Selasa, 06 Maret 2018

Ijma' dan Qiyas (PAI A Semester Genap 2017/2018)




HUKUM ISLAM YANG DISEPAKATI : IJMA’ DAN QIYAS
Mariyatul Qibthiyah Al-Hasbiyah, Fina Qathrin Nadi, dan M. Hisyam Al Amin
Mahasiswa PAI – A angkatan 2015 Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang

Abstrack :This article discusses the position of ijma' and qiyas in Islamic law. Where ijma 'and qiyas are the source of Islamic law after the Qur'an and Sunnah. After the death of Rasulullah SAW, Muslims are faced with a problem that does not exist in the texts. At this time, the theme continues to experience dynamism in accordance with the times. This phenomenon will lead to debate among scholars in determining a new law. Hence the agreement and the rationale of reason are very moderate, where the early scholars of the new legal problem.
Keywords : Islamic Law, Ijma’, and Qiyas
Abstrak : Artikel ini membahas tentang posisi ijma’ dan qiyas dalam hukum islam. Dimana ijma’ dan qiyas merupakan sumber hukum islam setelah Alquran dan Sunnah. Setelah wafatnya Rasulullah SAW, umat islam dihadapkan dengan permasalahan yang tidak terdapat pada nash.Pada kenyataannya, permasalahan terus mengalami kedinamisan sesuai dengan perkembangan zaman. Fenomena seperti ini akan menimbulkan perdebatan para ulama dalam menentukan suatu hukum baru. Oleh karena itu kesepakatan dan kerasionalan akal pikiran sangat berpengaruh, dimana para ulama mengembalikan permasalahan baru kepada hukum asal.
Kata Kunci : Hukum Islam, Ijma’, dan Qiyas.
A.    Pendahuluan
Ushul Fiqh merupakan ilmu yang dianggap penting dalam menghasilkan sebuah hukum yang responsif dan adabtable dalam menjawab berbagai permasalahan yang terjadi. Ilmu ini pada dasarnya telah ada sejak zaman para sahabat sendiri. Terutama dalam menetapkan sebuah permasalahan yang baru dan belum pernah dijumpai di zaman rasulullah SAW.
Oleh sebab itu dalam perkembangan zaman yang serba kompleks ini, para mujtahid menetapkan berbagai sumber hukum islam yang dapat dijadikan pedoman umat islam dalam menjawab berbagai problematika yang terus berkembang di setiap masanya. Sumber hukum islam ini terbagi menjadi dua, diantara adalah sumber hukum yang telah disepakati oleh jumhur ulama (Muttafaq) yakni Alquran, Hadis, Ijma’, Qiyas. Selain itu ada pula sumber hukum islam yang masih diperselisihkan oleh berbagai ulama (Mukhtalaf).

B.     Ijma’
1.    Pengertian Ijma”
Dalam kitab Mausuah Fiqhiyyah Al-Kuwatiyah dijelaskan mengenai pengertian Ijma menurut ulama ushul[1]:
وَالإْجْمَاعُ فِي اصْطِلاَحِ الأْصُولِيِّينَ: اتِّفَاقُ جَمِيعِ الْمُجْتَهِدِينَ مِنْ أُمَّةِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي عَصْرٍ مَا بَعْدَ عَصْرِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى أَمْرٍ شَرْعِيٍّ، وَالْمُرَادُ بِالأْمْرِ الشَّرْعِيِّ: مَا لاَ يُدْرَكُ لَوْلاَ خِطَابُ الشَّارِعِ، سَوَاءٌ أَكَانَ قَوْلاً أَمْ فِعْلاً أَمِ اعْتِقَادًا أَمْ تَقْرِيرًا.
“Ijma menurut ulama Ushul adalah kesepakatan seluruh mujtahid dari umat Nabi Muhammad SAW setelah masa Rasulullah SAW atas suatu perkara syariat. Yang dimaksud dengan perkara syariat adalah sesuatu yang tidak diketahui tanpa perintah Allah (الشَّارِعِ), baik perkataan, perbuatan, keyakinan, ataupun taqrir (penetapan).”
Dari pengertian diatas dapat disimpulkan melalui beberapa hal yakni :
a.       Menghasilkan kesepakatan melalui beberapa mujtahid (tidak melalui kesepakatan seorang diri).
b.      Harus ada unsur kesepakatan dari seluruh mujtahid, tidak dibenarkan ijma’ apabila hanya disepakati mujtahid irak saja, mujtahid, mujtahid mesir saja, atau mereka semua sepakat melaikan mujtahid syiah menentang hasil ijma’ tersebut.
c.       Kesepakatan seluruh mujtahid harus nampak nyata,  baik dari perbuatan mujtahid yang menyampaikan fatwa yang relevan. Sehingga tidak dibenarkan jika salah seorang mujtahid hanya diam (sukuti). Sebab diamnya seorang mujtahid bisa diartikan sebagai bentuk adanya perbedaan fatwa didalamnya.
d.      Kesepakatan ijma’ dari orang yang selain dari mujtahid tidak bisa dinamakan ijma’, begitu pula kesepakatan tidak bisa dinamakan ijma’ apabila hanya tergolong sebagian mujtahid[2].
Jika telah terbentuk kesepakatan dari para mujtahid ini, maka hukumnya bersifat wajib untuk diikuti dan bukan lagi sebagai lapangan untuk berijtihad kembali. Sebab bukti kesepakatan dari seluruh mujtahid ini bernilai bahwa memang adanya kebenaran yang pasti (qath’iy) didalamnya sebab sesuai dengan jiwa syar’iah sekaligus dasar-dasar yang umum.
Firman allah SWT :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ ۖ
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu” (QS. An-Nisa :59)
Makna ulil amri dalam ayat ersebut juga diartikan sebagai para mujtahid, sehingga ijma’ bisa dijadikan sebagai dasar hukum setelah tidak adanya penjelasan dalam Alquran dan Hadis.
Dalam Firman Allah SWT yang lain juga dijelaskan :
وَلَوْ رَدُّوهُ إِلَى الرَّسُولِ وَإِلَىٰ أُولِي الْأَمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِينَ يَسْتَنْبِطُونَهُ مِنْهُمْ ۗ
Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri)” (QS.An-Nisa :83).
Dan dalam firman Allah SWT telah mengancam orang-orang yang tidak mengikuti dan menyalahi dari apa yang telah menjadi ketetapan orang mukmin.
وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَىٰ وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّىٰ وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ ۖ وَسَاءَتْ مَصِيرًا
Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali”. (QS. An-Nisa : 115).
Selain firman Allah SWT, banyak pula hadis-hadis dan atsar para sahabat yang menunjukkan akan kesepakatan ijma’ :
لا تجتمع أمتى على الخطأ
Tiada mungkin Umat-Ku berijma’ (bersepakat) dalam kesalahan” (HR. Abu Dawud)
لم يكن الله ليجمع أمتى علي الضلالة
Tidak mungkin Allah menghimpun umatku seluruhnya untuk melakukan kesesatan
Selain itu juga sabda:
ما رأه المسلمون حسنا فهو عند الله حسن
Apa yang dianggap baik oleh kaum muslimin baik pula di sisi Allah”.
Kemudian pertanyaannya adalah “apakah mungkin dari berbagai definisi ijma’ diatas (kesepakatan seluruh mujtahid) mungkin terjadi?”, sebagian ulama mengatakan bahwa hal tersebut mustahil terjadi sebab :
a.       Sulit menentukan siapa yang bisa dinamakan mujtahid itu sendiri.
b.      Dengan tersebarnya mujtahid di berbagai wilayah islam yang semakin luas membuat adanya kemustahilan dalam mengumpulkan seluruh ulama’ tersebut.
c.       Seorang mutahid juga pasti mengalami perubahan pendirian dalam dirinya.
d.      Tidak mungkinnya dalil dhanniy yang dijadikan sebagai dasar  berijtihad.
Sehingga hanya memungkinkan untuk menetapkan dasar hukum yang bersumber dari dalil yang Qath’iy seperti shalat, zakat, puasa, naik haji akan tetapi hal semacam itu kita tidak menggunakan ijma’ melainkan menggunakan dalil Qath’iy sendiri.
Namun sebagian ulama pula mengatakan bahwa ijma’ sesuai dengan definisi tersebut masih bisa terjadi, hal ini didasarkan pada masa Abu Bakar Ash-Shidieq dan Umar dalam menentukan suatu perkara dimana para ulama’ terdahulu masih terhitung sedikit jumlahnya dan masih dapat berkumpul dalam suatu tempat sehingga hal ini dapat dianggap sebagai ijma’ yakni (ijma’ para sahabat).[3] Oleh sebab itu, menurut Muhammad Abu Zahrah mengatakan bahwa ijma’ yang disepakati oleh seluruh ulama’ tidak mungkin terjadi, kecuali jika ijmanya para sahabat, hal ini adalah pendapat Ahmad Ibn Hanbal.
Sedangkan menurut Syekh Abd al-Wahab Khalaf mengatakan bahwa ijma’ dengan defenisi tersebut mungkin terjadi apabila diserahkan para perseorangan. Namun ijma’ tersebut bisa terjadi apabila diserahkan pada pemerintah, sehingga pemerintah akan menentukan kriteria atau syarat seorang mujtahid, sehingga pemerintah dengan jelas mengetahui siapa-siapa mujahid tersebut dan bagaimana fatwa-fatwanya. Apabila mujtahid setiap bangsa disepakati oleh mujtahid seluruh dunia maka dapat terjadilah ijma.
Sedangkan hanafi menjelaskan bahwa ijma’ yang memungkinkan untuk terjadi pada saat ini adalah :
“Keputusan yang diambil oleh wakil-wakil rakyat yang mewakili segala lapisn rakyat untuk perkataan kepentingan-kepentingan mereka. Mereka itulah yang dinamai Ulil Amri Ahlul Halli Wal ‘Aqdi. Mereka diberi hak oleh Syariat Islam untuk membuat undang-undang/peraturan- peraturan dengan memperhatikan kepentingan rakyat”.
2.      Pembagian Ijma’
Ditinjau dari segi cara terjadinya Ijma’, terbagi menjadi 2 bagian :
Pertama : Al-Ijma’ al-sharih  (إجماع الصريح) yakni ijma yang tegas persetujuannya baik melalui lisan maupun perbuatan.
Ijma’ dalam bentuk pertama ini dinamakan pula Al- Ijma’ Al-haqiqi atau Al-Ijma’ al-qauliy yang dianggap sebagai hujjah bagi para jumhur.

Kedua : Al- Ijma’ As-sukuty ( إجماع السكوتى) ijma’ yang dengan jelas hanya disepakati oleh sebagia ulama’ sedangkan sebagian lain hanya diam dan tidak memberikan kejelasan sepakat atau tidak.

Ijma’ bentuk kedua ini dinamakan pula Al-Ijma’ al-i’tibariy yang tidak dianggap hujjah bagi jumhur, melainkan hujjah bagi ulama’ hanafiyah. Sebab diamnya para ulama tetap dapat dianggap setuju apabila telah dijelaskan masalahnya yang telah dibahas dan diamnya para ulama’ bukan karena takut.
Sedangkan menurut imam Syafi’i menganggap bahwa, ijma’ sukuty tidak bisa dijadikan hujjah sebab :
a.    Seseorang yang diam tidak bisa dinisbatkan suatu pendapat (setuju atau tidak) dan bahkan pada umunya makna diam lebih condong pada ketidaksetujuan.
b.    Diamnya seorang mujtahid juga bisa berarti telah setuju tapi mungkin telah berijtihad namun belum sampai pada keputusan tersebut, mungkin pula karena takut dan mungkin pula diamnya karena hal-hal lain.
Sehingga dalam perbedaan pendapat antara ijma’ sukutiy bisa dijadikan hujjah apa tidak. Ulama mengklasifikasi ijma’ sukutiy sebagai ijma’ yang dhanniy al-dalalah. Sedang ijma’ shorih termasuk ijma’ yang qath’iy al-dalalah.[4]
Sedangkan dtinjau dari para mujtahid yang mengadakan ijma’ maka ijma’ dibagi pula menjadi beberapa bagian:
a.       Ijma’ Umat (إجماع الأمة) ijma’ inilah yang sesuai dengan pengertian pada definisi awal tadi.
b.      Ijma’ al-shahabah (إجماع الصحابة) yakni kesepakatan para shabat pada suatu kasus atau urusan tertentu.
c.       Ijma’ ahl Madinah (إجماع أهل المدينة )  yakni kesepakatan paham ulama’ ulama’ ahl madinah terhadap sesuatu perkara, ijma’ ini tetap dianggap hujjah bagi imam Malik.
d.      Ijma’ Ahl Kuffah (إجماع أهل الكوفة) yakni kesepakatan paham ulama’ ulama’ kuffah, ijma’ ini tetap dianggap hujjah bagi Imam Abu Hanifah.
e.       Ijma’ al-khulafa’ al-arba’ah (إجماع الخلفاء الأربعة)  ijma’ ini oleh sebagian ulama’ dianggap hujjah sebab adanya dasar :
Kamu wajib mengkuti sunnahku dan sunnah khulafaurrasyidin sesudahku” (HR. Ahmad, Abu Dawud dan At-Tirmidzi)
f.       Ijma’ Asy-syaikhayn (إجماع الشيخين) yakni kesepakatan yang dilakukan oleh Abu bakar dan Umar, hal ini bersadarkan pada :
Ikutilah/teladanilah kedua orang sesudahku, yaitu abu bakar dan umar
g.      Ijma’ al-‘itrah (إجماع العترة) yakni kesepakatan antara ahl bait.

C.    Qiyas (Analogi)
1.    Pengertian Qiyas
Qiyas menurut etimologi adalah ukuran, maksudnya mengukur sesuatu dengan menghubungkan pada yang lain. Sedangkan menurut terminologi yang sebagian besar digunakan para ulama ushul, qiyas adalah menyamakan ketentuan hukum baru dengan teksyang telah ada (Alquran dan Sunnah)karena keduanya memiliki kesamaan illat (penyebab).[5]
Jadi dapat disimpulkan, qiyas merupakan cara dalam mencari ketentuan hukum kejadian baru dengan memaksimalkan akal pikiran sesuai pada kejadian yang telah dinyatakan hukumnya dikarenakan persamaan illat.Sebagai contoh, dalam menyamakan makanan pokok beras dan gandum dikarenakan memiliki kesamaan illat yakni rasa.[6]

2.    Dalil Keabsahan Qiyas sebagai Landasan Hukum
a.    Surah An-Nisa’ ayat 59 :
يَاأَيُّهَاالَّذِينَآمَنُواأَطِيعُوااللَّهَوَأَطِيعُواالرَّسُولَوَأُولِيالْأَمْرِمِنْكُمْ ۖ فَإِنْتَنَازَعْتُمْفِيشَيْءٍفَرُدُّوهُإِلَىاللَّهِوَالرَّسُولِإِنْكُنْتُمْتُؤْمِنُونَبِاللَّهِوَالْيَوْمِالْآخِرِ ۚ ذَٰلِكَخَيْرٌوَأَحْسَنُتَأْوِيلًا
Artinya :
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Rasul(Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Alquran) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.
          Berdasarkan  ayat diatas dapat diketahui bahwa adanya perdebatan pendapat antara ulama tentang hukum suatu kejadian, dan solusinya adalah dengan mengembalikannya kepada Alquran dan Sunnah. Dalam hal ini mengembalikan dapat diartikan sebagai metodologi qiyas.

b.   Hadits Rasulullah
Mengkaji hukum melalui metode qiyas dapat dikatakan sebagai ijtihad ‘aqly uang sangat tradisional. Adapun hadits Nabi yang memberi peluang kajian ijitihad, yakni ketika Rasul mengutus Mu’adz bin Jabal untuk menjadi qadhi (hakim) di Yaman :

اَنَّ رَسُوْلَ اللّهِ صَلَّى اللّهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ قَالَ لِمُعَاذٍ مَا تَصْنَعُ اِنْ عُرِضُ لَكَ قَضَاءٌ؟ قَالَ اَقْضِى بِمَا فِى كِتَابِ اللّهِ, قَالَ فَاِنْ لَمْ تَجِدْ فِى كِتَابٍ قَالَ : فَبِسُنَّةِ رَسُوْلِ اللّهِ صَلَّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ فَاِنْ لَمْ يَكُنْ فِى سُنَّةِ رَسُوْلِ اللّهِ, قَالَ اَجْتَهِدُ رَأْيِيْ وَلاَ اَلُوْا : فَضَرَبَ رَسُوْلُ اللّهِ ص م عَلَى صَدْرِمُعَاذٍ, وَقَالَ الْحَمْدُ لِلّهِ الَّذِىْ وَفَقَ رَسُوْ لَ رَسُوْلِ اللّهِ لِمَايَرْضَى رَسُوْلُ اللّهِ .)رواه ابو داود(
Artinya :
Bahwa Rasulullah bertanya pada Mu’adz, apa yang akan engkau perbuat kalau datang persoalan di hadapanmu. Mu’adz menjawab, saya akan putuskan dengan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam kitab Allah. Kemudian Rasulullah bertanya lagi, bagaimana kalau engkau tidak menemukan jawabannya dalam kitab tersebut? Mu’adz menjawab, aya akan putuskan dengan ketentuan-ketentuan yang terdapat pada Sunnah Rasulullah. Dan bagaimana kalau sunnah pun belum menyatakan apa-apa tentang itu? Dia menjawab, saya akan berijtihad dengan nalar saya, dan tidak akan mengabaikannya. Lalu Rasulullah memukul-mukul dada Mu’adz sambil berkata, segala puji bagi Allah yang telah memberi petunjuk kepada utusan Rasulullah terhadap apa-apa yang diridhainya. (Abu Dawud).[7]
Dalam hal ini yang dimaksud ijtihad adalah qiyas, yakni mujtahid menetapkan hukum melalui nalar yang mendekati kebenaran. Para ulama fiqh banyak yang menggunakan metodologi qiyas dalam kajian hukum islam, yakni semenjak periode sahabat. Kemudian dalam periode imam madzhab, yakni Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i, Ahmad bin Hambal, serta Zaid bin ‘Ali Zainal Abidin dari kalangan Syi’ah. Sedangkan mereka yang menolak hanya Imam Adh-Dhahiri, Auza’i dari Sunni, dan Ja’far al-Shadiq dari Syi’ah.[8]

3.    Rukun Qiyas[9]
Merujuk pada pengertian qiyas sendiri, yakni menyamakan hukum kejadian baru yang tidak ada nashnya dengan hukum kejadian yang ada nashnya karena persamaan illat, maka rukun qiyas terbagi menjadi empat macam, yakni :
a.    Ashal(الْاَصْلُ), yakni pokok (wilayah sumber hukum) untuk mengqiyaskan sesuatu.
Adapun pembatasan dari sumber hukum itu sendiri, adalah :
1)      Nash yang dijadikan sumber hukum merupakan rujukan dari segala hukum.
2)      Nash hukum memiliki kandungan isyarat adanya illat.
3)      Qiyas berpedoman terhadapAlquran dan Sunnah.

b.   Hukum Ashal ( الْحُكْمُ ), yakni hukum ketetapan nash (Alquran, Sunnah, ataupun Ijma’) yang dijadikan sebagai patokan dalam kejadian-kejadian hukum baru karena adanya unsur kesamaan.
Adapun syarat yang harus dipenuhi dalam menetapkan hukum baru adalah :
1)      Berupa hukum syara’ yang amaliah.
2)      Berupa hukum yang rasional. Pendapat Abu Hanifah terhadap nash-nash hukum agama adalah seluruhnya rasional, kecuali dalam nash-nash tersebut memiliki rujukan ta’abbudi.

c.    Far’u ( الْفَرْعُ ),yakni kejadian yang hendak diketahui hukumnya melalui qiyas.
Adapun syarat agar far’u terpenuhi adalah :
1)      Kejadian yang belum ada penetapan hukum dalam nash Alquran dan Sunnah.
2)      Illat kejadian baru harus benar-benar ada, sehingga dapat jelas disamakan dengan illat kejadian asal.

d.      Illat ( الْعِلَّةُ  ),yakni penetapan hukum dikarenakan kesamaan penyebab kejadian baru dan kejadian asal.Dari keempat rukun qiyas, illat merupakan rukun yang paling penting. Berikut pembahasan mengenai illat qiyas :
1)      Definisi
Illat merupakan alasan atau penyebab dalam hukum asal yang dijadikan dasar hukum. Sebagian ulama’ ushul menyatakan bahwa illatadalahsesuatu yang sama kemudian menjadisatu hukum, dalam hal ini tidaksedikit juga ulama yang sependirian.
Dasar hukum yang terjangkau oleh nalar kita disebut illat dan sebab. Dan jika terdapat hal yang tidak terjangkau oleh nalar kita, maka disebut hanya sebab. Dapat ditarik kesimpulan bahwa setiap illat  adalah sebab, sedangkan setiap sebab bukanlah illat.[10]

2)      Syarat Illat
Adapun syarat yang mensahkan illat, sebagai berikut :
a)    Bersifat jelas dan tampak, sehingga dapat menentukan sesuatu.
b)   Harus kuat, tidak berubah meskipun dipengaruhi oleh individu, lingkungan, ataupun situasi.
c)    Adanya hubungan yang sesuai antara hukum dengan sifat yang menjadi illat.
d)   Bersifat tidak terbatas, memiliki jangkauan yang luas.
e)    Tidak dinyatakan batal oleh suatu dalil, sehingga illat yang ditentukan sudah berlaku secara universal pada setiap sasaran hukum.

3)      Pembagian illat
a)    Al-Munasib al-Mu’atsir, yakni illat yang sesuai dan berpengaruh. Dimana illatnya telah disusun dalam nash maupun ijma’.Misal : larangan meminum khamr.
b)   Al-Munasib al-Mulaa’im, yakniillat yang sesuai dan sepadan. Dimana hukum illat nya tidak langsung dari Allah, melainkan ada petunjuk dari nash dan ijma’ yang memiliki anggapan bahwa hukum tersebut sebagai penentu hukum sejenis. Misal : sucinya air liur kucing.
Al-Munasib al-Mursal, yakni illat yang sesuai dan dibiarkan. Dimana illat yang tidak memiliki pengukuhan dari Allah atau Rasul-Nya.

Contoh illat yang batal dilihat dari segi makna :
Adanya kewajiban menzakati binatang ternak dengan illat untuk menutupi kebutuhan orang fakir, maka illat tersebut dinyatakan tidak sah (batal). Seperti halnya permata : yakni berlian, intan, dan mutiara, juga dapat menutupi kebutuhan orang fakir tetapi tidak ada ketentuan zakat terhadap benda-benda tersebut.[11]

4.      Macam-macam Qiyas[12]
Wahbah az-Zuhaili mengemukakan, dilihat dari segi perbandingan antara illat kejadian asal dengan illat kejadian baru, qiyas terbagi menjadi 3 macam :
a.       Qiyas Awla, yakni dinyatakan bahwa illat yang terdapat pada kejadian baru (far’u) lebih utama daripada illat yang terdapat pada kejadian asal (ashal). Misal : Menghubungkan hukum diharamkannya memukul orang tua kepada hukum menagatakan “Ah” dalam surat al-Isra’ ayat 23 :
... فَلاَ تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ  ...
Artinya :
... maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” ...
Berdasarkan ayat diatas, dapat diketahui bahwa terdapat persamaan illat yakni menyakiti orang tua. Namun dalam hal ini kejadian baru memiliki hukuman yang lebih berat dikarenakan memukul orang tua lebih menyakiti daripada kejadian asal yang haram mengatakan “ah”.
b.      Qiyas Musawi, yakni qiyas persamaan bobot antara illat kejadian baru dan illat kejadian asal. Misal : Diharamkannya membakar harta anak yatim merupakan kejadian baru (cabang) sama bobotillat nya haram memakan harta anak yatim, seperti dalam surat an-Nisa’ ayat 10 :

إِنَّ الّذِيْنَ يَأْكُلُوْنَ أَمْوَالَ الْيَتَامَى ظُلْمًا إِنَّمَا يَأْكُلُوْنَ فِي بُطُوْنِهِمْ نَارًا وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيْرًا
Artinya :
Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara dzalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).
Berdasarkan ayat diatas, dapat disimpulkan keduanya memiliki hukum haram karena sama-sama melenyapkan harta anak yatim.
c.       Qiyas al-Adna, yakni qiyas dimana illat yang terkandung dalam kejadian baru lebih rendah bobotnya daripada illat yang terdapat dalam kejadian asal. Misal : illat memabukkan terhadap minuman keraswineseumpama lebih rendah dari minuman keras khamr yang berhukum haram dalam surat al-Maidah ayat 90 :

يَأَيُّهَا الَّذِيْنَ أَمَنُوْا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنْصَابُ وَالْأَزْلاَمُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوْ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ
Artinya :
Hai orangg-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat kesberuntungan.

Sedangkan landasan hukum dilihat dari segi jelas atau tidak jelasnya illat. Wahbah Az-Zuhaili membagi qiyas menjadi 2 macam :
a.       Qiyas Jali, yakni qiyas berdasarkan illat yang tegas menurut Alquran dan Sunnah. Seperti halnya dalam qiyas awla dan qiyas musawi.
b.      Qiyas Khafi, yakni qiyas berdasarkan illat yang ditarik dari hukum asalnya. Misal : dalam kasus pembunuhan menggunakan benda tumpul dan benda tajam, keduanya memiliki kesamaan illat yakni adanya kesengajaan dan perselisihan yang terjadi.
D.    Penutup
Hasil dari kajian Sumber Hukum Islam diatas telah menggambarkan bahwa ijma dan Qiyas merupakan 2 sumber hukum islam yang dapat dijadikan pedoman dalam menentukan hukum islam setelah Alquran dan Hadis.
Banyaknya dalil dalam Alquran dan Hadis yang menguatkan kedua sumber tersebut untuk mampu dijadikan hujjah dalam menentukan berbagai problematika umat islam.  Sekaligus tampak pada cara para sahabat dan mujtahid dalam menentukan sebuah hujjah dimana tujuan dalam pelaksanaan hal tersebut adalah dalam mencapai kemaslahatan umat.
Dimana Ijma berperan dalam mengumpulkan kesepakatan para mujtahid baik secara keseluruhan (ijma’ umat) atau tidak (ijma’ sahabat, ijma’ syakhaini dll) hal tersebut tidak lain adalah demi penguatan terhadap penetapan suatu hukum sehingga diperlukannya kesepakatan bersama dalam menentukan suatu hukum yang bersumber pada Alquran dan Hadis.
Sedangkan Qiyas berperan sebagai pengembalian suatu perkara yang baru (belum ada hukumunya) terhadap suatu perkara yang telah ditetapkan hukumnya oleh Alquran dan Hadis. Sehingga keduanya memiliki karakteristik dan prinsip tersendiri namun pada dasarnya tetap bersumber pada Alquran dan Hadis.

DAFTAR PUSTAKA
An-Nadwi, Fadlil Said. 2004.Ushul Fiqih. Surabaya : Al-Hidayah
Daud, Mohammad. 1998. Hukum Islam (Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia). Jakarta : Raja Grafindo Persada
Djazuli, A. 2000.Ushul Fiqih. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada
Effendi, Satria. 2005. Ushul Fiqh. Jakarta : Kencana
Khallaf, Abdul Wahhab. 1996.Kaidah-kaidah Hukum Islam (Ilmu Ushulul Fiqh). Jakarta : Raja Grafindo Persada
Koto, Alaiddin. 2006. Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih.Jakarta : PT Raja Grafindo Persada
Rosyada, Dede. 1996. Hukum Islam dan Pranata Sosial Dirasah Islamiyah III. Jakarta : Raja Grafindo Persada
Ulyan, Syeikh Rusdi. Ijma fii Syariatil Islam. Maktabah Syamilah.
Zahrah, Muhammad Abu. 2005. Ushul Fiqih. Jakarta : Pustaka Firdaus

Catatan:
1.      Similarity hanya 2%. Selamat!!!!
2.      Pendahuluannya terlalu “mini”
3.      Contoh ijma’?



[1] Syeikh Rusdi Ulyan, Ijma fii Syariatil Islam, Maktabah Syamilah.
[2]  A Djazuli, Ushul Fiqih, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2000), hlm. 109.
[3] Alaiddin Koto, Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2006), hlm. 79.
[4] A Djazuli, Ushul Fiqih, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2000), hlm. 115.
[5] Mohammad Daud, Hukum Islam (Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia), (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1998), hlm. 109
[6] Dede Rosyada, Hukum Islam dan Pranata Sosial Dirasah Islamiyah III, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1996), hlm. 44
[7]Ibid, hlm. 46
[8]Ibid, hlm. 47
[9] Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqih, (Jakarta : Pustaka Firdaus, 2005), hlm. 352-370
[10]Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam (Ilmu Ushulul Fiqh), (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1996), hlm. 101
[11]Fadlil Said An-Nadwi, Ushul Fiqih, (Surabaya : Al-Hidayah, 2004 ), hlm. 131
[12]Satria Effendi, Ushul Fiqh, (Jakarta : Kencana, 2005), hlm. 140-142

Tidak ada komentar:

Posting Komentar