaskan bahwa sesungguhnya nabi SAW pernah dalam keadaan junub pada waktu subuh. Dan dijelaskan dalam hadis lain, rasul bersabda: barang siapa pada waktu subuh dalam keadaan junub maka tidak sah puasanya.[17]


b.        Syarat – syarat Tarjih
1)        mentarjih dalam satu masalah. Misalnya, dalam masalah haji, hukumnya sama, yaitu wajib dengan wajib, atau sunah dengan sunah, dan lain-lain.
2)        mentarjih dengan hal yang sama, seperti dari aspek tempat, syarat, waktu dan hal-hal yang perlu diperbincangkan.[18]
c.         Cara Pentarjihan
            Ulama Ushul menjelaskan ada beberapa metode yang dapat digunakan untuk mentarjih dua dalil yang bertentengan. Cara pentarjihan dibagi menjadi dua yaitu 1) at-Tarjih baina an-Nushush dan 2) at-Tarjih baina al-qiyas
1)        Tarjih baina an-Nushush terbagi menjadi 4, yaitu :
a.    Dari segi sanad
Menurut Imam Asy-Syaukani ada 42 cara yang dapat dilakukan dalam pentarjihan. Dikelompokkan sebagai berikut:
                         i.     Menguatkan salah satu nash dari segi sanadnya
Cara ini dilakukan dengan menyelidiki jumlah perawi suatu hadis. Jumhur berpendapat bahwa hadis yang diriwayatkan oleh banyak perawi di tarjihkan dengan yang sedikit perawinya, kemungkinan kecil terjadi kesalahan. Tetapi Abu Yusuf, Abu Hanifah dan Abu Hasan Al-Karkhi tidak sependapat dengan pendapat jumhur tersebut. Mereka berpendapat banyaknya jumlah perawi tidak dapat mentarjih hadis yang perawinya lebih sedikit, kecuali perawi tersebut lebih dari tiga orang (Hadis Masyhur). Mereka mengasumsikan terhadap masalah persaksian yang bertentangan, bahwa hakim dalam memutuskan perkara tidak boleh atas dasar persaksian yang lebih banyak orangnya.
                       ii.     Pentarjihan dengan melihat riwayat itu sendiri
Maksudnya adalah membenarkan hadis masyhur daripada hadis ahad atau membenarkan hadis mutawatir daripada hadis masyhur. Dapat dilakukan juga dengan melihat hubungan sanadnya, contoh hadis yang sanadnya sampai kepada rasul ditarjih dengan hadis yang sanadnya tidak sampai pada rasul.
                         iii.     Pentarjihan melalui cara menerima hadis dari rasul
Artinya hadis yang diterima dan dipelihara ditarjihkan melalui hafalan perawi dari hadis yang diterima melalui tulisan. Dikuatkan dengan hadis yang menggunakan lafazh langsung dari Rasulullah, misal lafal amara (memerintah) atau nahi (melarang) diriwayatkan oleh yang lain.
b.    Dari segi matan
Maksud dari matan adalah ijma’ atau hadis, teks ayat. Menurut Al-Amidi ada 51 cara yang dapat dilakukan dalam pentarjihan, antara lain:
i.      Mengutamakan teks yang mengandung larangan daripada teks yang mengandung perintah, karena mencegah kemudaratan lebih baik daripada mengambil manfaat
ii.    Mendahulukan teks yang mengandung perintah daripada teks yang mengandung kebolehan karena melakukan perintah berarti sekaligus melakukan yang hukumnya diperbolehkan
iii.  Mengutamakan arti hakikat daripada arti majazi-nya
iv.  Menguatamakan dalil khusus daripada dalil yang umum
v.    Mendahulukan teks umum yang belum dikhususkan daripada teks umum yang telah di taksis
vi.  Mengutamakan teks yang sifatnya perkataan daripada teks yang sifatnya perbuatan
vii.     Mendahulukan teks yang muhkam daripada teks yang mufassar, karena muhkam lebih pasti dibanding mufassar
viii.   Mendahulukan teks yang jelas daripada teks yang bersifat sindiran

c.    Dari segi hukum atau kandungan hukum
Ada 11 cara pentarjihan menurut pendapat Al-Amidi, sedangkan ada 9 cara pentarjihan menurut Asy-Syaukani, yaitu:
i.      Lebih mengutamakan teks yang mengandung bahaya menurut ulama daripada teks yang membolehkan. Berdasarkan hadis Rasulullah SAW: “Tidaklah berkumpul antara yang halal dengan yang haram, kecuali yang haram lebih dominan” (H.R Baihaqi)
ii.    Terdapat perbedaan pendapat mengenai teks yang bersifat menentukan dengan teks yang menghilangkan. Contoh, hadis dari Ibnu Abbas, mengatakan bahwa Rasulullah memperistri Maimunah ketika sedang ihram (H.R. Bukhari dam Muslim). Riwayat lain mengatakan bahwa Rasulullah memperistri Maimunah tidak dalam keadaan ihram (H.R. Imam Malik)
Dalam masalah tersebut, Imam Syafi’i berpendapat mengenai teks yang bersifat menghilangkan lebih diutamakan daripada teks yang bersifat menentukan. Jadi, dari hadis tersebut tidak dalam keadaan ihram lebih diutamakan.
Jumhur berpendapat, teks yang menentukan lebih didahulukan dari teks yang menghilangkan, karena memberi informasi tambahan dari teks yang bersifat menentukan.
Sedangkan menurut Imam Ghazali kedua hadis tersebut hukumnya digugurkan. Hal itu barangkali keduanya salah dan keduanya benar. Oleh karenanya perlu dicari tanda lainnya.
                     iii.     Lebih memilih teks yang mencegah terpidana dari hukuman daripada teks yang menuntut terpidana mendapat hukuman. Sesuai hadis Rasulullah SAW: “Tolaklah hukuman dalam (kejahatan) hudu apabila terdapat keraguan”.
                     iv.     Mendahulukan teks yang bermakna hukuman lebih ringan daripada teks yang bermakna hukuman lebih berat. Allah berfirman dalam Q.S Al-Baqarah ayat 185 yang artinya: “Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak mengehendaki kesukaran bagimu”.
d.   Tarjih menggunakan faktor dalil (lain) diluar Nash
Ada 15 cara pentarjihan menurut Al-Amidi, sedangkan Imam Asy-Syaukani merangkumnya menjadi 10 cara, antara lain:
i.      Salah satu dalil yang mendukung dalil lain didahulukan, baik dalil Alquran, sunah, Ijma’, Qiyas, dll.
ii.    Mengutamakan salah satu dalil yang diikuti oleh amalan ahli Madinah, karena mengenai persoalan turunnya Alquran mereka lebih mengetahuinya.
iii.  Mengukuhkan dalil yang mengandung asbab an-nuzul atau asbab al-wurud serta dalil yang didalamnya ada illat daripada dalil yang tidak menjelaskan hal tersebut.
iv.  Mengutamakan dalil yang menuntut sikap hati-hati daripada dalil yang tidak menuntut hal tersebut
v.    Mengutamakan dalil yang diikuti dengan ucapan perawinya daripada dalil yang tidak mengutamakan hal tersebut.[19]
2)        Tarjih bain al-Aqyisah
a.    Dari segi hukum Ashl
Imam Asy-Syaukani menggunakan 16 cara dalam pentarjihan, antara lain:
i.      Hukum yang asalnya qath’i dari yang zhanni lebih diunggulkan
ii.    Menguatkan landasan dalil ijma dari qiyas yang asas dalilnya nash
iii.  Menguatkan dan mendukung dalil yang khusus
iv.  Qiyas yang sesuai dengan kaidah qiyas lebih dikuatkan daripada yang tidak
v.    Qiyas yang telah disepakati para ulama diunggulkan dan tidak dinasakh dengan qiyas yang tidak disepakati.
b.      Dari segi hukum Furu’ (cabang)
i.           Hukum furu’ yang asalnya datang kemudian lebih diunggulkan dari hukum furu’ yang hukum asalnya lebih dahulu.
ii.         Hukum furu’ yang illatnya diperoleh secara qath’i lebih diutamakan dari hukum furu’ yang illatnya bersifat zhanni.
iii.       Menetapkan sejumlah logika nash dari hukum furu’ lebih diunggulkan daripada hukum furu’ yang berdasarkan logika nash secara rinci.

C.  Amar dan Nahyu
1.        Amar
Dalam ushul fiqih amar didefinisikan sebagai berikut:
القول المقتضي طاعة المأمور بفعل الماموربه
“Suatu ucapan yang menghendaki kepatuhan seseorang untuk melakukan suatu perbuatan”

Dalam pengertian lain amar didefinisikan sebagai berikut:
طلب القول من الاعلى الى الأدنى
“Tuntutan untuk mengerjakan sesuatu dari pihak yang lebih tinggi kepada pihak yang lebih rendah[20]
Dalam kata amar terdapat tiga unsur, antara lain:
a.         Yang mengucapkan kata amar/yang menyuruh,
b.        Yang dikenai kata amar/yang disuruh,
c.         Ungkapan yang digunakan dalam suruhan itu.[21]
Dari definisi tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa “amar” adalah lafadh yang berarti perintah atau menyuruh kepada hal-hal yang berkonotasi positif. Seperti contoh dalam firman Allah Swt. Qs Al-Baqarah (2) ayat 110:“Dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat”
Dalam penggunaan bahasa arab kata amar dapat diartikan menjadi beberapa kata antara lain:
a.         Ijab/wajib
وأقيمواالصلاة
“dan dirikanlah shalat...”
b.        Nadab/sunnah
فكاتبوهم ان علمتم فيهم خيرًا
“maka adakanlah mukatabah dengan mereka (budak-budak) jika kamu ketahui adanya kebaikan dalam diri mereka”
c.         Irsyad/bimbingan
اذاتداينتم بدين الل
“jika kamu saling berhutang dengan suatu hutang hingga waktu waktu tertentu, maka hendaklah kamu menulisnya”
d.        Ibadah/pembolehan
“maka berburulah”
e.         Tahdid/ancaman
“lakukanlah sekehendak hatimu”[22]
Berikut ini hakikat dari amar antara lain:
1)        Amar adalah ucapan atau lafadh yang berbentuk suruhan/perintah, seperti contoh ayat-ayat di atas
2)        Lafadh atau ucapan datang dari pihak yang lebih tinggi
3)        Ada perbuatan yang dituntut, seperti perintah melaksanakan shalat dan menunaikan zakat
4)        Ada pihak yang diperintah yang kedudukannya lebih rendah, yaitu hamba Allah Swt. yang beriman.[23]
Terdapat beberapa jenis ungkapan amar dalam nash, antara lain:
a.         Fi’il amri (kata kerja perintah)
Contoh:
فَاَقِيۡمُوا الصَّلٰوةَ وَاٰتُوا الزَّكٰوةَ
“Dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat”(Qs. Al-Hajj: 78)[24]
b.        Fi’il mudhari’ yang didahului lam al-amri
Contoh:
وَلۡيَكۡتُب بَّيۡنَكُمۡ كَاتِبٌۢ بِالۡعَدۡلِ‌
“Seorang penulis yang adil di antaramu hendaknya menuliskannya” (Qs. Al-Baqarah: 282)[25]
c.         Masdar yang diposisikan sebagai fi’il amar
فَاِذَا لَقِيۡتُمُ الَّذِيۡنَ كَفَرُوۡا فَضَرۡبَ الرِّقَابِ
“Maka, apabila kamu bertemu dengan orang-orang kafir (di medan perang), peggallah batang leher mereka” (Qs. Muhammad: 4)
d.        Isim fi’il amar
وَرَاوَدَتۡهُ الَّتِىۡ هُوَ فِىۡ بَيۡتِهَا عَنۡ نَّـفۡسِهٖ وَغَلَّقَتِ الۡاَبۡوَابَ وَقَالَتۡ هَيۡتَ لَـكَ
“Dan wanita (Zulaikha) yang Yusuf tinggal di rumahnya menggoda Yusuf untuk menundukkan dirinya (kepadanya) dan dia menutup pintu-pintu, seraya berkata: "Marilah ke sini."‌ؕ (Qs. Yusuf: 23)
e.         Kalimat berita yang berarti perintah
وَالۡمُطَلَّقٰتُ يَتَرَ بَّصۡنَ بِاَنۡفُسِهِنَّ ثَلٰثَةَ قُرُوۡٓءٍ
“Dan perempuan-perempuan  yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'.” (Qs. Al-Baqarah: 228)[26]
2.        Nahyu
Nahyu atau nahi dapat diartikan sebagai larangan, dalam ushul fikih kata nahyu didefinisikan sebagai berikut:
طلب الترك من الأعلى الى الأدنى
“Tuntutan untuk meninggalkan suatu perbuatan”[27]
Dalam pengertian lain, nahi diartikan sebagai larangan/tuntutan untuk meninggalkan suatu perbuatan atau hal-hal yang berkonotasi negatif.
Dalam penggunaan kata nahi dalam nash alquran atau hadis terdapat beberapa maksud, antara lain:
a.       Untuk menunjukkan hukum haram
Contoh:
ۗ بِالْحَقِّ إِلَّا اللَّهُ حَرَّمَ الَّتِي النَّفْسَ تَقْتُلُوا وَلَا
“Janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya)” (Qs. Al Isra’: 33)
b.      Untuk menunjukkan hukum makruh
Contoh: hadis yang melarang memegang kemaluan saat buang air kecil.
“Diantara kamu sekaian jangan memegang kemaluannya dengan tangan kanan ketika buang air kecil.”
c.       Untuk mendidik
Contoh:
تَسُؤْكُمْ لَكُمْ تُبْدَ إِنْ أَشْيَاءَ عَنْ تَسْأَلُوا لَا آمَنُوا الَّذِينَ أَيُّهَا يَا
Hai orang-orang yang beriman, Janganlah kamu menanyakan hal-hal yang jika diterangkan kepadamu, niscaya menyusahkan kamu.” (Qs. Al Maidah: 101)
d.        Untuk doa
Contoh:
ۚ رَحْمَةً لَدُنْكَ مِنْ لَنَا وَهَبْ هَدَيْتَنَا إِذْ بَعْدَ بَنَا قُلُو تُزِغْ لَا رَبَّنَا
“Ya… Tuhan kami janganlah engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan setelah Engkau memberi petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi engkau.”(Qs. Ali Imran: 8)
e.       Untuk merendahkan
Contoh:
لِلْمُؤْمِنِينَ جَنَاحَكَ وَاخْفِضْ عَلَيْهِمْ تَحْزَنْ وَلَا  مِنْهُمْ أَزْوَاجًا بِهِ مَتَّعْنَا مَا إِلَىٰ عَيْنَيْكَ تَمُدَّنَّ لَا
“Janganlah sekali-kali kamu menunjukkan pandanganmu kepada kenikmatan hidup yang telah Kami berikan kepada beberapa golongan di antara mereka (orang-orang kafir) dan janganlah kamu bersedih hati terhadap mereka dan berendah dirilah kamu terhadap orang-orang yang beriman” (Qs. Al Hijr: 88)
f.          Untuk penjelasan akibat
Contoh:
ۚ الظَّالِمُونَ يَعْمَلُ عَمَّا غَافِلًا اللَّهَ تَحْسَبَنَّ وَلَا
“Janganlah sekali-kali kamu (Muhammad) mengira bahwa Allah lalai dari apa yang diperbuat oleh orang-orang yang zalim” (Qs. Ibrahim: 42)
g.         Untuk keputusasaan
Contoh:
ۖ تَعْمَلُونَ كُنْتُمْ مَا تُجْزَوْنَ إِنَّمَا الْيَوْمَ تَعْتَذِرُوا لَا كَفَرُوا الَّذِينَ أَيُّهَا يَا
“Hai orang-orang kafir, janganlah kamu mengemukakan uzur pada hari ini. Sesungguhnya kamu hanya diberi balasan menurut apa yang kamu kerjakan. (Qs. At Tahrim: 7)[28]

D.      Penutup
Ta’arud adalah pertentangan antara dua  dalil. Satu dalil dari dua dalil menghendaki hukum yang berbeda dengan hukum yang dikehendaki dari dalil lain. Jadi dalam dalam proses ijtihad bisa saja ta’arud ini terjadi baik dalil-dalil yang qath’i maupun dalil yang zhanni. Sedangkan Tarjih adalah salah satu dalil yang zhanni dikuatkan dengan yang lainnya untuk diterapkan berdasarkan dalil tersebut. Maka dari pengertian ini dapat diketahui bahwa Tarjih adalah bagian dari Ta'arud. Dalam kaidah kebahasaan dikenal istilah “amar”, yaitu lafadh yang berarti perintah atau menyuruh kepada hal-hal yang berkonotasi positif. Nahyu atau nahi dapat diartikan sebagai larangan,
DAFTAR PUSTAKA
Asmawi. 2011. Perbandingan Ushul Fiqh, Jakarta: Amzah.
Biek, Syekh Muhammad Al Khudhari. Terjemah Ushul Fiqih.
Djalil,   Basiq. 2010. Ilmu Ushul FiqiH.  Jakarta: Kencana Prenadamedia Group.
Effendi, Satria dan M. Zein. 2015. Ushul Fiqh. Jakarta: Prenadamedia.
Faisol,  Al Hakam.2015. Modul Fiqh Wa Ushuluhu Kelas XII Jurusan Keagamaan. Jombang: MAN Denanyar.
Haroen,Nasrun. 1997. Ushul Fiqh. Ciputat: PT. Logos Wacana Ilmu.
Khallaf,Abdul Wahhab. 2003. Ilmu Ushul Fikih. Jakarta : Pustaka Amani.
Syafe’i, Rachmat. 2007. Ilmu Ushul Fiqih. Bandung: CV Pustaka Setia.
Syarifuddin, Amir.  2012. Garis-garis Besar Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana.
Syarifuddun,  Amir.  2014. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana

Catatan:
  1. Similarity 9%.
  2. Pendahuluan diperbaiki
  3. Di kelas, tolong dijelaskan pelan-pelan.


[1]Muhammad Wafa, Metode Tarjih, (Bangil: Al-Izzah, 2001), 11.
[2]Satria Effendi dan M. Zein, Ushul Fiqh (Jakarta: Prenadamedia, 2015), 238.
[3]Ibid, 239.
[4]Muhammad Wafa, Metode Tarjih..., 68-72.
[5]Satria Effendi dan M. Zein, Ushul Fiqh..., 239.
[6] Nasrun Haroen, Ushul Fiqh, (Ciputat: PT. Logos Wacana Ilmu, 1997), 176.
[7]Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fikih ( Jakarta : Pustaka Amani, 2003), 341
[8]Muhammad Wafa, Metode Tarjih..., 83-84
[9]Muhammad Wafa, Metode Tarjih..., 90-91
[10]Ibid, 98-99
[11] Satria Effendi dan M. Zein, Ushul Fiqh..., 240.
[12]Muhammad Wafa, Metode Tarjih..., 179
[13]Satria Effendi dan M. Zein, Ushul Fiqh..., 241.
[14] Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2007), 242
[15]Satria Effendi dan M. Zein, Ushul Fiqh...,  242.
[16]Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fikih..., 341
[17] Al Hakam Faisol, Modul Fiqh Wa Ushuluhu , (Jombang: MAN Denanyar), 69
[18] Basiq Djalil, Ilmu Ushul Fiqih, (Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2010), 207
[19] Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih..., 243- 249
[20] Amir Syarifuddin, Garis-garis Besar Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2012) 127.
[21] Amir Syarifuddun, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2014), 179.
[22] Syekh Muhammad Al Khudhari Biek, Terjemah Ushul Fiqih, hal. 245.
[23] Amir Syarifuddin, Garis-garis Besar Ushul Fiqh..., 127-128.
[24] Asmawi. Perbandingan Ushul Fiqh, Jakarta: Amzah, 2011. 221.
[25] Amir Syarifuddin, Garis-garis Besar Ushul Fiqh..., 128.
[26] Asmawi. Perbandingan Ushul Fiqh..., 222.
[27] Ibid, 137.
[28]Amir Syarifuddun, Ushul Fiqh...,  220-221.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar